Anda di halaman 1dari 13

HUKUM KEUANGAN NEGARA

LEGAL REVIEW PERBENDAHARAAN NEGARA DALAM UNDANG-


UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004

Dosen Pengampu:
Agustina

Nama-nama Anggota Kelompok 1:

Sonia Togatorop (1908016086)


Putri Janriana S (1908016117)
Theresia Novita (1908016120)
Afdania (1908016126)
Ika Sari Ruru (1908016127)
Andreas Avelino E (1908016138)
A. Latar Belakang dan Isu

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara


Pasal 1 Angka 1, Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang
dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APB. Perbendaharaan negara
dalam padanan gramatikal memiliki pengertian segala sesuatu berkaitan dengan
pengelolaan uang negara atau tentang segala hal yang berkaitan dengan tata kelola
dan tata tanggung jawab pemerintah dalam menggunakan uangnya melalui
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan juga yang dikelola melalui
mekanisme anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dalam padanan
nalar hukum, perbendaharaan negara tentu ditujukan pada negara dalam hal ini
Presiden sebagai pemegang kekuasaan dalam pengelolaan APBN dan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta Menteri atau pimpinan lembaga dalam pengunaan
anggaran dan barang. Dalam perkembangan konteks pengertian tersebut saja,
pengaturan pengelolaan keuangan negara tidak pernah mencapai arti hukum yang
ideal (rechtsideaal) karena kompleksitas pengertian dan ruang lingkup keuangan
negara tersebut. Pengertian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, dalam
perkembangan pengelolaan dan pertanggungjawaban tidak jarang mendapatkan
pengaruh eksternal yang justru menimbulkan kerumitan dan luas serta berdimensi
segala aspek didalamnya. Akibatnya, pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan negara yang meluas seperti demikian memiliki kandungan multidimensi
yang jika tidak dilakukan secara cermat dan teliti akan menimbulkan benturan
hukum dalam kaidah-kaidah hukumnya. Tata kelola penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dalam suatu negara merupakan suatu kebutuhan yang tak
terelakkan. Pemerintah wajib menerapkan kaidah-kaidah yang baik dalam
menjalankan roda pemerintahan, termasuk didalamnya kaidah-kaidah dalam
bidang pengelolaan keuangan negara yang diwujudkan dalam bentuk penerapan
prinsip good governance. Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik itulah, pemerintah Republik Indonesia melakukan reformasi di bidang
pengelolaan keuangan negara. Keberadaan UU Nomor 1 Tahun 2004 ini, perlu
dilakukan evaluasinya, sehingga akan memiliki daya mengikat dan daya manfaaat
bagi penyelenggaraan pemerinthan negara, khususnya adaministrasi pengelolaan
APBN dan APBD. Salah satunya adalah mengupayakan minimalisasi atau
menekan kebocoran dan pemborosan APBN dan APBD, sehingga manfaat
pengelolaan APBN dan APBD dapat benar-benar ditujukan untuk mencapai
tujuan bernegara. Permasalahan yang dapat kita kaji dalam latar belakang ini
sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang


Perbendaharaan Negara mendorong terwujudnya pengelolaan anggaran
pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja
daerah yang tertib, taat pada peraturan perundangan-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transfaran dan bertanggung jawab?
2. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, bagaimana standar dan kebijakan pengelolaan
APBN dan APBD, dikaitkan dengan pencegahan terjadinya
penyimpangan, kebocoran atau pemborosan?

B. Pembahasan dan Fakta Hukum

Pengaruh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Terhadap Tertib Pengelolaan


dan Pertanggungjawaban APBN atau APBD.

a. Pasal 1 Angka 1: “Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan


pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan
yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APB”. Penerapan
Kaidah Pengelolaan Keuangan Yang Sehat di Lingkungan Pemerintahan
Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan negara,
dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka
pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara
efisien. Ketentuan yang diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 2004
dimaksudkan untuk memperkokoh pelaksanan tugas yang berkaitan
dengan keuangan maupun perbendahaaran negara. Dalam rangka, inilah
diperlukan peraturan dalam penyelenggaraan kewenangan pemerintah
yang digunakan dengan sebaik-baiknya untuk pengelolaan keuangan
negaar ataupun daerah. Fungsi perbendaharaan tersebut meliputi, terutama,
perencanaan kas yang baik, pencegahan agar jangan sampai terjadi
kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber pembiayaan yang paling
murah dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan. Upaya untuk
menerapkan prinsip pengelolaan keuangan yang selama ini lebih banyak
dilaksanakan di dunia usaha dalam pengelolaan keuangan pemerintah,
tidaklah dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan keuangan sektor
pemerintah dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada hakikatnya,
negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya yang demikian,
negara tunduk pada tatanan hukum publik. Melalui kegiatan berbagai
lembaga pemerintah, negara berusaha memberikan jaminan kesejahteraan
kepada rakyat (welfare state). Namun, pengelolaan keuangan sektor publik
yang dilakukan selama ini dengan menggunakan pendekatan superioritas
negara telah membuat aparatur pemerintah yang bergerak dalam kegiatan
pengelolaan keuangan sektor publik tidak lagi dianggap berada dalam
kelompok profesi manajemen oleh para profesional. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pelurusan kembali pengelolaan keuangan pemerintah dengan
menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance)
yang sesuai dengan lingkungan pemerintahan. Dalam Undang-Undang
Perbendaharaan Negara ini juga diatur prinsip-prinsip yang berkaitan
dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kas, perencanaan
penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang piutang dan investasi
serta barang milik negara atau daerah yang selama ini belum mendapat
perhatian yang memadai. Dalam rangka pengelolaan uang negara atau
daerah, dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara ini ditegaskan
kewenangan Menteri Keuangan untuk mengatur dan menyelenggarakan
rekening pemerintah, menyimpan uang negara dalam rekening kas umum
negara pada bank sentral, serta ketentuan yang mengharuskan
dilakukannya optimalisasi pemanfaatan dana pemerintah. Untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan piutang negara
atau daerah, diatur kewenangan penyelesaian piutang negara dan daerah.
Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan pembiayaan ditetapkan pejabat
yang diberi kuasa untuk mengadakan utang negara atau daerah. Demikian
pula, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
investasi dan barang milik negara atau daerah dalam Undang-Undang
Perbendaharaan Negara ini diatur pula ketentuan yang berkaitan dengan
pelaksanaan investasi serta kewenangan mengelola dan menggunakan
barang milik negara atau daerah. Dalam hal ini, keberadaan undang-
undang nomor 1 tahun 2004 belum sepenuhnya dijadikan regulasi dalam
pengaturan perbendaharaan negara dan pengelolaan keuangan negara.
Karena kita lihat masih ada kasus perbendaharaan negara yang dilakukan
oleh pejabat perbendaharaan negara itu sendiri.
b. Penata usahaan dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran yang
Transparan dan Akuntabel, Untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah perlu disampaikan secara tepat
waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan.
Sehubungan dengan itu, perlu ditetapkan ketentuan yang mengatur
mengenai hal-hal tersebut agar: Laporan keuangan pemerintah dihasilkan
melalui proses akuntansi, Laporan keuangan pemerintah disajikan sesuai
dengan standar akuntansi keuangan pemerintahan, yang terdiri dari
Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Laporan Arus Kas
disertai dengan catatan atas laporan keuangan; Laporan keuangan
disajikan sebagai wujud pertanggungjawaban setiap entitas pelaporan yang
meliputi laporan keuangan pemerintah pusat, laporan keuangan
kementerian negara atau lembaga, dan laporan keuangan pemerintah
daerah: Laporan keuangan pemerintah dapat menghasilkan statistik
keuangan yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan Pemerintah
(Government Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi
kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis
perbandingan antarnegara (cross country studies), kegiatan pemerintahan,
dan penyajian statistik keuangan pemerintah. Pada saat ini laporan
keuangan pemerintah dirasakan masih kurang transparan dan akuntabel
karena belum sepenuhnya disusun mengikuti standar akuntansi
pemerintahan yang sejalan dengan standar akuntansi sektor publik yang
diterima secara internasional. Standar akuntansi pemerintahan tersebut
sesuai dengan ketentuan Pasal 32, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara menjadi acuan bagi Pemerintah Pusat dan
seluruh Pemerintah Daerah di dalam menyusun dan menyajikan Laporan
Keuangan. Agar informasi yang disampaikan dalam laporan keuangan
pemerintah dapat memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, perlu
diselenggarakan Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) yang terdiri
dari Sistem Akuntansi Pusat (SAP) yang dilaksanakan oleh Kementerian
Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dilaksanakan oleh
kementerian negara/lembaga. Dan laporan keuangan pemerintah tersebut
harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum
disampaikan kepada DPR atau DPRD, BPK memegang peran yang sangat
penting dalam upaya percepatan penyampaian laporan keuangan
pemerintah tersebut kepada DPR atau DPRD.

C. Dasar Hukum

Dasar hukum anggaran negara dimuat dalam Konstitusi atau Undang-Undang


Dasar. Hal ini berkembang sesuai dengan dukungan pandangan terhadap negara
pada akhir abad kesembilan belas. Mengenai Perbendaharaan Negara ini sudah
memiliki payung hukum yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 Tentang perbendaharaan Negara. Dasar hukum mengenai perbendaharaan
negara ini sendiri terdapat didalam landasan konstitusi negara kita yaitu, pada
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, kemudian landasan konstitusional juga mengatur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Republik Indonesia menurut UUD NRI 1945
diatur dalam Pasal 23 UUD 1945 Bab VIII, mengenai ”Hal Keuangan”, yang
berbunyi sebagai berikut:

 Pasal 23 UUD 1945:


(1) ”Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan
Undang Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui
anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan
anggaran tahun yang lalu”.
(2) ”Segala pajak untuk keperluan Negara berdasarkan Undang-Undang”.
(3) ”Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang”.
(4) ”Hal keuangan Negara selanjutnya diatur dengan Undang-Undang”.
(5) ”Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan
dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat”.

Dari kelima ayat tersebut dapat terlihat ayat yang secara langsung merupakan
landasan konstitusional bagi APBN adalah ayat (1) dan ayat (5) Pasal 23 UUD
1945. Kalimat pertama ayat (1) mengandung makna anggaran negara yang
diusulkan oleh Pemerintah tiap-tiap tahun harus ditetapkan dengan Undang-
Undang. Hal ini berarti anggaran negara harus mendapat persetujuan DPR, karena

 Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 mengatakan setiap undang-undang


menghendaki persetujuan DPR.
 Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengandung dua unsur pokok yakni:
1) Unsur periodisitas, hal ini terlihat dari kata-kata ”tiap-tiap” tahun.
2) Unsur yuridis, hal ini dapat terlihat dari kata-kata ”undang-undang”.
Oleh kalimat kedua ayat (1) pada Pasal 23 UUD 1945, unsur yuridis tersebut
diuraikan lebih lanjut, yang menentukan apabila tidak terdapat kata sepakat antara
Pemerintah dengan DPR mengenai usul APBN yang diajukan oleh Pemerintah,
Pemerintah harus menjalankan anggaran tahun yang lalu. Sebagai jalan keluar,
kalimat kedua ayat (1) Pasal 23 UUD 1945 ini telah memberikan pemecahan
sementara, tetapi hal ini masih harus dituangkan dalam bentuk ketentuan
perundang-undangan, yaitu mengenai bentuk yuridis anggaran yang tidak
disetujui oleh DPR tersebut, meningat dalam praktek terdapat kesukaran dalam
menentukan anggaran tahun yang lalu. Selanjutnya ayat yang erat hubungannya
dengan ayat (1) Pasal 23 UUD 1945 adalah ayat (5) Pasal 23 UUD 1945. Ayat ini
mengatur tugas BPK untuk memeriksa tanggung jawab keuangan negara. Kalimat
kedua dari ayat (5) Pasal 23 UUD 1945 mengandung makna hasil pemeriksaan
oleh BPK tersebut harus diberitahukan kepada DPR, namun dari kalimat kedua ini
tidak dapat secara eksplisit ditentukan lembaga manakah yang harus
menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada DPR.

D. Analisis

Penerapan Kaidah Pengelolaan Keuangan Yang Sehat di Lingkungan


Pemerintahan Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan
negara, dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka
pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara efisien.
Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan piutang negara
atau daerah, diatur kewenangan penyelesaian piutang negara dan daerah.
Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan pembiayaan ditetapkan pejabat yang
diberi kuasa untuk mengadakan utang negara atau daerah. Demikian pula, dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi dan barang
milik negara atau daerah dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara ini
diatur pula ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan investasi serta
kewenangan mengelola dan menggunakan barang milik negara atau daerah.
Dalam hal ini, keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 belum
sepenuhnya dijadikan regulasi dalam pengaturan perbendaharaan negara dan
pengelolaan keuangan negara. Karena kita lihat masih ada kasus perbendaharaan
negara yang dilakukan oleh pejabat perbendaharaan negara itu sendiri. Kita lihat
dalam

Kasus Terima Suap, Eks Pegawai Kemenkeu Yaya Purnomo Divonis 6,5 Tahun
berkaitan dengan kasus uang suap alokasi anggaran yang bersumber dari Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID) yang terdapat pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dituangkan dalam
Peraturan Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
pada pasal 1 angka 10 “Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli
atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.”
Dan angka 12 “Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan
penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat
daerah.”

Yaya Purnomo selaku pejabat di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan


Kementerian Keuangan divonis 6,5 tahun penjara oleh majelis hakim pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Yaya juga dihukum membayar denda
Rp 200 juta subsider 1 bulan 15 hari kurungan. Yaya terbukti menerima suap Rp
300 juta dari Bupati Lampung Tengah, Mustafa melalui Kepala Dinas Bina Marga
Lampung Tengah, Taufik Rahman. Uang suap tersebut merupakan bagian yang
terkait dengan uang yang diterima anggota DPR Amin Santono sebesar Rp 2,8
miliar. Uang diberikan agar Amin Santono, yang merupakan anggota Komisi XI
DPR, mengupayakan Kabupaten Lampung Tengah mendapat alokasi anggaran
yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah
(DID). Anggaran DAK dan DID itu terdapat pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) Tahun 2018. Yaya Purnomo juga terbukti menerima
gratifikasi Rp 6,529 miliar. Kemudian menerima uang 55.000 dollar Amerika
Serikat dan 325.000 dollar Singapura. Menurut jaksa, Yaya dan Rifa Surya,
selaku pegawai Kemenkeu, telah memanfaatkan posisi mereka untuk memberikan
informasi kepada pejabat daerah. Informasi itu terkait pemberian anggaran, baik
Dana Alokasi Khusus (DAK) atau Dana Insentif Daerah (DID). Yaya dan Rifa
Surya menerima uang dari pejabat daerah terkait informasi yang diberikan
tersebut.

Yaya terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor


31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo Pasal 64 ayat 1
jo Pasal 65 ayat 1 KUHP. Bahwa tersangka telah melakukan perbuatan melawan
hukum atau penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama yang
mengakibatkan kerugian negara.

Jika berdasarkan Peraturan Undang-Undang No 1 Tahun 2004 tentang


perbendaharaan Negara bahwa Yaya Purnomo telah melanggar hukum pada pasal
59 ayat (2) yakni, “Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain
yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang
dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib
mengganti kerugian tersebut.” dalam melakukan suap anggaran dana dengan
menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat Negara. Kasus tersebut
penyelesaiannya tidak sesuai dengan regulasi ataupun payung hukum yang telah
disediakan untuk melindungi pengelolaan perbendaharaan negara ataupun
pengelolaan keuangan negara. Secara yuridis bahwa perbendaharaan negara ini
diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan No 1 tahun 2004 tentang
perbendaharaan Negara. Tindakan pejabat dalam perbendaharaan negara dalam
kasus ini dianggap telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang itu sendiri.
Kemudian, proses penyelesaian yang dilakukan terhadap kasus inipun lebih
mengatur pemberian pertanggungjawaban kepada sanksi pidana. 55 ayat 1 ke 1 jo
Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP. Kemudian, pada pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara menentukan bahwa
menteri/pimpinan/lembaga/gubernur/bupati/walikota yang terbukti melakukan
penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja Negara atau peraturan daerah tentang anggaran
pendapatan dan belanja daerah diancam pidana penjara dan denda sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang. Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa sanksi
pidana dikenakan kepada pejabat negara yang melakukan perbuatan melawan
hukum atau melalaikan kewajiban tanggungjawabnya. Dimana yang diketahui
proses tuntutan ganti rugi peraturan perundang-undangan keuangan Negara
dilakukan bersamaan waktunya dengan proses tuntutan pidana, karena kedua
proses penuntunan tersebut merupakan hal yang berbeda. Oleh karena proses
tuntutan ganti rugi keuangan Negara dengan proses tuntutan pidananya masing-
masing berdiri sendiri-sendiri, tidak saling mempengaruhi. Hal ini dipertegas oleh
Pasal 64 UU RI No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara yang
menentukan bahwa bendahara, pengawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain
yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian Negara atau daerah dapat dikenai
sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.

Karena ganti kerugian hanya pada putusan hakim, sementara kewajiban ganti rugi
yang pada undang-undang yang mengatur tentang pembendaharaan negara, tidak
terpenuhi dimana yang tercantum pada:

 Pasal 59 (1) : “Setiap kerugian negara atau daerah yang disebabkan oleh
tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera
diselesaikan sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku”.

Dimana, penjelasan dalam pasal ini bahwa kerugian negara dapat terjadi karena
pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara, kemudian kewajiban untuk
membayar ganti rugi pun dituntut dalam regulasi ataupun peraturan perundang-
undangan yang mengaturnya secara khusus. Yaitu, dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 Tentang Pembendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, seharusnya penyelesaian kerugian negara
perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau
yang dirugikan serta meningkatkan disiplin dan tanggungjawab pegawai negeri
atau pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada
khususnya, padahal dalam penyelesaian kasus eks asisten kemenkeu ini, tidak
menerapkan ganti rugi sebagaimana seharusnya tentu saja hal ini, membuktikan
bahwa keberadaan Undang-Undang Perbendaharaan Negara ini dalam mekanisme
penerapannya belum mampu dilaksanakan, oleh pemerintah itu sendiri.

E. Kesimpulan

Secara yuridis peraturan yang mengatur tentang perbendaharaan negara telah


ditetapkan dan menjadi dasar hukum terhadap pengelolaan perbendaharaan negara
itu sendiri. Namun, terlepas dari pelaksanaannya itu sesuai atau tidak belum
mampu memberikan kepastian terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara. Secara umum pengelolaan keuangan daerah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagai akibat dari penyerahan
urusan pemerintahan. Dalam tata kelola Pemerintahan terkhususnya dalam
menajemen pengelolaan keuangan pemerintah yang telah melakukan reformasi
dengan membentuk Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Di nilai telah memberikan landasan yang kuat dalam memperbaiki kinerja
pengelolaan Keuangan Negara Repuplik Indonesia. Namun nyatanya dari kasus
yang kami ambil dimana dapat lihat bahwa penerapan Undang-Undang ini belum
dilaksanakan dengan maksimal. Para pejabat masih saja menyalahgunakan
wewenangnya dengan melakukan korupsi yang menimbulkan kerugian terhadap
Negara. Pengelolaan terhadap keuangan Negara menjadi sesuatu yang sangat
penting bagi Negara terutama dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja
Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Dengan adanya UU
No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara diharapkan mampu
memperkokoh pelaksanaan tugas keuangan maupun perbendaharaan Negara.
Dalam pengelolaan dan penerapan UU Perbendaharaan Negara terdapat prinsip-
prinsip yang berkaitan baik dari pelaksanaan fungsi pengelolaan kas, maupun
perencanaan, penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang piutang dan
investasi serta barang milik Negara atau daerah selama belum mendapatkan
perhatian yang memadai. Dalam rangka meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan tersebut diatur melalui kewenangan penyelesaian
piutang Negara ataupun daerah. Dapat ditegaskan kembali dalam UU No. 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara belum sepenuhnya dijadikan regulasi dalam
pengelolaan Keuangan Negara.

Anda mungkin juga menyukai