Anda di halaman 1dari 29

PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PEDESAAN

Dosen Pengampu
Drs. Suswanta, M.Si.

Diusulkan Oleh:
Indri Probuwati 20140520328
Arnida Pratiwi Putri 20140520094
Rido Argo Mukti 20140520098
Akbar 20140520140

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


YOGYAKARTA
2016

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................5
C. Tujuan ..................................................................................................................5
D. Manfaat ................................................................................................................5
BAB II ANALISI DAN PEMBAHASAN
A. Pembangunan Desa dan Kawasan Pedesaan Pada Masa Orde Lama ..................6
B. Pembangunan Pedesaan Pada Masa Orde Baru ...................................................14
C. Pembangunan Pedesaan Pada Masa Reformasi ...................................................18

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..........................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan pedesaan atau desa dapat dikatakan menempati bagian


paling dominan mengisi wacana pembangunan daerah. Hal tersebut bukan saja
didasarkan atas alasan fisik geografis, sumberdaya alam atau sumberdaya
manusia. Tetapi didalamnya menyimpan potensi-potensi ekonomi yang harus
dikenali dan diperbaiki (Dahuri & Nugroho, 2012). Reformasi yang mengakhiri
era pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah rezim Soeharto telah melahirkan
perubahan yang sangat signifikan dalam tatanan kehidupan kenegaraan. Berbagai
isu yang menjadi debat publik terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan
desa yang hingga kini dipahami dalam berbagai perspektif yang sangat didominasi
oleh perspektif hukum dan politik.
Adanya perubahan format otonomi daerah sebagai sesuatu hal yang tidak
terhindarkan, kemudian melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Hal ini sekaligus menandai berakhirnya era pemerintahan daerah yang
sentralistik di bawah UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan desa. Sehingga
membuka kembali sebuah wacana dan harapan baru untuk mengembalikan satu
perspektif tentang desa terutama yang terkait dengan posisi desa yang
terberdayakan. Bersamaan dengan terbukanya ruang publik dengan aturan baru
tersebut, memunculkan pula kesadaran baru yang menginginkan sebuah
pemerintahan demokratis, terdesentralisasi dan pemberdayaan masyarakat lokal
yang, selain menuntut perlunya pengalokasian dan pendistribusian kekuasaan
serta kewenangan, juga menginginkan adanya diskresi dalam penetapan
kebijakan publik pada berbagai strata pelaksanaan pemerintahan.
Menurut data yang telah dihimpun oleh Badan Pusat Statistik dalam kurun
waktu 2003 hingga 2011 jumlah perkembangan desa di Indonesia terus
mengalami kenaikan yang signifikan hal itu disebabkan berbagai alasan. Salah
satu alasan pemicu penambahan jumlah desa adalah konsep desentralisasi yang
memungkinkan daerah indonesia dapat memiliki hak otonomi guna mengatur
rumah tangganya sendiri. Berikut adalah jumlah Desa menurut Provinsi dan letak
geografi, 2003-2011.

1
Tabel 1.1 Jumlah Desa Menurut Provinsi dan Letak Geografi, 2003-2011

Provinsi Tepi Laut/Coastal Bukan Tepi Laut/Non-Coastal

Tahun 2003 2005 2008 2011 2003 2005 2008 2011


Aceh 507.00 660.00 678.00 761.00 5229.00 5308.00 5746.00 5722.00
Sumatera Utara 1 336.00 175.00 375.00 396.00 5043.00 4740.00 5392.00 5401.00
Sumatera Barat 80.00 99.00 102.00 116.00 795.00 802.00 822.00 917.00
Riau 346.00 406.00 186.00 232.00 1279.00 1326.00 1418.00 1423.00
Kepulauan Riau 2
… … 267.00 299.00 … … 59.00 54.00
Jambi 28.00 28.00 28.00 29.00 1161.00 1207.00 1275.00 1343.00
Sumatera Selatan 16.00 19.00 22.00 34.00 2691.00 2759.00 3057.00 3152.00
Kep Bangka Belitung 122.00 105.00 137.00 163.00 195.00 216.00 207.00 198.00
Bengkulu 134.00 157.00 166.00 182.00 1029.00 1067.00 1185.00 1327.00
Lampung 170.00 186.00 203.00 231.00 1958.00 2005.00 2136.00 2233.00
DKI Jakarta 16.00 16.00 15.00 16.00 251.00 251.00 252.00 251.00
Jawa Barat 219.00 193.00 217.00 217.00 5539.00 5615.00 5654.00 5688.00
Banten 114.00 123.00 124.00 131.00 1365.00 1359.00 1380.00 1404.00
Jawa Tengah 334.00 334.00 329.00 347.00 8221.00 8230.00 8245.00 8230.00
DI Yogyakarta 30.00 32.00 33.00 33.00 408.00 406.00 405.00 405.00
Jawa Timur 567.00 571.00 611.00 655.00 7898.00 7906.00 7894.00 7847.00
Bali 150.00 156.00 167.00 177.00 536.00 545.00 545.00 539.00
Nusa Tenggara Barat 183.00 184.00 241.00 279.00 555.00 636.00 672.00 805.00
Nusa Tenggara Timur 768.00 815.00 841.00 943.00 1782.00 1923.00 1962.00 2023.00
Kalimantan Barat 130.00 138.00 153.00 163.00 1309.00 1392.00 1638.00 1804.00
Kalimantan Tengah 40.00 34.00 41.00 45.00 1290.00 1317.00 1407.00 1483.00
Kalimantan Selatan 135.00 131.00 135.00 166.00 1814.00 1828.00 1839.00 1834.00
Kalimantan Timur 131.00 168.00 179.00 218.00 1168.00 1176.00 1238.00 1247.00
Sulawesi Utara 456.00 509.00 627.00 721.00 740.00 760.00 867.00 972.00
Gorontalo 82.00 110.00 136.00 191.00 294.00 340.00 448.00 540.00
Sulawesi Tengah 684.00 770.00 839.00 901.00 756.00 760.00 847.00 914.00
Sulawesi Selatan 547.00 547.00 485.00 504.00 2537.00 2739.00 2461.00 2478.00
Sulawesi Barat 2
… … 122.00 148.00 … … 414.00 490.00
Sulawesi Tenggara 590.00 658.00 771.00 813.00 974.00 1027.00 1257.00 1308.00
Maluku 708.00 733.00 772.00 859.00 128.00 140.00 134.00 165.00
Maluku Utara 551.00 568.00 772.00 856.00 190.00 213.00 264.00 223.00
Papua 3 846.00 827.00 474.00 522.00 2661.00 2512.00 2837.00 3402.00
Papua Barat 2
… … 416.00 536.00 … … 789.00 903.00
Indonesia 9020.00 9452.00 10664.00 11884.00 59796.00 60505.00 64746.00 66725.00

Jika dilihat pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan desa
terus mengalami kenaikan, pada tahun 2003 jumlah desa yang awalnya 68186
desa, pada tahun 2011 jumlah desa melonjak menjadi 78609 yang terdiri dari desa

2
tepi laut dan desa bukan tepi laut. Selain itu permasalahan yang melekat pada desa
tidak hanya bertambahnya jumlah desa sehingga berkolerasi kuat dengan
bagaimana kebijakan pemerintah untuk menyususun strategi pembangunan
pedesaan yang tepat sasaran agar dapat menyentuh pada pembangunan desa yang
terus mengalami peningkatan. Namun, permasalahan pembangunan pedesaan
senantiasa berhubungan dengan kemiskinan. Menurut Dahuri & Nugroho (2012)
upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia hingga tahun 1996 sangat
menggembirakan, pada tahun 1976 masih ditemukan 54,2 juta penduduk miskin,
maka dua puluh tahun setelah itu jumlahnya menurun lebih dari setengahnya,
yaitu 22,5 juta. Namun, prestasi itu patut dipertanyakan karena jumlahnya naik
lagi menjadi 50 juta orang yang 30 persen diantaranya berasal dari pedesaan pada
tahun 1998 berkenaan dengan krisis ekonomi.
Meningkatnya jumlah penduduk miskin daerah pedesaan ini yang tentu
berimplikasi pada meningkatnya jumlah desa tertinggal, partisipasi
ketenagakerjaan atau bias Gender dalam kurun waktu 1991 hingga 1996, proporsi
pekerja wanita di sektor pertanian meningkat signifikan. Dengan mengasumsikan
mereka lebih lemah akses terhadap modal, teknologi dan pasar, maka perolehan
benefitnya selain kecil juga menurun. Demikianlah, sebagaian dari berjalannya
feminisasi kemiskinan. Selain itu akses dan kesempatan terhadap faktor produksi
dan informasi yang berkaitan dengan pasar (Dahuri & Nugroho 2012).
Desa tertinggal adalah desa yang dikategorikan memiliki indeks kemajuan
pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia dibawah rata-rata nasional,
akibat kesenjangan kemampuan ekonomi dan kurangnya ketersediaan
infrastruktur (RPJMN 2010-2014). Berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD)
2014, terdapat 20.168 desa tertinggal di Indonesia. Angka ini merupakan 27,22
persen dari jumlah total desa yang ada di Indonesia, yang mencapai 74.093 desa.
Adapun sebaran desa tertinggal terbanyak di Pulau Papua, dengan jumlah
mencapai 6.139 desa.
Sementara itu desa berkembang dan desa mandiri paling banyak ada di
Pulau Jawa-Bali. Di Pulau Jawa-Bali jumlah desa berkembang mencapai 20.827
desa, dan desa mandiri mencapai 2.253 desa. IPD 2014 yang dirilis Badan Pusat
Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),

3
dimaksudkan menjadi acuan bagi pemerintah untuk program pengembangan desa.
Kepala BPS Suryamin dalam peluncuran buku IPD 2014 menyampaikan, agenda
RPJMN 2015-2019 yakni pembangunan desa bisa memanfaatkan data IPD 2014
ini. Suryamin memaparkan, ada 43 indikator dalam mengukur IPD 2014. Lima
dimensi yang dilihat dari perkembangan sebuah desa yakni dimensi pelayanan
dasar, dimensi infrastruktur dasar, dimensi transportasi, dimensi pelayanan publik,
serta dimensi penyelenggaraan pemerintah. Dari hasil pengukuran tersebut, desa
di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga desa, yakni desa mandiri, desa
berkembang, dan desa tertinggal.
Perdebatan yang mewarnai pemikiran tentang pembangunan pedesaan di
Indonesia pada masa Orde Baru dan awal Orde Reformasi adalah mengenai
pendekatan yang digunakan dalam pembangunan itu sendiri. Secara sederhana
terdapat tiga kutub pemikiran tentang pembangunan pedesaan di Indonesia.
Kelompok pertama melihat wilayah pedesaan dan masyarakatnya sebagai sesuatu
yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan di wilayah
pedesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan sedikit mungkin campur
tangan pemerintah. Pada sisi lain, para pemikir yang melingkari kekuasaan pada
saat itu, sebagai kelompok kedua, cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang
homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal.
Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan
pedesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan
desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis,
serta menjadi 'alat pemerintah' dalam pembangunan. Kelompok ketiga mencoba
menyeimbangkan kekuatan masyarakat pedesaan dan negara dalam menentukan
arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat pedesaan (Jamal,
2009).
Pada dasarnya perjalanan konsep pembangunan pedesaan pada masa Orde
Lama, Orde Baru dan Reformasi sangat menarik untuk dikaji kembali. Jika
ditelaah kembali histori pengaturan dan pembangunan desa pada masa Orde Lama
tertuang pada UU 19 Tahun 1965, Desa Praja Sebagai bentuk peralihan untuk
mempercepat tewujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Republik
Indonesia. Pada masa orde baru tertuang dalam UU No 5 Tahun 1979 Tentang

4
Pemerintah Desa, di masa inilah penyeragaman desa dilakukan. Sedangkan pada
masa peralihan antara periode Orde Lama dan pasca reformasi, pengaturan dan
peraturan desa tertuang dalam UU No 22 Tahun 1999. Pada masa reformasi desa
diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 6 Tahun 2014. Namun, penulis
tidak menemukan secara detail dan eksplisit di dalam Undang-undang konteks
pembangunan dan rumusan kebijakan pembangunan desa pada periode tersebut.
Maka dari itu dari permasalahan diatas dapat kita simpulkan bahwa strategi dan
kebijakan pembangunan desa dari masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi
sangat layak untuk dikaji.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalah dan uraian di atas, maka rumusan masalah yang
akan dibahas adalah Bagaimana pembangunan desa dan kawasan pedesaan di
era Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui pembangunan
desa dan kawasan pedesaan di era Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.

D. Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan penulis mengenai konsep pembangunan desa dan
kawasan pedesaan pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi.
2. Menambah wawasan bagi pembaca mengenai konsep pembangunan desa
dan kawasan pedesaan pada masa orde lama, orde baru, dan reformasi.

5
BAB II ANALISI DAN PEMBAHASAN

A. Pembangunan Desa dan Kawasan Pedesaan Pada Masa Orde Lama

Di era Orde Lama, desa diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, baik dalam UU No 22
Tahun 1948 tentang pemerintahan daerah, UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah, maupun dalam UU No 18 tahun 1965 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah serta UU No 19 tahun 1965 tentang
Desapraja.
Wakil Presiden Moch. Hatta pada konggres Pamong Praja di Solo tahun
1955, melontarkan pandangan yang dikenal sebagai konsepsi Hatta tentang
otonomi. Hatta mengatakan bahwa sebaik-baiknya otonomi apabila diletakkan
pada kabupaten, kota serta desa, sedangkan propinsi bersifat administratif belaka.
Pemikiran Hatta untuk memperkuat desa tidak lepas dari kenyataan bahwa desa
pada masa itu merupakan tempat kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Dengan memperkuat desa berarti mendekatkan pelayanan pemerintahan pada unit
yang terdekat dengan masyarakat.

1. Politik Desa Masa Orde Lama

Keberhasilan para pendiri negara merebut kemerdekaan tahun 1945,


tentunya membawa perubahan penting dalam politik pedesaan. Karena berarti
bahwa kemerdekaan yang terpenting adalah kemerdekaan dibidang politik. Partai-
partai politik di pedesaan berusaha membangun politik desa dengan pertama-tama
menghilangkan nilai-nilai kolonialisme khususnya sistem ekonomi kapitalisme di
desa akibat pengaruh kolonial. Dalam catanan (Sosialismanto, 2001, hal 4)
misalnya pada tahun 1957, setelah sengketa Irian Jaya Soekarno melakukan
nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia.
Pembangunan politik desa tentu diperlukan persiapan yang matang, salah
satunya adalah bagaimana menyiapkan sistem ekonomi kerakyatan (pertanian)
sebagai basis utama demokrasi politik di desa. Ada dua paradigma dalam
pengembangan sistem politik di Indonesia, yang pertama indonesia baru saja
memasuki dunia yang lepas dari kengkraman kolonial yang ingin menata dan
mengambil alih struktur kekuasaan dari tangan penjajah dan yang kedua adalah

6
bahwa menjalankan demokratisasi yang merupakan reslisasi dari kemerdekaan
(Suhartono, 2001). Hal ini membuat suatu kegelisahan dimana bangsa ini sangat
mendambakan suatu sistem pemerintahan yang mengatur kekuasaan rakyatnya
dan disisi lain kita juga terbentur dengan kondisi masyarakat yang sangat
memprihatinkan. Parlemen desa yang merupakan tempat kekuatan masyarakat dan
berkumpul di tingkat grass root sangat mengharapkan dapat menampung aspirasi
masyarakat secara komprehensip untuk menjamin adanya pemerintahan yang
demokratis.
Parlemen desa adalah organisasi politik yang mulai dikenal sangat masif
oleh masyarakat desa. Perkembangan politik masyarakat desa di Jawa jaman
kemerdekaan merupakan ideologi komunal dari pada ideologi rasional tetapi bila
dilihat dalam aspek pendidikan politik sudah mengalami kemajuan, apalagi
sebelumnya demokrasi sudah sangat membudaya dalam masyarakat kita.
Sosialismanto melihat dari sudut analisis ekonomi politik, peranan desa sebagai
organisasi kekuasaan telah mengalami pergeseran peranan, berbeda dengan desa
masa kolonial yang eksploitatif terhadap manusia dan sumber daya alamnya. Desa
masa orde lama telah memperkenalkan dunia politik (politisasi) yang bergerak
pada masyarakat desa. Munculnya politisasi disatu sisi berakibat pada
disharmonisasi kehidupan pedesaan yang harmonis, komunalis dan ikatan sosial
yang kuat.
Pada pertengahan 1965 ideologi nasional berkembang di desa dengan
pendekatan ideologi yang bersifat komunalistik. Apalagi setelah masuknya PKI
dipedesaan dengan ideologi politik yang membela kaum tani desa memicu
konfliks-konfliks politik di desa. Politik pedesaan masa demokrasi terpimpin akhir
Orde lama memperlihatkan adanya ketidakstabilan politik di akar rumput. Dan
bahkan pada saat Sukarno mengenalkan idiologi Nasakom (nasionalis, agama dan
Komunis), Partai Komunis Indonesia telah mendominasi kekuatan politik di
pedesaan dengan basis politik pertanian (Suhartono, 2001).
Hal itu menunjukkan bahwa masuknya politik di desa menyebabkan
masalah baru dalam masyarakat desa. Identitas kultural desa menjadi berubah
seperti dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Suasana politik desa sangat
dipengaruhi oleh realitas politik demokrasi terpimpin (guided democracy) yang

7
mengedepankan praktek politik utopis dimana konsepsi demokrasi terpimpin tidak
dapat membantu demokratisasi di wilayah pedesaan. Pergolakan politik pertama
tahun 1955 yang demokratis membuat adanya partisipasi politik desa yang lebih
menonjol dari pada sebelumnya, Desa yang semula tidak menjadi panggung
politik sebagai akibat demokratisasi 1955 menjadi panggung politik penting.
Indikator ini bisa dilihat dalam dua perspektif. Pertama, berlangsungnya
partisipasi warga negara, kedua, terjadinya polarisasi dan friksi politik desa.

2. Pembangunan Pedesaan Pemerintahan Orde Lama


Setelah periode kemerdekaan kebijakan pembangunan Pemerintahan
Soekarno diarahkan menuju kepada peningkatan produktivitas dan produksi
pertanian Indonesia. Pada waktu kemerdekaan Indonesia diakui Belanda pada
tahun 1949, ekonomi Indonesia tidak hanya di porak-porandakan oleh kekacauan
yang diakibatkan pendudukan Jepang dan oleh perang kemerdekaan, tetapi juga
dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi Belanda.
Belanda masih menganggap Indonesia sebagai daerah koloni, dengan
perkebunan modern untuk ekonomi ekspor dan sektor pertanian subsisten untuk
sebagian besar penduduk Indonesia mencari penghidupan. Pendekatan seperti ini
disebut sebagai kebijakan ekonomi ganda (dual econonmy policy). Pada awal
tahun 1950-an pemerintahan Soekarno mulai mengahadapi masalah yang tumbuh
akibat penurunan produksi beras dalam negeri dan meningkatnya kebutuhan untuk
mengguanakan devisa yang langka guna membeli pangan pasar di dunia. Dalam
rangka mengatasi masalah ini, pemerintah menyimpulkan bahwa produksi pangan
harus memeperoleh prioritas tertinggi dalam mempromosikan pembangunan
pedesaan. Pemerintah percaya bahwa keberhasilan pembanguan daerah pedesaan
menjadi prakondisi untuk mempertahankan kestabilan dan keseimbangan
pertumbuhan ekonomi.
Kepercayaan utama strategi pembanguan daerah pedesaan Indonesia
mencakup dua hal, yakni komitmen pemerintah untuk mengadopsi transformasi
teknologi dan melakukan reorganisasi institusi agraria. Pemerintah percaya bahwa
usaha-usaha untuk meningkatkan produksi pangan seharusnya melibatkan
transformasi teknologi dalam arti meningkatkan distribusi pupuk dan pestisida,
penyebaran bibit unggul dan perbaikan sarana irigasi. Dalam usaha memperbaiki

8
kondisi kehidupan petani miskin, pemerintah pada tahun 1960 meloloskan
undang-undang reformasi agraria (land reform) yang dinamakan Undang-undang
Pokok Agraria. Undang-undang ini mengatur tentang hak atas tanah, sewa-
menyewa, pengaturan sewa tanah, dan batas kepemilikan tanah.

a. Kebijakan Kasimo Plan


Sejak kemerdekaan Indonesia telah mengalami berbagai macam krisis,
baik politik, ekonomi atau pangan. Kunci untuk menyelesaian krisis tersebut
adalah visi yang tepat, keyakinan yang kuat dan program yang konseptual, praktis
dan realistis. Seperti pada awal kemerdekaan, karena dorongan untuk menjadi
bangsa yang kokoh dan mandiri, maka para pemimpin berupaya keras untuk
memenuhi segala kelengkapan pemerintahan, menggerakkan perekonomian dan
memenuhi segala kebutuhan rakyat.
Kebutuhan rakyat yang mendesak ditambah kas Negara yang kosong
memerlukan pemecahan ekonomi untuk meningkatkan produksi dan distribusi
bahan makanan, masalah sandang dan penyelesaian asset Negara yang masih
dikuasai/milik asing terutama perkebunan. Salah satu untuk mengatasi masalah
pangan Menteri Urusan Bahan Makanan, IJ Kasimo mengeluarkan kebijakan yang
terkenal dengan Kasimo Plan. Program ini berupa Rencana Produksi Tiga tahun
(1948-1950) mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis.
Inti dari Kasimo Plan adalah untuk meningkatkan kehidupan rakyat
dengan meningkatkan produksi bahan pangan. Rencana Kasimo ini adalah:
1) Menanami tanah kosong (tidak terurus) di Sumatera Timur seluas 281.277
HA.
2) Melakukan intensifikasi di Jawa dengan memperbanyak penanaman bibit
unggul.
3) Pencegahan penyembelihan hewan-hewan yang berperan penting bagi
produksi pangan.
4) Di setiap desa dibentuk kebun-kebun bibit.
5) Transmigrasi bagi 20 juta penduduk Pulau Jawa dipindahkan ke Sumatera
dalam jangka waktu 10-15 tahun.

9
Pencegahan tersebut dimaksudkan untuk memperbanyak hewan ternak
sehingga cadangan pangan pun meningkat. Benar-benar praktis, sederhana namun
brilian Gagasan yang brilian itu dilahirkan oleh I.J Kasimo. I.J Kasimo (1900-
1986) sendiri, selain menjadi Menteri ketika Indonesia merdeka dia adalah salah
satu seorang pelopor kemerdekaan Indonesia. IJ Kasimo dilahirkan di Yogyakarta,
kemudian ia setelah dewasa menjadi guru pertanian di Tegal dan Surakarta. Pada
waktu zaman pergerakan nasional Kasimo juga aktif berpolitik. Beliau adalah
salah seorang pendiri Partai Katolik dan menjadi Ketuanya.

b. Kebijakan Program Swamsebada


Swasembada dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi segala
kebutuhan. Pengan adalah bahan-bahan makanan yang didalamnya terdapat hasil
pertanian,perkebunan dan lain-lain. Jadi swasembada pangan adalah kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bahan makanan sendiri tanpa perlu
mendatangkan dari pihak luar. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah
Indonesia langsung berkonsentrasi untuk membangun sektor pertanian di segala
bidang. Departemen yang mengurusi bidang perikanan laut itu pun sudah ada
sejak kabinet pertama dibentuk.
Melalui Kementrian Kemakmuran Rakyat yang dipimpin oleh Menteri Mr.
Sjafruddin Prawiranegara dibentuklah Jawatan Perikanan yang mengurusi
kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Program swasembada beras
sesungguhnya pula sudah dicanangkan di era Soekarno, tepatnya selama periode
1952-1956. Program swasembada beras dilaksanakan melalui Program
Kesejahteraan Kasimo dengan didirikannya Yayasan Bahan Makanan (BAMA)
dan berganti Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) pada 1953-1956.
Mengenai diversifikasi tanaman pangan itu pun sudah dipikirkan di era Soekarno.
Program swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui program
sentra padi yang diatur oleh Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP). Pada 1963,
Soekarno memasukkan jagung sebagai bahan pangan pengganti selain beras, dan
pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini menyesuaikan dengan kultur
bercocok tanam dari petani yang biasanya memvariasikan antara tanaman padi
dan jagung. Institusi pendukung di bidang pertanian maupun sub-sub sektor
pertanian lebih banyak ditopang oleh kelembagaan inti yang dulunya pernah

10
digunakan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan
republik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk
ekspor.
Tidak seperti sekarang yang sudah memiliki sumber daya manusia dan
infrastruktur yang lebih baik, pembangunan di sektor pertanian di era Soekarno
menemui jauh lebih banyak kesulitan dan tantangannya di dalam negeri. Tingkat
ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih tergolong tinggi. Sekalipun
demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat mengalami krisis pangan
yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang pernah dialami oleh India dan
China. Dalam beberapa periode, harga kebutuhan pokok sempat mengalami
lonjakan harga yang cukup tinggi. Tetapi lonjakan harga tersebut tidak banyak
berimbas di wilayah pedesaan yang relatif masih menerapkan pola diversifikasi
bahan makanan. Pola kebijakan pertanian di masa Soekarno memang lebih
menitikberatkan pada jenis tanaman lokal sebagai komoditi utama. Misalnya
seperti jenis sagu di Maluku dan Papu atau nasi jagung di Sulawesi.
Untuk pertama kalinya, pemerintahan republik membentuk badan
penyangga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog pada tanggal
14 Mei 1967. Tugas pokok dari Bulog adalah berfungsi sebagai agen pembeli
beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal diproyeksikan untuk menjaga
ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni stabilisasi harga beras
dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Pada prinsipnya, Bulog nantinya
akan menjadi lumbung nasional yang tugas utamanya untuk menjaga pasokan
(supply) komoditi pangan dan menjaga stabilitas harga tanaman pangan utama.

c. Kebijakan Transmigrasi

Ketika baru merdeka dari penjajahan Jepang, di Indonesia masih terjadi


gejolak politik, sehingga permasalahan kepadatan penduduk masih terabaikan.
Baru tahun 1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk
mempelajari program serta pelaksanaan transmigrasi yang diketuai oleh A. H. D.
Tambunan. Walaupun telah terbentuk kepanitiaan, keputusan yang menyangkut
masalah transmigrasi baru diambil pada tahun 1950. Bulan Desember 1950
merupakan awal mula pemberangkatan transmigran di jaman kemerdekaan ke

11
Sumatera Selatan. Pelaksananya ditangani oleh Jawatan Transmigrasi yang berada
di bawah Kementrian Sosial. Baru tahun 1960 Jawatan Transmigrasi menjadi
departemen yang digabung dengan urusan perkoperasian dengan nama
Depertemen Transmigrasi dan Koperasi.
Pada masa ini, selain tujuan demografis, tujuan lainnya tidak jelas. Namun
Presiden Soekarno sendiri tidak fokus pada kelebihan penduduk Jawa, tetapi
hanya melihat adanya ketimpangan kepadatan penduduk pulau Jawa dan luar
Jawa. Akan tetapi di kemudian hari yaitu seperti tercantum pada Undang-undang
No. 20/1960 jelas terbaca, bahwa tujuan transmigrasi adalah untuk meningkatkan
keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat, serta mempererat rasa
persatuan dan kesatuan bangsa. Target pemindahan penduduk pada zaman Orde
Lama dinilai sangat ambisius dan tidak realistis, dimana sasaran “Rencana 35
Tahun Tambunan” adalah mengurangi penduduk pulau Jawa agar mencapai angka
31 juta jiwa pada tahun 1987 dari jumlah penduduk sebanyak 54 juta jiwa pada
tahun 1952. Pada kenyataannya antara tahun 1950-1959 pemerintah hanya
berhasil memindahkan transmigran sebanyak 227.360 orang.
Revisi target transmigran sebenarnya telah dilakukan dengan yang lebih
realistis. Selama lima tahun, antara tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan
penduduk Jawa sebanyak 2 juta orang, atau rata-rata 400 ribu orang per tahun.
Pada rencana delapan tahun selanjutnya, yaitu antara tahun 1961-1968, Jawatan
Transmigrasi menurunkan lagi tergetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata
195 ribu orang per tahun.
Pada periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan Transmigrasi Gaya
Baru pada musyawarah nasional gerakan transmigrasi yang diselenggarakan pada
bulan Desember 1964. Konsepnya memindahkan kelebihan fertilitas total yang
diperkirakan mencapai angka 1,5 juta orang per tahun. Pada kebijakan ini, muncul
pula ide untuk melaksanakan transmigrasi swakarya, artinya transmigran baru
ditampung oleh transmigran lama seperti yang pernah dilakukan pada jaman
Belanda dengan sistem bawon, kemudian membuka hutan, membangun rumah,
dan membuat jalan sendiri, sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau
besar. Minat penduduk pulau Jawa untuk ikut transmigrasi pada periode ini cukup
tinggi. Bahkan mereka mau berangkat ke daerah transmigran atas biaya sendiri

12
tanpa bantuan pemerintah. Di tempat tujuan mereka cukup melapor untuk
memperoleh sebidang lahan dan bantuan material lainnya.
Pada jaman orde lama, ada pengkategorian transmigrasi, sehingga dikenal
istilah transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi biaya sendiri, dan
transmigrasi spontan. Dalam sistem transmigrasi umum segala keperluan
transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah.
Pemerintah juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit
tanaman, serta alat-alat pertanian.
Transmigrasi keluarga merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya
jika ada keluarga transmigran ingin mengajak keluarganya yang masih tinggal di
pulau Jawa untuk tinggal di daerah transmigrasi, maka transmigran lama harus
menanggung biaya hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini tidak jalan,
karena terlalu memberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak dilaksanakan lagi
sejak 1959. Transmigrasi biaya sendiri, mengharuskan calon transmigran
mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan ongkos sendiri,
setelah sampai di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti
transmigran umum. Sedangkan transmigrasi spontan selain menanggung sendiri
ongkos ke lokasi, mereka pun harus mengurus sendiri keberangkatannya. Di
tempat tujuan baru mereka lapor untuk mendapatkan lahan di daerah yang telah
ditentukan.

d. Kebijakan Undang-undang Pokok Agraria


Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dala
m kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan
hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi
orang lain. Untuk mencegah masalah tanah tidak sampai menimbulkan konflik
kepentingan dalam masyarakat, diperlukan pengaturan, penguasaan dan
penggunaan tanah atau dengan kata lain disebut dengan hukum tanah. Dalam
pelaksanaan ketentuan tersebut maka diundangkanlah Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan
diundangkannya UUPA, berarti sejak saat itu Indonesia telah memiliki Hukum
Agraria Nasional yang merupakan warisan kemerdekaan setelah pemerintahan
kolonial Belanda. Didalam konsiderans Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

13
tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, menegaskan peranan kunci tanah, bahwa
bumi, air dan ruang angkasa mempunyai fungsi yang amat penting untuk
membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks ini, penguasaan
dan penghakkan atas tanah terutama tertuju pada perwujudan keadilan dan
kemakmuran dalam pembangunan masyarakat.
Di Indonesia sendiri Kasus-kasus yang menyangkut sengketa dibidang
pertanahan terutama sengketa pertanian bidang perkebunan dapat dikatakan tidak
pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan meningkat dalam kompleksitas
maupun kuantitas permasalahannya, seiring dengan dinamika ekonomi, sosial dan
politik Indonesia. Sebagai gambaran dewasa ini di Indonesia, dengan semakin
memburuknya situasi ekonomi yang sangat terasa dampaknya. Tanah mempunyai
peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka di dalam UUD 1945
Pasal 33 Ayat 3 disebutkan: “Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

B. Pembangunan Pedesaan Pada Masa Orde Baru


Penyelenggaraan pemerintahan desa yang semula diatur berdasarkan
hukum adat secara demokratis untuk kepentingan masyarakat desa itu sendiri,
kemudian mulai mengalami perubahan dengan munculnya campur tangan
penguasa atau pemerintah yang lebih tinggi. Desa oleh penguasa hanya dijadikan
sebagai obyek kekuasaan ketimbang sebagai subyek. Demikian pula pasca
kemerdekaan Indonesia khususnya dimasa kekuasaan rezim Orde Baru, desa
dijadikan obyek kekuasaan melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa.
Posisi desa yang berada di bawah Camat memberikan gambaran bahwa
desa merupakan sub ordinasi dan bawahan Pemerintah Kecamatan dan
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II. Artinya disini bahwa desa merupakan
representasi (kepanjangan) tangan dari Pemerintah Pusat atau sentralistik. Oleh
sebab itu kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan di desa tergantung pada
keputusan Pemerintah di atasnya dan desa dikondisikan menjadi alat pemerintah
untuk kepentingan pemerintah (Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) dari
pada kepentingan masyarakat desa itu sendiri.

14
Bentuk kebijakan politik dan pemerintahan yang sentralistis dari rezim
Orde Baru yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 telah melakukan
penyeragaman secara administratif terhadap struktur pemerintahan desa, baik
nama, bentuk, susunan dan kedudukannya pada semua desa di Indonesia, bahkan
urusan pembangunan desa serta kawasan pedesaan itu sendiri.
Pendekatan pembangunan pedesaan pada masa orde baru menekankan
pada upaya penyeragaman. Upaya penyeragaman pembangunan pedesaan tersebut
di canangkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada tahap
awal pembangunan Orde Baru, tingkat kebutuhan individu di pedesaan relatif
sama, yaitu bagaimana dapat memenuhi kebutuhan dasar, dan perlunya gerakan
bersama dalam komunitas untuk mendukung inisiatif pemerintah dalam
pembangunan. Pelaksana pemerintahan pada berbagai level kurang memiliki
keinginan yang kuat untuk mengubah kehidupan masyarakat ke arah yang lebih
baik. Aparat pemerintah lebih bertindak sebagai pelaksana pembangunan dengan
menjadikan masyarakat pedesaan sebagai objek pembangunan. Ilmuwan sibuk
memperdebatkan pola pendekatan yang sebaiknya digunakan dalam pembangunan
masyarakat desa, dan sulit mencari titik temu dengan pemerintah. Dalam kondisi
seperti itu, keputusan Pemerintah Orde Baru untuk melakukan penyeragaman
dalam pembangunan pedesaan tidaklah terlalu keliru karena masyarakat berada
dalam kondisi yang relatif sama secara individu dan siap untuk bekerja secara
komunitas menyambut inisiatif pemerintah atau partner pemerintah dalam
pembangunan.
Pembangunan desa pada era orde baru dikenal dengan sebutan
Pembangunan Masyarakat Desa (PMD), dan Pembangunan Desa (Bangdes). Pada
zaman ini, “pembanguna desa’ lebih memfokuskan diri pada pembangunan desa
dalam arti “fisik”. Misalnya membangun jalan desa, irigasi desa, tugu batas desa
dsb yang kurang menyentuh kebutuhan masyarakat. Kosep pembangunan desa
pada masa itu tidak mengenal “pemberdayaan’ masyarakat sebagai aktor bagi
pembangunan di desa. Padahal, roh dari pembangunan desa adalah masyarakat
desa itu sendiri, yakni seberapa jauh masyarakat di desa dilibatkan dalam proses
pembangunan untuk menentuhakn pilihan-pilihan sesuai dengan kebutuhannya.
Kalaupun ada pemberdayaan, masyarakat hanya diperankan sebagai objek,

15
dimana semua kebijakan ditentukan oleh pemerintah supra desa, mulai dari
pemerintah pusat sampai dengan pemerintah kabupaten.
Kebijakan pembangunan perdesaan di masa pemerintahan Presiden
Soeharto mencakup lima pendekatan, yaitu:
1) “mendekatkan” desa-desa dengan pusat ekonomi daerah sehingga desa-desa
yang menjadi orbit di lokasi-lokasi terpencil dapat ikut berkembang selaras
dengan perkembangan ekonomi daerah;
2) Meningkatkan produktivitas masyarakat perdesaan dengan memberikan bekal
pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat desa dengan tetap
memperhatikan pada mekanisme yang hidup di kalangan masyarakat desa
yang dilandasi oleh suasana kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh alam,
adat istiadat, kepercayaan, kegotongroyongan, dan tata kerja tradisional;
3) Menstimulasi pendirian lembaga-lembaga perkreditan di daerah-daerah
perdesaan, sehingga dapat melayani kebutuhan-kebutuhan untuk produksi di
perdesaan;
4) Mengusahakan bantuan materiil kepada desa untuk menyempurnakan sarana-
sarana produksi dan sarana-sarana sosial sehingga dapat mengintensifkan
kegotongroyongan masyarakat desa;
5) Mengefektifkan struktur pemerintahan desa dan lembaga-¬lembaga desa yang
telah ada. Pendekatan-pendekatan tersebut melahirkan program-program
pembangunan perdesaan yang mengarah pada pendekatan tersebut.
Faktor – faktor yang menentukkan program-program Pembangunan Desa
Pemerintahan ORBA.
1) Pemerintahan soeharto melakukan pembangunan pedesaan melalui
“greenrevolution.”
2) Adanya kebijakan dan mengimplementasikan kebijakan pangan.
Faktor – fakror lainnya diantara lainnya adalah :
Peninggalan Kebijakan Pertanian Belanda
1) Selama pemerintahan kolonial, kebijakan ekonomi Indonesia menyandaran
diripada perdangan dengan belanda untuk meningkatkan ekspor hasil
perkebunan.

16
2) Bidang tanah yang luas, investasi modal dalam skala luas, dan produksi hasil
untuk diekspor.
3) Menciptakan departemen pertanian guna mendorong kegiatan ekonomi dan
memperluas produksi petani.
4) Sistem kredit dan pelayanan pinjaman kepada petani.
5) Inisiatif menjalankan “a new agricultural extension service system.”
6) Perluasan lahan pertanian.
Pembangunan daerah yang diterapkan selama orde baru diselenggarakan
atas dasar tiga asas (REPELITA VI: Batubara, 1997). Pertama, asas
desentralisasi, mengacu kepada pembentukan daerah tingkat (Dati) I dan Dati II
sebagai daerah otonom. Kedua, asas dekonsentrasi, mengacu kepada pembagian
wilayah kedalam wilayah proinsi dan wilayah administrasi kecil
(kabupaten/kodya dan Kecamatan). Ketiga, asas berbantuan, merupakan “hasil
kompromi” antara asas sentralisasi dan desentralisasi dengan maksud agar supaya
penyelenggara pembangunan di daerah lebih efisien dan efektif.

C. Pembangunan Pedesaan Pada Masa Reformasi


1. Kebijakan Pembangunan Pedesaan

Menurut Kementrian Desa, Pembangunan daerah tertinggal dan


Transmigrasi (2015) Pembangunan (pedesaan) yang efektif bukanlah semata-mata
karena adanya kesempatan melainkan merupakan hasil dari penentuan pilihan-

17
pilihan prioritas kegiatan, bukan hasil coba-coba, tetapi akibat perencanaan yang
baik. Dalam konteks desa membangun, Kewenangan lokal berskala Desa telah
diatur melalui Permendes PDTT No. 1 Tahun 2015, yang menyebutkan
bahwakriteria kewenangan lokal berskala Desa meliputi,
a. Kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan dan pemberdayaan
masyarakat
b. Kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan hanya di
dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai dampak internal
Desa
c. Kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari-
hari masyarakat Desa
d. Kegiatan yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar prakarsa Desa
e. Program kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah diserahkan dan dikelola oleh
Desa; dan
f. Kewenangan lokal berskala Desa yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan tentang pembagian kewenangan pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Untuk melaksanakan kewenangan lokal bersakala desa tersebut, maka


Pemerintah Desa perlu menyusun perencanaan desa yang melibatkan seluruh
komponen masyarakat desa. Proses perencanaan yang baik akan melahirkan
pelaksanaan program yang baik, dan pada gilirannya akan menumbuhkan
partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan desa. Proses
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sendiri kegiatan pembangunan
desa merupakan wujud nyata dari kewenangan mengatur dan mengurus
pembangunan desa yang berskala lokal desa. Adapun Blueprint/Pedoman
Pembangunan Pedesaan Masa Reformasi adalah sebagai berikut.
a. Peraturan Mentri Dalam Negri No 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Pembangunan Desa
b. Peraturan Mentri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan
Transmigrasi Republik Indonesia No 1 Tahun 2015 Tentang pedoman

18
kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan kewenangan Lokal
Bersekala Desa
c. Perencanaan Pembangunan Desa Buku 6 Kementrian Desa, Pembangunan
Dearah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia
d. Pedoman teknis Pengembangan Desa Pesisir Tangguh Kementrian
Kelautan dan Perikanan
e. Pedoman Pelaksanaan Program Pembanguanan Infrastruktur Pedesaan
Direktorat Jendral Cipta Karya, Kementrian Pekerja Umum
Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai
dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan
Kabupaten/Kota. Perencanaan dan Pembangunan Desa dilaksanakan oleh
Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat Desa dengan semangat
gotong-royong. Masyarakat Desa berhak melakukan pemantauan terhadap
pelaksanaan Pembangunan Desa.
Dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Desa,
pemerintah Desa didampingi oleh pemerintah daerah kabupaten/kota yang secara
teknis dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota. Untuk
mengoordinasikan pembangunan Desa, kepala desa dapat didampingi oleh tenaga
pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat Desa, dan/atau pihak
ketiga. Camat atau sebutan lain akan melakukan koordinasi pendampingan di
wilayahnya. Pembangunan desa mencakup bidang penyelenggaraan pemerintahan
Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan
pemberdayaan masyarakat Desa. Perencanaan pembangunan Desa disusun
secara berjangka meliputi:
a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) untuk jangka
waktu 6 (enam) tahun; dan
b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja
Pemerintah Desa (RKP DESA), merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk
jangka waktu 1 (satu) tahun.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja
Pemerintah Desa, ditetapkan dengan Peraturan Desa.

19
2. Konsep Pembangunan Pedesaan berbasis Kewilayahan
a. Kawasan Ekonomi Khusus

Sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja ekspor, menarik investasi baik


domestik maupun asing, serta mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah
Indonesia mencanangkan pembangunan berupa kawasan strategis. Pembangunan
ini bermula dengan pendirian Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
(KPBPB) pada tahun 1970 yang kemudian terus mengalami perkembangan
sampai pada tahun 2009 dengan dibentuknya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Menurut world bank KEK adalah area yang secara geografis dibatasi
dengan area kepabeanan yang terpisah, dibawahi oleh sebuah badan pengatur, dan
di mana manfaatnya dapat dirasakan oleh mereka yang berlokasi di dalam
kawasan. Dengan kata lain, KEK adalah sebuah zona yang dibuat oleh pemerintah
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan ekspor dan
investasi dengan menyediakan berbagai keunggulan kompetitif bagi entitas yang
memilih untuk berlokasi di dalam zona tersebut. Sedangkan untuk bentuk KEK
mencakup, 1) Zona Perdagangan Bebas (FTZ), 2) Zona Pemrosesan Ekspor
(EPZ), 3) Zona Bebas/Zona Ekonomi Bebas (FZ/FEZ), 4) Taman
industri/Kawasan Industri (IE), 5) Pelabuhan Bebas, 6) Kawasan Logistik Berikat
(BLP), 7) Zona Perusahaan Urban.
Dalam semua bentuknya, KEK dapat menjadi sebuah zona yang
menguntungkan. Jika dikelola dengan baik KEK akan mendorong pertumbuhan
ekonomi melalui ekspansi industri ekspor. Alasan dari penerapan kebijakan ini
adalah KEK dapat menciptakan industri yang kompetitif dalam sebuah negara.
Industri ini kemudian dapat meluas dan bervariasi. KEK juga sering digunakan
sebagai alat untuk mendorong aktivitas ketenagakerjaan. Karena melalui KEK
akan meningkatkan permintaan tenaga kerja dalam bidang infrastruktur, jasa dan
utilitas lokal (seperti air dan listrik). KEK merupakan tempat dimana perusahaan
dalam negeri berinteraksi dengan perusahaan luar negeri, pembentukan KEK
memungkinkan perusahaan domestik belajar banyak dari perusahaan luar negeri.

b. Kawasan Desa Perbatasan


Ada dua pendekatan yang telah digunakan untuk memahami problem
perbatasan, yaitu keamanan (security approach) dan kesejahteraan (prosperity

20
approach). Secara umum, security approach dapat diartikan sebagai pendekatan
yang menekankan pada kemampuan negara untuk menjaga keamanan
perbatasannya dan mempertahankan diri dalam menghadapi ancaman yang nyata.
Pendekatan ini lebih memahami fungsi perbatasan sebagai fungsi militer-strategis,
persatuan nasional, pembangunan negara-bangsa dan pengembangan identitas
nasional. Konsekuensinya, pembangunan sistem pertahanan laut, darat dan udara
untuk menjaga diri dari ancaman eksternal menjadi prioritas (Suswanta, David &
Bachtiar 2016).
Untuk itu, maka perlu ada pergeseran paradigma pendekatan dalam
mengelola perbatasan dari security approach ke prosperity approach. Asumsi
pendekatan ini adalah bahwa persoalan perbatasan bukan hanya geopolitik semata
tetapi juga sosiologis. Ancaman kedaulatan negara bukan hanya eksternal tetapi
juga internal. Tingkat kesejahteraan masyarakat perbatasan yang layak adalah
modal utama pemerintah untuk memperkuat keamanan wilayah perbatasan.
Keamanan wilayah perbatasan tidak akan mungkin bisa diwujudkan jika
masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan diabaikan kesejahteraannya.

c. Minapolitan

Minapolitan berasal dari kata mina berati ikan dan politan berarti polis
atau kota, sehingga secara bebas dapat diartikan sebagai kota perikanan (Dahuri &
Nugroho, 2012). Minapolitan adalah konsep pembangunan ekonomi kelautan dan
perikanan dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan percepatan
pertumbuhan layaknya sebuah kota (KKP, 2010). Sedangkan secara umum
pengertian minapolitan adalah perubahan mendasar cara berpikir dari daratan ke
maritim dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk peningkatan produksi
kelautan.
Konsep revolusi biru minapolitan dilandasi asumsi-asumsi dasar
pembangunan dengan kerangka pemikiran kontinen menjadi kepulauan untuk
mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih berimbang. Perimbangan
tersebut diperlukan selain untuk peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam
perairan/laut, juga mengurangi tekanan pada sumberdaya alam daratan.

21
Reorientasi konsep pembanguan tersebut diperlukan untuk memberikan arah
pembangunan sesuai dengan perubahan lingkungan strategis.
Konsep Minapolitan didasarkan pada tiga azas yaitu demokratisasi
ekonomi kelautan dan perikanan pro rakyat, pemberdayaan masyarakat dan
keberpihakan dengan intervensi negara secara terbatas (limited state intervention),
serta penguatan daerah dengan prinsip “daerah kuat, bangsa dan negara kuat”
(Sunoto). Dengan konsep ini, diharapkan pembangunan sektor kelautan dan
perikanan dapat dilaksanakan secara terintegrasi, efisien, berkualitas, dan
berakselerasi tinggi. Prinsip integrasi diharapkan dapat mendorong perencanakan
dan pelaksanakan secara menyeluruh atau holistik dengan mempertimbangkan
kepentingan dan dukungan stakeholders, baik instansi sektoral, pemerintahan di
tingkat pusat dan daerah, kalangan dunia usaha maupun masyarakat. Selain itu
minapolitan yang sesuai dengan KEP.35/MEN/2013 telah ditetapkan 179
Kabupaten/Kota di Indonesia dan 202 Lokasi sebagai kawasan Minapolitan yang
terdiri dari 145 kawasan berbasis Perikanan Budidaya dan 57 kawasan berbasis
Perikanan Tangkap.

d. Agropolitan
Konsep pembangunan agropolitan diangkat oleh pemikiran Myrdal dalam
konteks yang lebih spesifik, yakni keadaan negara-negara Asia yang sistem
pertaniannya labour intensive dala skala usaha kecil. Friedmann dan Douglas
(1979) dalam Mecardo (2002) mengemukakan bahwa, agropolitan merupakan
pendekatan perencanaan pembangunan tipe buttom-up yang berkeinginan
mencapai kesejahteraan dan pemerataan pendapatan lebih cepat dibanding strategi
growth pole.
Selanjutnya Friedmann dalam Syahrini (2001), menyatakan bahwa
didalam wilayah agropolitan disediakan berbagai fungsi layanan untuk
mendukung berlangsungnya kegiatan agribisnis. Fasilitas pelayanan meliputi
sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan), sarana penunjang produksi
(lembaga perbankan, koperasi, listrik), serta sarana pemasaran (pasar, terminal
angkutan, sarana transportasi). Dalam konsep agropolitan juga diperkenalkan
adanya agropolitan distrik, yakni suatu daerah perdesaan dengan radius pelayanan

22
5 hingga 10 km dan dengan jumlah penduduk 50 hingga 150 ribu jiwa serta
kepadatan minimal 200 jiwa per km2. Jasa-jasa dan pelayanan yang disediakan
disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setempat.
Pelaksanaan konsep agropolitan dapat menanggulangi dampak negatif
pembangunan seperti migrasi desa-kota yang tak terkendalai, polusi, kemacetan
lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran masif sumber daya alam, serta
pemiskinan desa (Rustiadi dan Pranoto, 2007).
Perjalanan pembangunan agropolitan di Indonesia dapat dikatakan relatif
baru. Namun demikian apabila dilihat dari tujuan dan sasarannya barangkali sedah
banyak dikemukakan dengan istilah atau program yang lain yang terkait secara
langsung atau tidak langsung dengan agropolitan (Syahrini, 2001). Selanjutnya
program pembangunan wilayah agropolitan berhadapan dengan aspek ekonomi,
sosial, maupun lingkungan yang ditansformasikan dalam sebuah Model
Pembangunan Agropolitan.
Penjelasan Model Pembangunan Agropolitan dapat dipahami melalui
gambar dibawah ini:
Gambar 2.2. Model Pembangunan Agropolitan

Sumber: Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri, 2012

e. Ekowisata
Pengertian ekowisata (ecotourism) harus dipahami melalui dua sisi yaitu
dari segi konsep dan dari segi pasar. Dari segi konsep, ekowisata merupakan
pariwisata bertanggung jawab yang dilakukan pada tempat-tempat alami, serta
memberi kontribusi terhadap kelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat setempat (TIES - The International Ecotourism Society dengan sedikit

23
modifikasi). Sedangkan menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia, Ekowisata merupakan konsep pengembangan pariwisata
yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian
lingkungan (alam dan budaya) dan meningktkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan
pemerintah setempat.
Sedangkan dari segi pasar, ekowisata dapat dipahami mengacu pada
bentuk kegiatan wisata yang mendukung pelestarian. Ekowisata semakin
berkembang tidak hanya sebagai konsep tapi juga sebagai produk wisata
(misalnya paket wisata). Akhir-akhir ini paket wisata dengan konsep “eko” atau
hijau menjadi trend di pasar wisata. Ekowisata tidak berhubungan langsung
dengan pariwisata yang bersifat tantangan/petualangan. Pada ekowisata lebih
berfokus pada pengamatan dan pemahaman mengenai alam dan budaya pada
daerah yang dikunjungi, dengan mendukung kegiatan pelestarian serta lebih
mengutamakan fasilitas dan jasa yang disediakan oleh masyarakat setempat.
Gambar 2.1. Hubungan Ekowisata dalam Pasar Wisata dan Produknya

Sumber: DPK Kab. Nias Selatan. 2009

24
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada dasarnya pemerintahan desa merupakan pemerintahan terkecil pada


tatanan kenegaraan Republik Indonesia. Karena suksesnya pembangunan desa
akan berpengaruh pada pembangunan Negara Indonesia keseluruhan. Dibutuhkan
aspirasi dan pasrtisipasi masyarakat dalam menyusun perencanaan dan
implementasi pembangunan, diharapkan masyarakat sebagai objek pembangunan
mampu ikut berpartispasi. Disisi lain pemerintah harus dapat menjalankan
kebijakan pembangunan desa yang secara langsung berpengaruh terhadap
aktivitas ekonomi pedesaan disertai kenaikan produktivitas dan pendapatan.
Dengan demikian harus mencakup empat hal, pertama, akses terhadap
sumberdaya, kedua, akses terhadap teknologi, ketiga, akses terhadap pasar,
keempat, akses terhadap sumber-sumber pembiayaan.
Sementara itu kerangka mikro yang menjadi pilihan daerah berhubungan
dengan potensi masing-masing yang dimiliki. Namun demikian berdasarkan
potensi dan permasalahan dominan yang telah di identifikasi sebelumnya,
kebijakan langsung secara nasional bagi peningkatan perekonomian pedesaan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengelola Perbatasan Daerah Kabupaten Kupang. Permasalahan Batas


Wilayah Negara Dan Kawasan Perbatasan Serta Pelaksanaan
Pengelolaannya Di Kabupaten Kupang.
DANSATGASTER PAMTAS RI-RDTL Kodim 1604/Kupang Tentang Format
Pengelolaan TAS.
Kapolres Kupang. 2016. Konflik Teritorial Dan Keamanan Wilayah Perbatasan
Kec. Amfoang Timur, Kab Kupang
Kemitraan Partnership. “Rumusan Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan
Perbatasan Di Nusa Tenggara Timur”.
Nugroho, I. dan Dahuri, R. (2012). “Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi
Sosial dan Lingkungan”. LP3ES: Jakarta.
Pasaribu, M. (1999). “Kebijakan dan Dukungan PSD-PU dalam Pengambangan
Agropolitan”. Makalah Pada Seminar Sehari Pengembangan Agropolitan
dan Agribisnis Serta Dukungan Sarana dan Prasarana, Jakarta 3 Agustus
1999.
Priherdity, Hendro. (2015). “Ekowisata Indonesia, Besar Potensi Minim
Optimalisasi”. Diakses dari www.cnnindonesia.com pada 5 Agustus 2016.
Rustadi, E. dan S. Pranoto. (2007). “Agropolitan Membangun Ekonomi
Perdesaan”. Cetakan Pertama. Crestpen Press: Bogor.
Saragih, Bungaran. (1999). “Pembangunan Agribisnis Sebagai Penggerak Utama
Ekonomi Daerah di Indonesia”. Makalah Pada Seminar Sehari
Pengembangan Agropolitan dan Agribisnis Serta Dukungan Sarana
dan Prasarana, Jakarta 3 Agustus 1999.
Sumodiningrat, Gunawan (2000). “Visi dan Misi Pembangunan Pertanian
Berbasis Pemberdayaan”. Yogyakarta: IDEA.
Suswanta, David & Bachtiar. 2016. Identifikasi Problem Keamanan dan
Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Perbatasan Indonesia (Provinsi
Nusa Tenggara Timur) – Timor Leste Dalam Perspektif Integrative
Approach. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
TIES (The International Ecotourism Society). (2006). “Fact Sheet: Global
Ecotourism. Update edition, September 2006”. Diakses dari
www.ecotourism.org.
Wood, Megan Epler (2002). “Ecotourism, Principles, Practises, and Policies for
Sustainability”. UNEP and TIES Publication.

26
WTO Tourism Education and Training Series (1997). “International Tourism: A
Global Perspective”. World Tourism Organization: Spanyol.
Yohanes. 2012. Human Security & Politik Perbatasan.. Jurusan Politik
Pemerintahan. PolGov UGM
Nuraini, Siti. 2010. Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa. Fisip
UnismaBekasi. Jurnal Kybernan, Vol. 1, No. 1 Maret 2010
http://wrihatnolo.blogspot.co.id/2009/09/meninjau-ulang-
kebijakanpembangunan.html di akses pada tanggal 15 Oktober 2016
pukul 22.36 WIB
Suparjana. Pembangunan Desa. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kependudukan
dan KB

27

Anda mungkin juga menyukai