Anda di halaman 1dari 28

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional serta memberikan arah bagi

pelaksanaan pembangunan agar dapat berjalan efektif, efisien dan sesuai dengan

sasarannya maka diperlukan kebijakan yang mampu merealisasikan cita-cita dan

tujuan tersebut. Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah dengan

melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Mardiasmo (2002), menyatakan bahwa tujuan utama penyelenggaraan otonomi

daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan

perekonomian daerah. Selanjutnya dikatakan bahwa pada dasarnya terkandung tiga

misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: (1)

meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat,

(2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. dan (3)

memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat publik untuk berpartisipasi

dalam proses pembangunan.

Sebagai sebuah proses, pelaksanaan desentralisasi di Indonesia bersifat dinamis yang

mulai dilakukan sejak tahun 2001. Namun beberapa perubahan mendasar terkait

dengan pengelolaan keuangan negara dan daerah terjadi dalam rentang waktu tahun
2

2004-2005. Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti dari

dua Undang-undang di bidang otonomi daerah dan desentralisai fiskal yaitu Undang-

undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun

1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Perubahan UU tersebut tidak bisa dilepaskan dari UU Nomor 17 tahun 2003 tentang

Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Dengan adanya otonomi daerah, maka daerah diberikan kewenangan untuk

mengelola sumber-sumber penerimaan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki

daerah guna membiayai kegiatan pembangunan di daerah dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kewenangan yang luas dalam penyelenggaraan

pemerintahan di daerah, membawa konsekuensi yaitu Pemerintah Daerah dituntut

lebih mandiri dalam pengelolaan keuangannya. Pemerintah Daerah harus mampu

menggali sumber-sumber penerimaan sesuai potensi daerah yang ada, demi

tercapainya penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan

masyarakat.

Keuangan daerah merupakan salah satu kriteria untuk mengetahui kemampuan riil

daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri, yaitu seberapa jauh daerah dapat

menggali sumber-sumber keuangannya guna membiayai kebutuhannya tanpa

menggantungkan kepada bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat.


3

Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber penerimaan daerah terdiri

dari :

1. Pendapatan Daerah yang bersumber dari :

a. Pendapatan Asli Daerah

b. Dana Perimbangan

c. Lain-lain Pendapatan

2. Pembiayaan, yang bersumber dari :

a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Daerah

b. Penerimaan Pinjaman Daerah

c. Dana Cadangan Daerah

d. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Untuk menghasilkan kinerja pemerintahan yang optimal, diperlukan pengelolaan

sumber penerimaan secara cermat. Saat ini hampir semua daerah di Indonesia

berupaya meningkatkan kas daerahnya dengan menggali potensi sumber penerimaan

yang ada. Sumber-sumber penerimaan daerah tersebut harus dipandang secara

komprehensif termasuk dampak pemilihan masing-masing sumber pendanaan

terhadap masyarakat dan pemerintah daerah itu sendiri.

Pada beberapa daerah, upaya peningkatan penerimaan daerah dilakukan dengan

memfokuskan kepada Pendapatan Daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD)

khususnya pajak dan retribusi daerah. Kebijakan ini dianggap tidak populer lagi

karena cenderung menambah beban masyarakat sebagai subyek pajak dan retribusi,
4

sehingga berkembang tuntutan dan pemikiran agar pajak diposisikan sebagai upaya

terakhir dalam pendanaan pembangunan atau pajak sebagai “the last effort” .

Salah satu bentuk kewenangan dan pembiayaan yang nantinya dapat dilakukan

pemerintah daerah dalam mengatasi berbagai keterbatasan pembiayaan pembangunan

diberikannya kewenangan dalam melakukan pinjaman. Walaupun pinjaman daerah

ini masih dikendalikan oleh pemerintah pusat atau mesti seizin pemerintah pusat,

akan tetapi setidaknya pinjaman tersebut merupakan alternatif sumber pembiayaan

pembangunan daerah. Ada tiga faktor utama pinjaman pemerintah daerah

dikendalikan pusat (Devas, 1989) antara lain;

1. Pinjaman sektor pemerintah secara keseluruhan perlu dikendalikan, karena

berkaitan dengan kebijaksanaan moneter terutama untuk mengendalikan inflasi.

2. Untuk mencegah jangan sampai pemerintah daerah terjerumus dalam kesulitan

keuangan, karena pinjaman digunakan untuk menutupi pengeluaran rutin.

3. Pemerintah pusat ingin tetap mengendalikan pola pengeluaran penanaman modal

pemerintah daerah.

Sebagian pihak menganggap pemerintah daerah layak melakukan pinjaman karena

telah memiliki sumber daya alam dan manusia yang memadai. Namun ada sebagian

lain yang menganggap pemerintah daerah belum mempunyai sumber daya yang

memadai dan ketergantungan kepada utang dikhawatirkan akan mengakibatkan

pemerintah daerah kurang leluasa dalam mengambil kebijakan publik.


5

Untuk itu yang perlu ditekankan dalam pemilihan pinjaman sebagai sumber

penerimaan daerah adalah alasan suatu daerah melakukan pinjaman dan bagaimana

pengelolaan penggunaan dan konsekuensi lain dari berutang itu sendiri. Tidak semua

daerah dapat melakukan pinjaman, harus disesuaikan dengan kemampuan daerah dan

kebutuhannya.

Dengan menggunakan dana pinjaman, pemerintah daerah diharapkan dapat

melakukan kegiatan pembangunan di atas kapasitas pendapatan yang dimiliki untuk

mempercepat tercapainya pembangunan daerah. Masalah utama yang harus

diperhatikan dalam penggunaan dana pinjaman adalah besarnya kemampuan

pemerintah daerah untuk mengembalikan pinjaman, sehingga tidak menjadi beban

bagi keuangan daerah di masa-masa berikutnya. Oleh karena itu perlu adanya analisis

untuk mengukur kemampuan keuangan dalam melakukan pinjaman dan menetapkan

jumlah pinjaman yang dapat dilakukan.

Kabupaten Lampung Barat yang resmi berdiri pada tanggal 24 September 1991,

terdiri dari 17 kecamatan yang meliputi 195 pekon dan 6 kelurahan. Sebagai

kabupaten yang relatif masih tergolong muda, Pemerintah Kabupaten Lampung Barat

terus berusaha untuk meningkatkan pembangunan di wilayahnya.

Berdasarkan Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Lampung

Barat pada beberapa tahun anggaran Pemerintah Kabupaten Lampung Barat terus

mengalami surplus. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi keuangan di Kabupaten


6

Lampung Barat tidak mengalami permasalahan. Akan tetapi hal tersebut belum

sepenuhnya mengindikasikan bahwa kegiatan pembangunan di

Kabupaten Lampung Barat telah berjalan dengan baik karena terdapat beberapa

kegiatan di beberapa dinas yang tidak dapat dilaksanakan ataupun pelaksanaannya

ditunda.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan perekonomian dan pesatnya aktifitas

pembangunan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat, maka akan

mengakibatkan kebutuhan akan fasilitas pelayanan masyarakat juga akan mengalami

peningkatan. Akan tetapi dalam usaha pelaksanaan peningkatan pembangunan di

wilayahnya, masih banyak program dan kegiatan pembangunan di Kabupaten

Lampung Barat yang tidak dapat segera dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten

Lampung Barat karena faktor keterbatasan dana. Sebagai salah satu contoh adalah

program pembangunan Kawasan Wisata Terpadu Seminung Resort. Sampai dengan

saat ini program tersebut belum berjalan dengan optimal sehingga belum dapat

memberikan manfaat secara penuh kepada masyarakat dan Pemerintah Kabupaten

Lampung Barat itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten

Lampung Barat dapat mempertimbangkan untuk melakukan pinjaman demi

percepatan pembangunan daerah.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan yang

akan dikaji dalam penelitian ini adalah :


7

1. bagaimana komposisi dan pertumbuhan komponen-komponen pendapatan dan

belanja dalam APBD Kabupaten Lampung Barat ?

2. berapakah batas pinjaman maksimum yang layak menjadi beban APBD

Kabupaten Lampung Barat ?

3. bagaimana kemampuan keuangan daerah Kabupaten Lampung Barat untuk

melakukan pinjaman sebagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan?

1.3 Tujuan penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari

penelitian ini adalah :

1. mengetahui komposisi dan pertumbuhan masing-masing komponen penerimaan

dan pengeluaran pada APBD Kabupaten Lampung Barat

2. mengetahui besarnya pinjaman maksimum yang bisa dilakukan Pemerintah

Kabupaten Lampung Barat

3. mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten Lampung Barat untuk

melakukan pinjaman.

1.4 Manfaat penelitian

Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. memberikan bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Kabupaten

Lampung Barat dalam rangka penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah, khususnya bagian dari penerimaan daerah yang direncanakan bersumber

dari dana pinjaman


8

2. memperluas wawasan pengkajian mengenai pinjaman daerah sebagai salah satu

sumber penerimaan daerah.

3. menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan menulis berkaitan

dengan pinjaman daerah.


9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemampuan Keuangan Daerah

Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan otonomi daerah adalah

kemandirian pemerintah daerah. Dengan demikian implikasi dari pengembangan

otonomi daerah bukan semata-mata merupakan penambahan urusan yang diserahkan,

akan tetapi juga seberapa besar wewenang yang diserahkan tersebut memberikan

kemampuan mengambil prakarsa dalam pengelolaan keuangan daerah sehingga

daerah dapat mengurangi derajat ketergantungannya kepada pusat dan dapat

membiayai kegiatan pembangunan daerahnya (Kuncoro, 1995 dalam Prianto 2004).

Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah

tersebut. Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengukur tingkat

kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah

menentukan bentuk dan ragam kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah.
10

Mamesah (1995) mengemukakan bahwa keuangan daerah secara sederhana dapat

dirumuskan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang,

demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang

lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan perundangan

yang berlaku. Dari pengertian tersebut di atas dapat dilihat bahwa dalam keuangan

daerah terdapat dua unsur penting yaitu :

1. semua hak dimaksudkan sebagai hak untuk memungut pajak daerah, retribusi

daerah dan/atau penerimaan dan sumber-sumber lain sesuai ketentuan yang

berlaku merupakan penerimaan daerah sehingga menambah kekayaan daerah;

2. kewajiban daerah dapat berupa kewajiban untuk membayar atau sehubungan

adanya tagihan kepada daerah dalam rangka pembiayaan rumah tangga daerah

serta pelaksanaan tugas umum dan tugas pembangunan oleh daerah yang

bersangkutan.

Salah satu permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah mengenai

kemampuan keuangan daerah karena menyangkut dengan pembiayaan

penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan dalam upaya

meningkatkan kesejahteraan pemerintahan. Masalah kemampuan daerah berarti

menyangkut bagaimana daerah dapat memperoleh dan meningkatkan sumber-sumber

pendapatan daerah untuk menjalankan kegiatan pemerintahannya. Dalam

melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan

memerlukan sumber dana untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut.


11

Syamsi (1986) mengemukakan bahwa ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan

ukuran untuk mengetahui apakah suatu daerah itu mampu mengatur dan mengurus

rumah tangganya, yaitu:

1. Kemampuan struktural organisasinya.

Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktivitas

dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya, jumlah unit-unit

beserta macamnya cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang

dan tanggung jawab yang cukup jelas.

2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah

Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur

dan mengurus rumah tangga daerahnya. Keahlian, moral, disiplin dan kejujuran

saling menunjang tercapainya tujuan yang diidam-idamkan oleh daerah.

3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat

Pemerintah daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau berperan serta

dalam kegiatan pembangunan.

4. Kemampuan keuangan daerah

Pemerintah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan,

pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan

pengurusan rumah tangganya sendiri. Untuk itu kemampuan keuangan daerah

harus mampu mendukung terhadap pembiayaan kegiatan pemerintahan,

pembangunan dan kemasyarakatan.


12

Davey (1988) mengungkapkan bahwa otonomi daerah menuntut adanya kemampuan

pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang tidak tergantung

kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-

dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan

peraturan perundang-undangan.

2.2 Pinjaman Daerah

Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber penerimaan daerah terdiri dari :

1. Pendapatan Daerah yang bersumber dari :

a. Pendapatan Asli Daerah

b. Dana Perimbangan

c. Lain-lain Pendapatan

2. Pembiayaan, yang bersumber dari :

a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Daerah

b. Penerimaan Pinjaman Daerah

c. Dana Cadangan Daerah

d. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah,

definisi pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah

menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain

sehingga daerah tersebut terbebani kewajiban untuk membayar kembali.


13

Berdasarkan waktunya, jenis pinjaman daerah dapat dibedakan menjadi :

1. Pinjaman Jangka Pendek

Pinjaman jangka pendek merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu

kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran

kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain

(termasuk biaya administrasi, komitmen, provisi, asuransi dan denda) seluruhnya

harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Pinjaman jangka

pendek tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam

perdagangan.

2. Pinjaman Jangka Menengah

Pinjaman jangka menengah merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu

lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman

yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain (termasuk biaya

administrasi, komitmen, provisi, asuransi dan denda) seluruhnya harus dilunasi

dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah yang

bersangkutan.

3. Pinjaman Jangka Panjang

Pinjaman jangka panjang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih

dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang

meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain (termasuk biaya administrasi,

komitmen, provisi, asuransi dan denda) seluruhnya harus dilunasi pada tahun-

tahun berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang

bersangkutan.
14

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 20005 Tentang Pinjaman

Daerah, alternatif sumber pinjaman yang dapat dipilih oleh Pemerintah Daerah adalah

sebagai berikut :

a. Pemerintah yang dananya berasal dari pendapatan APBN dan atau pengadaan

pinjaman pemerintah dari dalam maupun luar negeri.

b. Pemerintah Daerah lain

c. Lembaga Keuangan Bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai

tempat kedudukan dalam wilayah negara Indonesia

d. Lembaga Keuangan Bukan Bank yang berbadan hukum Indonesia dan

mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah negara Indonesia

e. Masyarakat, yaitu berupa obligasi daerah yang diterbitkan melalui penawaran

umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.

Riphat dan Hutahean (1997) dalam Prianto (2004) menyatakan bahwa ada 3 (tiga)

aspek penting yang berhubungan dengan kebijaksanaan pinjaman daerah yang selama

ini terus dikembangkan meliputi; (i) penyediaan dana pinjaman yang lebih besar

untuk pembiayaan proyek yang bersifat cost recovery, (ii) peningkatan kemampuan

pemerintah daerah menggali pendapatan daerah sendiri (PDS) yang pada gilirannya

meningkatkan kemampuan daerah membayar kembali pinjaman, (iii) dan pemberian

kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam memutuskan jenis

investasi dan cara pembiayaannya, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.

Menurutnya peranan pinjaman daerah sebagai sumber pembiayaan pembangunan

daerah dewasa ini masih relatif kecil, namun memiliki peluang yang sangat besar
15

untuk ditingkatkan. Peluang tersebut antara lain tercermin dari karakteristik pinjaman

yang memberikan otonomi atau kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan

pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Menurut Davey (1988), Pemerintah Daerah melakukan pinjaman dengan tujuan-

tujuan sebagai berikut:

1. untuk menutup defisit aliran kas dalam jangka pendek

2. untuk membiayai defisit pada anggaran tahunan guna menutup pengeluaran

operasional dan pembayaran utang

3. untuk pembelian gedung (asset) dan peralatan dengan umur ekonomis jangka

menengah

4. untuk membiayai kegiatan investasi yang diharapkan menghasilkan pendapatan

5. untuk mendanai pengembangan modal jangka panjang.

Dalam memilih sumber dan jenis pinjaman, daerah harus mempertimbangkan kondisi

atau karakteristik jenis pinjaman yang meliputi jangka waktu pinjaman, masa

pembayaran, tingkat bunga, keamanan, persetujuan dan pemeriksaan. Keputusan

pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman, harus dilakukan berdasarkan

pengukuran kemampuan untuk melunasi pinjaman itu sendiri.

Seperti yang dikemukakan Devas dkk (1989) pinjaman daerah dibenarkan atas dasar

dua pertimbangan:
16

1) dengan cara meminjam dana untuk menanam modal, pemerintah daerah dapat

mempercepat pembangunan di wilayahnya, dibandingkan dengan jika kegiatan

pembangunan hanya bergantung pada penerimaan berjalan

2) karena manfaat penanaman modal baru dapat dipetik setelah jangka waktu yang

panjang, maka sudah sepatutnya jika biaya dipikul oleh mereka yang akan

menikmati manfaatnya di masa datang.

Pinjaman pemerintah daerah ini merupakan salah satu alternatif pembiayaan

program/proyek pembangunan sarana dan prasarana yang bertujuan untuk

meningkatkan pembangunan dan perekonomian daerah, yang bersifat pemulihan

biaya (cost recovery) dan yang bersifat pelayanan umum, karena dengan semakin

baiknya infrastruktur yang disediakan pemerintah, diharapkan dapat meningkatkan

kegiatan ekonomi masyarakat. Sejauh ini masih berkembang perbedaan pendapat

mengenai layak tidaknya pemerintah daerah melakukan pinjaman untuk mempercepat

pembangunan wilayahnya. Untuk itu apabila pemerintah daerah akan melakukan

pinjaman, maka pemanfaatannya harus diarahkan pada proyek-proyek yang dapat

menghasilkan keuntungan (recovery investmen), baik untuk membangun proyek

sarana dan prasarana daerah yang langsung menghasilkan (direct cost recovery)

maupun yang tidak langsung menghasilkan pemasukan (indirect cost recovery)

sehingga pembayaran kembali pokok dan bunga pinjaman dapat terpenuhi.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah,

persyaratan pinjaman yang dipenuhi bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan

pinjaman jangka pendek adalah :


17

1. Kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman jangka pendek telah dianggarkan

dalam APBD tahun bersangkutan

2. Kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan kegiatan yang bersifat

mendesak dan tidak dapat ditunda

3. Persyaratan lainnya yang dipersyaratkan oleh calon pemberi pinjaman.

Sedangkan untuk persyaratan bagi pemerintah daerah untuk dapat melakukan

pinjaman jangka menengah dan panjang adalah sebagai berikut :

1. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak

melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya

2. Rasio proyeksi kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman

(Debt Service Coverage Ratio/DSCR) paling sedikit 2,5

3. Tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari

pemerintah.

4. Mendapatkan persetujuan dari DPRD.

Batas maksimum pinjaman merupakan batas yang dianggap layak menjadi beban

APBD, di mana jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak

melibihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun

sebelumnya.

Analisis kemampuan meminjam digunakan sebagai bahan untuk dapat memberikan

jaminan bahwa pemerintah daerah dapat melunasi utang pokok dan bunga (debt
18

carrying capacity) bagi masyarakat sebagai pemberi dana apabila pemerintah daerah

menerbitkan obligasi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah,

rasio kemampuan keuangan daerah dihitung berdasarkan nilai DSCR (Debt Service

Coverage Ratio /Rasio Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman) dimana jika nilai

DSCR suatu daerah ≥ 2,5 maka berarti daerah tersebut memiliki kemampuan untuk

membayar kembali pinjaman yang dilakukan sehingga layak untuk melakukan

pinjaman.
19

III. METODE PENELITIAN

3.1 Sumber dan Jenis Data

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Barat. Data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data time series (runtun waktu)

tahunan selama 5 (lima) tahun dari tahun anggaran 2003 sampai dengan 2007 yang

meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan data Laporan

Realisasi Anggaran (LRA) Kabupaten Lampung Barat. Data tersebut diperoleh dari

berbagai publikasi yang dikeluarkan oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Kekayaan

dan Aset Daerah Kabupaten Lampung Barat, dan Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah (Bappeda) Kabupaten Lampung Barat serta penelitian kepustakaan yang

dilakukan untuk memperoleh landasan teori bersumber dari berbagai literatur yang

berhubungan dengan penelitian ini.

3.2 Definisi Operasional Variabel

Keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai

dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik

daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.


20

Kemampuan keuangan daerah adalah kemampuan suatu daerah dalam menyediakan

sumber-sumber keuangan daerah untuk memenuhi kebutuhannya guna mendukung

berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan

daerahnya.

Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari

pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut

dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek

yang lazim terjadi dalam perdagangan.

Salah satu syarat suatu daerah dalam melakukan pinjaman diantaranya adalah nilai

Batas Maksimum Pinjaman ≤ 75% dan rasio kemampuan keuangan daerah dalam

mengembalikan pinjaman ≥ 2,5.

Batas Maksimum Pinjaman adalah batas paling tinggi jumlah pinjaman daerah yang

dianggap layak menjadi beban APBD. Nilai Batas Maksimum Pinjaman suatu daerah

menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah

adalah ≤ 75%

Rasio kemampuan keuangan daerah dalam mengembalikan pinjaman dapat dilihat

dari pembagian antara dana netto dengan angsuran pinjaman suatu daerah sehingga

diperoleh nilai Debt Service Coverage Ratio (DSCR) daerah tersebut, kemudian

hasilnya dibandingkan dengan DSCR minimal 2,5 yang ditetapkan sesuai Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005. Apabila DSCR daerah lebih besar dari DSCR

minimal, maka suatu daerah dapat melakukan pinjaman.


21

Debt Service Coverage Ratio (DSCR) merupakan kemampuan daerah dalam

membayar angsuran pinjaman berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran

daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman. Nilai DSCR suatu daerah agar dapat

melakukan pinjaman yaitu ≥ 2,5

3.3 Alat Analisis

3.3.1 Komposisi dan Pertumbuhan Komponen APBD

Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dilakukan dengan mengetahui

struktur dan potensi keuangan daerah. Menganalisis struktur keuangan daerah dengan

cara menghitung komposisi dan perkembangan pertumbuhan masing-masing

komponen APBD yaitu dengan menggunakan model sebagai berikut : (Widodo 1993

dalam Supangat 2004)

a. Komposisi dapat diketahui dengan model sebagai berikut :

Kvi  Vi
Vtotal  100 0
0

dimana : Kvi = Kontribusi variabel komponen APBD

Vi = Variabel komponenen APBD

Vtotal = Total Variabel (APBD)

b. Perkembangan pertumbuhan komponen APBD dapat diketahui dengan model

sebagai berikut :
22

Vx – Vx -1
Pertumbuhan (∆Y) = x 100%
Vx –1

dimana : ∆Y = Laju Pertumbuhan . x = tahun tertentu,

x -1 = tahun sebelumnya, V = variabel tertentu.

3.3.2 Batas Maksimum Pinjaman

Besarnya pinjaman maksimum yang boleh dilakukan dihitung dengan menggunakan

rumus Batas Maksimum Pinjaman berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 54

tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah sebagai berikut :

Kumulatif Pokok Pinjaman Daerah


BMP = --------------------------------------------------------- x 100%  75%
Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya

Keterangan ;

Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar adalah jumlah pokok

pinjaman lama yang belum dibayar (termasuk akumulasi bunga yang sudah

dikapitalisasi), ditambah dengan jumlah pokok pinjaman yang akan diterima dalam

tahun tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan Penerimaan Umum APBD adalah seluruh

penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana

pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai

pengeluaran tertentu, atau :

PU = PD – ( DAK + DD + DP + PL )
23

Keterangan :

PU = penerimaan umum APBD

PD = jumlah penerimaan daerah

DAK = dana alokasi khusus

DD = dana darurat

DP = dana pinjaman

PL = penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai


pengeluaran tertentu

Untuk mengetahui besarnya jumlah pinjaman daerah yang dapat dilakukan dapat

dihitung berdasarkan kemampuan keuangan daerah, dengan mempertimbangkan

jangka waktu, masa tenggang dan bunga pinjaman. Menurut Sartono (1997) dalam

Supangat (2004) formula yang digunakan sebagai berikut;

Pinjaman daerah.
1 1 
PD  A   n 
 r r (1  r ) 
Keterangan :

PD = Pinjaman daerah.

A = Angsuran pinjaman.

r = Tingkat suku bunga

n = Jangka waktu pinjaman

Untuk menghitung proyeksi penerimaan dan pengeluaran daerah digunakan analisis

trend. Metode penghitungan trend yang digunakan adalah metode jumlah kuadrat
24

terkecil atau The Least Square’s Method dengan rumus sebagai berikut

(Boedijoewono, 2001):

Y = a + bX

Keterangan :

Y = nilai variabel yang diramalkan/nilai trend

X = unit waktu

a = nilai trend pada periode dasar

b = perubahan trend per tahun

3.3.3 Kemampuan Keuangan Daerah

Untuk mengetahui kemampuan keuangan suatu daerah berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah dilakukan dengan

menggunakan rasio kemampuan membayar kembali pinjaman atau Debt Service

Coverage Ratio (DSCR).

Debt Service Coverage Ratio (DSCR) merupakan perbandingan antara penjumlahan

Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, penerimaan sumber daya alam dan bagian

daerah lainnya seperti Pajak Penghasilan Perseorangan, serta Dana Alokasi Umum,

setelah dikurangi Belanja Wajib, dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga dan

biaya pinjaman lainnya yang jatuh tempo. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah

Nomor 54 Tahun 2005 besarnya DSCR paling sedikit 2,5 (dua setengah), ditulis

dengan rumus:
25

(PAD+BD+DAU) – BW
DSCR = ----------------------------------- ≥ 2,5
P + B + BL

Keterangan :

DSCR : Debt Service Coverage Ratio

PAD : Pendapatan Asli Daerah.

BD : Bagian daerah yang terdiri dari PBB, BPHTB, dan SDA

DAU : Dana Alokasi Umum.

BW : Belanja Wajib yaitu belanja pegawai dan belanja DPRD dalam tahun

anggaran yang bersangkutan.

P : Angsuran pokok pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran

bersangkutan

B : Bunga Pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran bersangkutan

BL : Biaya lainnya (biaya administrasi, provisi, asuransi dan denda) yang

jatuh tempo pada tahun anggaran bersangkutan.

Apabila DSCR ≥ 2,5 maka daerah boleh melakukan pinjaman.

Apabila DSCR < 2,5 maka daerah tidak boleh melakukan pinjaman.
26

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Dari hasil analisis data, simpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. Komposisi pendapatan pada APBD Kabupaten Lampung Barat tahun 2003 –

2007 didominasi oleh Dana Perimbangan dengan kontribusi rata-rata 92,67%

dan pertumbuhan rata-rata selama 5 tahun terakhir sebesar 21,76%. Kontribusi

Pendapatan Asli Daerah masih kecil yaitu rata-rata sebesar 2,66% dan

pertumbuhan rata-rata 26,98%. Sedangkan untuk komposisi belanja pada

APBD Kabupaten Lampung Barat tahun 2003–2007 didominasi oleh belanja

langsung/pembangunan dengan kontribusi rata-rata 62,12% dan pertumbuhan

rata-rata 36,69%. Kontribusi rata-rata belanja rutin/belanja tidak langsung selama

tahun 2002 – 2007 sebesar 37,88% dengan pertumbuhan rata-rata sebesar

16,67%.

2. Batas maksimum pinjaman yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten

Lampung Barat untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp374.450.638.698 (tiga ratus

tujuh puluh empat milyar lebih). Adapun batas pinjaman tersebut merupakan

batas pinjaman maksimum yang diperbolehkan menurut Peraturan Pemerintah


27

Nomor 54 tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah . Berdasarkan pinjaman tersebut

maka dana netto yang harus disisihkan dari APBD Kabupaten Lampung Barat

untuk pembayaran angsuran pokok dan bunga pinjaman adalah sebesar

Rp71.787.257.816 (tujuh puluh satu milyar lebih) per tahun dengan asumsi suku

bunga 14 % selama jangka waktu pinjaman 10 tahun.

3. Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat layak melakukan pinjaman pada

tahun 2010 dengan nilai Debt Service Coverage Ratio rata-rata selama jangka

waktu pinjaman yaitu mulai tahun 2011 sampai dengan tahun 2020 adalah sebesar

6,544. Nilai DSCR setiap tahun selama jangka waktu pinjaman menunjukkan

nilai di atas 2,5 sebagai syarat minimal DSCR yang layak memperoleh

pinjaman daerah.

5.2 Saran

1. Dalam menjalankan roda pemerintahan seharusnya Pemerintah Kabupaten

Lampung Barat tidak hanya mengandalkan pendapatan pada pos Dana

Perimbangan melainkan dapat menggali potensi daerah sendiri misalnya melalui

sektor pertanian dan perkebunan serta sektor pariwisata sehingga dapat

meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya.

2. Dalam rangka mempercepat pembangunan daerah Pemerintah Kabupaten

Lampung Barat dapat menggunakan dana pinjaman daerah sebagai salah satu

alternatif sumber pembiayaan pembangunan, akan tetapi penggunaan dana

pinjaman tersebut harus diperhatikan dengan baik dan perlu disesuaikan dengan

kamampuan daerah. Pemerintah daerah harus tetap menjaga kondisi keuangan


28

daerah agar dapat tetap tumbuh dan senantiasa berusaha untuk meningkatkan

sumber-sumber penerimaan daerah sehingga adanya kewajiban dalam membayar

angsuran pinjaman tidak akan membebani keuangan daerah di masa yang akan

datang.

3. Meskipun Pemerintah Kabupaten Lampung Barat mempunyai kemampuan untuk

melakukan pinjaman, akan tetapi dalam penentuan kebijakan untuk melakukan

pinjaman tersebut membutuhkan pertimbangan yang cermat dan harus lebih

berhati-hati. Pinjaman yang dilakukan sebaiknya digunakan untuk membiayai

kegiatan-kegiatan pembangunan daerah yang merupakan prioritas daerah dan

terutama kegiatan investasi yang dapat menghasilkan penerimaan bagi daerah.

Hal ini dimaksudkan untuk menghindari munculnya kesulitan membayar kembali

dana pinjaman yang diperoleh sehingga menimbulkan beban baru bagi APBD

pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Kebijakan melakukan pinjaman sebagai

salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan diharapkan dapat menjadi

sarana penunjang dalam mewujudkan visi dan misi daerah dan dapat

meningkatkan pelayanan publik sehingga permasalahan yang dihadapi daerah

dapat diselesaikan dengan lebih cepat.

Anda mungkin juga menyukai