Anda di halaman 1dari 33

OTONOMI DAERAH DAN ANCAM KORUPSI SERTA TRANSPARANSI

DAN GOOD GOVERNANCE


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Anti Korupsi

DOSEN PEMBIMBING
DR. Maryati Sutarno, SPd, SST, MARS, MH

Disusun Oleh :
KELOMPOK 8
Nonik Indra Sari
Novi Noer Asnie
Nur Asma

S1 KEBIDANAN ALIH JENJANG


STIKES ABDI NUSANTARA
ANGKATAN 2022-2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah melimpahkan rahmatnya
berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “otonomi daerah dan ancaman korupsi serta transparasi dan good goverment”

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Anti Korupsi
semester I. Tidak lupa kami sampaikan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah anti
korupsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan mata kuliah ini dan
orang tua yang selalu mendukung kelancaran tugas kami.

Akhirnya kami sampaikan rasa terima kasih atas perhatian terhadap makalah ini, dan
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya, dengan segala
kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dari pembaca guna
meningkatkan kemampuan kami dalam pembuatan makalah pada tugas lain di waktu mendatang.

Bekasi, 26 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ .... 1
B. Tujuan............................................................................................. .... 3
C. Rumusan Masalah........................................................................... .... 3
D. Latar Belakang................................................................................ .... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah ......................................................... .... 4
B. Kelebihan Dan Kelemahan Otonomi Daerah................................. .... 5
C. Otonomi Daerah Dan Potensi Korupsi........................................... .... 7
D. Bentuk Korupsi Di Daerah............................................................. .... 7
E. Otonomi Daerah Dan Potensi Korupsi........................................... .... 7
F. Bentuk Korupsi Di Daerah............................................................. .... 7
G. Otonomi Daerah Dan PILKADA Langsung.................................. .... 9
H. Peran Masyarakat Dalam Memberantas Korupsi........................... .... 12
I. Transparasi Dan Good Goverance.................................................. .... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... .... 29
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keberadaan pemerintah daerah dalam Negara Kesatuan RI dengan pemberian
kewenangan otonomi yang luas, merupakan keputusan politik nasional yang sangat
berarti dan memang dikehendaki oleh rakyat Indonesia. Otonomi Daerah memberikan
peluang kepada Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) untuk mempercepat
terwujudnya tata pemerintahan yang baik. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan
yang besar untuk mendorong proses kebijakan menjadi lebih partisipatif, responsif, dan
akuntabel, karena kendali dari proses kebijakan dan alokasi anggaran sepenuhnya ada di
tangan Pemerintah Daerah dan DPRD.
Tujuan pemberian otonomi kepada Daerah yaitu untuk memungkinkan daerah
bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, untuk dapat
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka
pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Pemerintah Daerah
dalam mengatur dan megurus urusan rumah tangganya melakukan berbagai tindakan
hukum, baik yang terikat atas kaidah-kaidah hukum material yaitu Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara, maupun hukum formal atau hukum acara administrasi.
Seiring kebijakan otonomi daerah yang luas sejak tahun 2001, muncul fenomena
kasus korupsi yang banyak ditemukan di daerah. Otonomi daerah yang mulanya
diasumsikan sebagai upaya pemerintah pusat untuk lebih memberdayakan masyarakat
dengan mengurangi sentralisasi hasil sumber daya alam daerah (SDA), ternyata juga
menjadi lahan dimana praktik tindak pidana korupsi berlangsung.
Jika dulu sebelum Otonomi daerah praktek korupsi begitu terpusat, tapi sekarang
sudah terjadi perpindahan penyakit korupsi ke daerah menjadi lebih terbuka.
Peraturan perundang – undangan yang pertama kali mengatur tentang
pemerintahan daearah pasca proklasmasi kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945.
Undang – undang ini menekankan aspek cita – cita kedaulatan rakyat melalaui
pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam undang – undang
ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode
berlakunya undang – undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun

1
belumada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan
(desentralisasi) kepada daerah. Undang – undang ini kemudian diganti dengn Undang –
Undang No. 22 Tahun 1948. Undang – Undang No. 22 Tahun 1948 berfokus pada
pengaturan tentang susunan pemerintahab daerah yang demokratis. Di dalam undang –
undang ini ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah
otonom istimewa.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya
suatu prosuk perundang – undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan
tersebut pada suatu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia
dari masa ke masa. Periode otonomi daerah di Indonesia pasca UU No. 22 Tahun 1948
diisi dnegan munculnya bebrerapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU Nomor 1
Tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh
Indonesia), UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas –
luasnya), dan UUNo. 5 Tahun 1974. Prinsip yang dipakai pada UU No. 5 Tahun 1974
dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas –
luasnya,” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan
otonomi daerah yang seluas – luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran
yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan
tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan
prinsip – prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan
dalam arti luas.
Undang – undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti
dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25
Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergilir. Sejalan dengan tuntuutan reformasi, tiga
tahun setelah implementasi UU No. 22 Tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi
terhadap undang – undnag yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang juga
mengatur tentang pemerintah daerah.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, selain diperlukan etika dan moral
penyelenggara yang baik, mentalitas anti KKN, juga dibutuhkan sistem tata pemerintahan
yang baik (good governance). Konsep Good governance dimaknai secara beragam oleh
banyak individu maupun lembaga. Bank Dunia memberi batasan good governance

2
sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan, serta
pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya. UNDP (1997) memberi
pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah,
warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah
negara.
Beberapa terjemahan dari peristilahan good governance, di antaranya adalah
penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, tata pemerintahan yang baik (UNDP),
pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab (LAN), dan ada juga yang
mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih. Menurut Bagir Manan,
good governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan yang baik. Prinsip-prinsip
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dapat berupa : responsible, accountable,
controlable, transparancy, limitable dan lain sebagainya. Bagi rakyat banyak,
penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan
berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan
perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang baik atas diri, hak maupun harta
bendanya.
B. TUJUAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman mengenai otonomi daerah dan ancaman korupsi serta transparansi dan
good gevernance.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari otonomi daerah?
2. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari otonomi daerah?
3. Bagaimana otonomi daerah dalam potensi korupsi?
4. jelaskan bentuk korupsi di daerah?
5. Bagaimana otonomi daerah dalam pilkada langsung?
6. Bagaimana peranserta masyarakat dalam pemberantasan korupsi?
7. Apa yang dimaksud transparansi dan good gevernance?
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN OTONOMI DAERAH


Otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah yang merupakan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
masyarakatnya menurut kehendaknya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bawah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Di sisi kepentingan pemerintah pusat, otonomi daerah ditujukan untuk
mewujudkan pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik,
dan mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah, sedangkan pada sisi
kepentingan pemerintah daerah otonomi daerah
Otonomi daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga sendiri oleh satuan organisasi pemerintah di daerah. Otonomi
daerah diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian
berdasarkan prinsip otonomi tersebut, maka ada keharusan dari pemerintah pusat untuk
menyerahkan sebagaian hak dan kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan atau intervensi dari pihak lain termasuk
pemerintah pusat. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah atas inisiatif atau prakarsa
sendiri tanpa instruksi pemerintah pusat.  
Otonomi daerah adalah perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab serta mempunyai hubungan erat dengan desentralisasi. Mahfud MD mengatakan
bahwa desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah mulai dari kebijakan,
perencanaan, sampai pada implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi.
Otonomi adalah adalah wewenang yang dimiliki daerah untuk mengurus rumah
tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi.

4
Desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah, sebab, otonomi daerah
merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus
daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya, berdasarkan prakarsa dan
aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka Negara kesatuan Repuplik Indonesia. Dengan
adanya desentralisasi maka muncullah otonomi daerah. Desentralisasi adalah sebuah
istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan. Desentralisasi berhubungan dengan otonomi daerah, sebab, otonomi daerah
merupakan kewenangan suatu daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus
daerahnya sendiri tanpa ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat.
Menurut Jha Mathur, Pengertian Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan
dari pemerintah pusat dengan cara dekonsentrasi pendelegasian kantor wilayah atau
dengan devolusi kepada pejabat daerah atau badan-badan daerah.
Sedangkan menurut Sills, Pengertian Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih
rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, yudikatif atau administratif. Bersamaan
dengan pembentukan daerah, dibentuk pula pemerintahan daerahnya, yang terdiri dari,
Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, seperti tercantum dalam undang-
undang No 5/1974 pasal 13 sebagai berikut :
1) Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
2) Dalam menyelenggarakan pemerintahan Daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan
Dinas-Dinas Daerah.
Setelah daerah dan pemerintahannya dibentuk dengan sendirinya harus diberi
kekuasaan, wewenang, hak maupun kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan di
daerah.
B. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN OTONOMI DAERAH
1. Kelebihan Otonomi Daerah
Kelebihan otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah  maka
pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas local
yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat
mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang
berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak dari pada yang
didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosi kebudayaan dan juga pariwisata
Dengan melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan
lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cenderung lebih
mengerti keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya
dari pada pemerintah pusat. Contoh di Maluku dan Papua program beras miskin yang
dicanangkan pemerintah pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian
penduduk disana tidak bisa mengkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu,
maka pemeritah disana hanya mempergunakan dana beras miskin tersebut untuk
membeli sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain itu,
dengan system otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil kebijakan-
kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur di tingkat
pusat.
2. Kelemahan Otonomi Daerah
Kelemahan dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di
pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan
rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-
kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat
menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya. Hal tersebut
dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah
mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan
sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Otonomi daerah juga menimbulkan persaingan antar daerah yang terkadang dapat
memicu perpecahan. Contohnya jika suatu daerah sedang mengadakan promosi
pariwisata, maka daerah lain akan ikut melakukan hal yang sama seakan timbul
persaiangan binis antar daearah. Selain itu otonomi daerah membuat kesenjangan
ekonomi yang terlampau jauh antar daerah. Daerah yang kaya akan semakin gencar

6
melakukan pembangunan sedangkan daerah yang pendapatannya kurang akan tetap
begitu-begitu saja tanpa ada pembangunan. Hal ini sudah sangat menghawatirkan
karena  sudah melanggar pancasila sila ke-lima, yaitu ‘’Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia’’.
C. OTONOMI DAERAH DAN POTENSI KORUPSI
Banyak orang mengatakan otonomi daerah di Indonesia cukup baik secara
konsepnya namun tidak dalam prakteknya. Otonomi daerah yang seharusnya
mempermudah berkembangnya suatu daerah, disalahartikan sebagai upaya
mempermudah korupsi di tiap-tiap lini yang ada dalam struktural pemerintahan. Otonomi
yang diberikan kepada daerah, pada dasarnya berhubungan dengan semangat
demokratisasi, dan berkaitan dengan usaha optimalisasi pemberian pelayanan kepada
masyarakat. Melalui otonomi daerah masyarakat tidak hanya memiliki peluang yang
lebih besar untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tetapi juga memiliki akses yang
lebih luas untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Dengan
demikian, otonomi daerah dapat berpengaruh positif terhadap terbangunnya pemerintah
yang bersih dan berwibawa.
Namun harus disadari adanya realitas bahwa otonomi daerah juga dapat diikuti
dengan berpindahnya tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme dari pusat ke daerah.
Sebagai bentuk pemencaran kekuasaan. Melalui otonomi diharapkan tidak terjadinya
penumpukan kekuasaan, yang secara teoritis cenderung mendorong terjadinya korupsi.
Otonomi daerah dan desentralisasi kerap disebut sebagai desentralisasi korupsi
akibat berpindahnya penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah (Karim, 2003).
Pelaksanaan otonomi daerah ditenggarai membawa problem tersendiri bagi terjadinya
praktek korupsi di daerah. Di berbagai daerah muncul kasus-kasus korupsi yang
dilakukan oleh penyelenggara negara di daerah. Kasus-kasus tersebut dapat berupa
penyimpangan administrasi (mal administration), penggelembungan anggaran (mark
up) oleh ekskutif maupun legislatif, suap dan money politic (Kurniawan, dkk., 2003)
D. BENTUK-BENTUK KORUPSI DI DAERAH
Data yang ada menunjukkan, tren pemberantasan korupsi pada 2013 dan 2014
setidaknya 95 persen kasus berlokasi di kabupaten, kota, dan provinsi. Kasus korupsi di
daerah umumnya memiliki banyak kesamaan dari sisi obyek dan modus, pelaku, serta
proses.Beberapa hal diantaranya ialah :
1. Obyek dan Modus Korupsi.
Bagi daerah yang memiliki banyak sumber daya alam sasarannya berada di sektor
pendapatan. Modus korupsinya dengan obral perizinan, setoran liar, dan mark down
pendapatan daerah. Bagi daerah-daerah yang miskin sumber daya alam, konsentrasi
korupsi ada pada sisi belanja. Kasus yang paling banyak terungkap adalah proyek-
proyek pengadaan, seperti pembangunan infrastruktur, pembelian barang dan jasa,
serta program bantuan kemasyarakatan.
2. Pelaku Korupsi.
Didominasi oleh pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah/Dinas (SKPD), anggota
DPRD, dan Kepala Daerah. Sebagian besar kasus bahkan melibatkan ketiganya
sekaligus. Mereka membentuk semacam jamaah korupsi di daerah. Pihak yang
mengawasi dan diawasi justru bersatu padu membobol anggaran daerah. Apalagi dari
sisi eksternal, kondisi di sebagian besar daerah, pengawasan dari masyarakat masih
sangat minim.
3. Proses Korupsi.
Selalu diawali oleh korupsi politik, korupsi yang dilakukan oleh mereka yang
memiliki kekuasaan secara politik di daerah, seperti kepala daerah dan anggota
DPRD. Biasanya dilakukan pada saat perencanaan anggaran dengan cara menitip atau
memaksa berbagai usulan program atau proyek masuk dalam RAPBD. Mulai dari
proyek pengadaan barang dan jasa hingga jatah program bantuan sosial dan hibah.
Korupsi politik akan dilanjutkan oleh korupsi birokrasi. Hasil kompromi antara
kepaladaerah dan DPRD akan dieksekusi birokrasi masing-masing SKPD atau badan
perencanaan pembangunan daerah (Bappeda). Para abdi negara ini yang bertugas secara
teknis untuk memasukkan daftar kegiatan dan proyek titipan ketika APBD dirancang.
Dalam implementasi anggaran, birokrasi di SKPD berperan mengawal dan
memuluskan kegiatan dan proyek yang telah dipesan oleh atasan. Caranya dengan
memanipulasi proses tender, merekayasa spesifikasi barang, dan bikin kegiatan fiktif.
Birokrasi merupakan eksekutor korupsi karena mereka yang bertugas secara
langsung mengimplementasikan anggaran. Bagi sebagian besar birokrasi, perintah atasan

8
sekalipun bermasalah, adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Walau begitu tak
tertutup kemungkinan birokrasi di SKPD berinisiatif sendiri mengkorupsi APBD.
Dilihat dari pola dan modus korupsi di daearah tersebut, tampak bahwa korupsi di
daerah dapat dilakukan oleh hampir semua pihak. DPRD yang menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan juga dapat
menjadi aktor korupsi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Sumodihardjo,
2006 bahwa praktek korupsi yang sebelumnya hanya terjadi di ranah birokrasi dan
perbankan, kini merambah masuk ke lingkungan legislatif.
Sudah banyak pendekatan untuk menekan korupsi di daerah. Dari sisi regulasi,
pemerintah mengeluarkan instruksi presiden mengenai aksi pencegahan dan
pemberantasan korupsi, mempromosikan berbagai inovasi mulai dari e-budgeting, e-
procurement hingga mendorong penyederhanaan kelembagaan dan birokrasi pelayanan
publik, seperti program pelayanan satu atap. Berbagai pendekatan tersebut ternyata tak
terlalu efektif, juga tak bisa dikatakan gagal dalam mengurangi korupsi di daerah.
Sebagian besar hanya menyentuh aspek teknis. Padahal, hulu masalah korupsi di daerah
berkaitan aspek politis, terutama komitmen dan keseriusan kepala daerah dan anggota
DPRD untuk tidak melakukan korupsi.
Prasyarat utama untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi korupsi di
daerah adalah :
a. Adanya pemimpin yang tidak hanya bersih, tetapi juga memiliki keberanian dan
komitmen kuat untuk melawan korupsi.
b. Dibutuhkan kepala daerah "juara". Salah satunya yang sering dijadikan rujukan saat
ini adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Basuki tidak hanya keras
terhadap anak buah yang menyimpangkan kewenangan, tetapi juga berani menolak
permintaan "jatah anggaran" dari DPRD.
c. Para pemimpin yang memiliki komitmen anti korupsi tidak akan menjadikan
birokrasinya sebagai operator korupsi. Sebaliknya mereka akan menjaga dan
mengawasi anak buahnya. Selain itu, tanpa dipaksa pun mereka akan menggunakan
berbagai perangkat, seperti e-budgeting, e-procurement, dan pelayanan satu atap
untuk mengurangi korupsi di daerahnya.
E. OTONOMI DAERAH DAN PILKADA LANGSUNG
Salah satu momentum penting untuk mendorong munculnya kepala daerah
"juara" adalah pemilihan kepala daerah langsung yang akan diselenggarakan secara
serentak pada akhir tahun nanti. Sejatinya pilkada adalah alat warga untuk menghukum
kepala daerah korup dan mempromosikan kandidat yang lebih berintegritas. Pilkada
merupakan momentum penting untuk melawan korupsi di daerah.
Terpilihnya kepala daerah "juara" menjadi modal penting untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat daerah, seperti yang ingin diwujudkan dalam kebijakan
otonomi daerah dan pilkada langsung. Pilkada merupakan kunci keberhasilan penerapan
otonomi daerah. Setidaknya ada tiga pihak yang bisa berperan besar dalam menjaga
pilkada agar melahirkan kepala daerah yang bersih, berkualitas, berani, dan pro
pemberantasan korupsi, yaitu partai politik, pemilih, dan penyelenggara pemilihan.
Mereka yang akan menentukan korupsi di daerah makin marak atau mulai berkurang.
Partai politik dapat berperan memilih kandidat terbaik. Calon kepala daerah yang
mereka usung berasal dari hasil seleksi ketat sehingga tidak menyulitkan pemilih untuk
menentukan pilihan. Kekhawatiran munculnya dinasti yang menjadi salah satu penyebab
maraknya korupsi bisa dicegah oleh partai dengan melakukan seleksi yang benar.
Peran pemilih,  memilih kandidat terbaik yang diusung partai atau melalui jalur
perseorangan. Pertimbangan rasional yang dijadikan dasar membuat pilihan, seperti
rekam jejak, visi dan misi, serta program yang usung kandidat. Mereka tidak menukar
suara dengan uang atau barang. Sementara penyelenggara berperan dengan menjaga agar
proses pemilihan berlangsung jujur dan adil. Mereka tidak memberi ruang bagi kandidat
untuk melakukan kecurangan dan korupsi. Apalagi terlibat dalam kecurangan, seperti
memanipulasi hasil perhitungan suara.
Memang bukan hal mudah membuat petinggi partai, pemilih, dan penyelenggara
pada tingkat lokal untuk bersikap dan bertindak ideal. Karena itu, harus ada pihak yang
memulai untuk melakukan perubahan. Perubahan itu bisa dari para ketua umum partai
yang benar-benar mengawal proses penyaringan kandidat kepala daerah. Pemerintah 
memperbaiki dalam hal aturan main pilkada, dan masyarakat sipil dengan melakukan
pemantauan pelaksanaan pemilihan.

10
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai
berikut :
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan
presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah
dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah
diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-
masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat .Ia
menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat
membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih
pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan
otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik
pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2015, maka komitmen
pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan
dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan
nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari
jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang
kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar
yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional
justru dari pilkada langsung ini.
Sedangkan  kelemahan  pilkada langsung diantaranya sangat besarnya dana yang
dibutuhkan, membuka kemungkinan konflik elite dan massa, aktivitas rakyat terganggu.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan
penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan
pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih
rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang
nyata saja yaitu di lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga
terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang
kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang
dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan
seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah
hanya karena uang.Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah
harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah
melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat
menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang
berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho,
spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah
saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat
tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin
dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal
calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan
kampanye belum dimulai.
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon
kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap
pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar
mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah pada
munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
F. PERAN MASYARAKAT  DALAM MEMBERANTAS KORUPSI

12
Otonomi daerah di negara kita telah banyak menciptakan kekuasaan. Kekuasaan
untuk mempersubur korupsi di tanah air. Tak dapat disangkal bahwasanya sebuah kasus
korupsi timbul karena adanya kesempatan dari sebuah kekuasaan. Sehingga semakin
banyak kekuasaan yg diciptakan oleh otonomi daerah, maka semakin besar adanya 
korupsi. Selain itu, otonomi daerah yang bertujuan untuk mempermudah segala akses
hubungan antara pemerintah dengan rakyat, justru menyebabkan kegiatan prosedural
yang sulit dan memakan waktu yang lama dikarenakan banyaknya kekuasaan-kekuasaan
kecil yang harus dilewati dalam prosedur tersebut, sehingga muncullah beberapa
kesempatan untuk melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Oleh karenanya, pemerintah haruslah benar-benar tegas dalam menentukan
sebuah kebijakan terhadap pencegahan timbulnya perbuatan korupsi yang disebabkan
oleh kebijakan otonomi daerah itu sendiri. Karena sebuah badan pengawas ataupun para
penegak hukum saja tidaklah cukup untuk memberantas korupsi dinegara kita.
Diperlukan juga sebuah sikap pemerintah yang sangat bijaksana untuk membatasi tiap-
tiap kekuasaan.
Dalam situasi yang demikian maka peran serta masyarakat menjadi semakin
penting. Peran serta yang dimaksudkan adalah partisipasi publik atau keterlibatan
masyarakat dalam mengontrol negara. Di samping untuk melakukan chek and
balances terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan, juga dimaksudkan sebagai
upaya mempertahankan kelangsungan pemerintah dari ancaman delegitimasi publik.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut
serta mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme, yang dilaksanakan dengan mentaati norma hukum, moral, dan sosial yang
berlaku dalam masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan
Penyelenggara Negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk:
1. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan
negara
2. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara;
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan
Penyelenggara Negara; dan
4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
a. Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
b. Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan
sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Peran serta masyarakat harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial
lainnya. Masyarakat yang dapat berperan aktif melaksanakan fungsi kontrol terhadap
penyelenggaraan pemerintah adalah masyarakat yang memiliki kesadaran hukum tinggi.
Artinya, masyarakat mengetahui dan mengerti aturan main dan perangkat-perangkat
hukum yang diperlukan serta dapat meyakinkan kelompok masyarakat yang lain, maupun
aparat penegak hukum terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi.

G. TRANSPARANSI DAN GOOD GOVERNANCE


1. Tata Laksana Pemerintahan yang Baik 
Tata laksana pemerintahan yang baik adalah seperangkat proses yang
diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun negeri untuk menentukan
keputusan. Tata laksana pemerintahan yang baik ini walaupun tidak dapat menjamin
sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna, namun apabila dipatuhi jelas
dapat mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Banyak badan-badan
donor internasional, seperti IMF dan Bank Dunia mensyaratkan diberlakukannya
unsur-unsur tata laksana pemerintahan yang baik sebagai dasar bantuan dan pinjaman
yang akan mereka berikan. Tata laksana pemerintahan yang baik ini dapat dipahami
dengan memberlakukan delapan karakteristik dasarnya yaitu:
a. Partisipasi aktif
b. Tegaknya hukum
c. Transparansi
d. Responsif
e. Berorientasi akan musyawarah untuk mendapatkan mufakat

14
f. Keadilan dan perlakuan yang sama untuk semua orang
g. Efektif dan ekonomis
h. Dapat dipertanggungjawabkan
Berlakunya karakteristik-karakteristik diatas biasanya menjadi jaminan untuk:
 Meminimalkan terjadinya korupsi
 Pandangan minoritas terwakili dan dipertimbangkan
 Pandangan dan pendapat kaum yang paling lemah didengarkan dalam
pengambilan keputusan.
Governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan
kekuasaan dan mengelola sumber daya dan berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur
demokratis, adil, transparan, rule of law, participation, dan kemitraan.
World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan
prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran kesalahan dalam alokasi dana
investasi, dan pencegahan korupsi secara politik dan administratif, menjalankan
disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya
aktivitas usaha.
Nizarli (2005) mendefinisikan good governance sebagai pelaksanaan otoritas
politik, ekonomi dan administratif dalam pengelolaan sebuah Negara, termasuk di
dalamnya mekanisme yang komplek serta proses yang terkait, lembaga-lembaga yang
dapat menyuarakan kepentingan perseorangan dan kelompok serta dapat
menyelesaikan semua persoalan yang muncul di antara mereka.
Good governance adalah proyek berskala jangka panjang dimana hal ini tidak
dapat terjadi secara instan dan sekejap. Hal ini dapat dilihat bahwa good
governance ini awalnya dicanangkan pada pasca krisis di indonesi pada tahun 1998
dan masih di usahakan untuk diterapkan hingga saat ini.
Hal ini dikarenakan good governance berhubungan erat dengan nilai, budaya,
serta komitmen keprilaku positif masyarakat. Terdapat tiga fase penting yang harus
dilalui untuk mewujudkan good governance secara ideal. Fase ini antara lain fase
membangun komitmen, fase membangun system dan terakhir membangun budaya.
Bila Indonesia mampu melewati tahapan fase tersebuut, pada akhirnya tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) dapat membuat Indonesia berkembang
pesat serta kompetitif dalam tatanan internasional, dengan modal sumber daya yang
melimpah dan sumber daya manusia unggulan. Apabila dilihat mengenai sumber
daya manusia unggulan maka proses pendidikan memegang peranan penting dalam
mewujudkan tatanan good governance yang bernilai tambah bagi masyarakat.
Fundamental utama dari good governance adalah ethics. Etika akan menuntun
setiap pelaku dalam sebuah sistem sosial berbuat sepantasnya sesuai dengan tatanan
nilai-nilai masyarakat. Etika mengajarkan hitam dan putih, dan meneguhkan
ketauladanan-ketauladanan untuk menjadi perilaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan etika, ketertiban dan kesejahteraan akan tumbuh dan berkembang sebagai
nilai-nilai moral dalam tatanan sosial Indonesia.
Bersikap terbuka dan bertanggungjawab untuk mendorong para pimpinan dan
seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan
melembagakan kode etik dimaksud, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagi
panutan masyarakat; dan itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan
tanggungjawab dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.
Perwujudan pemerintahan yang baik (good governance) sasaran pokoknya adalah
terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang professional, berkepastian hukum,
transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN, peka dan tanggap
terhadap segenap kepentingan dan aspirasi yang didasari etika, semangat pelayanan,
dan pertanggung jawaban publik, dan integritas pengabdian dalam mengemban misi
perjuangan bangsa untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara
(Mustopadidjaja, 2003).
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan dan kemitraan,
selain memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah, juga memerlukan langkah-
langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat
kreativitas mereka, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan
serta dalam proses penyusunan peraturan kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan
pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas
dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan

16
yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta
dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Lembaga Admnistrasi Negara mengemukakan bahwa Good Governance
berorientasi pada :
a. Orientasi ideal Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional
b. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif, efisien dalam
melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada
demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya
seperti legitimaty ( apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari
rakyatnya). Sedangkan orientasi kedua tergantung pada sejauh mana
pemerintahan mempunyai kompetensi dan sejauh mana struktur serta mekanisme
politik dan administrasi berfungsi secara efektif dan efisien.
Lembaga Administrasi Negara (2000) menyimpulkan bahwa wujud good
governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab,
serta efisien, efektif,  dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara
domain-domain  sektor swasta dan masyarakat.
Selain itu peraturan pemerintah Nomor 101 tahun 2000, merumuskan arti Good
Governance sebagai berikut : “kepemerintahan yang mengemban dan menerapkan
prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi dan pelayanan prima,
demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh
masyarakat”.
Dengan demikian, pada dasarnya unsur-unsur dalam kepemerintahan
( governance stakeholders ) dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu :
a. Negara/ pemerintahan : konsepsi pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan
kenegaraan, tetapi lebih jauh melibatkan pula swasta dan kelembagaan
masyarakat madani.
b. Sektor swasta : pelaku sektor swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem
pasar, seperti : industri pengolahan perdagangan, perbankan dan koperasi
termasuk sektor informal
c. Masyarakat madani : kelompok masyakat dalam kontek kenegaraan pada
dasarnya berada diantara atau di tangah-tengah antara pemerintah dan
perseorangan,  yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat
yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.
Konsep good governance menekankan pada komitmen dan langkah
pertanggungjawaban atas konsumsi sumber daya alam atau ekonomi. Transparansi
dan akuntabilitas menjadi kata kunci mendasar dan relevan
bagi stakeholders korporasi. Transparansi dan akuntabilitas mengajarkan nilai – nilai
kejujuran , efisiensi, efektifitas, berbagi, keadilan, dan semangat going concern. Good
governance tidak melihat pengolahan sumber daya alam hanya dari perspektif
kalkulasi laba, namun juga peduli terhadap pelestarian ekosistem alam dan
pemberdayaan masyarakat.
2. TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
a. Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan pemerintahan dalam membuat kebijakan-
kebijakan, sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPR dan masyarakat.
Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountabilility antara
pemerintah dengan masyarakat. Ini akan menciptakan pemerintahan yang bersih,
efektif, efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan
masyarakat. Keterbukaan pemerintahan merupakan syarat mutlak bagi suatu
pemerintahan yang efisien. Keterbukaan mengandung makna bahwa setiap orang
mengetahui proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. Dengan mengetahui,
memungkinkan masyarakat itu memikirkan dan pada akhirnya ikut memutus.
Transparansi diperlukan agar baik pegawai di instansi, maupun
masyarakat di luar dapat mengetahui kondisi dari instansi tersebut, apalagi jika
menyangkut masalah keuangan yang merupakan hal yang sangat sensitif.
Transparansi mutlak diperlukan, apalagi pada instansi-instansi pemerintahan di
mana uang yang mengalir di pemerintahan merupakan uang rakyat. Transparansi
diperlukan agar masyarakat dapat turut menilai dan mengkritisi apabila terjadi
kecurangan atau hal yang dianggap tidak wajar. Hal itu dapat menjadi tindakan
preventif  bagi pelaku kecurangan dan juga bisa menjadi tindakan represif ketika
kecurangan telah terdeteksi dengan adanya transparansi dari pihak instansi.

18
Prinsip Transparansi ini telah disepakati, sebagai  10 prinsip, dari Asosiasi
Pemerintahan Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh
Indonesai (APEKSI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI),
yaitu: partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap,
wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi dan efektifitas, dan
profesionalisme.
Prinsip transparansi ini tidak hanya berhubungan dengan hal-hal yang
menyangkut keuangan. Keterbukaan pemerintah meliputi 5 (lima) hal:
1) Keterbukaan dalam hal Rapat-rapat. Para birokrat mestilah terbuka dalam
melaksanakan rapat-rapat yang penting bagi masyarakat. Keterbukaan dalam
hal rapat ini memungkinkan para birokrat serius memikirkan hal-hal yang
dirapatkan, dan masyarakat dapat memberikan pendapatnya pula.
2) Keterbukaan Informasi. Keterbukaan informasi ini berhubungan dengan
dokumen-dokumen yang perlu diketahui oleh masyarakat. Misalnya,
informasi mengenai pelelangan atau penerimaan pegawai.
3) Keterbukaan Prosedur. Keterbukaan prosedur ini berhubungan dengan
prosedur pengambilan keputusan maupun prosedur penyusunan rencana.
Keterbukaan prosedur ini merupakan tindak pemerintahan yang bersifat
publik. Misalnya, keterbukaan rencana pembebasan tanah, rencana
pembangunan Mall atau rencana tata ruang.
4) Keterbukaan Register. Register merupakan kegiatan pemerintahan. Register
berisi fakta hukum, seperti catatan sipil, buku tanah, dan lain-lain. Register
seperti itu memiliki sifat terbuka, artinya siapa saja berhak mengetahui fakta
hukum dalam register tersebut. Keterbukaan register merupakan bentuk
informasi pemerintahan.
5) Keterbukaan menerima peran serta masyarakat. Keterbukaan Peran serta ini
terjadi bila, adanya tersedia suatu kesempatan bagi masyarakat untuk
mengemukakan pendapatnya terhadap pokok-pokok kebijakan pemerintah;
adanya kesempatan masyarakat melakukan diskusi dengan pemerintah dan
perencana; dan adanya pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi
pengambilan keputusan tersebut. Peran serta merupakan hak untuk ikut
memutus. Hal ini menjadi bentuk perlindungan hukum preventif. Peran serta
ini dapat berupa pengajuan keberatan terhadap rancangan keputusan atau
rencana pemerintah, dengar pendapat dengan pemerintah, dan lain-lain.
b. Akuntabilitas
Disisi yang lain, akuntabilitas juga memegang peranan yang sangat
penting bagi terbentuknya good governence. Menurut Prof. Miriam Budiardjo,
akuntabilitas didefinisikan sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat
kepada mereka yang memberi mandat. Jadi, akuntabilitas memang sebuah
pertanggungjawaban yang perlu dibarengi dengan pengawasan terhadap pihak-
pihak yang diberi amanah. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh pihak luar seperti
media, yang punya peranan cukup penting bagi terciptanya akuntabilitas suatu
instansi. Akuntabilitas yang baik, akan mengurangi adanya tindak kecurangan di
suatu instansi. Dengan adanya pengawasan dan pertanggungjawaban, maka pihak-
pihak yang diberi amanah akan lebih merasa takut melakukan tindakan
kecurangan. Setidaknya tindakan kecurangan pada perusahaan yang memiliki
akuntabilitas yang baik dapat lebih diminimalisir jika dibandingkan dengan
instansi tidak memiliki akuntabilitas yang memadai. Akuntabilitas yang memadai
merupakan pertanggungjawaban yang dibarengi dengan pengawasan yang baik,
terstuktur, terdapat sanksi yang tegas apabila dilanggar, dan mengikat pekerja di
instansi tersebut.
Sudah seharusnya, pemerintah maupun petinggi-petinggi di instani-
instansi yang ada di Indonesia membenahi transparansi dan akuntabilitas di
instansinya agar tindakan kecurangan dapat diminimalisir. Apalagi di level
pemerintahan yang sepertinya sudah mulai mengabaikan dua prinsip ini.
Pemerintah sudah seharusnya membenahi sistem yang ada agar tidak ada lagi
kasus korupsi maupun tindak kecurangan lainnya yang dapat merugikan negara
dan masyarakat. Sanksi yang tegas bagi pelaku tindak kecurangan juga diperlukan
sebagai tindakan represif, selain perbaikan di sisi transparansi dan akuntabilitas,
sehingga mampu terwujud tata pemerintahan yang baik (good governance).
Menutut Guy Peter, ada tiga tipe dalam akuntabilitas, antara lain:
1) akuntabilitas keuangan

20
2) akuntabilitas administratif, dan
3) akuntabilitas kebijakan publik.
c. Penerapan Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan
tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai
bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance.
Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu
persatu sebagaimana tertera di bawah ini:
1) Partisipasi Masyarakat (Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga
perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi
bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil
mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai
isu yang ada, pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar
masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi
pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara
tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah
melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan,
pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme
konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
2) Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan
kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan
dengan itu, dalam proses mewujudkan cita good governance, harus
diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-
karakter antara lain sebagai berikut: Supremasi hukum (the supremacy of
law), Kepastian hukum (legal certainty), Hukum yang responsip, Penegakkan
hukum yang konsisten dan non-diskriminatif, Indepedensi peradilan.
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk
di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3) Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang
diambil oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan
timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi
dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan
memadai. Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas.
Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat
diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia
harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. Sehingga bertambahnya
wawasan dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pemerintahan. Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam
pembangunan dan berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan.
4) Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha
melayani semua pihak yang berkepentingan. Dalam konteks praktek
lapangan dunia usaha, pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral
untuk mendukung bagaimana good governance dapat berjalan dengan baik di
masing-masing lembaganya. Pelaksanaan good governance secara benar dan
konsisten bagi dunia usaha adalah perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis
yang seharusnya dimiliki oleh setiap lembaga korporasi yang ada didunia.
Dalam lingkup tertentu etika bisnis berperan sebagai elemen mendasar dari
konsep CSR (Corporate Social Responsibility) yang dimiliki oleh
perusahaan. Pihak perusahaan mempunyai kewajiban sebagai bagian
masyarakat yang lebih luas untuk memberikan kontribusinya. Praktek good
governance menjadi kemudian guidence atau panduan untuk operasional
perusahaan, baik yang dilakukan dalam kegiatan internal maupun eksternal

22
perusahaan. Internal berkaitan dengan operasional perusahaan dan bagaimana
perusahaan tersebut bekerja, sedangkan eksternal lebih kepada bagaimana
perusahaan tersebut bekerja dengan stakeholder lainnya, termasuk
didalamnya publik.
5) Berorientasi pada Konsensus (Consensus)
Menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses
musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut,
selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, juga akan
menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga ia akan
mempunyai kekuatan memaksa (coercive power) bagi semua komponen yang
terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut. Paradigma ini perlu
dikembangkan dalam konteks pelaksanaan pemerintahan, karena urusan yang
mereka kelola adalah persoalan-persoalan publik yang harus
dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak yang terlibat dalam
proses pengambilan keputusan secara partisipasi, maka akan semakin banyak
aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Tata pemerintahan yang
baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi
kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal
kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6) Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga
masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan
kesejahteraan mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-
balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan
memadai. Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut
pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang
kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah
daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui
brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal.
Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara
mendapatkan informasi
7) Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Untuk menunjang prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas,
pemerintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif dan
efisien yakni berdaya guna dan berhasil-guna. Kriteria efektif biasanya di
ukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya
kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Agar
pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat pemerintahan harus
mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan
nyata masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan
perencanaan yang rasional tersebut, maka harapan partisipasi masyarakat
akan dapat digerakkan dengan mudah, karena program-program itu menjadi
bagian dari kebutuhan mereka. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-
lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan
menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8) Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap
masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan
mereka. Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan
organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat
maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk
pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari
jenis organisasi yang bersangkutan. Instrumen dasar akuntabilitas adalah
peraturan perundang-undangan yang ada, dengan komitmen politik akan
akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan
instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem
pemantauan kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan
dengan sanksi yang jelas dan tegas.

24
9) Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi
masa yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif
yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk
mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi
dasar bagi perspektif tersebut.
Keseluruhan karakteristik atau prinsip Good Governance tersebut
adalah saling memperkuat dan saling terkait serta tidak bisa berdiri
sendiri.Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa terdapat empat unsur atau
prinsip utama yang dapat memberi gambaran administrasi publik 
kepemerintahan yang baik yaitu sebagai berikut :
1) Akuntabilitas, adanya kewajiban bagi aparat pemerintah untuk bertindak
selaku   penanggungjawab dari penanggung gugat atas segala tindakan dan
kebijkan yang ditetapkannya
2) Transparansi, kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap
rakyatnya, baik tingkat pusat maupun daerah
3) Keterbukaan, menghendaki keterbukaan kesempatan bagi rakyat untuk
mngajukan  tanggapan dan kritik terhadap pemrintah yang dinilainya tidak
transparan.
4) Aturan hukum, pemerintahan yang baik memiliki karakteristik berupa
jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap
kebijakan publik yang ditempuh.
Menurut Bank Dunia (1992), good governance adalah sistem
pemerintahan yang handal, pelayanan publik yang efisien, serta pemerintahan
yang akuntabel terhadap publik. Jusuf Wanandi (1998), mengemukakan
makna good governance adalah kekuasaan yang didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, segala kebijakan yang diambil secara
transparan, dan dapat dipertanggung-jawabkan (akuntabel) kepada
masyarakat.
Atribut good governance menurut pandangan masyarakat Eropa yang
diterima baik di seluruh dunia, terdiri dari:
Menghargai hak asasi manusia (HAM), kebebasan pers, dan
kebebasan mengemukakan pendapat
1) Akuntabilitas keuangan, ekonomi, dan politik yang baik;
2) Manajemen lingkungan ekonomi dan bisnis yang bersahabat dengan pasar;
3) Transparansi manajemen pemerintahan;
4) Pengambilan keputusan yang demokratis;
5) Kebijakan ekonomi dan sosial yang baik.
Berdasarkan atribut tersebut di atas menunjukkan bahwa, good
governance mencakup aspek kehidupan yang luas, meliputihukum, politik,
ekonomi, dan sosial, serta berhubungan erat dengan penyelenggaraan
kekuasaan negara, baik eksekutif, legisiatif, maupun yudikatif. Pemakaian
istilah good governance direkomendasikan oleh Bank Dunia sebagai opsi
dari good government atau clean government yang terkesan hanya berkaitan
dengan lembaga eksekutif saja.Sedangkan good governance berlaku terhadap
keseluruhan lembaga negara dalam penyelenggaraan negara, di mana dalam
membangunnya dimuali sejak: rekrutmen, pendidikan, penempatan,
pelaksanaan, pembinaan dan pengawasannya, pembentukan budaya
institusinya (institutional culture), keseimbangan antara hak dan kewajiban
setiap penyelenggara negara (right and obligation), dan secara simultan
diikuti dengan penegakan hukum (law enforcement) sebagai keharusan yang
tak perlu diperdebatkan lagi. Sedangkan, dalam dunia bisnis, good
governance, dikenal dengan istilah good corporate governance dengan
prinsip yang kurang lebih sama.
Dalam setiap penyelenggaraan good governance, harus berlandaskan
pada tiga prinsip dasar yaitu:
1) Transparansi adalah  keterbukaan dalam manajemen pemerintahan,
manajemer lingkungan, ekonomi, sosial dan politik;

26
2) Partisipasi dimana pengambilan keputusan yang demokratis, pengakuan
HAM kebebasan pers, kebebasan mengemukakan pendapat, dan
mengakomodasi aspirasi masyarakat (partisipasi);
3) Akuntabilitas adalah mempertang-gungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan ke pada pemberi amanah, sampai pemberi amanah atau yang
mendelegasikan kewenangan puas terhadap kinerja pelaksanaan
kegiatannya.
Ketiga prinsip dasar tersebut, merupakan bagian tak terpisahkan
dalam setiap penentuan kebijakan publik, implementasi, dan
pertanggungjawabannya dalam bingkai good governance. Agar good
governance menjadi kenyataan dan  sukses diperlukan komitmen dari semua
pihak, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Good governance yang
etektif menuntut adanya kesetaraan, interpretasi, serta etos kerja dan moral
yang tinggi sebagai nilai dasar yang harus dipegang teguh oleh seluruh
komponen yang terkait.                          
Dengan demikian, good governance merupakan cita-cita ideal, di
mana untuk mencapainya diperlukan masa transisi dan pelaksanaan secara
bertahap (gradual), selain itu diperlukan komitmen yang kuat dari semua
pihak yang terkait, dan tindakan nyata kearah
terselenggarnya goodgovernance guna meraih peluang yang selalu terbuka.
Penerapan Good Governance di Indonesia Good Governance di Indonesia
sendiri mulai benar – benar dirintis dan diterapkan sejak meletusnya era
Reformasi yang dimana pada era tersebut telah terjadi perombakan sistem
pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih sehingga Good
Governance merupakan salah satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan
dalam pemerintahan baru. Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan
Reformasi yang sudah berjalan selama 12 tahun ini, penerapan Good
Governance diIndonesia belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai
dengan cita – cita Reformasi sebelumnya. Masih banyak ditemukan
kecurangan dan kebocoran dalam pengelolaan anggaran dan akuntansi yang
merupakan dua produk utama Good Governance.
Akan tetapi, Hal tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan, banyak
upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptaka iklim Good Governance
yang baik, diantaranya ialah mulai diupayakannya transparansi informasi
terhadap publik mengenai APBN sehingga memudahkan masyarakat untuk
ikut berpartisipasi dalam menciptakan kebijakan dan dalam proses
pengawasan pengelolaan APBN dan BUMN. Oleh karena itu, hal tersebut
dapat terus menjadi acuan terhadap akuntabilitas manajerial dari sektor publik
tersebut agar kelak lebih baik dan kredibel kedepannya. Undang-undang,
peraturan dan lembaga – lembaga penunjang pelaksanaan Good governance
pun banyak yang dibentuk. Hal ini sangatlah berbeda jika dibandingkan
dengan sektor publik pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir
pengelolaannya dan juga pada era Orde Baru dimana sektor publik di
tempatkan sebagai agent of development bukannya sebagai entitas bisnis
sehingga masih kental dengan rezim yang sangat menghambat terlahirnya
pemerintahan berbasis Good Governance.
Diterapkannya Good Governance diIndonesia tidak hanya membawa
dampak positif dalam sistem pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut
mampu membawa dampak positif terhadap badan usaha non-pemerintah yaitu
dengan lahirnya Good Corporate Governance. Dengan landasan yang kuat
diharapkan akan membawa bangsa Indonesia kedalam suatu pemerintahan
yang bersih dan amanah.
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan
tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa
dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good
governance

28
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Otonomi daerah adalah perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab serta mempunyai hubungan erat dengan desentralisasi. Desentralisasi
merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk mengatur dan mengurus daerah mulai dari kebijakan, perencanaan, sampai
pada implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi. Otonomi adalah adalah
wewenang yang dimiliki daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam
rangka desentralisasi.
Tata laksana pemerintahan yang baik (good governance) adalah seperangkat
proses yang diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun negeri untuk
menentukan keputusan. Tata laksana pemerintahan yang baik ini walaupun tidak
dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna, namun apabila
dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi
DAFTAR PUSTAKA

Arianto, H. 2006. Implementasi konsep good governance di Indonesia. Forum Ilmiah


Indonusa 3(2): 24 – 28.
Karim, Abdul Gaffar (ed). 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di
Indoneisa. Yogyakarta: Jurusan Ilmu
Madani. Ed revisi Cetakan kesebelas. ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Maddick, Henry. 2004. Desentralisasi dalam Praktek. Yogyakarta: Pustaka Kendi.
Pratolo, suryo. 2011. Peran Otonomi Daerah Untuk Meningkatkan Fungsi Pengelolaan
Keuangan Daerah Sebagai Instrumen Manajemen Dalam Kebijakan Alokasi
Belanja Pelayanan Publik. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta : 39.
Rasul, S. 2009. Penerapan good governance di Indonesia dalam upaya pencegah
tindak pidana korupsi. Mimbar Hukum 21(3) ; 409 – 628.
Sakti, 2020. Sistem Administrasi Negara Indonesia. Bandung : Jurusan Administrasi
Publik Fakultas Ilmu sosial dan ilmu politik UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
Ubaedillah, A. dan A. Rozak. 2014. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Iskandar. 2012. Mentalitas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah. Bengkulu : Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan
Universitas Bengkulu Fakultas Hukum Bagian Hukum Administrasi Negara.

30

Anda mungkin juga menyukai