BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.2.4. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya yang
dipisahkan……………………………………………………………………………………..….
3.1. Kesimpulan………………………………………………………………………………...
3.2. Saran……………………………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
MAKALAH
DI SUSUN OLEH:
KLS: B/III
PRODI: AKUNTANNSI
NIM:33117105
KUPANG
T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah yang
berjudul " PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM
TERHADAP BELANJA MODAL DAN BELANJA DAERAH". Atas dukungan moral dan
materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.
Dan harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar menjadi lebih baik lagi.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah didukung pula oleh perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pembentukan
undang-undang tersebut dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahaan urusan
kepada
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya
untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum
mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Dalam
anggaran belanja modal,
Kemajuan daerah yang ada di Indonesia saat ini semakin pesat, seiring dengan
pelaksanaan pemusatan otonomi daerah, serta desentralisasi fiskal. Seperti yang dimuat dalam
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Daerah, memberikan harapan baru terhadap
tumbuhnya kesadaran untuk membangun daerah secara lebih optimal, tidak lagi terkosentrasi
dipusat. Namun dipihak lain, otonomi daerah menghadirkan kekhawatiran munculnya
“desentralisasi masalah dan desentralisasi kemiskinan”. Artinya pelimpahan masalah dan
kemiskinan yang selama ini tidak mampu ditangani dan diselesaikan dengan baik oleh
pemerintah pusat.
Tap MPR No. XV/MPR/1998 merupakan landasan hukum bagi dikeluarkannya UU No.
22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang kemudian diperbaharui dengan di
sahkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 Tahun 2004
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan
optimise tinggi dan harapan baru untuk membangun daerah secara lebih maksimal karena sudah
tidak terkonsentrasi di pusat. Sehingga kebijakan pemerintah daerah tidak lagi bersifat “given”
dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah
daerah yang mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan
aspirasi, potensi, dan sosiakultural masyarakat setempat.
Sesuai dengan Pasal 1 butir (c) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa otonomi daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan dan efisien dalam rangka pendanaan penyelengaraan desentralisasi
dengan mempertimbangan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan
Dekonsentrasi dan Pembatuan. Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan
daerah yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaran pemerintah bagi pelayanan masyarakat
dan pelaksanaan pembangunan.
Kemampuan keuangan suatu pemerintah daerah dapat diukur dengan derajat kemandirian
keuangan daerah dimana, semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukan bahwa
daerah tersebut semakin mampu untuk membiayai pengeluaranya sendiri tanpa bantuan dari
pemerintah pusat Jika dilihat menggunakan rasio desentralisasi fiskal maka akan terlihat
kontribusi Pendapat Asli Daerah (PAD) terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan. Secara
umum, semakin tinggi kontribusi PAD dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai
belanjanya sendiri menunjukan kinerja keuangan yang positif. Dalam hal ini penilaian kinerja
keuangan, kinerja keuangan yang positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah
dalam membiayai kebutuhan daerah dan mampu melaksanakan otonomi deaerah. Namun jika
pemerintah daerah merespon belanja daerahnya lebih besar menggunakan dana perimbangan
dalam hal ini Dana Alokasi Umum (DAU) dibandingkan dengan memaksimalkan potensi
daerahnya untuk meningkatan Pendapatan Asli Daeah (PAD) maka daerah tersebut mengalami
fenomena Flypaper Effect.
Selain fluktuasi dalam perkem- bangan belanja daerah, terdapat juga fenomena ketidak
berimbangan alokasi belanja pemerintah antara belanja tidak langsung dengan belanja
langsung.Kondisi seperti ini juga ditemukan diseluruh kabupaten/kota yang berada dalam
lingkungan Provinsi Jambi, baik daerah yang memiliki kemampuan fiskalrelatif rendah maupun
daerah yang kemampuan fiskalnya relative lebih tinggi.
Proporsi alokasi dana APBD untuk belanja tidak langsung ditingkat kabupaten/kota jauh
lebih besar bila dibandingkan dengan APBD pemerintah provinsi. Konsekuensinya optimalisasi
pemanfaatan berbagai potensi sumber daya yang dimiliki daerah sulit dicapai. Proporsi
pengalokasian belanja langsung yang relatif kecil berimplikasi pada rendahnya efektivitas APBD
dalam mengimplementasikan berbagai program pembangunan yang berorientasi pada perluasan
kesempatan kerja, percepatan pertumbuhan ekonomi daerah, peningkat-an pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat serta pengendalian tingkat kemiskinan absolut dan relatif.
Perkembangan dan alokasi belanja daerah ditentukan oleh penerimaan daerah yang
bersangkutan.Pembiayaan penyelenggaran pemerintahan berdasar-kan asas desentralisasi di
lakukan atas beban APBD. Dalam rangka penyeleng-garaan pemerintahan danpelayanankepada
masyarakat berdasarkan asasdesentralisasi, kepada daerah diberi kewenangan untuk memungut
pajak/retribusi dan mengelola Sumber DayaAlam. Sumber dana bagi daerah terdiridari
Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan daerah.
1.2.Perumusan Masalah
1. Penjelasan tentang DAU, PAD dan Belanja Daerah.
2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap Belanja Daerah
3. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap Belanja Daerah
4. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh
terhadap Belanja Daerah
5. Hubungan antara PAD dengan Belanja Daerah
6. Hubungan antara DAU dengan Belanja Daerah
1.3.Tujuan
1. Untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang DAU,PAD, daan Belanja Daerah
2. Untuk menhetahui apakah DAU berpengaruh terhadap Belanja Daerah
3. Untuk mengetahui apakah PAD berpengaruh terhadap Belanja Daerah
4. Untuk mengetahui apakah DAU dan PAD berpengaruh terhadap Belamja Daerah
5. Untuk mengetahui Apa Hubungan antara PAD dengan Belanja Daerah
6. Untuk mengetahui apa Hubungan antara DAU dengan Belanja Daerah
BAB II
PEMBAHASAN
Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan asset tetap dan aset
lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi (Halim 2007). Menurut
Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Anggaran, Belanja modal
merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah
aset tetap dam aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta
melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Aset tetap yang dimiliki pemerintah daerah sebagai akibat adanya belanja modal
merupakan syarat utama dalam memberikan pelayanan publik. Pemerintah daerah
mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset
tetap. Setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintah daerah sesuai dengan prioritas
anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara financial
(Ardhani 2011).
Sedangkan menurut PSAP Nomor 2, Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk
perolehan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Selanjutnya pada pasal 53 ayat 2 Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 ditentukan bahwa nilai
asset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun asset
ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan asset sampai asset
tersebut siap digunakan. Kemudian pada pasal 53 ayat 4 Permendagri Nomor 59 Tahun 2007
disebutkan bahwa Kepala Daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi sebagai dasar
pembebanan belanja modal selain memenuhi batas minimal juga pengeluaran anggaran untuk
belanja barang tersebut harus member manfaat lebih satu periode akuntansi bersifat tidak rutin.
Ketentuan hal ini sejalan dengan PP 24 Tahun 2004 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
khususnya PSAP No 7, yang mengatur tentang akuntansi asset tetap.
Aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama
dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah
mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset
tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana,
baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya
setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintah daerah sesuai dengan prioritas
anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara financial
(Halim & Abdullah 2006).
Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah yaitu
peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk
memperoleh aset tetap tersebut yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap
lain dan membeli. Namun biasanya cara yang dilakukan dalam pemerintahan adalah dengan cara
membeli. Proses pembelian yang dilakukan umumnya melalui sebuah proses lelang atau tender
yang cukup rumit (Yovita 2011).
Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran daerah adalah
semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi
kekayaan pemerintah daerah. Sedangkan menurut Abdul Halim (2002) yang mengemukakan
bahwa Belanja daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi
dalam bentuk arus kas keluar atau deplesi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan
berkurangnya ekuitas dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekiutas
dana.
Belanja Daerah merupakan semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun berjalan
yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah. Belanja Daerah (BD) diukur menggunakan skala
nominal dengan satuan rupiah dan pada penelitian ini nilai Belanja Daerah (BD) dapat diketahui
dari Laporan Realisasi APBD Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur
dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012. Dimana rumus untuk menghitung Belanja Daerah
(BD) yaitu : Belanja Daerah (BD) = Belanja Langsung + Belanja Tidak Langsung
Proses penyusunan APBD secara keseluruhan berada di tangan Sekretraris Daerah yang
bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan penyusunan APBD. Sedangkan proses
penyusunan belanja rutin disusun oleh Bagian Keuangan Pemerintah Daerah, proses penyusunan
penerimaan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dan proses penyusunan belanja
pembangunan disusun oleh Bappeda (Dedy Haryadi et al, 2001 dalam Pratiwi, 2007).
Belanja Daerah dapat dikategorikan menurut karakteristiknya menjadi dua bagian, yaitu:
(1) Belanja selain modal (Belanja administrasi umum; Belanja operasi, pemeliharaan sarana dan
prasarana publik; Belanja transfer; Belanja tak terduga). (2) Belanja modal. Secara umum belanja
dalam APBD dikelompokan menjadi lima kelompok (Pambudi,2007), yaitu:
1. pegawai (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan prasarana Publik)
merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk orang/peronal yang berhubugan
langsung dengan suatu aktivitas atau dengan kata lain merupakan belanja pegawai
yang bersifat variabel.
2. Belanja barang (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan prasarana
Publik)
merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk penyediaan barang dan jasa yang
berhubungan langsung dengan pelayanan publik.
3. Belanja perjalanan Belanja (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan
prasarana Publik) merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk biaya perjalanan
pegawai yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik.
4. Belanja pemeliharaan (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan
prasarana Publik) merupukan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk pemeliharaan
barang daerah yang mempunyai hubugan langsung dengan pelayanan publik.
c. Belanja modal
merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun
anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan
menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan. Belanja
modal dibagi menjadi:
1. Belanja publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh
masyarakat umum.
2. Belanja aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh
masyarakat, tetapi dirasakan langsung oleh aparatur.
d. Belanja transfer
merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga tanpa
adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan maupun keuntungan dari
pengalihan uang tersebut. Kelompok belanja ini terdiri atas pembayaran:
a. Angsuran pinjaman.
b. Dana bantuan.
c. Dana cadangan.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Permendagri RI) Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Belanja Daerah adalah semua
pengeluaran dari kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana. Belanja Daerah merupakan
kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kemabali
oleh daerah.
Pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja daerah secara adil dan merata agar
secara umum dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa terkecuali dan tanpa
adanya diskriminasi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain dalam tahun
anggaran yang bersangkutan. Makna pengeluaran belanja berbeda dengan pengeluaran
pembiayaan. Pemerintah daerah tidak akan mendapatkan pembayaran kembali atas pengeluaran
belanja yang terjadi, baik pada tahun anggaran berjalan maupun tahun anggaran berikutnya.
Sedangkan pengeluaran pembiayaan merupakan pengeluaran yang akan diterima kembali
pembayarannya pada tahun anggaran berjalan atau pada tahun anggaran berikutnya.
Pada dasarnya baik Belanja Daerah maupun Pembiayaan Baerah merupakan acuan bagi
pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan serta memberikan pelaynanan publik yang baik
yang pada akhirnya akan memberikan dampak peningkatan kesejahteraan terhadap masyarakat
luas di daerah tersebut.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan
urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Sejak dilaksanakannya
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, anggaran belanja daerah,
dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan yang cukup signifikan, baik dari segi cakupan jenis
dana yang didaerahkan, maupun dari besaran alokasi dana yang didaerahkan. Belanja menurut
ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi, Belanja Modal dan
Belanja Lain-Lain tak terduga :
1. Belanja Operasi
adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah dalam rangka
menyelenggarakan operasional pemerintah.
2. Belanja Modal
adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang
modal.
3. Belanja lain-lain/tak terduga
adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak
diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial dan
pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan
kewenangan pemerintah pusat/daerah.
Selanjutnya, kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri
dari :
(a) belanja pegawai;
(b) belanja bunga;
(c) belanja subsidi;
(d) belanja hibah;
(e) belanja bantuan sosial;
(f) belanja bagi basil;
(g) bantuan keuangan; dan
(h) belanja tidak terduga.
f. Belanja Modal
Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal
dalam APBD untuk menambah aset tetap. Selama ini belanja daerah lebih banyak
digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap
Pengalokasian Belanja Modal pada pemerintah provinsi se Indonesia baik secara simultan
maupun parsial.
Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Provinsi se-Indonesia yang
terdiri dari 33 Provinsi Tahun 2012. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang
berupa Laporan Realisasi APBD Pemerintah Provinsi se-Indonesia tahun 2012. Pengujian
hipotesis dalam penelitian ini menggunakan regresi linier berganda dengan uji t, uji F,
dan koefisien determinasi. Data yang telah dikumpulkan dianalisis terlebih dahulu
dengan pengujian asumsi klasik kemudian dilakukan pengujian hipotesis dengan alat uji
SPSS 16.0.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara parsial variabel
DAU dengan arah negatif, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap belanja
modal. Sedangkan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Secara
simultan variabel PAD, DAU, DAK, dan DBHberpengaruh signifikan terhadap belanja
modal.
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah melihat adanya fenomena
yang berbeda dari pengaruh DAU yang secara langsung bertanda negatif terhadap belanja
modal, sebaiknya pemerintah daerah lebih memperhatikan proporsi DAU yang di
alokasikan ke anggaran belanja modal,
Pendapatan ini merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi
asli daerah (Halim 2007). Pendapatan Daerah sesuai UU No.33 22 Tahun 2004 Pasal 1 adalah
hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode
tahun bersangkutan. Sesuai dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan daerah pasal 6 bahwa Sumber Pendapatan Asli Daerah adalah
sebagai berikut :
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan akumulasi dari pos Penerimaan
Pajak yan berisi Pajak Daerah dan pos Retribusi Daerah, penerimaan Non Pajak yang merupakan
hasil perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan Investasi serta pengelolaan Sumber Daya Alam.
Kendala yang terjadi saat ini dimana pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah
adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Proporsi
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kecil terhadap belanja daerah mengakibatkan kemampuan
pemerintah daerah dalam mengelolah daerahnya menjadi terbatas. Sehingga sebagian besar
pembiayaan baik yang bersifat belanja opersional maupun belanja modal, dibiayai dari dana
perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum (DAU). Memaksimalkan potensi daerah dengan
penigkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan mengurangi ketergantungan
pembiayaan pembangunan derah terhadap dana perimbangan itu sendiri.
Kendala utama yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah
adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan 17 Asli Daerah (PAD). Proporsi
Pendapatan Asli Daerah yang rendah, di lain pihak menyebabkan Pemerintah Daerah memiliki
derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik
rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum.
Alternatif jangka pendek peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah adalah menggali dari
Pendapatan Asli Daerah (Pratiwi, 2007).
Wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi
daerah yang dapat digunakan sendiri sesuai dengan potensi daerah. Kewenangan daerah untuk
memungut pajak dan retribusi diatur dalam Undang-undang No.34 Tahun 2000 ditindaklanjuti
dengan peraturan pelaksanaan dalam PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66
Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan daerah diberikan kewenangan
untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi (Halim, 2009). Menurut Brahmantio
(2002) pungutan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dalam jangka pendek dapat
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, namun dalam jangka panjang dapat menurunkan
kegiatan perekonomian, yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya Pendapatan Asli
Daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari
sumber ekonomi asli daerah. Adapun kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi
empat jenis pendapatan, yaitu (Halim, 2002):
1). Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak.
2). Retribusi Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi daerah.
Dalam struktur APBD baru dengan pendekatan kinerja, jenis pendapatan yang berasal
dari pajak daerah dan restribusi daerah berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Rertibusi Daerah, dirinci menjadi:
a. Pajak Provinsi.
Pajak ini terdiri atas: (i) Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (ii) Bea
balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dan kendaraan di atas air, (iii) Pajak bahan
bakar kendaran bermotor, dan (iv) Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah
tanah dan air permukaan.
b. Jenis pajak Kabupaten/kota.
Pajak ini terdiri atas: (i) Pajak Hotel, (ii) Pajak Restoran, (iii) Pajak Hiburan, (iv)
Pajak Reklame, (v) Pajak penerangan Jalan, (vi) Pajak pegambilan Bahan Galian
Golongan C, (vii) Pajak Parkir.
c. Retribusi. Retribusi ini dirinci menjadi: (i) Retribusi Jasa Umum, (ii) Retribusi Jasa
Usaha, (iii) Retribusi Perijinan Tertentu
3). Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang
dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik
daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.Jenis pendapatan ini meliputi
objek pendapatan berikut:
a. Bagian laba perusahaan milik daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga dapat menunjukkan tingkat kemandirian suatu
daerah. Semakin tinggi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimiliki oleh suatu daerah maka
semakin memungkinkan daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya sendiri, tanpa
harus bergantung dengan dana perimbangan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Hal ini berarti
bahwa pemerintah daerah tersebut telah mampu untuk mandiri dalam menjalankan pemerintahan
, begitu pula jika sebaliknya. Penurunan kegiatan ekonomi di suatu daerah menyebabkan
penurunan penerimaan PAD sehingga pada akhirnya dapat menghambat pelaksanaan kegiatan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Begitu pula
sebaliknya peningkatan kegiatan ekonomi di suatu daerah menyebabkan pningkatan penerimaan
PAD sehingga pelaksanaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik oleh
pemerintah daerah dapat dilaksanakan dengan baik.
Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah,
retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
merupakan salah satu komponen sumber pendapatan daerah sebagaimana yang telah diatur
dalam pasal 79 undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, berdasarkan
pasal 79 UU 22/1999 disimpulkan bahwa sesuatu yang diperoleh pemerintah daerah yang dapat
diukur denga uang karena kewenangan (otoritas) yang diberikan masyarakat dapat berupa hasil
pajak daerah dan retribusi daerah. Sumber pendapatan daerah terdiri dari hasil pajak daerah dan
hasil retribusi daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari
sumber ekonomi asli daerah itu sendiri. Sumber-sumber pendapatan asli daerah yang selanjutnya
disebut PAD, yaitu (UUNo.32/2004) :
Menurut UU No. 28/2009, Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau dibrtikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
Hasil dari kegiatan opersional Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Perusahaan milik
daerah (Perusda) dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Perusahaan daerah adalah semua perusahaan yang didirikan seluruhnya atau sebagian modalnya
menggunakan modal daerah. Tujuannya adalah dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan
mendorong pertumbuhan perekonomian daerah serta merupakan cara yang efisien dalam
melayani masyarakat dan menghasilkan pendapatan daerah. Bagian keuntungan atau laba usaha
daerah adalah keuntungan yang menjadi hak pemerintah daerah melalui perusahaan milik daerah.
Adapun jenis-jenis pendapatan dirinci menurut objek pendapatan yang mencangkup (UU
No.33/2004) :
Menurut Bastian (2002) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah Pendapatan Asli Daerah
yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah
dan lain-lain Pendapatan Yang Sah. Pendapatan Asli Daerah dalam penelitian ini dapat diketahui
dari pos belanja daerah dalam Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah dari tahun 2007 sampai dengan 2009. Rumus untuk menghitung Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yaitu:
Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat
dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai
dengan kebutuhannya gunamemperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dan
pemerintah tingkat atas (subsidi). Dengan demikian usaha peningkatan Pendapatan Asli Daerah
seharusnya dilihat dari perspektif yang lebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-
masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia.
Pendapatan Asli Daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh
tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan
oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh karena itu, peningkatan pendapatan tersebut
merupakan hal yang dikehendaki setiap daerah. Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan
akumulasi dari Pos Penerimaan Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
Penerimaan Bukan Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan Investasi
serta Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. (Bastian, 2002)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari
sumber ekonomi asli daerah. Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti,
menentukan dan menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah
dengan cara meneliti dan mengusahakan dan mengelola sumber pendapatan tersebut dengan
benar sehingga memberikan hasil yang maksimal. (Maimunah, 2006) Dalam upaya memperbesar
peran pemerintah daerah dalam pembangunan, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri
dalam membiayai kegiatan operasional rumah tangganya. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat
bahwa pendapatan daerah tidak dapat dipisahkan dengan Belanja Daerah, karena adanya saling
terkait dan merupakan satu alokasi anggaran yang disusun dan dibuat untuk melancarkan roda
pemerintahan daerah (Rozali, 2002).
1. Pajak Daerah
Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah disamping retribusi daerah.
Pengertia pajak secara umum telah diajukan oleh para ahli, Rochmad Sumitro (1998), Pajak
daerah adalah pajak yang dipungut oleh daerah-daerah swatantra, seperti Provinsi, Kotapraja,
Kabupaten, dan sebagainya. Sedangkan Siagian (1990), Pajak negara yang diserahkan kepada
daerah dan dinyatakan sebagai pajak daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
dipergunakan untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik.
Hasil pajak daerah yaitu pungutan daerah menurut peraturan yang ditetapkan oleh daerah untuk
pembiayaan rumah tangganya sebagai badan hukum publik. Pajak daerah sebagai pungutan yang
dilakukan pemerintah daerah yang hasilnya digunakan untuk pengeluaran umum yang balas
jasanya tidak langsung diberikan sedang pelaksanaanya bisa langsung dipaksakan. Dengan
demikian ciri-ciri yang menyertai pajak daerah dapat diikhtisarkan seperti berikut:
1. Pajak daerah berasal dan pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah.
3. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undangundang dan/atau peraturan
hukum Lainnya
Tarif pajak untuk daerah Tingkat I diatur dengan peraturan pemerintah dan penetapannya
seragam diseluruh Indonesia. Sedang untuk daerah Tingkat II, selanjutnya ditetapkan oleh
peraturan daerah masing-masing dan peraturan daerah tentang pajak tidak dapat berlaku surut.
Memperhatikan sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana tersebut diatas, terlihat sangat
bervariasi. (UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi).
yaitu pungutan yang telah secara sah menjadi pungutan daerah sebagai pembayaran
pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik pemerintah daerah yang
bersangkutan. Retribusi daerah mempuyai sifatsifat yaitu pelaksanaanya besrifat ekonomis, ada
imbalan langsung walau harus memenuhi persyaratan-persyaratan formil maupun materiil, tetapi
ada alternatif untuk mau tidak membayar, merupakan pungutan yang sifatnya budgetatinya tidak
menonjol, dalam hal-hal tertentu retribusi daerah adalah pengembalian biaya yang telah
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat.
3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
Hasil perusahaan milik daerah merupakan pendapatan daerah dari keuntungan bersih
perusahaan daerah yang berupa dana pembangunan daerah dan bagian untuk anggaran belanja
daerah yang disetor ke kas daerah, baik perusahaan derah yang dipisahkan, sesuai dengan motif
pendirian dan pengelolaan maka sifat perubahan daerah adalah suatu kesatuan produksi yang
bersifat menambah pendapatan daerah memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum dan
memperkembengkan perekonomian daerah.
Lain-lain pendapatan yang sah ialah pendapatanpendapatan yang tidak termasuk dalam
jenis-jenis pajak daerah, restibusi daerah, pendapatan dinasdinas. Lain-lain usaha daerah yang
sah mempunyai sifat pembuka bagi pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan yang
menghasilkan baik berupa materi dalam kegiatan tersebut bertujuan untuk menunjang,
melapangkan, dan memantapkan suatu kebijakan daerah disuatu bidang tertentu.
Fungsi Pendapatan Asli Daerah Salah satu pendapatan daerah adalah berasal dari
pendapatan asli daerah. Dana-dana yang bersumber dari pendapatan asli daerah tersebut
merupakan salah satu faktor penunjang dalam melaksanakan kewajiban daerah untuk membiayai
belanja daerah. Dan juga merupakan alat untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas
daerah guna menunjang pelaksanaan pembangunan daerah. Serta untuk mengatur dan
meningkatkan kondisi sosial ekonomi pemakai jasa tersebut. Tentu dalam hal ini tidak terlepas
dari adanya badan yang menangani atau yang diberi tugas untuk mengatur hal tersebut
Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai
pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah
kepada masyarakat. Selain pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah yang cukup besar
peranannya dalam menyumbang pada terbentuknya pendapatan asli daerah adalah retribusi
daerah.
Menurut UndangUndang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
yang dimaksud dengan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh PEMDA oleh
kepentingan orang pribadi atau badan, jadi dalam hal retribusi daerah balas jasa dengan adanya
retribusi daerah tersebut dapat langsung ditunjuk. Misalnya retribusi jalan, karena kendaraan
tertentu memang melewati jalan di mana retribusi jalan itu dipungut, retribusi pasar dibayar
karena ada pemakaian ruangan pasar tertentu oleh si pembayar retribusi.
Tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis
pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah,
maka semakin kecil tariff retribusi yang dikenakan, jadi sesungguhnya dalam hal pemungutan
iuran retribusi itu dianut asas manfaat (benefit principles).
Berdasarkan asas ini besarnyapungutan ditentukan berdasarkan manfaat yang diterima
oleh si penerima manfaat yang dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, namun yang
menjadi persoalannya adalah dalam menentukan berapa besar manfaat yang diterima oleh orang
yang membayar retribusi tersebut dan menentukan berapa besar pungutan yang harus dibayarnya
(Yovita 2011). Retribusi ini merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi.
Terkait dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 untuk provinsi jenis pendapatan ini meliputi
objek pendapatan berikut : Retribusi pelayanan kesehatan, Retribusi pemakaian kekayaan daerah,
Retribusi penggantian biaya cetak peta, Retribusi pengujian kapal perikanan (Halim 2007).
Selanjutnya, jenis pendapatan retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan
berikut : Retribusi pelayanan kesehatan, Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, Retribusi
penggantian biaya cetak KTP, Retribusi penggantian biaya cetak akte catatan sipil, Retribusi
pelayanan pemakaman, Retribusi pelayanan pengabuan mayat, Retribusi pelayanan parkir di tepi
jalan umum, Retribusi pelayanan pasar, Retribusi pengujian kendaraan bermotor, Retribusi
pemeriksaan alat pemadam kebakaran, Retribusi penggantian biaya cetak peta, Retribusi
pengujian kapal perikanan, Retribusi pemakaian kekayaan daerah, Retribusi jasa usaha pasar
grosir atau pertokoan, Retribusi jasa usaha tempat pelelangan, Retribusi jasa usaha terminal,
Retribusi jasa usaha tempat khusus parkir, Retribusi jasa usaha tempat
penginapan/pengsagrahan/vila, Retribusi jasa usaha penyodotan kakus, Retribusi rumah potong
hewan, Retribusi jasa usaha pelayanan pelabuhan kapal, Retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan
olah raga, Retribusi jasa usaha penyebrangan diatas air, Retribusi jasa usaha penjualan produksi
usaha daerah, Retribusi izin mendirikan bangunan, Retribusi izin tempat penjualan minuman
berakholol, Retribusi izin gangguan, Retribusi izin trayek (Halim 2007).
2.2.4. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah
lainnya yang dipisahkan
Penerimaan PAD lainnya yang menduduki peran penting setelah pajak daerah dan
retribusi daerah adalah bagian Pemerintah Daerah atas laba BUMD. Tujuan didirikannya BUMD
adalah dalam rangka menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi
daerah. Selain itu, BUMD merupakan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan
merupakan salah satu sumber pendapatan daerah. Jenis pendapatan yang termasuk hasil-hasil
pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain laba, dividen, dan penjualan
saham milik daerah (Yovita 2011).
Kekayaan daerah yang dipisahkan berarti kekayaan daerah yang dilepaskan dan
penguasaan umum yang dipertanggung jawabkan melalui anggaran belanja daerah dan
dimaksudkan untuk dikuasai dan dipertanggungjawabkan sendiri, dalam hal ini hasil laba
perusahaan daerah merupakan salah satu daripada pendapatan daerah yang modalnya untuk
seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, maka sewajarnya
daerah dapat pula mendirikan perusahaan yang khusus dimaksudkan untuk menambah
penghasilan daerah disamping tujuan utama untuk mempertinggi produksi, yang kesemua
kegiatan usahanya dititkberatkan kearah pembangunan daerah khususnya dan pembangunan
ekonomi nasional umumnya serta ketentraman dan kesenangan kerja dalam perusahaan menuju
masyarakat adil dan makmur.
Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu pengelolaan perusahaan haruslah bersifat
professional dan harus tetap berpegang pada prinsip ekonomi secara umum, yakni efisiensi
(Penjelasan atas UU No.5 Tahun 1962). Berdasarkan ketentuan di atas maka walaupun
perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan
kontribusinya bagi pendapatan daerah, tapi sifat utama dan perusahaan daerah bukanlah
berorientasi pada profit (keuntungan), akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan
kemanfaatan umum, atau dengan perkataan lain, perusahaan daerah menjalankan fungsi ganda
yang harus tetap terjainin keseimbangannya, yakni fungsi sosial dan fungsi ekonomi (Damang
2011).
Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa perusahaan daerah tidakdapat
memberikan kontribusi maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah. Pemenuhan fungsi sosial
oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk mendapat keuntungan yang memungkinkan
perusahaan daerah dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah, bukanlah dua pilihan
dikotomis yang saling bertolak belakang. Artinya bahwa pemenuhan fungsi sosial perusahaan
daerah dapat berjalan seiring dengan pemenuhan fungsi ekonominya sebagal badan ekonomi
yang bertujuan untuk mendapatkan laba/keuntungan. Hal ini dapat berjalan apabila
profesionalisme dalam pengelolaannya dapat diwujudkan (Josef 2005 dalam Damang 2011).
Hasil usaha daerah lain dan sah adalah Pendapatan Asli daerah (PAD) yang tidak
termasuk kategori pajak, retribusi dan perusahaan daerah (BUMD). Lain-lain pendapatan asli
daerah yang sah, antara lain hasil penjualan aset tetap daerah dan jasa giro (Yovita 2011). Pasal
79 UU 22/1999 mengisyaratkan bahwa dalam penyelenggaraan fungsi-funsi pemerintahan
daerah, kepala daerah Kabupaten/Kota, dengan kata lain, diharapkan kepada kepala daerah
Kabupaten/Kota didalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah
tidak terus menerus selalu menggantungkan dana (anggaran) dari pusat melalui pembangian dana
perimbangan.
Administrasi keuangan daerah PAD adalah pendapatan daerah yang diurus dan
diusahakan sendiri oleh daerah yang dimaksud sebagai sumber PAD guna pembangunan.
Berdasarkan ketentuan maka PAD dapat disimpulkan bahwa PAD merupakan sumber
pendekatan daerah dengan mengelola dan memanfaatkan potensial daerahnya dan dalam
mengelola, mengolah dan memanfaatkan potensi daerah, PAD dapat berupa pemungutan pajak,
retribusi dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Salah satu pendapatan daerah adalah berasal dari pendapatan asli daerah. Dana-dana yang
bersumber dari pendapatan asli daerah tersebut merupakan salah satu faktor penunjang dalam
melaksanakan kewajiban daerah untuk membiayai belanja rutin serta biaya pembangunan
daerah, dan juga merupakan alat untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas daerah
guna menunjang pelaksanaan pembangunan daerah, serta untuk mengatur dan meningkatkan
kondisi sosial ekonomi pemakai jasa tersebut.
Tentu dalam hal ini tidak terlepas dari adanya badan yang menangani atau yang diberi
tugas untuk mengatur hal tersebut (Yovita 2011). Sumber keuangan yang berasal dari
pendapatan asli daerah didalam pelaksanaan otonomi daerah lebih penting dibandingkan dengan
sumber-sumber diluar pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan
sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD)
sifatnya lebih terikat.
Adanya penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan pemerintah
daerah juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam penyelenggaraan urusan daerah
(Mamesa 1995 dalam Damang 2011). Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat
dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai
dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dan
pemerintah tingkat atas (subsidi). Hal ini berarti usaha peningkatan pendapatan asli daerah
seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-
masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia.
Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh
tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan
oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut
merupakan hal yang dikehendaki setiap daerah (Mamesa 1995 dalam Damang 2011).
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana transfer yang bersifat umum dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah untuk mengantisipasi ketimpangan horizontal(Horizontal
Imbalance)dengan tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Daerah yang
mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif tinggi,
sedangkan daerah dengan kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang
relatif kecil. Pengukuran variabel Dana Alokasi Umum (DAU) menggunakan skala nominal
dengan satuan rupiah diperoleh dengan melihat nilai Dana Alokasi Umum (DAU) pada bagian
dana perimbangan yang ada di Laporan Realisasi Anggaran dan Pendapatan BelanjaDaerah
(APBD)
Pemerintah pusat dalam memberikan bantuan dana dalam bentuk dana perimbangan
(grant) kepada pemerintah daerah bertujuan untuk :
c. Untuk meningkatkan sistem pajak yang lebih progresif. Pajak daerah cenderung kurang
progresif, membebani tarif pajak yang tinggi kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan
pembelanjaan dalam pelaksanaan desentralisasi. Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil
berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Alokasi Dana Alokasi Umum bagi daerah
yang potensi fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi Dana
Alokasi Umum yang relatif kecil. Sebaliknya daerah yang memiliki potensi fiskalnya kecil
namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi Dana alokasi Umum relatif besar.
Dengan maksud melihat kemampuan APBD dalam membiayai .kebutuhan-kebutuhan daerah
dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi
dengan belanja pegawai (Halim, 2009).
Menurut Halim (2009) ketimpangan ekonomi antara satu Provinsi dengan lain tidak dapat
dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal. Disebabkan oleh minimnya sumber pajak dan
Sumber Daya Alam yang kurang dapat digali oleh Pemerintah Daerah. Untuk menanggulangi
ketimpangan tersebut, Pemerintah Pusat berinisiatif untuk memberikan subsidi berupa DAU
kepada daerah. Bagi daerah yang tingkat kemiskinanya lebih tinggi, akan diberikan DAU lebih
besar dibanding daerah yang kaya dan begitu juga sebaliknya. Selain itu untuk mengurangi
ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penugasaan pajak antara pusat dan daerah telah
diatasi dengan 20 adanya kebijakan bagi hasil dan Dana Alokasi Umum minimal sebesar 26%
dari Penerimaan Dalam Negeri. Dana Alokasi Umum akan memberikan kepastian bagi daerah
dalam memperoleh sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi
tanggung jawab masing-masing daerah.
• Dana Alokasi Umum (DAU), untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan
masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan diatas.
Ada beberapa kriteria dalam pemberian Dana Alokasi Umum selain berdasarkan
perhitungan celah fiskal diatas juga berdasarkan alokasi dasar. Alokasi dasar merupakan total
gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) termasuk kenaikan gaji pokok dan gaji ke-13 serta gaji
CPNSD. Dimana besaran Dana Alokasi umum yang diberikan berdsarkan kriteria tersebut adalah
1. Jika celah fiskal > 0, maka: DAU = Alokasi dasar + celah fiscal
2. Jika celah fiskal = 0, maka: DAU = Alokasi dasar
3. Jika celah fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya negatif lebih kecil dari alokasi dasar,
maka: DAU = Alokasi dasar
4. Jika celah fiskal < 0 (atau negatif) dan nilainya sama atau lebih besar dari alokasi
dasar, maka: DAU = 0
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa tidak semua daerah baik Provinsi maupun
Kabupaten dan Kota akan mendapatkan Dana Alokasi Umum. Namun Dana Alokasi Umum
hanya akan diberikan bagi daerah-daerah yang memang memenuhi kriteria-kriteria tersebut agar
tujuan utama dari pemberian DAU yaitu sebagai faktor pemerataan fiskal betul-betul terwujud,
serta bagi daerah yang secara kriteria mampu untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan tanpa
adanya dana transfer yang berupa DAU betul-betul memaksimalkan potensi daerahnya untuk
membiayai pengeluaran daerahnya.
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) memberikan pertimbangan atas
rancangan kebijakan formula dan perhitungan DAU kepada Presiden sebelum penyampaian Nota
Keuangan dan RAPBN tahun anggaran berikutnya. Menteri Keuangan kemudian melakukan
perumusan formula dan penghitungan alokasi DAU dengan memperhatikan pertimbangan
DPOD dimaksud. Formula dan perhitungan DAU disampaikan oleh Menteri Keuangan sebagai
bahan penyusunan RAPBN. DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang
terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal
dan kapasitas fiscal
Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah,
Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, danIndeks
Pembangunan Manusia. Sedangkan kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah
dan Dana Bagi Hasil. Alokasi dasar dihitun Data yang digunakan dalam penghitungan. DAU
diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang
menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal data dimaksud tidak tersedia,
maka data yang digunakan adalah data dasar penghitungan DAU tahun sebelumnya. DAU atas
dasar celah fiskal untuk suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang
bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi. Bobot provinsi merupakan perbandingan
antara celah fiskal provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh provinsi.
DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian
bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh kabupaten/kota. Bobot
kabupaten/kota merupakan perbandingan antara celah fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan
dan total celah fiskal seluruh kabupaten/kota. Kebutuhan fiskal daerah dihitung berdasarkan
perkalian antara total belanja daerah rata-rata dengan penjumlahan dari perkalian masing-masing
bobot variabel dengan indeks jumlah penduduk, indeks luas wilayah, Indeks Kemahalan
Konstruksi, Indeks Pembangunan Manusia, dan indeks Produk Domestik Regional Bruto per
kapitag berdasarkan jumlahgaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kapasitas fiskal daerah merupakan
penjumlahan dari Pendapatan Asli Daerah dan DBH
Kondisi penerimaan DAU berdasarkan nilai celah fiskal:
1. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal lebih besar dari 0, menerima DAU sebesar
alokasi dasar ditambah celah fiskal.
2. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan 0, menerima DAU sebesar
alokasi dasar.
3. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil
dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan nilai
celah fiskal.
4. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau
lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima DAU.
Tujuan transfer DAU adalah sebagai pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk
mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Secara Umum
DAU terdiri dari:
Ada beberapa prinsip yang dipertimbangkan agar DAU menjadi efektif dan sesuai dengan
tujuannya antara lain:
3. besarnya DAU paling tidak sama dengan besarnya bantuan SDO dan Inpres
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan
pembelanjaan. Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut:
2. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk Kabupaten/Kota
ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum sebagaimana
ditetapkan diatas.
3. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan
berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota yang
ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Permasalahan Dana Alokasi Umum terletak pada perbedaan cara pandang antara pusat
dan daerah tentang Dana Alokasi Umum. Bagi pusat, Dana Alokasi Umum dijadikan instrument
horizontal imbalance untuk pemerataan atau mengisi fiscal gap. Bagi daerah, Dana Alokasi
Umum dimaksudkan untuk mendukung kecukupan. Permasalahan timbul ketika daerah meminta
Dana Alokasi Umum sesuai kebutuhannya. Di sisi lain, alokasi Dana Alokasi Umum
berdasarkan kebutuhan daerah belum bisa dilakukan karena dasar perhitungan fiscal needs tidak
memadai (terbatasnya data, belum ada standar pelayanan minimum masing-masing daerah, dan
sistem penganggaran yang belum berdasarkan pada standar analisis belanja). Ditambah total
pengeluaran anggaran khususnya APBD belum mencerminkan kebutuhan sesungguhnya dan
cenderung tidak efisien.
Penggunaan DAU diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan
daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah. DAU memberikan pendapatan dalam jumlah besar untuk sebagian besar pemerintah
daerah. Jumlah aktual transfer DAU diatur sesuai dengan beberapa kriteria, termasuk jumlah
penduduk, luas wilayah, angka indeks pembangunan SDM, kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal
(dihitung terutama berdasarkan gaji pegawai negeri sipil).
Dengan adanya DAU diharapkan perbedaan kemampuan keuangan antar daerah yang
maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Sebagaimana diketahui dana bagi
hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah, dimana
daerah yang memiliki potensi pajak dan SDA yang besar akan mempunyai kapasitas fiskal yang
relative besar dibandingkan daerah lain. Jika suatu daerah sudah menerima transfer dana alokasi
umum dari pemerintah pusat, diwajibkan pemerintah daerah dapat mengelolanya dengan baik,
karena hal ini berdapak pada perkembangan pembangunan dan kemajuan daerah tersebut. Dan
sebaliknya jika pemerintah daerah tidak bisa memaksimalkan dana tersebut maka masyarkat lah
yang dirugikan.
Sumber penerimaan daerah dalam konteks otonomi dan desentralisasi untuk saat ini
masih didominasi oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusar baik dalam bentuk DAU,
Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagi hasil. Sedangkan porsi DAK masik relative kecil. Secara
rata-rata nasional, PAD hanya memberikan kontribusi 12-15% dari total penerimaan daeraah,
sedangkan yang kurang lebih 70% masih menggantungkan sumbangan dari bantuan pemerintah
pusat. Dikalangan pemerintah daerah sendiri masih terdapat anggapan terhadap PAD, pemerintah
daerah bebas menggunakannya untuk kepentingan daerah, sedangkan dana perimbangan
penggunaannya perlu menunggu petunjuk dan arahan dari pusat. Yang harus dipahami adalah
kewenangn yang dimiliki daerah tidak sebatas dalam menggunakan PAD-nya saja, akan tetapi
juga kewenangan dalam menggunakan dana perimbangan.
Sangat dipahami sekali bahwa, DAU untuk beberapa daerah akan berimbas pada
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional di daerah tersebut dan pada akhirnya akan
mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Jika pengelolaan DAU tidak baik bahkan jika
dihapuskan dari pemerintah pusat maka akan berimbas negative terhadap stabilitas keuangan
daerah, stabilitas keuangan daerah yang terganggu ini akan berimbas pada pelaksanaan program-
program pemerintah daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat yang akan
terganggu pula. Imbas lain adalah terganggunya program-program pemerintah daerah yang
bertujuan utnuk meningkatkan pelayanan public atau insfrastruktur yang dapat menjadi pemacu
pertumbuhan ekonomi ragional maupun ekonomi naasional. Oleh karena itu, DAU memegang
peranan yang sangat dominan dibandingkan sumber dana lainnya, seperti DAK maupun dana
perimbangan. Untuk itu diharapkan DAU dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk
meningkatkan pelayana pada masyarakat sebagai tujuan dari desentralisasi yaitu mempercepat
pembangunan dan pemerataan hasil pembangunan, disamping tetap memaksimalkan potensi
daerah untuk pembiayaan kebutuhan daerah.
2.3.1. Prinsip Dasar Alokasi DAU
Ririn (2011) menyatakan bahwa prinsip dasar untuk alokasi DAU adalah sebagai berikut
1. Kecukupan
Prinsip mendasar yang pertama adalah prinsip kecukupan. Sebagai suatu bentuk
penerimaan, sistem DAU harus memberikan sejumlah dana yang cukup kepada daerah. Hal ini
berarti, perkataan cukup harus diartikan dalam kaitannya dengan beban fungsi sebagaimana
diketahui, beban finansial dalam menjalankan fungsi tidaklah statis, melainkan cenderung
meningkat karena satu atau berbagai faktor. Oleh karena itulah maka penerimaan pun seharusnya
naik sehingga pemerintah daerah mampu membiayai beban anggarannya. Bila alokasi DAU
mampu merespon terhadap kenaikan beban anggaran yang relevan, maka sistem DAU dikatakan
memenuhi prinsip kecukupan.
Desain dari sistem alokasi harus netral dan efisien. Netral artinya suatu system alokasi
harus diupayakan sedemikian rupa sehingga efeknya justru memperbaiki (bukannya
menimbulkan) distorsi dalam harga relatif dalam perekonomian daerah. Efisien artinya sistem
alokasi DAU tidak boleh menciptakan distorsi dalam struktur harga input, untuk itu sistem
alokasi harus memanfaatkan berbagai jenis instrumen finansial alternatif relevan yang tersedia.
3. Akuntabilitas
Sesuai dengan namanya yaitu Dana Alokasi Umum, maka penggunaan terhadap dana
fiskal ini sebaiknya dilepaskan ke daerah, karena peran daerah akan sangat dominan dalam
penentuan arah alokasi, maka peran lembaga DPRD, pers dan masyarakat di daerah
bersangkutan amatlah penting dalam proses penentuan prioritas anggaran yang perlu dibiayai
DAU. Format yang seperti ini, format akuntabilitas yang relevan adalah akuntabilitas kepada
elektoral (accountability to electorates) dan bukan akuntabilitas financial kepada pusat (financial
accountability to the centre).
Sistem alokasi DAU sejauh mungkin harus mengacu pada tujuan pemberian alokasi
sebagaimana dimaksudkan dalam UU. Alokasi DAU ditujukan untuk membiayai sebagian dari
beban fungsi yang dijalankan, hal-hal yang merupakan prioritas dan target-target nasional yang
harus dicapai. Perlu diingat bahwa kedua UU telah mencantumkan secara eksplisit beberapa hal
yang menjadi tujuan yang ingin dicapai lewat program desentralisasi.
5. Keadilan
Prinsip dasar keadilan alokasi DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan
antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi.
6. Objektivitas dan transparansi
Sebuah sistem alokasi DAU yang baik harus didasarkan pada upaya untuk
meminimumkan kemungkinan manipulasi, maka sistem alokasi DAU harus dibuat sejelas
mungkin dan formulanya pun dibuat se-transparan mungkin. Prinsip transparansi akan dapat
dipenuhi bila formula tersebut bisa dipahami oleh khalayak umum. Oleh karena itu maka
indikator yang digunakan sedapat mungkin adalah indikator yang sifatnya obyektif sehingga
tidak menimbulkan interpretasi yang ambivalen.
7. Kesederhanaan
Rumusan alokasi DAU harus sederhana (tidak kompleks). Rumusan tidak boleh
terlampau kompleks sehingga sulit dimengerti orang, namun tidak boleh pula terlalu sederhana
sehingga menimbulkan perdebatan dan kemungkinan ketidak-adilan. Rumusan sebaiknya tidak
memanfaatkan sejumlah besar variabel dimana jumlah variabel yang dipakai menjadi relative
terlalu besar ketimbang jumlah dana yang ingin dialokasikan.
Menurut Mardiasmo (2002: 132), PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk
perolehan aset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan dan aset tak berwujud (Halim 2007).
Darwanto & Yulia (2007) menyatakan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan
terhadap alokasi belanja modal. Temuan ini dapat mengindikasikan bahwa besarnya PAD
menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan belanja modal. Hal ini sesuai dengan PP
No 58 tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Setiap
penyusunan APBD, alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan
mempertimbangkan PAD yang diterima. Sehingga apabila Pemda ingin meningkatkan belanja
modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemda harus menggali PAD
yang sebesar-besarnya.
Dana perimbangan ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah (UU No. 33/2004). DAU adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan keuangan
merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap
belanja modal, hal ini dapat dikarenakan ada nilai PAD yang rentangnya sangat jauh, yaitu antara
Provinsi Maluku dan Provinsi DKI Jakarta, terbukti dari hasil analisis deskriptif yang
menunjukkan rata-rata PAD berjumlah Rp 2,1 Triliyun, dengan rincian nilai terendah Rp 93,6
Milyar terdapat di provinsi Maluku utara dan nilai tertinggi Rp 18,6 Triliyun terdapat di provinsi
DKI Jakarta.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yovita (2011) memberikan hasil penelitian
yang sama dengan penelitian ini yaitu PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Yovita (2011) mengatakan bahwa provinsi dengan PAD yang besar cenderung tidak memiliki
belanja modal yang besar. Hal ini disebabkan karena PAD lebih banyak digunakan untuk
membiayai belanja yang lain, seperti belanja rutin/belanja operasional. Hasil penelitian tersebut
diperkuat dengan penelitian ini dimana PAD tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
belanja modal, tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardhani
(2011) dan Sianipar (2011) yaitu PAD berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hal ini
disebabkan karena penggunaan sampel dan periode waktu yang berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa DAU memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap belanja modal namun dengan arah negatif. Hasil ini menjelaskan bahwa provinsi yang
mendapatkan DAU yang besar akan cenderung memiliki belanja modal yang rendah. Hal ini
terjadi karena DAU digunakan untuk membiayai belanja yang lain seperti belanja pegawai,
belanja barang dan jasa dan belanja lainnya.
Hubungan penelitian ini dengan hasil yang didapat berkaitan dengan teori keagenan
sebagai landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Implikasi penerapan teori keagenan
dapat menimbulkan hal positif dalam bentuk efisiensi, tetapi lebih banyak menimbulkan hal
negatif dalam bentuk perilaku opportunistik. Hal ini terjadi karena pihak agensi memiliki
informasi keuangan yang lebih daripada pihak prinsipal, sedangkan dari pihak principal
memanfaatkan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri karena memiliki keunggulan
kekuasaan.
Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi : agen mempunyai informasi
lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi dan tujuan yang berpotensi menciptakan moral
hazard dan adverse selection. Adanya asimetri informasi diantara eksekutif-legislatif dan
legislatif-pemilih menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku opportunistik dalam
proses penyusunan anggaran yang justru lebih besar daripada didunia bisnis yang memiliki
automatic checks berupa persaingan (Kasper & Streit 1999 dalam Nurul 2010).
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas diperoleh bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) dan
Pendapatan Asli Daeah (PAD) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah.
Artinya jika Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memliki DAU dan PAD yang tinggi maka
Belanja Daerah Kabupaten/Kota tersebut juga akan meningkat. Jumlah Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Pendapatan Asli Daerah yang (PAD) yang tinggi tersebut akan digunakan
pembangunan daerah serta pembiayaan daerah dan melaksanakan jalannya pemerintahan melalui
Belanja Daerah yang tujuan akhirnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja daerah. Pemerintah Daerah
yang memiliki PAD tinggi maka pengeluaran untuk alokasi belanja daerahnya juga semakin
tinggi. Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap alokasi belanja daerah. Pemerintah
Daerah yang memiliki DAU tinggi maka pengeluaran untuk alokasi belanja daerahnya juga
semakin tinggi. Selain itu diperoleh hasil bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah. Semakin tinggi penerimaan daerah melalui
Dana Alokasi Umum (DAU) maka semakin tinggi pula Belanja Daerah, hasil bahwa Pendapatan
Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah. Semakin tinggi pendapatan
daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka semakin tinggi pula Belanja
Daerah.
Berdasarkan pembahasan Makalah diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel PAD terhadap Belanja Modal.
2. Terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara variabel DAU terhadap Belanja
Modal.
3. Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel DAK terhadap Belanja Modal.
4. Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel DBH terhadap Belanja Modal.
5. Secara simultan variabel PAD, DAU, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap
Belanja Modal.
3.2. Saraan
Dornbusch Rugider dan Stanley Fischer. 1997 Teori Makroekonomi. Edisi 5. Penerbit Erlangga:
Jakarta.
Halim, Abdul. 2007.Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi 3. Salemba
Empat : Jakarta.
Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit Andi: Yogyakarta.
https://www.academia.edu/10095917/
PENGARUH_DANA_ALOKASI_UMUM_DAU_DAN_PENDAPATAN_ASLI_DAERAH_P
AD_TERHADAP_BELANJA_DAERAH_PADA_KABUPATEN_KOTA_DI_PROVINSI_KA
LIMANTAN_TIMUR
https://id.wikipedia.org/wiki/Dana_Alokasi_Umum
https://primalifejournal.wordpress.com/2013/03/26/pendapatan-asli-daerah-pad/
http://nawangavianiazhar.blogspot.com/2013/05/belanja-daerah.html