Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Sejak beberapa dekade yang lalu beberapa negara telah dan sedang melakukan
desentralisasi, motivasi Ienomena ini terutama disebabkan oleh alasan politik.
Desentralisasi merupakan bagian yang teramat penting di dalam proses demokratisasi
penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan pusat atau terpusat yang cenderung
otokratis berubah menjadi pemerintahan lokal yang dipilih langsung oleh masyarakat.
Alasan lainnya atas maraknya proses desentralisasi adalah untuk memperbaiki mutu
pelayanan kepada masyarakat oleh penyelenggara pemerintahan. Didalam konteks ini
titik berat desentralisasi adalah pelayanan bukan kekuasaan. Dengan kata lain
desentralisasi adalah suatu upaya mendekatkan pemerintahan kepada rakyatnya
(bringing the State closer to the people).
Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah ini adalah mendekatkan
pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya sehingga pelayanan kepada
masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada pemerintah menjadi
lebih kuat dan nyata. Desentralisasi dan otonomi daerah dapat dikatakan berhasil
apabila pelayanan pemerintah kepada masyarakat menjadi lebih baik dan masyarakat
menjadi lebih berperan dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Desentralisasi

kewenangan tersebut akan berakhir dengan semakin meningkatnya peranserta


masyarakat dan berubahnya peran pemerintah dari provider menjadi Iasilitator.
Pemerintah sebagai lembaga eksekutiI yang juga berwenang membuat produk
hukum, namun pada suatu saat terbentur pada masalah-masalah pelik terkait produk
hukum dan kewenangannya tersebut. Hal ini sering terjadi di pelbagai kondisi dan
kesempatan. Produk hukum yang dihasilkan kadangkala membuat rakyat merugi.
Kondisi yang seharusnya dapat dicegah dengan adanya pola komunikasi yang baik
antara pemerintah dengan warga masyarakatnya.
Lebih lanjut dalam setiap pelaksanaan pemerintahan, aparat pemerintah apakah
itu menteri, gubernur atau bupati dalam pelbagai kasus kerapkali mengeluarkan
kebijakan atau keputusan yang melebihi lingkup kewenangannya. Hal ini terjadi
akibat kurang Iahamnya aparat tersebut akan tugas pokok dan Iungsi sebagai aparatur
pemerintah. Implikasi berikutnya adalah bukan hanya sah atau tidaknya kebijakan
tersebut akan tetapi pada produk hukum yang diterbitkannya. Oleh karena akibat
hukum yang timbul dari pelaksanaan kewenangan yang tidak sesuai bisa jadi apapun
yang dihasilkan dapat dibatalkan.
Aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan Iungsinya didasarkan
atas suatu dasar yaitu yang disebut kewenangan. Ada kewenangan yang diberikan
langsung oleh undang-undang dan ada yang diberikan oleh aparat yang lebih tinggi
tingkatannya. Dengan kewenangan tersebutlah aparatur pemerintah menjadi berkuasa
melakukan sesuatu yang tentunya telah diatur dalam peraturan atas kewenangan

tersebut dan menjalankan Iungsinya sebagai aparat. Namun ketika aparat pemerintah
tersebut manjalankan kekuasaannya akan tetapi melebihi atau tidak termasuk dalam
lingkup kewenangannya, atau dapat juga keabsahan dari kewenagannya itu masih
diragukan karena tidak sesuai dengan kewenangannya yang sebenarnya, maka apa
akibat hukum yang timbul terhadap produk hukum yang diterbitkan
#:2:san Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
a. Bagaimana penerapan asas-asas perundang-undangan yang demokratis dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan?
b. Bagaimana apabila proses pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sah
karena kekurangan Yuridis?









BAB II
PEMBAHASAN

A 4nsep Negara H:k:2 Dala2 Pe2-ent:kan Perat:ran Per:ndang- :ndangan
Yang De24kratis

Urgensi 4nsep Negara H:k:2

Syarat-syarat dasar rechtsstaat menurut M.C. Burkens (1990) : Asas legalitas
: setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-
undangan (wettelifke grondslag). Dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti
Iormal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam
hubungan ini pembentukan Undang-Undang merupakan bagian penting Negara
hukum. Pembagian kekuasaan : syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan
Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. Hak-hak dasar (grondrechten):
hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus
membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang. Pengawasan pengadilan : bagi
rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan
(rechtmatigheidstoetsing) tindak pemerintahan.
1

Asas legalitas merupakan unsur utama daripada suatu Negara hukum. Semua
tindakan Negara harus berdasarkan dan bersumber pada Undang-Undang. Penguasa
tidak boleh keluar dari rel-rel dan batas-batas yang telah ditetapkan dalam Undang-

Philipus M.Harjon , Pengkafian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 1994, hlm. 5.

Undang. Batas kekuasaan Negara ditetapkan dalam Undang-Undang. Akan tetapi


untuk dinamakan Negara hukum tidak cukup bahwa suatu Negara hanya semata-mata
bertindak dalam garis-garis kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Undang-
Undang.
2
Sudah barang tentu bahwa dalam Negara hukum setiap orang yang merasa
hak-hak pribadinya dilanggar, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencari
keadilan dengan mengajukan perkaranya itu di hadapan pengadilan. Cara-cara
mencari keadilan itu pun dalam Negara hukum diatur dengan Undang-Undang.
3

Negara Republik Indonesia yang menghendaki keserasian hubungan antara
pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan adalah 'asas kerukunan dalam
hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini akan berkembang elemen lain
dari konsep Negara Hukum Pancasila, yakni terjalinnya hubungan Iungsional antara
kekuasaan-kekuasaan Negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, sedangkan
peradilan merupakan sarana terakhir, dan tentang hak-hak asasi manusia tidaklah
hanya menekankan hak dan kewajiban saja, tetapi juga terjalinnya suatu
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menurut Philipus M. Hadjon, elemen Negara Hukum Pancasila adalah :
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
b. Hubungan Iungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara;
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir;

Gouw Giok Siong, Pengertian Tentang Negara Hukum, Keng Po, Jakarta, 1955 hal:12-13

Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pafak Di Indonesia, cet. Ke-IV, PT.
ERESCO, Jakarta-Bandung,1976, hal:18

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban


Dengan demikian implementasi konsep Negara hukum dapat dilihat dari dua
aspek utama ciri-ciri Negara hukum yaitu Asas Legalitas dan Asas Perlindungan
Kebebasan Setiap Orang dan Hak-Hak Asasi Manusia. Implementasi asas-asas
tersebut ditinjau dari teknis dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-
undangan yang secara terperinci terdiri atas dasar-dasar pembentukan, kaedah-kaedah
hukum, dan materi muatan yang diatur
4
.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam
mengimplementasikan prinsip negara hukum dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan senantiasa didasarkan pada asas legalitas yaitu kaidah-kaidah
hukum berupa : pertama, keharusan adanya kewenangan, misalnya Undang-Undang
ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR; kedua, keharusan adanya
kesesuaian bentuk dan jenis peraturan hukum daerah dengan materi yang diatur,
terutama kalau jenis dan materi peraturan hukum daerah yang bersangkutan
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat,
misalnya pengaturan mengenai Kelembagaan harus diatur dengan Peraturan Daerah;
ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu, misalnya Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah yang bersiIat mengatur (regelling) harus diundangkan

Ni` matul Huda, S.H. M. Hum., Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Raja GraIindo Persada
2005, hlm. 89.

dalam Lembaran Daerah; keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan


perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
5

Di samping kaidah-kaidah hukum juga didasarkan pada dasar-dasar dalam
menyusun peraturan hukum:
6
Pertama, landasan sosiologis, sehingga setiap peraturan
hukum daerah yang mempunyai akibat atau dampak kepada masyarakat dapat
diterima oleh masyarakat secara wajar dan spontan. Kedua, landasan IilosoIis, agar
peraturan hukum yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah tidak bertentangan dengan
nilai-nilai yang hakiki di tengah-tengah masyarakat, misalnya agama. Ketiga,
landasan politis, agar peraturan hukum yang diternitkan oleh pemerintah daerah dapat
berjalan sesuai dengan tujuan tanpa menimbulkan gejolak di tengah-tengah
masyarakat. Dan Keempat, landasan yuridis, maksudnya agar pembentukan suatu
peraturan hukum daerah didasarkan atas landasan hukum baik landasan hukum yang
memberikan wewenang untuk membentuk peraturan hukum daerah (landasan yuridis
Iormil) dan landasan hukum dari materi-materi yang diatur (landasan yuridis
materiil).
Asas perlindungan atas kebebasan setiap orang dan atas hak-hak asasi
manusian terkait erat dengan materi yang diatur dalam suatu produk peraturan hukum
daerah. Implementasi asas perlindungan namapak pada ketentuan-ketentuan peraturan
hokum daerah yang diatur secara terbatas dan memiliki ciri perllindungan hak

Jimly Assiddiqie, Agenda Pembangunann Hukum Nasional di Era Globalisasi, Balai Pustaka,
Jakarta 1998, hlm 90-91

Ibid, hlm. 92.

kolektiI warga masyarakat secara umum serta diseimbangkan dengan hak dan
kewajiban individual.
Pe2-ent:kan Perat:ran Per:ndang-Undangan
Mengenai asas peraturan perundang-undangan, menurut Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto ada enam, yaitu:
1. Undang-undang tidak berlaku surut;
2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan lebih tinggi pula;
3. Undang-undang yang bersiIat khusus menyampingkan Undang-undang yang
bersiIat umum (ex specialis derogat lex generalis);
4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang
berlaku terdahulu (ex posteriore derogat lex priori);
5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat;
6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan atau pelestarian (asas Welvaarstaat).
Sementara itu di Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dinyatakan bahwa dalam
membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
I. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Asas-asas diatas merupakan pedoman dalam pembuatan peraturan
perundangundangan. Perbedaan pendapat yang tajam semestinya dapat dihindari
dalam proses pembuatan setiap peraturan perundang-undangan jika setiap orang yang
terlibat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut memperhatikan
asas-asas di atas dalam menyampaikan usul atau keberatan.
Pengar:h Adanya Uns:r ek:rangan Y:ridis Terhadap Pe2-ent:kan
Perat:ran Per:ndang-:ndangan ata: ep:t:san Tata Usaha Negara
A. Syarat Tidak Adanya Kekurangan Yuridis Pada Keputusan Tata Usaha Negara
Suatu Keputusan tata usaha negara merupakan produk hukum aparat
pemerintah dalam bidang legislatiI, yaitu dalam hubungannya dengan kewenangan
delegasi peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh badan-badan administrasi
negara. Mengenai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara maka keputusan
tersebut harus ada syarat Iormil dan materiil yang harus dipenuhi.
Kekurangan yuridis yang dimaksud merupakan salah satu syarat materiil
dalam suatu keputusan tata usaha negara agar dapat dikatakan absah. Kekurangan
yuridis dapat disebabkan oleh satu atau lebih unsur, yaitu:
7

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Press, 2002, hlm. 124.

1. Paksaan (dwang);
2. KhilaI/ salah kira (dwaling); dan
3. Tipuan (bedrog).
Dari ketiga unsur tersebut merupakan adaptasi dari hukum privat dalam
KUHPerdata pasal 1321-1328 yang dianalogikan dalam hukum administrasi negara.
Menurut Van der Pot (Nederlandsch bestuursrecht, 1993 hal 208) dalam
terjemahannya menyetujui adanya adaptasi dari peraturan mengenai pernyataan
kehendak dalam mengadakan perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata pasal
1321-1328 oleh karena hukum administrasi negara belum mengatur.
Berbeda dengan Van der Pot, A.H Donner, Huart, Van der Weld an DR
Stellinga tidak menyetujui analogi hukum privat kedalam hukum administrasi negara.
Menurut mereka, hukum administrasi harus mampu mengembangkan teori-teorinya
sendiri.
Oleh karena analogi yang dipakai yaitu KUHPerdata, maka penjelasan
mengenai ketiga unsur tidak terlepas dari pengertian yang ada dalam hukum privat.
Ketiga unsur kekurangan yuridis memiliki persamaan yaitu unsur-unsur tersebut
antara kenyataan yang dialami dan kehendak yang diinginkan berbeda, sedangkan
perbedaan antara unsur-unsur kekurangan yuridis yang satu dengan yang lain pada
causa prima atau penyebabnya.


A.1. Paksaan (dwang)


Paksaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Paksaan (biasa), dan
2. Paksaan Keras.
Paksaan (biasa) yaitu pihak yang dipaksa masih ada kehendak sehingga pada
diri pihak yang dipaksa masih ada pilihan lain walaupun kemungkinannya kecil
sekalipun. Akibat hukumnya adalah keputusan tata usaha negara tersebut dapat
dibatalkan.
Paksaan keras yaitu pihak yang dipaksa sama sekali tidak ada kehendak,
sehingga pada diri pihak yang dipaksa tidak ada pilihan lain selain berbuat demikian.
Akibat hukum dari perbuatan paksaan keras terhadap keputusan tata usaha negara
tersebut dapat dibatalkan demi hukum.
A.2. KhilaI/Salah Kira (dwaling)
Salah kira terjadi ketika seseorang (subyek hukum) menghendaki sesuatu dan
membuat suatu keputusan tata usaha negara sesuai dengan kehendaknya tersebut,
akan tetapi kehendak tersebut didasari oleh pemikiran atau bayangan yang salah.
Bayangan atau pemikiran yang salah tersebut mengenai pokok maksud pembuat.
KhilaI atau salah kira (dwaling) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. KhilaI yang tidak sungguh-sungguh; dan
2. KhilaI yang sungguh-sungguh.
KhilaI yang tidak sungguh-sungguh menyebabkan suatu ketetapan atau
keputusan tata usaha negara menjadi sebagian sah dan sebagian lainnya batal.

KhilaI yang sungguh- sungguh yang akan berbeda akibatnya pada keputusan
tata usaha negara dapat dibagi menjadi beberapa hal yaitu:
a. KhilaI mengenai orang;
b. KhilaI mengenai pokok maksud; dan
c. KhilaI mengenai hal yang bukan mengenai pokok maksud.
Mengenai khilaI terhadap suatu keputusan yang dibuat mengenai orang
(subyek hukum) oleh Van der Pot dapat dinyatakan batal. Berbeda dengan Van der
Pot, Utrecht menganggap hal tersebut dapat dinyatakan batal jika ada itikad jahat (te
kwade trouw) tetapi jika orang (subjek hukum) yang oleh keputusan tata usaha negara
tersebut memiliki itikad baik (te goe der trouw) maka Utrech mengganggap
keputusan tersebut batal demi hukum.
KhilaI (dwaling) mengenai suatu pokok maksud mengakibatkan keputusan
tersebut batal. Hal ini dapat diterima oleh Utrecht dengan catatan bahwa keputusan
yang batal harus diperhatikan syarat unsur essensialnya juga.
KhilaI mengenai hal yang bukan mengenai maksud pokoknya keputusan tata
usaha negara tersebut dinyatakan tidak sah. Hal ini karena juga khilaInya keputusan
tersebut bukanlah hal yang mengandung essensial.
Dalam kesimpulannya, Utrecht menilai salah kira (dwaling) dapat
mempengaruhi ketetapan jika salah kira tersebut bertentangan langsung dengan
Undang-Undang atau bertentangan dengan kejadian-kejadian yang benar ada.

A.3. Tipuan (bedrog)


Tipuan (bedrog) yaitu antara kenyataan dan kehendak si pembuat keputusan
tata usaha negara berbeda yang diakibatkan oleh serentetan tipu muslihat yang
mempengaruhi si pembuat keputusan tersebut.
Sama halnya dengan khilaI (dwaling), tipuan (bedrog) dapat mempengaruhi
batal atau tidaknya ketetapan jika tipuan tersebut bertentangan langsung dengan
Undang-Undang atau bertentangan dengan kejadian-kejadian yang benar ada.

B. Pengaruh Adanya Unsur Kekurangan Yuridis Terhadap Pembentukan Keputusan
Tata Usaha Negara.
Sebagai salah satu syarat materiil absahnya suatu keputusan tata usaha negara,
kekurangan yuridis dalam suatu keputusan tata usaha negara memiliki pengaruh atau
dampak mengenai kekuatan hukum berlaku produk hukum oleh badan administrasi
negara.
Berdasarkan uraian mengenai tiga unsur dari kekurangan yuridis, yakni
adanya paksaan (dwang), khilaI (dwaling), dan tipuan (bedrog) maka ada dua akibat
ketidakabsahan keputusan tata usaha negara yakni:
1. Dapat dibatalkan; dan
2. Batal mutlak.
Mengenai kedua akibat pembatalan keputusan tata usaha negara tersebut
perbedaannya terletak pada ada atau tidaknya unsur essensial atau hal-hal yang
dianggap paling mendasar dari isi keputusan tata usaha negara tersebut.

Suatu keputusan tata usaha negara dapat dibatalkan apabila tidak mengandung
unsur essensial dari keputusan tata usaha negara yang mengalami kekurangan yuridis.
Akibatnya, sebagian keputusan dapat dinyatakan sah sedangkan hal-hal lainnya
dinyatakan batal. Suatu keputusan tata usaha negara dinyatakan batal apabila unsur-
unsur essensial yang ada di dalam keputusan tersebut sebagai kehendak si pembuat
secara nyata bertentangan dengan undang-undang dan berbeda dengan kejadian
sebenarnya.















BAB III
esi2p:lan

1. Berdasarkan uraian mengenai tiga unsur dari kekurangan yuridis, yakni
adanya paksaan (dwang), khilaI (dwaling), dan tipuan (bedrog) maka ada
dua akibat ketidakabsahan keputusan tata usaha negara yakni:
1. Dapat dibatalkan; dan
2. Batal mutlak.
2. Mengenai kedua akibat pembatalan keputusan tata usaha negara
tersebutperbedaannya terletak pada ada atau tidaknya unsur essensial atau
hal-hal yang dianggap paling mendasar dari isi keputusan tata usaha
negara tersebut.
3. Suatu keputusan tata usaha negara dapat dibatalkan apabila tidak
mengandung unsur essensial dari keputusan tata usaha negara yang
mengalami kekurangan yuridis. Akibatnya, sebagian keputusan dapat
dinyatakan sah sedangkan hal-hal lainnya dinyatakan batal.

Anda mungkin juga menyukai