Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi terkaya di Indonesia karena sumber dayanya
didominasi oleh sumber alam, terutama minyak bumi, gas alam, karet, kelapa sawit dan
perkebunan serat. Provinsi Riau memiliki potensi yang besar pada alam dan jika kedua hal ini
dapat dikelola dengan maksimal, maka pembangunan daerah dapat optimal . Oleh sebab itu,
pemerintah membuat kebijakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan terhadap daerah
untuk mengelola potensi yang ada di daerah tersebut, hal ini di paparkan oleh Syamsuar selaku
Gubernur Riau. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah
mengenai hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah dalam mengurus dan mengatur
kegiatan pemerintahan daerah serta kepentingan masyarakat daerahnya masing-masing dengan
peraturan daerah yang berlaku yang dikenal dengan istilah otonomi daerah.

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur seluruh kepentingan yang terjadi di masyarakat setempat menurut aspirasi
demi meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam segi
pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerah tersebut (Umum,
2017). Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan 2 otonomi daerah yaitu membebaskan pemerintah
pusat dari berbagai beban dan menangani urusan suatu daerah yang bisa diserahkan kepada
pemerintah daerah seperti transfer tidak bersyarat yang diberikan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Transfer tidak bersyarat meliputi Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi
Hasil yang berasal dari pajak dan hasil sumber daya alam serta Dana Alokasi Umum (DAU).
Disamping itu, pemerintah pusat memberikan kewenangan atas sumber pendanaan lain seperti
Pendapatan Asli Daerah, pembiayaan dan lain-lain pendapatan kepada pemerintah daerah
(Ratulangi, 2018).
Realita yang terjadi pada setiap daerah adalah kabupaten yang mempunyai pendapatan
yang akan lebih maju perkembangannya dibandingkan dengan kabupaten yang memiliki
Pendapatan Asli Daerah yang relatif lebih rendah maka kabupaten tersebut akan cenderung
mengharapkan transfer dana tidak bersyarat yang lebih besar dari pemerintah pusat. Hal ini
diakibatkan karna tidak meratanya Pemerintah Daerah pada setiap kota/kabupaten dalam
mengembangkan pendapatan daerah mereka (Kusumadewi & Rahman, 2007).

Data Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk di Provinsi Riau

Penduduk Kabupaten/Kota (Jiwa)


Kabupaten/Kota
2021 2022 2023

Bengkalis 573 504 582 973 592 390

Dumai 323 452 331 832 340 310

Indragiri Hilir 658 025 660 747 663 248

Indragiri Hulu 453 241 464 076 475 002

Kampar 857 752 878 210 898 840

Kepulauan Meranti 209 460 213 532 217 607

Kuantan Singingi 339 894 345 850 351 786

Pekanbaru 994 585 1 007 540 1 020 308

Pelalawan 399 264 410 988 422 907

RIAU 6 493 603 6 614 384 6 735 329

Rokan Hilir 646 791 658 407 669 996

Rokan Hulu 570 952 582 679 594 438

Siak 466 683 477 550 488 497

Penduduk Kabupaten/Kota

Hasil Sensus Penduduk 2020 (September 2020)/The result of The 2020 Indonesian census (September
2020) Tahun 2021-2023 : Hasil Proyeksi Penduduk Interim 2020–2023 (Pertengahan tahun/Juni)

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2023


1.2 Identifikasi Masalah
Berangkat dari persoalan diatas, maka beberapa masalah yang ditemukan di Provinsi Riau
terutama di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau adalah:
1. Belum adanya Peraturan Gubernur tentang perencanaan pembangunan daerah di Kota
Pekanbaru Provinsi Riau.
2. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Riau
belum termasuk dalam rencana pembangunan daerah di Kota Pekanbaru Provinsi Riau.
3. Adanya tumpeng tindih tugas pokok dan fungsi antara Bappeda Provinsi Riau dengan
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
4. Diperlukan pertimbangan yang matang dalam setiap kebijakan pemekaran dan
pembentukan suatu provinsi baru harus memastikan tercapainya akselerasi di berbagai
bidang tersebut, yang pada giliran akhirnya bermuara pada kesejahteraan rakyat.
5. Pelaksanaan dynamic governance dalam pemerintahan Provinsi Riau masih belum
maksimal.

1.3 Pembatasan Masalah


Sehubungan dengan adanya keterbatasan tenaga, waktu dan biaya penelitian, serta untuk
menjamin agar tidak terjadinya kesimpangsiuran pembahasan. Dengan demikian maka dalam
penelitian ini penulis hanya memfokuskan pada teori pemerintah daerah terutama dalam hal
pemekaran provinsi baru, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan
juga lokus (tempat) penelitian pemerintahan yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Provinsi Riau.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut diatas maka dirumuskan beberapa masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perencanaan pembangunan daerah di Kota Pekanbaru Provinsi Riau?
2. Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat perencanaan pembangunan daerah di Kota
Pekanbaru Provinsi Riau?
3. Apa sajakah upaya mengatasi faktor penghambat perencanaan pembangunan daerah di
Kota Pekanbaru Provinsi Riau?
1.5 Maksud dan Tujuan Penelitian

Untuk mencapai maksud sesuai dengan penjelasan di atas, maka penulis harus mencari
informasi guna mencapai tujuan untuk:
1. Mengetahui dan menganalisis dynamic governance dalam rencana pembangunan
daerah di Kota Pekanbaru Provinsi Riau.
2. Mengetahui dan menganalisis factor-faktor pendukung dan penghambat dalam rencana
pembangunan daerah di Provinsi Riau.
3. Mengetahui dan menganalisis tentang kelayakan rencana pembangunan daerah di Kota
Pekanbaru Provinsi Riau
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU

Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang


berkesinambungan yang meliputi segala aspek kehidupan masyarakat dan negara untuk
mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam UUD 1945. Pembangunan nasional
dilaksanakan secara berkesinambungan dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam proses pelaksanaan pembangunan tersebut
diperlukan suatu proses yang harus dilaksanakan melalui tahapan-tahapan untuk dapat
memaksimalkan sasaran pembangunan. Tahapan yang paling awal dan merupakan tahapan
yang paling vital adalah tahap perencanaan. Sebagai tahapan awal, tahap perencanaan akan
menjadi pedoman ataupun acuan dasar bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan. Oleh
karena itu perencanaan tersebut harus bersifat implementatif.

Pemerintah merupakan pihak yang paling penting dan berperan sebagai penggerak
dalam pembangunan, yaitu melalui perencanaan pembangunan. Perencanaan
pembangunan adalah suatu usaha pemerintah untuk mengkoordinasikan semua keputusan
ekonomi dalam jangka panjang untuk mempengaruhi secara langsung serta mengendalikan
pertumbuhan variabelvariabel ekonomi yang penting. Perencanaan pembangunan yang
ditujukan untuk mencapai setiap sasaran dan tujuan pembangunan pada dasarnya disusun
oleh pemerintah melalui badan perencanaan. Sejak digulirkannya Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan “Pemerintah daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sistem perencanaan pembangunan di Indonesia adalah bersifat Bottom-Up, yaitu
sistem perencanaan yang berasal dari bawah (masyarakat, daerah) ke atas (pemerintah)
sehingga perencanaan diserahkan kepada pemerintah daerah bersama-sama dengan
masyarakat daerah.
Akan tetapi perencanaan tersebut harus tetap selaras dengan program dan tujuan
pembangunan nasional. Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan daerah ini disusun
perencanaan pembangunan daerah sebagai suatu bentuk kesatuan system perencanaan
nasional yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda).kebijakan, proyek dan program yang realistis , serta secara konsisten
mengkoordinasikan seluruh aktivitas organisasi untuk mengarah pada pencapaian tujuan (
Neo & Chen, 2007, p. 30).

Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional, Bappeda mempunyai peranan yang penting di dalam
melaksanakan perencanaan daerah. Perencanaan pembangunan daerah yang direncakan
oleh Bappeda dimulai dari tingkat desa/ kelurahan, kecamatan, kabupaten dan kota, hingga
tingkat propinsi melalui Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan). Dalam
perencanaan pembangunan daerah ini diperlukan adanya partisipasi masyarakat lokal
dalam pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Fungsi dan peran BAPPEDA sebagai
lembaga teknis daerah yang bertanggung jawab terhadap perencanaan pembangunan
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 14, ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah adalah urusan perencanaan dan pengendalian
pembangunan.

Kewenangan perencanaan pengendalian tersebut kemudian dipertegas kembali


dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dari 26 (dua puluh enam) urusan wajib dan 8 (delapan) urusan pilihan,
sesuai dengan pasal 7, ayat (2), BAPPEDA sebagai salah satu lembaga teknis daerah yang
merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah, mengemban 3 (tiga) urusan wajib yang
harus dilaksanakan, yaitu urusan kordinasi penyelenggaraan penataan ruang, perencanaan
pembangunan dan urusan statistic strategi yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-
peluang baru dan mencegah potensi ancaman.
Dapat diartikan bahwa maksud berpikir ke depan adalah untuk mendorong satu
lembaga dalam menilai risiko strategi dan kebijakan saat ini, me-refresh tujuan, dan konsep
inisiatif kebijakan baru untuk mempersiapkan masa depan.

Dikantor pemerintahan, kelemahan mendasar yang dihadapi adalah pegawai saling


bekerja sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang jelas, sehingga membuat arah persimpangan.
Komunikasi dan kooordinasi memang kata yang sangat sederhana, namun seringkali dua
hal tersebut tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya ego sektoral sehingga tidak
terjalin sesama pegawai. Dengan koordinasi diharapkan keharmonisan atau keserasian
seluruh kegiatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sehingga setiap departemen atau
perusahaan atau bagian menjadi seimbang dan selaras. Dan pada Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Riau dengan koordinasi diharapkan dapat
mengharmoniskan para pegawainya dengan adanya koordinasi yang jelas sehingga tidak
terjadi persimpangan dalam pencapaian tujuan. Berikut adalah tabulasi jumlah pegawai
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 3 Tahun 2014 Tentang


Organisasi Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Lembaga Teknis
Daerah Provinsi Riau, yang dijabarkan dalam Peraturan Gubernur Riau Tentang Rincian
Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau,
menyebutkan bahwa BAPPEDA Provinsi Riau mempunyai tugas dan fungsi salah satu
diantaranya adalah: (1)Penyelenggaraan koordinasi dan fasilitasi pada Sekretariat, Bidang
Sosial Budaya, Bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam, Bidang Infrastruktur dan
Lingkungan Hidup, Bidang Penelitian dan Kerjasama Pembangunan, Bidang Sumber Daya
Aparatur, Bidang Statistik, Pelaporan dan Evaluasi. (2)Perumusan kebijakan perencanaan
pembangunan daerah jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.
(3)Pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan daerah jangka panjang,
jangka menengah dan jangka pendek. (4)Pengkoordinasian data statistik dan informasi
pembangunan daerah. (5)Evaluasi perencanaan pembangunan daerah dan penyiapan bahan
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur.
Dalam pengamatan peneliti, terlihat belum optimalnya koordinasi Pimpinan dalam
pelaksanaan tugas ASN pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi setelah dilakukan
penelitian prasurvei dengan gejala-gejala diantaranya:

1. Belum Optimalnya sinkronisasi dokumen perencanaan pembangunan. Dimana dalam dokumen


perencanaan pembangunan itu terdiri dari (RPJP Nasional, RPJM Nasional, Renstra SKPD, Renja
SKPD,RKPD). Dan didalam Renstra dan Renja didalamnya terdiri atas berbagai program dan
kegiatan dalam perencanaan pembangunan,dan dalam pembuatan renja harus mengacu kepada
Renstra, dan yang yang sering terjadi sampai saat ini adalah tidak sinkronnya kegiatan yang ada
di Renja dan Renstra. Berikut kutipan dari Kasubbid Ekonomi: “Dokumen perencanaan itu ada
banyak mulai dari RPJPD,RPJMD,Renstra,Renja, yang kemudian dijabarkan menjadi RKPD dan
yang paling sering ditemui ketidak sinkronan itu ada didalam program kegiatan renja dan renstra
SKPD, padahal pembuatan renja itu mengacu kepada Renstra dan tidak sinkronan ini sering terjadi
dengan alasan yang tidak logis”

2. Terbatasnya kualitas sumber daya aparatur serta penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dan terbatasnya SDM yang berkompeten dalam penyusunan dokumen perencanaan.
Demi mewujudkan dokumen perencanaan yang berkualitas tentunya harus didukung oleh aparatur
perencana yang memiliki kompetensi dan kemampuan dibidang perencanaan. Pemerintah Provinsi
Riau masih sedikit memiliki aparatur perencana yang memiliki kemampuan dalam bidang
perencana. Tentunya kemampuan di bidang perencanaan dapat diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan tentang perencanaan. Kebutuhan akan aparatur perencana selain dibutuhkan pada
Bappeda Provinsi Riau, juga dibutuhkan oleh SKPD lainnya sebagai perencanaan pada SKPD
dimaksud. Minimal untuk masing-masing SKPD pada sub bagian bina program harus memiliki 1
orang staf yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan dibidang perencanaan serta 1 orang
fungsional perencana.

3. Belum optimalnya ketersediaan data dan informasi perencanaan pembangunan dan terbatasnya
data yang valid dan berkualitas ini disebabkan karena Koordinasi dengan stakeholders di bidang
data masih kurang. Ketersediaan data dan informasi menjadi salah satu factor penting di dalam
penyusunan perencanaan. Ketersediaan data yang akurat akan memudahkan menghitung
perencanaan yang matang terhadap apa yang diinginkan pada periode selanjutnya.
Oleh karena itu jumlah data yang lengkap sebagai dasar analisis perencanaan pembangunan yang
dapat diakses dengan sistem on line/elektronik dapat menjadi indikator pelaksanaan kinerja
pelayanan Bappeda Provinsi Riau.

4. Tidak optimalnya koordinasi antar SKPD atau Instansi sehingga kesesuaian rencana dengan
implementasi masih rendah. Dan Kurangnya koordinasi dengan stakeholders dalam penyusunan
program pembangunan tahunan sehingga tidak tepat waktu. Hal ini terjadi karena Dipengaruhi
faktor Belum Optimalnya Peran aktif dari SKPD terhadap perencananan dan adanya ego sektoral.

5. Masih kurangnya peran pengendalian, monitoring dan evaluasi pembangunan.(Sumber:


Renscana Strategis Bappeda Provinsi Riau Tahun 2014-2019) Bappeda Provinsi Riau memiliki
163 orang pegawai yang terdiri dari 23 orang pejabat struktural, 140 orang staff. Komposisi
pegawai tersebut telah sesuai dengan beban kerja namun, dalam hal penempatan pegawai masih
belum sesuai dengan kebutuhan bidang keahliannya yang memerlukan ketepatan metoda analisis,
ketepatan waktu, tepat sasaran dan tepat dari sisi anggaran. Berdasarkan kondisi obyektif yang
dipaparkan di atas, kapasitas Bappeda sebagai lembaga perencanaan pembangunan di Provinsi
Riau perlu diperkuat agar dapat memastikan berjalannya proses perencanaan pembangunan secara
baik. Berdasarkan Permasalahan yang telah diuraikan diatas dan mengingat pentingnya akan
adanya atau dilaksanakannya suatu koordinasi, maka bersama dengan itu peneliti tertarik untuk
mengangkat judul “Analisis Koordinasi Pimpinan Dalam Pelaksanaan Tugas Aparatur Sipil
Negara (ASN) Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Riau.”
2.2 KONSEP PEMERINTAH DAERAH PROVINSI RIAU

Otonomi daerah diberlakukan dengan diterbitkannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999


kemudian direvisi melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dengan demikian,
pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola sumber daya yang dimilikinya dan melaksanakan
tata kelola pemerintahan yang baik sehingga akan berdampak pada pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat. Otonomi daerah biasanya diterapkan di negara-negara yang demokratis dan
berbentuk serikat dan kesatuan. Otonomi daerah bisa diartikan sebagai kewajiban yang dikuasakan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna
dan juga hasil guna penyelenggaran pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kebijakan otonomi daerah dalam realisasinya masih banyak persoalan dan kendala
implementasi, yang disebabkan oleh Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia
(SDM) terbatas, aturan pelaksanaannya yang selalu berubah serta kepentingan politik lebih
dominan dari pada kepentingan ekonomi atau lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka
pemerintah daerah harus pandai menyelenggarakan pemerintahannya sehingga tercipta tata kelola
pemerintahan yang baik serta adanya evaluasi yang berskala atas capaian daerah dalam kurun
waktu tertentu dan merupakan salah satu cara yang digunakan pemerintah daerah dalam mencapai
pemerintahan yang baik. Pengukuran kinerja merupakan komponen yang penting sebagai dasar
untuk menilai keberhasilan dan kegagalan plaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan
yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi. Fungsi dari pengukuran kinerja dapat menjelaskan
mengenai evaluasi bagaimana program 2 tersebut berjalan, sarana perbandingan atas pelayanan
yang diberikan, dan sebagai alat komunikasi dengan publik. Dengan demikian penting untuk
melakukan pengukuran kinerja sehingga dapat mengungkapkan bahwa dengan melakukan
pengukuran kinerja pemerintah daerah memperolah informasi yang dapat meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan sehingga akan meningkatkan pelayanan yang akan diberikan kepada
masyarakat.
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang hanya menjadi urusan pemerintah pusat, maka
daerah dalam menyelenggarakan otonomi bertujuan dan berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat sebagaimana dipesankan para pejuang kemerdekaan yang telah
mengorbankan jiwa dan raganya tanpa pamrih. Oleh karena itu pemerintahan daerah perlu dikelola
dengan baik sehingga mampu menanggapi, memanfatkan, dan menghadapi tantangan tuntutan
tersebut di atas secara efektif dan efisien. Pengaruh globalisasi dalam lingkup pemerintahan “akan
melahirkan tatanan pemerintahan baru dengan dimensi orientasi ke masa depan, berjiwa wirausaha
dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat yang lebih luas”.

Dalam era globalisasi saat ini pemerintahan suatu bangsa, terutama di Negara-negara
berkembang tidak akan pernah terhindarkan dari kondisi ketergantungannya kepada negara-negara
lain, ataupun institusi global lainnya yang berkepentingan terhadap keseimbangan dan ketahanan
sistem ekonomi yang menjadi salah satu pusatnya di Asia Tenggara. Kondisi tersebut apabila
ditinjau dari aspek penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, maka pemerintah daerah beserta
masyarakat dan dunia usaha/swasta akan semakin memainkan peranan besar dalam membangun
kemakmuran dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Semakin
pentingnya peran daerah memposisikan kemampuannya dalam persaingan bebas di era ekonomi
global ini, menunjukkan semakin penting dan mendesaknya pelaksanaan yang lebih luas lagi,
terarah, memiliki landasan yang kuat terhadap pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi di bidang
administrasi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, serta semakin menguatnya
tuntutan publik terhadap perbaikan mutu dan keterpaduan perencanaan pembangunan daerah
sebagai jembatan untuk mengkatalisasi kepentingan yang bersifat lokal, regional dan nasional
dalam pembangunan.

Semua ini merupakan peluang sekaligus tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan
pemerintahan daerah yang baik (good governance). Terkait dengan hal tersebut, bagi daerah-
daerah seperti kabupaten/kota di Provinsi Riau peluang dan tantangan tersebut belum sepenuhnya
dapat direspon, karena pada umumnya pemerintah kabupaten/kota masih menghadapi kendala
sebagai berikut :
1. Kurang optimalnya pelaksanaan kewenangan dan urusan baik yang bersifat wajib
maupun tambahan yang diserahkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Masih lemahnya sistem koordinasi pada tingkat operasionalisasi di lapangan sehingga


cukup banyak kebijakan yang tidak mampu diimplementasikan secara baik;

3. Kelembagaan birokrasi pemerintahan daerah belum tertata dengan baik sebagai akibat
dari kebijakan tentang kelembagaan yang sering berubah-ubah dan kurang menunjukkan
konsistensinya;

4. Penafsiran yang kurang tepat tentang berbagai bentuk peraturan perundang-undangan


sehingga menimbulkan kerancuan, persepsi yang kurang tepat, dan kebijakan oleh Pemerintah
Daerah yang kurang tepat dan efektif;

5. Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang tumpang


tindih oleh karena terlalu banyaknya lembaga yang melakukan pengawasan, yang kurang jelas
pengaturan tentang lingkup pengawasannya;

6. Adanya ketimpangan sosial ekonomi yang tajam, diperparah oleh kenyataan bahwa basis
ekonomi swasta rapuh (apalagi setelah krisis moneter dan ekonomi). Kecenderungan ini
mengakibatkan perlunya menata kembali strategi perekonomian nasional yang berorientasi kepada
daerah dengan basis pembangunan ekonomi kerakyatan;

7. Jumlah penduduk miskin yang relatif masih tinggi, disebabkan oleh faktor internal
maupun eksternal, menjadikan konsentrasi pembangunan menjadi bias antara upaya
penanggulangan kemiskinan disatu sisi dengan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik
melalui perwujudan penyelenggaraan pemerintahan yang baik;

8. Masih terdapatnya sejumlah kendala internal birokrasi pemerintahan baik yang bersifat
manajerial maupun teknis operasional, sehingga kurang optimal kinerja yang dihasilkannya.
Dengan dilatarbelakangi oleh sejumlah permasalahan di atas, maka sebagai upaya untukm
mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukannya kajian yang mengarah pada upaya upaya
yang konsepsional tentang perwujudan nilai-nilai dari suatu penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (good governance), yang pada dasarnya baik pemerintah Provinsi Riau maupun Pemerintah
Kabupaten/Kota telah mencoba mengarahkan berbagai kebijakan dan kegiatan pemerintahan dan
pembangunannya.

Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi

disertai pula dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sumber
daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Implikasi dari keseluruhan di
atas adalah daerah harus mempunyai dan mampu menyusun kebijakan-kebijakan publik, yang
harus bermuatan, untuk :

a. Melindungi dan mensejahterakan masyarakat di kabupaten/kota yang bersangkutan;

b. Meningkatkan pelayanan pada masyarakat dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi


pelayanan kepada masyarakat;

c. Menyediakan pelayanan dasar;

d. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan;

e. Memberdayakan potensi daerah;

f. Mengembangkan sektor-sektor unggulan;

g. Mengembangkan pemerintahan sebagai agen demokrasi dan memberikan

pendidikan politik kepada masyarakat.

Formulasi kebijakan publik, dapat dibedakan ke dalam empat hal, yaitu (Rian Nugroho

D, 2003:157 dan 161) :

a. Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan

karena setiap masalah publik memerlukan model formulasi kebijakan publik yang

berlainan;

b. Mengarah pada permasalahan inti karena setiap pemecahan masalah harus benarbenar mengarah
pada inti permasalahannya;

c. Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka keabsahan maupun
kesamaan dan keterpaduan langkah perumusan;
d. Mendayagunakan sumberdaya yang ada secara optimal, baik dalam bentuk sumberdaya waktu,
dana, manusia, dan kondisi lingkungan strategis. Dalam formulasi kebijakan publik harus
diperhatikan pula muatannya, yaitu hal-hal yang relevan dengan masalah yang hendak dipecahkan,
relevan dengan masalah masalah strategis yang dihadapi serta relevan dengan tujuan yang hendak
dicapai. Dalam kaitannya dengan pencapaian good governance maka kebijakan publik harus dapat
memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Terciptanya kebutuhan dan pelayanan publik;

b. Terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;

c. Meningkatnya mutu penyelenggaraan dan sinerginya domain good governance.

Secara teknis dalam menyusun kebijakan publik harus pula dihindarkan hal-hal sebagai

berikut :

a. Mengandung hal-hal yang dapat diinterprestasikan secara ganda, atau lebih;

b. Adanya kontradiksi antar-pasal;

c. Adanya pasal yang bersifat saling menjatuhkan;

d. Adanya pasal yang menjadi perusak dari keefektipan kinerja kebijakan;

e. Adanya pasal atau ayat yang mengandung lebih dari satu muatan;

f. Penggunaan bahasa yang tidak benar secara tata bahasa;

g. Penggunaan bahasa yang tidak benar secara hukum.

Sebahagian besar aparatur penyelenggara pemerintahan di kabupaten/ kota di Provinsi


Riau belum memahami tentang makna kebijakan publik itu. Hal ini ditunjukkan oleh masih
banyaknya peraturan daerah yang justru memberatkan masyarakat. Pelayanan publik pada
hakekatnya merupakan representasi dari keberadaan birokrasi pemerintahan, terutama yang terkait
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Dalam kerangka itu maka pelayanan publik harus
menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam menyusun kebijakan pelayanan publik, maka pemerintahan daerah harus
mempunyai ”kepekaan” dalam hal-hal sebagai berikut (Dadang Juliantoro, 2005) :

a. Pemahaman TUPOKSI pemerintah daerah secara artifisial dan substansial, terhadap


pelayanan publik;

b. Kemapanan pemerintah daerah dalam menyusun prioritas dalam pemberian pelayanan


publik;

c. Kemampuan menyusun perencanaan infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan


pelayanan publik;

d. Kemampuan menyusun standar pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat

e. Kemampuan menyerap aspirasi melalui komunikasi politik dengan masyarakat.

Perlu pula diingat bahwa kebijakan pelayanan publik harus dilakukan evaluasi secara
periodik, untuk mendapatkan feed back dari masyarakat. Kebijakan publik yang paling substansial
dan mendasar bagi pemerintahan daerah adalah :

a. Pelayanan kesehatan;

b. Pelayanan pendidikan;

c. Pelayanan ekonomi (perizinan, pengembangan usaha kecil, ekonomi riil, dsb.);

d. Pelayanan sosial.

Keempat pelayanan dasar tersebut pada hakekatnya adalah tiang dari pemerintahan
modern, namun fakta di lapangan masih menunjukkan kurang sempurnanya pelayanan pada empat
aspek tersebut. Akses untuk menuju penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sesuai dengan
nilai dan karakteristik good governance tersebut adalah Pemberdayaan penyelenggaraann otonomi
daerah, Penerapan prinsip-prinsip manajemen dan sistem akuntabilitas dalam pelaksanaan
pemerintahan, Pemberdayaan kelembagaan pemerintahan, Peningkatan kualitas personil aparatur,
Pembentukan birokrasi yang handal, Penerapan etika pencegahan KKN, pemberdayaan DPRD
sebagai bagian dari pemerintahan daerah.
Usaha menuju penyelenggaraan pemerintahan daerah Riau sesuai dengan nilai dan
karakteristik good governance, pada dasarnya telah diupayakan namun hasilnya belum optimal.
Hal ini sebagai akibat dari kondisi pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Riau masih menghadapi
hal-hal berikut keterbatasan aparatur daerah, yang profesional baik mutu/jumlahnya, belum
samanya visi untuk mewujudkan kesejahteraan diantara domain pemerintahan daerah, yaitu
pemerintah, swasta dan masyarakat, lemahnya kelembagaan di tingkat kabupaten/kota sehingga
belum berfungsi secara optimal, masih adanya keterbatasan infrastruktur, kemiskinan dan
ketertinggalan pendidikan masyarakat, sehingga menghambat kelancaran proses penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Mengingat domain good governance adalah pemerintah, swasta dan masyarakat,


maka pengertian good governance juga harus disebarluaskan pada unsur swasta dan
masyarakat sehingga swasta dan masyarakat dapat memahami dan melaksanakan hak dan
kewajibannya serta peran masing-masing secara signifikan. Keterpaduan ketiga domain,
yaitu pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat di dalam pembangunan daerah
haruslah selalu terbina melalui :\

a. Ketersediaan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah yang


memberi jaminan kegiatan swasta dapat berkembang;

b. Kesanggupan pihak swasta untuk menciptakan kesempatan kerja yang bersifat


lokal, dan memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak dan kewajibankewajiban
lainnya;

c. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan antara lain


kepatuhan terhadap hukum, menjaga ketertiban, dan sebagainya.

Karakteristik pemerintah daerah adalah suatu ciri-ciri khusus pemerintah daerah.


Maka dari itu karakteristik inilah yang akan menjadi pembeda satu daerah dengan daerah
yang lainya, dimana karakteristik daerah dapat menjadi prediktor yang baik dalam
mengukur kinerja pemerintah daerah.

Dengan demikian, perbedaan karakteristik antara daerah satu dengan daerah


lainnya diasumsikan dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah.
Karakteristik pemerintah daerah dapat berupa ukuran daerah, kesejahteraan, functional
differentiation, umur daerah, latar belakang pendidikan kepala daerah, leverage daerah,
tingkat kekayaan daerah, tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat, belanja daerah,
belanja modal, status daerah, dan lain sebagainya. Tujuan sistem pengukuran kinerja
adalah pertama, untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik. Kedua, untuk
mengukur kinerja finansial dan non-finansial secara berimbang sehingga dapat ditelusur
perkembangan pencapaian strategi. Ketiga,untuk mengakomodasi pemahaman
kepentingan manajer level menengah dan bawah serta mem otivasi untuk mencapai goal
congruence. Keempat, sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan
individual dan kemampuan kolektif yang rasional (Mardiasmo, 2006).

Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Riau menyusun Anggaran Pendapatan dan


Belanja Daerah (APBD) Provinsi sebagai bentuk perencanaan pembangunan daerah.
Penyusunan anggaran pemerintah daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu
meningkatkan kinerja penyelenggaraan daerah yang berorientasi pada optimalisasi
pelayanan publik. Di sisi lain, realisasi penerimaan Provinsi Riau tahun 2017 berjumlah
9.247,19 milyar rupiah. Dibanding dengan realisasi penerimaan Provinsi Riau 2018 yang
berjumlah 8.528,82 milyar rupiah menurun sebesar 7,77 persen. Realisasi pengeluaran
Provinsi Riau 2018 berjumlah 8.528,82 milyar rupiah yang terdiri dari belanja tidak
langsung sebesar 5.606,43 miliar rupiah, dan belanja langsung sebesar 2.863,14 miliar
rupiah. Dalam pengelolaan pendapatan daerah, Pemerintah Provinsi Riau senantiasa
berupaya meningkatkan PAD untuk mengurangi ketergantungan terhadap penerimaan dari
Pusat, sehingga penyelenggaraan otonomi dan keleluasaan daerah tercapai secara
maksimal. Adapun strategi yang diambil untuk meningkatkan penerimaan PAD dilakukan
melalui kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi serta optimalisasi BUMD.

Dalam perspektif politik pemerintahan, substansi Otonomi Khusus merupakan


bagian dari proses desentralisasi yang menerapkan nilai-nilai demokrasi di bidang
pemerintahan (Kuncoro 2004). Namun pelaksanaannya dapat dinilai bahwa desentralisasi
ini hanyalah proyek akal-akalan Pemerintah Pusat. Ini disebabkan jika sejauh ini
masyarakat tidak merasakan dampak positif dari proses penerapan sistem tersebut.

Desentralisasi hanya dapat dilihat dari proses demokratisasi di bidang pengeluaran


pendapatan, sementara yang lain masih menunjukkan intervensi dari pusat (Mahardika
2004). Dalam hubungannya dengan pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah misalnya, dikatehui bahwa aturan ini disusun karena ada kepentingan
mendesak Pemerintah Pusat. Sehingga yang sangat diperhatikan hanya persoalan
Pemilihan Kepala Daerah, otonomi (bukan otonomi khususnya, melainkan politik
desentralisasinya) dan kekhuwatiran terjadinya disintegrasi lokal. Oleh karenanya, praktik
desentralisasi di Indonesia ialah desentralisasi semu. Ini disebabkan walaupun skema
formal desentralisasinya ada, tetapi cara pendang atas desentralisasi yang dianut lebih
merupakan desentralisasi administratif, bukan desentralisasi politis (Mahardika 2004).
Sehingga kesan desentralisasi semu itu salah satunya terlihat dari semangat dibalik
dikeluarkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 untuk mengendalikan proses desentralisasi
yang dianggap radikal akibat penerapan UU Nomor 22 Tahun 1999. Sehingga UU Nomor
32 Tahun 2004, justru terkesan lebih memperkuat pembinaan dan pengawasan yang
dilakukan Pemerintah Pusat maupun gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah.
Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya penyusunan

UU otonomi daerah yang mulai bergulir sejak reformasi 1998 diindikasikan sebagai
langkah ‘kompromi’ untuk menyatukan dua wacana yang berbeda. Dua wacana itu ialah
keinginan untuk melakukan perubahan bangunan negara menuju bentuk federal dan
keinginan untuk tetap mempertahankan bangunan negara kesatuan dengan memberikan
perluasan kepada aspek desentralisasi dan otonomi daerah. Modus kompromi ini tampak
jelas dari perumusan konsepsi yuridis padapasal 1 huruf C tentang pengertian desentralisasi
dan pasal 7 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang kewenangan daerah (Mahardika
2004). Kedua konsepsi yuridis inilah yang pada hakekatnya menjadi pangkal permasalahan
dari berbagai permasalahan yang menyangkut pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi)
di Indonesia. Sehingga UU otonomi daerah tersebut perlu direvisi yang lebih
mengedepakan sistem tambal-sulam. Walaupun dalam UU 32 Tahun 2004 ini pengertian
desentralisasi tetap menyertakan kalimat dalam sistem negara kesatuan RI, tetapi
pelaksanaannya tetap mengarah pada penguatan konsep federalisme yang merefleksikan
pemerintahan pusat yang kuat. Sebab yang diserahkan oleh pemerintah daerah kepada
Pemerintah Pusat lebih dominan menyangkut wewenang pemerintahan, bukan urusan
pemerintahan.
Karena itu untuk menghindari warna federalis dalam UU tentang pemerintahan daerah,
kriteria untuk menentukan urusan pemerintah bagi daerah otonom, wajib dicantumkan di
dalam UU pemerintahan daerah. Sementara revisi terhadap UU Nomor 32 Tahun 2004 juga
harus memperhatikan ketegasan makna dan kepastian hukum.

Sebagai bagian dari perjuangan rakyat, otonomi khusus Riau menghadapi dua
pilihan dilematis, antara memperjuangkan desentralisasi atau realitas peran pemerintah
pusat yang ’relatif’ masih kuat dan terjadinya disintegrasi lokal. Oleh karena itu, perlu
adanya ideologi dan sinkronisasi dalam membangun gerakan perjuangannya. Pengalaman
dalam penggalangan Kongres Rakyat Riau (KRR) II yang faktanya syarat kepentingan dan
pengelompokan pendapat ketika itu antara pilihan merdeka, otonomi luas (baca: khusus)
atau federal, seharusnya tidak lagi menjadi pilihan (alternatif), kecuali otonomi khusus itu
sendiri (desentralisasi). Artinya, pilihan otonomi khusus ialah keniscayaan. Dengan
demikian kekuataan argumentasi menjadi landasan gerakan yang harus dilakukan secara
sistemik. Kajian-kajian akedemik yang mendukung dapat dijadikan argumentasi bahwa
Riau layak mendapat otonomi khusus disejalankan dengan gerakan yang lebih terintegrasi,
terarah dan sistemtis akan lebih mudah. Oleh karena itu, secara esensi mengapa perlunya
ideologi dan sinkronisasi sebagai basis perjuangan dalam upaya menjembatani tarik-
menarik antara sentralisasi (keberadaan pemerintah pusat yang masih kuat, terdapat
argumentasi yang perlu disampaikan.

Pertama, dari sisi gerakan sejarah di Riau terlihat bahwa pilihan atau alternatif
justru menjadi pemicu dan pemecah konsentrasi yang berujung pada pro-kontra yang
kemudian menyebabkan tuntutan menjadi lemah. Kedua, pengalaman Aceh dan Papua
melaksanakan otonomi khusus baik yang positif maupun negatif, seharusnya menjadi
pelajaran berharga secara spesifik bagi forum dan umumnya masyarakat Riau secara
keseluruhan. Ketiga, menjadi awal gerakan terhadap keberhasilan (efek domino) bahwa
perjuangan otonomi khusus Riau merupakan langkah awal dalam memperjuangkan
kepentingan Riau pada tingkat nasional. Oleh karena itu jika perjuangan ini gagal, maka
secara efek domino menyebabkan kegagalan perjuangan lainnya. Sehingga dapat
dipastikan perjuangan ini garansi terhadap keberhasilan atau kegagalan. Walaupun selalu
mengatasnamakan kesejahteraan rakyat tidak harus mencapai keberhasilannya.

Anda mungkin juga menyukai