Anda di halaman 1dari 59

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH SIZE, WEALTH, LEVERAGE, BELANJA DAERAH DAN


INTERGOVERNMENTAL REVENUE TERHADAP KINERJA KEUANGAN
PEMERINTAH DAERAH DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Nama : Nurmala
Nim : A1C016122

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Biana Adha Inapty, SE., M.Si Iman Waskito, SE., M.SA,Ak


NIP. 19771121 200012 2 001 NIP. 19760719 200604 1 002

1
2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi yang telah

menerapkan otonomi daerah dengan landasan Undang-Undang Nomor 44 Tahun

1999 dan prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam Undang- Undang Nomor

22 Tahun 1999 yaitu Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang kemudian digantikan

oleh Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah. Dalam Aziz (2016), Ahid Menjelaskan bahwa Otonomi daerah bisa diartikan

sebagai kewajiban yang dikuasakan kepada daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan juga hasil guna

penyelenggaran pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan

pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Salah satu perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah pelaksanaan

desentralisasi. Berdasarkan pasal 1 ayat (8) UU No. 23 Tahun 2014 desentralisasi

merupakan penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah

otonom berdasarkan asas otonomi. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004,

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah dan Pusat dalam


Penyelenggaraan Otonomi Daerah diperlukan pengaturan, pembagian, dan

pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan

pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pelaksanan desentralisasi terdiri

dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain

penerimaan yang sah (Saputra, Suwendra, dan Yudiatmaja, 2016).

Menurut Susilowati, Suharno, dan Kristianto (2016) dalam menjalankan

otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk menjalankan roda pemerintahan

yang efektif dan efisien, sehingga mampu mendorong masyarakat untuk berperan

serta dalam melaksanakan pembangunan. Pemerintah Daerah juga dituntut untuk

meningkatkan pemerataan dan keadilan, sehingga dapat mengembangkan seluruh

potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Pemerintah pusat membuat

kebijakan tersebut dengan harapan pemerintah daerah mampu melakukan

pengelolaan sendiri terhadap sumberdaya yang dimiliki sehingga pemerintah daerah

dapat memeberikan pelayanan yang baik untuk masyarakat. Adanya perimbangan

tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut

menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup,

memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab

penyelenggaraan pemerintah daerah (Ayunigtyas, 2016). Dengan demikian daerah

akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan

pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.


Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan sendiri

dituangkan dalam APBD yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan

kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat, sehingga pemerintah

daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan APBD kepada

masyarakat berupa laporan keuangan sebagai wujud akuntabilitas kepada publik.

Pemerintah tidak hanya mempertanggungjawabkan uang yang dipungut dari rakyat,

tapi juga dituntut untuk mempertanggungjawabkan atas hasil-hasil yang dicapainya

(Indrawan, 2013). Sebagai implikasinya peran pemerintah daerah dalam penyediaan

layanan publik dan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional menjadi semakin

besar.

Gamawan Fauzi mengatakan, desentralisasi bertujuan untuk mengutamakan

pada sistem demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun dalam

pelaksanaannya, masih terdapat daerah otonom yang belum berjalan dengan baik

dalam prinsip efisiensi dan efektivitas otonomi daerah (Ruslan, 2013). Disisi lain,

NTB merupakan provinsi dengan peringkat nomor 9 termiskin diindonesia (Sumber:

Data Sekunder BPS, 2019). Sedangkan pertumbuhan Produk Domestik Regional

Bruto terendah diseluruh Indonesia dengan kenaikan hanya 0,11% (Sumber: Data

Sekunder BPS, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya yang

dilakukan oleh pemerintah daerah belum dilakukan secara maksimal. Berbagai

kebijakan yang progresif, revolusioner dan bervisi kerakyatan harus terus diambil

oleh pemerintah
daerah agar kemakmuran bisa dicapai dimana hal tersebut salah satunya tergambar

dari kinerja keuangan pemerintah daerah yang terus meningkat.

Animah et.al (2019) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi kinerja keuangan Pemerintah Daerah yaitu antara lain Size, Wealth,

Leverage, Belanja Daerah dan Intergovermental Revenue. Pemerintah Daerah dapat

meningkatkan kinerja yang dimiliki serta pengelolaan pemerintahyang lebih baik jika

mampu mengelola variabel-variabel diatas dengan baik.

Tujuan utama dari program kerja Pemerintah daerah adalah memberikan

pelayanan yang terbaik untuk masyarakat sehingga harus didukung oleh aset yang

baik pula. Oleh karena itu, diperlukan sumber daya,aset dan fasilitas yang memadai

untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ukuran (Size) aset yang besar

dalam pemerintah daerah akan memberikan kemudahan kegiatan operasional yang

kemudian akan mempermudah dalam memberi pelayanan masyarakat yang memadai.

Selain itu kemudahan di bidang operasional juga akan memberi kelancaran dalam

memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna kemajuan daerah sebagai bukti

peningkatan kinerja (Kusumawardani, 2012 dalam Ayuningtyas, 2016). Disamping

itu, Pemerintah Daerah dengan jumlah aset yang begitu besar jika dibandingkan

daerah lain juga memiliki tuntutan yang besar untuk menunjukkan tren peningkatan

kinerja keuangan yang baik. Hal ini di dukung oleh hasil penelitian Maiyora (2015),

Masdiantini dan Erawati (2016), Azis (2016), Alvini (2018) dan Aminah et.al (2019).

Tetapi hal ini kontradiktif dengan hasil penelitian Ilmiyyah et.al. (2017), Kusuma dan

Handayani
(2017) serta Fassa dan Trisnawati (2018) yang menyatakan bahwa Size (Ukuran)

tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

Pertumbuhan ekonomi yang positif mendorong adanya investasi sehingga

secara bersamaan investasi tersebut akan mendorong adanya perbaikan infrastruktur

daerah. Infrastruktur daerah yang baik serta investasi yang tinggi di suatu daerah

menandakan daerah tersebut memiliki tingkat pendapatan asli daerah yang baik.

Peningkatan PAD seharusnya didukung dengan peningkatan kualitas layanan publik.

Saraswati (2014) dalam Alvini (2018) menyatakan bahwa semakin besar kontribusi

PAD maka kebutuhan daerah akan terpenuhi dan kualitas pelayanan publik

meningkat. Dimana peningkatan kualitas pelayanan publik tersebut mencerminkan

kinerja yang baik dari pemerintah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Armaja et.al

(2015), Kusuma dan Handayani (2017), Alvini (2018) dan Aminah et.al (2019).

Tetapi hasil ini kontradiktif dengan hasil penelitian Maiyora (2015), Ernawati dan

Jaeni (2018) serta Satria dan Puspita Sari (2018) yang menemukan hasil bahwa

Wealth tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

Leverage merupakan besarnya aset daerah yang dibiayai oleh utang karena

daerah tidak mampu membiayai urusan daerahnya melalui modal sendiri. Menurut

Darmanto (2012) dalam Ilmiyyah et.al. (2017), leverage yang merupakan faktor

finansial mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah yang mengindikasikan

bahwa semakin tinggi tingkat leverage yang dimiliki oleh pemerintah daerah maka

kinerja pemerintah akan menurun, jumlah hutang yang tinggi akan susah untuk
membiaya operasional sendiri. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Fassa dan

Trisnawati (2018). tetapi hasil ini kontradiktif dengan hasil penelitian Maiyora

(2015), Masdiantini dan Erawati (2016), Ilmiyyah et.al. (2017), Kusuma dan

Handayani (2017), Ernawati dan Jaeni (2018) serta Satria dan Puspita Sari (2018)

yang menemukan hasil bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah.

Belanja daerah digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan

fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial, fasilitas umum yang layak, dan

mengembangkan sistem jaminan sosial. Semakin tinggi belanja daerah, pemerintah

daerah akan memberikan pelayanan yang lebih baik dan berkualitas kepada

masyarakatnya. Selain itu, banyaknya belanja daerah yang dikeluarkan oleh suatu

daerah dapat mempermudah pemerintah daerah tersebut untuk menjalankan program

pembangunan yang telah dirancang di daerahnya. Pengelolaan belanja daerah dengan

efisien dan tepat akan meningkatkan kinerja keuangan pemerintah daerah. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian Armaja et.al (2015), Azis (2016), Kusuma dan

Handayani (2017), Alvini (2018) dan Aminah et.al (2019). Tetapi hasil ini

kontradiktif dengan hasil penelitian Fassa dan Trisnawati (2018) yang menemukan

hasil bahwa belanja daerah tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah

daerah.

Semakin besar jumlah transfer dana yang didapatkan oleh pemerintah daerah

maka semakin bagus pelayanan yang akan diberikan serta akan memperlancar
operasional pemerintah daerah dalam menjalankan setiap program yang sudah

direncanakan hal ini akan membantu peningkatan kinerja keuangan pemerintah

daerah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Maiyora (2015), Armaja et.al (2015),

Azis (2016) dan Aminah et.al (2019). Tetapi hasil ini kontradiktif dengan hasil

penelitian Kusuma dan Handayani (2017), Fassa dan Trisnawati (2018), Ernawati dan

Jaeni (2018), Masdiantini dan Erawati (2016), Ilmiyyah et.al. (2017) dan Alvini

(2018) yang menemukan hasil bahwa intergovermental revenue tidak berpengaruh

terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

Berdasarkan fenomena-fenomena diatas, penulis sangat ingin mengetahui

variabel apa saja yang mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah agar dapat

dilakukan perbaikan kedepannya. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian

sebelumnya yaitu lokasi penelitian serta priode laporan keuangan yang digunakan.

oleh karena itu, penulis termotivasi untuk meneliti tentang “Pengaruh Size, Wealth,

Leverage, Belanja Daerah dan Intergovernmental Revenue terhadap Kinerja

Keuangan Pemerintah Daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Apakah size berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah

di Provinsi Nusa Tenggara Barat?


2. Apakah wealth berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah

daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat?

3. Apakah leverage berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan pemerintah

daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat?

4. Apakah belanja daerah berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat?

5. Apakah intergovernmental revenue berpengaruh positif terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh size terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

2. Untuk mengetahui pengaruh wealth terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

3. Untuk mengetahui pengaruh leverage terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

4. Untuk mengaetahui pengaruh belanja daerah terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat.

5. Untuk mengetahui pengaruh intergovernmental revenue terhadap

kinerja keuangan pemerintah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat.


1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka diharapkan

penelitian ini mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan perbandingan antara

teori yang ada dengan kenyataan yang terjadi dilapangan. Selain itu, penelitian ini

juga diharapkan dapat menjadi sumber rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya

khususnya penelitian terkait pengaruh size, wealth, leverage, belanja daerah dan

intergovernmental revenue terhadap kinerja keuangan Pemerintah daerah.

1.4.2 Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

pemerintah dalam mengambil keputusan di daerah khususnya terkait pengaruh size,

wealth, leverage, belanja daerah dan intergovernmental revenue terhadap kinerja

keuangan Pemerintah daerah, sehingga kedepanya kinerja keuangan pemerintah jauh

lebih baik dan mampu memberi pelayanan yang baik untuk masyarakat.

1.4.3 Manfaat kebijakan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan

oleh pemerintah untuk pengambilan kebijakan khususnya terkait size, wealth,

leverage, belanja daerah dan intergovernmental revenue terhadap kinerja keuangan

Pemerintah daerah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)

Konsep teori agensi adalah hubungan atau kontrak antara prinsipal dan agen.

Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan, “agency relationship as a contract under

which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to

perform some service on their behalf which involves delegating some decision

making authority to the agent”. Yakni prinsipal mempekerjakan agen untuk

melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi

pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen. Teori ini jugalah yang mendasari

penelitian ini. Ayuningtyas (2016) menyatakan bahwa dalam teori agensi terdapat dua

pihak yang melakukan kesepakatan atau kontrak, yakni pihak yang memberikan

kewenangan yang disebut principal dan pihak yang menerima kewenangan yang

disebut agent, Hubungan masyarakat dengan pemerintah dapat dikatakan sebagai

hubungan keagenan, yaitu hubungan yang timbul karena adanya kesepakatan yang

ditetapkan oleh masyarakat (sebagai principal) yang menggunakan pemerintah

(sebagai agent) untuk menyediakan jasa yang menjadi kepentingan masyarakat.

Dalam organisasi sektor publik, khususnya di pemerintahan pusat dan daerah, secara

sadar atau tidak, teori keagenan


telah dipraktikkan. Masyarakat yang berada dalam posisi prinsipal memiliki hak

untuk menilai dan mengevaluasi kinerja keuangan pemerintah daerah agar mampu

memberikan pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Pemerintah daerah yang

telah diberi wewenang untuk mengelola anggaran dari masyarakat dituntut untuk

menjadi agen yang mampu memenuhi harapan dan kepentingan masyarakat.

Konflik kepentingan antara principal dan agen menyebabkan munculnya

masalah agensi. Menurut Eisenhardt (1989) dalam Hartas (2011) teori agensi

menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya

mementingkan diri sendiri (self interest) dengan mengabaikan kepentingan orang lain,

(2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang

(bounded rationality), dan (3) bahwa manusia selalu menghindari risiko (risk averse).

Dengan demikian, Seorang manajer memilih keputusan yang hanya menguntungkan

diri sendiri dari pada menguntungakan perusahaan dan pada akhirnya akan

menimbulkan konflik.

2.1.2 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

2.1.2.1 Definisi dan Tujuan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 2005, Laporan

Keuangan Pemerintah Daerah adalah suatu penyajian data keuangan termasuk

catatan yang menyertainya, bila ada, yang dimaksudkan untuk

mengkomunikasikan sumber daya ekonomi (aset) dan/atau kewajiban suatu

entitas pemerintah pada saat tertentu atau perubahan atas aset dan/atau
kewajiban selama suatu periode tertentu sesuai dengan SAP. Laporan keuangan

disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan

dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas selama satu periode

pelaporan.

Tujuan penyajian laporan keuangan permerintah daerah menurut

Bastian (2006) dalam Diyah (2016) adalah menyediakan informasi yang

berguna untuk tujuan pengambilan keputusan dan untuk mendemonstrasikan

akuntabilitas entitas atas sumber daya yang dipercaya dengan:

a) Menyediakan informasi mengenai sumber-sumber, alokasi dan

penggunaan sumber daya keuangan.

b) Menyediakan informasi mengenai bagaimana entitas mendanai

aktivitasnya dan memenuhi persyaratan kasnya

c) Menyediakan informasi yang berguna dalam mengevaluasi kemampuan

entitas untuk mendanai aktivitasnya dan untuk memenuhi kewajiban

serta komitmennya.

d) Menyediakan informasi mengenai kondisi keuangan suatu entitas dan

perubahan didalamnya.

e) Menyediakan informasi menyeluruh yang berguna dalam mengevaluasi

kinerja entitas atas hal biaya jasa, efisiensi dan pencapaian tujuan.

2.1.2.2 Komponen Pokok Laporan Keuangan Pemerintah Daerah


Laporan keuangan pemerintah daerah sesuai PP No. 71 Tahun 2010 adalah

sebagai berikut:

1. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)


Laporan realisasi anggaran menggunakan basis akuntansi kas
dalam penyajiannya. Pendapatan dan penerimaan pembiayaan diakui
pada saat diterima pada rekening kas umum Negara/Daerah.
Sedangkan belanja dan pengeluaran pembiayaan diakui pada saat
terjadinya pengeluaran dari rekening kas umum Negara/Daerah. Sisa
lebih/kurang pembiayaan anggaran pada akhir periode pelaporan
dipindahkan ke laporan perubahan saldo anggaran lebih (SAL).
2. Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih
Saldo anggaran lebih adalah gabungan saldo yang berasal dari
akumulasi SiLPA/SiKPA tahun-tahun anggaran sebelumnya dan tahun
berjalan serta penyesuaian lain yang diperkenankan. Laporan
perubahan saldo anggaran lebih menyajikan sekurang-kurangnya pos-
pos:
 Saldo anggaran lebih awal
 Penggunaan saldo anggaran lebih
 Sisa lebih/kurang pembiayaan tahun berjalan
 Koreksi kesalahan pembukuan tahun sebelumnya
 Saldo anggaran lebih akhir
3. Laporan Operasional (LO)
Laporan operasional menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi
yang menambah ekuitas dan penggunaannya yang dikelola oleh
pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan dalam satu periode pelaporan. Laporan operasional
sekurang- kurangnya menyajikan pos-pos sebagai berikut:
a) Pendapatan-LO
Pendapatan-LO adalah hak pemerintah pusat/daerah yang
diakui sebagai penambah ekuitas dalam periode tahun anggaran
yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali. Pendapatan-
LO diakui pada saat timbulnya hak atas pendapatan tersebut atau
ada aliran masuk sumber daya ekonomi.
b) Beban
Beban adalah penurunan manfaat ekonomi atau potensi
jasa dalam periode pelaporan yang menurunkan ekuitas, yang
dapat berupa pengeluaran atau konsumsi aset atau timbulnya
kewajiban. Beban diakui pada saat timbulnya oleh entitas
pelaporan.
c) Surplus/defisit dari operasi
Surplus dari kegiatan operasional adalah selisih lebih
antara pendapatan dan beban selama satu periode pelaporan.
Sedangkan
defisit dari dari kegiatan operasional adalah selisih kurang antara
pendapatan dan beban selama satu periode pelaporan. Selisih
lebih/kurang antara pendapatan dan beban selama satu periode
pelaporan dicatat dalam pos surplus/defisit dari kegiatan
operasional.
d) Kegiatan non operasional
Pendapatan dan beban yang sifatnya tidak rutin perlu
dikelompokkan tersendiri dalam kegiatan non operasional. Selisih
lebih/kurang antara surplus/defisit dari kegiatan operasional dan
surplus/defisit dari kegiatan non operasional merupakan
surplus/defisit sebelum pos luar biasa.
e) Surplus/defisit sebelum pos luar biasa
f) Pos luar biasa
Pos luar biasa disajikan terpisah dari pos-pos lainnya
dalam laporan operasional dan disajikan sesudah surplus/defisit
sebelum pos luar biasa. Pos luar biasa memuat kejadian luar biasa
yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
 Kejadian yang tidak dapat diramalkan terjadi pada awal
tahun anggaran.
 Tidak diharapkan terjadi berulang-ulang.
 Kejadian diluar kendali entitas pemerintah.
g) Surplus/defisit-LO
Surplus/defisit-LO adalah penjumlahan selisih
lebih/kurang antara surplus/defisit kegiatan operasional, kegiatan
non operasional, dan kejadian luar biasa. Saldo surplus/defisit-LO
pada akhir periode pelaporan dipindahkan ke laporan perubahan
ekuitas.
4. Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan perubahan ekuitas menyajikan sekurang-kurangnya
pos-pos:
a) Ekuitas awal
b) Surplus/defisit-LO pada periode bersangkutan
c) Koreksi-koreksi yang langsung menambah/mengurangi ekuitas
dana, yang antara lain berasal dari dampak kumulatif yang
disebabkan oleh perubahan kebijakan akuntansi dan koreksi
kesalahan mendasar, misalnya:
 Koreksi kesalahan mendasar dari persediaan yang terjadi
pada periodeperiode sebelumnya.
 Perubahan nilai aset tetap karena revaluasi aset tetap.
d) Ekuitas akhir
2.1.2.3 Karakteristik Kualitatif atas Informasi dalam Laporan Keuangan

Informasi akuntansi dalam LKPD harus mempunyai karakteristik kualitatif

tertentu. Karakteristik kualitatif laporan keuangan adalah ukuran-ukuran normatif

yang perlu diwujudkan dalam informasi akuntansi sehingga dapat memenuhi

tujuannya. Menurut Bastian (2010), karakteristik kualitatif merupakan ciri khas

informasi dalam laporan keuangan yang berguna bagi pemakai. Terdapat empat

karakteristik pokok, yaitu:

1. Dapat dipahami

Karakteristik utama kualitas informasi yang ditampung dalam

laporan keuangan sektor publik adalah kemudahannya untuk dipahami

pemakai.

2. Relevan

Informasi memiliki kualitas yang relevan apabila informasi

tersebut mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai dalam menilai

peristiwa masa lalu dan masa kini, atau memperkirakan masa depan.

3. Keandalan
Informasi memiliki kualitas yang andal jika bebas dari

pengertian yang menyesatkan, kesalahan material dan dapat

diandalkan pemakainya.

4. Dapat diperbandingkan

Dapat diidentifikasi perbedaan kebijakan akuntansi yang

diberlakukan untuk transaksi serta peristiwa lain yang sama dalam

sebuah entitas dari suatu periode ke periode lain pada entitas yang

berbeda.

2.1.3 Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

2.1.3.1 Pengertian Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Menurut Bastian (2010), kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan

suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan

visi organisasi. Azhar (2008), menyatakan bahwa kinerja merupakan aktivitas terukur

dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan

pekerjaan. Hamzah (2007), menjelaskan bahwa kinerja merupakan pencapaiaan atas

apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi. Kinerja keuangan

adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan.

Sedangkan Menurut Halim (2012), “Kinerja keuangan daerah atau

kemampuan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat
kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah”. Dari pengertian diatas

maka dapat simpulkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah gambaran

pencapaian atas suatu program/kebijakan yang sudah direncanakan pemerintah

daerah selama periode tertentu yang dapat diukur menggunakan indikator keuangan.

2.1.3.2 Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah

Pengukuran kinerja secara berkelanjutan akan memberikan umpan balik,

sehingga terjadi upaya perbaikan secara terus menerus untuk mencapai tujuan dimasa

mendatang (Bastian, 2010). Pengukuran kinerja adalah proses pengawasan secara

terus menerus dan pelaporan capaian kegiatan, khususnya kemajuan atas tujuan yang

direncanakan (Westin, 1998) dalam (Sumarjo, 2010). Pengukuran kinerja terhadap

lembaga atau organisasi tidak hanya berlaku pada lembaga atau organisasi yang

berorientasi profit saja, melainkan juga harus dilakukan pada lembaga atau organisasi

non komersial. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi sejauh mana pemerintah

menjalankan tugasnya dalam melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada

masyarakat dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan.

Pengukuran kinerja dinilai sangat penting untuk menilai akuntabilitas

organisasi dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas

bukan sekedar kemampuan yang menunjukkan bagaimana uang publik

dibelanjakan, akan
tetapi meliputi kemampuan yang menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah

dibelanjakan secara ekonomis, efisien dan efektif (Mardiasmo, 2009)

Analisis Rasio Keuangan terhadap APBD merupakan salah satu cara yang

digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah. Beberapa rasio yang

dapat dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD menurut

Halim (2012) antara lain adalah sebagai berikut:

a. Rasio Kemandirian

b. Rasio Efektivitas

c. Rasio Efisiensi

d. Rasio Aktivitas

e. Debt Service Coverage Ratio (DSCR)

f. Rasio Pertumbuhan

2.1.4 Size

Nasser dalam Kusumawardani (2012) menyatakan size adalah suatu

nominal yang dapat mendeskripsikan sesuatu. Sebagai informasi bahwa size

perusahaan yang diukur dengan menggunakan total aktiva akan lebih baik karena

nilai aktiva relatif stabil dibandingkan dengan nilai penjualan dan kapitalisasi pasar

dalam mengukur size perusahaan.

Jumlah aset yang memadai dalam pemerintah daerah akan memberikan

kemudahan kegiatan operasional yang kemudian akan mempermudah dalam memberi


pelayanan masyarakat yang memadai. Selain itu kemudahan di bidang operasional

juga akan memberi kelancaran dalam memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD)

guna kemajuan daerah sebagai bukti peningkatan kinerja (Kusumawardani, 2012).

Dalam penelitian ini proksi untuk menjelaskan size adalah jumlah dari

total aset pemerintah daerah. Jumlah aset yang dimiliki pemerintah dapat membantu

kinerja pemerintah dimana semakin besar aset yang dimilki diharapkan dapat

membantu pemda dalam menjalakan program dan memberikan pelayanan yang baik

untuk masyarakat.

2.1.5 Wealth

Kekayaan (Wealth) adalah kemampuan dalam mencukupi kebutuhan.

Kekayaan suatu negara dapat diukur dengan berbagai macam ukuran yang tidak

selalu sama karena setiap orang memiliki pandangan hidup yang berbeda sehingga

tolok ukur dari kesejahteraan juga akan berbeda. Ayunigtias (2016) menyatakan

bahwa variabel Wealth dari Pemerintah Daerah dapat dilihat dari pendapatan asli

daerah. Menurut Undang-undang No. 33 Tahun 2004, PAD merupakan sumber

penerimaan daerah yang digali untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah

daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil

ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Kemampuan suatu daerah menggali PAD

akan mempengaruhi perkembangan dan pembangunan daerah tersebut. Disamping itu

semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD, maka kinerja pemerintah dianggap

semakin baik.
Dalam penelitian ini proksi yang digunakan untuk menjelaskan

kemakmuran adalah Pendapatan Asli Daerah. Daerah yang memiliki PAD yang tinggi

diperkirakan memiliki tingkat kemakmuran yang lebih tinggi dibandingkan daerah

yang memiliki PAD rendah. Pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan

daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pasal 157 Undang-Undang No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa kelompok PAD

dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu :

a. Hasil pajak daerah

b. Hasil retribusi daerah

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

d. Lain- lain PAD yang sah

Julitawati (2012) menyatakan bahwa kemampuan suatu daerah dalam

menggali PAD akan mempengaruhi perkembangan dan pengembangan daerah

tersebut. Disamping itu semakin besar kontribusi PAD terhadap APBD, maka akan

semakin kecil pula ketergantungan terhadap bantuan pemerintah pusat.

2.1.6 Leverage

Menurut Kusumawardani (2012) leverage adalah perbandingan antara utang

dan modal. Semakin besar leverage, maka akan memperbesar tingkat ketergantungan

pemerintah daerah tersebut pada pihak luar, sehingga akan menunjukkan kinerja yang

rendah.
Dalam sektor publik, rasio utang atau leverage sangat penting bagi kreditor

dan calon kreditor potensial pemerintah daerah dalam membuat keputusan pemberian

kredit. Rasio ini akan digunakan oleh kreditor untuk mengukur kemampuan

pemerintah daerah dalam membayar utangnya. Rasio ini digunakan untuk bagian dari

setiap rupiah ekuitas dana yang dijadikan jaminan untuk keseluruhan utang. Rasio ini

juga mengindikasikan seberapa besar pemerintah daerah terbebani oleh utang. Jika

rasio ini tinggi, maka pemerintah daerah mungkin sudah kelebihan utang dan harus

dicari jalan untuk mengurangi utang (Sesotyaningtyas, 2012).

Leverage dalam pemerintah daerah tidak bisa disamakan kondisinya dengan

suatu unit usaha, karena pemebiayaan eksternal pemerintah daerah tidak hanya dari

hutang saja, namun pemerintah daerah juga memiliki bantuan dana dari pemerintah

pusat yang disebut dengan dana perimbangan.

2.1.7 Belanja Daerah

2.1.7.1 Pengertian Belanja Daerah

PSAP No.2 Paragraf 7, mengatur bahwa belanja daerah adalah semua

pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi saldo

Anggaran lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan

diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Menurut UU No. 32/2004

Pasal 167 ayat 1, belanja daerah digunakan untuk melindungi dan

meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Menurut Pasal 1 Angka 27

PP No.58/2005,
“Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai

pengurang nilai kekayaan bersih”.

2.1.7.2 Tujuan Belanja Daerah

Menurut Bastian (2010), secara umum prosedur belanja daerah

bertujuan untuk :

a. Memberikan prosedur yang baku atas aktivitas yang berkaitan dengan

pendekatan informasi mengenai belanja, mulai dari pengakuan sampai

proses pencatatan.

b. Memberikan informasi mengenai alur belanja atau biaya yang ada

sehingga pemda dapat menghitung tingkat pengeluaran yang

memungkinkan karena disesuaikan dengan tingkat dana yang tersedia.

2.1.7.3 Klasifikasi Belanja Daerah

Menurut Halim (2012), klasifikasi belanja daerah yang digunakan dalam

laporan realisasi anggaran adalah :

1) Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari

pemerintah daerah yang memberikan manfaat jangka pendek.

Terdiri atas :

a. Belanja Pegawai

b. Belanja Barang dan Jasa


c. Belanja Hibah

d. Belanja Bantuan Sosial

e. Belanja Bantuan Keuangan

2) Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset

tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode

akuntansi. Belanja modal termasuk :

a. Belanja tanah

b. Belanja peralatan dan mesin

c. Belanja gedung dan bangunan

d. Belanja jalan, irigasi dan jaringan

e. Belanja aset tetap lainnya

f. Belanja tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan

yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan beruang seperti

penanggulangan bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran tidak

terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka

penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.

g. Yang dimaksud dengan transfer di sini adalah transfer keluar, yaitu

pengeluaran uang dari entitas pelaporan lain seperti pengeluaran

dana perimbangan oleh pemerintah pusat dan dana bagi hasil oleh

pemerintah daerah.
2.1.8 Intergovernmental Revenue

Nam menjelaskan dalam Ayuningtyas (2016) Intergovernmental revenue

adalah sejumlah transfer dana dari pusat yang sengaja dibuat untuk membiayai

program-program pemerintah daerah. Intergovernmental revenue dikenal juga dengan

dan perimbangan. Dana perimbangan ini merupakan hasil kebijakan pemerintah pusat

di bidang desentralisasi fiskal demi keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah.

Dalam rangka mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan antara daerah

agar tidak ada satu daerah yang tertinggal maka diberikanlah dana perimbangan

tersebut, serta untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi

daerah.

Dana perimbangan terdiri dari :

1. Dana Bagi Hasil (Pajak dan Sumber Daya Alam)

Menurut Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Dana Bagi Hasil

dijelaskan sebagai dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada

daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah

dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dalam penjelasannya Dana Bagi

Hasil pada APBN merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber

daya nsional yang berada di daerah berupa pajak dan sumber daya alam.

Dalam Undang–Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Disebutkan

bahwa: “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan

APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka

desentralisasi”.

2. Dana Alokasi Umum (DAU)

Menurut undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan

keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dikatakan bahwa

Dana Alokasi Umum merupakan dana yang berasal dari APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah

untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi.

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Pengertian Dana Alokasi Khusus diatur dalam Undang-undang No. 33

tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Keuangan Pusat dan

Keuangan Daerah, yang menyebutkan bahwa “Dana Alokasi Khusus,

selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN

yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu

mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan

prioritas nasional”. DAK diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah

dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka

mendanai
kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat

yang telah merupakan urusan daerah.

2.2 Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :

Gita Maiyora (2015), meneliti tentang Pengaruh Karakteristik Pemerintah

Daerah Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Darah Kabupaten/Kota (Studi

Empiris Kabupaten/Kota Di Pulau Sumatera). Dan variabel yang digunakan adalah

size, wealth, leverage, ukuran legislatif dan intergovermental revenue. Sampel

penelitian diperoleh dari laporan keuangan daerah dan realisai APBD pemerintah

kota/kabupaten yang ada di Pulau Sumatera. Pulau Sumatera terdiri dari 151

Kabupaten/Kota. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi

berganda. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa size dan intergovermental

revenue memilki pengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah

sedangkan wealth, leverage dan ukuran legislatif tidak berpengaruh terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah kota di Pulau Sumatera.

Armaja, Ridwan Ibrahim dan Aliamin (2015) meneliti tentang Pengaruh

Kekayaan Daerah, Dana Perimbangan Dan Belanja Daerah Terhadap Kinerja

Keuangan (Studi pada Kabupaten/Kota di Aceh). Sampel data yang digunakan adalah

data sekunder berupa data Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota-


Perubahan (APBK-P) 23 Kabupaten/Kota di Aceh periode 2011-2015. Dan teknik

analisis data yang digunakan adalah Analisis Regresi Linear Berganda. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kekayaan daerah, Dana Perimbangan, dan belanja

daerah baik secara bersama-sama maupun secara terpisah berpengaruh terhadap

kinerja keuangan kabupaten/kota di Aceh.

Masdiantini dan Erawati (2016), meneliti tentang Pengaruh Ukuran

Pemerintah Daerah, Kemakmuran, Intergovernmental Revenue, Temuan Dan Opini

Audit Bpk Pada Kinerja Keuangan. Sampel dalam penelitian ini adalah pemerintah

daerah dari 8 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Bali dengan metode sampling jenuh.

Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Berdasarkan hasil

pengujian ditemukan bahwa ukuran pemerintah daerah dan opini audit BPK

berpengaruh positif signifikan pada kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota se-

Bali. Sementara variabel kemakmuran, intergovernmental revenue dan temuan audit

BPK tidak berpengaruh pada kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota se-Bali.

Asmaul Aziz (2016) meneliti tentang Pengaruh Karakteristik Pemerintah

Daerah Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ( Studi Pada Pemerintah

Daerah Kabupaten / Kota Di Jawa Timur ). Dimana variabel independen yang

digunakan adalah ukuran (size), intergovernmental revenue, dan belanja daerah.

Sampel yang digunakan adalah 30 Kabupaten/Kota di Jawa Timuryang dikumpulkan

diperoleh dari situs resmi Provinsi Jawa Timur melalui www.djpk.kemenkeu.go.id.

Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Dan Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ukuran pemda (size), intergovernmental revenue dan

belanja daerah berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah.

Ilmiyyah, Dewata, dan Sarikardawi (2017) meneliti tentang faktor – faktor

yang mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di provinsi

sumatera selatan tahun 2012-2015. Dimana variabel yang di uji adalah 8 kinerja

keuangan pemerintah daerah, opini audit, ukuran legislatif, intergovernmental

revenue, size, leverage, dan klaster kemampuan keuangan daerah. Sampel yang

digunakan adalah 15 kabupaten/kota di sumatera selatan. Teknik analisis data yang

digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Adapun hasilnya menunjukkan

secara simultan variabel-variabel independen yaitu opini audit, ukuran legislatif,

intergovernmental revenue, size, leverage, dan klaster kemampuan keuangan daerah

secara bersama-sama memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah yang diukur dengan tingkat kemandirian daerah. Sedangkan secara

parsial, variabel opini audit, ukuran legislatif, size, leverage, dan klaster kemampuan

keuangan daerah tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah

Sedangkan variabel intergovernmental revenue berpengaruh negatif terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah.

Kusuma dan Handayani (2017) meneliti tentang pengaruh karakteristik

pemerintah daerah terhadap efisiensi kinerja keuangan pemerintah daerah. Dimana

variabel independen yang di uji adalah ukuran pemerintah daerah, kemakmuran,

tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat, leverage, dan belanja daerah. Sampel
yang digunakan adalah 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2013-

2015. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemakmuran dan belanja daerah memiliki

pengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah sedangkan ukuran

pemerintah daerah, tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat, dan leverage tidak

memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah berdasarkan rasio

efisiensi kinerja.

Fassa dan Trisnawati (2018) meneliti tentang pengaruh karakteristik

pemerintah daerah terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah (studi empiris pada

pemerintah daerah kabupaten/kota di provinsi jawa tengah) tahun 2014-2017. Adapun

teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasilnya

diperoleh Size, Intergovermental dan belanja daerah tidak berpengaruh terhadap

kinerja keuangan Pemda. Sedangkan kemakmuran (wealth) dan leverage berpengaruh

terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

Ernawati dan Jaeni (2018) meneliti tentang Faktor Penentu Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah. Dimana variabel independen

yang diuji adalah ukuran (size), Kemakmuran (wealth), ukuran legeslatif,

intergovernmental revenue dan leverage. Sampel yang digunakan adalah 35

kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2015-2017. Teknik analisis data yang

digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil dari penenlitihan ini menunjukkan

bahwa Ukuran Pemerintah daerah dan Kemakmuran tidak berpengaruh terhadap

kinerja keuangan
pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2015-2017.

Sedangkan Ukuran Legislatif berpengaruh Negatif Signifikan terhadap Kinerja

Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 2015-2017, dan

Intergovermental Revenue dan Leverage tidak berpengaruh terhadap kinerja keungan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah tahun 20015-2017.

Satria dan Puspita Sari (2018), meneliti tentang pengaruh wealth,

intergovernmental revenue, leverage dan opini audit bpk terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Lhokseumawe). Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari kantor

BPKD pemerintah kota Lhokseumawe. Metode analisis data dalam penelitian ini

adalah Analisis Regresi Berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekayaan

dan leverage tidak berpengaruh pada kinerja keuangan pemerintah daerah

Lhokseumawe, sedangkan pendapatan antar pemerintah dan audit BPK berpengaruh

terhadap kinerja pemerintah kota Lhokseumawe, dan pengukuran kinerja keuangan

melalui rasio efisiensi Lhokseumawe kota yang kurang efisien dalam menjalankan

pemerintahan melalui rasio efektivitas kota Lhokseumawe cukup efektif dalam

menjalankan pemerintahan.

Alvini (2018) meneliti tentang Pengaruh Ukuran Pemerintah Daerah, Tingkat

Kekayaan Daerah, Tingkat Ketergantungan Daerah Kepada Pemerintah Pusat Dan

Belanja Modal Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Pada

Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau Periode 2011- 2016). Sampel Populasi dalam


penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Riau yaitu yang berjumlah

12 Kabupaten/Kota. Dan teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi

berganda. Hasil pengujian menunjukkan ukuran pemerintah daerah, tingkat kekayaan

daerah, dan belanja modal berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau Sedangkan tingkat

ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat tidak berpengaruh terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau.

Aminah, Afifah dan Pratama (2019) meneliti tentang Pengaruh Size, Wealth,

Intergovermental Revenue dan Belanja Modal Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah yang ada di

wilayah Jawa Barat tahun 2014-2016 yang terdiri dari 18 Kabupaten, 9 Kota dan 1

Provinsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel size, wealth,

intergovernmental revenue dan belanja modal berpengaruh positif terhadap kinerja

penyelenggaraan pemerintah daerah.


2.3 Rerangka Konseptual

Adapun rerangka konseptual dari penelitian ini adalah :

Size (X1)

Wealth (X2)

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y)


Leverage (X3)

Belanja Daerah (X4)

Intergovermental revennue (X5)

Untuk mendapatkan kinerja keuangan yang baik pemerintah harus

memperhatikan ukuran pemerintahan serta luas wilayahnya, sehingga pemerintah

mampu melakukan pengadaan aset sesuai dengan kebutuhan. Jumlah aset yang

banyak dengan ukuran pemerintahan yang luas akan sangat membantu meningkatkan

kualitas pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat karena total aset sesuai

dengan yang dibutuhkan untuk menjalakan program-program daerah. dan jika setiap

operasional berjalan dengan lancar dengan adanya aset-aset yang memadai akan

meningkatkan pendapatan asli daerah, sehingga daerah mampu membiayai

operasionalnya sendiri dan mampu memberikan pelayanan yang baik maka

terciptalah kemakmuran untuk


masyarakat. Leverage atau lebih dikenal dengan perbandingan utang dan total aset,

juga dapat memepengaruhi tingkat kinerja keuangan pemerintah daerah karena

apabila jumlah utang lebih besar dibandingkan total aset yang dimiliki itu akan sangat

memepengaruhi kinerja pemerintah, disaat pemerintah belum mampu membiayai

operasionalnya sendiri karena kekurangan dana pasti pemerintah daerah memerlukan

bantuan pinjaman dari kreditur lagi, maka semakin besar ketergantungan pemerintah

daerah kepada pihak luar makan akan berpengaruh terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah. Belanja daerah yang tinggi dengan tujuan memenuhi kebutuhan

dan memberikan pelayanan yang baik untuk masyarakat juga sangat membantu

pemerintah daerah meningkatkan kinerja keuangan. Transfer dana yang diterima

pemerintah daerah dari pemerintah pusat untuk mencukupi kebutuhan operasional

pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada

masyarakat dapat meningkatkan kinerja keuangan pemerintah daerah.

2.4 Pengembangan Hipotesis

2.4.1 Pengaruh Size terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Dalam teori agensi terdapat dua pihak yang melakukan kesepakatan atau

kontrak, yakni pihak yang memberikan kewenangan yang disebut principal dan pihak

yang menerima kewenangan yang disebut agent, Hubungan masyarakat dengan

pemerintah disebut sebagai hubungan keagenan karena timbul berdasarkan

kesepakatan dan kontrak, dimana pemerintah sebagai penyedia jasa yang menjadi
kepentingan masyarakat (Ayuningtyas, 2016). Agen diharapkan dapat memilih

kebijakan keuangan yang dapat menguntungkan principal. Sebagai pihak yang

menerima wewenang pemerintah daerah harus menjalankan roda pemerintahan,

pembangunan, dan pelayanan masyarakat.

Untuk menghasilkan kinerja yang baik bagi masyarakat, pemerintah harus

dengan teliti dalam menyusun program kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat,

melakukan pengadaan aset dan fasilitas yang memadai. pengadaan aset dan berbagai

fasilitas ini penting diperhitungkan dengan baik sesuai dengan kebutuhan daerah

sebab size atau ukuran aset yang sesuai dengan kebutuhan akan memberikan

kemudahan bagi Pemda untuk melakukan pelayanan yang maksimal kepada

Stakeholder. Semakin besar ukuran daerah yang dinilai dari semakin besarnya total

aset pemerintah daerah, maka semakin tinggi pula kinerja pemerintah daerah

(Kusumawardhani, 2012). Hal lainnya diungkapkan oleh Marfiana (2013) dan

Nugroho dan Prasetyo (2018), menurutnya ukuran pemda yang diproksikan dengan

besar kecilnya total aset tidak menunjukkan baik dan buruknya kinerja pemda, hal ini

karena adanya faktor in efisiensi dalam pengelolaan asetnya dan besarnya aset yang

dimiliki ternyata tidak meningkatkan kinerja pemda hal ini disebabkan karena

banyaknya aset di pemda tersebut merupakan aset yang tidak dapat dimanfaatkan

secara produktif.

Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Maiyora (2015),

Masdiantini dan Erawati (2016), Azis (2016), Alvini (2018) dan Aminah et.al (2019)

menemukan hasil bahwa Size (Ukuran) berpengaruh terhadap kinerja keuangan


pemerintah daerah. Yang berarti bahwa semakin besar Size (Ukuran) pemerintah

daerah maka kinerja keuangan pemerintah daerahpun akan semakin baik.

Berdasarkan uraian diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Size (Ukuran) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

2.4.2 Pengaruh Wealth (kemakmuran) Terhadap Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah

Teori agensi menjelaskan bahwa agen memiliki wewenang mengatur principal

dan memberikan sumber daya kepada agen berupa pajak dan retribusi, dana

perimbangan, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain lain pendapatan yang sah

(Suryaningsih dan Sidyani, 2016). Sebagai agen yang mengelola pemerintah harus

mampu memberikan keuntungan kepada principal atau masyarakat. Semakin baik

kinerja yang dilakukan agen dalam menjalakan program yang dijalakan akan semakin

membantu agen dalam meningkatkan keuntungaan serta mampu memberikan

transparansi untuk principal. Dengan keuntungan yang tinggi serta adanya

transparansi dapat meningkatkan kepercayaan principal kepada agen, sehingga

principal juga akan membantu mempermudah dan memperlancar kerja-kerja agen.

Adanya timbal balik yang baik serta keuntungan yang tinggi akan menwujudkan

kemakmuran bagi agen dan principal.

Kemakmuran adalah kemampuan dalam mencukupi kebutuhan. Kemakmuran

suatu daerah dilihat dari pendapatan asli daerah (Aminah et.al 2019). Dengan
penghasilan asli daerah yang bagus akan dapat membantu pemerintah daerah dalam

menjalakan program-program kerja tanpa harus mengandalkan dana bantuan dari

pemerintah pusat sehingga dengan demikian akan membantu meningkatkan kinerja

keuangan daerah tersebut.

Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Armaja et.al

(2015), Kusuma dan Handayani (2017), Alvini (2018) dan Aminah et.al (2019) yang

menemukan hasil bahwa Wealth (kemakmuran) berpengaruh terhadap kinerja

keuangan pemerintah daerah. Yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat

kemakmuran suatu wilayah maka kinerja keuangannya juga akan semakin bagus.

Berdasarkan uraian diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H2 : Wealth (kemakmuran) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah

daerah.

2.4.3 Pengaruh Leverage terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Dalam teori agensi masyarakat sebagai principal berhak untuk mengevaluasi

kinerja dari agen atau pemerintah agar mampu memberikan pelayanan yang baik

untuk kesejahteraan principal (Ayuningtyas, 2016). Sebagai pihak yang menerima

wewenang pemerintah daerah harus menjalankan roda pemerintahan, pembangunan,

dan pelayanan masyarakat,wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban

keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah dapat melaksanakan

tugasnya dengan baik atau tidak (Ardyasa, 2019). namun tidak semua hal yang kita

inginkan bisa
berjalan sesuai dengan keinginan kita, ada kalanya kinerja pemerintah atau agen

mengalami penurunan misalkan dari jumlah aset yang tidak memadai dalam

menjalankan kerja-kerja pemerintah daerah, serta macetnya transfer dana dari pusat

kedaerah sehingga pemerintah daerah terpaksa harus melakukan pinjaman terhadap

pihak ekstenal agar program yang telah direncanakan tetap bisa dijalankan. Dan dari

pinjaman yang dilakukan ini biasanya akan menimbulkan leverage.

Dimana leverage merupakan perbandingan antara modal dan utang.

Kusumawardani (2012) menyatakan bahwa semakin besar leverage maka semakin

besar ketergantungan entitas pada pihak luar karena semakin besar utang yang

dimiliki entitas tersebut maka semakin rendah kinerja keuangan entitas tersebut.

Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Fassa dan

Trisnawati (2018) yang menemukan hasil bahwa leverage berpengaruh negatif

terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi

tingkat leverage yang dimiliki pemerintah daerah maka kinerja keuangannya juga

akan semakin rendah.

Berdasarkan uraian diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H3 : Leverage berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah

2.4.4 Pengaruh Belanja Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah

Daerah
Menurut teori agensi agen atau pemerintah daerah yang telah diberi

wewenang untuk mengelola anggaran dari masyarakat dituntut untuk menjadi agen

yang mampu memenuhi harapan dan kepentingan masyarakat (Ayuningtyas, 2016).

Sebisa mungkin agen mempergunakan anggaran dengan sebaik-baiknya bahkan

dalam mentukan anggaran untuk belanja daerah harus dilakukan dengan teliti tanpa

mengurangi dan melebih-lebihkan jumlah anggaran demi keberlangsungan kegiatan

dan program kerja daerah.

Dalam PP No. 24 Tahun 2005 disebutkan bahwa belanja modal adalah

pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/ pengadaan aset tetap dan aset

lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas bulan). Undang-

undang RI No. 32 Tahun 2004 Pasal 167 ayat 1 menyatakan bahwa belanja daerah

digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang

diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan urusan wajib dan pelayanan lain di

bidang pendidikan, kesehatan, penyediaan fasilitas sosial, fasilitas umum, dan

pengembangan sistem jaminan sosial. Dari uraian diatas dapat disimpulakan bahwa

semakin tinggi belanja daerah maka semakin tinggi kualitas pelayanan yang diberikan

pemerintah daerah kepada masyarakat luas. Dan jika pelayanan yang masyarakat

dapatkan bagus maka semakin bagus pula kinerja keuangan pemerintah daerah.

Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Armaja et.al

(2015), Azis (2016), Kusuma dan Handayani (2017), Alvini (2018) dan Aminah et.al

(2019) yang menemukan hasil bahwa belanja daerah berpengaruh terhadap kinerja
keuangan pemerintah daerah. Yang berarti bahwa semakin optimal realisasi belanja

daerah maka akan semakin bagus kinerja keuangan pemerintah daerah tersebut.

Berdasarkan uraian diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H4 : Belanja daerah berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.

2.4.5 Pengaruh Intergovernmental Revenue terhadap Kinerja Keuangan

Pemerintah Daerah

Prinsip utama teori agensi menyatakan terdapat dua pihak yang melakukan

kesepakatan atau kontrak, yakni pihak yang memberikan wewenang atau kekuasaan

(disebut prinsipal) dan yang menerima wewenang (disebut agen). Hubungan antara

masyarakat dengan pemerintah adalah seperti hubungan antara principal dan agen

(Ardyasa, 2019). DPRD yang mewakili masyarakat adalah principal dan pemerintah

adalah agen. Agen diharapkan dalam memilih kebijakan keuangan yang dapat

menguntungkan prinsipal. Prinsipal memiliki wewenang mengatur agen, dan

memberikan sumber daya kepada agen berupa pajak, retribusi, dana perimbangan,

hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain lain pendapatan yang sah (Suryaningsih

dan Sidyani, 2016). Sehingga pemerintah sebagi agen harus mampu memberikan

pelayanan dan kinerja yang baik untuk masyarakat, menjalakan program sesuai

perencananan dan melakukan transparansi anggaran disetiap kegiatan, dan apabila

pendapatan asli daerah tidak mampu menutupi biaya operasional pemerintah daerah

ada Intergovernmental Revenue yang akan diberikan untuk menunjang kinerja

pemerintah daerah.
Intergovernmental revenue adalah sejumlah transfer dana dari pusat yang

sengaja dibuat untuk membiayai program-program pemerintah daerah (Nam, 2001

dalam Ayuningtyas, 2016). Intergovernmental revenue dikenal juga dengan istilah

dana perimbangan. Dana perimbangan diberikan untuk membantu membiayai

penyelenggaran pelayanan yang baik untuk masyarakat. Dan pemerintah daerah harus

mampu membelanjakan anggaran tersebut sesuai dengan kebutuhan dan petunjuk

penggunan anggaran tersebut. Semakin besar jumlah dana yang diberikan oleh

pemerintah pusat kepada pemerintahn daerah akan membuat semakin maksimal

kinerja yang dilakukan oleh pemerintah karena hal itu akan sangat membantu

pemerintah daerah dalam merealisasikan setiap rencana atau program-program yang

akan dilaksakan, jika setiap program dijalakan dengan maskimal dan baik akan

menwujudkan masyarakat yang sejahtera, dan akan timbul kepercayaan yang besar

kepada pemerintah daerah dan itu membantu meningkatkan kualitas kinerja

keuangan.

Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Maiyora (2015),

Armaja et.al (2015), Azis (2016) dan Aminah et.al (2019)yang menemukan hasil

bahwa Intergivermental Revenue berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah

daerah. Hal ini berarti bahwa semakin besar dan optimal pengelolaan dana

perimbangan atau intergovernmental revenue maka kinerja keuangan pemerintah

daerah juga akan semakin bagus.

Berdasarkan uraian diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:


H5 : Intergovermental revennue berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan

pemerintah daerah.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif. Penelitian kuantitatif yaitu penelitian yang berupa data-data angka serta

digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, kemudian dalam

pengumpulan data menggunakan instrument penelitian serta analiss data bersifat

kuantitatif, dan bertujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditentukan (Sugiyono,

2017: 8).

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi

Nusa Tenggara Barat yang terdiri dari 2 kota dan 8 kabupaten.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder. Data sekunder

adalah data yang diperoleh secara tidak langsung melalui media perantara atau

diperoleh maupun dicatat oleh orang lain. Adapun Sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat Periode 2016-2019.

3.4 Populasi dan Sampel

Populasi adalah sekelompok orang, kejadian atau segala sesuatu yang

mempunyai karakteristik tertentu atau dengan kata lain populasi adalah sekumpulan
unsur atau elemen yang menjadi objek penelitian (Indriantoro dan Supomo,2002).

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laporan Keuangan Kabupaten

dan Kota di provinsi Nusa Tenggara Barat. Dimana Provinsi Nusa Tenggara Barat

terdiri dari 8 kabupaten dan 2 kota.

Sampel adalah bagian dari sejumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi

yang digunakan untuk penelitian. Pengambilan sampel pada penelitian ini

menggunakan metode satured sampling (sampling jenuh) yaitu metode penarikan

sampel dimana sampel sama dengan jumlah populasi (Sugiyono, 2017). Karena

menggunakan metode sampling jenuh (satured sampling) maka sample yang

digunakan dalam penelitian ini sama dengan jumlah populasi yaitu; Laporan

Keuangan 2 kota dan 8 kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Barat.

Tabel 3.1 Daftar Populasi dan Sampel

Nomor Nama Kota/ Kabupaten

1. Kota Mataram

2. Kabupaten Lombok Barat

3. Kabupaten Lombok Tengah

4. Kabupaten Lombok Timur

5. Kabupaten Lombok Utara

6. Kabupaten Sumbawa
7. Kabupaten Sumbawa Barat

8. Kota Bima

9. Kabupaten Bima

10. Kabupaten Dompu

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini berasal dari sumber data sekunder, yaitu hasil Laporan

Keuangan Pemerintah Daerah yang telah di audit oleh BPK, Penulis

mendapatkan data tersebut secara langsung dari Kantor Perwakilan BPK

NTB. Selanjutnya Laporan Keuangan yang diperoleh dianalisis dan dirinci

berupa neraca untuk mengetahui total aset dan Laporan Realisasi Anggaran

untuk mengetahui total PAD dan DAU dan belanja modal. Sedangkan laporan

hasil EKPPD diperoleh dari situs Kemendagri tahun 2016 dan tahun 2019,

data sekunder lainnya berupa Undang-Undang, Peraturan Presiden dan

Literatur.

3.6. Klasifikasi Variabel

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas variabel dependen

dan variabel independen.

a. Variabel dependen (Y)

Menurut Sugiyono (2017) variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi

atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Adapun variabel
dependen yang digunakan dalam penelitian ini kinerja keuangan pemerintah

daerah.

b. Variabel independen (X)

Menurut Sugiyono (2017) Variabel bebas (independen) adalah variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel

dependen (terikat). Adapun variabel independen yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Size, Wealth, Leverage, Belanja Daerah Dan

Intergovernmental Revenue.

3.7. Definisi Operasional Variabel

Menurut Jogiyanto (2011) menyatakan bahwa definisi operasional variabel

merupakan definisi yang berupa cara mengukur variabel dalam penelitian supaya

mudah dalam mengoperasikan. Berikut merupakan variabel-variabel dalam

penelitian:

a. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Y)

Kinerja keuangan adalah gambaran pencapaian atas suatu program/kebijakan

yang sudah direncanakan pemerintah daerah selama periode tertentu yang dapat

diukur menggunakan indikator keuangan. Berdasarkan penelitian Ayuningtyas

(2016), variabel kinerja keuangan di ukur menggunakan proxi rasio efisiensi. Adapun

rumusnya adalah

𝐾𝑖𝑛𝑒𝑟𝑗𝑎 = 𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛


𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛
b. Size (Ukuran) (X1)

Size/ukuran dapat diukur dengan jumlah kayawan, total penjulan dan jumlah aset

yang dimiliki organisasi. Berdasarkan penelitian Animah etc all. size yang digunakan

untuk penelitian ini adalah Total aset pada neraca laporan keuangan.

𝑆𝑖𝑧𝑒 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡

c. Wealth (Kekayaan) (X2)

Kekayaan (Wealth) adalah kemampuan dalam mencukupi kebutuhan. Berdasarkan

penelitian Ayuningtyas (2016), variabel wealth dalam penelitian ini diproksikan

dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut UU No. 33 Tahun 2004 Pendapatan

Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam

daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan

perundang-undangan yang berlaku.

𝑊𝑒𝑎𝑙𝑡ℎ (Kekayaan) = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑠𝑙𝑖 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

d. Leverage (Rasio Utang) (X3)

Menurut Kusumawardani (2012) leverage adalah perbandingan antara utang dan

modal. Berdasarkan penelitian Kusuma (2017), variabel leverage dalam penelitian ini

diukur menggunakan debt to equity.

𝐷𝑒𝑏𝑡 𝑡𝑜 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦 = 𝐷𝑒𝑏𝑡


𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦

d. Belanja Daerah (X4)


PSAP No.2 Paragraf 7, mengatur bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran

dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi saldo Anggaran lebih

dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh

pembayarannya kembali oleh pemerintah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Kusuma (2017), Variabel Belanja Daerah diproksikan dengan Total Realisasi

Belanja Daerah.

𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑅𝑒𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

e. Intergovernmental revenue (X5)

Nam menjelaskan dalam Ayuningtyas (2016), Intergovernmental revenue adalah

sejumlah transfer dana dari pusat yang sengaja dibuat untuk membiayai program-

program pemerintah daerah. Intergovernmental revenue dikenal juga dengan dan

perimbangan. Dana perimbangan ini merupakan hasil kebijakan pemerintah pusat di

bidang desentralisasi fiskal demi keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah.

berdasarkan penelitian Ayuningtyas (2016), variabel intergovermental revenue di

diukur menggunakan perbandingan antara total dana perimbangan dengan total

pendapatan.

𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑔𝑜𝑣𝑒𝑟𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 𝑅𝑒𝑣𝑒𝑛𝑢𝑒 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑎𝑛𝑎


𝑃𝑒𝑟𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛

3.8. Teknik Analisis Data

3.8.1 Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif adalah metode statistika yang digunakan untuk

menggambarkan atau mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan menjadi sebuah


informasi. Statistik deskriptif mengacu pada transformasi data mentah ke dalam suatu

bentuk yang akan membuat pembaca lebih mudah memahami dan menafsirkan

maksud dari data atau angka yang ditampilkan (Suharyadi dan Purwanto, 2013).

Pengukuran yang digunakan dalam statistik deskriptif ini meliputi jumlah data, nilai

maksimun, nilai minimun, nilai rata-rata, dan standar deviasi.

3.8.2. Uji Asumsi Klasik

Uji Regresi linear berganda harus memenuhi asumsi-asumsi klasik agar

menghasilkan nilai-nilai koefisiensi yang tidak bias. Oleh karena itu, perlu

dilakukan beberapa uji diantaranya yaitu:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk melihat nilai apakah residual

terdistribusi normal atau tidak. Jadi uji normalitas bukan dilakukan pada

masing-masing variabel tetapi pada nilai residualnya. Uji normalitas dalam

penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov (KS).

Jika probability value > 0,05 maka Ho diterima (berdistribusi normal)

sedangkan jika probability value < 0,05 maka Ho ditolak (tidak berdistribusi

normal).

b. Uji Multikolonearitas

Uji multikolonearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel independen (bebas).

Multikolinearitas dapat diketahui dari nilai Tolerance dan Variance Inflation

Factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen


manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Sederhananya,

setiap variabel independen menjadi variabel dependen (terikat) dan diregres

terhadap variabel independen lainnya (Ghozali, 2016: 103).

Kriteria yang menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas yaitu

jika nilai toleransi ≥ 0,10 dan nilai VIF ≤ 10, dan sebaliknya jika terjadi

multikolinieritas yaitu jika nilai toleransi ≤ 0,10 dan nilai VIF ≥ 10 (Ghozali,

2016).

c. Uji Heterokedastisitas

Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke

pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke

pengamatan lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas sedangkan jika

residual satu pengamatan ke pengamatan lain berbeda disebut

Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah jika tidak terjadi

heteroskedastisitas.

Gejala heteroskedastisitas dapat diketahui melalui uji tes glejser yang

dilakukan dengan cara meregresikan antara variabel independen dengan nilai

absolut residualnya. Jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan

absolut residual lebih dari 0,05 maka disimpulkan tidak terjadi masalah

heteroskedastisitas sedangkan jika nilai signifikansi < 0,05 maka disimpulkan

terjadi masalah heterokedastisitas (Ghozali, 2016).


d. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi

antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan penganggu pada periode t-1

(sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Salah satu

cara yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah menggunakan

uji Durbin- Watson (DW test)38. Dasar keputusan ada atau tidaknya korelasi adalah

sebagai berikut :

Hipotesis Nol Keputusan Jika

Tidak ada autokorelasi Tolak 0 < d <dl

positif

Tidak ada autokorelasi No Decision dl ≤ d ≤ du

positif

Tidak ada korelasi Tolak 4 – dl < d < 4

negatif

Tidak ada korelasi No Decision 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl

negatif

Tidak ada autokorelasi, Tidak ditolak 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl

positif atau negatif


3.8.3. Analisis Regresi Berganda

Secara umum, analisis regresi pada dasarnya adalah studi mengenai

ketergantungan variabel dependen (terikat) dengan satu atau lebih variabel

independen (penjelas/bebas), dengan tujuan untuk mengestimasi dan/atau

memprediksi rata-rata populasi atau nilai ratarata varaibel dependen berdasarkan nilai

variabel independen yang diketahui (Ghozali, 2013)

Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel terikat (Y)

yaitu Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, sedangkan variabel bebasnya terdiri dari:

Size (X1), Wealth (X2), Leverage (X3), Belanja Daerah (X5) dan Intergovernmental

Revenue (X6).

Dengan persamaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Y = a + ß1 X1 + ß2 X2+ ß3X3 + ß4X4 + ß5X5 +e

Keterangan:

Y = kinerja keuangan pemerintah daerah

a = Konstanta

ß = Koefisien

X1 = Size

X2 = Wealth

X3 = Leverage

X4 = Belanja Daerah
X5 = Intergovernmental Revenue

e = variabel pengganggu

c. Uji Hipotesis

a) Uji Koefisien Determinasi (R2 )

Koefisien determinasi (R2 ) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi-variasi independen. Pada

penelitian ini digunakan Adjusted R Square, karena variabel bebas yang

digunakan dalam penelitian ini lebih dari satu. Nilai koefisien determinasi

adalah antara nol dan satu (0 < R2 < 1). Jika nilai R2 semakin mendekati

1, berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua

informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen.

Sebaliknya, jika R2 semakin kecil mendekati 0 berarti kemampuan

variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel

dependen semakin terbatas.

b) Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F)

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel

independen atau bebas yang dimaksudkan dalam model mempunyai

pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen/terikat.

Dengan syarat jika probabilitas memenuhi syarat signifikansi lebih kecil

dari 0.05 atau dapat dilihat dari nilai F hitung lebih besar dari F tabel ,

maka Ho ditolak dan Ha diterima.


c) Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu

variabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi

dependen. Jika nilai t hitung lebih kecil dari t tabel pada taraf signifikan

0.05 maka Ha ditolak. Sedangkan jika nilai t hitung lebih besar dari t tabel

maka Ha diterima.
Daftar Pustaka
Ardyasa, Dimas. (2019). Pengaruh Ukuran, Kemakmuran, Dan Dana Perimbangan
Pemerintah Daerah Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Studi
Empiris Pada Pemerintah Daerah di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan
Tahun 2015-2016). (Skripsi. Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas
Lampung)
Armaja., Ibrahim, Ridwan., dan Aliamin. (2015). Pengaruh Kekayaan Daerah, Dana
Perimbangan Dan Belanja Daerah Terhadap Kinerja Keuangan (Studi pada
Kabupaten/Kota di Aceh). Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam Vol 3 No
2.
Alvina, Yevi. (2018). Pengaruh Ukuran Pemerintah Daerah, Tingkat Kekayaan
Daerah, Tingkat Ketergantungan Daerah Kepada Pemerintah Pusat Dan
Belanja Modal terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Pada
Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau Periode 2011- 2016). JOM FEB Vol 1 No
1.
Aminah, Iim Nur., Afiah, Nunuy Nur., dan Pratama, Arie. (2019). Pengaruh Size,
Wealth, Intergovermental Revenue dan Belanja Modal terhadap Kinerja
Pemerintah Daerah. SIKAP Vol 3 No 2.
Ayuningtyas, D. (2016). Pengaruh Size, Wealth, Leverage, Belanja Daerah Dan
Intergovernmental Revenue Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Di Jawa Tengah. (Skripsi. Institut Agama Islam Surakarta).
Azhar, M. (2008). Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. (Tesis. Universitas Sumatera Utara).
Aziz, Asmaul. 2016. Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di
Jawa Timur). Eksis Vol 11 No 1.
Bastian, Indra. (2010). Akuntansi Sektor Publik Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Ernawati dan Jaeni. (2018). Faktor Penentu Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Dinamika Akuntansi, Keuangan dan
Perbankan Vol 7 No 1.
Fassa, Marisa Nadya and Rina Trisnawati. (2018). Pengaruh Karakteristik
Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (Studi
Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah)
Tahun 2014- 2017). Skripsi Thesis. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ghozali, Imam. (2013). Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program IBM SPSS 21,
Edisi 7. Semarang: UNDIP.
Halim, A. (2012). Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta:
Salemba Empat.
Hamzah, A. (2007). Analisa kinerja Keuangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi,
Pengangguran dan Kemiskinan: Pendekatan Analisis Jalur (Studi Pada 29
Kabupaten Dan 9 Kota Di Provinsi Jawa Timur Periode 2001-2006). Naskah
Publikasi Skripsi. Madura: Universitas Trunojoyo.
Ilmiyyah, Nyayu Miftahul., Dewata, Evada., dan Sarikardawi. (2017). Faktor–Faktor
yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota di
Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2012-2015. Jurnal Akuntansi, Ekonomi dan
Manajemen Bisnis Vol 5 No 1.
Indrawan, Y. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan pada
Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Akuntansi
Universitas Hasanudin.
Indriantoro dan Supomo, B. (2002). Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi
dan Manajemen. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Jogiyanto. (2011). Metodologi Penelitian Bisnis, Cetakan Keempat. Yogyakarta:
BPFE Yogyakarta.
Julitawati, E., dkk. (2012). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana
Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota di
Provinsi Aceh. Jurnal Akuntansi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Vol
1, No. 1.
Kusuma, Aulia Rizka., dan Handayani, Nur. (2017). Pengaruh Karakteristik
Pemerintah Daerah terhadap Efisiensi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah.
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Vol 6 No 1.
Kusumawardani, M. (2012). Pengaruh Size, Kemakmuran, Ukuran Legislatif,
Leverage terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia.
Accounting Analysis Journal. Universitas Negeri Semarang.
Maiyora, Gita. (2015). Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah Darah Kabupaten/Kota (Studi Empiris Kabupaten/Kota
Di Pulau Sumatera). Jom Fekon Vol 2 No 2.
Masdiantini, Putu Riesty dan Erawati, Ni Made Adi. (2016). Pengaruh Ukuran
Pemerintah Daerah, Kemakmuran, Intergovermental Revenue, Temuan dan
Opini Audit BPK pada Kinerja Keuangan. E-Jurnal Akuntansi Universitas
Udayana Vol 14 No 2.
Mardiasmo. (2018). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi Offset.
Marfiana, N. (2013). Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah dan Hasil Pemer
iksaan Audit BPK Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah . Jurnal.
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Nugroho, T. R. (2018). Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten & Kota Di Jawa Timur. Assets:
Jurnal Akuntansi Dan Pendidikan, 7(1), 27.
Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan.
Republik Indonesia. (2010). Peraturan Pemerintah RI Nomor. 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan.
Republik Indonesia.(2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
daerah.
Republik Indonesia.(2004). Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. (2005). Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah.
Republik Indonesia.(2004). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
daerah.
Saputra, S. C., Suwendra, I. W. dan Yudiaatmaja, F. (2016). Analisis Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah di Kabupaten Jembrana Tahun 2010-2014. e-Journal Bisma
Universitas Pendidikan Ganesha, Vol.4.
Satria, Dy Ilham., dan Puspitasari, Heni. (2018). Pengaruh Wealth, Intergovernmental
Revenue, Leverage dan Opini Audit BPK terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Lhokseumawe). At-
Tasyri Vol 10 No 1.
Sesotyaningtyas, M. (2012). Pengaruh Leverage, Ukuran Legislatif, Intergovermental
Revenue, dan Pendapatan Pajak Daerah terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah. Jurnal Universitas Negeri Semarang.
Sudarsana, Hafidh Susila (2013). Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Dan
Temuan Audit Bpk Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah (Studi Pada
Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia). Skripsi. Universitas Diponegoro
Semarang.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung:Alfabeta.
Suharyadi dan Purwanto. (2013). Statistika: Untuk Ekonomi dan Keuangan Modern
Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.
Sumarjo, H. (2010). Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota di Indonesia). Skripsi. Universitas Sebelas Maret: Surakarta.
Suryaningsih, Ni Madedan Sisdyani, Eka Ardhani.2016. “Pengaruh Karakteristik
Pemerintah daerah dan Opini Audit BPK terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah (Kabupaten/kota indonesia tahun 2013)”. Jurnal
Akuntansi
.Vol 15, No 2.
Susilowati, S., & Kristianto, D. (2016). Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2013–2015. Jurnal Akuntansi dan
Sistem Teknologi Informasi Vol 12 No 2.

Anda mungkin juga menyukai