Anda di halaman 1dari 60

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahan Ajar Manajemen Keuangan Pemerintah ini khusus disusun untuk


Pelatihan Dasar CPNS bagi Calon PNS Kementerian Keuangan oleh Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Sumber Daya Manusia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan.
Didasari pertimbangan bahwa seluruh CPNS Kementerian Keuangan perlu
memahami ruang lingkup tugas dan fungsi Kementerian Keuangan, Bahan ajar ini
disusun agar supaya para CPNS, yang akan diangkat menjadi PNS, memperoleh
pemahaman mengenai pengelolaan keuangan oleh Pemerintah RI secara mendasar.
Bahan ajar ini disusun dengan mempertimbangkan juga aspek kemudahan bagi
peserta diklat, karena materi ini disampaikan kepada calon PNS yang mempunyai
latar belakang spesialisasi yang berbeda-beda.

1.2. Deskripsi Singkat

Manajemen Keuangan Pemerintah adalah pengelolaan keuangan yang


dilakukan oleh pemerintah terhadap sumber-sumber keuangan berupa pendapatan
negara, terhadap belanja negara dan sumber keuangan untuk menutupi membiayai
kekurangan yang mungkin timbul. Pada dasarnya keuangan yang dikelola oleh
pemerintah merupakan keuangan negara. Dalam hal ini keuangan yang dikelola oleh
pemerintah adalah keuangan yang bersumber dari APBN.
Pendapatan negara bisa berasal dari berbagai sumber yakni dari pajak,
penerimaan negara bukan pajak, dan hibah yang menurut peraturan perundangan
memang menjadi wewenang pemerintah. Belanja pemerintah pada hakekatnya
dilakukan dalam rangka melaksanakan fungsinya mensejahterakan masyarakat.
Sedangkan, sumber- sumber keuangan untuk pembiayaan pembangunan dapat
berasal dari hutang atau sumber lainnya. Materi yang akan membahas tentang
keuangan negara yang dikelola oleh pemerintah yang mencakup mengenai konsep
dasar keuangan negara dan konsep dasar APBN termsuk pelaksanaan APBN dan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN.

1.3. Standar Kompetensi

Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diklat diharapkan mampu menjelaskan


konsep dasar pengelolaan keuangan negara, APBN sebagai wujud
Pengelolaan Keuangan Pemerintah, Pelaksanaan APBN, dan Pertanggungjawaban
atas Pelaksanaan APBN.

1.4. Kompetensi Dasar

Setelah mempelajari bahan ajar Manajemen Keuangan Pemerintah ini, para


peserta pelatihan diharapkan dapat:
a. Menjelaskan Konsep dasar pengelolaan keuangan negara
b. Menjelaskan Konsep dasar APBN
c. Menjelaskan Pelaksanaan APBN
d. Menjelaskan Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN
e. Menjelaskan Pengelolaan Utang Negara

Kegiatan Belajar 1 Konsep Dasar Pengelolaan Keuangan Negara

2.1. Indikator Keberhasilan

Setelah mempelajari bab ini, peserta diklat diharapkan mampu


memahamipengertian keuangan negara, khususnya seperti yang didefinisikan oleh
peraturan perundangan di bidang keuangan negara, ruang lingkupnya dan kemudian
menghubungkan dengan pengelolaan keuangan negara yang mencakup kekuasaan
pengelolaan keuangan negara dan asas umum dalam pengelolaan keuangan negara.

2.2. Uraian dan Contoh

2.2.1. Pengertian Keuangan Negara

Keuangan negara, jika dilihat dari sisi teori, bisa mengandung beberapa
pengertian, tetapi pengertian yang diuraikan dalam bahan ajarini dibatasi pada
pengertian-pengertian seperti diatur dalam peraturan perundangan di bidang
keuangan negara. Sesuai dengan yang diuraikan dalam Undang Undang Keuangan
Negara (UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara), yang dimaksud dengan
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu - baik berupa uang maupun berupa barang - yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Kemudian, dalam penjelasan dalam Undang Undang tersebut, diuraikan mengenai
rumusan Keuangan Negara dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan secara lengkap
yaitu:
1. Objek dari keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal dan
moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Subjek keuangan negara adalah seluruh objek keuangan negara yang dimiliki
dan/atau dikuasai oleh pemerintah dan badan hukum publik lainnya.
3. Menurut prosesnya, keuangan negara merupakan seluruh rangkaian kegiatan
pengelolaan semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang
dimulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban.
4. Tujuan seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek keuangan negara tersebut
dimaksudkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

2.2.2. Ruang Lingkup Keuangan Negara


Dalam penjelasan UU Nomor 17 Tahun 2003 ini disebut bidang pengelolaan
keuangan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat
dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan
moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Fiskal mengandung pengertian segala kegiatan yang mencakup penerimaan dan
pengeluaran uang yang dilakukan oleh pemerintah. Tujuan kebijakan fiskal
mencakup alokasi sumber dana keuangan, distribusinya dan stabilisasi ekonomi,
yakni mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja dan
kestabilan harga-harga umum.
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah di
bidang keuangan yang berkenaan dengan jumlah uang yang beredar dalam
masyarakat, ketetapan mengenai cadangan wajib bank, tingkat diskonto, kebijakan
pengendalian kredit dan kebijakan pasar terbuka, termasuk kurs valuta asing.
Kebijakan moneter ini dalam prakteknya dilakukan oleh Bank Indonesia.
Kekayaan negara yang dipisahkan adalah komponen keuangan negara yang
pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan yang seluruh atau sebagian modal
atau sahamnya dimiliki oleh negara, atau sering disebut Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Kekayaan negara yang dipisahkan
ini dikelola secara berbeda, sehingga hubungan dengan APBN bukan
hubungan langsung, tetapi tidak langsung, misalnya dalam hal pemerintah
menyertakan tambahan modal dalam BUMN atau dalam hal adanya setoran bagian
laba BUMN untuk pemerintah merupakan pos-pos pembiayaan APBN.
Sesuai UU Nomor 17 tahun 2003 Keuangan Negara meliputi :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan
negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah

2.2.3. Tujuan Pengelolaan Keuangan Negara


1. Mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Keuangan negara, melalui penerimaan/pendapatan dan pengeluaran/belanja
negara dapat mempengaruhi bekerjanya mekanisme harga. Pungutan pajak kepada
masyarakat di satu titik akan meningkatkan penerimaan negara, namun dilain pihak
akan mengurangi daya beli masyarakat sehingga mengurangi permintaan
masyarakat. Sebaliknya,belanja pemerintah, yang digunakan untuk membeli barang
dan jasa dari masyarakat, akan mendorong ekonomi masyarakat dan kemudian akan
menambah daya beli masyarakat.
Lalu, bagaimana hubungan antara penerimaan negara dengan belanja negara
seperti yang dikelola dalam APBN? Apabila penerimaan negara melebihi pengeluaran
negara, yang berarti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)akan
mengalami surplus. Surplus berarti penerimaan negara cukup untuk mendanai
belanja pemerintah, namun dilain pihak akan mengurangi daya beli masyarakat
(karena beban pajak yang tinggi) dan terjadi ketidakseimbangan antara penawaran
dan permintaan. Sebaliknya, apabila pengeluaran lebih besar dari penerimaannya,
yang berarti APBN defisit, defisit akan menambah daya beli masyarakat lebih besar.
Apabila permintaan masyarakat atas barang dan jasa melebihi penawarannya, harga-
harga barang dan jasa akan naik atau terjadi inflasi dan jika penawaran lebih besar
dari permintaannya maka harga-harga akan turun atau deflasi.
2. Menjaga stabilitas ekonomi
APBN dapat juga digunakan sebagai alat untuk mengatasi inflasi dan deflasi, serta
untuk memelihara stabilisasi perekonomian dengan cara melakukan defisit APBN
atau surplus APBN. Dengan demikian tugas dan fungsi negara menjadi lebih penting
karena tidak sekedar menyelenggarakan pertahanan dan keamanan,
menyelenggarakan peradilan dan menyediakan barang publik semata, namun juga
menjaga kestabilan perekonomian.
3. Merealokasi sumber-sumber ekonomi
Pendapat Keyness kemudian dikembangkan oleh Richard Musgrave. Dalam
bukunya yang berjudul ”The theory of Public Finance”, Musgrave menyatakan bahwa
tugas dan fungsi negara meliputi: realokasi sumber-sumber daya ekonomi,
redistribusi pendapatan, dan stabilisasi. Realokasi sumber-sumber ekonomi
dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang terbatas secara
optimal. Apabila sumber daya yang ada di masyarakat tersebut tidak terdistribusikan
secara optimal akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam peekonomian negara
4. Mendorong Re-distribusi Pendapatan
Melalui kebijakan fiskal dalam APBN, pemerintah dapat mendorong terjadinya
redistribusi pendapatan agar tidak terjadi kesenjangan antara golongan masyarakat
kaya dan golongan masyarakat miskin secara menyolok. Untuk menciptakan
keadilan, pemerintah akan mengenakan pajak yang lebih banyak kepada kelompok
masyarakat yang lebih mampu (ability to pay principle) dan mengalokasikannya
dalam bentuk pengeluaran/belanja negara yang berpihak kepada masyarakat yang
kurang mampu (pro poor).

2.2.4. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara

Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Presiden


adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan negara sebagai bagian
dari kekuasaan pemerintahan. Dalam melaksanakan mandat UndangUndang ini,
fungsi pemegang kekuasaan umum atas pengelolaan keuangan negara tersebut
dijalankan dalam bentuk:
▪ selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
Negara yang dipisahkan dikuasakan kepada Menteri Keuangan
▪ selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga
negara dikuasakan kepada masing-masing menteri/pimpinan lembaga
▪ penyerahan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan
daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah
dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
▪ kekuasaan di bidang fiskal tidak termasuk kewenangan di bidang moneter.
Untuk mencapai stabilitas nilai rupiah, penetapan dan pelaksanaan kebijakan
moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan
oleh Bank Sentral, yakni Bank Indonesia yang tunduk pada peraturan
perundangan di bidang moneter.
Pengaturan kekuasaan keuangan negara tersebut dapat digambarkan dalam
diagram seperti di bawah ini.

Gambar 1: Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara

Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada


hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) yang berwenang dan bertanggung
jawab atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional.Para menteri dan
pimpinan lembaga negara pada hakikatnya adalah Chief Operational Officer (COO)
yang berwenang dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai
bidang tugas dan fungsi masing-masing.
Pembagian kewenangan yang jelas, sebagaimana tampak dalam gambar di atas,
dalam pelaksanaan anggaran antara Menteri Keuangan dan menteri teknis tersebut
diharapkan dapat memberikan jaminan terlaksananya mekanisme saling uji (check
and balance) dalam pelaksanaan pengeluaran negara dan jaminan atas kejelasan
akuntabilitas Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara dan Menteri
Teknis sebagai Pengguna Anggaran. Selain itu, pembagian kewenangan
ini memberikan fleksibilitas bagi menteri teknis, sebagai pengguna anggaran, untuk
mengatur penggunaan anggaran kementeriannya secara efisien dan efektif dalam
rangka optimalisasi kinerja kementeriannya untuk menghasilkan output yang telah
ditetapkan, karena kementerian teknis yang paling memahami operasional kebijakan
sektor-sektor yang menjadi bidangnya.
Undang Undang No 17 tahun 2003 ini juga mengatur tentang kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah yakni dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola
keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan dilaksanakan oleh kepala satuan
kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah
3. Kegiatan Belajar 2 : Konsep Dasar APBN
3.1. Pengertian APBN
Membahas pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) perlu
dimulai dari pengertian anggaran negara. Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2003
menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.Pada dasarnya, APBN mengandung perkiraan jumlah pendapatan,
perkiraan jumlah belanja dan perkiraan pembiayaan. Sedangkan Suparmoko (2012)
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anggaran (budget) adalah suatu daftar
atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang
diharapkan dalam jangka waktu satu tahun
Anggaran negara menjadi sangat penting, karena rencana tersebut merupakan
keputusan politik antara pemerintah dan badan legsilatif, yakni Dewan Perwakilan
Rakyat, sehingga apa yang tercantum dalam anggaran pendapatan, anggaran belanja
dan anggaran pembiayaan merupakan hasil perhitungan yang kemudian merupakan
kebijakan politik yang menyangkut keuangan negara. Anggaran negara juga bisa
dipandang sebagai alat pengendalian keuangan negara, karena merupakan batas-
batas yang diatur dalam perundangan.Kebijakan yang tercantum dalam anggaran
negara mencakup kebijakan fiskal dan moneter.
APBN disusun oleh pemerintah dengan tujuan dalam rangka pelaksanaan tugas
yang dibebankan kepada Pemerintah. Di dalam UU Nomor 17 tahun 2003 antara lain
menyatakan bahwa pihak yang menyiapkan rancangan APBN adalah pemerintah
yang kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk mendapat persetujuan. Dalam prakteknya, RUU APBN itu setelah disetujui
oleh DPR baru dinyatakan berlaku setelah disahkan oleh Presiden.

3.2. Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) memiliki enam fungsi dalam rangka membentuk struktur
perekonomian negara antara lain:
1. Fungsi Otorisasi
Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja negara pada tahun yang bersangkutan,
dengan demikian pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan
kepada rakyat.
2. Fungsi Perencanaan
Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat menjadi
pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun Universitas
Sumatera Utara tersebut. Bila pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya,
maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk mendukung pembelanjaan
tersebut. Misalnya telah direncanakan atau dianggarkan akan membangun
proyek pembangunan jalan, maka pemerintah dapat mengambil tindakan untuk
persiapan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.
3. Fungsi Pengawasan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menjadi pedoman untuk
menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi
Bahwa suatu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus diarahkan
untuk mengurangi penggangguran dan pemborosan sumber daya serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5. Fungsi Distribusi
Bahwa kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
6. Fungsi Stabilitas
Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
3.3. Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Pengelolaan APBN secara keseluruhan dilakukan melalui t


▪ Perencanaan APBN
▪ Penyusunan APBN
▪ Pembahasan APBN
▪ Penetapan APBN
▪ Pelaksanaan APBN
▪ Pelaporan dan Pencatatan APBN
▪ Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban APBN
Pentahapan pengelolaan APBN tersebut dapat digambarkan seperti pada siklus di
bawah ini.

Gambar 2: Siklus APBN mulai perencanaan sampai dengan pemeriksaan dan


pertanggungjawaban
1) Tahap Perencanaan dan Penganggaran APBN
Tahap perencanaan dan penganggaran dimulai pada awal tahun sebelum
tahun anggaran dilaksanakan.Pada tahap ini diawali dengan Presiden
menyampaikan arah kebijakan untuk satu tahun ke depan pada siding kabinet.
Kebijakan yang disampaikan oleh Presiden diguna kan sebagai bahan acuan dan
pertimbangan pada penyusunan arah, prioritas, dan kebijakan tahun yang
direncanakan dalam APBN.
Menteri Keuangan menyusun Kapasitas fiskal yang disinkronkan dengan arah
kebijakan Presiden. Kapasitas fiskal (resource envelope) adalah kemampuan
keuangan negara yang dihimpun dari pendapatan negara untuk
mendanai anggaran belanja negara yang meliputi Belanja K/L & Belanja Non K/L.
Dengan tersusunnya kapasitas fiskal, maka Menteri Keuangan dan Kepala
Bappenas menetapkanancar-ancar pagu anggaran yg disampaikan kepada KL
sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana KerjaK/L. Penyusunan RAPBN
dimulai dari pembicaraan pendahuluan antara Pemerintah dengan DPR,
Penetapan pagu Anggran dan penyusunan RAPBN serta Nota Keuangan.
2) Tahap Pembahasan APBN
Nota Keuangan dan RUU APBN beserta Himpunan RKA-KL yang telah dibahas
dalam Sidang Kabinet disampaikan Pemerintah kepada DPR selambat- lambatnya
pertengahan Agustus.Pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan kepada DPD
rencana pembahasan RUU APBN.
Pembahasan RUU APBN dan Nota Keuangan dilakuan pemerintah dengan DPR
melalui dua tahapan yaitu rapat kerja dengan Badan Anggaran dan rapat kerja
dengan Komisi DPR.
Rapat kerja dengan Badan Anggaran, Pemerintah diwakili oleh Menteri
Keuangan dan Bappenas.Rapat kerja komisi I sampai komisi XI, pemerintah diwakili
oleh Menteri/Ketua Lembaga sesuai mitra kerja komisi.Rapat ini membahas RKA-K/L.
Hasil pembahasan ini disampaikan secara tertulis kepda Badan Anggaran untuk
disinkronisasi.DPR dapat memberikan usulan sesuai dengan hak budget yang
dimilikinya. Oleh karena itu, RKAKL sebagai bahan penyusunan RUU APBN dapat
dilakukan penyesuaian
Hasil rapat dari masing-masing panitia kerja dan komisi disampaikan kepada
Badan Anggaran untuk ditetapkan.Selanjutnnya rapat paripurna DPR untuk
menyatakan persetujuan/penolakan dari setiap fraksi serta penyampaian pendapat
akhir pemerintah.Setelah penyampaian pendirian akhir masing-masing fraksi
selanjutnya dengan menggunakan hak budget yang dimilikinya DPR yaitu menyetujui
atau menolak RUU APBN.
3) Tahap Penetapan APBN
Dalam siding paripurna DPR menyetujui RUU APBN, pada kesempatan ini pula DPR
mempersilahkan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan untuk
menyampaikan sambutannya bertalian dengan keputusan DPR tersebut.Sesuai
dengan ketentuan yang ada, agar RUU APBN yang telah disetujui DPR dapat berlaku
efektif maka Presiden mengesahkan RUU APBN itu menjadi UU APBN.
Setelah UU APBN disetujui DPR dan disahkan oleh Presiden, tugas pemerintah
selanjutnya adalah menetapkan Alokasi Anggaran KL. Alokasi Anggaran KL ini
berpedoman pada hasil pembahasan APBN yang dituangkan dalam Berita Acara Hasil
Kesepakatan Pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR.Berdasarkan
alokasi anggaran, maka Kementerian/Lembaga menyesuaikan RKA-K/L sebagai dasar
penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).
3. Pelaksanaan APBN
Pelaksanaan anggaran diawali dengan disahkannya dokumen pelaksanaan anggaran
(DIPA) oleh Menteri Keuangan. Dokumen anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan
disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Gubernur,
Direktur Jenderal Perbendaharaan, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan
terkait, Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) terkait, dan Kuasa Pengguna Anggaran.
Dokumen tersebut merupakan acuan dan dasar hukum pelaksanaan APBN yang
dilakukan oleh Kemterian/Lembaga dan Bendahara Umum Negara. Dokumen-
dokumen penting dalam pelaksanaan anggaran adalah Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA) dan dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA. Sedangkan dokumen
pembayaran antara lain terdiri dari Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah
Membayar (SPM), dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Pasal 17 Undang-Undang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran melaksanakan kegiatan yang tercantum dalam dokumen
pelaksanaan anggaran yang telah disahkan dan berwenang mengadakan ikatan/perjanjian
dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, pedoman dalam
rangka tata caara pelaksanaan APBN diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2013 tentang Tata cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
perubahannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018.
4. Pelaporan dan Pencatatan APBN
Bersamaan dengan tahapan pelaksanaan APBN, K/L dan Bendahara Umum Negara
melakukan pelaporan dan pencatatan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP)
sehingga menghasilkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang terdiri atas Laporan
Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan
(CALK).
Semua laporan keuangan tersebut disusun oleh Menteri Keuangan selaku
pengelola fiskal sebagai wujud laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan kepada
Presiden dalam memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.BPK melakukan audit
atas laporan keuangan pemerintah Hasil dari laporan dan pencatatan APBN ini merupakan
bahan untuk menyusun APBN tahun berikutnya.
5. Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban APBN
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan,dan LKPP yang telah diaudit
oleh BPK tersebut disampaikan oleh Presiden kepada DPR dalam bentuk rancangan
undang-undang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN untuk dibahas dan disetujui. Dalam
pelaksanaan APBN sebenarnya terdapat pengawasan yang dilakukan oleh unit-unit
terkait.Pengawasan tersebut dilakukan oleh Aparat pengawas Internal Pemerintah (APIP)
masing-masingK/L.

3.3. Struktur dan Format Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Sejak tahun anggaran 1969/70 sampai dengan 1999/2000 APBN disusun dalam
bentuk rekening scontro (T account). Di sebelah debet, dicantumkan semua
penerimaan dan di sebelah kredit dicantumkan semua pengeluaran. Mulai tahun
anggaran 2000 struktur dan format APBN disusun dalam bentuk stafel (I account).
Struktur APBN yang demikian itu disesuaikan dengan standar yang berlaku secara
internasional sebagaimana digunakan dalam statistik keuangan pemerintah
(Government Finance Statistics). Struktur dan format APBN seperti ini dapat
digunakan untuk beberapa tujuan yaitu:
1) Untuk meningkatkan transparansi dalam penyusunan APBN
2) Mempermudah melakukan analisis komparasi mengenai perkembangan
operasi fiskal pemerintah dengan berbagai negara lain.
3) Mempermudah analisis, pemantauan, dan pengendalian pelaksanaan dan
pengelolaan APBN sehingga dapat diambil langkah-langkah untuk
memperkecil diskripensi dengan data pembiayaan Bank Indonesia.
4) Menghadapi pelaksanaan desentralisasi fiskal sesuai dengan dengan UU No.
33 tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Mulai Maret 2003 seiring dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003, format RAPBN meski menggunakan I-Account mengalami perubahan
format pada struktur anggarannya. UU Keuangan Negara mengamanatkan format
baru yang disebut format anggaran terpadu (unified budget), yakni tidak ada
pemisahan antara anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan,
tetapi digabungkan menjadi satu. Adapun struktur dan format pokok RAPBN yang
dilaksanakan pada TA 2017 dapat dilihat pada tabel berikut:
STRUKTUR DAN FORMAT RINGKAS APBN
. A. PENDAPATAN NEGARA
I. PENERIMAAN DALAM NEGERI
A 1. Penerimaan Perpajakan
1 a. Pajak Dalam Negeri
2 b. Pajak Perdagangan Internasional
B 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
1 a. Penerimaan SDA
2 b. Pendapatan Bagian Laba BUMN
3 c. PNBP Lainnya
d. Pendapatan BLU
2 II. PENERIMAAN HIBAH
B. BELANJA NEGARA
1 I. BELANJA PEMERINTAH PUSAT
1. Belanja Kementerian/Lembaga
2. Belanja Non-Kementerian/Lembaga
a. Pembayaran Bunga Utang
b. Subsidi
c. Belanja Hibah
2 II. TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA
1. Transfer Ke Daerah
a. Dana Perimbangan
1) Dana Transfer Umum
a) Dana Bagi Hasil
b) Dana Alokasi Umum
2) Dana Transfer Khusus
b. Dana Insentif Daerah
c. Dana Otonomi Khusus dan Dana
Keistimewaan D.I.Y.
2. Dana Desa
C C. KESEIMBANGAN PRIMER
D D. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A-B)
E E. PEMBIAYAAN
1. Pembiayaan Utang
a. Surat Berharga
b. Pinjaman
2. Pembiayaan Investasi
1. Pemberian Pinjaman
2. Kewajiban Penjaminan
3. Pembiayaan Lainnya
4. Kegiatan Belajar 3 : Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara
4.1. Reformasi Pelaksanaan APBN
Reformasi pelaksanaan APBN ditandai dengan disahkannya oleh Pemerintah
bersama DPR, pada tangal 14 Januari 2004, mensahkan UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. UU perbendaharaan Negara tersebut merupakan
ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut atas disahkannya UU Nomor 17 Tahun
2003. Menurut UU Nomor 1 Tahun 204, yang dimaksud dengan Perbendaharaan
Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk
investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.
Berdasarkan definisi tersebut, cakupan ruang lingkup Perbendaharaan Negara
meliputi:
1. Pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah.
2. Pengelolaan penerimaan dan pengeluaran negara/daerah.
3. Pengelolaan kas negara/daerah.
4. Pengelolaan piutang dan utang negara/daerah.
5. Pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah
6. Penyelenggaraan akuntansi dan sistem informasi manajemen keuangan
negara/ daerah
7. Penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD
8. Penyelesaian kerugian negara/daerah
9. Pengelolaan keuangan badan layanan umum, dan
10. Perumusan standar, kebijakan, sistem, dan prosedur yang berkaitan dengan
pengelolaan Keuangan Negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pelaksanaan anggaran dilakukan
melalui pembagian tugas antara Menteri Keuangan selaku pemegang kewenangan
kebendaharaan dengan Menteri Negara/Lembaga selaku pemegang kewenangan
administratif. Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 1 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
kewenangan administratif yang dimiliki menteri negara/lembaga mencakup
kewenangan untuk melakukan perikatan atau tindakan lain yang mengakibatkan
terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, kewenangan melakukan pengujian
dan pembebanan tagihan yang diajukan kepada menteri negara/lembaga
sehubungan dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran
atau menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.
Sedangkan dalam upaya melaksanakan kewenangan kebendaharaan, Menteri
Keuangan merupakan pengelola keuangan
yang berfungsi sebagai kasir, pengawas keuangan, dan sekaligus sebagai manajer
keuangan.
Fungsi pengawasan yang dimiliki menteri keuangan terbatas pada aspek
rechmatigheid (ketaatan pada aturan hukum) dan wetmatigheid (ketaatan pada
aturan perundangan) serta hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau
pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh menteri
negara/lembaga atau post-audit yang dilaksanakan oleh aparat pengawasan
fungsional.
4.2. Pejabat Perbendaharaan

Pejabat Perbendaharaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Pejabat


Perbendaharaan terdiri dari :

a. Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian


negara/lembaga yang dipimpinnya;

b. Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara;

c. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat Bendahara


Penerimaan/Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran pendapatan/belanja pada kantor/satker dilingkungan K/L/satker
perangkat daerah.
Sesuai dengan PMK Nomor 190/PMK.05/2012 dan perubahannya uaitu PMK Nomor
178/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Negara terdiri dari Pengguna Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran,
Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penanda Tangan SPM, Kuasa BUN dan Bendahara
Pengeluaran. Kuasa Pengguna Anggaran mendapatkan pendelegasian dari Pengguna Anggaran.
Kuasa BUN mendapatkan pendelegasian dari Bendahara Umum Negara. Pejabat Pembuat
Komitmen dan Pejabat Penanda Tangan SPM diangkat oleh Kuasa Pengguna Anggaran. Pejabat
Pembuat Komitmen dan Pejabat Penanda Tangan SPM melaksanakan sebagian tugas dan
kewenangan Kuasa Pengguna Anggaran. Penjelasan atas pejabat perbendaharaan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Pengguna Anggaran (PA)
Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan
anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Menteri/Pimpinan Lembaga selaku
penyelenggara urusan tertentu dalam pemerintahan bertindak sebagai PA atas
Bagian Anggaran yang disediakan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi tugas dan kewenangannya tersebut.
Menteri Keuangan selain sebagai PA atas Bagian Anggaran untuk Kementerian
Keuangan, juga bertindak selaku PA atas Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan
dalam Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga tertentu. Bagian Anggaran
yang tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
tertentu sebagaimana dimaksud meliputi:
1. Pengelolaan Utang;
2. Pengelolaan Hibah;
3. Pengelolaan Investasi Pemerintah;
4. Pengelolaan Penerusan Pinjaman;
5. Pengelolaan Transfer ke Daerah;
6. Pengelolaan Subsidi;
7. Pengelolaan Transaksi Khusus; dan
8. Pengelolaan Anggaran lainnya.
Penggunan Anggaran atas Bagian Anggaran yang dibawahinya adalah tugas dan
kewenangan masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga. Kecuali Menteri Keuangan,
selain PA atas Bagian Anggaran Kemenkeu, juga sebagai PA Bagian Anggaran lain
yang tidak dikelompokkan pada K/L tertentu.
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA memiliki wewenang untuk :
1. Menunjuk kepala Satker yang berstatus Pegawai Negeri Sipil untuk
melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga sebagai KPA; dan
2. Menetapkan Pejabat Perbendaharaan Negara lainnya.
2. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
Kuasa Pengguna Anggaran adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA
untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan
anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan. Secara umum KPA
ditunjuk oleh Menteri selaku Penguasa Anggaran, harus PNS (Bila bukan PNS maka
harus ada ijin), dan bila ada pergantian jabatan kepala Satker mak Kepala Satker yang
baru langsung menjabat sebagai KPA. PA dapat
menunjuk pejabat lain selain kepala Satker sebagai KPA dalam hal:
1. Satker dipimpin oleh pejabat yang bersifat komisioner;
2. Satker dipimpin oleh pejabat Eselon I atau setingkat Eselon I;
3. Satker sementara;
4. Satker yang pimpinannya mempunyai tugas fungsional;
5. Satker Lembaga Negara.
Tugas seorang KPA, adalah :
1. Menyusun DIPA;
2. Menetapkan PPK & PPSPM;
3. Menetapkan panitia/pejabat yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan
pengelola anggaran/keuangan;
4. Menetapkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana;
5. Memberikan supervisi dan konsultasi dalam pelaksanaan kegiatan dan
penarikan dana;
6. Mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan
pelaksanaan kegiatan dan anggaran;
7. Menyusun laporan keuangan dan kinerja atas pelaksanaan anggaran.
3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan
KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan
pengeluaran atas beban APBN.
Tugas seorang PPK adalah :
1. Menyusun rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana;
2. Menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
3. Membuat, menandatangani & melaksanakan perjanjian dengan Penyedia
Barang/Jasa;
4. Melaksanakan kegiatan swakelola;
5. Memberitahukan kepada Kuasa BUN atas perjanjian/ kontrak yang
dilakukannya;
6. Mengendalikan pelaksanaan perjanjian/kontrak;
7. Menguji dan menandatangani surat bukti mengenai hak tagih kepada negara;
8. Membuat dan menandatangani SPP;
9. Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian kegiatan kepada KPA;
10. Menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada KPA dengan Berita
Acara Penyerahan;
11. Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan;
12. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan tindakan
yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.
4. Pejabat Penandatangan SPM (PPSPM)
Pejabat Penandatangan SPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh KPA
untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah
membayar (SPM).
Tugas seorang PPSPM adalah :
1. Menguji kebenaran SPP beserta dokumen pendukung;
2. Menolak dan mengembalikan SPP, apabila SPP tidak memenuhi persyaratan
untuk dibayarkan;
3. Membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan;
4. Menerbitkan SPM;
5. Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;
6. Melaporkan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA; dan
7. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan
pengujian dan perintah pembayaran.

5. Bendahara Pengeluaran
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang
untuk keperluan Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker
Kementerian Negara/Lembaga.
Berikut gambaran secara umum seorang bendahara pengeluaran :
1. Menteri/Ketua Lembaga menetapkan Bendahara Pengeluaran;
2. Penetapan Bendahara Pengeluaran dapat didelegasikan kepada Kepala satker
3. Pengangkatan Bendahara Pengeluaran tidak terikat periode tahun anggaran.
4. Surat Penetapan Bendahara Pengeluaran disampaikan kepada PPSPM dan PPK,
serta kepada Kepala KPPN dalam rangka penyampaian Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ)
5. Bendahara Pengeluaran tidak dapat dirangkap oleh KPA, PPK atau PPSPM.
6. Dalam hal tidak terdapat pergantian Bendahara Pengeluaran, penetapan
Bendahara Pengeluaran tahun anggaran yang lalu masih tetap berlaku
7. Dalam hal Bendahara Pengeluaran dipindahtugaskan/
pensiun/diberhentikan dari jabatannya/berhalangan sementara,
Menteri/Pimpinan Lembaga atau kepala Satker menetapkan pejabat pengganti
sebagai Bendahara Pengeluaran.
8. Bendahara Pengeluaran yang dipindahtugaskan/ pensiun/diberhentikan dari
jabatannya/berhalangan sementara bertanggungjawab untuk menyelesaikan
seluruh administrasi keuangan;
9. Dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan anggaran, kepala
Satker dapat menunjuk beberapa BPP sesuai kebutuhan
10. Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas uang/surat
berharga yang berada dalam pengelolaannya
Tugas seorang bendahara pengeluaran adalah :
1. menerima, menyimpan, menatausahakan, dan membukukan uang/surat
berharga dalam pengelolaannya
2. melakukan pengujian dan pembayaran berdasarkan perintah PPK
3. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK
4. menolak perintah pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan untuk
dibayarkan
5. melakukan pemotongan/pemungutan penerimaan negara dari pembayaran
yang dilakukan
6. menyetorkan pemotongan/pemungutan kewajiban kepada negara ke kas negara
7. mengelola rekening tempat penyimpanan UP
8. menyampaikan LPJ kepada Kepala KPPN selaku kuasa BUN
6. Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN)
Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang
ditetapkan. Menteri Keuangan selaku BUN mengangkat Kepala KPPN selaku Kuasa
BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran
dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.
Tugas kebendaharaan tersebut meliputi kegiatan menerima, menyimpan, membayar
atau menyerahkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang dan
surat berharga yang berada dalam pengelolaannya. KPPN selaku Kuasa BUN
melaksanakan pencairan dana berdasarkan perintah pembayaran yang diterbitkan
oleh PPSPM atas nama KPA. Dalam pelaksanaan pencairan dana, KPPN memiliki tugas
dan wewenang untuk menguji dan meneliti kelengkapan SPM yang diterbitkan oleh
PPSPM.

5. Kegiatan Belajar 4. Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN

5.1. Landasan Hukum

Telah diuraikan di atas, bahwa APBN, dilihat dari segi hukum, merupakan
mandat dari DPR RI kepada Pemerintah untuk melakukan penerimaan atas
pendapatan negara dan menggunakannya sebagai pengeluaran untuk tujuan- tujuan
tertentu dan dalam batas jumlah yang ditetapkan dalam suatu tahun anggaran.

Mandat yang diberikan oleh DPR itu harus dipertanggungjawabkan. Sebelum


terbitnya Undang-Undang No.17 tahun 2003, pertanggungjawaban atas pelaksanaan
APBN diwujudkan dalam bentuk Perhitungan Anggaran Negara (PAN).Dalam
menyusun PAN ini, Menteri Keuangan ditugasi untuk mempersiapkan PAN
berdasarkan laporan keuangan Kementerian/Lembaga. Hal
ini mengacu pada pasal 69 ICW yang menyatakan bahwa Pemerintah membuat suatu
Perhitungan Anggaran dengan menyebutkan tanggal penutupannya. Setelah terbitnya
Undang-Undang No.17 tahun 2003 pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN
berubah dari PAN menjadi Laporan Keuangan. Laporan Keuangan ini disusun dengan
menggunakan standar akuntansi pemerintahan yang mengacu pada international
public sector accounting standard (IPSAS).

Sesuai dengan pasal 30 UU nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan
ketentuan dalam Undang-Undang APBN tahun anggaran bersangkutan, Presiden
berkewajiban untuk menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN berupa Laporan Keuangan. Batas waktu
penyampaian Laporan Keuangan kepada DPR tidaklah sama dari suatu tahun
anggaran dibandingkan dengan tahun anggaran lainnya. Misalnya dalam tahun
anggaran 2004 batas waktu penyampaian Laporan Keuangan adalah 9 bulan, mulai
tahun anggaran 2005 batas waktunya diperpendek menjadi 6 bulan.

Pemeriksaan atas Laporan Keuangan sebagai pertanggungjawaban keuangan dari


Pemerintah atas pelaksanaan APBN, selain yang disebut di atas, diatur juga dalam
23 5 UU ’45, 55 1U -Undang No. 1 tahun 2004
dan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.15 tahun 2004.

2.2. Prosedur penyusunan RUU pertanggungjawaban pelaksanaan APBN

Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa sesuai pasal 55 dari Undang-


Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan
selaku Pengelola Fiskal bertugas menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
untuk disampaikan kepada Presiden dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN. Sebelumnya Menteri/Pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang Menteri Keuangan menyampaikan laporan keuangan
yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan
Keuangan yang dilampiri laporan keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian
negara/lembaga masing-masing kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2
(dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Sebagai entitas pelaporan, laporan
keuangan kementerian Negara/lembaga tersebut sebelumnya telah diperiksa BPK
dan diberi opini atas laporan keuangan.
Oleh Menteri Keuangan laporan-laporan atas pertanggungjawaban pengguna
anggaran/pengguna barang tersebut dikonsolidasikan menjadi Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat sebagai bagian pokok dari RUU tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN yang akan disampaikan Presiden kepada DPR. DPR melalui alat
kelengkapannya yaitu komisi akan membahas RUU Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBN dengan pihak pemerintah. Pembahasan dilakukan dengan
memperhatikan hasil pemeriksaan semester dan opini BPK.Berdasar hasil
pembahasan tersebut, DPR memberikan persetujuannya dan menyampaikan
persetujuan atas RUU tersebut kepada Pemerintah untuk diundangkan.

2.3. Bentuk dan Isi Laporan Keuangan.

Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN disusun dan


disajikan sesuai standar akuntansi pemerintah sebagaimana ditentukan dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) yang disusun oleh suatu komite
yang independen, yaitu Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, dan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari
Badan Pemeriksa Keuangan. Tujuan Laporan Keuangan adalah untuk menyajikan
informasi yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan dan untuk
pertanggungjawaban atas pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepada
Pemerintah.

a) Laporan Realisasi APBN

Laporan realisasi APBN mengungkap berbagai kegiatan keuangan pemerintah


untuk satu periode yang menunjukkan ketaatan terhadap ketentuan perundang-
undangan melalui penyajian ikhtisar sumber, alokasi dan penggunaan sumber daya
yang dikelolanya.

Laporan realisasi anggaran akan memberikan informasi mengenai keseimbangan


antara anggaran pendapatan, anggaran belanja dan pembiayaan dengan
realisasinya. Selain itu juga disertai informasi tambahan yang berisi hal- hal yang
mempengaruhi pelaksanaan anggaran seperti kebijakan fiskal dan moneter, sebab-
sebab terjadinya perbedaan yang material antara anggaran dan realisasinya, dan
daftar yang memuat rincian lebih lanjut mengenai angka-angka yang dianggap perlu
untuk dijelaskan.

b) Neraca
Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai asset
baik lancar maupun tidak lancar, kewajiban jangka pendek maupun kewajiban jangka
panjang, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Neraca tingkat Pemerintah Pusat
merupakan konsolidasi dari neraca tingkat Kementerian/Lembaga. Dalam neraca
tersebut harus diungkapkan semua pos asset dan kewajiban yang didalamnya
termasuk jumlah yang diharapkan akan diterima dan dibayar dalam jangka waktu
dua belas bulan setelah tanggal pelaporan dan jumlah uang yang diharapkan akan
diterima atau dibayar dalam waktu dua belas bulan.

c) Laporan Arus Kas

Laporan Arus Kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas


operasional, investasi aset non keuangan, dana cadangan, pembiayaan, dan transaksi
non-anggaran yang menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan
saldo akhir kas pemerintah selama periode tertentu. Laporan arus kas ditujukan
untuk memberikan informasi mengenai arus masuk dan ke keluar kas dari
pemerintah dalam suatu periode laporan.

Laporan Arus Kas diperlukan untuk memberi informasi kepada para pengguna
laporan untuk menilai pengaruh dari aktivitas-aktivitas tersebut terhadap posisi kas
pemerintah.Disamping itu, informasi tersebut juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi hubungan antara aktivitas operasi, investasi, pembiayaan, dan non
anggaran.

Sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku saat ini, Laporan
Arus Kas ini disusun oleh unit pemerintah yang melaksanakan fungsi
perbendaharaan.Di organisasi pemerintah pusat.Fungsi perbendaharaan
dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan, sedangkan di organisasi pemerintah
daerah, fungsi perbendaharaan dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah.

d) Catatan atas Laporan Keuangan


Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) adalahbagian yang tak terpisahkan dari
laporan keuangan yang menyajikan informasi tentang penjelasan pos-pos laporan
keuangan dalam rangka pengungkapan yang memadai. CaLK ditujukan agar laporan
keuangan dapat dipahami dan dibandingkan dengan laporan
keuangan entitas lainnya. CaLK sekurang-kurangnya disajikan dengan susunan
sebagai berikut:
1). informasi tentang kebijakan fiskal/keuangan, ekonomi makro, pencapaian
target Undang-Undang APBN, berikut kendala dan hambatan yang dihadapi
dalam pencapaian target
2). ikhtisar pencapaian kinerja keuangan selama tahun pelaporan
3). informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan-
kebijakan akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas transaksi- transaksi
dan kejadian-kejadian penting lainnya
4). pengungkapan informasi yang diharuskan oleh PSAP yang belum disajikan
dalam lembar muka laporan keuangan
5). pengungkapan informasi untuk pos-pos aset dan kewajiban yang timbul
sehubungan dengan penerapan basis akrual atas pendapatan dan belanja
dan rekonsiliasinya dengan penerapan basis kas
6). informasi tambahan yang diperlukan untuk penyajian yang wajar, yang
tidak disajikan dalam lembar muka laporan keuangan.
DAFTAR PUSTAKA

UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.


UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan.
UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintah Pusat (PSAP)
Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-190/PMK.05/2012 tanggal 29 Nopember
2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
BAHAN AJAR MANAJEMEN KEUANGAN PEMERINTAH
PENGELOLAAN UTANG PEMERINTAH

Pembiayaan APBN / #Uangkita Melalui Utang : Instrumen Pemerintah Untuk


Mempertahankan Momentum Pertumbuhan

“ b #U (hashtag untuk APBN) melalui utang tidak lepas dari


kebijakan anggaran defisit yang dijalankan Pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga
momentum pertumbuhan (strategi countercyclical). Kebijakan ini tercermin dalam
APBN yang disusun Pemerintah dan mendapat persetujuan DPR. Utang Pemerintah
dikelola secara berhati-hati, efisien, dan terukur serta diawasi pelaksanaannya dan
diaudit pelaporannya dalam bentuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat oleh BPK.
Selama 3 tahun (2016-2018) LKPP mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP) dari .”

Mengapa Berutang?

Indonesia sebagai negara berkembang masih menghadapi tantangan dalam


pembangunan, diantaranya kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan ekonomi.
Disamping tantangan tersebut, kondisi infrastruktur masih perlu untuk ditingkatkan
dan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) juga perlu dilakukan pembenahan
agar sejajar dengan negara-negara setara (peers) lainnya. Kebutuhan pembangunan
tersebut mendesak untuk dilakukan, karena jika ditunda hanya akan menimbulkan
beban dan biaya yang lebih besar lagi kedepannya.

Upaya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan tersebut telah disusun dan


dirancang Pemerintah dalam sebuah instrumen fiskal yang disebut Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan komponen utamanya terdiri dari
Penerimaan Negara, Belanja Negara, dan Pembiayaan. Komponen Belanja menjadi
alat utama dalam pemenuhan kebutuhan pembangunan dengan sasaran
kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur. APBN beserta komponen di
dalamnya merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai pengelola
fiskal bersama dengan DPR, diawasi penggunaannya, dan pada tahun berikutnya
diaudit pelaporannya oleh BPK.
Dalam beberapa tahun terakhir ini ketika perekonomian global mengalami
perlambatan, Pemerintah menerapkan kebijakan anggaran defisit. Kebijakan yang
bersifat countercyclical ini memungkinkan Belanja Negara melebihi Penerimaan
Negara, dengan batas maksimum defisit sebesar 3% per PDB sesuai ketentuan UU
Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003. Hal ini diperlukan, dimana Belanja Negara
yang dikeluarkan digunakan untuk kegiatan produktif sebagai stimulus
perekonomian untuk tetap tumbuh. Sementara itu, secara bersamaan untuk
memperbaiki Penerimaan Negara melalui perpajakan, Pemerintah terus melakukan
reformasi perpajakan dengan serius dan progresif, serta berkesinambungan.
Kebijakan defisit ini merupakan salah satu kebijakan yang dilakukan
Pemerintah, sebagaimana kebijakan dalam bidang perpajakan melalui peningkatan
besaran Pendapatan Tidak Kena Pajak /PTKP (untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi melalui konsumsi rumah tangga), dan kebijakan subsidi melalui pemberian
bantuan sosial.

Selanjutnya, untuk menutupi defisit tersebut, Pemerintah menggunakan


pembiayaan melalui utang sebagai alat/instrumen pembiayaan untuk menjaga
pertumbuhan dan menghindari timbulnya beban pembangunan lebih besar lagi
dimasa depan (opportunity loss).
Sebagai gambaran, kebijakan defisit yang countercyclical di tahun 2015 yang
terlihat jelas hasilnya dalam menopang pertumbuhan ekonomi dan menurunkan
defisit di tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2015, di saat pertumbuhan melambat
di bawah 5% mencapai 4,88%, Pemerintah mengambil kebijakan defisit hingga 2,59%
per PDB. Di tahun berikutnya hingga tahun 2018, pertumbuhan berhasil naik menjadi
5,17% dengan defisit anggaran menurun mencapai 1,81% per PDB, yang merupakan
terendah sejak tahun 2012.
Selanjutnya kebijakan defisit yang countercyclical tersebut masih on-track di
Triwulan I tahun 2019 ketika pertumbuhan ekonomi global diprediksi melambat
namun pertumbuhan Indonesia masih mampu di atas 5%. Selama Triwulan tersebut,
sisi konsumsi baik rumah tangga dan lembaga non-profit melayani rumah tangga
serta konsumsi Pemerintah tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2018. Hal ini
ditunjukkan dengan ekonomi Indonesia yang
tumbuh 5,07% pada periode tersebut, yang merupakan tertinggi dibandingkan
Triwulan I dalam 3 tahun terakhir.
Dengan berbagai upaya mempertahankan pertumbuhan tersebut selama
beberapa tahun ini Pemerintah telah berhasil mengatasi tantangan pembangunan
secara bertahap. Tingkat kemiskinan di tahun 2018 telah berada pada single digit
pertama sepanjang sejarah, yakni 9,66%, menurun dibandingkan tahun 2014 yang
masih di level 10,96%. Tingkat pengangguran di awal tahun 2019 turun ke level
5,01%, dari sebelumnya pada level 5,94% di tahun 2014 dan ditargetkan pada akhir
tahun 2019 mampu berada di kisaran 4,8%-5,2%. Sedangkan rasio GINI di tahun 2018
berada pada level 0,38, menurun dibandingkan tahun 2014 sebesar 0,41.
Dengan makin terjaganya pertumbuhan ekonomi, besaran defisitpun juga
akan semakin menurun. Hal ini juga sejalan dengan Keseimbangan Primer (Primary
Balance) yang angka negatifnya semakin kecil, dari negatif Rp142,49 triliun di tahun
2015 menurun menjadi negatif Rp11,49 triliun di 2018, dan diharapkan menjadi
positif di 2019 dan tahun-tahun berikutnya.
Selain kedua alasan Pemerintah berutang untuk menghindari opportunity loss
dan menjaga momentum pertumbuhan secara countercyclical tersebut, alasan
lainnya adalah utang sebagai alat untuk pengembangan pasar keuangan.
Pengembangan pasar ini terutama dilakukan Pemerintah melalui instrumen Surat
Berharga Negara (SBN) sebagai referensi bagi instrumen obligasi yang diterbitkan oleh
perusahaan swasta dan membantu Bank Indonesia dalam kegiatan operasi moneter,
serta Selain itu, melalui penerbitan SBN, Pemerintah menyediakan alternatif
instrumen investasi bagi masyarakat.

Manfaat Utang Untuk Apa?


Dengan menggunakan pembiayaan utang sebagai alat, Pemerintah memiliki
kemampuan lebih dalam memenuhi kebutuhan belanja di sektor prioritas, yaitu
pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan sosial, termasuk melalui
Transfer ke Daerah yang mendukung kuatnya fundamental ekonomi dan
kesejahteraan yang berkelanjutan. Selain itu, Pemerintah memiliki pembiayaan
utang yang secara khusus ditujukan untuk belanja pembangunan berupa program
dan proyek tertentu (earmarked). Pemerintah menggunakan
instrumen pinjaman dan SBN, khususnya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau
Sukuk Negara dalam pembiayaan yang earmarked tersebut.
Pembiayaan melalui pinjaman sejak dahulu telah banyak perannya dalam
membiayai proyek dan program nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pembiayaan proyek yang dibiayai pinjaman sangat beragam, mulai dari
pembangunan dan rekonstruksi infrastruktur transportasi berupa jalan, jembatan, rel
KA, pelabuhan, pengembangan wilayah pedesaan dan perkotaan, hingga
infrastruktur listrik di beberapa wilayah. Pembiayaan program melalui pinjaman juga
bervariasi seperti program pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemisikinan,
dan peningkatan sumber daya masyarakat melalui pendidikan dan kesehatan.
Sementara itu, SBSN juga tidak kalah penting perannya dalam mendukung
pembangunan, sebagai upaya untuk memperkuat kapasitas pembiayaan APBN
sekaligus pemberdayaan ekonomi berbasis syariah. Dimulai tahun 2013, Pemerintah
mengembangkan instrumen pembiayaan syariah yang digunakan untuk membiayai
proyek, atau disebut Project Financing Sukuk (PFS). Adapun kelebihan dari proyek
yang didanai PFS ini antara lain adalah keleluasaan Pemerintah dalam menentukan
penggunaan komponen, teknologi, dan keahlian yang semuanya dimaksimalkan
mengutamakan sumber dari dalam negeri, sehingga dapat mengurangi ekspor dan
menjadi pendorong pertumbuhan industri di dalam negeri. Dengan nilai pembiayaan
pada tahun tersebut sebesar Rp800 miliar, PFS semakin meningkat setiap tahunnya
hingga tahun 2019 telah terakumulasi sebesar Rp90,91 triliun. Selama periode
tersebut berbagai proyek untuk kemaslahatan umat telah dibiayai, antara lain jalan
dan jembatan di 30 provinsi; jalur KA di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi; asrama haji di
24 kota/kabupaten; 701 kantor urusan agama dan manasik haji; gedung perkuliahan
di 54 perguruan tinggi Keagamaan Islam; 32 madrasah; dan 328 pengelolaan sumber
daya air; serta 3 taman nasional.

Apakah Utang Aman?


Utang Pemerintah sebagai komponen utama Pembiayaan APBN, saat ini
posisinya masih tergolong aman dengan fundamental ekonomi yang cukup kuat.
Posisi utang Pemerintah per April 2019 mencatat penurunan jika dibanding posisi
bulan Maret 2019, yaitu dari sebesar Rp4.567,3 triliun menjadi
Rp4.528,5 triliun1. Tidak hanya secara nominal, tapi yang paling penting adalah
secara rasio utang terhadap PDB, karena rasio ini menjadi indikator yang dapat lebih
informatif dari sekedar nilai nominal dan dapat diperbandingkan (comparable) antar
negara. Dengan menggunakan rasio terhadap PDB, dapat secara jelas menunjukkan
kemampuan ekonomi suatu negara dalam membayar utangnya.
Per akhir April 2019 rasio utang Pemerintah tercatat 29,65% terhadap PDB,
atau turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 30,12% terhadap PDB dan masih
jauh di bawah ketentuan UU Keuangan Negara sebesar 60% per PDB. Dengan kata
lain, kapasitas ekonomi Indonesia secara agregat mampu menutup lebih dari 3 kali
jumlah outstanding utang Pemerintah. Rasio utang Indonesia ini termasuk paling
rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lain, seperti Brazil (83,97%),
India (69,55%), Vietnam (57,40%), Malaysia (56,18%), Thailand (41,88%), dan Filipina
(39,92%). Sementara itu, beberapa negara yang kaya akan sumber daya minyak pun
rasio utangnya masih di atas 10%, seperti Saudi Arabia (17,21%) dan Rusia (13,53%).
Untuk menjaga rasio utang pada level yang aman, Pemerintah meningkatkan
belanja produktif dan berkualitas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang
berdampak meningkatkan PDB. Dengan meningkatnya PDB melebihi peningkatan
jumlah utang karena belanja yang produktif dan berkualitas tersebut, rasio utang per
PDB dapat menurun. Upaya menurunkan rasio utang juga dilakukan dengan
mengembangkan pembiayaan yang inovatif, salah satunya skema Kerja sama
Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang bertujuan menarik peran swasta ikut
serta dalam program pembangunan, sehingga pelayanan masyarakat terpenuhi
tanpa memberatkan APBN.
Amannya utang Pemerintah juga ditunjukkan oleh kewajiban pelunasan
utang yang telah diatur dalam UU Perbendaharaan Negara nomor 1 tahun 2004 dan
UU APBN. Dalam UU APBN yang merupakan produk bersama antara Pemerintah dan
DPR, ditetapkan besarnya anggaran untuk melunasi utang negara. Tugas Pemerintah
adalah menjaga bahwa utang dimanfaatkan secara efektif untuk kegiatan yang
produktif dan pengelolaannya terus terjaga dari risiko yang mungkin muncul.

1
Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita
Bagaimana Pengelolaan Utang?
Dalam menyusun kebijakan pembiayaan melalui utang, Pemerintah tetap
berpegang pada prinsip kehati-hatian (pruden), efisien, dan terukur (akuntabel).
Pemerintah memiliki berbagai strategi, baik dalam jangka menengah maupun
tahunan untuk mengelola utang dalam menjaga portofolio utang yang optimal,
dengan biaya dan risiko yang minimal. Secara garis besar strategi Pemerintah dalam
mengelola utang tertuang dalam 4 poin besar yang saling berkaitan satu sama lain,
sebagai berikut:
1. Hati-hati: menjaga rasio utang terhadap PDB pada level yang aman;
2. Produktif: memanfaatkan utang untuk kegiatan produktif, menjaga komposisi
utang dalam batas manageable, dan menjaga solvabilitas;
3. Efisien: menjaga akuntabilitas pengelolaan utang dan meningkatkan efisiensi
bunga utang pada tingkat risiko terkendali;
4. Pendalaman Pasar: melakukan diversifikasi basis investor dan
pengembangan instrumen serta mengoptimalkan sumber utang domestik.
Melalui strategi tersebut Pemerintah menjaga biaya (beban bunga) utang
pada level yang rendah dan risiko utang pada level yang aman dengan melakukan
diversifikasi dalam menjaga komposisi portofolio utang yang optimal. Diversifikasi
portofolio yang dilakukan antara lain meliputi instrumen utang, jenis suku bunga, jenis
mata uang, dan jenis tenor, sehingga Pemerintah lebih fleksibel dalam menentukan
sumber pembiayaan yang efisien dalam memenuhi target Pembiayaan yang
diamanatkan dalam UU APBN.
Pengadaan utang baru oleh Pemerintah tetap mempertimbangkan berbagai
aspek termasuk pembayaran pokok utang dan beban bunga atau yang dinamakan
debt service. Bank Indonesia mencatat Debt to Service Ratio (DSR) utang luar negeri
(ULN) Indonesia terhadap penerimaan ekspor di Triwulan I 2019 meningkat menjadi
27,9%. ULN Indonesia tersebut sebenarnya tidak hanya terdiri dari ULN Pemerintah
termasuk Bank Indonesia, namun juga swasta dan BUMN. Kenaikan DSR tersebut
dipengaruhi peningkatan ULN yang terutama bersumber dari pertumbuhan ULN
sektor swasta sebesar 12,8% (yoy), di tengah relatif stabilnya pertumbuhan ULN
Pemerintah sebesar 3,6% (yoy).
Meskipun demikian, memperhatikan fenomena yang terjadi selama ini,
umumnya setelah pelaksanaan pemilihan umum ekspor diharapkan akan naik lagi,
sehingga DSR diharapkan dapat menurun lagi. Terlebih lagi, tren mulai
menurunnya kembali yield SBN dan strategi utang yang diarahkan pada peningkatan
pembiayaan domestik yang menurunkan porsi ULN, diharapkan juga akan lebih
mendorong lagi penurunan DSR kedepannya, baik dari sisi biaya bunga maupun pokok
ULN. Selain itu, Pembiayaan APBN melalui ULN yang dilakukan Pemerintah juga
masih aman karena adanya natural hedging dalam pengelolaan keuangan negara,
sehingga dapat memitigasi risiko nilai tukar.
Terobosan Pengelolaan Utang
Sejalan dengan strategi pengelolaan utang Pemerintah, strategi Pemerintah
untuk memperdalam pasar SBN dilakukan melalui berbagai upaya untuk perluasan
basis investor melalui pembiayaan utang yang kreatif dan inovatif. Terobosan yang
telah dilakukan Pemerintah adalah sebagai berikut:

A. Penerbitan SBN ritel secara online untuk perluasan basis investor domestik
Penerbitan SBN ritel secara online berhasil menarik basis investor baru,
terutama dari kalangan milenial (usia 25-38 tahun) dalam rangka memberikan
kesadaran berinvestasi sejak dini. Sebagai perbandingan untuk instrumen SBN ritel
yang berbasis konvensional, SBR yang diterbitkan secara online (SBR004) memiliki
komposisi jumlah investor milenial sebesar 18% dari total investor yang membeli,
lebih tinggi dibandingkan SBR yang diterbitkan secara offline (SBR002) dengan
komposisi 13% terhadap total investor yang membeli. Bahkan SBR006 yang
diterbitkan bulan April lalu mencatat 52,41% dari investor barunya merupakan
kaum milenial. Di sisi lain, komposisi jumlah investor kalangan baby boomers (usia 54-
74 tahun) mengalami penurunan dari 49% pada penerbitan SBR002 menjadi 43%
pada penerbitan SBR004 dan menurun lagi menjadi 20,75% pada penerbitan SBR006.
Sedangkan untuk SBN ritel berbasis syariah, ST yang diterbitkan secara online
(ST002) berhasil menarik komposisi jumlah investor milenial sebesar 45% dari total
investor yang membeli, jauh lebih tinggi dibandingkan ST yang terbit secara offline
(ST001) dengan komposisi 24% terhadap total investor pembeli. Senada dengan SBR,
di lain pihak komposisi jumlah investor dari kalangan baby boomers menurun dari
35% pada ST001 menjadi 26% pada ST002. Sebagai catatan, penerbitan SBN ritel
secara online ini bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan,
namun lebih kepada tujuan untuk
memperluas basis investor, khususnya individu di dalam negeri dan penguatan
keuangan inklusi. Dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan, Pemerintah
melakukannya melalui lelang secara reguler dan metode lainnya.

B. Penerbitan global green Sukuk


Penerbitan global Sukuk yang di dalamnya terdapat format green mulai
dilakukan tahun 2018 dan berlanjut di tahun 2019. Masing-masing penerbitan
mengalami oversubscribed sebanyak 2,4 kali dan 3,8 kali serta berhasil menggalang
dana investor yang secara spesifik berminat terhadap green program di atas 35% dari
total hasil nominal penerbitan. Sementara itu secara jumlah investor baru,
penerbitan di kedua tahun tersebut masing-masing berhasil menarik minat green
investor baru mencapai 29% dari jumlah total investor. Hal ini menunjukkan makin
luasnya perkembangan basis investor green sukuk. Penerbitan global green Sukuk
di tahun 2018 tersebut merupakan yang pertama di dunia dilakukan oleh sovereign
entity (entitas negara).

Apresiasi oleh Berbagai Lembaga


Pemerintah telah menjalankan semua mekanisme dan ketentuan yang diatur
dalam UU, sekaligus mengelola utang secara berhati-hati, efisien, dan terukur. Hal ini
mendapat apresiasi dari berbagai lembaga, terutama lembaga- lembaga pemeringkat
kredit dunia yang memberikan predikat investment grade bagi Indonesia. Akhir
bulan Mei 2019 S&P menaikkan kembali credit rating Indonesia menjadi
BBB/stable, yang menunjukkan peningkatan kepercayaan lembaga internasional
terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Capaian ini sangat membanggakan
karena langsung naik dari sebelumnya BBB-/stable tanpa melalui BBB-/positive.
Menurut S&P, Indonesia memiliki prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat
didukung tingkat beban utang Pemerintah yang rendah dan kinerja fiskal yang
moderat. S&P juga meyakini bahwa beban utang luar negeri Indonesia masih sangat
aman dikarenakan Indonesia masih sangat menarik bagi Foreign Direct Investment
(FDI) serta kuatnya akses Indonesia di pasar keuangan internasional beberapa tahun
belakangan ini meskipun terjadi gejolak dan ketidakpastian. Hal tersebut juga diakui
oleh Fitch, selain mengapresiasi penetapan asumsi anggaran Pemerintah yang
kredibel dan upaya sinergi Pemerintah dalam reformasi struktural yang
mampu meningkatkan iklim investasi. Sementara itu Moody's juga menyatakan
bahwa kerangka kebijakan yang dijalankan Pemerintah semakin kredibel, disiplin, dan
efektif sehingga kondusif bagi stabilitas makroekonomi. Kenaikan peringkat ini
diharapkan membawa dampak semakin meningkatnya FDI yang masuk serta semakin
menurunnya beban bunga utang karena menurunnya yield SBN.
MANAJEMEN KEUANGAN PEMERINTAH

BAHAN AJAR

DESENTRALISASI FISKAL

Oleh :

Bagian SDM
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN


PUSDIKLAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
MANUSIA
I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Bahan ajar Desentralisasi Fiskal ini khusus disusun untuk Pelatihan Dasar CPNS
bagi Calon PNS Kementerian Keuangan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber
Daya Manusia, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Didasari pertimbangan
bahwa seluruh CPNS Kementerian Keuangan perlu memahami ruang lingkup tugas
dan fungsi Kementerian Keuangan, bahan ajar ini disusun agar para CPNS, yang akan
diangkat menjadi PNS, memperoleh pemahaman mengenai kebijakan desentralisasi
fiskal yang diimplementasikan di Indonesia secara mendasar. Bahan ajar ini disusun
dengan mempertimbangkan juga aspek kemudahan bagi peserta diklat, karena
materi ini disampaikan kepada calon PNS yang mempunyai latar belakang
spesialisasi yang berbeda-beda.

2. Deskripsi Singkat

Bahan ajar ini secara umum membahas konsep dan instrumen kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia. Desentralisasi fiskal di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai revisi dari
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999. Perimbangan keuangan dimaksudkan bahwa
pemberian sumber-sumber keuangan kepada Daerah sebagai konsekuensi dari
adanya penyerahan Urusan Pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah
berdasarkan Asas Otonomi.

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


dilaksanakan secara seimbang sesuai dengan beban atau Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah untuk menjamin terselenggaranya Urusan Pemerintahan
yang diserahkan kepada Daerah. Instrumen kebijakan desentralisasi fiskal yang
utama adalah pemberian kewenangan untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, pemberian Transfer ke Daerah dan Dana Desa serta pemberian kewenangan
untuk melakukan pinjaman daerah.
3. Standar Kompetensi

Setelah mengikuti pelatihan ini, peserta diklat diharapkan mampu menjelaskan


konsep dasar desentralisasi fiscal dan instrumen utama desentralisasi fiskal yang terdiri
dari pajak dan retribusi daerah, Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dan Pinjaman Daerah.

4. Kompetensi Dasar

Setelah mempelajari bahan ajar Desentralisasi Fiskal ini, para peserta pelatihan
diharapkan dapat:
a. Menjelaskan Konsep dasar desentralisasi fiskal;
b. Menjelaskan Konsep dasar Pajak dan Retribusi Daerah;
c. Menjelaskan Konsep dasar Transfer ke Daerah dan Dana Desa;
d. Menjelaskan Konsep dasar Pinjaman Daerah;

II. KEGIATAN BELAJAR KONSEP DASAR DESENTRALISASI FISKAL

1. Indikator Keberhasilan

Setelah mempelajari bagian ini, peserta pelatihan diharapkan mampu


memahami konsep desentralisasi fiskal, khususnya sebagaimana didefinisikan dalam
peraturan perundangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan
peraturan perundangan mengenai pemerintahan daerah pemerintah daerah.

2. Konsep Dasar Desentralisasi

Dengan adanya krisis moneter pada tahun 1998 yang berkembang menjadi krisis
multi dimensional sehingga nyaris melumpuhkan sendi-sendi kehidupan bernegara.
Reformasi total menjadi tuntutan masyarakat untuk menyelesaikan krisis multi-
dimensional tersebut. Desentralisasi dianggap sebagai salah satu kebijakan pokok
yang diperlukan dan penting untuk menyelamatkan Indonesia dari 'negara gagal'
akibat krisis tersebut (Hadiz 2004).
Tedapat berbagai argumen yang mendukung dilakukannya desentralisasi.
Kebutuhan untuk meningkatkan penyediaan layanan publik di daerah dan kenyataan
bahwa pemerintah yang terpusat sering tidak mampu menyediakan layanan
tersebut merupakan salah satu alasan desentralisasi (Litvack, Ahmad & Bird 1998).
Desentralisasi juga dianggap memberikan peluang yang lebih baik bagi masyarakat di
daerah untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan pengambilan keputusan lokal.
Desentralisasi juga dikatakan mendorong akuntabilitas pemerintah daerah kepada
masyarakat (Hadiz 2004). Desentralisasi di Indonesia dikatakan telah mampu
mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari beberapa
ancaman disintegrasi dan berbagai tantangan keragaman di Indonesia (Mietzner
2014).

Desentralisasi yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2000 sering disebut


sebagai 'big bang decentralization' karena dilaksanakan dalam waktu yang sangat
cepat (satu setengah tahun), mencakup pengalihan wewenang, sumber daya fiscal,
manusia, serta aset tetap yang sangat besar (Hofman & Kaiser 2002; Turner 2001).
Bank Dunia mendefinisikan desentralisasi sebagai “ wewenang dan
tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah atau organisasi pemerintah semi-independen dan/atau sektor
w ”. T H (1997) f bagai transfer
kewenangan untuk menyediakan layanan publik dari individu atau lembaga di
pemerintah pusat ke individu-individu atau lembaga lain yang lebih dekat dengan
publik atau masyarakat yang dilayani. Pengalihan wewenang berdasarkan hirarki
teritorial dapat dirinci lebih lanjut menjadi devolusi atau penyerahan kewenangan,
dekonsentrasi, dan tugas- pembantuan.

Desentralisasi dapat diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan dari


pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi menjadikan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam
Daerah provinsi, Daerah kabupaten, dan Daerah kota yang bersifat otonom. Undang-
undang Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang Nomor
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
menjadi dasar hukum utama kebijakan desentralisasi pada saat itu. Kedua
undang-undang tersebut secara fundamental telah mengubah hubungan
pemerintahan antara pusat dan daerah di Indonesia (Turner 2001).

Desentralisasi merupakan instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan


bernegara yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut
memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. UUD 1945 Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintahan
Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan
menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan kepada Daerah diberikan
otonomi yang seluas-luasnya. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada
Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat untuk
mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Desentralisasi penyelenggaraan urusan pemerintahan di Daerah
diharapkan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi
masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Dengan desentralisasi, daerah sebagai daerah otonom berwenang untuk


mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan sesuai aspirasi dan
kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum
nasional dan kepentingan umum. Hampir semua urusan Pemerintahan diserahkan
ke Daerah, kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan tetap menjadi urusan
Pemerintah Pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal nasional, serta agama.

Desentralisasi dianggap mempunyai beberapa manfaat, antara lain:

1. Menyebarkan Pusat Pengambil Keputusan (decongestion)


Desentralisasi akan mencegah penumpukan wewenang dengan cara menyebarkan
wewenang untuk mengambil keputusan tersebut pada lebih dari satu pusat
pengambil keputusan.

2. Kecepatan dalam Pengambilan Keputusan (speed)


Oleh karena tidak semua masalah perlu diputuskan oleh satu pusat pengambil
keputusan saja, tentunya pengambilan keputusan ini dapat dilaksanakan dengan
lebih cepat. Di negara sedang berkembang, di mana transportasi dan komunikasi
tidak selalu lancar, penyebaran wewenang kepada lebih dari satu pusat pengambil
keputusan akan mempercepat proses pengambilan keputusan itu.

3. Pengambilan Keputusan yang Realistis (economic and social realism)


Pengambil keputusan di tingkat pusat akan sulit mengetahui/memahami kondisi
lokal yang berbeda-beda di setiap daerah, baik kondisi ekonomi maupun kondisi
sosial (adat kebiasaan dan tradisi), khususnya untuk negara yang masyarakatnya
mempunyai kebudayaan yang beraneka ragam.

4. Penghematan (economy)
Seringkali lebih ekonomis mempekerjakan tenaga lokal setempat daripada
mengirimkan pejabat dari pusat ke daerah, yang memerlukan biaya perjalanan dan
sebagainya.

5. Keikutsertaan Masyarakat Lokal (participation)


Sentralisasi akan mudah menimbulkan perasaan masa bodoh pada masyarakat lokal
karena menganggap semua kebutuhan mereka akan dipenuhi oleh Pemerintah
Pusat, tanpa mereka harus berusaha sendiri. Masyarakat lokal merasa tidak ada
kaitan antara pajak yang mereka bayar dengan pelayanan yang mereka terima.

6. Solidaritas Nasional (national solidarity)


Pemberian kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk membangun daerah
masing-masing menurut cara mereka sendiri dapat menyalurkan aspirasi masyarakat
sedemikian rupa sehingga justru dapat membina solidaritas nasional.

3. Konsep Dasar dan Instrumen Kebijakan Desentralisasi Fiskal

Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk
membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan Atau
dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan penerimaan atau pengeluaran Negara.

Desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai penyerahan sebagian


kewenangan mengelola fiskal dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
Sebagai konsekuensi dari adanya penyerahan Urusan Pemerintahan kepada Daerah
berdasarkan Asas Otonomi diperlukan penyerahan sumber-sumber
keuangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sesuai dengan asas
desentralisasi sebagian kekuasaan Presiden selaku pemegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi diserahkan kepada Gubernur/Bupati/ Walikota selaku kepala
daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Desentralisasi fiskal diatur dalam UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah sebagai revisi dari UU Nomor 25 Tahun 1999. Perimbangan
keuangan dimaksudkan bahwa pemberian sumber- sumber keuangan kepada Daerah
dilaksanakan secara seimbang sesuai dengan beban atau Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah untuk menjamin terselenggaranya Urusan Pemerintahan
yang diserahkan kepada Daerah. Pemberian sumber-sumber keuangan atau
pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung
makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban
dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah


dilaksanakan secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah. Perimbangan Keuangan
dilakukan dengan pemberian sumber-sumber keuangan Negara kepada Pemerintah
Daerah. Pemberian sumber-sumber keuangan Negara kepada Daerah dilaksanakan
secara seimbang sesuai dengan beban atau Urusan Pemerintahan yang diserahkan
kepada Daerah untuk menjamin terselenggaranya Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah. Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal
mencakup pemberian kewenangan untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, pemberian Transfer ke Daerah dan Dana Desa dan pemberian kewenangan
untuk melakukan pinjaman daerah.

III. KEGIATAN BELAJAR KONSEP DASAR PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH

1. Indikator Keberhasilan

Setelah mempelajari bagian ini, peserta diklat diharapkan mampu memahami


konsep dasar pajak dan retribusi daerah sebagai salah satu instrumen
kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya sebagaimana didefinisikan dalam peraturan
perundangan mengenai pajak dan retribusi daerah.

2. Definisi Pajak Daerah

Untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut, Daerah diberikan


kewenangan untuk mengenakan pungutan kepada masyarakat dan badan usaha.
Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan perpajakan sebagai salah satu
perwujudan kewajiban kenegaraan. Dalam penjelasan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945
ditegaskan bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat yang
bersifat memaksa, seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-
undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan pada Undang-
undang.

Menurut Prof. Edwin RA Seligman, adalah pajak merupakan kontribusi seseorang


yang ditujukan kepada negara tanpa adanya manfaat yang ditujukan secara khusus
pada seseorang. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut Mardiasmo (2009), Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
M b (2007): “ j iuran kepada negara, yang dapat
dipaksakan, dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahah.

UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
sebagai pengganti dari UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 34 tahun 2000, lebih mempertegas pengertian pajak sebagai
b :“ j b w jb
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-
undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-b .”

3. Prinsip-Prinsip Pajak Daerah

Suatu pajak daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum, sehingga


pemungutannya dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Dari sejumlah prinsip
yang umum digunakan di bidang perpajakan, beberapa prinsip pokok dari suatu pajak
yang baik, antara lain:

Prinsip Keadilan (Equity).


Dalam Prinsip ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan
masing-masing subjek pajak daerah. Yang dimaksud dengan keseimbangan atas
kemampuan subjek pajak adalah dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi di
antara sesama wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama. Pemungutan pajak
yang dilakukan terhadap semua subjek pajak harus sesuai dengan batas kemampuan
masing-masing, sehingga dalam prinsip equity ini setiap masyarakat yang dengan
kemampuan yang sama dikenai pajak yang sama dan masyarakat yang memiliki
kemampuan yang berbeda memberikan kontribusi yang berbeda sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.

Prinsip Kepastian (Certainty)


Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya kepastian, baik bagi aparatur pemungut
maupun wajib pajak. Kepastian di bidang pajak daerah antara lain mencakup dasar
hukum yang mengaturnya; kepastian mengenai subjek, objek, tarif, dan dasar
pengenaannya; serta kepastian mengenai tata cara pemungutannya. Adanya
kepastian akan menjamin setiap orang untuk tidak ragu- ragu dalam menjalankan
kewajiban membayar pajak daerah, karena sehala sesuatunya diatur secara jelas.

Prinsip Kemudahan (Convenience).


Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib
pajak daerah dalam memenuhi kewajibannya. Pemungutan pajak daerah sebaiknya
dilakukan pada saat wajib pajak daerah menerima penghasilan. Dalam hal ini negara
tidak mungkin melaksanakan pemungutan pajak daerah jika masyarakat tidak
mempunyai kekuatan untuk membayar. Bahkan daerah
seharusnya memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk
memperoleh peningkatan pendapatan, dan setelah itu mereka layak memberikan
kontribusi kepada daerah dalam bentuk pajak daerah.

Prinsip Efisiensi (Efficiency).


Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya
biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih
besar dari jumlah pajak yang dipungut. Dalam prinsip ini terkandung pengertian
bahwa pemungutan pajak daerah sebaiknya memperhatikan mekanisme yang dapat
mendatangkan pemasukan pajak yang sebesar-besarnya dan biaya yang sekecilnya.

4. Jenis Pajak Daerah

Pajak Daerah terbagi menjadi pajak yang dapat dipungut oleh Pemerintah
Daerah Provinsi dan pajak yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Berdasarkan sistem pemungutannya, pajak provinsi terdiri atas
pajak yang dipungut secara official assessment yaitu Pajak Kendaraan Bermotor; Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor; dan Pajak Air Permukaan. Sementara Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor dan Pajak Rokok merupakan pajak Provinsi yang
dipungut secara self-assessment. Pajak kabupaten/kota yang dipungut secara official
assessment yaitu Pajak Reklame; Pajak Air Tanah; dan Pajak Bumi dan Bangunan P2.
Sementara Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Penerangan Jalan;
Pajak MBLB; Pajak Parkir; Pajak Sarang Burung Walet; dan BPHTB merupakan pajak
kabupaten/kota yang dipungut secara self assessment.

5. Penguatan Local Taxing Power

Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna


membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat sudah selayaknya diikuti dengan
pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak
kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan daerah
dalam penetapan tarif pajak
mengakibatkan Daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
pengeluarannya. Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana
perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas
Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara
efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena
merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi. Hal itulah yang mendasari
pemikiran revisi Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000 menjadi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah.

Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik.
Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah dan kegiatan ekspor-
impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi atas
pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain dan pungutan atas
kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan
memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah
jenis Pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga
mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh
persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering.
Ada 4 (empat) jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang
sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak Sarang Burung Walet sebagai Pajak
kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan Pajak baru bagi provinsi.

Selain perluasan pajak, Undang-Undang ini juga dilakukan perluasan terhadap


beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis Retribusi. Retribusi Izin Gangguan
diperluas hingga mencakup pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara
terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau
kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma
keselamatan dan kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenis
Retribusi baru bagi Daerah, yaitu Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi
Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan
Retribusi Izin Usaha Perikanan. Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam
penetapan tarif untuk menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat
menambah beban bagi masyarakat secara berlebihan, Daerah hanya diberi
kewenangan untuk menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan
dalam Undang-Undang ini. Selain itu, untuk menghindari perang tarif pajak
antardaerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan bermotor,
dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga tarif minimum untuk Pajak Kendaraan
Bermotor.

Untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Undang- Undang


ini sebagian hasil penerimaan Pajak dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang
berkaitan dengan Pajak tersebut. Sebagi contoh, Pajak Penerangan Jalan sebagian
dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan, Pajak Kendaraan Bermotor
sebagian dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta
peningkatan moda dan sarana transportasi umum, dan Pajak Rokok sebagian
dialokasikan untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan
hukum.

Dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian
kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat dipungut oleh
Daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Untuk Retribusi, dengan
peraturan pemerintah masih dibuka peluang untuk dapat menambah jenis Retribusi
selain yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang ini sepanjang memenuhi kriteria
yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Adanya peluang untuk menambah
jenis Retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksudkan untuk
mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah kepada
Daerah yang juga diatur dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya, untuk
meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan Daerah, mekanisme pengawasan
diubah dari represif menjadi preventif. Setiap Peraturan Daerah tentang Pajak dan
Retribusi sebelum dilaksanakan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
Pemerintah. Selain itu, terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak
daerah dan retribusi daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi akan
dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum
dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.

6. Definisi Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah pembayaran yang dilakukan oleh masyarakat kepada daerah
atas pelayanan yang diterima secara langsung atau atas perizinan yang diperoleh.
Sama seperti pajak daerah, pemungutan retribusi daerah juga harus didasarkan pada
peraturan daerah. Fungsi utama retribusi adalah untuk menutup sebagian atau
seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberikan jasa atau
layanan kepada penikmat layanan, baik masyarakat umum maupun bada usaha.

Retribusi hanya dapat dikenakan apabila pemerintah daerah memberikan


pelayanan secara langsung kepada masyarakat atau pemerintah daerah memberikan
izin untuk melaksanakan kegiatan tertentu. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
R b f “R b b
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi
.” f b w R b :

• Dapat dipungut apabila ada jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dan
dinikmati oleh orang atau badan, sesuai dg ketentuan berlaku;
• Pihak yang membayar retribusi daerah mendapatkan imbalan/balas jasa secara
langsung dari pemerintah daerah;
• Wajib retribusi yang tidak memenuhi kewajiban pembayarannya dapat
dikenakan sanksi ekonomis, yaitu jika tidak membayar retribusi maka tidak
memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah;
• Hasil penerimaan retribusi daerah disetor kekas daerah; dan
• Digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah.

7. Objek dan Jenis Retribusi Daerah

Retribusi Jasa Umum


Retribusi Jasa Umum adalah pungutan atas pelayanan yang disediakan atau
diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum
serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Objek Retribusi Jasa Umum
adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau
Badan. Subjek Retribusi Jasa Umum adalah Orang pribadi atau Badan yang
menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum. Wajib Retribusi Jasa Umum adalah
Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang- undangan retribusi
diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau
pemotong retribusi jasa umum. Jenis Retribusi jasa umum misalnya Retribusi
Pelayanan Kesehatan, Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan; Retribusi
Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil; Retribusi
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; dll.

Retribusi Jasa Usaha


Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi yang dipungut atas jasa yang disediakan
oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada
dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis Retribusi Jasa Usaha
misalnya Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan/atau
Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat
Khusus Parkir, Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa, dll.

Retribusi Perizinan Tertentu


Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan atas pelayanan perizinan tertentu
oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk
pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber
daya alam, barang, dan prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perizinan
Tertentu misalnya Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Retribusi Izin Tempat
Penjualan Minuman Beralkohol, dll.

IV. KEGIATAN BELAJAR KONSEP DASAR TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA
1. Indikator Keberhasilan
Setelah mempelajari bagian ini, peserta diklat diharapkan mampu
memahami konsep dasar Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebagai salah satu
instrumen kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya sebagaimana didefinisikan
dalam peraturan perundangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah.

2. Definisi Transfer ke Daerah dan Dana Desa

Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dapat didefinisikan sebagai dana
yang dialokasikan dalam APBN kepada Daerah sebagai pelaksanaan dari kebijakan
desentralisasi fiskal sesuai ketentuan perundang-undangan. TKDD merupakan salah
satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal untuk mendanai penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Alokasi anggaran TKDD
selain memperhatikan kebutuhan pendanaan untuk mendukung penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah, juga mempertimbangkan kemampuan
keuangan negara, kinerja pelaksanaan dan tujuan yang hendak dicapai dalam setiap
tahun anggaran berdasarkan program/kegiatan yang telah ditetapkan sebagai
prioritas dalam pembangunan nasional. Penganggaran TKDD diarahkan untuk
memperbaiki kuantitas dan kualitas pelayanan publik, mengurangi ketimpangan
antardaerah, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

3. Jenis Transfer ke Daerah dan Dana Desa


Bagan di atas menunjukkan jenis-jenis Transfer ke Daerah dan Dana Desa
(TKDD). TKDD terdiri dari Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Transfer ke Daerah
terdiri dari: (1) Dana Perimbangan; (2) Dana Insentif Daerah; serta (3) Dana Otsus dan
Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta.

3.1 Dana Perimbangan

Dana Perimbangan merupakan bagian terbesar dari TKDD, untuk itu


pembahasan mengenai Dana Perimbangan akan lebih mendalam. Dana
Perimbangan terdiri dari Dana Transfer Umum dan Dana Transfer Khusus. Kebijakan
Dana Perimbangan diarahkan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
antara pusat dan daerah (vertical imbalance), dan antardaerah (horizontal
imbalance), serta mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi.

3.1.1. Dana Transfer Umum

Dana Transfer Umum merupakan dana block grant yang penggunaannya menjadi
kewenangan daerah. Dana Transfer Umum terdiri dari DBH dan DAU. Daerah
mempunyai diskresi untuk menggunakan Dana Transfer Umum sesuai dengan
kebutuhan dan prioritas daerah, guna mempercepat pembangunan, memperluas
akses daerah, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

3.1.1.1 Dana Bagi Hasil

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH Pajak dialokasikan kepada
daerah berdasarkan dua prinsip, yaitu: (1) prinsip pembagian berbasis daerah
penghasil (by origin), dan (2) prinsip penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan
negara yang dibagihasilkan (based on actual revenue). DBH SDA merupakan dana
yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibagihasilkan
dan dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

3.1.1.2 Dana Alokasi Umum


DAU merupakan salah satu jenis Dana Perimbangan yang dialokasikan untuk
meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah guna mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Peranan DAU dalam
meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah tersebut menjadi
sangat penting utamanya bagi daerah yang bukan merupakan penerima DBH yang
besar ataupun daerah yang mempunyai potensi PAD yang relatif kecil.

3.1.2. Dana Transfer Khusus

Dana Transfer Khusus (DAK) diarahkan untuk mendanai kegiatan tertentu yang
menjadi kewenangan daerah, sesuai dengan prioritas daerah dan nasional. Dana
Transfer Khusus terdiri dari DAK Fisik dan DAK Nonfisik.

3.1.2.1. Dana Transfer Khusus (DAK) Fisik

Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik merupakan salah satu instrumen penting dalam
mendanai infrastruktur dan sarana/prasarana pelayanan publik dan penunjang
kegiatan ekonomi yang menjadi kewenangan daerah dengan memperhatikan prinsip
money follow program adalah melalui DAK Fisik. Penganggaran DAK Fisik diarahkan
untuk mendukung penuntasan target RPJMN, percepatan penyediaan infrastruktur
di daerah yang terkait dengan pelayanan dasar Pendidikan. Kebijakan DAK Fisik juga
diselaraskan dengan target pencapaian prioritas nasional.

3.1.2.2. Dana Transfer Khusus (DAK) Non-Fisik

DAK Nonfisik dialokasikan untuk mempermudah aksesibilitas masyarakat


terhadap layanan dasar publik yang semakin berkualitas. DAK Nonfisik terdiri atas:
(1) dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), (2) dana Bantuan Operasional
Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (BOP PAUD), (3) dana Tunjangan Profesi
Guru PNSD, (4) dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, (5) dana Tunjangan Khusus
Guru PNSD di daerah khusus, (6) dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), (7)
dana Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB), (8) dana Peningkatan
Kapasitas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (PK2UKM), (9) dana Pelayanan
Administrasi Kependudukan, dan empat jenis inisiatif baru DAK Nonfisik, yaitu: (10)
dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Pendidikan Kesetaraan, (11) dana
Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP)
Museum dan Taman Budaya, (12) dana Pelayanan Kepariwisataan, dan (13) dana
Bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS).

3.2 Dana Insentif Daerah

Dana Insentif Daerah (DID) merupakan dana yang dialokasikan dalam APBN
kepada daerah tertentu berdasarkan kategori/kriteria tertentu sebagai penghargaan
atas perbaikan dan/atau pencapaian kinerja di bidang tata kelola keuangan daerah,
pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan
masyarakat. Pengalokasian DID ditujukan untuk mendorong daerah agar
meningkatkan: (1) kualitas kesehatan fiscal dan pengelolaan keuangan daerah; (2)
kualitas pelayanan umum pemerintahan; (3) kualitas pelayanan dasar publik di
bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; dan
(4) kesejahteraan masyarakat.

Perhitungan alokasi DID provinsi, kabupaten, dan kota dilakukan berdasarkan


kriteria utama dan kategori kinerja. Kriteria utama merupakan kriteria yang harus
dimiliki oleh suatu daerah sebagai penentu kelayakan daerah penerima, terdiri dari:
(1) Opini BPK atas LKPD, (2) Penetapan Perda APBD tepat waktu, (3) Penggunaan e-
government dan (4) Ketersediaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Adapun kategori
kinerja merupakan jenis kategori penilaian terhadap perbaikan/pencapaian kinerja
daerah di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan,
pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat.

3.3 Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta

Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta adalah dana yang
bersumber dari APBN dalam rangka: (1) membiayai pelaksanaan otonomi khusus
bagi suatu daerah (Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat); dan (2)
penyelenggaraan urusan keistimewaan suatu daerah (Provinsi D.I. Yogyakarta).

3.3.1. Dana Otonomi Khusus

Sesuai UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, alokasi
Dana Otsus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat besarnya setara dengan
2 persen dari pagu DAU Nasional, terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan
dan kesehatan.

Selain itu, Sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (3) huruf (f) UU Nomor 21 Tahun 2001
jo. UU Nomor 35 Tahun 2008, khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat juga diberikan Dana Tambahan Infrastruktur. Besaran Dana Tambahan
Infrastruktur ditetapkan bersama antara Pemerintah dengan DPR sesuai dengan
kemampuan keuangan negara, berdasarkan usulan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat setiap tahun anggaran.

Sementara itu, Dana Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan setara dengan 2
persen dari pagu DAU Nasional dialokasikan kepada Provinsi Aceh sesuai ketentuan
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penggunaan Dana Otonomi
Khusus Aceh terutama ditujukan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta
pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

3.3.2. Dana Keistimewaan D.I. Yogyakarta

Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah dana yang


dialokasikan dalam rangka mendukung pembiayaan bagi penyelenggaraan
kewenangan keistimewaan DIY sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan DIY. Kewenangan keistimewaan tersebut adalah wewenang tambahan
tertentu yang dimiliki oleh DIY selain wewenang yang ditentukan dalam undang-
undang mengenai pemerintahan daerah, yang meliputi: (1) tata cara pengisian
jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur; (2)
kelembagaan; (3) kebudayaan; (4) pertanahan; dan (5) tata ruang.

3.4 Dana Desa


Dana Desa merupakan dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi
desa, yang di transfer melalui anggaran belanja daerah kabupaten/kota, untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Berdasarkan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, anggaran untuk


desa dialokasikan dengan mengefektifkan program berbasis desa secara merata dan
berkeadilan. Prinsip merata dan berkeadilan kemudian diwujudkan dengan
adanya pembagian berdasarkan Alokasi Dasar (AD) sebagai unsur pemerataan, dan
unsur keadilan diwujudkan dengan pembagian berdasarkan formula (Alokasi
Formula) dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan,
dan tingkat kesulitan geografis desa.

Untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan Dana Desa yang semakin fokus pada
upaya untuk mengentaskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan pelayanan dasar
antardesa, memajukan perekonomian desa, serta meningkatkan kualitas hidup
masyarakat desa.

V. KEGIATAN BELAJAR KONSEP DASAR PINJAMAN DAERAH

1. Indikator Keberhasilan

Setelah mempelajari bagian ini, peserta diklat diharapkan mampu


memahami konsep dasar Pinjaman Daerah sebagai salah satu instrumen kebijakan
desentralisasi fiskal, khususnya sebagaimana didefinisikan dalam peraturan
perundangan mengenai pinjaman daerah.

2. Pengertian Pinjaman Daerah

Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima


manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber
pendanaan APBD yang digunakan untuk menutup defisit APBD, pengeluaran
pembiayaan, dan/atau kekurangan arus kas.

Konsep dasar pinjaman daerah dalam PP 54/2005 dan PP 30/2011 pada


prinsipnya diturunkan dari UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, untuk
memberikan alternatif sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, maka pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman. Namun demikian,
mengingat pinjaman memiliki berbagai risiko seperti risiko
kesinambungan fiskal, risiko tingkat bunga, risiko pembiayaan kembali, risiko kurs,
dan risiko operasional, maka Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal nasional
menetapkan batas-batas dan rambu-rambu pinjaman daerah.

Selain itu, dalam UU 17/2003 tentang Keuangan Negara bab V mengenai


Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah,
serta Pemerintah/Lembaga Asing disebutkan bahwa selain mengalokasikan Dana
Perimbangan kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dapat memberikan
pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian, pinjaman
daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hubungan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

3. Prinsip Dasar Pinjaman Daerah

Beberapa prinsip dasar dari pinjaman daerah di antaranya sebagai berikut:


1. Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah.
2. Pinjaman Daerah harus merupakan inisiatif Pemerintah Daerah dalam rangka
melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah.
3. Pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pendanaan APBD yang
digunakan untuk menutup defisit APBD, pengeluaran pembiayaan, dan/atau
kekurangan kas.
4. Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar
negeri.
5. Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan terhadap pinjaman pihak
lain.
6. Pinjaman Daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemberi
pinjaman dan Pemerintah Daerah sebagai penerima pinjaman yang dituangkan
dalam perjanjian pinjaman.
7. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan
pinjaman daerah.
8. Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang
melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.
9. Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah
dicantumkan dalam APBD.

4. Sumber Pinjaman

Pinjaman Daerah bersumber dari:

1. Pemerintah Pusat, berasal dari APBN termasuk dana investasi Pemerintah,


penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau penerusan Pinjaman Luar Negeri;
2. Pemerintah Daerah lain;
3. Lembaga Keuangan Bank, yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai
tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank, yaitu lembaga pembiayaan yang berbadan
hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
5. Masyarakat, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum
kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA

UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UndangUndang Nomor


1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan.

UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung


Jawab Keuangan Negara.

UndangUndang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional.

UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Pernyataan Standar Akuntansi


Pemerintah Pusat (PSAP)

Peraturan Menteri Keuangan No. PMK-190/PMK.05/2012 tanggal 29 Nopember 2012


tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).

Anda mungkin juga menyukai