Anda di halaman 1dari 13

DAMPAK VISA EXEMPTION POLICY TERHADAP PAJAK HOTEL DAN PAJAK

RESTAURAN: STUDI KASUS INDONESIA

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sejak 2001, Indonesia telah melaksanakan sistem desentralisasi fiskal yang ditandai dengan
pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Kebijakan desentralisasi fiskal mengharapkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat berkurang, sehingga mampu mencapai kemandirian daerah sebagaimana tujuan
otonomi daerah itu sendiri. Melalui kebijakan ini, pemerintah pusat memberukan tanggung
jawab yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah dalam hal ini penyediaan barang publik dan
jasa publik (Ering, Hakim, dan Juanda, 2017).

Suparmoko (2002) menyatakan bahwa salah satu tujuan diberlakukannya kebijakan


desentralisasi adalah untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam aspek pembiayaan dengan
mengurangi ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap bantuan dari Pemerintah Pusat dengan
memanfaatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Peningkatan kemandirian daerah dalam
membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan dapat dilakukan
dengan memaksimalkan potensi daerah (Enceng, et al, 2012).

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia lebih condong kepada sisi pengeluaran


(expenditure) bukan dari sisi pendapatan (revenue) (Haryanto, 2015; Mahi, 2010). Namun, sejak
dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Indonesia
telah melakukan perbaikan kebijakan desentralisasi fiskal dengan memperkuat sisi penerimaan
(revenue), meskipun masih didominasi oleh transfer dari pusat. Pemerintah Daerah masih
memiliki ketergantungan yang cukup besar kepada Pemerintah Pusat. Hal tersebut terlihat dari
komposisi dada perimbangan yang lebih besar relatif terhadap PAD pada penerimaan daerah
secara keseluruhan.

Tabel 1.1 merupakan perkembangan PAD dan dana perimbangan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat kepada seluruh daerah di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2010-2018.
Berdasarkan tabel 1.1., kita dapat melihat bahwa komponen penerimaan daerah terus mengalami
peningkatan, baik PAD maupun dana perimbangan. Namun dana perimbangan memiliki nilai
yang jauh lebih besar relatif terhadap PAD, yaitu mencapai empat kali lipat dari PAD. Hal
tersebut
mengindikasikan bahwa salah satu tujuan diberlakukannya desentralisasi untuk mengurangi
ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat dalam aspek pembiayaan masih
belum tercapai.

Tabel 1.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan pada Seluruh
Provinsi di Indonesia Tahun 2010-2018

Tahun PAD Dana Perimbangan


2010 56,726,589,730 47,519,927,639
2011 73,620,310,358 52,779,890,539
2012 86,541,912,951 61,998,339,390
2013 101,596,400,437 64,834,193,347
2014 121,450,818,035 68,882,788,511
2015 127,497,344,793 61,588,703,775
2016 133,179,011,317 113,733,211,865
2017 149,307,806,874 149,297,354,493
2018 158,721,480,199 152,285,491,118
Sumber: BPS

Idealnya, semua pengeluaran tambahan pemerintah daerah dapat dipenuhi dengan menggunakan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga daerah benar-benar otonom dan tidak tergantung lagi
kepada pemerintah pusat. PAD merupakan pencerminan dari local taxing power yang seharusnya
cukup signifikan jumlahnya, apalagi dalam era desentralisasi fiskal saat ini. Menurut McLean
(2005), pemerintah daerah seharusnya dibiayai sebanyak mungkin melalui pajak dan seminimal
mungkin dari dana hibah pemerintah pusat. Weingast (2014) juga mengatakan bahwa adanya
transfer atau hibah dari pemerintah pusat menyebabkan penurunan akuntabilitas pemerintah
daerah dan tidak sesuai dengan prinsip manfaat perpajakan. Menurut prinsip itu, jika pemerintah
daerah bergantung pada pendapatan asli daerahnya sendiri, maka pemerintah daerah akan lebih
paham kebutuhan warganya dan lebih bertanggung jawab terhadap anggaran yang digunakan
terkait dengan penyediaan pelayanan yang diterima warganya (Musgrave, 1983; Oates dan
Schwab, 1988). Peningkatan pajak daerah juga mampu mengurangi volatilitas belanja riil
pemerintah daerah (Furceri, 2007). Volatilitas belanja riil pemerintah daerah dapat diperkecil
dengan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah, di antaranya pemerintah daerah harus
diberikan wewenang yang luas dalam pengelolaan pendapatan asli daerahnya (meningkatkan
kemampuan fiskal daerah).

Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan PAD yang paling potensial dalam
memperbesar porsi PAD. Pajak memainkan peran yang penting dalam proses untuk
menghasilkan penerimaan dan untuk menjalankan berbagai aktivitas dalam perekonomian. Pajak
daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan di wilayah tersebut
kepada pemerintah daerah tanpa adanya imbalan langsung yang seimbang yang sifatnya dapat
dipaksakan berdasarkan aturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, kewenangan
pemerintah daerah dalam hal mengumpulkan pajak seharusnya menjadi modal utama dalam
upaya meningkatkan PAD untuk membiayai kegiatan pembangunan. Lebih jauh lagi, hotel dan
restauran merupakan sektor dengan kontribusi yang signifikan terhadap pajak daerah.

Tabel 1.2 Kontribusi Pajak Daerah, Pajak Hotel, Pajak Restauran terhadap Pendapatan Asli
Daeah (PAD) pada Seluruh Provinsi di Indonesia Tahun 2010-2016 (dalam miliar rupiah)
Tahun PAD Pajak Kontribusi Pajak Kontribusi Pajak Kontribusi
Daerah Hotel Restauran
2010 56,727 47,301 83% 20,685 36% 7,2478 13%
2011 73,620 62,759 85% 17,679 24% 6,316 9%
2012 86,542 72,997 84% 17,068 20% 6,482 7%
2013 101,596 86,980 86% 19,153 19% 7,924 8%
2014 121,451 103,088 85% 22,994 19% 9,576 8%
2015 127,497 107,892 85% 22,737 18% 10,745 8%
2016 133.179 112,690 85% 25,151 19% 12,654 10%
Sumber: DJPK
Tabel 1.2 merupakan tabel yang memaparkan kontribusi pajak daerah, pajak hotel, dan pajak
restauran terhadap PAD. Berdasarkan table tersebut dalam kurun waktu tahun 2010-2016, pajak
daerah memiliki rata-rata nilai kontribusi sebesar 84,67% terhadap PAD pada seluruh daerah di
Indoensia. Pertumbuhan kontribusi pajak daerah terhadap PAD dapat dikatakan cukup datar
dalam kurun waktu tersebut Lebih jauh lagi, pajak hotel memiliki rata-rata nilai kontribusi
sebesar 22,1% terhadap PAD dalam kurun waktu tahun 2010-2016. Sementara itu pajak
restauran juga merupakan
sektor yang masuk ke dalam lima sektor terbesar penyumbang penerimaan pajak daerah terhadap
PAD yaitu menempati posisi keempat yang memiliki rata-rata kontribusi sebesar 8,92% terhadap
PAD dalam kurun waktu tahun 2010-2016.

Pajak hotel dan pajak restauran merupakan pajak yang berkaitan dengan sektor pariwisata.
Pariwisata sendiri menjadi salah satu sektor ekonomi yang tumbuh paling cepat. Sektor Travel
and Tourism global tumbuh melebihi pertumbuhan perekonomian global selama delapan tahun
berturut-turut. Di tahun 2018, Sektor Travel and Tourism global tumbuh sebesar 3,9 persen
melebihi pertumbuhan perekonomian global yaitu sebesar 3,2 persen dan berkontribusi terhadap
ekonomi global sebesar US $ 8,8 triliun (setara dengan 10,4% dari GDP dunia) (WTTC, 2019a).

Figure 1 Worlds Travel & Tourism GDP Growth Vs Economy GDP Growth, 2011-18

Sumber: WTTO, 2018

Sektor Travel and Tourism di Indonesia sendiri tumbuh dua kali lebih cepat dari pertumbuhan
rata- rata global. Sektor Travel and Tourism di Indonesia tumbuh 7,8% pada 2018 dan melebihi
pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1%. Pada tahun 2018, Sektor Travel & Tourism
menyumbang IDR890.428 miliar (USD $ 62,6 miliar atau setara dengan 6% dari GDP Indonesia)
dan hampir 13 juta pekerjaan bagi perekonomian Indonesia (WTTC, 2019a). Karena dampak
ekonomi positifnya seperti pada neraca pembayaran, lapangan kerja, pendapatan kotor dan
produksi, banyak negara menempatkan kebijakan pro-pertumbuhan dengan mengandalkan
pariwisata untuk mendorong pembangunan ekonomi (Kim et al., 2018; Pham et al., 2017;
Shafiullah et al., 2019).

Sejak terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia di tahun 2015, Pariwisata ditetapkan
sebagai leading sector. Beberapa kebijakan dibuat untuk mendorong sektor pariwisata dalam
rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Indoenesia. Salah satu kebijakan adalah
fasilitas bebas visa. Di tahun 2015, pemerintah Indonesia menambah 30 negara yang bisa
mendapat fasilitas bebas visa dan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015. Tidak
berselang lama pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2015 dan
menambah jumlah negara yang mendapat fasilitas bebas visa kunjungan ke Indonesia menjadi 90
negara. Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan pembebasan visa kunjungan kepada 169
Negara sejak tahun 2016 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016.

Kebijakan visa adalah salah satu kebijakan pemerintah paling penting yang memengaruhi
Perjalanan & Pariwisata internasional. Penelitian WTTC dan UNWTO (2012) tentang dampak
dampak kebijakan fasilitasi visa untuk negara-negara G20 pada tahun 2012 mengungkapkan
bahwa dalam skenario perubahan kebijakan visa berpotensi meningkatkan pertumbuhan
kedatangan wisatawan internasional dalam kisaran 5-25% per tahun dimana beberapa negara
akan mengalami peningkatan yang lebih tinggi atau lebih rendah berdasarkan kapasitasnya, akses
udara, infrastruktur, daya tarik tujuan umum, dan faktor-faktor lainnya. Dalam penelitian terbaru,
WTTC mengidentifikasi dampak rata-rata dari perubahan kebijakan, dimana perubahan
kebijakan menjadi bebas visa dapat mendorong permintaan perjalanan sebesar 16,6%
(WTTC,2019b). Semenjak penambahan negara bebas visa di tahun 2015, kunjungan wisatawan
mancanegara terus mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi. Pertumbuhan kunjungan wisata
di tahun 2016,2017,dan 2018 berturut-turut sebesar 10,66%, 21,88%, dan 12,6%.

Semenjak era otonomi daerah, sektor pariwisata menjadi urusan pilihan pemerintahan daerah.
Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, yang menyebutkan bahwa urusan kebudayaan dan pariwisata merupakan
urusan pemerintahan yang dibagi bersama antartingkat pemerintahan. Untuk mendanai
kewenangan tersebut, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
mengatur sumber-sumber penerimaan daerah yang merupakan kewenangan penuh daerah.
Terkait hal tersebut, maka pengembangan sektor pariwisata berkaitan erat dengan pemungutan
pajak dan retribusi daerah, terutama pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan.

Dengan demikian, pengembangan sektor pariwisata secara tidak langsung berpotensi sebagai
basis penerimaan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan. Perkembangan pariwisata tidak
hanya berdampak pada devisa negara tetapi juga akan berdampak pada peningkatan penerimaan
daerah dan memperbesar kemampuan daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
dan mengurangi ketergantungan pada jenis transfer dari pemerintah pusat. Dalam hal ini,
kebijakan bebas visa pemerintah yang bertujuan meningkatkan kunjungan wisatawan
mancanegara ke dalam negeri belum diketahui apakah juga berdampak tidak langsung dalam
meningkatkan penerimaan pajak pemerintah daerah, khusunya pajak hotel dan pajak restauran.
Dalam penelitian ini penulis ingin meneliti bagaimana pengaruh pembebasan visa terhadap
penerimaan pajak hotel dan restauran.

1.2 Permasalahan Penelitian


Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan pembebasan visa untuk kunjungan kurang dari 30
hari yang tidak dapat diperpanjang. Kebijakan ini dimulai pada Juni 2015 untuk wisatawan dari
30 negara. Melalui serangkaian keputusan lebih lanjut, wisatawan dari setidaknya 169 negara
telah dibebaskan dari persyaratan visa, dan kebijakan ini tetap berlaku hingga tanggal penulisan
ini. Kebijakan pembebasan visa ditetapkan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan wisatawan
mancanegara. Dari kebijakan nasional berupa pembebasan visa, peneliti ingin melihat bagaimana
pengaruh kebijakan ini ke tingkat pemerintahan daerah khusunya pajak hotel dan pajak restauran

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pembebasan visa yang dilakukan
pemerintah dimulai pada tahun 2015 dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan
pajak sektor dan hotel pada 10 Kabupaten/Kota yang merupakan destinasi wisata utama di
Indonesia

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi penerimaan pajak sektor hotel dan restauran pada 10 Kabupaten/Kota yang
merupakan destinasi wisata urtama di Indonesia dan dampak kebijakan pembebasan visa
terhadap penerimaan pajak sektor hotel dan restauran
b. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi bagi kalangan akademisi yang ingini
mendalami penerimaan pajak daerah pada 10 Kabupaten/Kota yang merupakan destinasi
wisata di Indonesia untuk meningkatkan PAD

2. Tinjauan Literatur
2.1 Desentralisasi Fiskal
Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan desentralisasi fiskal adalah:
(a) Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan
kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan
keuangannya sendiri untuk membiayai penye- lenggaraan pemerintahan.
(b) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD
harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Berdasarkan teori dan temuan yang telah dipaparkan, kemampuan keuangan
daerah dapat digunakan untuk menilai kemampuan daerah dalam melaksanakan desentralisasi
fiskal.
2.1 Pajak dan Pendapatan Asli Daerah
2.2 Pajak Daerah
Menurut UU No.28 tahun 2009 pasal 1 (1) pajak daerah merupakan kontribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-
undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
daerah bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah sangat membantu untuk
pertumbuhan suatu daerah, dimana daerah akan menerima masukan dari macam-macam pajak
daerah yang akan menambah pendapatan daerah. Pajak daerah sendiri dapat digunakan untuk
pembangunan daerah seperti pembangunan jalan dan jembatan, pembangunan sekolah, rumah
sakit, jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), dan sebagianya. Dari beberapa fungsi pajak
daerah yang disebutkan tadi membuktikan bahwa pajak daerah sangat membantu untuk
perkembangan negara baik untuk
perkembangan fasilitas dan untuk perkembangan rakyat nya sendiri dalam pendidikan, kesehatan
dan sebagainya.

2.3 Pajak Hotel


Menurut UU No.28 tahun 2009 pasal 1 (20) pajak hotel merupakan pajak atas pelayanan yang
disediakan oleh hotel. Hotel merupakan fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan
termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen,
gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta
rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Dimana setiap hotel harus membayar
pajak, dengan tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Menurut
UU No. 28 tahun 2009 pasal 32 (3) yang tidak termasuk objek pajak hotel, yaitu:

1. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah.

2. Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya.

3. Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan.

4. Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial
lainnya yang sejenis.

5. Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dapat
dimanfaatkan oleh umum.

2.4 Pajak Restauran


Menurut UU 28 tahun 2009 pasal 1 (22) pajak restoran merupakan pajak atas pelayanan yang
disediakan oleh restoran. Restoran merupakan fasilitas penyedia makanan dan / atau minuman
dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan
sejenisnya termasuk jasa boga/catering. Pajak restoran sendiri dikenakan tarid dimana ditetapkan
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

2.5 Kebijakan Pembebasan Visa di Indonesia


Pengembangan sektor pariwisata memiliki dampak positif pada perekonomian seperti pada
neraca pembayaran, lapangan kerja, pendapatan kotor dan produksi. Semanjak di tahun 2015,
Indonesia menetapkan berbagai kebijakan untuk mendorong pariwisara, Pemerintah Indonesia
menerbitkan kebijakan pembebasan visa ke negara-negara lain. Tujuan dari peraturan ini adalah
untuk
meningkatkan jumlah kedatangan wisatawan asing yang bepergian. Kebijakan ini dimulai pada
1983 dengan Keputusan Presiden No. 15/1983, yang menciptakan kebijakan visafree yang
berlaku untuk kunjungan singkat dari 48 negara. Keputusan ini menjadi tidak berlaku dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 18/2003 pada tanggal 31 Maret 2003. Kebijakan ini
memberikan pembebasan visa bagi pengunjung dari 11 negara, termasuk Thailand, Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Hong Kong, Makao, Chili, Maroko, Turki, dan Peru,
melalui semua pos pemeriksaan imigrasi. Kebijakan bebas kunjungan singkat ini dibatasi hanya
untuk kunjungan 30 hari dan tidak dapat diperpanjang atau diubah menjadi izin imigrasi lainnya.

Pemerintah Indonesia memodifikasi kebijakan pembebasannya melalui Keputusan Presiden No.


103/2003 pada 17 Desember 2003, sebagai revisi dari Keputusan Presiden No. 18/2003.
Keputusan ini mengecualikan Turki dan menambahkan Vietnam. Keputusan tersebut juga
menyatakan bahwa visa pengunjung dapat diperpanjang dalam kasus-kasus khusus, seperti
bencana alam, kecelakaan, atau penyakit, dengan persetujuan 9enteri.

Perubahan kedua dan ketiga dilaksanakan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No.
16/2008 dan 43/2011. Mantan perubahan menambahkan Ekuador dan yang terakhir
menambahkan Kamboja, Laos, dan Myanmar untuk status bebas visa. Pemerintah Indonesia
secara luas memperluas kebijakan pembebasan melalui serangkaian peraturan pada 2015-2016.
Pada 9 Juni 2015, dikeluarkan Peraturan Presiden No. 69/2015. Peraturan ini menambahkan 30
negara ke dalam daftar bebas visa untuk pos pemeriksaan imigrasi melalui bandara (yaitu,
Soekarno Hatta, Tangerang; Ngurah Rai, Bali; Kualanamu, Medan; Juanda, Surabaya; dan Hang
Nadim, Batam) dan pelabuhan (yaitu, Sri Bintan, Sekupang dan Batam Center, Tanjung Uban).

Dengan demikian, jumlah total negara yang diberikan status bebas visa ke Indonesia menjadi 45.
Pemerintah Indonesia memasukkan lebih banyak negara dan pos-pos pemeriksaan resmi melalui
penerbitan Peraturan Presiden No. 104/2015 pada tanggal 18 September 2015. Peraturan ini
menambahkan 45 negara lain (membawa total menjadi 90 negara). Baru-baru ini, Peraturan
Presiden No. 21/2016 pada 2 Maret 2016 dikeluarkan untuk memberikan pembebasan visa ke
169 negara secara bersamaan.
3. Metodologi
3.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitia ini merupakan data sekunder yang dari beberapa instansi
dan/atau lembaga terkait. Adapun instansi dan/atau lembaga terkaitnya antara lain:

Tabel 3.1 Sumber Data

No Data Institusi
1. Realisasi penerimaan pajak daerah tingkat Badan Pusat Statistika
Kabupaten/Kota tahun 2010-2018
2. TPK hotel tahun 2010-2018; Badan Pusat Statistika tingkat
Pendapatan restoran tahun 2010-2018 Kabupaten/Kota
Jumlah wisatawan tahun 2010-2018
3. PDRB tingkat Kabupaten/Kota tahun 2010-2018 Direktorat Jendral
Realisasi penerimaan pajak hotel dan restauran tingkat Perimbangan Keuangan
Kabupaten/Kota tahun 2010-2018
Pengeluaran atas hotel dan restauran tingkat
Kabupaten/Kota tahun 2010-2018
4. Persentase Akses Rumah Tangga Terhadap Listrik Susenas Kor
1996-2009 per Kabupaten/Kota
Persentase Rumah Tangga Terhadap Air Layak
Konsumsi dan Sanitasi di Tingkat Kabupaten/Kota
5 Jumlah negara yang mendapat bebas visa tiap tahun

Tabel 3.1 memuat data yang akan digunakan dalam penelitian ini beserta sumbernya. Seluruh
data yang digunakan alam penelitian ini bersifat data makro yang mencakup sampel penelitan.
Adapun daerah yang menjadi sampel penelitian merupakan 10 Kabupaten/Kota yang merupakan
destinasi wisata utama di Indonesia menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Kementerian
Pariwisata dalam kurun waktu 2010-2018. Berikut Kabupaten/Kota yang menjadi sampel
penelitian ini:

1. Kota Denpasar
2. Kota Surabaya
3. Kota Batam
4. Kabupaten Sleman
5. Kota Semarang
6. Kabupaten Badung
7. Kota Bandung
8. Kabupaten Banyuwangi
9. Kabupaten Bogor
10. Kabupaten Bantul

3.2 Model Penelitian


Penulis akan menggunakan metode panel untuk dapat menawab pertanyaan penelitian. Hal
tersebut dikarenakan data yang digunakan dalam pnelitian ini bersifar longitudinal yang terdiri
dari 10 Kabupaten/Kota yang merupakan destinasi wisata utama di Indoensia dalam kurun waktu
2010-2018.

Terdapat dua model regresi yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu model regresi untuk
mengetahui faktor determinan penerimaan pajak hotel dan yaitu model regresi untuk mengetahui
faktor determinan penerimaan pajak restauran. Adapun model regresinya adalah:

Model estimasi (1)

𝐿𝑛𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘𝐻𝑜𝑡𝑒𝑙𝑖, 𝑡
= 𝛽0+ 𝛽1𝐿𝑛𝐸𝑥𝑝𝐻𝑜𝑡𝑒𝑙 𝑖, 𝑡 + 𝛽2𝑇𝑃𝐾 𝑖, 𝑡 + 𝛽3 𝐿𝑛𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑊𝑖𝑠𝑎𝑡𝑎𝑤𝑎𝑛𝑙𝑜𝑘𝑎𝑙 𝑖, 𝑡
+ 𝛽4𝐿𝑛𝑃𝐷𝑅𝐵 𝑖, 𝑡 + 𝛽5𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑖, 𝑡 + 𝛽6𝐼𝑁𝐹𝑅𝐴 𝑖, 𝑡 + 𝛽6𝑉𝐼𝑆𝐴 + 𝑢 𝑖, 𝑡

𝐿𝑛𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘𝑅𝑒𝑠𝑡𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑖, 𝑡
= 𝛽0+ 𝛽1𝐿𝑛𝐸𝑥𝑝𝑅𝑒𝑠𝑡𝑜𝑟𝑎𝑛 𝑖, 𝑡 + 𝛽2𝐿𝑛𝑅𝑒𝑣𝑅𝑒𝑠𝑡𝑜 𝑖, 𝑡
+ 𝛽3 𝐿𝑛𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑊𝑖𝑠𝑎𝑡𝑎𝑤𝑎𝑛𝑙𝑜𝑘𝑎𝑙 𝑖, 𝑡 + 𝛽4𝐿𝑛𝑃𝐷𝑅𝐵 𝑖, 𝑡 + 𝛽5𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑖, 𝑡
+ 𝛽6𝐼𝑁𝐹𝑅𝐴 + 𝛽6𝑉𝐼𝑆𝐴 + 𝑢 𝑖, 𝑡

Dimana i merupakan error terms yang terdapat pada model. Sementara, i pada kedua model
estmimasi di atas merepresentasikan entitas yaitu Kabupaten/Kota, dan t merepresentasikan
waktu.
Daftar Pustaka
Astabrata, D. G. (2002) Analisis Tentang Peranan Pajak Hotel dan Restoran Terhadap
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung. Universitas Indonesia.
Ering, Hakim, dan Juanda, 2016, Analisis Potensi Pajak Daerah untuk Peningkatan Kapasitas
Fiskal Kabupaten dan Kota di Sulawesi Utara, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Septiani, Firli. Dewi. (2018). Pajak daerah dan Industri PariwisataL Faktor Determinan
Penerimaan Pajak Hotel Restoran pada 10 Daerah Destinasi Wisata Utama di Indonesia

Pujiharini, F. and Ichihashi, M. (2016) ‘The Impact of Visa-Free Entry on the Determinants of
Inbound Tourism Demand in Indonesia’, International Development and Cooperation, 6(5).

Zhang, J. and Jensen, C. (2014) ‘Comparative advantage, tourism’, in In ERSA conference


papers (No. ersa05p183). European Regional Science Association. Amsterdam, pp. 1–2. doi:
10.1007/978-3-319-01669-6_599-1.
Wamboye, E. F., Nyaronga, P. J., & Sergi, B. S. (2020). What are the determinant of
international tourism in Tanzania?. World Development Perspectives, 100175.

WTTC (2019a) Travel & Tourism Global Economic Impact & Trends 2019.
WTTC (2019b) Visa Facilitation Enabling Travel & Job Creation Through Secure & Seamless
Cross-Border Travel.
WTTC & UNWTO (2012) ‘The Impact of Visa Facilitation on Job Creation in the G20
Economies’, (May), pp. 15–16.
Undang-Undang Republik Indonesia No.28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 20 tentang Pajak Hotel.
Undang-Undang Republik Indonesia No.28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 22 tentang Pajak Restoran.
Undang-Undang Republik Indonesia No.28 Tahun 2009 Pasal 42 ayat 2 tentang Objek Hotel.

Anda mungkin juga menyukai