PENDAHULUAN
Keuangan negara, jika dilihat dari sisi teori, bisa mengandung beberapa
pengertian, tetapi pengertian yang diuraikan dalam bahan ajarini dibatasi pada
pengertian-pengertian seperti diatur dalam peraturan perundangan di bidang
keuangan negara. Sesuai dengan yang diuraikan dalam Undang Undang Keuangan
Negara (UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara), yang dimaksud dengan
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu - baik berupa uang maupun berupa barang - yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Kemudian, dalam penjelasan dalam Undang Undang tersebut, diuraikan mengenai
rumusan Keuangan Negara dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan secara lengkap
yaitu:
1. Objek dari keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal dan
moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Subjek keuangan negara adalah seluruh objek keuangan negara yang dimiliki
dan/atau dikuasai oleh pemerintah dan badan hukum publik lainnya.
3. Menurut prosesnya, keuangan negara merupakan seluruh rangkaian kegiatan
pengelolaan semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang
dimulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban.
4. Tujuan seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek keuangan negara tersebut
dimaksudkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan 1999/2000 APBN disusun dalam
bentuk rekening scontro (T account). Di sebelah debet, dicantumkan semua
penerimaan dan di sebelah kredit dicantumkan semua pengeluaran. Mulai tahun
anggaran 2000 struktur dan format APBN disusun dalam bentuk stafel (I account).
Struktur APBN yang demikian itu disesuaikan dengan standar yang berlaku secara
internasional sebagaimana digunakan dalam statistik keuangan pemerintah
(Government Finance Statistics). Struktur dan format APBN seperti ini dapat
digunakan untuk beberapa tujuan yaitu:
1) Untuk meningkatkan transparansi dalam penyusunan APBN
2) Mempermudah melakukan analisis komparasi mengenai perkembangan
operasi fiskal pemerintah dengan berbagai negara lain.
3) Mempermudah analisis, pemantauan, dan pengendalian pelaksanaan dan
pengelolaan APBN sehingga dapat diambil langkah-langkah untuk
memperkecil diskripensi dengan data pembiayaan Bank Indonesia.
4) Menghadapi pelaksanaan desentralisasi fiskal sesuai dengan dengan UU No.
33 tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Mulai Maret 2003 seiring dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003, format RAPBN meski menggunakan I-Account mengalami perubahan
format pada struktur anggarannya. UU Keuangan Negara mengamanatkan format
baru yang disebut format anggaran terpadu (unified budget), yakni tidak ada
pemisahan antara anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan,
tetapi digabungkan menjadi satu. Adapun struktur dan format pokok RAPBN yang
dilaksanakan pada TA 2017 dapat dilihat pada tabel berikut:
STRUKTUR DAN FORMAT RINGKAS APBN
. A. PENDAPATAN NEGARA
I. PENERIMAAN DALAM NEGERI
A 1. Penerimaan Perpajakan
1 a. Pajak Dalam Negeri
2 b. Pajak Perdagangan Internasional
B 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
1 a. Penerimaan SDA
2 b. Pendapatan Bagian Laba BUMN
3 c. PNBP Lainnya
d. Pendapatan BLU
2 II. PENERIMAAN HIBAH
B. BELANJA NEGARA
1 I. BELANJA PEMERINTAH PUSAT
1. Belanja Kementerian/Lembaga
2. Belanja Non-Kementerian/Lembaga
a. Pembayaran Bunga Utang
b. Subsidi
c. Belanja Hibah
2 II. TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA
1. Transfer Ke Daerah
a. Dana Perimbangan
1) Dana Transfer Umum
a) Dana Bagi Hasil
b) Dana Alokasi Umum
2) Dana Transfer Khusus
b. Dana Insentif Daerah
c. Dana Otonomi Khusus dan Dana
Keistimewaan D.I.Y.
2. Dana Desa
C C. KESEIMBANGAN PRIMER
D D. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A-B)
E E. PEMBIAYAAN
1. Pembiayaan Utang
a. Surat Berharga
b. Pinjaman
2. Pembiayaan Investasi
1. Pemberian Pinjaman
2. Kewajiban Penjaminan
3. Pembiayaan Lainnya
4. Kegiatan Belajar 3 : Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara
4.1. Reformasi Pelaksanaan APBN
Reformasi pelaksanaan APBN ditandai dengan disahkannya oleh Pemerintah
bersama DPR, pada tangal 14 Januari 2004, mensahkan UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. UU perbendaharaan Negara tersebut merupakan
ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut atas disahkannya UU Nomor 17 Tahun
2003. Menurut UU Nomor 1 Tahun 204, yang dimaksud dengan Perbendaharaan
Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk
investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.
Berdasarkan definisi tersebut, cakupan ruang lingkup Perbendaharaan Negara
meliputi:
1. Pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah.
2. Pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara/daerah.
3. Pengelolaan kas negara/daerah.
4. Pengelolaan piutang dan utang negara/daerah.
5. Pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah
6. Penyelenggaraan akuntansi dan sistem informasi manajemen keuangan
negara/ daerah
7. Penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD
8. Penyelesaian kerugian negara/daerah
9. Pengelolaan keuangan badan layanan umum, dan
10. Perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur yang berkaitan dengan
pengelolaan Keuangan Negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pelaksanaan anggaran dilakukan
melalui pembagian tugas antara Menteri Keuangan selaku pemegang kewenangan
kebendaharaan dengan Menteri Negara/Lembaga selaku pemegang kewenangan
administratif. Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 1 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
kewenangan administratif yang dimiliki menteri negara/lembaga mencakup
kewenangan untuk melakukan perikatan atau tindakan lain yang mengakibatkan
terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, kewenangan melakukan pengujian
dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada menteri negara/lembaga
sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran
atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.
Sedangkan dalam upaya melaksanakan kewenangan kebendaharaan, Menteri
Keuangan merupakan pengelola keuangan
yang berfungsi sebagai kasir, pengawas keuangan, dan sekaligus sebagai manajer
keuangan.
Fungsi pengawasan yang dimiliki menteri keuangan terbatas pada aspek
rechmatigheid (ketaatan pada aturan hukum) dan wetmatigheid (ketaatan pada
aturan perundangan) serta hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau
pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh menteri
negara/lembaga atau post-audit yang dilaksanakan oleh aparat pengawasan
fungsional.
4.2. Pejabat Perbendaharaan
5. Bendahara Pengeluaran
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang
untuk keperluan Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker
Kementerian Negara/Lembaga.
Berikut gambaran secara umum seorang bendahara pengeluaran :
1. Menteri/Ketua Lembaga menetapkan Bendahara Pengeluaran;
2. Penetapan Bendahara Pengeluaran dapat didelegasikan kepada Kepala satker
3. Pengangkatan Bendahara Pengeluaran tidak terikat periode tahun anggaran.
4. Surat Penetapan Bendahara Pengeluaran disampaikan kepada PPSPM dan PPK,
serta kepada Kepala KPPN dalam rangka penyampaian Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ)
5. Bendahara Pengeluaran tidak dapat dirangkap oleh KPA, PPK atau PPSPM.
6. Dalam hal tidak terdapat pergantian Bendahara Pengeluaran, penetapan
Bendahara Pengeluaran tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku
7. Dalam hal Bendahara Pengeluaran dipindahtugaskan/
pensiun/diberhentikan dari jabatannya/berhalangan sementara,
Menteri/Pimpinan Lembaga atau kepala Satker menetapkan pejabat pengganti
sebagai Bendahara Pengeluaran.
8. Bendahara Pengeluaran yang dipindahtugaskan/ pensiun/diberhentikan dari
jabatannya/berhalangan sementara bertanggungjawab untuk menyelesaikan
seluruh administrasi keuangan;
9. Dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan anggaran, kepala
Satker dapat menunjuk beberapa BPP sesuai kebutuhan
10. Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas uang/surat
berharga yang berada dalam pengelolaannya
Tugas seorang bendahara pengeluaran adalah :
1. menerima, menyimpan, menatausahakan, dan membukukan uang/surat
berharga dalam pengelolaannya
2. melakukan pengujian dan pembayaran berdasarkan perintah PPK
3. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK
4. menolak perintah pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan untuk
dibayarkan
5. melakukan pemotongan/pemungutan penerimaan negara dari pembayaran
yang dilakukan
6. menyetorkan pemotongan/pemungutan kewajiban kepada negara ke kas negara
7. mengelola rekening tempat penyimpanan UP
8. menyampaikan LPJ kepada Kepala KPPN selaku kuasa BUN
6. Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN)
Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang
ditetapkan. Menteri Keuangan selaku BUN mengangkat Kepala KPPN selaku Kuasa
BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran
dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.
Tugas kebendaharaan tersebut meliputi kegiatan menerima, menyimpan, membayar
atau menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang dan
surat berharga yang berada dalam pengelolaannya. KPPN selaku Kuasa BUN
melaksanakan pencairan dana berdasarkan perintah pembayaran yang diterbitkan
oleh PPSPM atas nama KPA. Dalam pelaksanaan pencairan dana, KPPN memiliki tugas
dan wewenang untuk menguji dan meneliti kelengkapan SPM yang diterbitkan oleh
PPSPM.
Telah diuraikan di atas, bahwa APBN, dilihat dari segi hukum, merupakan
mandat dari DPR RI kepada Pemerintah untuk melakukan penerimaan atas
pendapatan negara dan menggunakannya sebagai pengeluaran untuk tujuan- tujuan
tertentu dan dalam batas jumlah yang ditetapkan dalam suatu tahun anggaran.
Sesuai dengan pasal 30 UU nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
ketentuan dalam Undang-Undang APBN tahun anggaran bersangkutan, Presiden
berkewajiban untuk menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN berupa Laporan Keuangan. Batas waktu
penyampaian Laporan Keuangan kepada DPR tidaklah sama dari suatu tahun
anggaran dibandingkan dengan tahun anggaran lainnya. Misalnya dalam tahun
anggaran 2004 batas waktu penyampaian Laporan Keuangan adalah 9 bulan, mulai
tahun anggaran 2005 batas waktunya diperpendek menjadi 6 bulan.
b) Neraca
Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai asset
baik lancar maupun tidak lancar, kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka
panjang, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Neraca tingkat Pemerintah Pusat
merupakan konsolidasi dari neraca tingkat Kementerian/Lembaga. Dalam neraca
tersebut harus diungkapkan semua pos asset dan kewajiban yang didalamnya
termasuk jumlah yang diharapkan akan diterima dan dibayar dalam jangka waktu
dua belas bulan setelah tanggal pelaporan dan jumlah uang yang diharapkan akan
diterima atau dibayar dalam waktu dua belas bulan.
Laporan Arus Kas diperlukan untuk memberi informasi kepada para pengguna
laporan untuk menilai pengaruh dari aktivitas-aktivitas tersebut terhadap posisi kas
pemerintah.Disamping itu, informasi tersebut juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi hubungan antara aktivitas operasi, investasi, pembiayaan, dan non
anggaran.
Sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku saat ini, Laporan
Arus Kas ini disusun oleh unit pemerintah yang melaksanakan fungsi
perbendaharaan.Di organisasi pemerintah pusat.Fungsi perbendaharaan
dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan, sedangkan di organisasi pemerintah
daerah, fungsi perbendaharaan dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah.
Mengapa Berutang?
1
Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita
Bagaimana Pengelolaan Utang?
Dalam menyusun kebijakan pembiayaan melalui utang, Pemerintah tetap
berpegang pada prinsip kehati-hatian (pruden), efisien, dan terukur (akuntabel).
Pemerintah memiliki berbagai strategi, baik dalam jangka menengah maupun
tahunan untuk mengelola utang dalam menjaga portofolio utang yang optimal,
dengan biaya dan risiko yang minimal. Secara garis besar strategi Pemerintah dalam
mengelola utang tertuang dalam 4 poin besar yang saling berkaitan satu sama lain,
sebagai berikut:
1. Hati-hati: menjaga rasio utang terhadap PDB pada level yang aman;
2. Produktif: memanfaatkan utang untuk kegiatan produktif, menjaga komposisi
utang dalam batas manageable, dan menjaga solvabilitas;
3. Efisien: menjaga akuntabilitas pengelolaan utang dan meningkatkan efisiensi
bunga utang pada tingkat risiko terkendali;
4. Pendalaman Pasar: melakukan diversifikasi basis investor dan
pengembangan instrumen serta mengoptimalkan sumber utang domestik.
Melalui strategi tersebut Pemerintah menjaga biaya (beban bunga) utang
pada level yang rendah dan risiko utang pada level yang aman dengan melakukan
diversifikasi dalam menjaga komposisi portofolio utang yang optimal. Diversifikasi
portofolio yang dilakukan antara lain meliputi instrumen utang, jenis suku bunga, jenis
mata uang, dan jenis tenor, sehingga Pemerintah lebih fleksibel dalam menentukan
sumber pembiayaan yang efisien dalam memenuhi target Pembiayaan yang
diamanatkan dalam UU APBN.
Pengadaan utang baru oleh Pemerintah tetap mempertimbangkan berbagai
aspek termasuk pembayaran pokok utang dan beban bunga atau yang dinamakan
debt service. Bank Indonesia mencatat Debt to Service Ratio (DSR) utang luar negeri
(ULN) Indonesia terhadap penerimaan ekspor di Triwulan I 2019 meningkat menjadi
27,9%. ULN Indonesia tersebut sebenarnya tidak hanya terdiri dari ULN Pemerintah
termasuk Bank Indonesia, namun juga swasta dan BUMN. Kenaikan DSR tersebut
dipengaruhi peningkatan ULN yang terutama bersumber dari pertumbuhan ULN
sektor swasta sebesar 12,8% (yoy), di tengah relatif stabilnya pertumbuhan ULN
Pemerintah sebesar 3,6% (yoy).
Meskipun demikian, memperhatikan fenomena yang terjadi selama ini,
umumnya setelah pelaksanaan pemilihan umum ekspor diharapkan akan naik lagi,
sehingga DSR diharapkan dapat menurun lagi. Terlebih lagi, tren mulai
menurunnya kembali yield SBN dan strategi utang yang diarahkan pada peningkatan
pembiayaan domestik yang menurunkan porsi ULN, diharapkan juga akan lebih
mendorong lagi penurunan DSR kedepannya, baik dari sisi biaya bunga maupun pokok
ULN. Selain itu, Pembiayaan APBN melalui ULN yang dilakukan Pemerintah juga
masih aman karena adanya natural hedging dalam pengelolaan keuangan negara,
sehingga dapat memitigasi risiko nilai tukar.
Terobosan Pengelolaan Utang
Sejalan dengan strategi pengelolaan utang Pemerintah, strategi Pemerintah
untuk memperdalam pasar SBN dilakukan melalui berbagai upaya untuk perluasan
basis investor melalui pembiayaan utang yang kreatif dan inovatif. Terobosan yang
telah dilakukan Pemerintah adalah sebagai berikut:
A. Penerbitan SBN ritel secara online untuk perluasan basis investor domestik
Penerbitan SBN ritel secara online berhasil menarik basis investor baru,
terutama dari kalangan milenial (usia 25-38 tahun) dalam rangka memberikan
kesadaran berinvestasi sejak dini. Sebagai perbandingan untuk instrumen SBN ritel
yang berbasis konvensional, SBR yang diterbitkan secara online (SBR004) memiliki
komposisi jumlah investor milenial sebesar 18% dari total investor yang membeli,
lebih tinggi dibandingkan SBR yang diterbitkan secara offline (SBR002) dengan
komposisi 13% terhadap total investor yang membeli. Bahkan SBR006 yang
diterbitkan bulan April lalu mencatat 52,41% dari investor barunya merupakan
kaum milenial. Di sisi lain, komposisi jumlah investor kalangan baby boomers (usia 54-
74 tahun) mengalami penurunan dari 49% pada penerbitan SBR002 menjadi 43%
pada penerbitan SBR004 dan menurun lagi menjadi 20,75% pada penerbitan SBR006.
Sedangkan untuk SBN ritel berbasis syariah, ST yang diterbitkan secara online
(ST002) berhasil menarik komposisi jumlah investor milenial sebesar 45% dari total
investor yang membeli, jauh lebih tinggi dibandingkan ST yang terbit secara offline
(ST001) dengan komposisi 24% terhadap total investor pembeli. Senada dengan SBR,
di lain pihak komposisi jumlah investor dari kalangan baby boomers menurun dari
35% pada ST001 menjadi 26% pada ST002. Sebagai catatan, penerbitan SBN ritel
secara online ini bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan,
namun lebih kepada tujuan untuk
memperluas basis investor, khususnya individu di dalam negeri dan penguatan
keuangan inklusi. Dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan, Pemerintah
melakukannya melalui lelang secara reguler dan metode lainnya.
BAHAN AJAR
DESENTRALISASI FISKAL
Oleh :
Bagian SDM
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
1. Latar Belakang
Bahan ajar Desentralisasi Fiskal ini khusus disusun untuk Pelatihan Dasar CPNS
bagi Calon PNS Kementerian Keuangan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber
Daya Manusia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Didasari pertimbangan
bahwa seluruh CPNS Kementerian Keuangan perlu memahami ruang lingkup tugas
dan fungsi Kementerian Keuangan, bahan ajar ini disusun agar para CPNS, yang akan
diangkat menjadi PNS, memperoleh pemahaman mengenai kebijakan desentralisasi
fiskal yang diimplementasikan di Indonesia secara mendasar. Bahan ajar ini disusun
dengan mempertimbangkan juga aspek kemudahan bagi peserta diklat, karena
materi ini disampaikan kepada calon PNS yang mempunyai latar belakang
spesialisasi yang berbeda-beda.
2. Deskripsi Singkat
Bahan ajar ini secara umum membahas konsep dan instrumen kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia. Desentralisasi fiskal di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai revisi dari
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999. Perimbangan keuangan dimaksudkan bahwa
pemberian sumber-sumber keuangan kepada Daerah sebagai konsekuensi dari
adanya penyerahan Urusan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah
berdasarkan Asas Otonomi.
4. Kompetensi Dasar
Setelah mempelajari bahan ajar Desentralisasi Fiskal ini, para peserta pelatihan
diharapkan dapat:
a. Menjelaskan Konsep dasar desentralisasi fiskal;
b. Menjelaskan Konsep dasar Pajak dan Retribusi Daerah;
c. Menjelaskan Konsep dasar Transfer ke Daerah dan Dana Desa;
d. Menjelaskan Konsep dasar Pinjaman Daerah;
1. Indikator Keberhasilan
Dengan adanya krisis moneter pada tahun 1998 yang berkembang menjadi krisis
multi dimensional sehingga nyaris melumpuhkan sendi-sendi kehidupan bernegara.
Reformasi total menjadi tuntutan masyarakat untuk menyelesaikan krisis multi-
dimensional tersebut. Desentralisasi dianggap sebagai salah satu kebijakan pokok
yang diperlukan dan penting untuk menyelamatkan Indonesia dari 'negara gagal'
akibat krisis tersebut (Hadiz 2004).
Tedapat berbagai argumen yang mendukung dilakukannya desentralisasi.
Kebutuhan untuk meningkatkan penyediaan layanan publik di daerah dan kenyataan
bahwa pemerintah yang terpusat sering tidak mampu menyediakan layanan
tersebut merupakan salah satu alasan desentralisasi (Litvack, Ahmad & Bird 1998).
Desentralisasi juga dianggap memberikan peluang yang lebih baik bagi masyarakat di
daerah untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pengambilan keputusan lokal.
Desentralisasi juga dikatakan mendorong akuntabilitas pemerintah daerah kepada
masyarakat (Hadiz 2004). Desentralisasi di Indonesia dikatakan telah mampu
mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari beberapa
ancaman disintegrasi dan berbagai tantangan keragaman di Indonesia (Mietzner
2014).
4. Penghematan (economy)
Seringkali lebih ekonomis mempekerjakan tenaga lokal setempat daripada
mengirimkan pejabat dari pusat ke daerah, yang memerlukan biaya perjalanan dan
sebagainya.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk
membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan Atau
dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan penerimaan atau pengeluaran Negara.
1. Indikator Keberhasilan
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
sebagai pengganti dari UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 34 tahun 2000, lebih mempertegas pengertian pajak sebagai
b :“ j b w jb
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-
undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-b .”
Pajak Daerah terbagi menjadi pajak yang dapat dipungut oleh Pemerintah
Daerah Provinsi dan pajak yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Berdasarkan sistem pemungutannya, pajak provinsi terdiri atas
pajak yang dipungut secara official assessment yaitu Pajak Kendaraan Bermotor; Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor; dan Pajak Air Permukaan. Sementara Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor dan Pajak Rokok merupakan pajak Provinsi yang
dipungut secara self-assessment. Pajak kabupaten/kota yang dipungut secara official
assessment yaitu Pajak Reklame; Pajak Air Tanah; dan Pajak Bumi dan Bangunan P2.
Sementara Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Penerangan Jalan;
Pajak MBLB; Pajak Parkir; Pajak Sarang Burung Walet; dan BPHTB merupakan pajak
kabupaten/kota yang dipungut secara self assessment.
Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik.
Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor-
impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi atas
pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain dan pungutan atas
kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan
memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah
jenis Pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga
mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh
persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering.
Ada 4 (empat) jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak Sarang Burung Walet sebagai Pajak
kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan Pajak baru bagi provinsi.
Dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian
kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut oleh
Daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Untuk Retribusi, dengan
peraturan pemerintah masih dibuka peluang untuk dapat menambah jenis Retribusi
selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini sepanjang memenuhi kriteria
yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Adanya peluang untuk menambah
jenis Retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksudkan untuk
mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah kepada
Daerah yang juga diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya, untuk
meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan Daerah, mekanisme pengawasan
diubah dari represif menjadi preventif. Setiap Peraturan Daerah tentang Pajak dan
Retribusi sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
Pemerintah. Selain itu, terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak
daerah dan retribusi daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi akan
dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum
dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.
Retribusi daerah adalah pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat kepada daerah
atas pelayanan yang diterima secara langsung atau atas perizinan yang diperoleh.
Sama seperti pajak daerah, pemungutan retribusi daerah juga harus didasarkan pada
peraturan daerah. Fungsi utama retribusi adalah untuk menutup sebagian atau
seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan jasa atau
layanan kepada penikmat layanan, baik masyarakat umum maupun bada usaha.
• Dapat dipungut apabila ada jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dan
dinikmati oleh orang atau badan, sesuai dg ketentuan berlaku;
• Pihak yang membayar retribusi daerah mendapatkan imbalan/balas jasa secara
langsung dari pemerintah daerah;
• Wajib retribusi yang tidak memenuhi kewajiban pembayarannya dapat
dikenakan sanksi ekonomis, yaitu jika tidak membayar retribusi maka tidak
memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah;
• Hasil penerimaan retribusi daerah disetor kekas daerah; dan
• Digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah.
IV. KEGIATAN BELAJAR KONSEP DASAR TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA
1. Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari bagian ini, peserta diklat diharapkan mampu
memahami konsep dasar Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebagai salah satu
instrumen kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya sebagaimana didefinisikan
dalam peraturan perundangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah.
Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dapat didefinisikan sebagai dana
yang dialokasikan dalam APBN kepada Daerah sebagai pelaksanaan dari kebijakan
desentralisasi fiskal sesuai ketentuan perundang-undangan. TKDD merupakan salah
satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal untuk mendanai penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Alokasi anggaran TKDD
selain memperhatikan kebutuhan pendanaan untuk mendukung penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah, juga mempertimbangkan kemampuan
keuangan negara, kinerja pelaksanaan dan tujuan yang hendak dicapai dalam setiap
tahun anggaran berdasarkan program/kegiatan yang telah ditetapkan sebagai
prioritas dalam pembangunan nasional. Penganggaran TKDD diarahkan untuk
memperbaiki kuantitas dan kualitas pelayanan publik, mengurangi ketimpangan
antardaerah, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dana Transfer Umum merupakan dana block grant yang penggunaannya menjadi
kewenangan daerah. Dana Transfer Umum terdiri dari DBH dan DAU. Daerah
mempunyai diskresi untuk menggunakan Dana Transfer Umum sesuai dengan
kebutuhan dan prioritas daerah, guna mempercepat pembangunan, memperluas
akses daerah, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH Pajak dialokasikan kepada
daerah berdasarkan dua prinsip, yaitu: (1) prinsip pembagian berbasis daerah
penghasil (by origin), dan (2) prinsip penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan
negara yang dibagihasilkan (based on actual revenue). DBH SDA merupakan dana
yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibagihasilkan
dan dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Transfer Khusus (DAK) diarahkan untuk mendanai kegiatan tertentu yang
menjadi kewenangan daerah, sesuai dengan prioritas daerah dan nasional. Dana
Transfer Khusus terdiri dari DAK Fisik dan DAK Nonfisik.
Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik merupakan salah satu instrumen penting dalam
mendanai infrastruktur dan sarana/prasarana pelayanan publik dan penunjang
kegiatan ekonomi yang menjadi kewenangan daerah dengan memperhatikan prinsip
money follow program adalah melalui DAK Fisik. Penganggaran DAK Fisik diarahkan
untuk mendukung penuntasan target RPJMN, percepatan penyediaan infrastruktur
di daerah yang terkait dengan pelayanan dasar Pendidikan. Kebijakan DAK Fisik juga
diselaraskan dengan target pencapaian prioritas nasional.
Dana Insentif Daerah (DID) merupakan dana yang dialokasikan dalam APBN
kepada daerah tertentu berdasarkan kategori/kriteria tertentu sebagai penghargaan
atas perbaikan dan/atau pencapaian kinerja di bidang tata kelola keuangan daerah,
pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan
masyarakat. Pengalokasian DID ditujukan untuk mendorong daerah agar
meningkatkan: (1) kualitas kesehatan fiscal dan pengelolaan keuangan daerah; (2)
kualitas pelayanan umum pemerintahan; (3) kualitas pelayanan dasar publik di
bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; dan
(4) kesejahteraan masyarakat.
Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta adalah dana yang
bersumber dari APBN dalam rangka: (1) membiayai pelaksanaan otonomi khusus
bagi suatu daerah (Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat); dan (2)
penyelenggaraan urusan keistimewaan suatu daerah (Provinsi D.I. Yogyakarta).
Sesuai UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, alokasi
Dana Otsus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat besarnya setara dengan
2 persen dari pagu DAU Nasional, terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan
dan kesehatan.
Selain itu, Sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (3) huruf (f) UU Nomor 21 Tahun 2001
jo. UU Nomor 35 Tahun 2008, khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat juga diberikan Dana Tambahan Infrastruktur. Besaran Dana Tambahan
Infrastruktur ditetapkan bersama antara Pemerintah dengan DPR sesuai dengan
kemampuan keuangan negara, berdasarkan usulan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat setiap tahun anggaran.
Sementara itu, Dana Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan setara dengan 2
persen dari pagu DAU Nasional dialokasikan kepada Provinsi Aceh sesuai ketentuan
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penggunaan Dana Otonomi
Khusus Aceh terutama ditujukan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta
pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan Dana Desa yang semakin fokus pada
upaya untuk mengentaskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan pelayanan dasar
antardesa, memajukan perekonomian desa, serta meningkatkan kualitas hidup
masyarakat desa.
1. Indikator Keberhasilan
4. Sumber Pinjaman
Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga