Anda di halaman 1dari 14

PERMASALAHAN DALAM PENGATURAN KEBIJAKAN ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH SEBAGAI IMPLIKASI ADANYA DESENTRALISASI KEUANGAN DAN PRINSIP PERIMBANGAN

KEUANGAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Konsentrasi Hukum Administrasi Keuangan Dosen Pengampu : Triyanto Suharsono, S.H. OLEH : Nama NIM : Rifki Rasyid : 05/185096/HK/16883

BAGIAN HUKUM PAJAK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2009

BAB I PENDAHULUAN

I.1

Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan fungsi pemerintahan di berbagai bidang merupakan salah satu

tujuan dari pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fungsi tersebut diantaranya dapat dilaksanakan dengan bentuk penerapan sistem pemerintahan, pembentukan peratutan perundang-undangan, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM), serta adanya sistem pengelolaan keuangan negara. Sehingga di dalam implementasinya, fungsi pemerintahan memerlukan suatu sistem yang efektig dan effisien terhadap pengelolaan di berbagai bidangnya. Di bidang pengelolaan keuangan negara, kompleksitas permasalahan yang ada telah diatur sedemikian rupa di dalam undang-undang sehingga pelaksanaannya dapat berjalan sesuai dengan asas-asas umum pengelolaan keuangan negara. Misalnya adalah dengan adanya pelaksanaan desentralisasi pengelolaan keuangan daerah. Sehingga dalam hal ini pemerintah daerah diberikan otoritas yang mandiri untuk mengatur dan mengelola bidang keuangan daerahnya. Prinsip kebijakan perimbangan keuangan harus dilaksanakan secara adil dan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Dan dalam pengertian ini, akan dapat mewujudkan pengelolaan keuangan daerah yang lebih transparan/akuntabilitas, disiplin anggaran, rasa keadilan, serta efisiensi/efektifitas dari pelaksanaan dan pengelolaan keuangan daerah tersebut.

Namun pada akhirnya, di dalam pelaksanaan dan pengelolaan terhadap keuangan daerah tersebut masih terdapat potensi-potensi yang nantinya hanya akan menimbulkan suatu penyimpangan terhadap hal tersebut. Penyimpangan yang terjadi, seperti tindak pelanggaran keuangan daerah yang multikompleks, dan inkredibilitas para aparat administrasi keuangan daerah, sepertinya mengharuskan re-programisasi terhadap pelaksanaan dan pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah tersebut.

I.2

Rumusan masalah Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka terdapat suatu tema

permasalahan pokok yakni bagaimana pelaksanaan dan pengelolaan keuangan daerah masih belum sesuai dengan asas-asas umum pengelolaan keuangan negara yang baik dikarenakan berbagai kompleksitas permaslahan yang ada. Lalu rumusan sub tema masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan terhadap keuangan negara sehingga dapat memberikan implikasi terhadap adanya desentralisasi keuangan di daerah?. 2. Bagaimanakah mekanisme kebijakan administrasi keuangan yang baik dan tepat dalam hal melaksanakan dan mengelola desentralisasi keuangan daerah berdasarkan prinsip perimbangan keuangan?. 3. Bagaiamanakah kelemahan-kelemahan yang terjadi di dalam pelaksanaan dan pengelolaan administrasi keuangan daerah?Dan bagaimanakah

solusinya?.

BAB II PEMBAHASAN

II.1 Pengaturan Keuangan Negara dan Desentralisasi Keuangan. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang diatur secara sistematis di dalam suatu kerangka atau pola tatanan yang disebut sebagai suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut mencakup pengaturan segala kepentingan subjek dan objek hukum di berbagai bidang, termasuk juga di bidang keuangan negara. Secara yuridisnya, Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.1 Dan secara lebih tegasnya, pengertian keuangan negara lebih merupakan adanya hubungan hukum yang terjadi di segala aspek terkait dengan hal inventaris keuangan dengan kewenangan pelaksanaan dan pengelolaannya oleh pemerintah. Pelaksanaan dan pengelolaan keuangan negara didasarkan pada adanya asas-asas umum sebagai implikasi terhadap intepretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Secara yuridisnya, asas-asas itu meliputi :2 1. Asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas.

1 2

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, ps.1 ayat (1). Ibid, penjelasan.

2.

Asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain : mandiri. Dan di dalam pelaksanaan dan pengelolaannya, keuangan negara diaplikasikan oleh Akuntabilitas berorientasi pada hasil. Profesionalitas. Proporsionalitas. Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan

kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah. Dan secara yuridisnya, hal tersebut diatur sebagai berikut :3 1. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. 2. Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) : a) dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; b) dikuasakan kepada menteri/ pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/ lembaga yang dipimpinnya; c) diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Ibid, ps. 6

d) tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang. Konsekuensi yuridis dari pengaturan ini adalah diberikannya otoritas tersendiri kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan dan mengelola keuangan daerahnya, sehingga dapat menggunakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, tanpa lepas dari adanya prinsip kebijakan perimbangan keuangan yang juga telah ditetapkan di dalam Undang-Undang.

II.2 Desentalisasi Keuangan:Prinsip Kebijakan Administrasi yang Baik dan Tepat. Prinsip kebijakan perimbangan keuangan dilaksanakan guna mendukung

penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, sehingga perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar susunan pemerintahan. Sehingga secara tegasnya, dapat diklasifikasikan objek-objek potensi keuangan yang menjadi penerimaan bagi Pemerintah Daerah. Secara yuridis, diatur sumber penerimaan daerah :4 1. Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan;

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Ps. 5

2.

Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari : a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan.

3.

Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari : a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah; b. penerimaan Pinjaman Daerah; c. Dana Cadangan Daerah; dan d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Dalam pengaturan perimbangan keuangan ini, dapat kita lihat objek-objek potensi

keuangan yang berhak dikelola sebagai anggaran pembangunan daerah oleh pemerintah daerah. Pelaksanaan pembangunan daerah tentu saja tidak terlepas dari ketersediaan dana untuk pembiayaannya. Pembiayaan bagi pelaksanaan pembangunan daerah dituangkan dalam anggaran pembangunan. Selama ini anggaran pembangunan daerah terbagi atas anggaran pembangunan yang termasuk dalam APBD dan anggaran pembangunan yang dikelola oleh instansi vertikal di daerah. Namun pengalokasian anggaran pembangunan sektoral di daerah yang dikelola oleh instansi vertikal sering tumpah tindih dengan program pembangunan daerah dari APBD yang dikelola oleh pemerintah daerah. Hal ini tentu saja merupakan pemborosan anggaran pembangunan. Sehingga untuk mengatur pelaksanaan administrasi keuangan daerah ini, diperlukan suatu mekanisme kebijakan yang lebih spesifik terhadap tata cara administrasinya. Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disahkan dan diterbitkan untuk mengatasi pengelolaan administrasi keuangan daerah

yang masih simpang siur dan sering terjadi tumpang tindih serta pemborosan anggaran. Secara yuridisnya diatur bahwa : Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam peraturan menteri ini meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD, penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan pengawasan

pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD5 Sehingga secara konkritnya, Permendagri ini digunakan sebagai ketentuan hukum secara teknis yang mengatur tentang pengelolaan administrasi keuangan daerah untuk mendorong terciptanya efisiensi dan efektifitas penggunaan dana APBD, mencegah penyalahgunaan keuangan daerah serta mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Dan secara teknisnya, apabila pelaksanaan laporan keuangan daerah tidak mengacu pada aturan ini, maka BPK tidak akan memberikan opini terhadap laporan keuangan, karena BPK akan sulit untuk menelusuri alur keluar masuknya uang yang digunakan oleh Pemerintah Daerah tersebut. Dan dengan tidak adanya opini dari BPK, maka Pemda akan kesulitan dalam membawa laporan ke DPRD, dan secara politis DPRD akan dapat menyerang kepala daerah, begitu juga rakyat akan dapat mempertanyakan kebijakan kepala daerah dalam mengelola administrasi keuangan daerahnya. Dan pada akhirnya Permendagri No.13 Tahun 2006 dinilai sebagai prinsip kebijakan administrasi keuangan yang baik dan tepat untuk menjawab berbagai tuntutan masyarakat terhadap perlunya dilakukan penataan sistem

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Ps.3

dan prosedur pengelolaan administrasi keuangan daerah, berhubung maraknya permasalahan hukum atas penyalahgunaan uang dan barang di pemerintahan daerah. Namun dalam implementasinya, apakah kebijakan ini bisa berfungsi secara optimal karena permendagri tersebut tidak mengatur mengenai sanksi yang mungkin dapat menjadi celah bagi kelemahan kebijakan tersebut. II.3 Kelemahan dan Solusi Terhadap Pengaturan Administrasi Keuangan Daerah. Seiring dari berjalannya waktu, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 berlaku sedemikian rupa keberadaannya sehingga desentralisasi keuangan dilaksakan secara bertahap di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun di sisi lain, kebijakan yang sudah dianggap baik dan tepat tersebut masih terdapat bebrapa kelemahan yang seharusnya dapat dilakukan koreksi terhadap hal tersebut. Pertama, masih kurang tegasnya redaksional pasal di beberapa ketentuan pasal dalam Permendagri tersebut. Masih

terdapat beberapa kalimat yang dapat menimbulkan multitafsir sehingga menyebabkan aturan tersebut menjadi kurang tegas. Hal ini yang seharusnya menjadi koreksi lagi bagi para elite birokrat Departemen Dalam Negeri, yang dalam hal ini menjadi kewenangan Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah. Secara yuridisnya telah diatur bahwa :6 1. Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Departemen Dalam Negeri melakukan fasilitasi pelaksanaan peraturan menteri ini. 2. Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup

mengkoordinasikan, menyempurnakan lampiran-lampiran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, melaksanakan sosialisasi, supervisi dan bimbingan teknis, serta memberikan asistensi untuk kelancaran penerapan peraturan menteri ini.
6

Ibid, ps. 334

Kedua, belum tercakupnya ketentuan mengenai klasifikasi tindak pidana terhadap penyimpangan keuangan daerah dan juga klasifikasi penjatuhan sanksi pidana bagi pelakunya. Hal inilah yang menjadikan potensi terhadap adanya praktik penyimpangan keuangan daerah sehingga dalam faktanya banyak terjadi alokasi pendanaan yang digunakan tidak sesuai peruntukan akibatnya terjadi pemborosan. Dari ketentuan penyimpangan keuangan daerah tadi, dapat kita koreksi bahwa setiap penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah oleh penanggung jawab anggaran perlu diusut tuntas dan diberi tindakan hukum karena langkah ini dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. Korupsi harus ditindak dengan aturan hukum pidana, bukan hanya sekedar sanksi administratif saja, supaya terdapat efek jera untuk perbaikan kinerja. Ada beberapa hal yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyimpangan administrasi keuangan di daerah. Pertama, telah terjadi korupsi dengan berbagai modus, mulai dari penggelembungan anggaran, kuitansi fiktif, hingga penggunaan rekening pribadi. Kedua, tidak tertib administrasi, yakni penggunaan anggaran tanpa

memerhatikan ketentuan, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Ketiga, lemahnya pengawasan internal Badan Pengawas Daerah yang tidak memberikan peringatan dini adanya indikasi penyimpangan. Keempat, terjadi perbedaan interpretasi antara pemerintah daerah dan BPK tentang ketentuan yang dijadikan acuan. Kelima, ada masalah pada mekanisme penyaluran dana dari pusat ke daerah. Keenam, terjadi intervensi partai politik di daerah dan dari pusat yang berlebihan dalam penetapan alokasi anggaran sehingga memaksa pemerintah daerah untuk mengakomodasi kepentingan politik itu. Ketujuh, ada dana

pembangunan dari pusat, seperti dana dekonsentrasi yang "memerlukan" daerah memberikan setoran sehingga daerah harus mempertanggungjawabkannya. Kedelapan, bisa terjadi akibat peraturan pemerintah yang selalu berubah-ubah sehingga pemerintah daerah harus melakukan perubahan drastis. Kesembilan, sebagian besar pemerintah daerah belum siap membuat laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan negara. Selama ini Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia tidak mempunyai data persis mengenai jumlah kekayaan daerahnya yang bertambah pada setiap tahunnya anggaran atas realisasi penggunaan dana APBD, sehingga akan sangat menyulitkan proses pengadministrasian dan pencatatan pengeluaran belanja dengan pola lama yang belum menerapkan standar akuntansi pemerintah. Sehingga dalam hal implementasi pengaturan administrasi keuangan daerah, diperlukan suatu langkah konkrit dalam merefleksikan tujuan dan sasaran yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan keuangan daerah, yaitu : 1. Meningkatkan tertib administrasi keuangan daerah dalam mengefektifkan sistem dan prosedur pengelolaan keuangan, sehingga dapat menjadikan : Meningkatnya sistem dan prosedur pelaksanaan pengelolaan

administrasi keuangan daerah sesuai peraturan yang berlaku. Meningkatnya ketrampilan dan kemampuan pelaksana pengelola

administrasi keuangan. Terwujudnya tertib administrasi pengelolaan keuangan daerah. Meningkatnya efektifitas pengawasan pengelolaan keuangan daerah. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas pengelolaan keuangan daerah

khususnya dalam pengeluaran keuangan daerah.

2.

Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) baik dari segi pelayanan maupun ketrampilan dan pengetahuan tentang administrasi pengelolaan keuangan yang berbasis kinerja, sehingga dapat menjadikan : Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pelaksana pengelola

keuangan daerah. Terselenggaranya akuntabilitas kinerja pengelola keuangan daerah. Terselenggaranya akuntabilitas kinerja pada pengguna anggaran

keuangan daerah. Terwujudnya aparatur Pengelola Keuangan Daerah yang bersih dan

bebas dari KKN. 3. Terwujudnya pelaksanaan tertib administrasi keuangan daerah.

Peningkatan sarana dan prasarana untuk menunjang dan mendukung kelancaran sistem pelayanan administrasi pengelolaan keuangan daerah dengan menyediakan perangkat software yang memadai, sehingga akan menjadikan : Terwujudnya peningkatan kemampuan system dan program yang ada dalam rangka pelayanan yang optimal. Terwujudnya sarana dan prasarana yang memadai guna mendukung kelancaran operasional pengelolaan keuangan daerah. Tercapainya penyediaan data pengelolaan keuangan daerah.

Akhirnya untuk mencapai hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas dan partisipasi dari para stakeholders di daerah serta keseriusan dan kerelaan pusat mmeberikan pembinaan dan dukungan. Tanpa keterlibatan para stakeholders dan

dukungan pusat tersebut akan sulit bagi daerah dalam melaksanakan dan mengelola pengaturan administrasi keuangannya.

BAB III PENUTUP

III.1 Kesimpulan Pelaksanaan dan pengelolaan keuangan negara didasarkan pada adanya asas-asas umum sebagai implikasi terhadap intepretasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Dan di dalam pelaksanaan dan pengelolaannya, keuangan negara diaplikasikan oleh kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah. Pemerintah Daerah dalam melaksanakan dan mengelola keuangan daerahnya tidak lepas dari adanya prinsip kebijakan perimbangan keuangan yang telah ditetapkan di dalam Undang-Undang. Dalam pengaturan perimbangan keuangan ini, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan terhadap objek-objek potensi keuangan yang berhak dikelola sebagai anggaran pembangunan daerahnya. Sementara itu masih diperlukan suatu mekanisme kebijakan yang lebih spesifik terhadap pengaturan tata cara administrasi pengelolaan administrasi keuangan dan Permendagri No.13 Tahun 2006 disahkan dan diterbitkan untuk mengatasi pengelolaan administrasi keuangan daerah tersebut. Namun dalam implementasinya, kebijakan ini belum berfungsi secara optimal karena permendagri

tersebut masih terdapat ketentuan-ketentuan yang unefective dan unenforcement yang mungkin dapat menjadi celah bagi kelemahan kebijakan tersebut. Sehingga diperlukan suatu langkah konkrit yang solutif di dalam merefleksikan tujuan dan sasaran yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan keuangan daerah, baik di bidang regulasi maupun di bidang implementasi.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Anda mungkin juga menyukai