PENDAHULUAN
Peranan hukum keuangan negara pada saat ini tengah diuji untuk memberikan
pemahaman yang komprehensif, teoritis, praktis dalam proses pendewasaan sistem keungan
negara di Indonesia, khususnya dalam meneguhkan pengertian keuangan negara yang
memihak pada konsepsi kemandirian badan hukum dan kebijakan otonomi daerah. 1 Dalam
rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea ke 4 pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 disana terdapat sebuah maksud bahwasanya dibentuklah suatu
pemerintah negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang yang
sudah ditentukan. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang diperlukan pengelolaan dalam suatu
sistem pengelolaan keuangan negara.
1
Sutedi Adrian, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.1
kekuasaan presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
dalam ruang lingkup daerah provinsi serta kepada Bupati dan Wali Kota dalam ruang lingkup
daerah kabupaten dan kota, selaku pengelolaan keuangan daerah. Demikian pula untuk
mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
Oleh karena itu persoalan pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah
merupakan salah satu aspek yang harus diatur secara hati-hati. Anggaran Daerah atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang
utama bagi Pemerintah Daerah.3 Sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki
posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah.
2
Tjandra Riawan, Hukum Keuangan Negara,PT Gasindo, Jakarta, 2006, hlm. 81.
3
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi Beberapa Faktor yang
Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 124.
Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan
pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi
pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengeluaran ukuran-ukuran standar dan
evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas
dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran daerah
hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang
menjadi prioritas dan preferensi daerah yang bersangkutan. 4 Oleh karena itu, daerah
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi
daerah) tanpa lepas dari bingkai negara kesatuan.
Di dalam prakteknya penggunaan dana hibah yang bersumber dari APBD masih
terdapat suatu penyimpangan didaerah Tasikmalaya yang dilakukan oleh aparatur sipil di
4
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta, 2002, hlm. 9
5
Kristian Widya Wicaksono, Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006, hlm. 41.
kabupaten Tasikmalaya dimana hal ini dilakukan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten
Tasikmalaya yang dibantu oleh aparatur sipil negara dan warga sipil yang bersama-sama telah
melakukan tindakan korupsi terhadap dana hibah yang seharusnya diperuntukan untuk bantuan
kepada 21 Yayasan di Kabupaten Tasikmalaya. Namun nyatanya setelah dana hibah tersebut
yang seharusnya diberikan utuh kepada Yayasan itu 'disunat' oleh Sekretaris Daerah
Tasikmalaya berserta koleganya, yang menyebabkan Yayasan hanya mendapatkan 10 persen
dari total keseluruhan yang harus diberikan kepadanya.
Kasus korupsi danah hibah yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah Tasikmalaya
bermula pada tahun 2017 saat Pemkab Tasikmalaya menganggarkan dana hibah dengan nama
kegiatan belanja dana hibah organisasi kemasyarakatan dimana dana tersebut bersumber dari
APBD Kabupaten Tasikmalaya tahun anggaran 2017. Dalam kegiatan belanja tersebut,
terdapat hibah untuk 21 yayasan atau lembaga keagamaan yang diduga diselewengkan atau
disalahgunakan oleh beberapa oknum aparatur sipil negara dan warga yaitu Sekretaris daerah
Kabupaten Tasikmalaya Abdul Kodir, pejabat Pemkab Tasikmalaya terdiri Kabag Kesra Setda
Maman Jamaludin, Sekretaris DPKAD Ade Ruswandi, Inspektorat Kabupaten Tasikmalaya
Endin, lalu dua PNS bagian Kesra Pemkab bernama Alam Rahadian Muharam dan Eka
Ariansyah, dua warga sipil Lia Sri Mulyani dan Mulyana, serta seorang petani Setiawan
Dalam kasus ini, Abdul Kodir memegang peranan penting. Dia menyuruh kepada PNS
Kabupaten Tasikmalaya mencari dana dan sejumlah yayasan penerima hibah. Setelah
ditemukan, tersangka Mulyana memerintahkan Setiawan membuat proposal pengajuan serta
memotong dana hibah yang cair. Dana yang seharusnya diberikan utuh itu 'disunat' oleh Sekda
Tasik dan koleganya. Yayasan tersebut hanya mendapatkan 10 persen dari total keseluruhan
yang harus diberikan. Hasil pemotongan dana dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 3,9
miliar itu dibagi-bagi kepada para tersangka. Mereka mendapat pembagian uang yang beragam.
Masing-masing mendapatkan uang dari dana hibah mulai dari Rp 70 juta hingga Rp 1,4 miliar.
Sekda Tasikmalaya Abdul Kodir mendapat uang paling banyak senilai Rp 1,4 miliar atau 50
persen dari dana hibah yang dianggarkan untuk lembaga.
2.2 Pembahasan
Maka pengelolaan dan penggunaan dana hibah harus dapat direalisasikan manfaatnya
dalam masyarakat. Terkait pelaksanaan pengelolaan dan penggunaan dana hibah, sering
menuai masalah dan kritik dari berbagai pihak karena ketidakjelasan mengenai arah
penggunaannya. Penyalahgunaan uang negara yang disorot yakni mengenai penyalahgunaan
dana hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD. Penyalahgunaan yang dilakukan
yakni dalam bentuk pengalihan dana hibah dan bantuan sosial yang disaluran tanpa disertai
pertanggungjawaban yang jelas atau adanya rekayasa dokumen terkait pencairan dana hibah
dan bantuan sosial. Meskipun ada pertanggungjawaban atas penggunaan dana bantuan sosial
tersebut, akan tetapi setelah di audit lebih lanjut ternyata penerima bantuan adalah penerima
yang fiktif atau menerima tetapi besaranya tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam APBD
artinya terdapat oknum-oknum yang memanfaatkan kewenanganya atau dengan kata lain atas
jabatanya sebagai aparatur sipil negara dengan merubah dan mengurangi dana hibah yang
peruntukanya sepenuhnya untuk kemanfaatan bagi masyarakat.
Oleh karena itu demi mencapai efektivitas pengelolaan keuangan daerah dalam dana
hibah dan bantuan sosial untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan warga negara,
diberlakukan asas desentralisasi berupa penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah ditingkat daerah untuk menjalankan pemerintahan yang otonom dan bertanggung
jawab untuk menjalankan pembangunan dan tugas pemerintah lainnya di wilayah daerahnya
masing-masing. Pelimpahan wewenang oleh pemerintah pusat ke daerah tersebut dilakukan
dalam rangka menjalankan roda pemerintahan dengan baik melalui program atau kebijakan
mensejahterakan rakyat.
Namun dalam prakteknya pengalokasiaan danah hibah yang bersumber dari APBN di
Kabupaten Tasikmalaya terdapat penyelewengan yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah
bersama-sama dengan koleganya dengan melakukan tindak kejahatan korupsi terhadap dana
hibah yang seharusnya secara penuh diberikan kepada Yayasan dan lembaga keagamaan.
Dimana Sekretaris Daerah Tasikmalaya memegang peranan penting dengan menyuruh kepada
Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Tasikmalaya untuk mencari dana dari sejumlah yayasan
penerima hibah atau lembaga keagamaan tertentu. Setelah ditemukan ia memerintahkan
Setiawan untuk membuat proposal pengajuan serta memotong dana hibah masa APBD satu
tahun kemudian, setelah proposal tersebut disetujui.
Apa yang telah diperbuat oleh Sekretaris Daerah bersama-sama dengan kolega dalam
konteks pemberian hibah yang seharusnya pemberian hibah ditujukan untuk menunjang
pencapaian sasaran program dan kegiatan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan asas
keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat sebagaima dimaksud dalam
pasal 4 Ayat (1) Peraturan Mentri Dalam Negeri Republik Indonesi Nomor 13 Tahun 2018
Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011
Tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Angaran
Pendapatan Dan Belaanja Negara.
Oleh karena itu yang seharusnya dana hibah tersebut diperuntukan untuk Yayasan dan
Lembaga Keagamaan dengan nominal sepenuhnya yang sudah dipastikan tetapi oleh oknum
aparatur sipil negara di Kabupaten Tasikmalaya dana hibah tersebut dipotong yang
menyebabkan si penerima hibah hanya mendapatkan 10% dari nominal sepenuhnya. Dimana
si penerima hibah yang akan membangun bangunan yayasan untuk dua lantai tapi dengan
adanya potongan tersebut hanya bisa dibangun menjadi satu lantai saja. Dengan demikian
oknum aparatur sipil negara yang seharusnya dianggap mengetahui aturan terkait pemberian
hibah yang berlandaskan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat bagi rakyat namun
hal tersebut disimpangi oleh aparatur sipil negara di Kabupaten Tasikmalaya yang akan
berakibat tidak adanya rasa keadilan kepada masyarakat oleh pemerintah setempat serta
dengan adanya perbuatan tersebut tidak menciptakan kemanfaatan dan kesejahteraan bagi
rakyat yang telah diamanatkan dalam pembukaan UUDNRI Tahun 1945
Maka dari itu ASN Kabupaten Tasikmalaya yang telah berbuat korupsi terhadap perun
tukkan dana hibah yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk kebutuhan masyarakat.
Perbuatan ASN tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dihadapan hukum dan terkhusus
bagi dalang yakni sekretaris daerah Kabupaten Tasikmalaya yang karena jabatanya
menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dikenakan dakwaan 2 pasal.
Pertama, dikenakan Pasal 2 Undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011
tentang Tipikor jo. Pasal 55 dan 56 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Kedua, dikenakan
Pasal 3 Undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2011 tentang
Tipikor jo. Pasal 55 dan 56 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP
Maka untuk mengantisipasi penyelewengan terhadap dana hibah pada saat danah hibah
tersebut diberikan kepada si penerima hibah perlu adanya suatu pengawasan. Pengawasan
disini tidak boleh dianggap sebagai bagian yang terpisahkan, melainkan pengawasan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari setiap siklus anggaran, oleh karena itu
pengawasan merupakan instrumen pengendalian yang melekat pada setiap tahapan dalam
siklus anggaran. Dan pengawasan merupakan sarana untuk menghubungkan target dengan
realisasi setiap program atau kegiatan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. 6 Tujuan
utama pengawasan bukan untuk mencari kesalahan melainkan mengarahkan pelaksanaan
aktivitas agar rencana yang telah ditetapkan dapat terlaksana secara optimal.7
Dengan demikian apabila dilihat dari pengawasan menurut sifatnya, pengawasan yang
benar-benar bisa mengantisipasi terjadinya suatu tindak perbuatan seperti halnya yang
dilakukan oleh oknum aparatur sipil negara di Kabupaten Tasikmalaya ialah pengawasan
preventif, merupakan pengawasan yang dilakukan sebelum terjadinya pengeluaran dalam
rangka menghindari kebocoran dan penyelewengan yag dilakukan oleh oknum-oknum
6
Tjandra Riawan, Hukum Keuangan Negara,PT Gasindo, Jakarta, 2006, hlm. 130
7
Sutedi Adrian, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.1
aparatur sipil negara. Artinya pengawasan secara preventif dilakukan secara ketat berdasarkan
proyeksi dari rencana pengeluaran dengan metode perbandingan antara besarnya biaya yang
akan dikeluarkan dengan hasil manfaat yang diperkirakan akan diperoleh dengan
menggunakan kriteria standarisasi biaya yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi daerah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengelolaan dan penggunaan dana hibah harus dapat direalisasikan manfaatnya dalam
masyarakat. Terkait pelaksanaan pengelolaan dan penggunaan dana hibah, sering menuai
masalah dan kritik dari berbagai pihak seperti halnya kejadian yang terjadi di Kabupaten
Tasikmalaya karena ketidakjelasan mengenai arah penggunaannya. Penyalahgunaan uang
negara yang disorot salah satuhnya mengenai penyalahgunaan dana hibah dan bantuan sosial
yang bersumber dari APBD. Penyalahgunaan dalam bentuk pengalihan dana hibah dan
bantuan sosial yang disaluran tanpa disertai pertanggungjawaban yang jelas atau adanya
rekayasa dokumen terkait pencairan dana hibah dan bantuan sosial.
Meskipun ada pertanggungjawaban atas penggunaan dana bantuan sosial tersebut, akan
tetapi setelah di audit lebih lanjut ternyata penerima bantuan adalah penerima yang fiktif atau
menerima tetapi besaranya tidak sesuai dengan apa yang tertuang dalam APBD artinya
terdapat oknum-oknum yang memanfaatkan kewenanganya atau dengan kata lain atas
jabatanya sebagai aparatur sipil negara oleh karena itu yang seharusnya dana hibah tersebut
diperuntukan untuk Yayasan dan Lembaga Keagamaan dengan nominal sepenuhnya yang
sudah dipastikan tetapi oleh oknum aparatur sipil negara di Kabupaten Tasikmalaya dana hibah
tersebut dipotong yang menyebabkan si penerima hibah hanya mendapatkan 10% dari nominal
sepenuhnya. Dimana si penerima hibah yang akan membangun bangunan yayasan untuk dua
lantai tapi dengan adanya potongan tersebut hanya bisa dibangun menjadi satu lantai saja
dengan merubah dan mengurangi dana hibah yang peruntukanya sepenuhnya untuk
kemanfaatan bagi masyarakat.
Dengan demikian pemberian dana hibah dan bantuan sosial harus berpegang pada asas
keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat yang luas bagi masyarakat sehingga jauh dari
kepentingan pribadi dan kelompok serta kepentingan politik. Keberadaan dana hibah dan
bantuan sosial merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meminimalisir atau mengurangi
tingkat kemiskinan di suatu daerah. Namun hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang
dilakukan oleh ASN di Kabupatan Tasikamalaya yang melakukan penyelewengan terhadap
dana hibah yang bersumber pada APBD dan atas perbuatanya ASN harus dapat
mempertanggungjawabkan perbuatanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Oleh karena itu diperlukan suatu pengawasan yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari setiap siklus anggaran, oleh karena itu pengawasan merupakan instrumen pengendalian
yang melekat pada setiap tahapan dalam siklus anggaran dan pengawasan merupakan sarana
untuk menghubungkan target dengan realisasi setiap program atau kegiatan yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah. Tujuan utama pengawasan bukan untuk mencari kesalahan
melainkan mengarahkan pelaksanaan aktivitas agar rencana yang telah ditetapkan dapat
terlaksana secara optimal.
3.2 Saran
Burhan Adlansyah
120116254
KP A
No. : 24
2019
DAFTAR PUSTAKA
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identifikasi Beberapa
Kristian Widya Wicaksono, Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, Graha Ilmu, Yogyakarta,
2006