Anda di halaman 1dari 34

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Komponen Sektor Pariwisata Dan Tingkat


Pengangguran Terbuka Di Indonesia Tahun 2015-2019

Untuk melihat bagaimana perkembangan komponen sektor pariwisata dan

Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia dari tahun 2015-2019, diperlukan

gambaran umum dari masing-masing komponen sektor pariwisata dan

hubungannya dengan Tingkat Pengangguran Terbuka untuk melihat pola

pergerakan dari tahun ke tahun, hal ini juga diperlukan untuk memutuskan

kesimpulan awal sebelum melihat hasil dari analisis inferensia.

Gambaran Umum Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia

Meskipun secara nasional TPT di Indonesia tahun 2015-2019

menunjukkan tren yang menurun, namun TPT di beberapa provinsi di Indonesia

masih menunjukkan pola yang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hal ini dapat

dilihat pada grafik perkembangan TPT menurut provinsi di Indonesia tahun 2015-

2019 berikut :

71
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 7. Tingkat pengangguran terbuka menurut provinsi di Indonesia
tahun 2015-2019

Berdasarkan gambar 7 dapat ditunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di

Indonesia perkembangan tingkat pengangguran terbuka dari tahun 2015-2019

semakin menurun, bahkan Provinsi Bali menjadi provinsi dengan rata-rata tingkat

pengangguran terbukanya dibawah 2 persen, diikuti dengan Daerah Istimewa

Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu provinsi Banten, Jawa

Barat, dan Maluku menjadi provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka yang

tertinggi, dengan provinsi Banten masih konstan diatas 8 persen dari periode

2015-2019. Capaian tertinggi TPT terjadi pada tahun 2015 di dua provinsi yaitu

Jawa Barat dan Maluku yang mencapai 9,93 persen, sementara yang paling

terendah pada tahun 2018 di Provinsi bali sebesar 1,40 persen.

72
Gambaran Umum Jumlah Usaha Akomodasi di Indonesia

Jumlah usaha akomodasi di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat

dari tahun 2015 hingga 2019 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8, sejak tahun

2015 secara kumulatif jumlah usaha akomodasi di Indonesia mencapai 18.287

unit, kemudian meningkat pada tahun 2016 menjadi 18.993 unit dan terjadi

peningkatan cukup tinggi pada tahun 2017 yaitu sebesar 7.139 unit menjadi

26.132 unit, selanjutnya pada tahun 2018 meningkat menjadi 27.545 unit hingga

pada tahun 2019 mencapai 29.760 unit.

35000
30000 29760
27545
25000 26132

20000 18993
18287
Unit

15000
10000
5000
0
2015 2016 2017 2018 2019
Tahun

Jumlah Usaha Akomodasi


Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 8. Jumlah usaha akomodasi di Indonesia tahun 2015-2019

Peningkatan jumlah usaha akomodasi di Indonesia ini menunjukkan

bahwa potensi akan pariwisata dan hospitality semakin berkembang. Oleh karena

itu perlu diketahui provinsi-provinsi mana saja di Indonesia yang mengalami

peningkatan usaha akomodasi yang tinggi dan yang mengalami penurunan usaha

akomodasi. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik jumlah usaha akomodasi

menurut provinsi di Indonesia tahun 2015-2019 berikut :

73
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 9. Jumlah usaha akomodasi menurut provinsi di Indonesia
tahun 2015-2019

Perkembangan usaha akomodasi di seluruh provinsi di Indonesia pada

Gambar 9 menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun. Provinsi Bali berada pada

urutan pertama dengan usaha akomodasi terbanyak di Indonesia mencapai 4874

unit, kemudian diikuti dengan Provinsi Jawa Barat dengan usaha akomodasi

mencapai 3191 unit dan Jawa Timur dengan 4132 unit. Tingginya usaha

akomodasi ini menunjukkan besarnya pengaruh sektor pariwisata terhadap tenaga

kerja di provinsi tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Spillane (2002)

mengungkapkan semakin tinggi usaha akomodasi hotel maka akan dibutuhkan

tenaga kerja pada penunjang perhotelan seperti dekorasi hotel, dan sebagainya

maka jumlah tenaga kerja yang diserap akan semakin banyak lagi. Sementara itu

tiga provinsi yang memiliki jumlah usaha akomodasi terendah di Indonesia adalah

Provinsi Gorontalo, Kalimantan Utara, dan Bangka Belitung.

74
Apabila jumlah usaha akomodasi di masing-masing provinsi dibandingkan

dengan tingkat penganggurannya dari tahun ke tahun, maka dapat dilihat

bagaimana pola perkembangannya. Dapat dilihat pada Tabel 2 yang

membandingkan antara jumlah usaha akomodasi dan tingkat pengangguran

terbuka dari tahun 2015-2019. Pada tahun 2016 sebagian besar provinsi di

Indonesia menunjukkan peningkatan pada jumlah usaha akomodasinya dan diikuti

dengan penurunan pada tingkat pengangguran terbuka. Namun terdapat pula

seperti Provinsi Jawa Barat yang mengalami kenaikan pada jumlah usaha

akomodasi sementara TPT ikut naik, disisi lain Provinsi Kalimantan Selatan dan

Kalimantan Timur yang mengalami penurunan pada jumlah usaha akomodasi dan

diikuti dengan peningkatan TPT.

Pada tahun 2017 terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada jumlah usaha

akomodasi di beberapa provinsi, hal ini dipicu dengan adanya percepatan

pembangunan infrastruktur transportasi yang menunjang 10 kawasan strategis

pariwisata nasional (KSPN). Kemudian pada tahun 2018 dan 2019 juga sebagian

besar provinsi di Indonesia mengalami kenaikan pada jumlah usaha akomodasi

dan diikuti dengan penurunan pada TPT-nya, sehingga dapat dilihat bahwa pola

dari TPT akan menurun apabila jumlah usaha akomodasi meningkat, begitu pula

sebaliknya TPT akan meningkat saat jumlah usaha akomodasi turun.

75
Tabel 2 Jumlah usaha akomodasi dan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut
provinsi di Indonesia tahun 2015-2019

Jumlah Usaha Akomodasi (Unit) Tingkat Pengangguran Terbuka (Persen)


Provinsi
2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019
(1) (2) (3)
Aceh 338 366 409 451 463 9.93 7.57 6.57 6.36 6.2
Sumatera Utara 780 848 1109 1156 1191 6.71 5.84 5.6 5.56 5.41
Sumatera Barat 370 374 576 588 708 6.89 5.09 5.58 5.55 5.33
Riau 409 419 496 501 503 7.83 7.43 6.22 6.2 5.97
Jambi 184 199 210 228 225 4.34 4 3.87 3.86 4.19
Sumatera Selatan 341 352 350 447 429 6.07 4.31 4.39 4.23 4.48
Bengkulu 155 222 177 184 190 4.91 3.3 3.74 3.51 3.39
Lampung 239 301 323 334 372 5.14 4.62 4.33 4.06 4.03
Kep. Bangka Belitung 133 176 133 135 166 6.29 2.6 3.78 3.65 3.62
Kep. Riau 429 426 446 453 456 6.2 7.69 7.16 7.12 6.91
DKI Jakarta 437 440 427 768 991 7.23 6.12 7.14 6.24 6.22
Jawa Barat 1718 1722 2854 3133 3191 8.72 8.89 8.22 8.17 7.99
Jawa Tengah 1533 1535 1958 1992 2036 4.99 4.63 4.57 4.51 4.49
D.I. Yogyakarta 1165 1170 1549 1617 1817 4.07 2.72 3.02 3.35 3.14
Jawa Timur 2234 2294 3343 3369 4132 4.47 4.21 4 3.99 3.92
Banten 311 313 384 442 490 9.55 8.92 9.28 8.52 8.11
Bali 2079 2105 4874 4419 4874 1.99 1.89 1.48 1.37 1.52
Nusa Tenggara Barat 742 889 889 1055 1211 5.69 3.94 3.32 3.72 3.42
Nusa Tenggara Timur 334 341 423 495 529 3.83 3.25 3.27 3.01 3.35
Kalimantan Barat 400 427 445 502 493 5.15 4.23 4.36 4.26 4.45
Kalimantan Tengah 378 395 411 490 460 4.54 4.82 4.23 4.01 4.1
Kalimantan Selatan 318 316 344 406 418 4.92 5.45 4.77 4.5 4.31
Kalimantan Timur 555 549 677 687 706 7.5 7.95 6.91 6.6 6.09
Kalimantan Utara 134 140 138 152 160 5.68 5.23 5.54 5.22 4.4
Sulawesi Utara 236 242 272 310 320 9.03 6.18 7.18 6.86 6.25
Sulawesi Tengah 474 518 499 593 599 4.1 3.29 3.81 3.43 3.15
Sulawesi Selatan 638 641 894 945 951 5.95 4.8 5.61 5.34 4.97
Sulawesi Tenggara 431 437 490 491 470 5.55 2.72 3.3 3.26 3.59
Gorontalo 96 98 98 113 111 4.65 2.76 4.28 4.03 4.06
Maluku 203 235 341 342 343 9.93 7.05 9.29 7.27 7.08
Maluku Utara 198 199 231 267 266 6.05 4.01 5.33 4.77 4.97
Papua Barat 117 125 160 215 228 8.08 7.46 6.49 6.3 6.24
Papua 178 179 202 265 261 3.99 3.35 3.62 3.2 3.65
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

Gambaran Umum Jumlah Tamu Hotel di Indonesia

76
Pada Gambar 10 ditunjukkan jumlah tamu hotel di Indonesia secara umum

mengalami kenaikan. Pada tahun 2015 jumlah tamu hotel di Indonesia mencapai

59,73 juta jiwa, kemudian tahun 2016 mengalami kenaikan cukup tinggi menjadi

78,51 juta jiwa, namun pada tahun 2017 mengalami sedikit penurunan sebesar

3,45 juta jiwa menjadi 75,06 juta jiwa dan kembali mengalami kenaikan pada

tahun 2018 menjadi 86,19 hingga tahun 2019 menjadi 87,12 juta

100
90 86.18619 87.12053
78.50877 75.0566
80
70
59.73227
60
Juta Jiwa

50
40
30
20
10
0
2015 2016 2017 2018 2019
Tahun

Jumlah Tamu Hotel


Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 10. Jumlah tamu hotel di Indonesia tahun 2015-2019

Jumlah tamu hotel secara umum di Indonesia menunjukkan kenaikan

meskipun terjadi sedikit penurunan di tahun 2017, namun kembali bisa

mengalami kenaikan ditahun 2018 dan 2019. Kemudian perlu diketahui

perkembangan jumlah tamu hotel di seluruh provinsi di Indonesia untuk melihat

provinsi mana yang memiliki tamu hotel yang tinggi dan provinsi mana yang

memiliki tamu hotel yang rendah untuk melihat potensi pariwisata dari masing-

masing provinsi tersebut. Grafik perkembangannya dapat dilihat pada gambar 11

berikut :

77
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 11. Jumlah tamu hotel menurut provinsi di Indonesia tahun 2015-2019

Grafik perkembangan jumlah tamu hotel yang ditunjukkan dalam Gambar

11 mengalami peningkatan tiap tahunnya untuk sebagian besar provinsi di

Indonesia, tiga provinsi dengan jumlah tamu hotel tertinggi adalah Provinsi DKI

Jakarta, Jawa Barat, dan Bali. DKI Jakarta dan Bali memiliki pencapaian jumlah

tamu hotel yang sangat tinggi yaitu hingga 14 juta jiwa, tamu hotel yang

berjumlah tinggi menunjukkan bahwa kepariwisataan yang berada di provinsi

tersebut dikelola dengan baik terutama dari penyediaan akomodasinya. Sementara

itu untuk tiga provinsi dengan jumlah tamu hotel terendah berada pada provinsi

Maluku Utara, Kalimantan Utara, dan Gorontalo.

Dilihat dari perkembangan jumlah tamu hotel dan tingkat pengangguran

terbuka di masing-masing provinsi seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3, dapat

diketahui pola pergerakan dari kedua variabel tersebut. Pada tahun 2016 jumlah

78
tamu hotel di berbagai provinsi di Indonesia menunjukkan peningkatan dan

diwaktu yang sama TPT ikut turun, di tahun tersebut juga tercapai jumlah tamu

hotel tertinggi yaitu sebesar 15,06 juta jiwa di Provinsi DKI Jakarta. Sementara

tahun 2017 terjadi beberapa penurunan jumlah tamu hotel yang cukup signifikan

di beberapa provinsi di Indonesia terutama DKI Jakarta yang dari tahun

sebelumnya 15 juta menjadi 10 juta sehingga TPT di provinsi tersebut ikut naik.

Sementara di provinsi lain kenaikan dan penurunannya tidak terlalu drastis,

hingga pada tahun 2018 jumlah tamu hotel kembali mengalami peningkatan

diberbagai provinsi dan Provinsi Bali mengalami peningkatan yang cukup drastis

dari yang awalnya 8,30 juta jiwa menjadi 14,40 juta jiwa, hal ini juga otomatis

membuat TPT di provinsi tersebut turun dari 1,89 persen menjadi 1,48 persen.

Terakhir di tahun 2019 penurunan drastis terjadi di Provinsi Bali dari kenaikan

sebesar 6,10 juta jiwa di tahun 2018, turun menjadi 8,87 juta jiwa dan menaikkan

TPT-nya menjadi 1,52 persen. Namun di beberapa provinsi lainnya masih

menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, sehingga secara umum dapat

diketahui bahwa terdapat pengaruh negatif antara kedua variabel tersebut.

Tabel 3 Jumlah tamu hotel dan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut provinsi di
Indonesia tahun 2015-2019

Tingkat Pengangguran Terbuka


Jumlah Tamu Hotel (Juta Jiwa)
Provinsi (Persen)
2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019
(1) (2) (3)

79
Aceh 0.29 0.29 0.32 0.42 0.51 9.93 7.57 6.57 6.36 6.2
Sumatera Utara 2.94 3.13 3.86 3.92 4.27 6.71 5.84 5.6 5.56 5.41
Sumatera Barat 0.93 1.91 1.27 1.52 1.73 6.89 5.09 5.58 5.55 5.33
Riau 0.83 1.58 1.92 1.94 2.10 7.83 7.43 6.22 6.2 5.97
Jambi 0.36 0.51 0.55 0.64 0.63 4.34 4 3.87 3.86 4.19
Sumatera Selatan 1.09 1.46 1.48 2.03 1.68 6.07 4.31 4.39 4.23 4.48
Bengkulu 0.10 0.24 0.16 0.17 0.22 4.91 3.3 3.74 3.51 3.39
Lampung 0.19 0.57 0.59 0.68 0.79 5.14 4.62 4.33 4.06 4.03
Kep. Bangka Belitung 0.27 0.70 0.43 0.44 0.68 6.29 2.6 3.78 3.65 3.62
Kep. Riau 5.22 2.46 2.73 3.10 3.63 6.2 7.69 7.16 7.12 6.91
15.0 11.7
DKI Jakarta 10.13 10.16 12.53 7.23 6.12 7.14 6.24 6.22
6 9
12.5
Jawa Barat 9.85 9.04 10.75 13.35 8.72 8.89 8.22 8.17 7.99
9
Jawa Tengah 5.00 6.46 6.58 6.75 7.37 4.99 4.63 4.57 4.51 4.49
DI Yogyakarta 2.38 5.24 4.16 3.80 3.96 4.07 2.72 3.02 3.35 3.14
Jawa Timur 4.02 6.84 6.93 7.04 7.79 4.47 4.21 4 3.99 3.92
Banten 2.20 2.24 3.29 3.41 3.75 9.55 8.92 9.28 8.52 8.11
14.4
Bali 7.18 8.28 8.30 8.87 1.99 1.89 1.48 1.37 1.52
0
Nusa Tenggara Barat 0.59 0.75 1.42 0.87 1.32 5.69 3.94 3.32 3.72 3.42
Nusa Tenggara Timur 0.26 0.50 0.43 0.55 0.51 3.83 3.25 3.27 3.01 3.35
Kalimantan Barat 0.65 1.01 1.30 1.08 1.06 5.15 4.23 4.36 4.26 4.45
Kalimantan Tengah 0.13 0.30 0.40 0.48 0.42 4.54 4.82 4.23 4.01 4.1
Kalimantan Selatan 0.98 1.08 1.09 1.13 1.14 4.92 5.45 4.77 4.5 4.31
Kalimantan Timur 1.42 1.64 1.92 1.94 2.10 7.5 7.95 6.91 6.6 6.09
Kalimantan Utara 0.07 0.08 0.07 0.12 0.13 5.68 5.23 5.54 5.22 4.4
Sulawesi Utara 0.36 0.99 0.83 0.84 0.96 9.03 6.18 7.18 6.86 6.25
Sulawesi Tengah 0.13 0.26 0.16 0.26 0.36 4.1 3.29 3.81 3.43 3.15
Sulawesi Selatan 1.40 4.12 2.73 2.94 3.97 5.95 4.8 5.61 5.34 4.97
Sulawesi Tenggara 0.17 0.32 0.32 0.29 0.24 5.55 2.72 3.3 3.26 3.59
Gorontalo 0.06 0.18 0.11 0.16 0.13 4.65 2.76 4.28 4.03 4.06
Maluku 0.12 0.53 0.13 0.14 0.17 9.93 7.05 9.29 7.27 7.08
Maluku Utara 0.04 0.09 0.07 0.07 0.09 6.05 4.01 5.33 4.77 4.97
Papua Barat 0.09 0.17 0.18 0.19 0.26 8.08 7.46 6.49 6.3 6.24
Papua 0.27 0.46 0.43 0.50 0.37 3.99 3.35 3.62 3.2 3.65
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

Gambaran Umum Jumlah Investasi Pariwisata di Indonesia

Perkembangan investasi pariwisata di Indonesia mengalami peningkatan

dari tahun 2015-2019 seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 12. Jumlah

80
investasi pariwisata di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 6687,10 triliun

Rupiah, kemudian tahun 2016 kembali terjadi peningkatan hingga mencapai

7864,55 triliun Rupiah dan pada tahun 2017 terjadi perlambatan peningkatan

menjadi 8457,737 triliun Rupiah. Namun mengalami peningkatan yang cukup

drastis pada tahun 2018 dan 2019 dengan capaian investasi masing-masing

sebesar 13.600,43 triliun Rupiah dan 21.145,52 triliun Rupiah.

25000
21145.5
20000

13600.4
Triliun Rupiah

15000

10000 7864.5 8457.7


6687.1
5000

0
2015 2016 2017 2018 2019
Tahun

Investasi Pariwisata
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Gambar 12. Jumlah investasi pariwisata di Indonesia tahun 2015-2019

Melihat terjadinya peningkatan investasi pariwisata di Indonesia

dari tahun 2015-2019, menunjukkan bahwa sektor pariwisata berkembang

cukup pesat diberbagai provinsi. Oleh karena itu, perlu diketahui

gambaran secara umum jumlah investasi pariwisata berdasarkan provinsi

di Indonesia, untuk mengetahui bagaimana perkembangan dan potensi dari

masing-masing provinsi.

81
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) (diolah)

Gambar 13. Jumlah investasi pariwisata menurut provinsi tahun 2015-2019

Jumlah investasi pariwisata menurut provinsi dalam Gambar 13 menunjukkan

bahwa hanya sebagian kecil provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah besar

dalam investasi pariwisatanya serta dari tahun ke tahun perkembangan jumlah

investasi pariwisatanya cenderung naik. Secara berurutan tiga provinsi tertinggi

adalah Bali, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau. Hasil ini menunjukkan bahwa

peran sektor pariwisata di provinsi tersebut sangatlah tinggi, terbukti dengan

PDRB sektor pariwisata dalam periode 2015-2019 DKI Jakarta dan Bali berada di

posisi teratas dengan rata-rata 81,74 triliun rupiah dan 28,78 triliun rupiah.

Sementara untuk tiga provinsi dengan jumlah investasi pariwisata paling kecil

adalah Provinsi Kalimantan Utara, Bengkulu, dan Maluku.

Dengan melihat perkembangan jumlah investasi pariwisata dari tahun ke

tahun, bisa diketahui bagaimana pola pengaruhnya terhadap kenaikan dan

82
penurunan terhadap TPT di masing-masing provinsi dari tahun ke tahun, hal ini

bisa dilihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4 Jumlah investasi dan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut provinsi di


Indonesia tahun 2015-2019

Tingkat Pengangguran Terbuka


Jumlah Investasi Pariwisata (Triliun Rupiah)
Provinsi (Persen)
2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019
(1) (2) (3)
Aceh 3.07 5.08 13.37 18.99 988.81 9.93 7.57 6.57 6.36 6.2
Sumatera Utara 3.11 27.72 38.94 41.08 196.74 6.71 5.84 5.6 5.56 5.41
Sumatera Barat 7.21 310.53 10.29 10.30 50.47 6.89 5.09 5.58 5.55 5.33
Riau 0.52 0.89 0.91 6.18 9.19 7.83 7.43 6.22 6.2 5.97
Jambi 0.40 0.41 0.42 5.27 3.54 4.34 4 3.87 3.86 4.19
Sumatera Selatan 5.80 7.42 0.67 12.94 9.04 6.07 4.31 4.39 4.23 4.48
Bengkulu 0.0000003 1.71 0.62 1.01 1.68 4.91 3.3 3.74 3.51 3.39
Lampung 0.49 0.52 1.01 7.06 28.65 5.14 4.62 4.33 4.06 4.03
Kep. Bangka Belitung 0.06 110.14 0.06 0.17 0.87 6.29 2.6 3.78 3.65 3.62
Kep. Riau 688.12 431.05 955.12 1831.74 2862.21 6.2 7.69 7.16 7.12 6.91
1434.3
DKI Jakarta 534.31 1233.68 1722.03 5372.01 7.23 6.12 7.14 6.24 6.22
6
Jawa Barat 1614.89 203.69 215.39 1148.74 1531.96 8.72 8.89 8.22 8.17 7.99
Jawa Tengah 65.15 71.04 173.31 239.67 356.39 4.99 4.63 4.57 4.51 4.49
DI Yogyakarta 14.77 19.01 54.02 38.39 38.55 4.07 2.72 3.02 3.35 3.14
Jawa Timur 12.12 41.10 88.40 89.69 129.72 4.47 4.21 4 3.99 3.92
Banten 82.56 246.52 160.51 311.70 380.93 9.55 8.92 9.28 8.52 8.11
3329.8
Bali 3190.16 3358.94 5932.70 7437.57 1.99 1.89 1.48 1.37 1.52
7
Nusa Tenggara Barat 237.03 416.57 1750.96 1104.63 640.76 5.69 3.94 3.32 3.72 3.42
Nusa Tenggara Timur 145.07 232.53 217.63 499.29 474.47 3.83 3.25 3.27 3.01 3.35
Kalimantan Barat 8.77 61.49 27.86 33.08 25.53 5.15 4.23 4.36 4.26 4.45
Kalimantan Tengah 1.57 1.74 4.03 7.06 6.41 4.54 4.82 4.23 4.01 4.1
Kalimantan Selatan 2.12 0.31 1.24 1.27 1.56 4.92 5.45 4.77 4.5 4.31
Kalimantan Timur 9.87 0.64 20.32 21.41 22.30 7.5 7.95 6.91 6.6 6.09
Kalimantan Utara 0.00045 0.01 0.01 0.01 0.04 5.68 5.23 5.54 5.22 4.4
Sulawesi Utara 44.83 612.42 76.92 377.23 382.35 9.03 6.18 7.18 6.86 6.25
Sulawesi Tengah 1.25 24.17 2.96 8.36 27.00 4.1 3.29 3.81 3.43 3.15
Sulawesi Selatan 7.02 60.12 25.67 27.26 35.14 5.95 4.8 5.61 5.34 4.97
Sulawesi Tenggara 0.09 126.00 0.69 2.24 0.19 5.55 2.72 3.3 3.26 3.59
Gorontalo 0.04 43.13 0.27 10.82 0.12 4.65 2.76 4.28 4.03 4.06
Maluku 0.35 2.84 0.37 0.63 0.94 9.93 7.05 9.29 7.27 7.08
Maluku Utara 5.41 31.40 7.58 28.72 1.45 6.05 4.01 5.33 4.77 4.97
Papua Barat 0.81 9.36 15.43 57.92 126.73 8.08 7.46 6.49 6.3 6.24
Papua 0.13 0.77 0.13 2.82 2.21 3.99 3.35 3.62 3.2 3.65
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Badan Pusat Statistik (diolah)

Perkembangan jumlah investasi pariwisata dan juga Tingkat

Pengangguran Terbuka di masing-masing provinsi tahun 2015-2019 yang

83
ditunjukkan dalam Tabel 4 secara umum dapat dilihat pola yang tidak teratur,

seperti pada tahun 2016 sebagian besar jumlah investasi pariwisata di beberapa

provinsi mengalami peningkatan, bahkan terdapat peningkatan drastis seperti di

provinsi Bangka Belitung yang pada tahun 2015 sebesar 0,06 triliun Rupiah naik

dan pada tahun 2016 sebesar 110,14 triliun Rupiah. Hal tersebut juga

menyebabkan penurunan TPT yang sangat ekstrim di provinsi tersebut dari yang

awalnya 6,29 persen menjadi 2 persen, disisi lain penurunan ekstrim terjadi di

provinsi Jawa Barat dari yang awalnya 1614,89 triliun rupiah menjadi 203,69

triliun Rupiah, namun tidak diikuti dengan penurunan yang ekstrim dari TPT-

nya.

Pada tahun 2017 terjadi penurunan jumlah investasi pariwisata disebagian

besar provinsi, hal ini menyebabkan terjadinya perlambatan pada peningkatan

jumlah investasi pariwisata di Indonesia serta diikuti dengan peningkatan TPT

beberapa provinsi. Namun pada tahun 2018 dan 2019 terjadi peningkatan kembali

disebagian besar provinsi dan hal tersebut diikuti pula dengan penurunan TPT di

masing-masing provinsi, sehinggga secara umum dapat dilihat bahwa terdapat

pengaruh yang negatif antara jumlah investasi pariwisata dengan TPT, meskipun

dibeberapa tahun terjadi kenaikan dan penurunan yang drastis pada jumlah

investasi pariwisatanya tetapi tidak diikuti pula dengan kenaikan atau penurunan

TPT yang drastis pula.

Gambaran Umum Tingkat Penghunian Kamar Hotel di Indonesia

84
Tingkat Penghunian Kamar Hotel (TPKH) menggambarkan jumlah yang

telah disewakan dibandingkan dengan kamar yang tersedia, hal ini berarti semakin

tinggi TPKH maka tinggi pula permintaan akan hospitality di suatu daerah.

Gambar 14 menunjukkan perkembangan TPKH di Indonesia dari tahun 2015-

2019, dapat diketahui bahwa pada tahun 2015 TPKH di Indonesia mencapai 48,07

persen yang berarti kurang dari setengah pada total kamar yang tersedia di hotel di

Indonesia dihuni. Kemudian terjadi peningkatan pada tahun 2016 menjadi 53,02

persen dan terjadi sedikit penurunan di tahun 2017 sebesar 1,57 persen menjadi

51,45 persen, namun mengalami kenaikan kembali di tahun 2018 menjadi 54,23

persen serta terakhir di tahun 2019 terjadi peningkatan hingga mencapai 55,78

persen. Secara umum dapat dilihat bahwa TPKH di Indonesia tidak menunjukkan

peningkatan yang cukup drastis, tetapi pada tahun 2016-2019 TPKH sudah diatas

50 persen yang berarti hunian kamar hotel sudah lebih dari setengah dari total

kamar yang tersedia.

58.00
55.78
56.00
54.23
54.00 53.02

52.00 51.45
Persen

50.00
48.07
48.00

46.00

44.00
2015 2016 2017 2018 2019
Tahun

TPKH
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

85
Gambar 14. Grafik Tingkat Penghunian Kamar Hotel di Indonesia tahun 2015-
2019

Dengan melihat bahwa TPKH secara umum di Indonesia mengalami

peningkatan dari tahun 2015-2019 bahkan mencapai diatas 50 persen , hal ini

mengindikasikan bahwa permintaan akan hotel cukup tinggi. Oleh karena itu,

perlu diketahui gambaran dalam tingkat provinsi untuk melihat bagaimana

perkembangan TPKH serta provinsi mana yang memiliki tingkat hunian yang

tinggi dan provinsi mana yang memiliki tingkat hunian rendah. Hal tersebut dapat

dilihat pada grafik Tingkat Penghunian Kamar Hotel menurut provinsi di

Indonesia tahun 2015-2019 berikut.

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)


Gambar 15. Tingkat Penghunian Kamar Hotel menurut Provinsi di Indonesia tahun
2015-2019

Pada Gambar 15 dapat dilihat perkembangan TPKH menurut provinsi di

Indonesia periode tahun 2015-2019 yang menunjukkan perubahan yang tidak

terlalu fluktuatif dari tahun ke tahun namun cenderung mengalami kenaikan. Tiga

86
provinsi yang memiliki rata-rata TPKH yang tinggi dari tahun 2015-2019 adalah

Provinsi Bali, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta hal ini menunjukkan bahwa

fasilitas dan pelayanan hotel yang diberikan pada tiga provinsi tersebut sangat

baik. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Suarthana (2006:5),

faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan tingkat hunian kamar

antara lain adalah lokasi hotel, fasilitas hotel, pelayanan kamar, harga kamar atau

tarif sewa kamar, dan promosi. Kemudian tiga provinsi yang memiliki rata-rata

TPKH terendah pada tahun 2015-2019 adalah Provinsi Maluku, Bangka Belitung,

dan Sulawesi Tenggara.

Perkembangan TPKH dan TPT berdasarkan provinsi di Indonesia tahun

2015-2019 ditunjukkan pada Tabel 5, pada tahun 2015 TPKH sebagian besar

provinsi di Indonesia berada di bawah 50 persen, dengan TPKH yang paling

tinggi pada saat itu berada di Provinsi Bali dengan 61,13 persen dan Provinsi

Papua Barat dengan TPKH paling rendah sebesar 33,59 persen. Kemudian pada

tahun 2016 terjadi peningkatan yang cukup tinggi di sebagian besar provinsi

peningkatan tersebut juga diikuti dengan penurunan TPT pada masing-masing

provinsi, terutama Provinsi Sulawesi Utara dengan TPKH sebesar 71,12 persen

menjadi provinsi dengan TPKH tertinggi. Namun pada tahun 2017 penurunan

TPKH terjadi dan diikuti kenaikan TPT pada sebagian besar provinsi, selanjutnya

tahun 2018 terjadi peningkatan kembali di hampir semua provinsi dan Provinsi

Bali mencapai TPKH tertingginya yaitu sebesar 75,19 persen pada tahun 2018,

peningkatan TPKH di hampir semua provinsi ini diikuti juga dengan penurunan

TPT pada masing-masing provinsi. Terakhir pada tahun 2019 juga terjadi

kenaikan di berbagai provinsi bersamaan dengan penurunan pada TPT-nya,

87
sehingga dapat dilihat bahwa kenaikan TPKH pada sebagian besar provinsi diikuti

dengan penurunan pada TPT dan begitupula sebaliknya penurunan pada TPKH

diikuti dengan kenaikan pada TPT, maka secara umum dapat dilihat terjadi

hubungan negatif antara TPKH dan TPT.

Tabel 5 Tingkat Penghunian Kamar Hotel dan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut
provinsi di Indonesia tahun 2015-2019
Tingkat Penghunian Kamar Hotel Tingkat Pengangguran Terbuka
Provinsi (Persen) (Persen)
2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019
(1) (2) (3)
48.5
Aceh 43.18 43.58 45.58 46.03 9.93 7.57 6.57 6.36 6.2
8
63.8
Sumatera Utara 48.86 54.19 55.22 56.87 6.71 5.84 5.6 5.56 5.41
5
55.0
Sumatera Barat 54.32 56.85 56 56.18 6.89 5.09 5.58 5.55 5.33
3
43.4
Riau 47.24 47.56 48.51 48.71 7.83 7.43 6.22 6.2 5.97
4
Jambi 45.49 46.1 49.6 49.97 48.2 4.34 4 3.87 3.86 4.19
60.1
Sumatera Selatan 52.81 58.88 53.99 61.79 6.07 4.31 4.39 4.23 4.48
6
64.0
Bengkulu 58.35 58.91 60.45 62 4.91 3.3 3.74 3.51 3.39
6
60.3
Lampung 50.43 56.08 58.91 59.55 5.14 4.62 4.33 4.06 4.03
1
40.0
Kep. Bangka Belitung 34.89 50.97 39.4 39.97 6.29 2.6 3.78 3.65 3.62
2
55.8
Kep. Riau 57.33 49.41 52.31 52.84 6.2 7.69 7.16 7.12 6.91
4
71.6
DKI Jakarta 57.89 66.65 59.71 67.66 7.23 6.12 7.14 6.24 6.22
1
58.7
Jawa Barat 51.79 54.47 55.14 56.8 8.72 8.89 8.22 8.17 7.99
6
49.1
Jawa Tengah 45.49 46.76 47.46 48.34 4.99 4.63 4.57 4.51 4.49
7
58.9
DI Yogyakarta 57.24 68.99 59.06 58.55 4.07 2.72 3.02 3.35 3.14
1
65.3
Jawa Timur 55.82 56.54 57.2 59.57 4.47 4.21 4 3.99 3.92
5
Banten 51.57 53.88 54.11 54.47 60.9 9.55 8.92 9.28 8.52 8.11
64.7
Bali 61.13 61.74 64.24 75.19 1.99 1.89 1.48 1.37 1.52
2
Nusa Tenggara Barat 42.23 42.75 47.91 43.85 52.1 5.69 3.94 3.32 3.72 3.42

88
8
54.6
Nusa Tenggara Timur 51.48 52.17 53.65 56.62 3.83 3.25 3.27 3.01 3.35
7
51.1
Kalimantan Barat 47.43 54.14 47.74 53.34 5.15 4.23 4.36 4.26 4.45
1
57.7
Kalimantan Tengah 56.51 55.76 56.71 59.59 4.54 4.82 4.23 4.01 4.1
4
54.9
Kalimantan Selatan 43.62 43.1 48.57 50.72 4.92 5.45 4.77 4.5 4.31
9
67.6
Kalimantan Timur 50.39 50.06 51.34 57.7 7.5 7.95 6.91 6.6 6.09
6
61.0
Kalimantan Utara 31.6 43.01 41.31 46.1 5.68 5.23 5.54 5.22 4.4
7
67.5
Sulawesi Utara 60.6 71.12 62.62 64.4 9.03 6.18 7.18 6.86 6.25
1
64.5
Sulawesi Tengah 47.26 59.07 50.13 60.56 4.1 3.29 3.81 3.43 3.15
5
59.3
Sulawesi Selatan 44.68 51.03 45.75 50.75 5.95 4.8 5.61 5.34 4.97
9
39.3
Sulawesi Tenggara 38.76 48.31 41.34 40.43 5.55 2.72 3.3 3.26 3.59
7
Gorontalo 43.39 49.74 46.19 47.64 46.9 4.65 2.76 4.28 4.03 4.06
39.2
Maluku 36.02 40.2 37.5 38.1 9.93 7.05 9.29 7.27 7.08
1
46.1
Maluku Utara 41.67 51 45.86 50.44 6.05 4.01 5.33 4.77 4.97
3
59.0
Papua Barat 33.59 49.95 51.16 54.2 8.08 7.46 6.49 6.3 6.24
3
50.3
Papua 43.39 56.68 53.28 60.8 3.99 3.35 3.62 3.2 3.65
4
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

4.2 Pengaruh Variabel Komponen Sektor Pariwisata Terhadap Tingkat


Pengangguran Terbuka

Untuk mengetahui pengaruh variabel komponen sektor pariwisata

terhadap TPT dapat dilakukan dengan analisis regresi data panel, dengan

mengikuti prosedur analisis yang diawali dengan pengajuan model, melakukan uji

model estimasi yang tepat, pemeriksaan struktur matriks varians-kovarians, uji

keberartian model dan pemeriksaan koefisien determinasi, uji asumsi klasik, dan

terakhir interpretasi model.

Pengajuan Model

89
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam analisis regresi data panel

adalah mengajukan model penelitian dalam hal ini model yang diajukan adalah

model CEM, FEM, dan REM sesuai yang tercantum pada persamaan (31), (32)

dan (33), untuk ketiga model yang diajukan tersebut dapat dilihat lebih

lengkapnya pada lampiran 1.

Tahapan kedua setelah pengajuan model adalah melakukan pengujian

model, yaitu diawali dengan uji Chow untuk mengetahui model estimasi yang

tepat digunakan dalam penelitian antara FEM dan CEM. Hipotesis nol dari uji

Chow adalah CEM lebih tepat digunakan daripada FEM sementara hipotesis

alternatifnya adalah FEM lebih tepat digunakan daripada CEM, pengujian

dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak eviews 10.

Hasil uji Chow dapat dilihat pada Tabel 6, hasilnya menunjukkan bahwa

peluang dari cross-section F bernilai 0,000, hasil ini lebih kecil dari tingkat

signifikansi yang diajukan yaitu sebesar 0,05 sehingga keputusan yang diambil

adalah hipotesis nol ditolak dan FEM merupakan model yang tepat digunakan

dalam penelitian ini. Setelah didapatkan hasil model yang tepat adalah FEM dari

uji Chow maka lanjut ke uji berikutnya yaitu uji Hausman.

Tabel 6 Output Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests


Equation: FEM
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 62.031564 (32,128) 0.0000


Cross-section Chi-square 462.633354 32 0.0000

Sumber : Hasil pengolahan software eviews 10

90
Uji Hausman dilakukan untuk mengetahui model estimasi yang tepat

antara FEM dan REM, statistik uji dari uji Hausman mengikuti distribusi Chi-

Square. Pengujian ini dilakukan menggunakan perangkat lunak eviews 10, hasil

pengujian dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 7 Output Uji Hausman


Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: REM
Test cross-section random effects

Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 45.502872 4 0.0000

Sumber : Hasil pengolahan software eviews 10

Berdasarkan hasil uji Hausman didapatkan bahwa peluang dari cross-

section random bernilai 0,000, peluang ini bernilai lebih kecil dari tingkat

signifikansi yang diajukan yaitu sebesar 0,05 maka dapat diambil keputusan

bahwa hipotesis nol ditolak sehingga model yang tepat digunakan adalah FEM.

Setelah didapatkan model estimasi yang tepat yaitu FEM maka langkah

selanjutnya adalah menguji struktur matriks varians-kovarians residualnya dengan

uji LM untuk melihat apakah matriks yang terbentuk bersifat homoskedastik atau

heteroskedastik, uji ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak

Microsoft Office Excel 2010. Hasil uji LM dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 8 Output uji Lagrange Multiplier

LM hitung 2
Nilai Kritis χ (0.05,32)
(1) (2)
81,5093 46,1942
Sumber : Hasil pengolahan software Microsoft Excel 2010

Berdasarkan hasil uji LM , didapatkan bahwa nilai statistik uji LM hitung

2
sebesar 81,5093 dan nilai ini lebih besar dari nilai kritis χ (0.05,32) yaitu 46,1942.

91
Sehingga dapat diambil keputusan hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa

struktur matriks varians-kovarians residualnya bersifat heteroskedastik.

Apabila hasil uji LM didapatkan bahwa struktur matriks varians-

kovariansn residual model FEM yang digunakan bersifat heteroskedastik maka

akan dilanjutkan dengan uji berikutnya yaitu uji ❑LM . Uji❑LM bertujuan untuk

mengetahui apakah matriks varians-kovarians residual yang terbentuk memiliki

cross-sectional correlation atau tidak, pengujian ini dilakukan dengan

menggunakan perangkat lunak Microsoft Office Excel 2010, hasil pengujian ini

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 9 Output uji ❑LM


2
❑LM Nilai Kritis χ (0.05 , (33 (32−1) ))
2
(1) (2)
887,3707 582,5640
Sumber : Hasil pengolahan software Microsoft Excel 2010

Berdassarkan hasil uji ❑LM ditunjukkan bahwa nilai statistik yang

dihasilkan sebesar 887,3707 apabila dibandingkan dengan nilai kritis


2
χ
[ (
0.05 ,
33 (32−1)
2 )] yaitu sebesar 582,5640, nilainya lebih besar sehingga dapat diambil
keputusan hipotesis nol ditolak yang artinya matriks varians-kovarians residual

model FEM yang digunakan bersifat heteroskedastik dengan cross-sectional

correlation. Maka metode estimasi yang digunakan adalah Seemingly Unrelated

Regression (SUR).

Model FEM dengan metode estimasi Seemingly Unrelated Regression

(SUR) dapat dilihat outputnya pada tabel berikut .

92
Tabel 10 Output Model Fixed Effect dengan metode estimasi Seemingly Unrelated
Regression
Dependent Variable: TPT
Method: Panel Least Squares
Date: 03/18/21 Time: 19:20
Sample: 2015 2019
Periods included: 5
Cross-sections included: 33
Total panel (balanced) observations: 165
Cross-section SUR (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 11.05516 1.147968 9.630194 0.0000


LNJTH -0.961716 0.137852 -6.976423 0.0000
LNJUA -0.573270 0.262613 -2.182941 0.0309
LNINVT -0.074430 0.024529 -3.034415 0.0029
TPKH -0.022932 0.010872 -2.109370 0.0369

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.950560    Mean dependent var 5.197455


Adjusted R-squared 0.936655    S.D. dependent var 1.813083
S.E. of regression 0.456323    Akaike info criterion 1.463338
Sum squared resid 26.65353    Schwarz criterion 2.159823
Log likelihood -83.72538    Hannan-Quinn criter. 1.746065
F-statistic 68.36152    Durbin-Watson stat 1.847216
Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber : Hasil pengolahan software eviews 10

Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat output dari model hasil estimasi yang

terbentuk, sehingga dapat disusun menjadi persamaan model estimasi sebagai

berikut:

^¿ =¿
TPT (33)
¿signifikan pada taraf nyata 5 persen

Keterangan :

TPTit : Tingkat Pengangguran Terbuka provinsi ke-i pada tahun

ke-t

ln JTH ¿ : Jumlah tamu/wisatawan yang menginap di hotel pada

provinsi ke-i tahun ke-t

93
ln JUA ¿ : Jumlah usaha akomodasi di provinsi ke-i tahun ke-t

ln INVT ¿ : Jumlah investasi pariwisata di provinsi ke-i tahun ke-t

TPKH ¿ : Tingkat Penghunian Kamar Hotel di provinsi ke-i tahun

ke-t

αi : Efek Individu

Uji Asumsi Klasik

Langkah selanjutnya setelah mendapatkan model dan metode estimasi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji asumsi klasik. Tahapan awal

pengujian asumsi klasik adalah uji asumsi normalitas dengan menggunkan uji

Jarque-Berra, hasil uji terdapat pada lampiran 3. Hasilnya menunjukkan bahwa

peluang uji Jarque-Berra sebesar 0,0583 nilainya lebih besar dari tingkat

signifikansi yang diajukan yaitu sebesar 0,050, sehingga dapat disimpulkan bahwa

asumsi normalitas model yang digunakan terpenuhi.

Tahapan selanjutnya adalah asumsi homoskedastisitas, asumsi ini sudah

teratasi saat pengujian struktur matriks varians-kovarians residual dengan cross-

sectional correlation dan penggunaan metode estimasi Seemingly Unrelated

Regression (SUR).

Uji selanjutnya adalah uji asumsi non-autokorelasi dengan menggunakan

uji Durbin-Watson, hasil uji dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 11 Uji Durbin-Watson

Nilai d dU (4;165) (4-dU) (4;165)


(1) (2) (3)
1,8472 1,7953 2,2047

Dari Tabel 11 didapatkan bahwa nilai statistik d sebesar 1,8472, nilai ini

dihasilkan dari output model estimasi yang terbentuk pada tabel 4.9 dan nilai ini

94
berada diantara nilai dU sebesar 1,7953 dan 4-dU sebesar 2,207, sehingga dapat

dibuktikan bahwa asumsi non-autokorelasi dari model yang digunakan terpenuhi.

Uji asumsi klasik yang terakhir adalah uji asumsi non-multikolinieritas

dengan melihat nilai Variance Inflation Factor (VIF) , hasil uji ini dapat dilihat

pada tabel berikut.

Table 22 Output Variance Inflation Factor (VIF)


Variance Inflation Factors
Date: 03/18/21 Time: 19:20
Sample: 2015 2019
Included observations: 165

Coefficient Uncentered Centered


Variable Variance VIF VIF

C  1.317831  757.3201  NA


LNJTH  0.019003  1.647113  1.550233
LNJUA  0.068966  1500.347  2.761840
LNINVT  0.000602  94.56558  1.653072
TPKH  0.000118  190.3196  3.021633

Sumber : Hasil pengolahan software eviews 10


Hasil uji pada Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai centered VIF keempat variabel

independen bernilai kurang dari 10, sehingga dapat dibuktikan bahwa asumsi non-

multikolinieritas terpenuhi.

Uji Keberartian Model

Langkah selanjutnya setelah melakukan pengujian asumsi klasik adalah uji

keberartian model. Tahapan pertama yang dilakukan adalah memeriksa koefisien

determinasi (R2) dari model yang digunakan, hal ini dilakukan untuk melihat

seberapa besar model yang digunakan mampu menjelaskan pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependennya. Selanjutnya terdapat juga adjusted-R2

yang menunjukkan seberapa baik model yang digunakan mampu menjelaskan

variabel dependen dengan penyesuaian terhadap variabel independen, sehingga

dapat dibandingkan dengan model lainnya.

95
Hasil koefisien determinasi (R2) dan adjusted-R2 dapat dilihat pada Tabel

10, dari hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa nilai R 2 sebesar 95,05 persen

yang artinya variabel independen dalam model mampu menjelaskan variasi

variabel dependennya sebesar 95,05 persen dan sisanya 4,95 persen dijelaskan

oleh variabel lain. Kemudian untuk nilai adjusted-R2 didapatkan sebesar 93,66

persen, artinya dengan penyesuaian pada jumlah variabel independen dalam

model mampu menjelaskan variasi pada variabel dependennya sebesar 93,66

persen dan 6,34 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lain. Kedua hasil dari

pemeriksaan koefisien determinasi memiliki nilai yang tinggi sehingga model

tersebut sudah cukup baik dalam menjelaskan variasi pada variabel dependennya.

Selanjutnya didapatkan pada Tabel 10 bahwa nilai AIC dan SIC pada model yang

digunakan sebesar 1,4633 dan 2,1598. Nilai yang dihasilkan baik dari AIC

maupun SIC menunjukkan nilai yang kecil dibandingkan dengan model lain,

sehingga model yang digunakan sudah baik.

Kemudian dilakukan uji signifikansi simultan yang bertujuan untuk

mengetahui apakah variabel independen dalam model secara simultan atau

bersama-sama signifikan mempengaruhi variabel dependennya. Hasil uji dapat

dilihat pada Tabel 10 yang menunjukkan nilai F-statistic sebesar 68,36 dengan

probability F-statistics dari output model sebesar 0,000, nilai peluang tersebut

lebih kecil dibandingkan dengan taraf signifikansi yang diajukan yaitu sebesar

0,05. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa variabel independen yaitu

pertumbuhan jumlah tamu hotel, pertumbuhan jumlah usaha akomodasi,

pertumbuhan jumlah investasi pariwisata, dan Tingkat Penghunian Kamar Hotel

96
secara simultan atau bersama-sama signifikan mempengaruhi variabel dependen

Tingkat Pengangguran Terbuka.

Setelah melakukan uji signifikansi secara simultan dan didapatkan hasil

bahwa secara bersama-sama pertumbuhan jumlah tamu hotel, pertumbuhan

jumlah usaha akomodasi, pertumbuhan jumlah investasi pariwisata, dan Tingkat

Penghunian Kamar Hotel signifikan mempengaruhi Tingkat Pengangguran

Terbuka, maka selanjutnya melakukan uji signifikansi parsial. Uji ini bertujuan

untuk mengetahui apakah variabel indpenden secara parsial mempengaruhi

variabel dependen. Pengujian koefisien regresi secara parsial dapat dilihat melalui

nilai t-statistik, hasil pengujiannya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 13 Ringkasan uji parsial

Variabel Koefisien t-statistik p-value satu arah keterangan


(1) (2) (3) (4) (5)
Ln JUA -0,5732* -2,1829 0,0154 signifikan
Ln JTH -0,9617* -6,9764 0,0000 signifikan
Ln INVT -0,0744* -3,0344 0,0014 signifikan
TPKH -0,0229* -2,1093 0,0184 signifikan
Ket : (* signifikan pada taraf nyata 5 persen)

Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa keempat variabel independen

dalam model berpengaruh signifikan dan negatif terhadap variabel Tingkat

Pengangguran terbuka. Hasil ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam

penelitian yaitu terdapat pengaruh negatif dari variabel pertumbuhan jumlah tamu

hotel, pertumbuhan jumlah usaha akomodasi, pertumbuhan jumlah investasi

pariwisata, dan Tingkat Penghunian Kamar Hotel. Apabila melihat dari nilai t-

statistik maka kontribusi atau pengaruh terbesar secara berurutan didapatkan oleh

97
variabel jumlah tamu hotel, kemudian jumlah usaha akomodasi, jumlah investasi

pariwisata, dan terakhir tingkat penghunian kamar hotel.

Interpretasi Model

Interpretasi model dalam penelitian ini dapat dilihat melalui koefisien

regresi data panel variabel independen komponen sektor pariwisata terhadap

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Tabel 10. Berdasarkan output yang

dihasilkan, dapat ditunjukkan bahwa nilai intercept pada model yang digunakan

sebesar 11,0551, yang artinya dalam kondisi ceteris paribus Tingkat

Pengangguran Terbuka akan sebesar 11,055 persen dijumlah dengan efek individu

masing-masing provinsi.

Hasil estimasi model menunjukkan bahwa koefisien regresi masing-

masing variabel independen berpengaruh signifikan negatif terhadap Tingkat

Pengangguran Terbuka, hasil ini sudah sesuai dengan hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini. Jumlah tamu hotel diberbagai provinsi di Indonesia tahun

2015-2019 menunjukkan pergerakan yang cukup fluktuatif seperti yang ditujukan

pada gambar 11, meskipun demikian pada saat terjadi peningkatan pada jumlah

tamu hotel, TPT di sebagian besar provinsi di Indonesia juga mengalami

penurunan. Hal ini dikarenakan pengurus hotel dan/atau akomodasi menambah

pegawainya akibat dari tingginya permintaan akan hospitality. Oleh karena itu

secara tidak langsung akan membuat tingkat pengangguran turun. Hal tersebut

sesuai dengan hasil dari penelitian ini yaitu koefisien regresi dari jumlah tamu

hotel sebesar -0,9617, artinya bahwa setiap kenaikan pertumbuhan jumlah tamu

hotel sebesar 1 persen maka akan menurunkan Tingkat Pengangguran Terbuka

sebesar 0,9617 persen dengan asumsi variabel lain dalam keadaan ceteris paribus.

98
Variabel pertumbuhan jumlah tamu hotel merupakan variabel yang berpengaruh

paling tinggi dalam penurunan TPT diantara variabel-variabel independen lain.

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pavlic, Tolic dan Svilokos

(2014) kedatangan wisatawan yang menginap di hotel dapat menurunkan tingkat

pengangguran, serta penelitian Probo dan Dewie (2013) juga menunjukkan bahwa

kedatangan tamu hotel berpengaruh signifikan dan positif dalam penyerapan

tenaga kerja yang secara otomatis menurunkan tingkat pengangguran

Hasil estimasi selanjutnya pada variabel pertumbuhan jumlah usaha

akomodasi menunjukkan bahwa koefisien regresinya berpengaruh negatif yaitu

sebesar –0,5732 dan signifikan terhadap TPT, artinya bahwa kenaikan

pertumbuhan jumlah usaha akomodasi sebesar 1 persen akan menurunkan TPT

sebesar 0,5732 persen dengan asusmsi variabel lain dalam keadaan ceteris

paribus. Hal tersebut dapat terjadi karena kenaikan jumlah usaha akomodasi

menunjukkan bahwa potensi akan pariwisata dan hospitality tinggi di daerah

tersebut, sehingga banyaknya usaha akomodasi yang terbuka ini akan menyerap

tenaga kerja yang secara otomatis dapat menurunkan tingkat pengangguran di

daerah tersebut. Hasil ini sudah sesuai dengan hipotesis yang diajukan serta teori

yang diterapkan dalam penelitian ini. Jumlah usaha akomodasi memiliki pengaruh

yang cukup tinggi terhadap penurunan TPT meskipun tidak setinggi pengaruh

jumlah tamu hotel, namun jumlah usaha akomodasi ini memegang peranan yang

penting dalam penurunan TPT. Hal ini didukung dengan penelitian Mbaiwa

(2011) yang menyatakan bahwa jumlah usaha akomodasi hotel berpengaruh

negatif dan signifikan terhadap penurunan TPT di Botswana, hasil yang sama juga

didapatkan dalam penelitian Hasmarini, et al. (2018) yang menggunakan variabel

99
jumlah usaha akomodasi hotel dan restoran menunjukkan pengaruh positif

terhadap penyerapan tenaga kerja, yang secara langsung akan menurunkan TPT.

Hasil estimasi pada variabel pertumbuhan jumlah investasi pariwisata

menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap TPT, dengan

koefisien regresi sebesar -0,0744 yang artinya bahwa kenaikan pertumbuhan

jumlah investasi pariwisata sebesar 1 persen akan menurunkan TPT sebesar

0,0744 persen dengan kondisi variabel lain ceteris paribus. Hal tersebut dapat

dijelaskan ketika investor asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN)

menanamkan modalnya pada suatu sektor dalam hal ini pariwisata seperti hotel,

restoran, dan akomodasi maka dalam proses pembangunan dan pelaksanaannya

akan membutuhkan tenaga kerja sehingga secara otomatis tingkat pengangguran

akan menurun. Pertumbuhan jumlah investasi pariwisata berpengaruh tidak cukup

besar dalam penurunan TPT dibandingkan dengan pertumbuhan jumlah tamu

hotel dan pertumbuhan jumlah usaha akomodasi, hal ini disebabkan karena

pergerakan pola dari investasi pariwisata sendiri yang tidak teratur dan tidak

merata di berbagai provinsi di Indonesia sehingga manfaat dan efek yang

dihasilkan tidak terlalu besar. Selain itu juga investasi pariwisata sendiri tidak

dapat dirasakan dalam jangka waktu yang singkat sehingga efek yang dihasilkan

dapat dirasakan dalam jangka waktu yang lama akibatnya dalam jangka waktu

periode penelitian ini masih belum dapat dilihat pengaruh besarnya, meskipun

demikian investasi pariwisata masih berpengaruh signifikan dalam penurunan

TPT. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Monalisa (2014) bahwa investasi

dibidang pariwisata mampu meningkatkan pendapatan diberbagai sektor dan

menyerap banyak tenaga kerja sehingga secara otomatis terjadi penurunan

100
terhadap TPT. Hasil yang sama juga didapatkan dalam penelitian Arli (2018) yang

menyatakan bahwa tingkat investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap

penyerapan tenaga kerja yang mana dalam hal ini juga menurunkan TPT.

Kemudian dari hasil estimasi diperoleh bahwa variabel tingkat penghunian

kamar hotel berpengaruh negatif dan signifikan terhadap TPT dengan koefisien

regresi sebesar -0,0229, arti dari nilai tersebut adalah setiap kenaikan TPKH

sebesar 1 satuan (persen) maka akan menurunkan TPT sebesar 0,0229 persen. Hal

ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini bahwa tingkat

penghunian kamar hotel memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap

Tingkat Pengangguran Terbuka, hasil ini bisa dijelaskan karena TPKH yang

tinggi menunjukkan bahwa persentase kamar hotel yang terpakai lebih banyak

daripada yang tidak terpakai. Hal tersebut menyebabkan banyaknya persiapan

yang harus dilakukan pemilik hotel untuk memberikan fasilitas dan kenyamanan

yang terbaik bagi tamu hotel. Oleh karena itu diperlukan banyak tenaga kerja di

sektor perhotelan untuk mengimbangi tingginya penghunian kamar hotel tersebut

dan hal ini mampu untuk menurunkan tingkat pengangguran. Pengaruh dari

variabel TPKH merupakan yang paling rendah diantara variabel-variabel lain

terhadap penurunan TPT. Hasil ini dapat dimaklumi karena TPKH sendiri hanya

melihat rasio antara kamar yang terpakai dan yang tersedia meskipun yang

terpakai lebih banyak atau dalam hal ini lebih dari 50 persen, namun lama waktu

menginap tamu hotel cukup pendek maka tetap saja akan memberikan pengaruh

yang kecil. Akan tetapi, hasil yang menunjukkan peningkatan dari tahun 2015-

2019 di Indonesia pada TPKH dan pengaruhnya terhadap penurunan TPT masih

bisa untuk dimanfaatkan lebih lagi. Hasil ini didiukung dengan adanya peneltian

101
yang dilakukan oleh Rafif (2018) yang menhasilkan bahwa TPKH berpengaruh

positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di kota Batu, hasil yang

sama juga didapatkan dalamm penelitian Octarisza (2018) yang menyatakan

bahwa variabel TPKH berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan

tenaga kerja yang secara otomatis menurunkan TPT.

Efek Individu

Hasil output efek individu dari model FEM-SUR yang digunakan dapat

dilihat pada Tabel 14 berikut.

Tabel 14 Output efek individu model FEM-SUR

Provinsi Efek Individu Provinsi Efek Individu


(1) (2) (3) (4)
ACEH 1.0105 NUSA TENGGARA BARAT -0.6095
SUMATERA UTARA 2.5212 NUSA TENGGARA TIMUR -2.3776
SUMATERA BARAT 1.0935 KALIMANTAN BARAT -0.6266
RIAU 1.7961 KALIMANTAN TENGAH -1.9175
JAMBI -2.4302 KALIMANTAN SELATAN -0.6760
SUMATERA SELATAN -0.0813 KALIMANTAN TIMUR 2.6738
BENGKULU -3.7897 KALIMANTAN UTARA -3.6254
LAMPUNG -1.5810 SULAWESI UTARA 1.9088
KEP. BANGKA BELITUNG -2.9905 SULAWESI TENGAH -2.9029
KEP. RIAU 3.3789 SULAWESI SELATAN 1.5370
DKI JAKARTA 4.6093 SULAWESI TENGGARA -3.1424
JAWA BARAT 6.8990 GORONTALO -4.3879
JAWA TENGAH 2.1487 MALUKU 0.5499
DI YOGYAKARTA 0.3237 MALUKU UTARA -3.2222
JAWA TIMUR 2.1081 PAPUA BARAT -0.5722
BANTEN 4.9406 PAPUA -3.1015

102
BALI 0.5355
Sumber : Hasil pengolahan software eviews 10

Efek Individu yang dihasilkan dari model menggambarkan terjadinya

perbedaan nilai parameter pada masing-masing unit cross-section, yang mana

mengizinkan intersep bervariasi antar unit cross-section namun tetap

mengasumsikan bahwa slope koefisiennya konstan (Astuti, 2010). Dari Tabel 14

diperoleh bahwa dua provinsi yang memiliki efek individu tertinggi adalah

Provinsi Jawa barat dan Provinsi Banten dengan masing-masing efek individu

sebesar 6,8989 dan 4,9406. Nilai tersebut berarti ketika semua variabel komponen

sektor pariwisata bernilai sama pada tiap provinsi, maka provinsi Jawa Barat dan

Banten akan memililki TPT tertinggi di Indonesia. Hasil ini sesuai dengan

perkembangan TPT pada tahun 2015-2019 yang menunjukkan provinsi Jawa

Barat dan Banten merupakan provinsi dengan rata-rata TPT tertinggi

dibandingkan dengan seluruh provinsi di Indonesia. Informasi yang didapatkan

dari efek individu yang tinggi ini adalah pemerintah perlu memperhatikan lagi

dalam membuat kebijakan, karena secara default Tingkat Pengangguran Terbuka

di provinsi tersebut sangatlah tinggi dibandingkan dengan provinsi lain, sehingga

perlu adanya penanganan ekstra dan pemfokusan di provinsi tersebur agar TPT-

nya dapat dikurangi. Selanjutnya provinsi yang memiliki efek individu terkecil

adalah Provinsi Gorontalo dan Provinsi Bengkulu dengan nilai sebesar -4,3878

dan -3,789, hasil ini menunjukkan bahwa ketika semua variabel komponen sektor

pariwisata bernilai sama pada tiap provinsi, maka Provinsi Gorontalo dan

Bengkulu akan memiliki TPT terendah di Indonesia. Informasi yang didapatkan

dengan adanya efek individu paling kecil adalah bahwa pemerintah perlu

103
menerapkan kebijakan dan program yang dilakukan di provinsi tersebut untuk

diterapkan di provinsi dengan TPT yang masih tinggi, dengan demikian masalah

TPT ini dapat dikurangi.

104

Anda mungkin juga menyukai