Anda di halaman 1dari 43

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Pengangguran

a. Definisi Pengangguran

Pengangguran merupakan salah satu masalah dalam makro ekonomi yang

menjadi penghambat pembangunan daerah karena akan menimbulkan masalah

sosial lainnya (Yehosua,et al, 2019). Menurut Sukirno (1994), pengangguran

adalah suatu keadaan dimana seseorang yang termasuk dalam angkatan kerja

ingin memperoleh pekerjaan akan tetapi belum mendapatkannya. Menurut Badan

Pusat Statistik (BPS, 2020) dalam indikator ketenagakerjaan, pengangguran

adalah penduduk yang tidak bekerja namun sedang mencari pekerjaan atau sedang

mempersiapkan suatu usaha baru atau penduduk yang tidak mencari pekerjaan

karena sudah diterima bekerja tetapi belum mulai bekerja.

b. Teori-Teori Pengangguran

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang pengangguran di

Indonesia yaitu :

1. Teori Klasik

Teori Klasik menjelaskan pandangan bahwa pengangguran dapat

dicegah melalui sisi penawaran dan mekanisme harga di pasar bebas

supaya menjamin terciptanya permintaan yang akan menyerap semua

11
penawaran. Menurut pandangan klasik, pengangguran terjadi karena mis-

alokasi sumber daya yang bersifat sementara karena kemudian dapat

diatasi dengan mekanisme harga (Gilarso, 2004).

2. Teori Keynes

Dalam menanggapi masalah pengangguran Teori Keynes

mengatakan hal yang berlawanan dengan Teori Klasik. Menurut Teori

Keynes sesungguhnya masalah pengangguran terjadi akibat permintaan

agregat yang rendah. Sehingga terhambatnya pertumbuhan ekonomi bukan

disebabkan oleh rendahnya produksi akan tetapi rendahnya konsumsi.

Keynes menganjurkan adanya campur tangan pemerintah dalam

mempertahankan tingkat permintaan agregat agar sektor pariwisata dapat

menciptakan lapangan pekerjaan (Soesastro, Hadi dkk, 2005). Hal ini

memiliki tujuan mempertahankan pendapatan masyarakat agar daya beli

masyarakat terjaga. Sehingga tidak memperparah resesi serta diharapkan

mampu mengatasi pengangguran akibat resesi.

3. Teori Kependudukan dari Malthus

Teori Malthus menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk

cenderung melampaui pertumbuhan persediaan makanan. Malthus

menyatakan penduduk cenderung tumbuh secara “deret ukur” (misalnya,

dalam deret 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya) sedangkan persediaan makanan

cenderung tumbuh secara “deret hitung” (misalnya, dalam deret 1,2 3, 4, 5,

6, 7, 8, dan seterusnya).

Apabila ditelaah lebih dalam Teori Malthus ini yang menyatakan

penduduk cenderung bertumbuh secara tak terbatas hingga mencapai batas

12
persediaan makanan, dalam hal ini menimbulkan manusia saling bersaing

dalam menjamin kelangsungan hidupnya dengan cara mencari sumber

makanan, dengan persaingan ini maka akan ada sebagian manusia yang

tersisih serta tidak mampu lagi memperoleh bahan makanan. Pada

masyarakat modern diartikan bahwa semakin pesatnya jumlah penduduk

akan menghasilkan tenaga kerja yang semakin banyak pula, namun hal ini

tidak diimbangi dengan kesempatan kerja yang ada. Karena jumlah

kesempatan yang sedikit maka manusia saling bersaing dalam memperoleh

pekerjaan dan yang tersisih dalam persaingan tersebut menjadi golongan

penganggur (Mahyudin, 2006).

4. Teori Sosiologi Ekonomi No-Marxian

Teori ini menunjukkan dengan adanya pergantian antara sistem

kapitalis kompetitif menjadi kearah sistem kapitalis monopoli, maka akan

terdapat sebagian perusahaan yang masih tidak mampu bersaing dan

menjadi terpuruk. Apabila semua proses produksi dan pemasaran semua

terpengaruh oleh sebuah perusahaan raksasa saja, maka akan

mengakibatkan perusahaan kecil menjadi sangat sulit dalam hal

pemasaran, bisa saja perusahaan kecil tersebut mengalami kebangkrutan

dan tidak lagi mampu menggaji pekerjanya. Setelah perusahaan tersebut

tidak mampu beroperasi lagi, maka para pekerja yang semula bekerja

dalam perusahaan tersebut menjadi tidak mempunyai pekerjaan lagi.

Kemudian akhirnya pekerja tersebut menjadi pengangguran (Mahyudin,

2006).

13
c. Ciri-Ciri Pengangguran

Berdasarakan cirinya, Sukirno (1994) membagi pengangguran menjadi

empat kelompok:

1. Pengangguran Terbuka

Pengangguran ini tercipta sebagai akibat penambahan lowongan

pekerjaan yang lebih rendah dari penambahan tenaga kerja. Sebagai

akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang

tidak dapat memperoleh pekerjaan. Efek dari keadaan ini di dalam suatu

jangka masa yang cukup panjang mereka tidak melakukan suatu

pekerjaan. Jadi mereka menganggur secara nyata dan separuh waktu, dan

oleh karenanya dinamakan pengangguran terbuka. Pengangguran terbuka

dapat pula sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang menurun, dari

kemajuan teknologi yang mengurangi penggunaan tenaga kerja, atau

sebagai akibat dari kemunduran perkembangan suatu industri. Menurut

BPS berdasarkan ILO Manual on Concept and Methods, yang dimaksud

pengangguran terbuka merupakan :

 Mereka yang tak punya pekerjaan dan mencari pekerjaan.

 Mereka yang tak punya pekerjaan dan mempersiapkan usaha.

 Mereka yang tak punya pekerjaan dan tidak mencari pekerjaan,

karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.

 Mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum molai bekerja.

14
2. Pengangguran Tersembunyi

Pengangguran ini sering dijumpai pada sektor pertanian atau jasa.

Setiap kegiatan ekonomi memerlukan tenaga kerja, dan jumlah tenaga

kerja yang digunakan tergantung pada banyak faktor. Faktor yang perlu

dipertimbangkan adalah besar kecilnya perusahaan, jenis kegiatan

perusahaan, mesin yang digunakan (apakah intensif buruh atau intensif

modal) dan tingkat produksi yang dicapai. Pada negara berkembang

seringkali didapati bahwa jumlah pekerja dalam suatu kegiatan ekonomi

adalah lebih banyak dari yang sebenarnya diperlukan supaya ia dapat

menjalankan kegiatannya dengan efisien. Kelebihan tenaga kerja yang

digunakan digolongkan dalam pengangguran tersembunyi. Contoh-

contohnya ialah pelayan restoran yang lebih banyak dari yang diperlukan

dan keluarga petani dengan anggota keluarga yang besar yang

mengerjakan luas tanah yang sangat kecil.

3. Pengangguran Musiman

Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian dan

perikanan. Pada musim hujan penyadap karet dan nelayan tidak dapat

melakukan pekerjaan mereka dan terpaksa menganggur. Pada musim

kemarau pula para petani tidak dapat mengerjakan tanahnya. Disamping

itu pada umumnya para petani tidak begitu aktif di antara waktu sesudah

menanam dan sesudah menuai. Apabila dalam masa tersebut para

penyadap karet, nelayan dan petani tidak melakukan pekerjaan lain maka

mereka terpaksa menganggur. Pengangguran seperti ini digolongkan

sebagai pengangguran bermusim.

15
4. Setengah Menganggur

Pada negara-negara berkembang, migrasi dari desa ke kota sangat

pesat. Sebagai akibatnya tidak semua orang yang pindah ke kota dapat

memperoleh pekerjaan dengan mudah. Sebagian terpaksa menjadi

penganggur sepenuh waktu. Disamping itu ada pula yang tidak

menganggur, tetapi tidak pula bekerja sepenuh waktu, dan jam kerja

mereka adalah jauh lebih rendah dari yang normal. Mereka mungkin hanya

bekerja satu hingga dua hari seminggu, atau satu hingga empat jam sehari.

Pekerja-pekerja yang mempunyai masa kerja seperti yang dijelaskan ini

digolongkan sebagai setengah menganggur (underemployed). Dan jenis

penganggurannya dinamakan underemployment.

16
Secara sederhana pengklasifikasian penduduk yang menganggur dapat dilihat
berdasarkan diagram ketenagakerjaan oleh Badan Pusat Statistik sebagai berikut :

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)


Gambar 4 Diagram ketenagakerjaan

d. Tingkat Pengangguran Terbuka

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pengangguran

adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Menurut Badan Pusat Statistik

(2020), Tingkat Pengangguran Terbuka merupakan persentase jumlah

pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja, TPT mengindikasikan banyaknya

17
angkatan kerja yang tidak terserap dalam pasar tenaga kerja. TPT dapat

dirumuskan sebagai berikut :

JP
TPT = X 100 % (1)
AK

Keterangan :
TPT :Tingkat Pengangguran Terbuka
P : Jumlah Pengangguran
AK : Jumlah Angkatan Kerja

Sektor Pariwisata

a. Definisi Pariwisata

Pariwisata menurut UNWTO (United Nations World Tourism

Organization) merupakan suatu fenomena sosial, kultural, dan ekonomi yang

berhubungan dengan berpindahnya seseorang dari lingkungan tempat tinggalnya

yang umumnya dengan maksud untuk mencari kesenangan (pleasure). Menurut

Badan Pusat Statistik (2019) yang mengacu pada definisi UNWTO, pariwisata

merujuk pada kegiatan berpergian ke suatu tempat atau pergi menginap di tempat

diluar tempat tinggal sehari-harinya dengan tujuan hiburan, pariwisata, maupun

lainnya.

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan, mendefinisikan pariwisata sebagai berbagai macam kegiatan

wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh

masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Sementara wisata

adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang

18
dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan

pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam

jangka waktu sementara.

Menurut A.J Burkat dalam Damanik (2006), parwisata adalah perpindahan

orang untuk sementara dan dalam jangka waktu pendek ke tujuan-tujuan diluar

tempat dimana mereka biasa hidup dan bekerja dan juga kegiatan-kegiatan mereka

selama tinggal di suatu tempat tujuan. Menurut Yoeti (1991:103), pariwisata

berasal dari dua kata yaitu Pari dan Wisata. Pari dapat diartikan sebagai banyak,

berkali-kali, berputar-putar atau lengkap. Sedangkan Wisata dapat diartikan

sebagi perjalanan atau bepergian yang dalam hal ini sinonim dengan kata “travel”

dalam bahasa Inggris. Atas dasar itu maka kata “pariwisata” dapat juga diartikan

sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu

tempat ketempat yang lain yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah

“Tour”.

Konsep dan definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli dan beberapa

instansi merujuk pada satu kesamaan yaitu aktifitas berpergian atau melakukan

perjalanan yang diluar lingkungan tempat tinggal untuk keperluan hiburan /

rekreasi.

b. Hubungan Komponen Sektor Pariwisata Dengan Tingkat Pengangguran

Terbuka

1. Jumlah Tamu Yang Menginap Di Hotel Dan Akomodasi Lainnya

Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan Bab 1 Pasal 2 dinyatakan bahwa wisatawan adalah

19
seseorang yang melakukan wisata. Sementara wisata sendiri merupakan

kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang

dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan

pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi

dalam jangka waktu sementara. Klasifikasi wisatawan menurut Cohen

(1997) dalam Pitana (2005) sebagai berikut :

 Drifter, yaitu wisatawan yang ingin mengunjungi daerah yang

sama sekali belum diketahuinya dan bepergian dalam jumlah kecil.

 Explorer, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan dengan

mengatur perjalanannya sendiri dan tidak mau mengikuti jalan-

jalan wisata yang sudah umum melainkan mencari hal yang tidak

umum (Off the beaten track). Wisatawan seperti ini bersedia

memanfaatkan fasilitas dengan standar lokal dan tingkat interaksi

dengan masyarakat lokal juga tinggi.

 Individual Mass Tourist, yaitu wisatawan yang hanya menyerahkan

pengaturan perjalanannya kepada agen perjalanan dan

mengunjungi daerah tujuan wisata yang sudah terkenal.

 Organized-Mass Tourist, yaitu wisatawan yang hanya mau

mengunjungi daerah tujuan wisata yang sudah dikenal, dengan

fasilitas seperti yang dapat ditemuinya di tempat tinggalnya dan

perjalanannya selalu dipandu oleh pemandu wisata. Wisatawan

seperti ini terkungkung oleh apa yang disebut sebagai

environmental bubble.

20
 Wisatawan Mancanegara Definisi wisatawan ini ditetapkan

berdasarkan rekomendasi International Union of Office Travel

Organization (IUOTO) dan World Tourism Organization (WTO).

Wisatawan macanegara adalah seseorang atau sekelompok orang

yang melakukan perjalanan ke sebuah atau beberapa negara di luar

tempat tinggal biasanya atau keluar dari lingkungan tempat

tinggalnya untuk periode kurang dari dua belas bulan serta

memiliki tujuan untuk melakukan berbagai aktivitas wisata.

Terminologi ini mencakup penumpang kapal pesiar (cruise ship

passenger) yang datang dari negara lain dan kembali dengan

catatan bermalam.

Selain itu juga terdapat wisatawan nusantara, menurut BPS

wisatawan nusantara merupakan penduduk Indonesia yang melakukan

perjalanan di wilayah Indonesia bukan untuk bekerja atau sekolah, kurang

dari 6 bulan dengan kriteria :

 Mereka yang melakukan perjalanan ke objek wisata komersial

(dengan membayar) namun tidak memandang apakah menginap

atau tidak di akomodasi komersial dan/atau perjalanan yang

dilakukan secara pulang pergi lebih dari 100 km atau tidak.

 Mereka yang menginap di akomodasi komersial (dengan

membayar) tetapi tidak melakukan perjalanan ke objek wisata,

walaupun jarak perjalanan pulang perginya kurang dari 100 km.

 Orang yang melakukan perjalanan pulang pergi dengan menempuh

jarak perjalanan lebih dari 100 km yang bukan merupakan

21
lingkungan sehari-hari meski tidak mengunjungi objek wisata dan

tidak menginap di usaha akomodasi komersial.

Dari pernyataan diatas menunjukkan bahwa salah satu syarat wisatawan

dalam hal ini wisatawan nusantara ataupun wisatawan mancanegara

merupakan menginap/bermalam, sehingga jumlahnya dapat didekati

dengan wisatawan yang menginap di usaha akomodasi daerah/provinsi di

Indonesia. Penelitian Probo dan Dewie (2013) menunjukkan bahwa

jumlah pengunjung atau tamu yang menginap di hotel berpengaruh positif

dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di Mojokerto. Hal

tersebut dapat dijelaskan sesuai dengan teori permintaan tenaga kerja

bahwa semakin tinggi permintaan atas suatu barang / jasa, maka

perusahaan akan menambah tenaga kerja untuk meningkatkan produksinya

(Pramusinto, Daerobi, dan Mulyaningsih, 2019). Sejalan dengan Maulana

(2016), bahwa tingginya jumlah tamu yang menginap di hotel

menunjukkan permintaan akan hospitality yang tinggi, sehingga

perusahaan akan menambah jumlah tenaga kerjanya untuk menghadapi

permintaan yang tinggi tersebut (secara otomatis pengangguran akan

menurun). Menurut Sumarsono (2003) untuk menjaga agar permintaan

perusahaan terhadap tenaga kerja/ pemanfaatan tenaga kerja dapat

ditingkatkan, maka harus menjaga agar permintaan akan barang / jasa yang

dalam hal ini adalah permintaan akan hospitality melalui jumlah tamu

yang menginap di hotel harus lebih stabil atau meningkat,

2. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel

22
Berdasarkan definisi BPS, Tingkat Penghunian Kamar (TPK)

Hotel merupakan perbandingan antara banyaknya kamar yang terpakai

dengan banyaknya kamar yang tersedia (persentase), dan dirumuskan

sebagai berikut :

Jumlah kamar yang terpakai


TPK = x 100 % (2)
Jumlah kamar yang tersedia

TPK atau Room Occupancy Rate berpengaruh positif terhadap penyerapan

tenaga kerja, hal ini dapat dijelaskan karena semakin banyak wisatawan

yang menginap di hotel maka Tingkat Penghunian Kamarnya akan

semakin tinggi pula, sehingga pemilik hotel akan menambah tenaga kerja

untuk menangani tingginya kunjungan wisatawan di hotel tersebut dan

dapat mengurangi pengangguran yang ada di wilayah tersebut (Rafif,

2018). Menurut Manurung (2016), semakin tinggi dan stabil tingkat

penghunian kamar maka semakin baik kualitas dari suatu hotel, hal ini

membuat keuntungan yang diperoleh hotel akan bertambah. Untuk

menjaga kestabilan dari tingkat hunian kamar diperlukan ketersediaan

tenaga kerja yang memadai, sehingga perusahaan (hotel) akan menambah

tenaga kerja seoptimal mungkin untuk menjaga dan meningkatkan

keuntungan yang diperoleh. Dengan demikian semakin tinggi hunian

kamar maka semakin tinggi pula penyerapan tenaga kerja, yang mana akan

menurunkan pengangguran. Sejalan dengan Octarisza (2018), bahwa

tingkat hunian kamar hotel menunjukkan keberhasilan sektor perhotelan,

semakin tinggi dan stabil tingkat hunian kamar dari tahun ke tahun, maka

semakin baik kinerja suatu perhotelan. Kinerja dari sektor perhotelan ini

23
tak terlepas dari faktor input yang sangat berperan yaitu tenaga kerja,

untuk meningkatkan kinerja sektor perhotelan diperlukan tenaga kerja

yang memadai untuk bisa memberikan pelayanan dan kenyamanan

terhadap pengunjung yang menghuni kamar hotel. Oleh karena itu hotel

yang memiliki tingkat hunian kamar tinggi, mempekerjakan lebih banyak

tenaga kerja untuk memberikan pelayanan terbaik serta lebih efisien.

Sehingga tingginya tingkat hunian kamar akan meningkatkan pemanfaatan

tenaga kerja di suatu hotel dan secara otomatis tingkat pengangguran akan

menurun.

3. Jumlah Usaha Akomodasi Hotel

Badan Pusat Statistik mendefinisikan usaha akomodasi sebagai

usaha yang menyediakan akomodasi jangka pendek untuk pengunjung dan

pelancong lainnya. Usaha penyediaan akomodasi ini dapat berupa

penyediaan fasilitas akomodasi saja atau fasilitas akomodasi yang disertai

dengan fasilitas makanan dan minuman. Termasuk penyediaan akomodasi

dengan furniture lengkap dengan dapur, dengan atau tanpa jasa

pramuwisma dan sering kali termasuk beberapa tambahan jasa dan fasilitas

seperti fasilitas parkir, binatu, kolam renang, ruang olahraga, fasilitas

rekreasi, dan ruang rapat. Usaha penyediaan akomodasi yang tercakup

disini adalah penyediaan akomodasi jangka pendek yang menyediakan

akomodasi, khususnya untuk harian atau mingguan, yang mana dalam

usaha akomodasi jangka pendek ini merupakan Hotel dan Akomodasi

lainnya (Villa, Pondok remaja, dan lain-lain).

24
Semakin tinggi usaha akomodasi hotel maka akan dibutuhkan

tenaga kerja pada penunjang perhotelan seperti dekorasi hotel, dan

sebagainya maka jumlah tenaga kerja yang diserap akan semakin banyak

lagi. Oleh karena itu perkembangan industri pariwisata berpengaruh positif

pada perluasan kesempatan kerja, khususnya bidang perhotelan yang

bersifat padat karya (Spillane, 2002). Menurut Aryadi (2019) bahwa untuk

membangun suatu perhotelan dibutuhkan banyak tenaga kerja, dari orang

yang mengambil barang-barang konsumen ketika datang atau yang biasa

disebut dengan bell boy, sampai pekerja yang membersihkan kamar

pengunjung, sehingga kenaikan jumlah hotel dan jumlah kamar di suatu

daerah tersebut, maka penyerapan tenaga kerja yang terjadi akan

meningkat dan berarti tingkat pengangguran akan menurun. Seperti yang

dijelaskan dalam teori permintaan bahwa semakin tinggi permintaan

masyarakat terhadap barang/ jasa yang dikonsumsi, maka jumlah tenaga

kerja yang diminta oleh suatu lapangan pekerjaan akan semakin meningkat

(Simanjuntak, 2005). Menurut Susilo (2015), pembangunan pada industri

perhotelan akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan, yang sekaligus

dapat menampung angkatan kerja yang meningkat setiap tahunnya.

Pembangunan suatu hotel/usaha akomodasi akan menciptakan berbagai

macam bidang usaha yang menghasilkan produk-produk maupun jasa

pelayanan yang dibutuhkan wisatawan, sehingga pertumbuhan jumlah

hotel/usaha akomodasi akan membuat dibutuhkannya tenaga kerja untuk

menjalankan hotel tersebut dengan baik dan hal ini akan meningkatkan

25
penyerapan tenaga kerja yang berarti menurunkan tingkat pengangguran

disekitar hotel tersebut.

4. Investasi Sektor Pariwisata

Menurut Deliamor (dalam Nurhayati 2014:7) investasi atau sering

disebut penanaman modal, merupakan pengeluaran perusahaan secara

keseluruhan untuk membeli barang-barang modal riil, baik untuk

mendirikan perusahaan baru maupun untuk memperluas usaha yang telah

ada, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Berdasarkan definisi

tersebut bisa diartikan bahwa investasi pariwisata merupakan penanaman

modal yang dilakukan baik oleh perusahaan dalam negeri (PMDN)

maupun perusahaan asing (PMA) berupa pengeluaran secara keseluruhan

untuk membeli barang-barang modal riil, baik untuk mendirikan

perusahaan baru maupun untuk memperluas usaha yang telah ada pada

bidang pariwisata (Hotel, Restoran, dan akomodasi lainnya), dengan

tujuan untuk memperoleh keuntungan. Menurut Sukirno (2006) melalui

akumulasi modal atau investasi yang semakin meningkat, pertumbuhan

ekonomi dapat dipercepat dan kemakmuran masyarakat dapat

ditingkatkan. Berdasarkan teori Harrod-Domar, yang berkeyakinan bahwa

tingkat pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada tingkat investasi,

semakin tinggi pula tingkat pertumbuhan yang dicapai. Hubungan antara

investasi (PMDN dan PMA) dengan kesempatan kerja menurut Harrod-

Domar dalam Subri (2003), investasi tidak hanya menciptakan permintaan,

tetapi juga memperbesar kapasitas produksi, otomatis akan ditingkatkan

penggunanya. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi

26
rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya

pembangunan, oleh karena itu setiap negara berusaha menciptakan iklim

yang dapat menggairahkan investasi terutama investasi swasta yang dapat

membantu membuka lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan

pertumbuhan ekoonomi dan kesempatan kerja.

Menurut Monalisa (2014), investasi juga merupakan salah satu

faktor yang menentukan laju pertumbuhan ekonomi, karena selain akan

mendorong kenaikan output, investasi juga akan meningkatkan permintaan

input yang salah satunya adalah tenaga kerja, sehingga akan berpengaruh

pada penyerapan tenaga kerja yang semakin tinggi, dimana pada akhirnya

kesejahteraan masyarakat tercapai sebagai akibat dari meningkatnya

pendapatan yang diterima masyarakat. Kenaikan investasi dapat

menyebabkan tingkat pengangguran menurun, terutama investasi pada

sektor ekonomi yang berorientasi padat karya seperti sektor pariwisata

(Putra, 2018). Sejalan dengan Prasaja (2013) bahwa investasi berpengaruh

negatif terhadap pengangguran, karena meningkatnya investasi akan

menciptakan permintaan dan memperbesar kapasitas produksi. Dengan

demikian akan menyerap banyak tenaga kerja sehingga tingkat

pengangguran dapat dikurangi.

Regresi Data Panel

a. Definisi dan Metode

27
Metode analisis data yang digunakan untuk melihat pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependennya dari beberapa unit obesrvasi dan

periode waktu tertentu adalah analisis regresi data panel. Gujarati (2004:28)

menyebutkan bahwa data panel merupakan gabungan antara data runtut waktu

(time series) dan data silang (cross section). Data time series merupakan data yang

terdiri atas satu atau lebih variabel yang akan diamati pada satu unit observasi

dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan data cross section merupakan data

observasi dari beberapa unit observasi dalam satu titik waktu. Pemilihan data

panel dikarenakan di dalam penelitian ini menggunakan rentang waktu beberapa

tahun dan juga banyak perusahaan. Pertama penggunaan data time series

dimaksudkan karena dalam penelitian ini menggunakan rentang waktu lima tahun

yaitu dari tahun 2015-2019. Kemudian penggunaan cross section itu sendiri

karena penelitian ini mengambil data dari beberapa provinsi yang terdiri dari 33

provinsi di Indonesia.

Gujarati (2004:637) mengungkapkan penggunaan data panel memberikan banyak

keuntungan diantaranya sebagai berikut :

1. Data panel mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara

eksplisit dengan mengizinkan variabel spesifik individu

2. Data panel dapat digunakan untuk menguji, membangun dan mempelajari

model-model perilaku yang kompleks

3. Data panel mendasarkan diri pada observasi yang bersifat cross section

yang berulang-ulang (time series), sehingga cocok digunakan sebagai

study of dynamic adjustment.

28
4. Data panel memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih

bervariatif dan dapat mengurangi kolinieritas antar variabel, derajat

kebebasan (degree of freedom/df) yang lebih tinggi sehingga dapat

diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien

5. Data panel dapat digunakan untuk meminimalkan bias yang mungkin

ditimbulkan oleh agregasi data individu.

6. Data panel dapat mendeteksi lebih baik dan mengukur dampak yang

secara terpisah di observasi dengan menggunakan data time series ataupun

cross section.

Kesulitan utama dalam model penelitian data panel adalah faktor pengganggu

akan berpotensi mengandung gangguan yang disebabkan karena penggunaan

observasi runtun waktu (time series) dan antar unit obeservasi (cross section),

serta gangguan yang disebabkan keduanya.

Secara umum persamaan model dasar yang digunakan dalam regresi data panel

adalah model regresi sebagai berikut :

Y ¿ =β 0 + β 1 X 1¿+ β 2 X2¿+ …+ β X kit + ε¿ ¿ ¿ (3)


k

i=1,2 , … , n ; t=1,2 , … , T ; k =1,2 , … , K

Keterangan :

i = subjek ke –i (dimensi cross section)

t = periode waktu (time series)

β0 = nilai intercept

βk = koefisien regresi / slope variabel indpenden ke- k

X kit = variabel independen ke-k , individu ke-i, dan periode ke-t

ε¿ = komponen error komposit individu ke-I periode ke-t

29
Terdapat tiga model yang dapat digunakan untuk melakukan regresi data panel.

Ketiga model tersebut adalah Pooled OLS/ Common Effect, Fixed Effect dan

Random Effect.

1. Model Efek Umum (Common Effect Model) / Pooled Regression

Common Effect Model merupakan pendekatan model data panel yang

paling sederhana karena hanya mengombinasikan data time series dan

cross section dan mengestimasinya dengan menggunakan pendekatan

kuadrat terkecil (Ordinary Least Square/OLS). Pada model ini tidak

diperhatikan dimensi waktu maupun individu, karena tidak memperhatikan

dimensi waktu maupun individu, sehingga intercept dan slope koefisien

dari variabel bebasnya identik untuk semua individu (Gujarati,2004:640).

Common Effect Model dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut:

Y ¿ =β 0 + β 1 X 1¿+ β 2 X2¿+ …+ β X kit + u¿ ¿ ¿ (4)


k

i=1,2 , … n ; t=1,2, … T ; k=1,2 , … , K

Keterangan :

i = subjek ke –i (dimensi cross section)

t = periode waktu (time series)

β0 = nilai intercept

βk = koefisien regresi / slope variabel indpenden ke- k

X kit = variabel independen ke-k , individu ke-i, dan periode ke-t

u¿ = komponen error komposit individu ke-i periode ke-t

2. Model Efek Tetap (Fixed Effect Model)

30
Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat

diakomodasi dari perbedaan intersepnya, dimana setiap individu

merupakan parameter yang tidak diketahui (Gujarati,2004:642). Oleh

karena itu, untuk mengestimasi data panel model fixed effect menggunakan

teknik variable dummy untuk menangkap perbedaan intersep antar

provinsi. Perbedaan intersep tersebut dapat terjadi karena adanya

perbedaan. Namun demikian, slope-nya sama antarprovinsi. Fixed Effect

Model dapat diformulasikan sebagai berikut (Gujarati,2004:642):

Y ¿ =β 0 i+ β1 X 1¿+β 2 X 2¿+… + β X kit +u¿ ¿ ¿ (5)


k

i=1,2 , … n ; t=1,2, … T ; k=1,2 , … , K

Keterangan :

i = subjek ke – i (dimensi cross section)

t = periode waktu (time series)

β0i = nilai intercept untuk masing-masing individu

βk = koefisien regresi

X kit = variabel independen ke-k, individu ke-i, periode ke-t

u¿ = komponen error komposit individu ke-i periode ke-t

Pada model, β 0 i menunjukkan adanya perbedaan intercept, perbedaan ini

bisa terjadi antar individu dan antar waktu. Perbedaan tersebut dapat

ditentukan dengan memasukkan variabel dummy, yang mana model FEM

sendiri biasa disebut juga dengan Model Least-Square Dummy Variable

(LSDV).

Apabila terjadi perbedaan intercept antar individu maka model yang

terbentuk sebagai berikut :

31
Y ¿ =α 0+ α 1 D1 i+ α 2 D 2 i+ …+α i D ¿ + β1 X 1¿+β 2 X 2¿+… + β X kit +u¿ ¿ ¿
k

(6)

Nilai dari variabel dummy antar individu ditunjukkan dalam DNi yang akan

bernilai satu apabila n = i.

Apabila terjadi perbedaan intercept antar waktu maka model yang

terbentuk sebagai berikut :

Y ¿ =❑0 +❑1 Dum(t −1 )1 +❑2 Dum(t −1)2+ …+❑(t −1) Dum (t−1 )T + β 1 X 1¿+ β 2 X2¿+ …+ β X kit + u¿ ¿ ¿
k

(7)

Nilai dari variabel dummy antar waktu ditunjukkan dalam Dum( t−1) T yang

akan bernilai satu apabila T = t-1

Apabila terjadi perbedaan intercept antar individu dan juga waktu, maka

model yang terbentuk sebagai berikut :

Y ¿ =α 0+ α 1 D1 i+ α 2 D2 i+ …+α i D¿ +❑0+❑1 Dum(t−1)1 +❑2 Dum(t−1)2 +…+❑(t −1) Dum( t−1) T + β 1 X 1¿+β 2 X

(8)

Berdasarkan asumsi struktur matriks varians-covarians residual-nya,

metode estimasi yang digunakan dalam Fixed Effect Model adalah sebagai

berikut (Ekananda,2006) :

a) Ordinary Least Square (OLS), jika struktur matriks varians-

covarians residual-nya diasumsikan homoskeadastik dan tidak ada

korelasi secara cross sectional.

b) Generalized Least Square (Cross Section Weight), jika struktur

matriks varians-covarians residual-nya diasumsikan bersifat

heteroskedastik dan tidak ada korelasi secara cross sectional.

32
c) Seemingly Unrelated Regression (SUR), jika struktur matriks

varians-covarians residual-nya diasumsikan bersifat

heteroskedastik dan terdapat korelasi secara cross sectional.

3. Model Efek Random (Random Effect Model)

Model ini akan mengestimasi data panel dimana variabel gangguan

mungkin saling berhubungan antarwaktu dan antarindividu. Berbeda

dengan fixed effect model terletak pada perlakuan terhadap intercept. Pada

model Fixed Effect setiap unit cross section memiliki nilai intercept

tersendiri dan bersifat tetap (fixed), sementara pada Random Effect Model

intercept merepresentasikan nilai rata-rata dari sebuah cross sectional

intercept dan komponen error, yang mana menunjukkan perbedaan

individu dalam intercept-nya masing-masing. secara umum Random Effect

Model dapat diformulasikan sebagai berikut (Gujarati,2004:647):

Y ¿ =β 0 i+ β1 X 1¿+β 2 X 2¿+… + β X kit +u ¿ ¿ ¿ (9)


k

i=1,2 , … , n ;t=1,2 , … T ; k =1,2 ,.. , K

β 0 i diasumsikan sebagai random variable dengan nilai rata-rata β 0. Nilai

intercept untuk masing-masing unit cross section dapat dituliskan sebagai

berikut

β 0 i=β 0 +ε i (10)

dengan i=1 , … , n

ε imerupakan random error term dengan rata-rata nol dan varians σ 2u.

Dengan demikian persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut :

Y ¿ =β 0 + β 1 X 1¿+ β 2 X2¿+ …+ β X kit + εi+ u ¿ ¿ ¿


k

¿ β 0 + β 1 X 1¿+ β 2 X2¿+ …+ β X kit + w¿ ¿ ¿


k

33
w ¿=ε i +u¿ (11)

w ¿ merupakan residual gabungan yang terdiri dari dua komponen, yaitu ε i

adalah komponen residual cross section, dan u¿ merupakan komponen

residual gabungan antara cross section dan time series. Asumsi yang harus

dipenuhi dalam model ini yaitu :


2
ε i N (0 , σ u)

2
u¿ N (0 , σ u)

E ( ε i u¿ )=0 E ( ε i ε j ) =0(i ≠ j)

E ( u¿ uis ) =E ( u¿ u jt )=E ( u ¿ u js ) (i≠ j ; t ≠ s)

b. Tahapan Pemilihan Model

Berdasarkan ketiga model yang terdapat dalam regresi data panel,

selanjutnya akan dipilih model terbaik yang sesuai dengan kasusnya. Pemilihan

model dapat dilakukan dengan beberapa pengujian yaitu uji Chow untuk memilih

antara CEM dan FEM, kemudian uji Hausman yang digunakan untuk memilih

antara FEM dan REM, serta uji Breusch-Pagan Lagrange Multiplier untuk

memilih antara CEM dan REM.

1. Uji Chow

Uji ini dilakukan untuk menguji antara model common effect dan

fixed effect. Berdasarkan Baltagi (2005:13) prosedur pengujiannya dapat

dilakukan sebagai berikut :

Hipotesis :

H0 : μ1 = μ 2 = … = μ n-1 = 0 (digunakan model common effect)

H1 : minimal ada satu μ i ≠ 0 dengan i=1,2 , ..,( n−1)(digunakan model

fixed effect)

34
Statistik Uji :

RRSS−URSS
( )
n−1
F hitung = F(n−1 ,nT−n−k ) (12)
URSS
nT −n−k

Keterangan :

n = Jumlah individu (dimensi cross section)

T = Periode observasi (dimensi time series)

k = Jumlah variabel independen

RRSS = Restricted Residual Sum of Square (R2 dari model OLS)

URSS = Unrestricted Residual Sum of Square (R2 dari model

LSDV)

Pedoman yang akan digunakan dalam pengambilan kesimpulan uji Chow

adalah sebagai berikut :

- Jika nilai Fhitung > F(n−1 ,nT −n−k) artinya H0 ditolak; maka digunakan

model fixed effect.

- Jika nilai Fhitung ≤ F(n−1 ,nT −n−k) artinya H0 diterima; maka digunakan

model Common effect.

2. Uji Hausman

Uji dilakukan untuk menguji apakah data dianalisis dengan

menggunakan fixed effect atau random effect, pengujiannya dengan

melihat apakah terdapat hubungan antara error pada model ( error

komposit) dengan satu atau lebih variabel independen dalam model.

Prosedur pengujiannya dapat dilakukan sebagai berikut

(Greene,2012:419).

Hipotesis :

35
H0 : E ( u¿ ∨X ¿ )=0 ( tidak ada korelasi antara residual dengan variabel

independen, maka digunakan model random effect)

H1 : E ( u¿ ∨X ¿ ) ≠ 0 ( terdapat korelasi antara residual dengan variabel

independen, maka digunakan model fixed effect)

Statistik Uji : Uji Chi-Square dengan Kriteria Wald

W =[ b LSDV − ^βGLS ] ' ¿ ¿~ χ (k−1)


2

(13)

Keterangan :

b LSDV = matriks estimasi varians-kovarians slope pada FEM (LSDV)


REM = matriks estimasi varians-kovarians slope pada REM (GLS)

Pedoman yang digunakan dalam pengambilan kesimpulan uji Hausman

adalah sebagai berikut :


2
- Jika nilai W > χ (k−1) artinya H0 ditolak; maka digunakan model

estimasi fixed effect.


2
- Jika nilai W ≤ χ (k−1) artinya H0 diterima; maka digunakan model

estimasi Random effect.

3. Uji Breusch-Pagan Lagrange Multiplier (Uji BP-LM)

Uji BP-LM dilakukan untuk menguji apakah data dianalisis dengan

menggunakan random effect atau common effect. Sesuai namanya uji

signifikansi ini menggunakan uji Lagrange Multiplier yang dikembangkan

oleh Breusch-Pagan (Greene,2012:416).

Hipotesis :
2
H0 : σ u=0 (varians residual cross section = 0 , maka digunakan model

common effect)

36
H1 : σ 2u ≠ 0 (varians residual cross section ≠ 0 , maka digunakan model

random effect)

Statistik Uji :

nT
BPLM= ¿¿ (14)
2 (T −1 )

Keterangan :

e¿ = residual Common Effect Model (OLS)

Pedoman yang akan digunakan dalam pengambilan kesimpulan uji BP-LM

adalah sebagai berikut :


2
- Jika nilai statistik BPLM > nilai χ (1), maka H0 ditolak, yang artinya

digunakan model random effect.


2
Jika nilai statistik BPLM ≤ nilai χ (1), maka H0 diterima, yang

artinya digunakan model common effect.

Pengujian Struktur Variance-Covariance Residual

Struktur varians-kovarians residual digunakan untuk estimasi parameter

struktur model yang dijelaskan sebelumnya, hasil pengujian berikutnya akan

dilakukan perbaikan model agar mendapatkan estimasi yang bersifat Best Linear

Unbiased Estimator (BLUE). Dalam pengujiannya harus disesuaikan dengan

kondisi matriks varians-kovarians residual (Ekananda,2006). Berikut pengujian

pemilihan estimator berdasarkan kondisi matriks varians-kovarians residual :

a. Estimator Struktur Homoskedastik atau Heteroskedastik (Uji LM)

37
Untuk mengetahui struktur matriks varians-kovarians residual yang

terbentuk, perlu dilakukan uji Lagrange Multiplier (Greene, 2003:328).

Prosedur pengujiannya sebagai berikut:

Hipotesis :

H0 : σ 2i =σ 2 (struktur matriks varians-kovarians residual bersifat

homoskedastik)

H1 : minimal terdapat satu σ 2i ≠ σ 2 (struktur matriks varians-kovarians

residual bersifat heteroskedastik)

Statistik Uji :

[ ]
2 2
T
n
σ^ i
LM = ∑ 2 −1
2
χ (n−1) (15)
2 i=1 σ^

Keterangan :

σ^ 2i : varians residual persamaan ke-i pada kondisi homoskedastik

σ^
2
: varians residual persamaan system pada kondisi homoskedastik

T : periode waktu observasi

Pedoman yang akan digunakan dalam pengambilan kesimpulan uji LM

adalah sebagai berikut :


2
- Jika nilai statistik LM > nilai χ (n−1), maka H0 ditolak, yang artinya

struktur matriks varians-kovarians bersifat heteroskedastik dan

dilanjutkan dengan pengujian berikutnya


2
- Jika nilai statistik LM ≤ nilai χ (n−1), maka H0 gagal ditolak, yang

artinya struktur matriks varians-kovarians bersifat homoskedastik

dan dilanjutkan dengan menggunakan metode estimasi OLS.

38
b. Estimator Struktur Heteroskedastik tanpa Cross Sectional Correlation atau

Estimator Struktur Heteroskedastik dengan Cross Sectional Correlation

Uji ini bertujuan mengetahui apakah struktur matriks varians-

kovarians residual yang terbentuk memiliki Cross Sectional Correlation

(korelasi antarindividu) atau tidak. Pengujian ini dilakukan apabila pada

Uji LM sebelumnya mendapatkan hasil struktur varians-kovarians residual

bersifat heteroskedastik (Greene, 2003:327). Prosedur pengujiannya

sebagai berikut:

Hipotesis :

H0 : Cov (ui,uj) ¿ 0 ,dengan i ≠ j (struktur varians-kovarians residual

bersifat heteroskedastik tanpa Cross Sectional Correlation)

H1 : Cov (ui,uj) ≠ 0 ,dengan i ≠ j (struktur varians-kovarians residual

bersifat heteroskedastik dengan Cross Sectional Correlation)

Statistik Uji :
n i−1
❑LM =T ∑ ∑ r ij χ
2 2
n (n−1 ) (16)
i=2 j=1 ( )
2

Keterangan :
2
r ij : residual correlation coefficient ke-ij

T : periode waktu observasi

Pedoman yang akan digunakan dalam pengambilan kesimpulan

pengujiannya adalah sebagai berikut :


2
- Jika nilai statistik ❑LM > nilai χ ( n(n−1) ), maka H0 ditolak, yang
2

artinya struktur varians-kovarians residual bersifat heteroskedastik

dengan Cross Sectional Correlation dan digunakan metode

39
estimasi Feasible Generalized Least Square (FGLS) dengan

permodelan Seemingly Unrelated Regression (SUR)


2
- Jika nilai statistik ❑LM ≤ nilai χ ( n(n−1) ), maka H0 gagal ditolak, yang
2

artinya struktur varians-kovarians residual bersifat heteroskedastik

tanpa Cross Sectional Correlation dan digunakan metode

Generalized Least Square (GLS)

Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik merupakan prasyarat analisis regresi data panel.

Sebelum melakukan pengujian hipotesis yang diajukan dalam penelitian perlu

dilakukan pengujian asumsi klasik yang meliputi uji asumsi normalitas, uji

nonmultikolinieritas, uji homoskedastisitas dan uji nonautokorelasi, hal ini perlu

dilakukan agar estimasi yang dihasilkan bersifat Best Linear Unbiased Estimator

(BLUE).

- Uji Normalitas

Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi panel residual variabel-variabelnya mengikuti distribusi normal

atau tidak. Hal ini ditunjukkan dengan melihat apakah residual memiliki

rata-rata nol dan variance sebesar σ 2 serta mengikuti distribusi normal.

Pengujiannya dilakukan dengan uji statistik Jarque-Berra (JB) dengan

Hipotesis sebagai berikut :

 H0 : uit ~ N(0,σ 2) (residual berdistribusi normal)

 H1 : uit ≁ N(0,σ 2) (residual tidak berdistribusi normal)

40
Hipotesis nol akan ditolak apabila probabilitas dari nilai statistik ujinya

kurang dari α, Statistik Uji Jarque-Berra (JB) adalah sebagai berikut

(Jarque, 2011:701) :

( )
2
NT 2 ( Kur −3 ) 2
JB= W + χ (2) (17)
6 4

W merupakan Skewness dan “Kur” adalah Kurtosis. Jarque-Berra

mengikuti distribusi Chi-Square dengan degree of freedom sebesar dua.

pedoman yang akan digunakan dalam pengambilan kesimpulan adalah

sebagai berikut:
2
 Jika nilai JB > χ (2) maka residual tidak berdistribusi normal

2
 Jika nilai JB ≤ χ (2) maka residual berdistribusi normal

- Uji non-multikolinieritas

Uji non-multikolinearitas yang bertujuan untuk menguji apakah

dalam model regresi tidak ditemukan adanya hubungan linier antar

variabel independen. Apabila terjadi multikolinearitas, maka variance

koefisen regresinya akan menjadi besar dan confidence interval menjadi

lebar yang menyebabkan estimasi koefisien menjadi tidak signifikan.

Selain itu juga koefisien determinasi (R2) akan bernilai tinggi dan uji F

simultan signifikan namun apabila diuji secara parsial banyak variabel

yang tidak signifikan.

Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas di dalam regresi adalah

dengan beberapa cara, yaitu yang pertama dengan melihat korelasi antar

variabel independen. Jika dihasilkan koefisien korelasi antar variabel

independen tinggi dalam hal ini diatas 0,8 maka diduga terdapat

41
multikolinearitas yang cukup kuat (Gujarati, 2004:362). Cara berikutnya

yang lebih formal yaitu dengan melihat nilai Variance Inflation Factor

(VIF), yang dirumuskan sebagai berikut (Gujarati, 2004:353) :

1 1
VIF= = (18)
tolerance 1−R 2k

Keterangan :
2
Rk : Koefisien determinasi variabel ke-k ; dengan k = 1,2,…,K

Multikolinearitas kuat terjadi apabila nilai VIF didapatkan lebih besar dari

sepuluh (Gujarati,2004:362)

- Uji Homoskedastisitas

Asumsi Homoskedastisitas menunjukkan varians residual bersifat

konstan sepanjang periode waktu dan individu. Uji homoskedastisitas

telah dilakukan pada tahapan pemilihan estimasi matriks variance-

covariance dan dijadikan acuan dalam menentukan model estimasi,

apabila matriks variance-covariance bersifat heteroskedastik maka metode

estimasi yang dipilih adalah Seemingly Uncorelated Regression (SUR) dan

jika matriks variance-covariance bersifat homoskedastik maka digunakan

metode estimasi Ordinary Least Square (OLS).

- Uji non-autokorelasi

Uji non-autokorelasi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

korelasi antara residual yang satu dengan lainnya pada pengamatan yang

berbeda waktu atau individu. Apabila asumsi ini tidak terpenuhi maka

dampak yang ditimbulkan adalah koefisien regresi unbiased namun tidak

efisien, kemudian varians dari residual cenderung underestimate, serta uji

42
F simultan dan uji t parsial menghasilkan kesimpulan yang tidak benar

mengenai signifikansi koefisien regresinya (Gujarati, 2004:454).

Untuk menguji non-autokorelasi dapat digunakan uji Durbin-Watson

(Gujarati, 2004:467) dengan prosedur pengujian sebagai berikut :

Hipotesis :

H0 : E ( v ¿ , v is ) =0 ( tidak ada korelasi antara residual atau non-autokorelasi)

H1 : E ( v ¿ , v is ) ≠ 0 ( terdapat korelasi antara residual atau terjadi

autokorelasi)

Statistik Uji :
N T

∑ ∑ (^u¿ , u^ ¿−1)2
i=1 t =2
d= N T (19)
∑ ∑ u^ ¿
2

i=1 t =1

Keterangan :

u^ ¿ = residual untuk setiap individu ke-i pada periode ke-t

Nilai d akan dibandingkan dengan nilai Du dan DL yang merupakan

batas atas (DU) dan nilai batas bawah (D L) pada tabel Durbin-Watson

(Gujarati, 2004:470) dengan keputusan uji sebagai berikut:

43
Tabel 1. Tabel keputusan uji Durbin-Watson

Nilai d Keputusan

(1) (2)

0 < d < DL Tolak H0 , autokorelasi positif

DL ≤ d ≤ DU Tidak dapat disimpulkan

DU < d < 4 - DU Gagal tolak H0, nonautokorelasi

4 – DU ≤ d ≤ 4 - DL Tidak dapat disimpulkan

4 – DL < d < 4 Tolak H0 , autokorelasi negatif

Uji Keberartian Model

Tahapan akhir dalam permodelan suatu persamaan regresi data panel

adalah mengetahui seberapa baik dan berarti model yang terbentuk, untuk

mengetahuinya maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

 Pemeriksaan koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi menunjukkan seberapa besar suatu variabel

independen dapat menjelaskan variabel dependen, semakin tinggi nilai

koefisien determinasi maka model regresi yang terbentuk semakin baik.

Koefisien determinasi dirumuskan sebagai berikut (Gujarati, 2004:217) :

2
R=
∑ (Y^ −Y )2 = ESS =(1− RSS )=(1− ∑ u^i2 ) (20)
∑ (Y i−Y )2 TSS TSS ∑ ( Y i −Y )2
Keterangan :

ESS : Explained Sum of Square atau Sum of Square due to

Regression

RSS : Residual Sum of Squares

TSS : Total Sum of Squares

44
Terdapat pula adjusted R2 yang merupakan koefisien determinasi yang

telah disesuaikan dengan banyaknya variabel independen, dirumuskan sebagai

berikut (Gujarati, 2004:537) :

Untuk model terpilih CEM dan REM

2 2 nT−1
Adjusted R =1−(1−R ) (21)
nT −k−1

Untuk model terpilih FEM

2 2 nT −1
Adjusted R =1−(1−R ) (22)
nT −n−k

Jumlah individu ditunjukkan oleh n, periode yang diamati dinotasikan

dengan T, dan jumlah variabel independen yang digunakan adalah k.

 Nilai Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Information

Criterion (SIC)

Nilai AIC dan SIC merupakan salah satu kriteria untuk mengetahui

baiknya suatu model selain dari nilai koefisien determinasi (R2 atau adjusted

R2 ) yang tinggi mendekati 1. Nilai AIC dan SIC memiliki kelebihan khusus

dibandingkan dengan adjusted R2, yaitu mampu untuk melihat model dengan

jumlah variabel independen yang banyak atau model yang kompleks. Menurut

Gujarati (2004:531) sebuah model dikatakan baik apabila memiliki nilai AIC

dan SIC yang kecil, berikut merupakan persamaan AIC dan SIC (Gujarati,

2004:537-538) :
2k
RSS
AIC=e n
(23)
n
k
RSS
SIC=n n
(24)
n

Keterangan :

45
RSS : Residual Sum of Square

k : jumlah parameter yang diestimasi

n : jumlah observasi

 Uji Koefisien Regresi Simultan

Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel independen secara

simultan/ bersama-sama signifikan mempengaruhi variabel dependen.

Prosedur uji simultan adalah sebagai berikut (Gujarati, 2004:257) :

Hipotesis :

H0 : β 1=β 2=..=β k =0

H1 : minimal terdapat satu β k ≠ 0 , dengan k =1,2 ,.. , K

Statistik uji :

Untuk model terpilih CEM dan REM

ESS/(k−1) R2 /( k−1)
F Hitung= = F (25)
RSS/( nT −k −1) (1−R 2)/( nT −k −1) (k−1);(nT−k−1)

Untuk model terpilih FEM

ESS /(n+ k−1) R 2 /(n+ k−1)


F Hitung= = F (26)
RSS/( nT −k −1) (1−R 2)/( nT −n−k ) ( n+k−1 ); ( nT −n−k )

Pedoman dalam mengambil kesimpulan dari uji simultan adalah sebagai

berikut :

- Jika nilai Fhitung > F (n+ k−1 ); (nT−n−k ) artinya H0 ditolak; maka terdapat

minimal satu variabel independen yang berpengaruh signifikan

terhadap variabel dependen

- Jika nilai Fhitung ≤ F (n+ k−1 ); (nT −n−k ) artinya H0 gagal ditolak; maka

tidak terdapat satu variabel independen yang berpengaruh

signifikan terhadap variabel dependen

46
 Uji Koefisien Regresi Parsial

Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel independen secara

parsial signifikan mempengaruhi variabel dependen. Prosedur uji parsial

adalah sebagai berikut (Gujarati, 2004:134-135) :

Hipotesis :

H0 : β k =0 (tidak terdapat pengaruh variabel

independen ke-i terhadap variabel

dependen)

H1 : β k < 0 , dengan k =1,2 ,.. , K (terdapat pengaruh negatif variabel

independen ke-i terhadap variabel

dependen)

Atau

H0 : β k =0 (tidak terdapat pengaruh variabel

independen ke-i terhadap variabel

dependen)

H1 : β k > 0 , dengan k =1,2 ,.. , K (terdapat pengaruh positif variabel

independen ke-i terhadap variabel

dependen)

Statistik uji :

Untuk model terpilih CEM dan REM

^β k
t Hitung = t (nT −k−1) (27)
s e ( ^β k )

Untuk model terpilih FEM

47
^β k
t Hitung= t (nT−n− k ) (28)
se( ^βk )

Keterangan :

se( ^βk ) : Simpangan baku dari nilai penduga parameter ke-k

^β k : Penduga parameter ke-k

Pedoman dalam mengambil kesimpulan dari uji parsial adalah sebagai berikut:

- Jika nilai thitung >t (nT −n−k )(positif) atau thitung < −t (nT −n −k ) (negatif)

artinya H0 ditolak; maka variabel independen ke-k secara parsial

berpengaruh signifikan positif atau negatif terhadap variabel

dependen.

- Jika nilai thitung ≤ t (nT−n−k ) (positif) atau thitung ≥ −t (nT −n −k ) (negatif)

artinya H0 gagal ditolak; maka variabel independen ke-k secara

parsial tidak berpengaruh signifikan positif atau negatif terhadap

variabel dependen.

Untuk nilai p-value satu arah dengan pengaruh negatif dapat dilihat

dengan menggunakan rumus berikut :

p−value satu arah=1− p ( t hitung ) ¿ ¿ ¿ (29)

p−value satu arah=p ( t hitung ) [ ¿ ed ] (30)

2.2 Penelitian Terkait

Kurangnya penelitian terkait sektor pariwisata terhadap variabel Tingkat

Pengangguran Terbuka. maka dapat didekati dengan penyerapan tenaga kerja

yang mana dalam kasus ini pengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja

secara tidak langsung menunjukkan pengaruh negatif terhadap Tingkat

48
Pengangguran Terbuka, artinya semakin tinggi tenaga kerja yang diserap maka

pengangguran akan semakin menurun.

Penelitian Ghaniy, dkk (2017) menggunakan variabel jumlah wisatawan

domestik dan mancanegara di hotel, jumlah hotel dan kamar, serta jumlah UMK

dengan regresi data panel menunjukkan pengaruh positif dan signifikan terhadap

penyerapan tenaga kerja di 9 Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2012-

2015. Hasil yang sama didapatkan dalam penelitian Tulumang, George, dan

Imelda (2019) menggunakan variabel tingkat upah, jumlah kamar hotel, jumlah

wistawan di hotel dengan metode regresi berganda semuanya berpengaruh positif

terhadap penyerapan tenaga kerja di kota Manado. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Pavlic, Tolic dan Svilokos (2015) menggunakan

variabel PDB, nilai tukar riil, jumlah wisatawan di hotel, GFCF (Gross Fixed

Capital Formation), Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, dan ekspor dengan

metode analisis VECM yang membuktikan bahwa kedatangan wisatawan dapat

menurunkan tingkat pengangguran terbuka lewat sektor pariwisata di negara

Kroasia. Penelitian Probo dan Dewie (2013) dengan analisis deskriptif

menunjukkan bahwa jumlah pengunjung atau tamu yang menginap di hotel

berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di

Mojokerto. Hal ini dapat dijelaskan dalam penelitian Maulana (2016) kunjungan

wisatawan yang menginap di hotel memiliki pengaruh dalam aktivitas ekonomi

karena apabila permintaan barang/jasa dalam hal ini hospitality dari wisatawan,

maka itu akan memengaruhi dan meningkatkan penyerapan tenaga kerjanya juga.

Sehingga semakin tinggi kunjungan wisatawan yang menginap di hotel maka

49
semakin tinggi penyerapan tenaga kerjanya yang otomatis menurunkan tingkat

pengangguran.

Menurut penelitian yang dilakukan Hasmarini, et al.(2018) dengan

menggunakan variabel jumlah hotel dan restoran, jumlah objek wisata, jumlah

wisatawan, tingkat pendapatan penduduk menunjukkan pengaruh positif dan

signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja di provinsi D.I. Yogyakarta. Sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Mbaiwa (2011), bahwa jumlah hotel

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka,

penelitian tersebut membahas bahwa industri pariwisata di Delta Okavango,

Botswana mengandalkan perusahaan pariwisata multinasional yang berasal dari

negara – negara kaya dan Afrika Selatan. Dengan adanya efek tersebut

pembangunan hotel menjadi sangat menguntungkan karena berdampak secara

sosio-ekonomi yang meliputi pengembangan usaha wisata, akomodasi, layanan

restoran, penyediaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat

Dalam penelitian Rafif (2018) menggunakan variabel TPKH, Modal

Kerja, dan Tingkat Upah dengan metode regresi berganda menunjukkan ketiga

variabel tersebut secara positif dan signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga

kerja di Kota Batu, dijelaskan pula bahwa semakin tinggi nilai tingkat hunian

kamar hotel maka penyerapan tenaga kerja yang terserap bisa bertambah juga.

Hasil yang sama juga didapatkan dalam penelitian Octarisza (2018) menggunakan

variabel TPKH, UMP, dan Wisatawan yang menginap di hotel dengan analisis

regresi linear berganda menunjukkan pengaruh positif terhadap penyerapan tenaga

kerja di Jawa Tengah tahun 1987-2016. Hal tersebut dijelaskan dengaan adanya

jumlah wisatawan yang tinggi diharapkan dapat mendorong para pengusaha untuk

50
melihat bahwa ada peluang usaha yang menjanjikan pada sektor perhotelan.

Selain itu, dengan adanya tingkat hunian kamar hotel meningkat dan penyerapan

tenaga kerja bisa optimal dapat mengurangi tingkat pengangguran.

Penelitian yang dilakukan Monalisa (2014) dengan analisis Input-Output

menunjukkan simulasi penanaman modal atau investasi sebesar Rp. 100 Miliar

pada sektor pariwisata mampu meningkatkan pendapatan di semua sektor–sektor

perekonomian provinsi Banten sebesar Rp.21,57 Miliar, selain itu juga menyerap

tenaga kerja di seluruh sektor perekonomian sebesar 1.136 orang. Hasil ini

didukung oleh penelitian Arli (2018) dengan menggunakan variabel jumlah objek

wisata, jumlah wisatawan, jumlah hotel, tingkat investasi dan jumlah PDRB

dianalisis dengan regresi data panel menunjukkan bahwa ke lima variabel tersebut

berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat tahun

2011-2015, sehingga semakin tinggi tenaga kerja yang diserap maka

pengangguran akan menurun.

Berdasarkan penelitian terdahulu dapat dilihat bahwa secara umum

komponen-komponen sektor pariwisata menunjukkan pengaruh terhadap Tingkat

Pengangguran Terbuka, hal ini dapat dilihat dengan variabel-variabel seperti

jumlah wisatawan, Tingkat Penghunian Kamar Hotel, jumlah investasi pariwisata,

jumlah usaha akomodasi hotel menunjukkan pengaruh negatif terhadap Tingkat

Pengangguran Terbuka. Perbedaan yang ditunjukkan dalam penelitian ini

terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yaitu terdapat tambahan variabel

investasi pariwisata yang di analisis dengan metode data panel, serta lokus

wilayah dan periode penelitian yang diamati berfokus pada 33 provinsi di

Indonesia pada tahun 2015-2019.

51
2.3 Kerangka Pikir

Berdasarkan kajian pustaka dan penelitian-penelitian terdahulu, seperti

penelitian Pavlic, Tolic, dan Svilokos (2015) yang menggunakan salah satunya

variabel jumlah tamu hotel, kemudian Mbaiwa (2011) dengan variabel jumlah

usaha akomodasi hotel, selanjutnya Rafif (2018) dengan variabel Tingkat

Penghunian Kamar Hotel, Monalisa (2014) dengan investasi pariwisata semuanya

secara umum menunjukkan pengaruh terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka,

sehingga dapat disusun kerangka pikir sebagai berikut :

JUMLAH HOTEL DAN


USAHA AKOMODASI

TINGKAT PENGHUNIAN
KAMAR HOTEL
TINGKAT
PENGANGGURAN
TERBUKA
INVESTASI PARIWISATA
(HOTEL DAN RESTORAN)

JUMLAH TAMU
BERPENGARUH
MENGINAP DI HOTEL
NEGATIF

Gambar 5. Bagan alur kerangka pikir

52
2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori-teori dan penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan hipotesis

penelitian sebagai berikut :

1. Diduga jumlah usaha akomodasi memberikan pengaruh negatif terhadap

Tingkat Pengangguran Terbuka.

2. Diduga Tingkat Penghunian Kamar Hotel memberikan pengaruh negatif

terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka.

3. Diduga investasi pariwisata (Hotel dan Restoran) memberikan pengaruh

negatif terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka.

4. Diduga jumlah tamu menginap di hotel memberikan pengaruh negatif

terhadap Tingkat Pengangguran Terbuka.

53

Anda mungkin juga menyukai