PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengertian Otonomi Daerah secara etimologi adalah otonomi yang berasal dari bahasa
Yunani yang berarti auto, dan nomous. Auto berarti sendiri, dan nomous berarti hukum
atau peraturan. Jadi, pengertian otonomi daerah adalah aturan yang mengatur daerahnya
sendiri. 1 Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sejak Indonesia berdiri, terdapat beragam suku,
budaya dan golongan dan itu membuktikan perbedaan pola pikir yang ada dalam
masyarakat Indonesia, tujuan diberlakukannya otonomi daerah ialah agar tidak adanya
sentralisasi pemerintah pusat, organ pemerintah tidak hanya dijalankan oleh pemerintah
pusat, dan pemerintah daerah mempunyai kepentingan untuk memajukan daerahnya
berdasarkan perspektif dan nilai dari daerah itu sendiri.
1
http://www.artikelsiana.com/2015/06/pengertian-otonomi-daerah-tujuan-asas.html
diakses Jumat, 22 Januari 2016 20.42 WIB.
menjalankan tugasnya sesuai dengan keinginan rakyat melainkan tugas yang diemban
oleh daerah merupakan dekonsentrasi dari pemerintah pusat. Artinya pemerintah pusat
mendelegasikan tugasnya untuk diselesaikan di tingkat pemerintah daerah. Setelah
Reformasi, terciptalah Undang-undang baru yang mengatur tentang pemerintah daerah
yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Untuk
mengadakan pemerintahan yang berencana maka terbentuklah Undang-undang No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencaan Pembangunan Nasional dan hasil modifikasi
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 ialah Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Tujuan
dari Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
terdapat pada ayat 4 pasal 2 yaitu:
a. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan;
b. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi, pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan;
d. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan, dan berkelanjutan.
Penguatan otonomi daerah juga salah satu program kerja Nawacita Jokowi-JK pada
angka 3 yaitu Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah
dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Sehingga seluruh perencanaan mengenai
pembangunan negara sudah tersusun oleh Peraturan Perundang-undang.
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 ayat 1, 2, dan 3, pemerintah wajib menyusun
APBN. Sebelum menjadi APBN, pemerintah menyusun Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Pembangunan daerah sebagai bagian integral
dari pembangunan dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan
sumber daya nasional. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kesempatan bagi
peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai subsistem pemerintahan negara
dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan masyarakat secara umum. Sebagai daerah otonom, daerah
mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pemerintahan
sesuai dengan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi
masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan
pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi pada umumnya dilaksanakan pemerintah
daerah. Hal ini disebabkan daerah lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan
masyarakat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan kondisi dan situasi
yang berbeda-beda setiap wilayah. Dengan demikian, pembagian ketiga fungsi tersebut
sangat penting sebagai landasan dalam penentuan perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara jelas dan tegas.
Dalam pasal 3 ayat 3 Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN, disebutkan
bahwa terdapat tiga rencana pembangunan, yaitu Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP), Rencana Pembagunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Pembangunan
Tahunan. Pasal 4 menyatakan bahwa RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan
dibentuknya pemerintah Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah
pembangunan Nasional.
Berdasarkan teori areal division of power, sistem ini membagi kekuasaan negara secara
vertikal antara Pemerintah Pusat di satu pihak, dan Pemerintah Daerah di pihak lain.
Desentralisasi merupakan media dalam pelaksanaan hubungan antara level pemerintahan
(intergoverment relations) dalam lingkup suatu negara. Dalam negara kesatuan seperti
Indonesia, hubungan antara level pemerintahan berlangsung secara inklusif (inclusive
authority model) di mana otoritas pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan-urusan
pemerintahan tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem kontrol yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan. 2
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana dilema antara pembangunan dan tuduhan korupsi yang terjadi
dalam sistem desentralisasi dalam logika alokasi dan distribusi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah?
2) Bagaimana kandungan dan implementasi Undang-undang No. 25 Tahun 2004
dan hubungannya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sehingga
mengakibatkan tuduhan korupsi?
2
Yudoyono, Bambang. 2003. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan SDM
Aparatur Pemda dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hlm. 4-6.
PEMBAHASAN
2.1. Dilema antara pembangunan dan tuduhan korupsi yang terjadi dalam
sistem desentralisasi dalam logika alokasi dan distribusi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Saat ini, pemerintah telah mengeluarkan produk hukum mengenai pemerintah daerah dan
bagaimana proses dan perjalanan pemerintah daerah itu sendiri. Seperti contoh dalam hal
pengadaan barang dan jasa, terdapat peraturan yang mengaturnya yaitu Perka LKPP No
14 Tahun 2012 tentang Juknis Perpres No 70 Tahun 2012. Dalam peraturan tersebut
terdapat berbagai macam aturan yang kaku dan tidak dapat diganggu gugat mengenai
pengadaan barang dan jasa yang ada di daerah ataupun pusat. Untuk mengatasi adanya
penyelewengan anggaran saat pengadaan barang dan jasa, selain sudah adanya Peraturan
Perundang-undangan teknis yang jelas, juga diadakan audit akhir yang dilakukan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan. Setelah selesai periode akuntansi, maka BPK akan
mengaudit anggaran pemerintah daerah. BPK mempunyai empat opini yang dapat
dikeluarkan, antara lain:
a. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
Opini WTP diberikan dengan kriteria sistem pengendalian internal memadai dan tidak
ada salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Secara keseluruhan
laporan keuangan telah menyajikan secara wajar sesuai dengan SAP (Satuan
Akuntansi Pemerintahan).
b. Wajar Dengan Pengecualian (WDP)
Opini WDP diberikan dengan kriteria: sistem pengendalian internal memadai, namun
terdapat salah saji yang material pada beberapa pos laporan keuangan. Laporan
keuangan dengan opini WDP dapat diandalkan, tetapi pemilik kepentingan harus
memperhatikan beberapa permasalahan yang diungkapkan auditor atas pos yang
dikecualikan tersebut agar tidak mengalami kekeliruan dalam pengambilan
keputusan.
c. Tidak Wajar (TW)
Opini TW diberikan jika sistem pengendalian internal tidak memadai dan terdapat
salah saji pada banyak pos laporan keuangan yang material. Dengan demikian secara
keseluruhan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan SAP.
d. Tidak Memberikan Pendapat (TMP)
Opini TMP diberikan apabila terdapat suatu nilai yang secara material tidak dapat
diyakini auditor karena ada pembatasan lingkup pemeriksaan oleh manajemen
sehingga auditor tidak cukup bukti dan atau sistem pengendalian intern yang sangat
lemah. Dalam kondisi demikian auditor tidak dapat menilai kewajaran laporan
keuangan.
Opini BPK inilah yang merupakan hasil audit yang dilakukan BPK terhadap anggaran
pemerintah daerah, ataupun Kementrian atau Lembaga. Namun opini BPK tidak
menjamin tidak adanya tindak pidana korupsi karena keempat jenis opini yang bisa
diberikan oleh BPK tersebut dasar pertimbangan utamanya adalah kewajaran penyajian
pos-pos laporan keuangan sesuai dengan SAP. Kewajaran disini bukan berarti kebenaran
atas suatu transaksi. Opini atas laporan keuangan tidak mendasarkan kepada apakah pada
entitas tertentu terdapat korupsi atau tidak. 4
Dengan semakin luasnya otonomi daerah namun tidak diiringi dengan kemampuan
sumber daya manusia yang baik dalam mengelola anggaran daerah dapat terjadi
pelanggaran administrasi. Sesuai dengan Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 37 Tahun
2008 tentang Obudsman Republik Indonesia bahwa perbuatan maladministrasi adalah
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik
yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan
kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
4
http://www.bpk.go.id/news/opini-wtp-tidak-menjamin-tidak-ada-korupsi diakses Jumat,
22 Januari 2016 pukul 20:25
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional pada awal
Oktober 2004.
Dan terlihat didalam Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2004 SPPN ini mempunyai tujuan yang
sangat luas, yaitu:
1) Mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
2) Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan;
4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
5) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan, dan berkelanjutan6.
Pada dasarnya, Undang-undang ini memiliki makna yang penting dalam perkembangan
Indonesia dalam era demokrasi. Undang-undang ini mengatur bagaimana seharusnya
sistem perencanaan pembangunan menghasilkan rencana yang bersifat kolektif dan
publik. Namun demikian, Undang-undang ini memiliki beberapa celah dilematis yang
menjadikan Undang-undang ini belum mengarah pada tujuan-tujuan tersebut. Ialah
celahnya sebagai berikut:
5
http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU252004.pdf. Diakses: Kamis 22 Januari 21.07
WIB
6
Ibid.
1) Memang benar bahwa produk atau hasil akhir merupakan hal yang penting dan
esensial, namun kita tidak dapat mengesampingkan pentingnya kualitas proses
dalam mencapai produk tersebut. Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang
SPPN ini hanya menegaskan tentang adanya kelembagaan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang dalam proses penyusunan rencana.
Makna dari Musrenbang tidak memiliki elaborasi yang baik, padahal Musrenbang
merupakan titik tumpu bagi suatu paradigm baru dalam perencanaan. Hal ini
mengindikasikan celah antara tujuan dengan apa yang dikandungnya, dimana hal
yang esensial tidak mendapatkan sorotan seperti yang seharusnya.
7
Hardjosoekarto, Sudarsono. 2014. Pengkajian Positioning Fungsi Pengawasan
DPD RI Dalam Musrenbang. Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
Proses top-down dan bottom-up merupakan sesuatu yang menyelaraskan program-
program untuk menjamin adanya sinergi/konvergensi dari semua kegiatan
pemerintah dan masyarakat. Penyelarasan rencana-rencana lembaga pemerintah
dilaksanakan melalui musyawarah perencanaan yang dilaksanakan baik di tingkat
Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota serta Desa8.
Namun apa yang terjadi pada kenyataanya terlihat berbeda, banyak perencanaan
dan pelaksanaan kegiatan masyarakat yang dilakukan sendiri-sendiri, tidak terkait
satu sama lain bahkan sampai bertentangan, dan memunculkan situasi yang tidak
tenteram.
Namun itulah dinamika yang terjadi, menjadi sebuah kewajiban bagi lembaga-
lembaga formal (birokrasi) perencanaan seperti Bappenas maupun Bappeda yang
diamanahkan oleh UU untuk mampu menyesuaikan diri dan tangguh untuk
mengintegrasikan dinamika ini dalam proses perencanaan.
8
Ibid.
Yang dikhawatirkan bila tidak hati-hati melihat apa yang diamanatkan oleh
Undang-undang No. 25 Tahun 2004 ini sangat mungkin perencanaan partisipatif
yang begitu baik disusun hanya akan menjadi pemanis yang disusun secara
mekanistik, yang pada akhirnya hanya akan menjadi formalitas semata
menggugurkan tujuan mulia yang terkandung didalamnya.
http://birohukum.bappenas.go.id/data/data_kajian/kajian_sewindu_UU_25_tahun%20200
4.pdf
Tuduhan Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang secara harifiah
berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
dan penyimpangan dari kesucian 10 . Kemudian kata korupsi yan telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminata dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia: Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-
unsur sebagai berikut:
a. perbuatan melawan hukum,
b. penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
c. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
d. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada umumnya orang menghubungkan tumbuh suburnya korupsi dengan sebab yang
paling gampang dihubungkan, misalnya:
a. Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab
langsung kepada rakyat;
b. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah;
c. Lemahnya hukum;
d. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil;
e. Buruknya ekonomi;
f. Mental pejabat yang kurang baik;
g. Administrasi dan manjemen yang kacau.11
Harus kita pahami bahwa lemahnya hukum dan dalam hal ini bisa kita hubungkan
sebagai Undang-undang merupakan salah satu kondisi yang mendukung munculnya
10
Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya. Jakarta:
PT Gramedia.
11
Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
tindak pidana korupsi. Celah yang ada dalam diatas merupakan lahan basah bagi
penyelenggara negara memanfaatkannya untuk berbuat curang dan demi kepentingan diri
sendiri. Selama permasalahan dilematis ini belum bisa diselesaikan, tuduhan korupsi
tidak akan berhenti dilayangkan kepada pihak yang menjalankan amanat dari Undang-
undang ini.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Dilihat dari perspektif konsep UU No. 25/2004, bahwa Sistem Perencanaan
dan Pembangunan Nasional sudah sangat terintegrasi, sesuai dengan asas
desentralisasi dan memerhatikan seluruh elemen masyarakat dan
pembangunan yang bersifat bottom-top. Perubahan pelaksanaan UU
Pemerintah Daerah sejak zaman Orde Baru hingga saat ini mengalami
perkembangan yang sangat signifikan, memerhatikan dasar negara dan juga
cita-cita rakyat. Bahwa perkembangan tidak seharusnya hanya dinikmati oleh
Pemerintah Pusat yang bersifat sentralistis sehingga pembangunan hanya
terasa di Pulau Jawa seperti yang terjadi di era Orde Baru, namun seluruh
daerah di Indonesia juga berhak menikmati pembangunan yang terintegrasi
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah seperti yang telah digagas
dalam UU No. 25/2004. Namun permasalah bangsa Indonesia sejak dulu
belum kunjung usai, yaitu pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak
pidana korupsi masih merajalela di Republik Indonesia walaupun sudah ada
pembaharuan Undang-Undang dan juga turunannya. Berdasarkan kajian di
atas, tindak pidana korupsi terhadap anggaran Pemerintah Daerah dapat terjadi
karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Kepala SKPD terhadap
pekerjanya. Sistem pengawasan terhadap perangkat kerja yang harus
diperbaiki demi menanggulangi tindak pidana korupsi. Namun, pelanggaran
administratif juga dapat dituduh korupsi karena dapat berdasarkan
penyalahgunaan wewenang ataupun kelelaian sehingga menimbulkan
kerugian negara secara materil atau immateril.
2) Terdapat dua celah yang cukup mendasar dalam kandungan dan implementasi
Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Yang pertama yaitu kandungan dari Undang-undang
yang tidak bisa mengelaborasikan poin yang paling menentukan dari
perubahan paradigma perencanaan yang partisipatif dalam era demokrasi di
Indonesia saat ini. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
hanya dilihat sebagai sebuah produk tanpa memperhatikan kualitas prosesnya
itu sendiri. Menjadikan Undang-undang ini bisa saja dianggap sebagai suatu
bentuk formalitas semata. Dan yang kedua yaitu ditemukan dalam sinkronisasi
antara perencanaan pembangunan di pusat dan di daerah. Dimana setidaknya
ada tiga faktor yaitu perencanaan dan penganggaran, pengendalian dan
evaluasi, dan penataan regulasi yang bertabrakan dan bertentangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jika dia problematika ini dibiarkan
saja, unsur dilematis di dalam Undang-undang ini masih terasa, maka akan
banyak tuduhan korupsi muncul kepada pejabat pusat maupun daerah akibat
lemahnya hukum yang berlaku.
B. Saran
1) Untuk mencegah terjadinya pelanggaran administratif yang dapat dijadikan
indikasi korupsi ialah dengan mengikutsertakan pekerja perangkat daerah
mengikuti berbagai pendidikan dan mempunyai sistem internal yang baik
untuk mencegah adanya kelalaian.
2) Peningkatan pendidikan di sektor perangkat kerja untuk mencegah tuduhan
korupsi yang disebabkan oleh maladministrasi.
3) Pengetatan pengawasan yang dilakukan oleh Kepala SKPD agar mencegah
tuduhan tindak pidana korupsi.
4) Pembuatan petunjuk teknis yang jelas oleh Kepala Daerah sebagai Peraturan
Kepala Daerah.
5) Elaborasi yang lebih merinci pada Undang-undang No. 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terutama menyangkut
masalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan.
6) Sinkronisasi aturan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar tidak
terjadi konflik dan pertentangan yang dapat menyebabkan perlambatan dalam
pembangunan dan menghindari kemungkinan tuduhan korupsi yang dapat
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
1. Hamzah, Andi. 1984. Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya.
Jakarta: PT Gramedia.
2. Hardjosoekarto, Sudarsono. 2014. Pengkajian Positioning Fungsi Pengawasan
DPD RI Dalam Musrenbang. Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
3. Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
4. Yudoyono, Bambang. 2003. Otonomi Daerah: Desentralisasi dan Pengembangan
SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kajian
1. http://birohukum.bappenas.go.id/data/data_kajian/kajian_sewindu_UU_25_tahun
%202004.pdf
Peraturan Perundang-Undangan
1. Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
2. Indonesia, Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU No.
25 Tahun 2004. LN No. 104 Tahun 2004.
3. Indonesia, Undang-Undang Pemerintah Daerah. UU No. 32 Tahun 2004. LN No.
125 Tahun 2004
4. Indonesia, Undang-Undang Keuangan Negara. UU No. 17 Tahun 2003. LN No.
47 Tahun 2003, TLN No. 4286.
5. Indonesia, Undang-Undang Obdusman. UU No. 37 Tahun 2008. LN No. 139
Tahun 2008. TLN No. 4899.
6. Indonesia, Undang-Undang Pemerintah Daerah. UU No. 22 Tahun 1999. LN No.
60 Tahun 1999. TLN No. 3839.
Indonesia, Undang-Undang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. UU No. 25 Tahun 1999. LN No. 72 Tahun 1999. TLN No. 3848.
Indonesia, Perka LKPP No 14 Tahun 2012 tentang Juknis Perpres No 70 tahun 2012.