Anda di halaman 1dari 26

PEMERINTAHAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintahan Daerah

Dosen Pengampu:
Arif Wijaya, SH., M.Hum.

Oleh:
1. Hindun Miratul Ummah (05010420006)
2. Achmad Mutawakil Awaludin(05020420022)
3. Silvia Nur Faizah (05040420087)

PROGAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada sang Maha Penguasa Alam, yang telah menciptakan kita
semua pendengaran, penglihatan dan hati , sehingga kita masih bisa menghirup nafas dan masih
bisa beraktivitas serta mampu menuntut ilmu hingga pada hari ini. Berkat karunia, rahmat, serta
hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada
waktunya.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada sang pembawa
peringatan Nabi Muhammad SAW, yang mana Beliau telah membawa rahmat bagi seluruh
alam dengan membawa Al Qur’an sebagai petunjuk bagi kita semua (manusia). Dalam
penyusunan tugas makalah ini kami berterima kasih kepada Bapak Arif Wijaya, SH., M.Hum.
Selaku dosen Hukum Pemerintahan Daerah yang telah memberikan kesempatan saya untuk
memenuhi makalah ini. Adapun pembahasan yang dibahas dalam makalah ini adalah
“Pemerintahan Daerah Dalam Perspektif Sejarah”

Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan. Karena itu, kami mengharap kritik dan saran yang dapat
membangun dari semua pihak demi perbaikan tugas ini.

Surabaya, 12 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 6

2.1 Penyelenggaraan Otonomi Daerah .................................................................................. 6

2.2 Pemerintahan Daerah Pada Masa Kolonial Belanda ....................................................... 9

2.3 Pemerintahan Daerah Pada Masa Kolonial Jepang ....................................................... 12

2.4 Pemerintahan Daerah Pada Masa Kemerdekaan ........................................................... 13

2.5 Pemerintahan Daerah Pada Masa Orde Lama ............................................................... 16

2.6 Pemerintahan Daerah Pada Masa Orde Baru ................................................................ 17

2.7 Pemerintahan Daerah Pada Masa Orde Reformasi ....................................................... 19

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 22

3.1 Kesimpulan .............................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah yaitu tanggapan pemerintah pada beragam harapan rakyat terhadap
negara dan pelaksanaan pemerintah. Hal tersebut menjadi tanda jika hidup demokrasi
sudah maju dibangsa ini, sebab warga negara membutuhkan layanan yang efektif dan
responsive. Suatu cara dalam membentuk layanan yang efektif yaitu otonomi daerah.
Adanya perubahan lingkungan dalam pemda diIndonesia serta pemberlakuan UU No. 22
Tahun 1999, maka daerah, propinsi, dan kabupaten/kota diberi wewenang dalam
mengedalikan keperluan publik atas prakarsanya. sesuai dengan keinginan rakyat akan
menyesuaikan aturan undang-undang yang berlaku.1

Pemberian otonom dengan luas terhadap daerah bertujuan dalam menyepatkan


penyelenggaraan kemakmuran sosial dengan meningkatkan layanan, memberdayakan,
serta pelibatan rakyat. Selain itu, dengan otonom yang luas dilingkungan strategis
globalisasi diharapkan daerah dapat menambah daya saingnya yang akan melihat
rancangan demokrasi, memeratakan, keadilan, mengistimewakan, serta keragaman daerah
dalam NKRI.2

Pasca pengesahan paket UU otonom daerah, beragam pihak yang membahas sisi positif.
Tak dapat dipungkiri jika otonomi daerah telah memberi perubahan yang baik dalam
pengaturan diri daerah di daerah. Lembaga ini merupakan harapan sebab rancangan
pemerintah sentralistik akan memposisikan dirinya menjadi aktor yang periferal dalam
pembangunan daerah. Dulu, potensi daerah terus digali hingga ke pusat dengan bendera
pemerataan pembangunan.

Alih-alih menikmati pembangunan, daerah malah mendapatkan kemiskinan yang


luarbiasa. Dengan mandat itu, beragam daerah yang tampak percaya diri dapat
membalikkan keterpurukan tersebut. Ada beberapa masalah yang jika tidak diselesaikan
dapat berdampak negatif bagi tatanan tata negara Indonesia. Permasalahan itu yaitu:3

1
Dewirahmadanirwati, “Implementation of Regional Autonomy in Realizing Good Governance In The West
Sumatera Region,” Jurnall JISIP (Ilmiah Pendidikan Scholastic), 2.3 (2018), 43–50 <http://e-journal.sastra-
unes.com/index.php/JIPS>.
2
Undang-Undang No 23 Tahun 2014.
3
Faisal, “Otonomi Daerah : Masalah dan Penyelesaian di Indonesia,” Jurnal Akuntansi, 4.2 (2016), 206–15
<https://ja.ejournal.unri.ac.id/index.php/JA/article/view/3370/3287>.

1
1. Pemanfaatan pendapatan daerah
Sebuah akibat dari otonomi yaitu semakin besarnya kompetensi daerah saat
mengelola perekonomiannya sendiri, mulai dari pengumpulan pendapatan hingga
pendistribusian penggunaan pendapatan daerah tersebut. Dalam otoritas seperti itu,
ada risiko nyata bahwa daerah akan berusaha untuk memaksimalkan daripada
mengoptimalkan penghasilan daerah.

Usaha tersebut didasarkan pada fakta jika daerah perlu memiliki kecukupan
uang baik bagi keperluan rutin maupun untuk pembangunan. Dalam skenario seperti
itu, banyak daerah tetap terjebak dalam model peningkatan pendapatan asli daerah
tradisional berupa pengumpulan perpajakan maupun retribusi. Untuk pemda, model
tersebut tentunya sangatlah mudah diimplementasikan sebab adanya koherensi
lembaga negara. Potensi yang tak dapat dijalankan pada negara yang berdemokrasi
modern. Model kolonial tersebut akan jadi keputusan yang paling penting sebab
pemerintah tidak mampu mengembangkan karakter kewirausahaan.

2. Kurangnya Pemahaman Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah


Desentralisasi yaitu langkah pemerintaj yang berkaitan dalam pemerinthan
pusat dengan daerah. Desentralisasi dibutuhkan dalam menambah kemaksimalan
administrasi. Sebagai infrastuktur edukasi politik didaerah. Mendukung keutuhan
negara maupun mengintegrasi. Melaksanakan dinamika demokrasi pada
penyelenggaraan pemerintah didaerah. Memberi peluang untuk masyarakat dalam
membangun karir disektor politik serta pemerintah. Sebagai peluang percepatan
dalam pengembangan daerah. Diwujudkan dengan pemerintah yang bersih dari
korupsi. Sehingga pengetahuian tentang rancangan desentralisasi serta otonom harus
kokoh.

Menurut UU No 32 Tahun 2004 mengenai PemerintahanDaerah, dan UU No


33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, mengalihkan
fungsi pemerintah pusat kedaerah pada berbagai persoalan lewat propinsi. Menurut ke
dua UU tersebut, seluruh tugas pegawai negeri, terkecuali tahan, luar negri, aturan
moneter, keungan, kebijakan komersial serta hukum akan dipindah menuju daerah
otonom. Kota dan daerah bertanggungjawab atas seluruh aspek layanan public,
misalnya kesehatan, edukasi, serta infrastruktur; propinsi akan berperilaku menjadi

2
coordinator. Apabila terdapat tanggungjawab lain yang tak disebutkan pada UU akan
menjadi tanggungjawab pemerintah kota.

3. Aturan pelaksanaan otonomi daerah tidak memadai

DPRD akan berkembang jadi potensi politik baru yang nyata. Badan legislatif
tersebut dapat dengan mandiri memilih gubernur dan kepala negara/wali kota dengan
tidak mengganggu kebijakan serta dampak politik dari pemerintahan pusat. Aturan
daerah bisa diputuskan secara mandiri ditingkat daerah dengan persetujuan pemda dan
DPRD. Setidaknya ada 2 alasan kenapa hal tersebut dapat timbul, yakni:

1) Pemerintahan pusat terkesan tidak serius dalam memberi hak otonom terhadap
pemda.
2) Desentralisasi menyulut semangat yang tidak terkontrol dikalangan para elite
daerah yang menimbulkan perasaan daerah yang sangat kokoh. Ungkapan “anak
daerah” muncul diberbagai tempat untuk menjadi wakil perasaan daerah, yang
terbentuk sebagai kebutuhan jika jabatan tertinggi dalam pemda harus diisi
penduduk asli kawasan itu.

4. Keadaan sumber daya manusia instansi pemerintah yang mendukung penuh


penyelenggaraan otonomi daerah
Dari berlakunya otonom daerah, beberapa pemda dapat menjalankan amanah
konstitusi untuk menambah tingkat kehidupan masyarakat, meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dan mencerdaskan masyarakat. Menurut data saat ini, 20%
kota mampu melaksanakan pemerintahan daerah sendiri dan menghasilkan
kesejahteraan rakyat di daerah.
Pada saat yang sama, 80% kotamadya belum mampu melaksanakan visi, misi
serta sistem desentralisasi. Terwujudnya otonom daerah sehat dimungkinkan dengan
peningkatan kapasitas dan kompetensi masyarakat sebagai pelaksana. Pelaksanaan
otonom daerah bisa berlangsung secara maksimal hanya jika penyelenggaraannya
baik dari segi mental, integritas dan kemampuan.

5. Korupsi di Daerah.
Peristiwa lainnya yang telah lama mencemaskan beragam pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan otonom daerah yaitu berpindahnya praktek korupsi pusat
kedaerah. Sumber korupsi lainnya yang berjalan adalah tahap dalam akuisisi produk

3
atau layanan didaerah. Sering terjadi nilai anggaran produk yang tinggi atas nilai
dipasar. Kolaborasi pada departemen pengadaan serta mitra jadi lebih umum.
Diberikannya kesempatan yang berlebih pada pejabat didaerah akan an menunjukkan
kecerobohan pemda saat mengendalikan perekonomian daerah.

6. Munculnya konflik antar daerah


Peristiwa yang kuat pada penyelenggaraan otonom daerah, yakni masalah
horizontal dalam pemerintahan propinsi dan daerah, akibat dibatalkannya UU No. 22
tahun 1999, menegaskan tak adanya keterkaitan hirarki antar daerah. pemerintahan
kabupaten dan pemerintahan kabupaten maupun kota, yang menjadikan pemerintahan
tersebut berkedudukan sama serta tak berada di bawah pemerintahan kabupaten.4

Terwujudnya otonom daerah, peristiwa etnosentrisme maupun gejala awal


daerah makin menguat. Tanda-tanda etnosentrisme ini dapat dilihat pada beberapa
kebijakan sektoral tentang pemekaran didaerah, memilih pemimpin daerah, merekrut
birokrasi daerah serta aturan lain. Disamping itu, hambatan keruntuhan bisa
menimbulkan masalah. Gagasan dalam melimpahkan kekuasaan secara meluas
kedaerah menjadi kebijakan pembagian bambu yang sudah sering dibudayakan dari
jaman kolonial.

Otonom daerah membagi daerah jadi daerah basah serta kering. Pembagian
tersebut kian memperdalam kesenjangan pengembangan didaerah maju dan kurang
berkembang. Terdapat kemungkinan SDA didaerah tersebut akan memunculkan
kesulitan saat menjadi penetu batasan setiap daerah. Masalah horisontal mudah
berkobar.

4
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa setiap Pemerintah Daerah memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur serta
mengurus sendiri?
2. Bagaimana Latar Belakang Pembentukan Pemerintah Daerah di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan uraian dari rumusan masalah, penulisan ini ditujukan guna mengetahui
tentang ruang lingkup hak atas tanah, yang terbagi atas beberapa hak, yakni;
1. Memahami hak daerah dalam menyelenggarakan otonomi nya sendiri, Sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku.
2. Menjabarkan faktor historis pemerintah daerah di Indonesia, Sejak masa penjajahan
hingga sekarang.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Menurut pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menyatakan jika NKRI terbagi dalam propinsi,
kabupaten serta kota, masing-masing propinsi, kotamadya, serta kota tersebut memiliki
pemerintah daerah yang terdapat dalam UU. Selain itu, ayat 2 pasal tersebut menyatakan
jika pemerintah daerah propinsi, administratif, serta kota akan menjelaskan serta
menyelenggarakan sendiri kebijakan pemerintaj berdasarkan asas otonom juga
pengelolaan bersama.

Berikutnya berdasarkan pasal 1 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintah


Daerah menyebutkan jika penyelenggaraan pemerintah daerah yaitu pelaksanaan aturan
pemerintah provinsi dan DPR Provinsi berdasarkan asas otonom serta pengelolaan
bersama, sesuai terhadap asas otonom dengan meluas pada rancangan NKRI berdasarkan
UUD 1945. Selain itu, pemda menunjuk pemimpin daerah menjadi bagian dari pemerintah
daerah yang mengarahkan penyelenggaraan undang-undang.5

Otonomi daerah yaitu kebijakan sebuah daerah dalam mengendalikan


pemerintahannya serta kebutuhan rakyatnya berdasarkan perundang-undangan serta
dengan langkah tersendiri yang tak melanggar aturan undang-undang pokok. Berdasarkan
UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, definisi otonomi daerah berarti hak, kewenangan,
serta kewajiban didaerah otonom dalam mengandalikan kebijakan pemerintahan dalam
keperluan publik yang diatur menggunakan undang-undang.

Sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004, bahwa penyelenggaraan pemerintahan


kabupaten/kota berlandaskan desentralisasi dengan bentuk otonomi yang meluas, nyata
serta bertanggungjawab, yakni:6

a. Kekuasaan otonomi luas yaitu kekuasaan pengambilan keputusan daerah dalam


melaksanakan pemerintah yang meliputi seluruh wilayah. Sektor pemerintah, tidak
termasuk dibidang politik luarnegeri, ketahanan dan keamanan, hukum, keuanga serta
pajak keagamaaan, juga yurisdiksi di bidang lain yang ditentukan oleh undang-

5
Achmad Fauzi, “Otonomi Daerah Dalam Kerangka Mewujudkan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Yang
Baik,” Spektrum Hukum, 16.1 (2019), 119–36 <https://doi.org/10.35973/sh.v16i1.1130>.
6
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

6
undang. Kebebasan otonomi juga mencakup kekuasaan eksekutif yang maksimal,
dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, mengendalikan, serta mengevaluasi.
b. Otonom sejati yaitu hak daerah untuk menyelenggarakan pemerintah negara disuatu
daerah yang ada serta diperlukan dan bertumbuh, hidup serta berkembang didaerah.
c. Otonom bertanggungjawab yaitu wujud tanggungjawab yang dihasilkan dari hak dan
wewenang yang diberikan dalam meraih arah otonom dengan berbentuk
pemaksimalan kemakmurah rakyat, pengembangan dan pemeliharaan hidup
demokrasi, serta pemajuan keadilan. persamaan jalinan dengan sehat dipemerintah
pusat dengan daerah dalam melindungi keutuhan NKRI.

Dalam batas-batas otonom, jalinan kekuasaan pusat dengan daerah akan


berhubungan terhadap langkah dalam membagi kebijakan administrasi negara maupun
pembagian kebijakan dalam daerahnya. Langkah mendefinisikan tersebut
menggambarkan wujud otonom terbatas maupun meluas. Hal ini bisa diklasifikasikan
dalam penentuan nasib sendiri secara terbatas jika: Pertama, urusan dalam negeri daerah
didefinisikan dengan kategori serta perkembangannya juga dijelaskan menggunakans
ebuah langkah. Ke dua, jika rancangan pengawasan dan pengendalian dilaksanakan
dengan berbagai cara maka daerah akan kehilangan kemandiriannya dengan kebebasan
memutuskan bagaimana rumah tangga daerah diatur dan dikelola. Ketiga, sistem
hubungan ekonomi dipusat atau daerah yang menimbulkan pertanyaan misalnya
terbatasnya potensi awal dalam finansial daerah yang memberi batas gerakan otonom
daerah.7

Otonomi umum menyimpang atas asas: Pada asasnya segala urusan pemerintahan
jadi kebiajkan rumahtangga daerahnya, terkecuali urusan yang ditetapkan menjadi
kebijakan pusat. Pada bangsa modern, apalagi jika dipadukan terhadap konsep bangsa
makmur, volume kebijakan pemerintah tak diakui.8 Otonom daerah, disaksikan
berdasarkan segi wilayah, adalah pelaksanaannya pada batasan wilayah berdasarkan
pemerintahan pusat yang dipilih. Dilihat berdasarkan isi pelaksanaan otonom daerah,
objek sasaran ditetapkan menurut rancangan rumah yang disetujui oleh otonom daerah.

Otonomi teritorial harus diartikan sebagai otonomi penduduk daerah, bukan sebagai
otonomi "teritorial" dalam arti daerah/wilayah tertentu pada tingkat lokal. Walaupun

7
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Cetakan Ke II (Bandung: Nusa Media, 2010).
8
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UII, 2001).

7
pelaksanaan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan daerah, namun
perlu dikendalikan dengan keadilan, kejujuran, serta demokratis. Pada konteks ini,
pemerintah daerah perlu dapat secara efektif dan efisien menangani amanat yang diperoleh
untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Perspektif seperti ini cocok
dalam memaparkan keterkaitan pemimpin didaerah serta otonom daerah.9

Namun, penyelenggaraan otonom daerah tetap menimbulkan pertanyaan tentang 2


masalah: pertama, perolehan keuangan, yang dianggap di luar potensi daerah dalam
pelaksanaannya. Ke dua, persiapan perangkat daerah untuk memperkenalkan otonomi
yang belum diketahui. Masalah khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan provinsi
adalah pembiayaan dan kesiapan perangkat daerah. Terdapat beragam daerah yang
memiliki kebiajakn SDA yang kaya namun tak dapat mengendalikannya secara bijak
karena kekurangan SDM yang andal. Di sisi lain, beragam daerah mempunyai SDM yang
andal, namun SDA-nya tidak cukup mendorong dalam mengembangkannya menjadi
rancangan penghasilan daerah..

Pada tahun 1999 dilaksanakan kebijakan otonomi seluas-luasnya bagi daerah


kotamadya, agar daerah kotamadya maju serta mandiri pada pengelolaan juga
penyelenggaraannya. Tetapi, otonomi seringkali dihubungkan pada sejumlah administrasi
yang bisa dimobilisasikan suatu daerah untuk memberi pembiayaan kegiatan. Padahal,
keywords otonom daerah yaitu “kewenangan”, sejauh mana kekuasaan suatu daerah untuk
memulai, melaksanakan dan memobilisasi sumber daya untuk melaksanakan kebijakan.

Dengan mandat ini, daerah menciptakan penghargaan dan insentifitas bagi aktivitas
perekonomian dalam pengembangan daerah. Adanya otonomi yang luas dalam daerah,
pemerintah daerah mempunyai kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan
potensi sumber daya manusianya dan kemungkinan pengelolaan sumber daya alam secara
optimal dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, diperlukan
pengawasan (pemeriksaan) intern yang independen untuk melaksanakan pengelolaan
daerah yang baik. Kontrol operasional yang efektif dan transparan dari dewan perwakilan
daerah setempat dan kontrol eksternal dari BPK yang bertanggung jawab juga diperlukan.

9
J Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

8
Sehingga pelaksanaan pemerintah daerah pada otonom daerah bisa dengan langsung
dilaksanakan.10

2.2 Pemerintahan Daerah Pada Masa Kolonial Belanda


Menurut etimologis, kata India bersumber dari kata Latin Indus. Penamaan aslinya
Hindia Belanda, diartikan ke dalam bahasa Inggris menjadi "Hindia Belanda", dicatat
dalam VOC sejak 1620. Dari abad ke19, kepemilikan dan hagemoni Belanda meluas dan
sampai pada batasan teritori terbesarnya diawal abad ke20. Hindia Belanda yaitu suatu
kolonial Eropa yang bernilai di bawah Kekaisaran Belanda serta berperan dalam dominasi
global Belanda pada penjualan rempah atau hasil buminya.

Pemerintah Belanda sudah melakukan perjalanan militernya ke sejumlah daerah di


Sumatera, Jawa, Kalimantan serta Lombok. Walaupun dalam pemberontakan pecah
diIndonesia, antara tahun 1901 dan 1910 kekuasaan administrasi kolonial diperluas ke
seluruh bagian Nusantara, dan penguasaan daerah-daerah ini juga diambil oleh penguasa
domestic yang tersedia. Kampanye militer di wilayah Sulawesi diselenggarakan sejak
1905-1906. Sejak 1901, Belanda mengadopsikan 'PolitikEtis', yang menurutnya menjadi
pemerintahan kolonial ditugaskan dalam menambah kemakmuran rakyat Indonesia pada
kesehatan maupun edukasi. Kebijakan terbaru lain termasuk irigasi, transportasi,
komunikasi, penanggulangan banjir, industrial, serta program pelindungan masyarakat
adat. Industrialisasi tak banyak mempengaruhi sebagian besar masyarakat Indonesia, serta
Indonesia selalu menjadi koloni pertanian.

Menjelang diakhir abad ke19, pemerintahan Belanda sudah merancang keadaan di


Hindia Belanda. Hal ini disebabkan munculnya kesadaran moral pasca eksploitasi
masyarakat adat lewat cultuurstelsel dimasa pemerintah pada masa pemerintahan Jenderal
Johanes vanden Bosch sejak 1830 diHindia Belanda. Sistem tersebut menurut Sosialis
Demokrat Josef Emanuel Stokis sangat menguntungkan Belanda pada saat itu, tidak dapat
dipungkiri jika Belanda mendapat kelebijan sejumlah 823 juta gulden setelah mengirimkan
vanden Bosch. kemenangan diawal tahun 1831. Selama masa tersebut, Hindia Belanda

10
Fauzi.

9
hanyalah di anggap menjadi kawasan pengeksploitasi tanpa memenuhi kewajiban
kolonialnya.11

Dalam bidang pemerintahan, Hindia Belanda langsung berada di bawah pemerintah


Belanda, serta sejumlah keputusan tergantung kepada keadaan politik bangsa Belanda
disaat itu. Pendapat terdahulu bersama Ramsoed Gaboren de Verlore mengatakan jika
Belanda hanyalah komoditas yang memberi keuntungan untuk Belanda serta tak melihat
hidup masyarakat Indonesia. Ketakutan akan pemisahan Belanda memunculkan gagasan
jika sistem administrasi baru perlu diperkenalkan di Hindia Belanda, sehingga sistem
administrasi yang paling cocok adalah sistem administrasi terpusat. atau sistem kontrol
terpusat.

Semuanya dimulai dan dijelaskan dipusat, diorganisir pemerintahan pusat serta


kecenderungan dalam mewujudkan otonom daerah tidak terbuka dalam abad ke19.
Rancangan pemerintah Belanda dijelaskan hukum Belanda. Pada masa penjajahan,
terutama pada masa kependudukan Belanda, pemerintahan tersebut membentuk
desentralisasi yang sentralistik, birokratis, serta feodalistik demi kebutuhan kolonialisme.
Penjajahan Belanda mengatur hirarki Boemiputra dan WNA yang wajib mematuhi
Gubernur Jenderal. Pemerintahan Belanda mengalokasikan wilayah dalam administrasi
rumahtangga dan membagi daerah otonomi di bawah kekuasaan Belanda jadi provinsi,
bupati, serta kotamadya. Sehingga pemerintah akan diarahkan menjadi serah, semuanya
dijelaskan dalam pemerintahan pusat. Walaupun masalah domestic yang sederhana tak
signifikan, tetap jadi perhatian utama. Akibatnya, banyak wilayah Belanda yang tak
memperoleh perhatian pemerintahan dipusat Batavia.12 Kondisi Belanda yang prihati
menjadikan empati bagi mereka. Gambar tersebut menyatakan hak penduduk asli Hindia
Belanda untuk hidup layak.13

Kebijaksanaan pemerintah kolonial semata-mata bukan untuk menghapuskan sistem


ketatanegaraan yang ada. Pemerintah Kolombia adalah negara pendatang yang hendak
merajai Indonesia, dan menyadari seluruhnya jika eksistensinya tak aman. Pemerintahan
Belanda melaksanakan jalinan politik bersama pemerintahan dikerajaan yang dihormati

11
Gouda Frances, Dutch Culture Overseas Praktik kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942 (PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2007).
12
Bayu Surianingrat, Sejarah Pemerintahan di Indonesia Babak Hindia Belanda dan Jepang (Jakarta: Dewaruri
Press, 1981).
13
Syaukani, Otonomi Daerah Negara Kesatuan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).

10
rakyat. Motif dari pemerintahan kolonialisme dalam melangsungkan jalinan politik yaitu
untuk mencoba memantapkan pengaruh politiknya di kalangan elit politik dikerajaan.
Disatu sisinya, sistem keuangan kolonialisme diperkenalkan dan diterapkan, dengan
memperkenalkan rancangan birokrat modern, sementara disisi lainnya, rancangan
keuangan tradisional selalu dijaga. pengelolaan pemerintahan kolonial Birokrat
pemerintah kolonialisme dirancang dengan hierarjus terhadap pemimpin Belanda. Saat
menjalankan aturan pemerintah bangsa yang dijajah, seperti Indonesia, RatuBelanda
memindahkan wakil yaitu GubernurJenderal. Kuasa dan wewenang GubernurJenderal
yaitu segala kebijakan politik didalam kawasan yang dijajah dibawah kekuasaannya.14

Bangsa Belanda dan Eropa yang mendatangi Indonesia dimasa lampau merasakan
kenyamanan sehingga bersemayam di sana. Mereka menjelaskan jika Indoenesia menjadi
negara yang indah untuk ditinggali, sehingga menghadirkan hidup Indonesia yang tenang,
damai serta tentrram. Lalu penduduk Eropa yang tiba di Hindia Indonesia berpikir jika
Indonesia sebenarnya tak tertata serta bersih seperti asalnya. Mereka berpendapat jika
persoalan tersebut disebabkan oleh tak terdapatnya badan otonomi untuk mengendalikan
kawasan-kawasan tersebut. Kawasan itu tak memiliki wewenang dalam mengendalikan
wilayahnya. Semuanya dijelaskan menurut Gubernur Jenderal yang berada di Batavia, hal
ini menjadikan kuasa Gubernur Jenderal diIndonesia sangat luas. Tidak mungkin lagi
berhenti memberikan kewenangan kepada daerah di tingkat lokal.15

Susunan pemerintahan kolonial menempatkan Gubernur Jenderal pada posisi yang


sangat berkuasa dalam segala hal yang menyangkut daerah jajahan. Gubernur Jenderal
dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Gubernur dan Residen. Gubernur adalah wakil
pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia di provinsi, sedangkan di tingkat
kabupaten ada asisten dan inspektur (pengontrol). Gubernur Jenderal mengangkat asisten
dan kepala daerah untuk membantu pengawasan gubernur dan bupati dalam pemerintahan
sehari-hari. Sistem ini membedakan perilaku birokrasi daerah sebelum munculnya
pemerintahan kolonial Belanda.

Pada masa kerajaan, peran penguasa diangkat sebagai kepala daerah dari kalangan
pribumi, yang memiliki kekuasaan mandiri untuk memerintah pemerintahan tanpa kendali

14
M Nur Hasan, “CORAK BUDAYA BIROKRASI PADA MASA KERAJAAN, KOLONIAL BELANDA
HINGGA DI ERA DESENTRALISASI DALAM PELAYANAN PUBLIK,” Jurnal Hukum, XXVIII.2 (2012),
1–9 <http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203>.
15
Teti Hestiliani, “Secentralisatie Wet Van Nederlandies 1903,” ISTORIA, 15.2 (2019), 206–15.

11
sultan. Penguasaan raja hanya ditunjukkan pada momen-momen politik tertentu, seperti
tradisi bertemu raja setiap tahun (paseban) dan mengirimkan upeti kepada raja. Situasi
berubah pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Kekuasaan penguasa untuk menguasai
wilayahnya tidak lagi mandiri, tetapi dibatasi oleh undang-undang, mendapat pengawasan
dari penguasa kontrol yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.

Perubahan sistem administrasi Hindia Belanda menjadi daerah otonom juga datang
dari pihak Hindia Belanda sendiri, karena urusan lokal dan sederhana menjadi semakin
rumit dan pemerintah pusat Bavaria tidak dapat lagi menanganinya. Oleh karena itu,
struktur pemerintahan harus diubah. Tumbuhnya aktivisme lokal pada akhir abad ke-19
disebabkan oleh perubahan sistem ekonomi Hindia Belanda yang sebelumnya diatur oleh
pemerintah, kemudian di bawah rezim liberal, swasta diperbolehkan berinvestasi di Hindia
Belanda. Kepulauan yang menyebabkan dibukanya banyak perusahaan swasta. Akibatnya,
kantor komersial dan bank juga dibuka di beberapa kota besar di Hindia Belanda pada
akhir tahun 1800-an. Rumitnya urusan daerah mengharuskan desentralisasi Hindia
Belanda untuk memperlancar urusan di berbagai daerah.16

2.3 Pemerintahan Daerah Pada Masa Kolonial Jepang


Masa penjajahan Jepang, pemerintahan yang di bentuk adalah “Pemerintahan
Militer”, yang melaksanakan pemerintahan di Indonesia, dengan penyelenggaraan yang
sesuai dengan kepentingan angkatan perang Jepang yang bersangkutan, dengan
melanjutkan pemerintahan yang telah ada, yaitu pemerintahan dari masa Hindia Belanda.
Pemegang kekuasaan pemerintahan militer tertinggi adalah Dai Nippon yang juga
memegang kekuasaan yang dahulu ada ditangan Gubernur Jenderal, dengan sistem
pemerintahan menghapus jalur dekonsentrasi.17 Pemerintahan Daerah diserahkan
Kenco/Bupato dan Si-Co/Walikota, semuanya di bawah Syuucokan/Residen (orang
Jepang), sususnan Pemerintah di Daerah diatur dalam Osamu Seirei No. 27 tahun 1942.
Peraturan perundang-undangan terkait dengan Riwayat otonomi daerah di Indonesia
antara lain sebagai berikut:

16
Teti Hestiliani.
17
Koerniatmanto Soetoprawiro, Pemerintahan Dan Peradilan Di Indonesia (Asal Usul Dan Perkembangannya)
(Bandung: PT Citra Aditiya Bakti, 1994), 13–14.

12
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Menjalankan Pemerintahan
Balatentara. Menurut undang-undang ini, wilayah bekas jajahan Belanda dibagi
menjadi 3 (tiga) daerah pemerintahan yaitu 1) daerah pemerintahan militer Jawa dan
Madura yang dijalankan oleh angkatan darat dan berkedudukan di Jakarta, 2) daerah
pemerintahan militer Sumatera yang dijalankan oleh angkatan darat dan
berkedudukan di Bukittinggi, dan 3) daerah pemerintahan militer Sulawesi,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat yang dijalankan oleh angkatan
laut dan berkedudukan di Makasar.
2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 tentang Perubahan Tata Pemerintahan
Daerah. Menurut undang-undang ini, Jawa dibagi ke dalam beberapa syuu
(keresidenan), Ken (kabupaten) dan Si (kotapraja).
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1942 tentang pembentukan beberapa keresidenan
dan kotapraja luar biasa Jakarta. Jakarta secara khusus dijadikan Tokubetu Si
(kotapraja luar biasa setingkat keresidenan) yang diperintah langsung oleh Gunseikan
(Pembesar Pemerintah Balatentara Jepang).
4. Osamu Seirei (peraturan yang dikeluarkan Gunseikan) Nomor 12 Tahun 1943 tentang
pembentukan beberapa Ken (kabupaten) dan Si (kotapraja).
5. Osamu Seirei Nomor 37 Tahun 1943 tentang pembentukan dewan-dewan perwakilan
rakyat di tingkat keresidenan dan di Jakarta.

Pada masa ini, daerah-daerah provinsi ditiadakan. Otonomi daerah pada masa ini
hamper sama dengan masa sebelumnya, karena Jepang, sepanjang tidak bertentangan
dengan strategi militer dalam mengahadapi perang, masih tetap menggunakan prinsip-
prinsip desentralisasi peninggalan Belanda sampai dengan tahun 1945. Daerah didorong
untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan mampu memenuhi permintaan Jepang
untuk keperluan perang (harta benda dan manusianya)

2.4 Pemerintahan Daerah Pada Masa Kemerdekaan


Perkembangan kebijakan dan landasan hukum penyelenggaraan pemerintahan
daerah, hal-hal yang berkaitan dengan prinsip dan sistem pembagian urusan pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah, dalam rangka penerapan asas desentralisasi di
Indonesia, tertuang dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan yang berbunyi :
“Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan

13
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara dan hak-hak asal
usul dalam daerah yang bersifat istimewa.” Bahwa dari isi dan jiwa Pasal 18 UUD 1945
beserta penjelasannya, menurut Solly Lubis: “Jelaslah bahwa pemerintah diwajibkan
untuk melaksanakan politik “Desentalisasi” dan Dekonsentrasi dibidang ketatanegaraan”,
sebenarnya pasal tersebut lebih banyak mengandung ketentuan tentang penyelenggaraan
pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah.18

Hal itu didasarkan atas pembagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang begitu luas dan kecil serta beraneka suku bangsa, dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah
perkembangan pengaturan tentang pelaksanaan Desentralisasi/otonomi daerah di
Indonesia sejak kemerdekaan 1945 sampai masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974
telah mengalami berbagai pengaturan yang tidak konsisten, yaitu beberapa kali dilakukan.
Perubahan secara prinsip dalam pengaturannya, sehingga dalam kenyataannya di
Indonesia memang belum pernah terjadi Penyelenggaraan Pemerintah Lokal (Pemerintah
Daerah) yang relatif kuat, hal itu pula yang menjadi hambatan pelaksanaan otonomi
daerah, Namun demikian sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan seterusnya
sampai sekarang pelaksanaan otonomi daerah sudah mengalami perkembangan yang
begitu pusat, dan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah masa penjajahan Jepang berakhir dan NKRI berdiri pada tahun 1945,
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan riwayat otonomi daerah di Indonesia
antara lain sebagai berikut:

1. Undang-undang No.1 tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite


Nasional Daerah. Undang-undang ini ditetapkan berdasarkan UUD 1945 yang pada
intinya mengatur antara lain tentang pembentukan daerah otonom keresidenan, kota
dan kabupaten. Pada masa pemberlakuan undang-undang ini, otonomi yang diberikan
kepada daerah disebut ‘otonomi Indonesia’ yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan
karenanya lebih luas dari otonomi daerah jaman Belanda. Jenis urusan dan wewenang
yang dijadikan urusan rumah tangga daerah belum ditetapkan secara rinci.
Pembatasannya, apapun dapat diputuskan dan dilakukan daerah sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan pusat dan daerah yang lebih tinggi. Untuk membiayai
urusan rumah tangga daerah, hampir 100 % ditanggung oleh daerah sesuai dengan

18
M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945 (Bandung: Alumni, 1997), 215.

14
kemampuan masing-masing. Pada masa ini, kebijakan otonomi daerah dan
implementasinya lebih ditujukan pada upaya mempertahankan kemerdekaan.
2. Undang-undang No. 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok
Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan
Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Undang-undang ini ditetapkan berdasarkan
UUD 1945. Menurut undang-undang ini, terdapat 3 (tiga) tingkatan daerah yaitu
provinsi, kabupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Selain daerah otonom (biasa)
terdapat pula daerah istimewa yang setingkat provinsi dan kabupaten. Pada periode
ini dibentuk daerah-daerah sekaligus dengan penyerahan otonominya (urusan
pangkal). Prinsip pemberian otonomi kepada daerah tidak diegaskan. Urusan yang
diserahkan kepada provinsi untuk dijadikan urusan rumah tangganya pada umumnya
meliputi 15 urusan yaitu urusan-urusan 1) umum, 2) pemerintahan umum, 3) agraria,
4) pekerjaan umum (pengairan, jalan, dan gedung), 5) pertanian, perikanan, dan
koperasi, 6) kehewanan, 7) kerajinan, perdagangan dalam negeri, dan perindustrian,
8) perburuhan, 9) sosial, 10) distribusi, 11) penerangan, 12) pendidikan, pengajaran,
dan kebudayaan, 13) kesehatan, 14) perusahaan, dan 15) urusan lalu lintas dan
angkutan bermotor. Sedangkan kepada daerah-daerah kabupaten yang sudah
terbentuk diserahkan 14 urusan (hampir sama dengan urusan provinsi kecuali urusan
lalu lintas dan angkutan bermotor). Walaupun isi undang-undang ini dirasakan lebih
lengkap dari UU No.1 tahun 1945, dalam praktiknya tidak sempat dilaksanakan
sepenuhnya karena kesibukan menghadapi pemberontakan Madiun dan agresi
Belanda ke berbagai daerah. Pelaksanaan undang-undang ini sempat terkendala pula
oleh pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat) yang salah satu negara bagiannya
adalah NKRI. Setelah NKRI utuh kembali, dari sejumlah urusan-urusan tadi, hanya
setengahnya yang dapat diserahkan kepada daerah dengan peraturan khusus.
3. Undang-undang No. 1 tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-undang ini ditetapkan berdasarkan UUDS 1950. Menurut undang-undang ini,
daerah dibedakan dalam 3 tingkat yakni daerah swatantra/istimewa tingkat I setingkat
provinsi membawahi seluruh daerah/istimewa swatantra tingkat II setingkat
kabupaten dan kotapraja (kota besar/kecil). Daerah swatantra tingkat II kabupaten
membawahi daerah tingkat III (jika diperlukan) yang namanya ditentukan dalam
masing-masing peraturan pembentukannya, sedangkan Kotapraja daerah tingkat II
tidak membawahi daerah tingkat III. Khusus Kotapraja Jakarta Raya berada dalam
posisi setingkat provinsi (daerah tingkat I). Dalam hal otonomi daerah, undang-
15
undang ini menganut sistem otonomi riil. Urusan-urusan pusat dan urusan rumah-
tangga daerah tidak ditetapkan secara rinci, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan riil pusat/daerah berdasarkan keadaan dan faktor-faktor nyata.
4. Undang-undang No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah.
Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari Dekrit Presiden 1959 (kembali ke
UUD 1945). Menurut undang-undang ini, seluruh wilayah RI dibagi habis ke dalam
daerah-daerah otonom yang tersusun dalam 3 tingkatan yaitu provinsi / kotaraya
sebagai DT I, kabupaten / kodya sebagai DT II dan kecamatan sebagai DT III.
Mengenai otonomi daerah, undang-undang ini juga menganut sistem seperti UU no.
1 tahun 1957 yaitu sistem otonomi riil namun memberi peluang untuk menyerahkan
sebagian urusan pusat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
5. Undang-undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah.
Undang-undang ini ditetapkan berdasarkan UUD 1945 dan merupakan tindak lanjut
dari adanya penggantian Presiden RI dari Bung Karno (Orla) kepada Pak Harto
(Orba). Dengan undang-undang ini dibentuk Daerah (daerah otonom, dalam rangka
desentralisasi) dan Wilayah (daerah administrasi, dalam rangka dekonsentrasi).
Daerah tersusun dalam 2 tingkat, yaitu Daerah Tingkat (DT) I dan Daerah Tingkat II,
sedangkan Wilayah tersusun ke dalam 5 tingkat yaitu Provinsi, Kabupaten/Kodya,
Kotip (bagi yang ada), Kecamatan, dan Kelurahan. Mengenai otonomi daerah,
undang-undang ini menganut sistem otonomi yang nyata dan bertanggungjawab
dengan titik beratnya diletakkan pada DT II sebagaimana ditegaskan dalam PP No. 45
tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada
Daerah Tingkat II. Pada masa ini, urusan yang dijadikan urusan rumah tangga daerah,
selain urusan pangkal yang telah diterima daerah pada saat pembentukannya,
diserahkan pula urusan-urusan tambahan yang ditetapkan dalam berbagai peraturan.
Walaupun demikian, dalam praktiknya wewenang DT II sangat terbatas. Contoh,
pembentukan kecamatan merupakan wewenang Pusat, pendirian SLTP dan SLTA
negeri masih wewenang provinsi, dan pembentukan desa masih wewenang Gubernur.

2.5 Pemerintahan Daerah Pada Masa Orde Lama


Dilahirkan dua Undang-Undang yang mengatur pemerintahan daerah, yang pertama
yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang kedudukan peraturan mengenai komite
nasional daerah Undang-Undang ini sangat singkat, yang hanya memuat 6 (enam) pasal

16
yang ditetapkan ada tanggal 23 November 1945. UndangUndang No. 1 Tahun 1945
mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah), sebagaimana kita ketahui bahwa
pada masa awal kemerdekaan setelah proklamasi, bangsa Indonesia belum memiliki
perangkat kenegaraan yang memadai, sehingga diaturlah bahwa pada masa awal
kemerdekaan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menyelenggarakan semua tugas-
tugas lembaga kenegaraan, sampai terbentuknya lembaga negara seperti yang dimaksud
dalam UUD 1945.

Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan


otonomi daerah pada orde lama, agak sukar untuk mengadakan penilaian secara umum,
akan tetapi melihat beberapa muatan Undang-Undang yang pernah berlaku, maka dapat
disimpulkan bahwa pada masa orde lama utamanya pada saat Undang-Undang No. 1 tahun
1945, dan Undang-Undang No. 22 tahun 1948 dan Undang-Undang No. 1 tahun 1957
daerah-daerah masih diberi keleluasaan yang besar untuk berotonomi, akan tetapi pasca
Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959 pemerintahan daerah telah bernuansa sangat sentralisasi.

2.6 Pemerintahan Daerah Pada Masa Orde Baru


Pemerintah orde baru pada awalnya hadir sebagai koreksi atas kegagalan pemerintah
orde lama.19 Koreksi tersebut sebagaimana disampaikan oleh Jenderal Soeharto, tokoh
supersemar yang kemudian menjadi presiden paling lama ini adalah sebagaimana
disampaikan pada pembukaan Kongres Luar Biasa Kesatuan dan keutuhan partai nasional
Indonesia, Soeharto (dalam LP3ES, 1988:134) menyatakan sebagai berikut: Ketiga
penyelewengan dimaksud adalah;

a. Radikalisme PKI
b. Terjadinya oportunisme politik yang didorong oleh ambisi pribadi
c. Terjadinya penyelewengan ekonomi.

Undang-undang nomor 1 tahun 1945 tentang otonomi daerah merupakan undang-


undang pertama RI yang mengatur sistem undang-undang nomor 22 tahun 1948 tentang
pemerintahan daerah membagi daerah di indonesia menjadi tiga daerah otonom yaitu:
provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa (kota kecil). Sedangkan karesidenan meskipun
mempunyai DPRD tidak ditetapkan sebagai daerah otonom. Hal ini berbeda dari undang-

19
Drs.Josef Riwu Kaho,MPA. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Raja Grafindo Persada:
Jakarta, 2002), hlm.31

17
undang sebelumnya. Undang-undang nomor 22 tahun 1948 juga lebih detail dalam
mengatur pemerintahan daerah. hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 2 undang-undang
nomor 22 tahun 1948 yang menyatakan bahwa :

a. Pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan DPD


b. ketua dan wakil ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD
c. kepala daerah menjabat ketua dan anggota DPD

Kehadiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tenang pemerintahan daerah diyakini


akan mampu menciptakan stabilitas daerah, dengan demikian eksekutif diberi kewenangan
yang sangat besar sebagai penguasa tunggal di daerah. Walupun demikian Undang-
Undang tersebut dinyatakan bahwa pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan
DPRD, akan tetapi tidak ada balances sama sekali, sebab sebagaimana di pusat, di daerah
DPRD juga hanya merupakan tukang stempel untuk kepentingan eksekutif.20

Pemilihan kepala daerah yang dilakukan DPRD adalah retorika belaka, sebab siapa
yang harus jadi telah ditetapkan sebelumnya termasuk siapa mendapatkan berapa suara.
Apabila skenario tidak berhasil, dan calon yang diunggulkan ternyata tidak terpilih, maka
pemerintah pusat akan dengan mudah memilih/mengangkat kembali orang yang telah
diproritaskan tersebut, sebab hasil pemilihan DPRD kemudian diajukan kepada pusat, dan
pusat bebas menentukan siapa yang akan dilantik dari hasil usulan/hasil pemilihan tersebut
(Pasal 15 UU No. 5 tahun 1974)

Undang-undang no. 5 tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan
pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:

a. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah ataudaerah tingkat


atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya;
b. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayahatau kepala
instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat didaerah; dan
c. Tugas pembantuan, tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusanpemerintahan
yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintaholeh pemerintah daerah
atau pemerintah daerah tingkat atasnya dengankewajiban mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskannya.

20
Ibid, hlm.37.

18
2.7 Pemerintahan Daerah Pada Masa Orde Reformasi
Krisis moneter yang melanda asia kemudian menjadi momentum untuk menggusur
pemerintahan orde baru. Harus diakui bahwa terlepas dari keberhasilannya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, pemerintah orde baru telah gagal menciptakan sistem politik dan
kehidupan bernegara yang demokratis.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, rezim orde baru dinilai tidak adil oleh
daerah-daerah yang memiliki nilai lebih dalam arti memiliki sumber daya alam yang
berlimpah. Ketidak adilan tersebut ditandai dengan pengaturan sistem pemerintahan darah
yang sentralistis, berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan
daerah Undang-Undang No. 5 tahun 1974 dibuat dengan asumsi bahwa dengan
memberikan otonomi yang seluasluasnya daerah akan menjadi tidak respek terhadap
pemerintah pusat yang pada akhirnya akan menyebabkan disintegrasi. Dalam bidang
pemerintahan daerah, Habibie menjawab tuntutan daerah kaya, dengan mengeluarkan
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang
No. 25 tahun 1999 tentang pertimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kedua
Undang-Undang tersebut secara subtansial sangat berbeda dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah. Dalam beberapa hal Undang-Undang No. 22
tahun 1999 dianggap telah menganut asas-asas federalism, sering dengan semakin
sedikitnya kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat di daerah. Dalam pasal 7 Undang-
Undang No. 22 tahun 1999, yang menegaskan bahwa kewenangan pemerintah pusat di
daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan bidang lain.

Megawati Soekarno Putri yang rasionalis telah banyak diprediksi sebelumnya, bahwa
pemerintahannya tidak akan sungguh-sungguh menangani pelaksanaan otonomi daerah
berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
dalam banyak hal kedua Undang-Undang tersebut mengandung banyak persoalan. Di era
Megawati Soekarnoputri dengan Mendagrinya Hari Sabarno, timbul upayaupaya untuk
merevisi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, padahal UU tersebut belum sepenuhnya
dijalankan, berhubung masih banyaknya aturan pelaksanaan kedua Undang-Undang
tersebut yang belum dikeluarkan oleh pemerintah.21

21
Ibid, hlm 107

19
Kebijakan tentang Pemerintahan Daerah yang lahir berdasarkan pembabakan waktu
diatas sangat bervariasi baik secara formal maupun material. Meskipun UUD 1945 yang
menjadi acuan Konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi
kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu
mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-
menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah
dianalisis sejak Tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi
banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas
dalam aturanaturan mengenai Pemerintahan Daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU
Pemerintahan Daerah.

Negara Kesatuan seperti Indonesia, desentralisasi merupakan pengalihan atau


pelimpahan kewenangan secara teritorial atau kewilayahan yang berarti pelimpahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di dalam Negara dan
fungsional yang berarti pelimpahan kewenangan kepada organisasi fungsional (teknis)
yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat.

Desentralisasi mengandung dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan
penyerahan kewenangan secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus dan atau bagian dari urusan pemerintahan tertentu. Pelaksanaan
desentralisasi dalam Negara Kesatuan berarti memberikan hak untuk mengatur dan
mengurus kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat, tetapi tidak dimungkinkan
adanya daerah yang bersifat Negara yang dapat mendorong lahirnya Negara.

Desentralisasi dapat menjadi instrumen (alat) dalam mencapai tujuan Negara dan
keseimbangan antara kebutuhan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan, keutuhan
Kesatuan dan persatuan bangsa dapat tercipta. Konsep demikian memberikan pemahaman
bahwa pembagian kekuasaan atau kewenangan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip
pokok, yaitu kewenangan pemerintahan yang secara absolut tidak diserahkan kepada
daerah karena bersangkut paut dengan kepentingan kehidupan bangsa dan tidak ada
kewenangan atau kekuasaan pemerintahan yang diserahkan 100% (seratus persen) atau
sepenuhnya kepada daerah, kecuali kewenangan pemerintahan yang menyangkut
kepentingan masyarakat setempat.

Hal tersebut menjadi sangat penting karena di satu sisi, penguatan pemerintahan di
daerah melalui desentralisasi tanpa pengaturan yang tegas dalam peraturan perundang-

20
undangan akan membuat “kabur” makna otonomi, di sisi lainnya pembelengguan makna
otonomi akan menggiring penyelenggaraan pemerintahan kepada sendi-sendi sentralisiasi,
yang secara langsung bertentangan dengan kaidah mendasar dalam UUD 1945 sebagai
hukum dasar penyelenggaraan Negara (pemerintahan) di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adanya otonomi daerah merupakan sebuah toleransi pemerintah pusat terhadap
Pemerintahan Daerah yang badan pemerintahannya dipilih penduduk setempat dan
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan
peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan nasional. Pelaksaan
Otonomi Daerah di Indonesia tentunya memiliki dampak baik posisif maupun negatif. Hal
mana yang berdampak pada kesejahteraan warga daerah itu sendiri. jadi sebaiknya
otonomi daerah diterapkan dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat.

Pada masa Orde lama otonomi belum sepenuhnya dilaksanakan, karena pimpinan
negara yang menerapkan demokrasi cenderung bersikap otoriter dan sentralistis dalam
melaksanakan pemerintahannya. Demikian pula pada masa orde baru tidak begitu berbeda
jauh, dengan demokrasi pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat
sama yaitu sentralistis dan otoriter. Sedikit lebih berbeda pada masa reformasi karena
tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah sangat gencar sehingga pemerintah secara
serius pula menyusun kembali Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah dengan melalui masa transisi dan sosialisasi untuk melaksanakan
kebijakan otonomi daerah, akan tetapi tidak jarang terjadi sengketa antar daerah yang
memperebutkan batas wilayah dan juga perebutan sumber pendapatan antara pemerintah
pusat daerah.

22
DAFTAR PUSTAKA

Basundoro, Purnawan, Pengantar Sejarah Kota (Yogyakarta: Penerbit Ombak)


Dewirahmadanirwati, “Implementation of Regional Autonomy in Realizing Good Governance
In The West Sumatera Region,” Jurnall JISIP (Ilmiah Pendidikan Scholastic), (2018).
Faisal, “Otonomi Daerah : Masalah dan Penyelesaian di Indonesia,” Jurnal Akuntansi, (2016).
Fauzi, Achmad, “Otonomi Daerah Dalam Kerangka Mewujudkan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Yang Baik,” Spektrum Hukum, 16.1 (2019).
Gafar, Afan, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Gouda Frances, Dutch Culture Overseas Praktik kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942 (PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2007)
Hasan, M Nur, “Corak Budaya Birokrasi Pada Masa Kerajaan, Kolonial Belanda Hingga Di
Era Desentralisasi Dalam Pelayanan Publik,” Jurnal Hukum, XXVIII.2 (2012).
Huda, Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Cetakan Ke II (Bandung: Nusa Media, 2010)
J Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah, Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala
Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UII,
2001)
Surianingrat, Bayu, Sejarah Pemerintahan di Indonesia Babak Hindia Belanda dan Jepang
(Jakarta: Dewaruri Press, 1981)
Syaukani, Otonomi Daerah Negara Kesatuan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
Teti Hestiliani, “Secentralisatie Wet Van Nederlandies 1903,” ISTORIA, 15.2 (2019), 206–15
Undang-Undang No 23 Tahun 2014
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Koerniatmanto Soetoprawiro. Pemerintahan Dan Peradilan Di Indonesia (Asal Usul Dan
Perkembangannya). Bandung: PT Citra Aditiya Bakti, 1994.
M. Solly Lubis. Pembahasan UUD 1945. Bandung: Alumni, 1997.
Kaho, Josef Riwu, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002)

23

Anda mungkin juga menyukai