PENDAHULUAN
Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi terkaya di Indonesia karena sumber dayanya
didominasi oleh sumber alam, terutama minyak bumi, gas alam, karet, kelapa sawit dan
perkebunan serat. Provinsi Riau memiliki potensi yang besar pada alam dan jika kedua hal ini
dapat dikelola dengan maksimal, maka pembangunan daerah dapat optimal . Oleh sebab itu,
pemerintah membuat kebijakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan terhadap daerah
untuk mengelola potensi yang ada di daerah tersebut, hal ini di paparkan oleh Syamsuar selaku
Gubernur Riau. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah
mengenai hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah dalam mengurus dan mengatur
kegiatan pemerintahan daerah serta kepentingan masyarakat daerahnya masing-masing dengan
peraturan daerah yang berlaku yang dikenal dengan istilah otonomi daerah.
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur seluruh kepentingan yang terjadi di masyarakat setempat menurut aspirasi
demi meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam segi
pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerah tersebut (Umum,
2017). Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan 2 otonomi daerah yaitu membebaskan pemerintah
pusat dari berbagai beban dan menangani urusan suatu daerah yang bisa diserahkan kepada
pemerintah daerah seperti transfer tidak bersyarat yang diberikan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Transfer tidak bersyarat meliputi Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi
Hasil yang berasal dari pajak dan hasil sumber daya alam serta Dana Alokasi Umum (DAU).
Disamping itu, pemerintah pusat memberikan kewenangan atas sumber pendanaan lain seperti
Pendapatan Asli Daerah, pembiayaan dan lain-lain pendapatan kepada pemerintah daerah
(Ratulangi, 2018).
Realita yang terjadi pada setiap daerah adalah kabupaten yang mempunyai pendapatan
yang akan lebih maju perkembangannya dibandingkan dengan kabupaten yang memiliki
Pendapatan Asli Daerah yang relatif lebih rendah maka kabupaten tersebut akan cenderung
mengharapkan transfer dana tidak bersyarat yang lebih besar dari pemerintah pusat. Hal ini
diakibatkan karna tidak meratanya Pemerintah Daerah pada setiap kota/kabupaten dalam
mengembangkan pendapatan daerah mereka (Kusumadewi & Rahman, 2007).
Penduduk Kabupaten/Kota
Hasil Sensus Penduduk 2020 (September 2020)/The result of The 2020 Indonesian census (September
2020) Tahun 2021-2023 : Hasil Proyeksi Penduduk Interim 2020–2023 (Pertengahan tahun/Juni)
Untuk mencapai maksud sesuai dengan penjelasan di atas, maka penulis harus mencari
informasi guna mencapai tujuan untuk:
1. Mengetahui dan menganalisis dynamic governance dalam rencana pembangunan
daerah di Kota Pekanbaru Provinsi Riau.
2. Mengetahui dan menganalisis factor-faktor pendukung dan penghambat dalam rencana
pembangunan daerah di Provinsi Riau.
3. Mengetahui dan menganalisis tentang kelayakan rencana pembangunan daerah di Kota
Pekanbaru Provinsi Riau
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemerintah merupakan pihak yang paling penting dan berperan sebagai penggerak
dalam pembangunan, yaitu melalui perencanaan pembangunan. Perencanaan
pembangunan adalah suatu usaha pemerintah untuk mengkoordinasikan semua keputusan
ekonomi dalam jangka panjang untuk mempengaruhi secara langsung serta mengendalikan
pertumbuhan variabelvariabel ekonomi yang penting. Perencanaan pembangunan yang
ditujukan untuk mencapai setiap sasaran dan tujuan pembangunan pada dasarnya disusun
oleh pemerintah melalui badan perencanaan. Sejak digulirkannya Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan “Pemerintah daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sistem perencanaan pembangunan di Indonesia adalah bersifat Bottom-Up, yaitu
sistem perencanaan yang berasal dari bawah (masyarakat, daerah) ke atas (pemerintah)
sehingga perencanaan diserahkan kepada pemerintah daerah bersama-sama dengan
masyarakat daerah.
Akan tetapi perencanaan tersebut harus tetap selaras dengan program dan tujuan
pembangunan nasional. Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan daerah ini disusun
perencanaan pembangunan daerah sebagai suatu bentuk kesatuan system perencanaan
nasional yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda).kebijakan, proyek dan program yang realistis , serta secara konsisten
mengkoordinasikan seluruh aktivitas organisasi untuk mengarah pada pencapaian tujuan (
Neo & Chen, 2007, p. 30).
2. Terbatasnya kualitas sumber daya aparatur serta penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dan terbatasnya SDM yang berkompeten dalam penyusunan dokumen perencanaan.
Demi mewujudkan dokumen perencanaan yang berkualitas tentunya harus didukung oleh aparatur
perencana yang memiliki kompetensi dan kemampuan dibidang perencanaan. Pemerintah Provinsi
Riau masih sedikit memiliki aparatur perencana yang memiliki kemampuan dalam bidang
perencana. Tentunya kemampuan di bidang perencanaan dapat diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan tentang perencanaan. Kebutuhan akan aparatur perencana selain dibutuhkan pada
Bappeda Provinsi Riau, juga dibutuhkan oleh SKPD lainnya sebagai perencanaan pada SKPD
dimaksud. Minimal untuk masing-masing SKPD pada sub bagian bina program harus memiliki 1
orang staf yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan dibidang perencanaan serta 1 orang
fungsional perencana.
3. Belum optimalnya ketersediaan data dan informasi perencanaan pembangunan dan terbatasnya
data yang valid dan berkualitas ini disebabkan karena Koordinasi dengan stakeholders di bidang
data masih kurang. Ketersediaan data dan informasi menjadi salah satu factor penting di dalam
penyusunan perencanaan. Ketersediaan data yang akurat akan memudahkan menghitung
perencanaan yang matang terhadap apa yang diinginkan pada periode selanjutnya.
Oleh karena itu jumlah data yang lengkap sebagai dasar analisis perencanaan pembangunan yang
dapat diakses dengan sistem on line/elektronik dapat menjadi indikator pelaksanaan kinerja
pelayanan Bappeda Provinsi Riau.
4. Tidak optimalnya koordinasi antar SKPD atau Instansi sehingga kesesuaian rencana dengan
implementasi masih rendah. Dan Kurangnya koordinasi dengan stakeholders dalam penyusunan
program pembangunan tahunan sehingga tidak tepat waktu. Hal ini terjadi karena Dipengaruhi
faktor Belum Optimalnya Peran aktif dari SKPD terhadap perencananan dan adanya ego sektoral.
Kebijakan otonomi daerah dalam realisasinya masih banyak persoalan dan kendala
implementasi, yang disebabkan oleh Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia
(SDM) terbatas, aturan pelaksanaannya yang selalu berubah serta kepentingan politik lebih
dominan dari pada kepentingan ekonomi atau lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
pemerintah daerah harus pandai menyelenggarakan pemerintahannya sehingga tercipta tata kelola
pemerintahan yang baik serta adanya evaluasi yang berskala atas capaian daerah dalam kurun
waktu tertentu dan merupakan salah satu cara yang digunakan pemerintah daerah dalam mencapai
pemerintahan yang baik. Pengukuran kinerja merupakan komponen yang penting sebagai dasar
untuk menilai keberhasilan dan kegagalan plaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan
yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi. Fungsi dari pengukuran kinerja dapat menjelaskan
mengenai evaluasi bagaimana program 2 tersebut berjalan, sarana perbandingan atas pelayanan
yang diberikan, dan sebagai alat komunikasi dengan publik. Dengan demikian penting untuk
melakukan pengukuran kinerja sehingga dapat mengungkapkan bahwa dengan melakukan
pengukuran kinerja pemerintah daerah memperolah informasi yang dapat meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan sehingga akan meningkatkan pelayanan yang akan diberikan kepada
masyarakat.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang hanya menjadi urusan pemerintah pusat, maka
daerah dalam menyelenggarakan otonomi bertujuan dan berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat sebagaimana dipesankan para pejuang kemerdekaan yang telah
mengorbankan jiwa dan raganya tanpa pamrih. Oleh karena itu pemerintahan daerah perlu dikelola
dengan baik sehingga mampu menanggapi, memanfatkan, dan menghadapi tantangan tuntutan
tersebut di atas secara efektif dan efisien. Pengaruh globalisasi dalam lingkup pemerintahan “akan
melahirkan tatanan pemerintahan baru dengan dimensi orientasi ke masa depan, berjiwa wirausaha
dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat yang lebih luas”.
Dalam era globalisasi saat ini pemerintahan suatu bangsa, terutama di Negara-negara
berkembang tidak akan pernah terhindarkan dari kondisi ketergantungannya kepada negara-negara
lain, ataupun institusi global lainnya yang berkepentingan terhadap keseimbangan dan ketahanan
sistem ekonomi yang menjadi salah satu pusatnya di Asia Tenggara. Kondisi tersebut apabila
ditinjau dari aspek penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, maka pemerintah daerah beserta
masyarakat dan dunia usaha/swasta akan semakin memainkan peranan besar dalam membangun
kemakmuran dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Semakin
pentingnya peran daerah memposisikan kemampuannya dalam persaingan bebas di era ekonomi
global ini, menunjukkan semakin penting dan mendesaknya pelaksanaan yang lebih luas lagi,
terarah, memiliki landasan yang kuat terhadap pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi di bidang
administrasi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, serta semakin menguatnya
tuntutan publik terhadap perbaikan mutu dan keterpaduan perencanaan pembangunan daerah
sebagai jembatan untuk mengkatalisasi kepentingan yang bersifat lokal, regional dan nasional
dalam pembangunan.
Semua ini merupakan peluang sekaligus tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan
pemerintahan daerah yang baik (good governance). Terkait dengan hal tersebut, bagi daerah-
daerah seperti kabupaten/kota di Provinsi Riau peluang dan tantangan tersebut belum sepenuhnya
dapat direspon, karena pada umumnya pemerintah kabupaten/kota masih menghadapi kendala
sebagai berikut :
1. Kurang optimalnya pelaksanaan kewenangan dan urusan baik yang bersifat wajib
maupun tambahan yang diserahkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Kelembagaan birokrasi pemerintahan daerah belum tertata dengan baik sebagai akibat
dari kebijakan tentang kelembagaan yang sering berubah-ubah dan kurang menunjukkan
konsistensinya;
6. Adanya ketimpangan sosial ekonomi yang tajam, diperparah oleh kenyataan bahwa basis
ekonomi swasta rapuh (apalagi setelah krisis moneter dan ekonomi). Kecenderungan ini
mengakibatkan perlunya menata kembali strategi perekonomian nasional yang berorientasi kepada
daerah dengan basis pembangunan ekonomi kerakyatan;
7. Jumlah penduduk miskin yang relatif masih tinggi, disebabkan oleh faktor internal
maupun eksternal, menjadikan konsentrasi pembangunan menjadi bias antara upaya
penanggulangan kemiskinan disatu sisi dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik
melalui perwujudan penyelenggaraan pemerintahan yang baik;
8. Masih terdapatnya sejumlah kendala internal birokrasi pemerintahan baik yang bersifat
manajerial maupun teknis operasional, sehingga kurang optimal kinerja yang dihasilkannya.
Dengan dilatarbelakangi oleh sejumlah permasalahan di atas, maka sebagai upaya untukm
mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukannya kajian yang mengarah pada upaya upaya
yang konsepsional tentang perwujudan nilai-nilai dari suatu penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (good governance), yang pada dasarnya baik pemerintah Provinsi Riau maupun Pemerintah
Kabupaten/Kota telah mencoba mengarahkan berbagai kebijakan dan kegiatan pemerintahan dan
pembangunannya.
disertai pula dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber
daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Implikasi dari keseluruhan di
atas adalah daerah harus mempunyai dan mampu menyusun kebijakan-kebijakan publik, yang
harus bermuatan, untuk :
Formulasi kebijakan publik, dapat dibedakan ke dalam empat hal, yaitu (Rian Nugroho
karena setiap masalah publik memerlukan model formulasi kebijakan publik yang
berlainan;
b. Mengarah pada permasalahan inti karena setiap pemecahan masalah harus benarbenar mengarah
pada inti permasalahannya;
c. Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka keabsahan maupun
kesamaan dan keterpaduan langkah perumusan;
d. Mendayagunakan sumberdaya yang ada secara optimal, baik dalam bentuk sumberdaya waktu,
dana, manusia, dan kondisi lingkungan strategis. Dalam formulasi kebijakan publik harus
diperhatikan pula muatannya, yaitu hal-hal yang relevan dengan masalah yang hendak dipecahkan,
relevan dengan masalah masalah strategis yang dihadapi serta relevan dengan tujuan yang hendak
dicapai. Dalam kaitannya dengan pencapaian good governance maka kebijakan publik harus dapat
memenuhi kriteria sebagai berikut :
Secara teknis dalam menyusun kebijakan publik harus pula dihindarkan hal-hal sebagai
berikut :
e. Adanya pasal atau ayat yang mengandung lebih dari satu muatan;
Perlu pula diingat bahwa kebijakan pelayanan publik harus dilakukan evaluasi secara
periodik, untuk mendapatkan feed back dari masyarakat. Kebijakan publik yang paling substansial
dan mendasar bagi pemerintahan daerah adalah :
a. Pelayanan kesehatan;
b. Pelayanan pendidikan;
d. Pelayanan sosial.
Keempat pelayanan dasar tersebut pada hakekatnya adalah tiang dari pemerintahan
modern, namun fakta di lapangan masih menunjukkan kurang sempurnanya pelayanan pada empat
aspek tersebut. Akses untuk menuju penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sesuai dengan
nilai dan karakteristik good governance tersebut adalah Pemberdayaan penyelenggaraann otonomi
daerah, Penerapan prinsip-prinsip manajemen dan sistem akuntabilitas dalam pelaksanaan
pemerintahan, Pemberdayaan kelembagaan pemerintahan, Peningkatan kualitas personil aparatur,
Pembentukan birokrasi yang handal, Penerapan etika pencegahan KKN, pemberdayaan DPRD
sebagai bagian dari pemerintahan daerah.
Usaha menuju penyelenggaraan pemerintahan daerah Riau sesuai dengan nilai dan
karakteristik good governance, pada dasarnya telah diupayakan namun hasilnya belum optimal.
Hal ini sebagai akibat dari kondisi pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Riau masih menghadapi
hal-hal berikut keterbatasan aparatur daerah, yang profesional baik mutu/jumlahnya, belum
samanya visi untuk mewujudkan kesejahteraan diantara domain pemerintahan daerah, yaitu
pemerintah, swasta dan masyarakat, lemahnya kelembagaan di tingkat kabupaten/kota sehingga
belum berfungsi secara optimal, masih adanya keterbatasan infrastruktur, kemiskinan dan
ketertinggalan pendidikan masyarakat, sehingga menghambat kelancaran proses penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
UU otonomi daerah yang mulai bergulir sejak reformasi 1998 diindikasikan sebagai
langkah ‘kompromi’ untuk menyatukan dua wacana yang berbeda. Dua wacana itu ialah
keinginan untuk melakukan perubahan bangunan negara menuju bentuk federal dan
keinginan untuk tetap mempertahankan bangunan negara kesatuan dengan memberikan
perluasan kepada aspek desentralisasi dan otonomi daerah. Modus kompromi ini tampak
jelas dari perumusan konsepsi yuridis padapasal 1 huruf C tentang pengertian desentralisasi
dan pasal 7 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang kewenangan daerah (Mahardika
2004). Kedua konsepsi yuridis inilah yang pada hakekatnya menjadi pangkal permasalahan
dari berbagai permasalahan yang menyangkut pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi)
di Indonesia. Sehingga UU otonomi daerah tersebut perlu direvisi yang lebih
mengedepakan sistem tambal-sulam. Walaupun dalam UU 32 Tahun 2004 ini pengertian
desentralisasi tetap menyertakan kalimat dalam sistem negara kesatuan RI, tetapi
pelaksanaannya tetap mengarah pada penguatan konsep federalisme yang merefleksikan
pemerintahan pusat yang kuat. Sebab yang diserahkan oleh pemerintah daerah kepada
Pemerintah Pusat lebih dominan menyangkut wewenang pemerintahan, bukan urusan
pemerintahan.
Karena itu untuk menghindari warna federalis dalam UU tentang pemerintahan daerah,
kriteria untuk menentukan urusan pemerintah bagi daerah otonom, wajib dicantumkan di
dalam UU pemerintahan daerah. Sementara revisi terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 juga
harus memperhatikan ketegasan makna dan kepastian hukum.
Sebagai bagian dari perjuangan rakyat, otonomi khusus Riau menghadapi dua
pilihan dilematis, antara memperjuangkan desentralisasi atau realitas peran pemerintah
pusat yang ’relatif’ masih kuat dan terjadinya disintegrasi lokal. Oleh karena itu, perlu
adanya ideologi dan sinkronisasi dalam membangun gerakan perjuangannya. Pengalaman
dalam penggalangan Kongres Rakyat Riau (KRR) II yang faktanya syarat kepentingan dan
pengelompokan pendapat ketika itu antara pilihan merdeka, otonomi luas (baca: khusus)
atau federal, seharusnya tidak lagi menjadi pilihan (alternatif), kecuali otonomi khusus itu
sendiri (desentralisasi). Artinya, pilihan otonomi khusus ialah keniscayaan. Dengan
demikian kekuataan argumentasi menjadi landasan gerakan yang harus dilakukan secara
sistemik. Kajian-kajian akedemik yang mendukung dapat dijadikan argumentasi bahwa
Riau layak mendapat otonomi khusus disejalankan dengan gerakan yang lebih terintegrasi,
terarah dan sistemtis akan lebih mudah. Oleh karena itu, secara esensi mengapa perlunya
ideologi dan sinkronisasi sebagai basis perjuangan dalam upaya menjembatani tarik-
menarik antara sentralisasi (keberadaan pemerintah pusat yang masih kuat, terdapat
argumentasi yang perlu disampaikan.
Pertama, dari sisi gerakan sejarah di Riau terlihat bahwa pilihan atau alternatif
justru menjadi pemicu dan pemecah konsentrasi yang berujung pada pro-kontra yang
kemudian menyebabkan tuntutan menjadi lemah. Kedua, pengalaman Aceh dan Papua
melaksanakan otonomi khusus baik yang positif maupun negatif, seharusnya menjadi
pelajaran berharga secara spesifik bagi forum dan umumnya masyarakat Riau secara
keseluruhan. Ketiga, menjadi awal gerakan terhadap keberhasilan (efek domino) bahwa
perjuangan otonomi khusus Riau merupakan langkah awal dalam memperjuangkan
kepentingan Riau pada tingkat nasional. Oleh karena itu jika perjuangan ini gagal, maka
secara efek domino menyebabkan kegagalan perjuangan lainnya. Sehingga dapat
dipastikan perjuangan ini garansi terhadap keberhasilan atau kegagalan. Walaupun selalu
mengatasnamakan kesejahteraan rakyat tidak harus mencapai keberhasilannya.