Dosen Pengampu:
Arif Wijaya, SH., M.Hum.
Oleh:
1. Hindun Miratul Ummah (05010420006)
2. Achmad Mutawakil Awaludin(05020420022)
3. Silvia Nur Faizah (05040420087)
SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada sang Maha Penguasa Alam, yang telah menciptakan kita
semua pendengaran, penglihatan dan hati , sehingga kita masih bisa menghirup nafas dan masih
bisa beraktivitas serta mampu menuntut ilmu hingga pada hari ini. Berkat karunia, rahmat, serta
hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada sang pembawa
peringatan Nabi Muhammad SAW, yang mana Beliau telah membawa rahmat bagi seluruh
alam dengan membawa Al Qur’an sebagai petunjuk bagi kita semua (manusia). Dalam
penyusunan tugas makalah ini kami berterima kasih kepada Bapak Arif Wijaya, SH., M.Hum.
Selaku dosen Hukum Pemerintahan Daerah yang telah memberikan kesempatan saya untuk
memenuhi makalah ini. Adapun pembahasan yang dibahas dalam makalah ini adalah
“Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Sejarah”
Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan. Karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang dapat
membangun dari semua pihak demi perbaikan tugas ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah yaitu tanggapan pemerintah pada beragam harapan rakyat terhadap
negara dan pelaksanaan pemerintah. Hal tersebut menjadi tanda jika hidup demokrasi
sudah maju dibangsa ini, sebab warga negara membutuhkan layanan yang efektif dan
responsive. Suatu cara dalam membentuk layanan yang efektif yaitu otonomi daerah.
Adanya perubahan lingkungan dalam pemda diIndonesia serta pemberlakuan UU No. 22
Tahun 1999, maka daerah, propinsi, dan kabupaten/kota diberi wewenang dalam
mengedalikan keperluan publik atas prakarsanya. sesuai dengan keinginan rakyat akan
menyesuaikan aturan undang-undang yang berlaku.1
Pasca pengesahan paket UU otonom daerah, beragam pihak yang membahas sisi positif.
Tak dapat dipungkiri jika otonomi daerah telah memberi perubahan yang baik dalam
pengaturan diri daerah di daerah. Lembaga ini merupakan harapan sebab rancangan
pemerintah sentralistik akan memposisikan dirinya menjadi aktor yang periferal dalam
pembangunan daerah. Dulu, potensi daerah terus digali hingga ke pusat dengan bendera
pemerataan pembangunan.
1
Dewirahmadanirwati, “Implementation of Regional Autonomy in Realizing Good Governance In The West
Sumatera Region,” Jurnall JISIP (Ilmiah Pendidikan Scholastic), 2.3 (2018), 43–50 <http://e-journal.sastra-
unes.com/index.php/JIPS>.
2
Undang-Undang No 23 Tahun 2014.
3
Faisal, “Otonomi Daerah : Masalah dan Penyelesaian di Indonesia,” Jurnal Akuntansi, 4.2 (2016), 206–15
<https://ja.ejournal.unri.ac.id/index.php/JA/article/view/3370/3287>.
1
1. Pemanfaatan pendapatan daerah
Sebuah akibat dari otonomi yaitu semakin besarnya kompetensi daerah saat
mengelola perekonomiannya sendiri, mulai dari pengumpulan pendapatan hingga
pendistribusian penggunaan pendapatan daerah tersebut. Dalam otoritas seperti itu,
ada risiko nyata bahwa daerah akan berusaha untuk memaksimalkan daripada
mengoptimalkan penghasilan daerah.
Usaha tersebut didasarkan pada fakta jika daerah perlu memiliki kecukupan
uang baik bagi keperluan rutin maupun untuk pembangunan. Dalam skenario seperti
itu, banyak daerah tetap terjebak dalam model peningkatan pendapatan asli daerah
tradisional berupa pengumpulan perpajakan maupun retribusi. Untuk pemda, model
tersebut tentunya sangatlah mudah diimplementasikan sebab adanya koherensi
lembaga negara. Potensi yang tak dapat dijalankan pada negara yang berdemokrasi
modern. Model kolonial tersebut akan jadi keputusan yang paling penting sebab
pemerintah tidak mampu mengembangkan karakter kewirausahaan.
2
coordinator. Apabila terdapat tanggungjawab lain yang tak disebutkan pada UU akan
menjadi tanggungjawab pemerintah kota.
DPRD akan berkembang jadi potensi politik baru yang nyata. Badan legislatif
tersebut dapat dengan mandiri memilih gubernur dan kepala negara/wali kota dengan
tidak mengganggu kebijakan serta dampak politik dari pemerintahan pusat. Aturan
daerah bisa diputuskan secara mandiri ditingkat daerah dengan persetujuan pemda dan
DPRD. Setidaknya ada 2 alasan kenapa hal tersebut dapat timbul, yakni:
1) Pemerintahan pusat terkesan tidak serius dalam memberi hak otonom terhadap
pemda.
2) Desentralisasi menyulut semangat yang tidak terkontrol dikalangan para elite
daerah yang menimbulkan perasaan daerah yang sangat kokoh. Ungkapan “anak
daerah” muncul diberbagai tempat untuk menjadi wakil perasaan daerah, yang
terbentuk sebagai kebutuhan jika jabatan tertinggi dalam pemda harus diisi
penduduk asli kawasan itu.
5. Korupsi di Daerah.
Peristiwa lainnya yang telah lama mencemaskan beragam pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan otonom daerah yaitu berpindahnya praktek korupsi pusat
kedaerah. Sumber korupsi lainnya yang berjalan adalah tahap dalam akuisisi produk
3
atau layanan didaerah. Sering terjadi nilai anggaran produk yang tinggi atas nilai
dipasar. Kolaborasi pada departemen pengadaan serta mitra jadi lebih umum.
Diberikannya kesempatan yang berlebih pada pejabat didaerah akan an menunjukkan
kecerobohan pemda saat mengendalikan perekonomian daerah.
Otonom daerah membagi daerah jadi daerah basah serta kering. Pembagian
tersebut kian memperdalam kesenjangan pengembangan didaerah maju dan kurang
berkembang. Terdapat kemungkinan SDA didaerah tersebut akan memunculkan
kesulitan saat menjadi penetu batasan setiap daerah. Masalah horisontal mudah
berkobar.
4
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa setiap Pemerintah Daerah memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur serta
mengurus sendiri?
2. Bagaimana Latar Belakang Pembentukan Pemerintah Daerah di Indonesia?
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Menurut pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menyatakan jika NKRI terbagi dalam propinsi,
kabupaten serta kota, masing-masing propinsi, kotamadya, serta kota tersebut memiliki
pemerintah daerah yang terdapat dalam UU. Selain itu, ayat 2 pasal tersebut menyatakan
jika pemerintah daerah propinsi, administratif, serta kota akan menjelaskan serta
menyelenggarakan sendiri kebijakan pemerintaj berdasarkan asas otonom juga
pengelolaan bersama.
5
Achmad Fauzi, “Otonomi Daerah Dalam Kerangka Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Yang
Baik,” Spektrum Hukum, 16.1 (2019), 119–36 <https://doi.org/10.35973/sh.v16i1.1130>.
6
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
6
undang. Kebebasan otonomi juga mencakup kekuasaan eksekutif yang maksimal,
dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, mengendalikan, serta mengevaluasi.
b. Otonom sejati yaitu hak daerah untuk menyelenggarakan pemerintah negara disuatu
daerah yang ada serta diperlukan dan bertumbuh, hidup serta berkembang didaerah.
c. Otonom bertanggungjawab yaitu wujud tanggungjawab yang dihasilkan dari hak dan
wewenang yang diberikan dalam meraih arah otonom dengan berbentuk
pemaksimalan kemakmurah rakyat, pengembangan dan pemeliharaan hidup
demokrasi, serta pemajuan keadilan. persamaan jalinan dengan sehat dipemerintah
pusat dengan daerah dalam melindungi keutuhan NKRI.
Otonomi umum menyimpang atas asas: Pada asasnya segala urusan pemerintahan
jadi kebiajkan rumahtangga daerahnya, terkecuali urusan yang ditetapkan menjadi
kebijakan pusat. Pada bangsa modern, apalagi jika dipadukan terhadap konsep bangsa
makmur, volume kebijakan pemerintah tak diakui.8 Otonom daerah, disaksikan
berdasarkan segi wilayah, adalah pelaksanaannya pada batasan wilayah berdasarkan
pemerintahan pusat yang dipilih. Dilihat berdasarkan isi pelaksanaan otonom daerah,
objek sasaran ditetapkan menurut rancangan rumah yang disetujui oleh otonom daerah.
Otonomi teritorial harus diartikan sebagai otonomi penduduk daerah, bukan sebagai
otonomi "teritorial" dalam arti daerah/wilayah tertentu pada tingkat lokal. Walaupun
7
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Cetakan Ke II (Bandung: Nusa Media, 2010).
8
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UII, 2001).
7
pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan daerah, namun
perlu dikendalikan dengan keadilan, kejujuran, serta demokratis. Pada konteks ini,
pemerintah daerah perlu dapat secara efektif dan efisien menangani amanat yang diperoleh
untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Perspektif seperti ini cocok
dalam memaparkan keterkaitan pemimpin didaerah serta otonom daerah.9
Dengan mandat ini, daerah menciptakan penghargaan dan insentifitas bagi aktivitas
perekonomian dalam pengembangan daerah. Adanya otonomi yang luas dalam daerah,
pemerintah daerah mempunyai kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan
potensi sumber daya manusianya dan kemungkinan pengelolaan sumber daya alam secara
optimal dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, diperlukan
pengawasan (pemeriksaan) intern yang independen untuk melaksanakan pengelolaan
daerah yang baik. Kontrol operasional yang efektif dan transparan dari dewan perwakilan
daerah setempat dan kontrol eksternal dari BPK yang bertanggung jawab juga diperlukan.
9
J Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
8
Sehingga pelaksanaan pemerintah daerah pada otonom daerah bisa dengan langsung
dilaksanakan.10
10
Fauzi.
9
hanyalah di anggap menjadi kawasan pengeksploitasi tanpa memenuhi kewajiban
kolonialnya.11
11
Gouda Frances, Dutch Culture Overseas Praktik kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942 (PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2007).
12
Bayu Surianingrat, Sejarah Pemerintahan di Indonesia Babak Hindia Belanda dan Jepang (Jakarta: Dewaruri
Press, 1981).
13
Syaukani, Otonomi Daerah Negara Kesatuan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
10
rakyat. Motif dari pemerintahan kolonialisme dalam melangsungkan jalinan politik yaitu
untuk mencoba memantapkan pengaruh politiknya di kalangan elit politik dikerajaan.
Disatu sisinya, sistem keuangan kolonialisme diperkenalkan dan diterapkan, dengan
memperkenalkan rancangan birokrat modern, sementara disisi lainnya, rancangan
keuangan tradisional selalu dijaga. pengelolaan pemerintahan kolonial Birokrat
pemerintah kolonialisme dirancang dengan hierarjus terhadap pemimpin Belanda. Saat
menjalankan aturan pemerintah bangsa yang dijajah, seperti Indonesia, RatuBelanda
memindahkan wakil yaitu GubernurJenderal. Kuasa dan wewenang GubernurJenderal
yaitu segala kebijakan politik didalam kawasan yang dijajah dibawah kekuasaannya.14
Bangsa Belanda dan Eropa yang mendatangi Indonesia dimasa lampau merasakan
kenyamanan sehingga bersemayam di sana. Mereka menjelaskan jika Indoenesia menjadi
negara yang indah untuk ditinggali, sehingga menghadirkan hidup Indonesia yang tenang,
damai serta tentrram. Lalu penduduk Eropa yang tiba di Hindia Indonesia berpikir jika
Indonesia sebenarnya tak tertata serta bersih seperti asalnya. Mereka berpendapat jika
persoalan tersebut disebabkan oleh tak terdapatnya badan otonomi untuk mengendalikan
kawasan-kawasan tersebut. Kawasan itu tak memiliki wewenang dalam mengendalikan
wilayahnya. Semuanya dijelaskan menurut Gubernur Jenderal yang berada di Batavia, hal
ini menjadikan kuasa Gubernur Jenderal diIndonesia sangat luas. Tidak mungkin lagi
berhenti memberikan kewenangan kepada daerah di tingkat lokal.15
Pada masa kerajaan, peran penguasa diangkat sebagai kepala daerah dari kalangan
pribumi, yang memiliki kekuasaan mandiri untuk memerintah pemerintahan tanpa kendali
14
M Nur Hasan, “CORAK BUDAYA BIROKRASI PADA MASA KERAJAAN, KOLONIAL BELANDA
HINGGA DI ERA DESENTRALISASI DALAM PELAYANAN PUBLIK,” Jurnal Hukum, XXVIII.2 (2012),
1–9 <http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203>.
15
Teti Hestiliani, “Secentralisatie Wet Van Nederlandies 1903,” ISTORIA, 15.2 (2019), 206–15.
11
sultan. Penguasaan raja hanya ditunjukkan pada momen-momen politik tertentu, seperti
tradisi bertemu raja setiap tahun (paseban) dan mengirimkan upeti kepada raja. Situasi
berubah pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Kekuasaan penguasa untuk menguasai
wilayahnya tidak lagi mandiri, tetapi dibatasi oleh undang-undang, mendapat pengawasan
dari penguasa kontrol yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Perubahan sistem administrasi Hindia Belanda menjadi daerah otonom juga datang
dari pihak Hindia Belanda sendiri, karena urusan lokal dan sederhana menjadi semakin
rumit dan pemerintah pusat Bavaria tidak dapat lagi menanganinya. Oleh karena itu,
struktur pemerintahan harus diubah. Tumbuhnya aktivisme lokal pada akhir abad ke-19
disebabkan oleh perubahan sistem ekonomi Hindia Belanda yang sebelumnya diatur oleh
pemerintah, kemudian di bawah rezim liberal, swasta diperbolehkan berinvestasi di Hindia
Belanda. Kepulauan yang menyebabkan dibukanya banyak perusahaan swasta. Akibatnya,
kantor komersial dan bank juga dibuka di beberapa kota besar di Hindia Belanda pada
akhir tahun 1800-an. Rumitnya urusan daerah mengharuskan desentralisasi Hindia
Belanda untuk memperlancar urusan di berbagai daerah.16
16
Teti Hestiliani.
17
Koerniatmanto Soetoprawiro, Pemerintahan Dan Peradilan Di Indonesia (Asal Usul Dan Perkembangannya)
(Bandung: PT Citra Aditiya Bakti, 1994), 13–14.
12
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Menjalankan Pemerintahan
Balatentara. Menurut undang-undang ini, wilayah bekas jajahan Belanda dibagi
menjadi 3 (tiga) daerah pemerintahan yaitu 1) daerah pemerintahan militer Jawa dan
Madura yang dijalankan oleh angkatan darat dan berkedudukan di Jakarta, 2) daerah
pemerintahan militer Sumatera yang dijalankan oleh angkatan darat dan
berkedudukan di Bukittinggi, dan 3) daerah pemerintahan militer Sulawesi,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat yang dijalankan oleh angkatan
laut dan berkedudukan di Makasar.
2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 tentang Perubahan Tata Pemerintahan
Daerah. Menurut undang-undang ini, Jawa dibagi ke dalam beberapa syuu
(keresidenan), Ken (kabupaten) dan Si (kotapraja).
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1942 tentang pembentukan beberapa keresidenan
dan kotapraja luar biasa Jakarta. Jakarta secara khusus dijadikan Tokubetu Si
(kotapraja luar biasa setingkat keresidenan) yang diperintah langsung oleh Gunseikan
(Pembesar Pemerintah Balatentara Jepang).
4. Osamu Seirei (peraturan yang dikeluarkan Gunseikan) Nomor 12 Tahun 1943 tentang
pembentukan beberapa Ken (kabupaten) dan Si (kotapraja).
5. Osamu Seirei Nomor 37 Tahun 1943 tentang pembentukan dewan-dewan perwakilan
rakyat di tingkat keresidenan dan di Jakarta.
Pada masa ini, daerah-daerah provinsi ditiadakan. Otonomi daerah pada masa ini
hamper sama dengan masa sebelumnya, karena Jepang, sepanjang tidak bertentangan
dengan strategi militer dalam mengahadapi perang, masih tetap menggunakan prinsip-
prinsip desentralisasi peninggalan Belanda sampai dengan tahun 1945. Daerah didorong
untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan mampu memenuhi permintaan Jepang
untuk keperluan perang (harta benda dan manusianya)
13
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak-hak asal
usul dalam daerah yang bersifat istimewa.” Bahwa dari isi dan jiwa Pasal 18 UUD 1945
beserta penjelasannya, menurut Solly Lubis: “Jelaslah bahwa pemerintah diwajibkan
untuk melaksanakan politik “Desentalisasi” dan Dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan”,
sebenarnya pasal tersebut lebih banyak mengandung ketentuan tentang penyelenggaraan
pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah.18
Hal itu didasarkan atas pembagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang begitu luas dan kecil serta beraneka suku bangsa, dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah
perkembangan pengaturan tentang pelaksanaan Desentralisasi/otonomi daerah di
Indonesia sejak kemerdekaan 1945 sampai masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974
telah mengalami berbagai pengaturan yang tidak konsisten, yaitu beberapa kali dilakukan.
Perubahan secara prinsip dalam pengaturannya, sehingga dalam kenyataannya di
Indonesia memang belum pernah terjadi Penyelenggaraan Pemerintah Lokal (Pemerintah
Daerah) yang relatif kuat, hal itu pula yang menjadi hambatan pelaksanaan otonomi
daerah, Namun demikian sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan seterusnya
sampai sekarang pelaksanaan otonomi daerah sudah mengalami perkembangan yang
begitu pusat, dan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah masa penjajahan Jepang berakhir dan NKRI berdiri pada tahun 1945,
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan riwayat otonomi daerah di Indonesia
antara lain sebagai berikut:
18
M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945 (Bandung: Alumni, 1997), 215.
14
kemampuan masing-masing. Pada masa ini, kebijakan otonomi daerah dan
implementasinya lebih ditujukan pada upaya mempertahankan kemerdekaan.
2. Undang-undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan
Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Undang-undang ini ditetapkan berdasarkan
UUD 1945. Menurut undang-undang ini, terdapat 3 (tiga) tingkatan daerah yaitu
provinsi, kabupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Selain daerah otonom (biasa)
terdapat pula daerah istimewa yang setingkat provinsi dan kabupaten. Pada periode
ini dibentuk daerah-daerah sekaligus dengan penyerahan otonominya (urusan
pangkal). Prinsip pemberian otonomi kepada daerah tidak diegaskan. Urusan yang
diserahkan kepada provinsi untuk dijadikan urusan rumah tangganya pada umumnya
meliputi 15 urusan yaitu urusan-urusan 1) umum, 2) pemerintahan umum, 3) agraria,
4) pekerjaan umum (pengairan, jalan, dan gedung), 5) pertanian, perikanan, dan
koperasi, 6) kehewanan, 7) kerajinan, perdagangan dalam negeri, dan perindustrian,
8) perburuhan, 9) sosial, 10) distribusi, 11) penerangan, 12) pendidikan, pengajaran,
dan kebudayaan, 13) kesehatan, 14) perusahaan, dan 15) urusan lalu lintas dan
angkutan bermotor. Sedangkan kepada daerah-daerah kabupaten yang sudah
terbentuk diserahkan 14 urusan (hampir sama dengan urusan provinsi kecuali urusan
lalu lintas dan angkutan bermotor). Walaupun isi undang-undang ini dirasakan lebih
lengkap dari UU No.1 tahun 1945, dalam praktiknya tidak sempat dilaksanakan
sepenuhnya karena kesibukan menghadapi pemberontakan Madiun dan agresi
Belanda ke berbagai daerah. Pelaksanaan undang-undang ini sempat terkendala pula
oleh pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat) yang salah satu negara bagiannya
adalah NKRI. Setelah NKRI utuh kembali, dari sejumlah urusan-urusan tadi, hanya
setengahnya yang dapat diserahkan kepada daerah dengan peraturan khusus.
3. Undang-undang No. 1 tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-undang ini ditetapkan berdasarkan UUDS 1950. Menurut undang-undang ini,
daerah dibedakan dalam 3 tingkat yakni daerah swatantra/istimewa tingkat I setingkat
provinsi membawahi seluruh daerah/istimewa swatantra tingkat II setingkat
kabupaten dan kotapraja (kota besar/kecil). Daerah swatantra tingkat II kabupaten
membawahi daerah tingkat III (jika diperlukan) yang namanya ditentukan dalam
masing-masing peraturan pembentukannya, sedangkan Kotapraja daerah tingkat II
tidak membawahi daerah tingkat III. Khusus Kotapraja Jakarta Raya berada dalam
posisi setingkat provinsi (daerah tingkat I). Dalam hal otonomi daerah, undang-
15
undang ini menganut sistem otonomi riil. Urusan-urusan pusat dan urusan rumah-
tangga daerah tidak ditetapkan secara rinci, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan riil pusat/daerah berdasarkan keadaan dan faktor-faktor nyata.
4. Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah.
Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari Dekrit Presiden 1959 (kembali ke
UUD 1945). Menurut undang-undang ini, seluruh wilayah RI dibagi habis ke dalam
daerah-daerah otonom yang tersusun dalam 3 tingkatan yaitu provinsi / kotaraya
sebagai DT I, kabupaten / kodya sebagai DT II dan kecamatan sebagai DT III.
Mengenai otonomi daerah, undang-undang ini juga menganut sistem seperti UU no.
1 tahun 1957 yaitu sistem otonomi riil namun memberi peluang untuk menyerahkan
sebagian urusan pusat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5. Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah.
Undang-undang ini ditetapkan berdasarkan UUD 1945 dan merupakan tindak lanjut
dari adanya penggantian Presiden RI dari Bung Karno (Orla) kepada Pak Harto
(Orba). Dengan undang-undang ini dibentuk Daerah (daerah otonom, dalam rangka
desentralisasi) dan Wilayah (daerah administrasi, dalam rangka dekonsentrasi).
Daerah tersusun dalam 2 tingkat, yaitu Daerah Tingkat (DT) I dan Daerah Tingkat II,
sedangkan Wilayah tersusun ke dalam 5 tingkat yaitu Provinsi, Kabupaten/Kodya,
Kotip (bagi yang ada), Kecamatan, dan Kelurahan. Mengenai otonomi daerah,
undang-undang ini menganut sistem otonomi yang nyata dan bertanggungjawab
dengan titik beratnya diletakkan pada DT II sebagaimana ditegaskan dalam PP No. 45
tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada
Daerah Tingkat II. Pada masa ini, urusan yang dijadikan urusan rumah tangga daerah,
selain urusan pangkal yang telah diterima daerah pada saat pembentukannya,
diserahkan pula urusan-urusan tambahan yang ditetapkan dalam berbagai peraturan.
Walaupun demikian, dalam praktiknya wewenang DT II sangat terbatas. Contoh,
pembentukan kecamatan merupakan wewenang Pusat, pendirian SLTP dan SLTA
negeri masih wewenang provinsi, dan pembentukan desa masih wewenang Gubernur.
16
yang ditetapkan ada tanggal 23 November 1945. UndangUndang No. 1 Tahun 1945
mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah), sebagaimana kita ketahui bahwa
pada masa awal kemerdekaan setelah proklamasi, bangsa Indonesia belum memiliki
perangkat kenegaraan yang memadai, sehingga diaturlah bahwa pada masa awal
kemerdekaan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menyelenggarakan semua tugas-
tugas lembaga kenegaraan, sampai terbentuknya lembaga negara seperti yang dimaksud
dalam UUD 1945.
a. Radikalisme PKI
b. Terjadinya oportunisme politik yang didorong oleh ambisi pribadi
c. Terjadinya penyelewengan ekonomi.
19
Drs.Josef Riwu Kaho,MPA. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 2002), hlm.31
17
undang sebelumnya. Undang-undang nomor 22 tahun 1948 juga lebih detail dalam
mengatur pemerintahan daerah. hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 undang-undang
nomor 22 tahun 1948 yang menyatakan bahwa :
Pemilihan kepala daerah yang dilakukan DPRD adalah retorika belaka, sebab siapa
yang harus jadi telah ditetapkan sebelumnya termasuk siapa mendapatkan berapa suara.
Apabila skenario tidak berhasil, dan calon yang diunggulkan ternyata tidak terpilih, maka
pemerintah pusat akan dengan mudah memilih/mengangkat kembali orang yang telah
diproritaskan tersebut, sebab hasil pemilihan DPRD kemudian diajukan kepada pusat, dan
pusat bebas menentukan siapa yang akan dilantik dari hasil usulan/hasil pemilihan tersebut
(Pasal 15 UU No. 5 tahun 1974)
Undang-undang no. 5 tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan
pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
20
Ibid, hlm.37.
18
2.7 Pemerintahan Daerah Pada Masa Orde Reformasi
Krisis moneter yang melanda asia kemudian menjadi momentum untuk menggusur
pemerintahan orde baru. Harus diakui bahwa terlepas dari keberhasilannya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, pemerintah orde baru telah gagal menciptakan sistem politik dan
kehidupan bernegara yang demokratis.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, rezim orde baru dinilai tidak adil oleh
daerah-daerah yang memiliki nilai lebih dalam arti memiliki sumber daya alam yang
berlimpah. Ketidak adilan tersebut ditandai dengan pengaturan sistem pemerintahan darah
yang sentralistis, berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan
daerah Undang-Undang No. 5 tahun 1974 dibuat dengan asumsi bahwa dengan
memberikan otonomi yang seluasluasnya daerah akan menjadi tidak respek terhadap
pemerintah pusat yang pada akhirnya akan menyebabkan disintegrasi. Dalam bidang
pemerintahan daerah, Habibie menjawab tuntutan daerah kaya, dengan mengeluarkan
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang
No. 25 tahun 1999 tentang pertimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kedua
Undang-Undang tersebut secara subtansial sangat berbeda dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah. Dalam beberapa hal Undang-Undang No. 22
tahun 1999 dianggap telah menganut asas-asas federalism, sering dengan semakin
sedikitnya kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat di daerah. Dalam pasal 7 Undang-
Undang No. 22 tahun 1999, yang menegaskan bahwa kewenangan pemerintah pusat di
daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan bidang lain.
Megawati Soekarno Putri yang rasionalis telah banyak diprediksi sebelumnya, bahwa
pemerintahannya tidak akan sungguh-sungguh menangani pelaksanaan otonomi daerah
berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
dalam banyak hal kedua Undang-Undang tersebut mengandung banyak persoalan. Di era
Megawati Soekarnoputri dengan Mendagrinya Hari Sabarno, timbul upayaupaya untuk
merevisi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, padahal UU tersebut belum sepenuhnya
dijalankan, berhubung masih banyaknya aturan pelaksanaan kedua Undang-Undang
tersebut yang belum dikeluarkan oleh pemerintah.21
21
Ibid, hlm 107
19
Kebijakan tentang Pemerintahan Daerah yang lahir berdasarkan pembabakan waktu
diatas sangat bervariasi baik secara formal maupun material. Meskipun UUD 1945 yang
menjadi acuan Konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi
kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu
mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-
menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah
dianalisis sejak Tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi
banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas
dalam aturanaturan mengenai Pemerintahan Daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU
Pemerintahan Daerah.
Desentralisasi mengandung dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus dan atau bagian dari urusan pemerintahan tertentu. Pelaksanaan
desentralisasi dalam Negara Kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan
mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat, tetapi tidak dimungkinkan
adanya daerah yang bersifat Negara yang dapat mendorong lahirnya Negara.
Desentralisasi dapat menjadi instrumen (alat) dalam mencapai tujuan Negara dan
keseimbangan antara kebutuhan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, keutuhan
Kesatuan dan persatuan bangsa dapat tercipta. Konsep demikian memberikan pemahaman
bahwa pembagian kekuasaan atau kewenangan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip
pokok, yaitu kewenangan pemerintahan yang secara absolut tidak diserahkan kepada
daerah karena bersangkut paut dengan kepentingan kehidupan bangsa dan tidak ada
kewenangan atau kekuasaan pemerintahan yang diserahkan 100% (seratus persen) atau
sepenuhnya kepada daerah, kecuali kewenangan pemerintahan yang menyangkut
kepentingan masyarakat setempat.
Hal tersebut menjadi sangat penting karena di satu sisi, penguatan pemerintahan di
daerah melalui desentralisasi tanpa pengaturan yang tegas dalam peraturan perundang-
20
undangan akan membuat “kabur” makna otonomi, di sisi lainnya pembelengguan makna
otonomi akan menggiring penyelenggaraan pemerintahan kepada sendi-sendi sentralisiasi,
yang secara langsung bertentangan dengan kaidah mendasar dalam UUD 1945 sebagai
hukum dasar penyelenggaraan Negara (pemerintahan) di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adanya otonomi daerah merupakan sebuah toleransi pemerintah pusat terhadap
Pemerintahan Daerah yang badan pemerintahannya dipilih penduduk setempat dan
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan
peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan nasional. Pelaksaan
Otonomi Daerah di Indonesia tentunya memiliki dampak baik posisif maupun negatif. Hal
mana yang berdampak pada kesejahteraan warga daerah itu sendiri. jadi sebaiknya
otonomi daerah diterapkan dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat.
Pada masa Orde lama otonomi belum sepenuhnya dilaksanakan, karena pimpinan
negara yang menerapkan demokrasi cenderung bersikap otoriter dan sentralistis dalam
melaksanakan pemerintahannya. Demikian pula pada masa orde baru tidak begitu berbeda
jauh, dengan demokrasi pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat
sama yaitu sentralistis dan otoriter. Sedikit lebih berbeda pada masa reformasi karena
tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah sangat gencar sehingga pemerintah secara
serius pula menyusun kembali Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah dengan melalui masa transisi dan sosialisasi untuk melaksanakan
kebijakan otonomi daerah, akan tetapi tidak jarang terjadi sengketa antar daerah yang
memperebutkan batas wilayah dan juga perebutan sumber pendapatan antara pemerintah
pusat daerah.
22
DAFTAR PUSTAKA
23