PENDAHULUAN
Latar Belakang Selama masa Orde Baru, harapan yang Besar dari Pemerintah Daerah untuk
dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata
dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah
ketergantungan fiscal dan subsidi serta bantuan Pemerintah Pusat sebagai wujud
ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) Era Reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan
paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigm
pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang.
Perubahan Paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket undang-undang yaitu
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang- Undang No.
25 tahun 1999 tentang Perimbangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kebijakan
pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas,nyata, dan bertanggung jawab
kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan
desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan local bangsa Indonesia berupa
ancaman di integrasi bangsa,kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya
kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua,
otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk
menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.
1.3 TUJUAN
Tujuan Sesuai dengan Uraian singkat di atas adapun makalah ini di buat dengan tujuan
untuk menambah wawasan dan pengetahuan kepada pembacamaupun penulis agar dapat
memahami tentang administrasi keuangan Negara dan daerah menganalisis pembagian
fungsi wewenang antara tingkat pemerintah.
BAB 2
PEMBAHASA
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa
pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi objek,
subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan,
serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang
memiliki/menguasai objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah
daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan
Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan
pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara. Berdasarkan pengertian keuangan negara dengan
pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang
diperluas cakupannya, yaitu termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter
dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan demikian, bidang pengelolaan
keuangan negara dapat dikelompokkan dalam:
Definisi Keuangan Negara Pasal 2 UU Keuangan Negara bahkan menentukan lebih luas
danrinci tentang apa saja yang tercakup dalam keuangan negara seperti dikutip sebagai
berikut : kekayaan Negara / kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihaklain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak - hak lain yangdapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara / perusahaan
daerah.kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
menggunakan fasilitas yangdiberikan pemerintah.Seiring dengan diterapkannya Undang-
undang No. 32 Tahun 2004.
Tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,terjadi pergeseran dan
pengelolaan keuangan publik di Indonesia. Pergeseran terjadi berkaitan dengan pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan yanglebih desentralistik. Pengelolaan sumber-sumber
keuangan juga mengalami pergeseran, banyak sumber- sumber keuangan publik yang
disentralisasikan kepada daerah kabupaten dan kota, demi terselenggaranya rumah tangga
daerah otonomi. Optimalisasi pengelolaan keuangan di daerah dimaksudkan agar pemerintah
daerah sebagai penyelenggara otonomi tidak mengalami defisit fiskal. Oleh karena itu,
dilaksanakan reformasi segala bidang meliputi reformasi kelembagaan dan reformasi
manajemen sektor publik terutama yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan publik demi
untuk mendukung terciptanya good governance.
Dana bagi hasil tersebut bersumber dari pajak, meliputi sebagai berikut. Pajak bumi dan
bangunan (PBB) sektor pedesaan, perkotaan,perkebunan, pertambangan serta
kehutanan.Bea erolehan atas hak tanah dan bangunan (BPHTB) sektor pedesaan,perkotaan,
perkebunan, pertambangan serta kehutanan.Pajak penghasilan (Pph) pasal 21, pasal 25, dan
pasal wajib pajak orangpribadi dalam negeri.Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber
daya alam, meliputi Penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran hak pengusahaan
hutan(IHPH), provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan.Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari
penerimaan iurantetap (landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi
(royalty) yang dihassilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.Penerimaan perikanan
yang diterima secara nasional yang dihasilkandari penerimaan pungutan pengusahaan
perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan.Penerimaan pertambangan minyak
yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.Penerimaan pertambangan gas alam
yang dihasilkan dari wilayah daerahyang bersangkutan.
2.3 DASAR DARI ADM KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH
Dasar hukum merupakan landasan dasar yang dipergunakan sebagai pedoman atau
sebagai petunjuk bagaimana keuangan negara tersebut harus dijalankan dengan sebaik
-baiknya. Dasar hokum adalah untuk menjamin bahwa dalam realisasi pengurusan keuangan
negara tercerminkesatuan (unity) dalam bertindak bagi pejabat-pejabat negara.Adapun
Dasar-dasar Administrasi Keuangan Negara dan Daerah Hukum : Persyaratan, otorisasi, dan
larangan-larangan Political circumstances : Proses penganggaran Teknik-teknik. terdapat
pada masing-masing pejabat publik, ex. Akuntansi publik.Pengaturan Organisasi : dengan
konstitusi, hukum, dan kebijakankebijakan pemerintah lainnya. (legislatif, eksekutif, pejabat
pengelolakeuangan, atau alokasi pertanggungjawaban bagi badan-badan operasional)
Dasar hukum merupakan landasan dasar yang dipergunakan sebagai pedoman atau sebagai
petunjuk bagaimana keuangan negara tersebutharus dijalankan dengan sebaik- baiknya.
Dasar hokum adalah untuk menjamin bahwa dalam realisasi pengurusan keuangan negara
tercerminkesatuan (unity) dalam bertindak bagi pejabat-pejabat negara.Adapun Dasar-dasar
Administrasi Keuangan Negara dan Daerah Hukum : Persyaratan, otorisasi, dan larangan-
larangan Political circumstances : Proses penganggaran Teknik-teknik : terdapat pada
masing-masing pejabat publik, ex. Akuntansi publik.Pengaturan Organisasi : dengan
konstitusi, hukum, dan kebijakankebijakan pemerintah lainnya. (legislatif, eksekutif, pejabat
pengelolakeuangan, atau alokasi pertanggungjawaban bagi badan-badan operasional)
Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu system anggaran yang mengutamakan
upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang di
terapkan.
Pada era otonomi daerah, undang undang nomor 22 tahun 1999 aturan dan ketentuan
ketentuan mengenai pengelolaan keuangan daerah yang telah ada,antara lain adalah :
3. Undang undang nomor 34 tahun2000 tentang pajak daerah dan restribusi daerah
4. Peraturan pemerintah nomor 104 tahun 2000 tentang dana perimbangan
8. Peraturan pemerintaahan nomor 108 tahun 2000 tentang tata cara pertanggung
jawaban kepala daerah
12. Keputusan kepala daerah tentang system prosedur pengelolaan keuangan daerah
Menurut F.P.C.L. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai
kemampuan untuk melaksanakan hukum positif dan dengan begitu dapat diciptakan
hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.
Salah satu bentuk dari kekuasaan adalah kewenangan. Namun, keduanya memiliki
perbedaan pada dimensi keabsahan (legitimasi). Jika kekuasaan tidak selalu harus diikuti
oleh legitimasi atau keabsahan, maka kewenangan adalah kekuasaan yang harus memiliki
keabsahan (legitimate power).Artinya, kewenangan merupakan kekuasaan, akan tetapi
kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Apabila kekuasaan politik dirumuskan sebagai
kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk mempengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan politik maka kewenangan merupakan hak moral untuk membuat dan
melaksanakan keputusan politik sedangkan yang dimaksud dengan urusan adalah segala
aktivitas yang dapat dilaksanakan sebagai hasil dari kewenangan yang ada. Manifestasi dari
kewenangan adalah adanya hak untuk menjalankan aktivitas-aktivitas. Berdasarkan pada
kewenangan tersebut, urusan baru bisa diberikan ketika seseorang atau sekelompok orang
atau sebuah institusi telah diberikan kewenangan sebelumnya.
Berdasarkan doktrin, pada suatu negara kesatuan kekuasaan pemerintahan adalah wewenang
pemerintah pusat yang kemudian diselenggarakan dengan berdasarkan asas sentralisasi dan
desentralisasi. Namun demikian, Muhsan mengakui bahwa kedua sistem tersebut hanyalah
terbatas sebagai model, sebab secara empiris tidak satupun negara yang secara ekstrim
pemerintahannya bersifat sentralistis, ataupun sepenuhnya bersifat desentralisasi.
Pertama, urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan oleh pemerintah tanpa asas
desentralisasi. Berbagai urusan pemerintahan tersebut secara eksklusif menjadi wewenang
pemerintah, baik pemerintah negara kesatuan maupun pemerintah negara federal. Kedua,
meski sejumlah urusan pemerintahan lain dapat diselenggarakan dengan asas desentralisasi,
berbagai urusan pemerintahan tersebut tidak pernah secara eksklusif (sepenuhnya) menjadi
wewenang daerah otonom.
Tetapi meskipun istilah yang dipergunakan berbeda, tetap berpijak pada pengertian yang
sama bahwa ajaran (formal, material, dan riil) menyangkut tatanan yang berkaitan dengan
cara pembagian wewenang tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah. Ajaran-ajaran rumah tangga tersebut adalah sebagai
berikut;
Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah
didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang
riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang
terjadi. Sistem rumah tangga ini lazim pula disebut (sistem) otonomi nyata atau otonomi riil.
Disebut “nyata”, karena isi rumah tangga daerah didasarkan kepada keadaan dan faktor-
faktor yang nyata. Tresna menyebut sistem ini mengambil jalan tengah.
Menurut Bagir Manan, memperhatikan apa yang diutarakan Tresna, terkesan bahwa
cara-cara yang terkandung dalam sistem rumah tangga formal merupakan prinsip yang lebih
diutamakan dari pada cara-cara menurut sistem rumah tangga material. Kalau kesimpulan
tersebut benar, lalu mengapa demikian dan apa tujuannya? seperti yang diutarakan di muka,
wewenang yang dirumuskan secara umum pada sistem rumah tangga formal memberikan
landasan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dankemandirian di dalam rumah tangga.
Sementara sistem rumah tangga material menurut Bagir Manan lebih merangsang timbulnya
ketidak puasan daerah dan spanning hubungan antara pusat dan daerah. Jadi, sistem rumah
tangga formal mengandung dasar-dasar yang lebih kokoh untuk mewujudkan prinsip dan
tujuan rumah tangga daripada sistem material. Dalam konteks pemikiran seperti ini dapatlah
dipahami apabila sistem rumah tangga nyata meletakkan asasnya dalam sistem rumah tangga
formal. Melalui sistem rumah tangga formal yang disertai dengan unsur-unsur sistem rumah
tangga material maka otonomi dianggap dapat diwujudkan secara wajar.
Hubungan Pusat dan Daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan, karena
masalah tersebut dalam praktiknya sering menimbulkan upaya tarik menarik kepentingan
(spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan.39 Hubungan pusat dan daerah
terjadi sebagai akibat adanya pemencaran penyelenggaraan negara
dan pemerintahan atau pemencaran kekuasaan ke dalam satuan-satuan pemerintahan yang
lebih kecil yang dalam praktiknya dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk. Masalah
hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam rangka
otonomi yang seluas-luasnya sebenarnya adalah pembicaraan mengenai isi rumah tangga
daerah yang dalam perspektif hukum pemerintahan daerah lazim dinamakan urusan rumah
tangga daerah (huishounding).
Model pemerintahan pusat dan pemerintah daerah mengutip pendapat Clarke dan Stewart
dalam buku yang berjudul Pengawaan Pusat terhadap Daerah oleh Ni’matul Huda, dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. pertama, The Relative Authonomy Model, memberikan kebebasan yang relatif besar
kepada pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi pemerintah pusat.
Penekanannya adalah pada pemberian kebebasan bertindak bagi pemerintah daerah dalam
kerangka kekuasaan/tugas dan tanggung jawab yang telah dirumuskan oleh peraturan
perundang-undangan;
b. kedua, The Agency Model, model di mana pemerintah daerah tidak memunyai
kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen
pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusatnya.
Karena pada model ini berbagai mekanisme kontrol sangat menonjol. Pada model ini
pendapatan asli daerah bukanlah hal yang penting dalam sistem keuangan daerahnya
didominasi oleh bantuan dari pemerintah pusat; dan
c. Ketiga, The Interaction Model, merupakan suatu bentuk model di manakeberadaan dan
peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah
Sejalan dengan hal tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa hubungan kewenangan
antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau
cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Penggunaan terminologi “rumah tangga
daerah” merupakan suatu hal yang sangat penting, hal ini untuk menunjukkan adanya
kemandirian dan keleluasaan daerah mengatur dan mengurus sendiri kepentingan
daerahnya.Otonomi yang luas biasanya bertolak dari prinsip bahwasanya semua urusan
pemerintahan menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali yang ditentukan oleh
pemerintah pusat. Dalam negara modern, lebih-lebih ketika dikaitkan dengan paham negara
kesejahteraan, urusan pemerintah tidak dapat dikenali jumlahnya.
3. Konsep Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah dalam UU N0.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Telah disinggung sebelumnya bahwa secara yuridis kewenangan adalah hak dan
kekuasaan pemerintah yang sah secara hukum, maka dalam konsep Negara hukum
(rechstaat) segala tindakan pemerintah yang bersumber dari kewenangannya haruslah
bersandarkan pada asas legalitas.
Pasal 18A UUD NRI 1945 memberikan dasar konstitusional bagi pengaturan hubungan
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai berikut:
(1) .Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-
undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2) .Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Sebagaimana bunyi Pasal 9 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014, urusan pemerintahan
konkuren dimaksudkan sebagai urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah yaitu provinsi dan kabupaten/kota. Selanjutnya di ayat (4),
menyatakan bahwa urusan konkuren yang diserahkan kepada daerah menjadi dasar bagi
pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan konkuren tersebut kemudian dibagi menjadi urusan
wajib dan urusan pilihan.
Pemerintah pusat juga diberikan kewenangan dalam urusan pemerintahan umum yang diatur
dalam Pasal 25 ayat (1) yang antara lain:
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta
pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
3) pembinaan kerukunan antar suku dan intrasuku, umat beragama, ras, dan
dan nasional;
perundang-undangan;
6) pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila; dan
SDalam hubungan kewenangan antara pusat dan daerah sebagaimana yang diatur
dalam UU No. 23 Tahun 2014, dapat pula tercermin konsep otonomi seperti apa yang dianut.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Bagir Manan, setidaknya ada dua konsep otonomi
yang tercermin di dalam pola hubungan kewenangan pusat dan daerah, yakni otonomi luas
dan otonomi sempit. Otonomi luas lebih di dasarkan pada prinsip residual function atau teori
sisa yang fokusnya ada di pemerintah daerah. Artinya, otonomi luas berlaku bila segala urusan
pemerintahan menjadi kewenangan daerah selain yang ditentukan oleh pusat, sedangkan
otonomi dikatakan terbatas bila urusan-urusan rumah tangga ditentukan secara kategoris dan
pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Sistem supervisi Pembagian
Kewenangan Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah…. Abdul Rauf Alauddin Said 598 dan
pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian
untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
Selain itu, sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal
seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak
otonomi daerah.