Anda di halaman 1dari 2

DESENTRALISASI FISKAL DAN ISU-ISU DALAM OTONOMI DAERAH

By. FARIDZ RAMADAN

Pada dasarnya, keberadaan pemilihan umum kepala daerah sangat dominan peranannya dalam penentuan sukses
atau gagalnya proses otonomi di suatu daerah. Selain itu, sebagaimana diketahui, tiap-tiap penyelenggaraan
pemilihan umum kepala daerah teremban misi desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah-daerah.
Berdasarkan pembahasan terdahulu, pemilu eksekutif daerah ini berada dalam suatu wadah demokrasi lokal
dalam lingkup asas pemerintahan-desentralisasi dan didasarkan pada kebijakan publik UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Seturut logika desentralisasi tersebut maka sudah seharusnya, dalam tiap
pemilihan umum kepala daerah, kekuasaan politik semakin berada dekat dengan rakyat. Dengan demikian
kebijakan pemerintahan daerah menjadi lebih sesuai dengan kehendak rakyat, bahkan, dapat dimajukan untuk
melibatkan rakyat sebagai perencana, pelaksana, sekaligus pengawas pemerintahan. Namun kenyataan hari ini
tidak menunjukkan gambaran ideal yang demikian. Kekuasaan di tingkat lokal masih banyak yang korup dan
tidak berpihak pada rakyat, atau bahkan bisa lebih buruk lagi.

Dalam hal otonomi daerah yang ditafsirkan secara bebas maka hampir semua daerah secara sadar atau tidak,
menempatkan para petinggi dalam birokrasinya pun mayoritas dengan yang berbau putra daerah, Akhirnya
aroma primordialisme yakni kedekatan etnisitas, kesukuan, latar belakang pendidikan, agama, dan lain
sebagainya, dan logika kekuasaan akan mempengaruhi netralitas birokrasi. Hal ini menyebabkan hampir semua
mesin birokrasi selalu dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya.

Tujuan otonomi adalah kebijakan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi
kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan sesuai dengan kebutuhan serta
potensi dan karekteristik didaerah masing-masing. Peningkatan kualitas ini diberikan melalui peningkatan hak dan tanggung
jawab pemerintah daerah untuk mengelah daerahnya sendiri. Chalid, Pheni. 2015. Teori dan Isu Pembangunan. Tangerang
Selatan: Penerbit Universitas Terbuka. Hal 9. 27.

Asas dekosentrasi adalah wewenang pengelolaan pembangunan daerah yang dimiliki oleh pemerintah pusat, tetapi telah
dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Sedangkan desentraslisasi pada dasarnya adalah wewenang pemerintah daerah
dalam pengelolaan pembangunan daerahnya sendiri, sedangkan asas perbantuan adalah pemerintah daerah membantu
melakukan tugas-tugas yang dimiliki pemeritntah pusat didaerah, tetapi pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah daerah.

Prinsip dasar yang sering digunakan dalam menentukan besarnya keuangan yang dibutuhkan oleh suatu daerah otonom
adalah prinsip dimana fungsi-fungsi ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian ditetapkan besarnya kebutuhan keuangan
bagi pelaksana urusan bersangkutan. Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya berlaku, karena dinegara dunia ketiga.
Pelaksanaan kebijakan distribusi keuangan dilakukan dengan mendahulukan pembagian keuangan barulah diikuti oleh
pembagian fungsi.

Jenis-jenis pendanaan untuk membiayai pembangunan dan aktifitas rutin, meliputi:

1. Dana perimbangan = dana yang bersumber dari penermaan APBN yang dialokasikan untuk daerah yang terdiri
dari dana bagi hasil dari PBB, BPHTB, PPh dan SDA, DAU dan DAK.
2. Dana bagi hasil = yang dihasilkan dari penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak /SDA.
3. Dana alokasi umum = yang dialokasikan didasarkan pada kesenjangan fiscal atau celah fiscal yaitu selisih antara
kebutuhan fiscal dengan kapasitas fiscal.
4. Dana alokasi khusus = untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana didaerah terpencil dll.
5. Pinjaman daerah = pinjaman domestic atau luar negeri yang tidak boleh lebih dari 75% pendapatan umum, dan
rasui hutang tidak boleh lebih dari 2,5% atau hutang tidak boleh melebihi 1/6 total anggaran belanja.

Prinsip-prinsip budget transparancey menurut IMF dalam pengelolaan pemerintahan dan anggaran yang harus dipenuhi
untuk mewujudkan akuntabilitas publik adalah:

1. Adanya kejelasan pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah dan bentuk kebijakan dan regulasi di
sektor masyarakat yang jelas, tebuka dan tidak diskriminatif.
2. Adanya kejelasan dasar dan kerangka hukum serta administrasi atas pengelolaan anggaran.
3. Tersediannya informasi yang benar dan relevan bagi masyarakat dalam hal pengelolaan anggaran dan pelaksnaan
pembangunan meliputi rincian penerimaan, pengeluaran, posisis hutang dan kaitan dengan kiprah perusahaan milik
pemerintah.
4. Adanya komitmen terhadappenyajian informasi yang komprehensif, realisitik dan periodic kepada masyarakat
secara berkala dan kontinyu, termasuk identifikasi terhadap penyimpangan dari rencana yang telah ditetapkan.
5. Adanya keterbukaan pelaporan maulai dari persiapan, penyusunan, pelaksanaan, sampai laporan masuk serta
kesinambungannya.
6. Format yang rinci atas susunan anggaran.
7. Spesifikasi atas prosedur yang terintegrasi.
8. Integritas tinggi atas laporan fiscal yang diajukan.

Beberapa persoalan yang muncul dalam pelaksanaan desentralisasi fiscal diantaranya adalah:

1. Equalisasi fiscal (desentralisasi yang difokuskan untuk pengurangan kemiskinan namun komitmen daerah dalam
pelaksanaannya sangat lemah.
2. Manajemen keuangan daerah (pemerintah kab/kota cenderung mengali pendapatan lain selain pajak dengan cara
menggalakan penarikan retribusi yang pasti semakin memberatkan masyarakat didaerah.
3. Budgeting begavior (perilaku yang orientasinya hanya untuk menghabiskan anggaran/silpa)

Praktik otonomi daerah dalam beberapa hal melahirkan berbagai kasus pentingnya yang mengemuka yaitu:

1. Egoism sectoral.
2. Orientasi penggalian pendapatan asli daerah
3. Praktik KKN di lingkungan pejabat daerah.

Isu-isu pemerintah daerah

1. Peran negara
2. Welfare state
3. Lembaga negara yang kurang berperan
4. Peran birokrasi
5. Prinsip good governance.

Chalid, Pheni. 2015. Teori dan Isu Pembangunan. Tangerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka. Hal 9. 50.

Anda mungkin juga menyukai