Anda di halaman 1dari 22

EVALUASI PELAKSANAAN DESENTRALISASI

DAN OTONOMI DAERAH SERTA PERSPEKTIF


MASA DEPAN

Dosen: Dra. Ni Gusti Made Ambarawati

DISUSUN OLEH :
NUR TAKHMID QALBU S
NPP : 31.0800
KELAS : E-5

FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN


INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JATINANGOR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dalam bentuk dan isinya yang belum pasti sempurna.
Semoga dengan adanya makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan, petunjuk dan
pedoman bagi para pembacanya.

Dalam penulisan makalah ini ,saya masih banyak merasa kekurangan baik pada
penulisan maupun dari materinya. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat
diperlukan untuk menjadikan makalah ini menjadi lebih baik.

Tidak lupa kami mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh pihak pihak
yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.

Jatinangor,9 September 2022

Nur Takhmid Qalbu S

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………i

Daftar Isi………………...……………………………………………………….………ii

Bab I : Pendahuluan………………………………………………………………….…..1

A.Latar Belakang………………………………………………………………...………1

B.Rumusan Masalah……………………………………………………………………..3

C.Tujuan…………………………………………………………………………………3

Bab II : Pembahasan………………………………………………………….………….4

A. Otonomi dan Desentralisasi Daerah………………...….………………..……………4

B. Evaluasi Otonomi dan Desentralisasi Daerah.…………………………….…….……8

C.Perspektif Masa Depan Desentralisasi di Indonesia……………………….................16

Bab III :Penutup………………………………………………………………………...18

A.Kesimpulan………………………………………………………………………......18

B.Saran……………………………………………………………………...………….18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Tanggal 25 April tahun ini, Otonomi Daerah genap berusia 26 tahun.


Sempat ada keraguan akan keberhasilan desentralisasi ini di awal pelaksanaannya,
mengingat pelimpahan wewenang yang sangat besar dari pemerintah pusat kepada
daerah tanpa adanya persiapan yang matang dan pentahapan dalam
pelaksanaannya. Karena skala dan kecepatannya inilah desentralisasi Indonesia
dijuluki sebagai “desentralisasi Big Bang” karena hampir seluruh urusan
pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah. Hanya beberapa urusan
yang masih tetap dipertahankan oleh Pemerintah Pusat, yaitu: pertahanan, luar
negeri, keamanan, agama urusan keuangan, fiskal dan moneter, dan peradilan.
Sejalan dengan desentralisasi kewenangan tersebut, Pemerintah Pusat juga
melakukan transfer fiscal yang sangat signifikan kepada pemerintah daerah dalam
bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) yang sangat kontras dengan masa sebelumnya
yang didominasi oleh hibah khusus dalam bentuk Inpres (Instruksi Presiden). Pada
saat yang bersamaan juga lebih dari dua juta Pegawai Negeri Sipil, atau hampir dua
per tiga dari angkatan kerja pemerintah pusat pada saat itu (sebagian besar adalah
guru dan petugas kesehatan) dipindahkan atau disebar ke daerah-daerah di seluruh
Indonesia.

Terlepas dari sifatnya yang Big Bang, proses desentralisasi di Indonesia


mendapatkan pujian dari para peneliti otonomi daerah, seperti apa yang
disampaikan oleh Hofman dan Kaiser (2002): “Yang mengejutkan, hanya sedikit
yang berhasil dalam langkah radikal yang dipersiapkan dengan tergesa-gesa ini.”
Langkah awal desentralisasi menjadi kunci bagi Indonesia untuk menghindari
kegagalan ketika mengadopsi desentralisasi Big Bang. UU No.22/1999 yang
memandu proses devolusi dan otonomi daerah, disahkan oleh DPR pada tahun
1999. Sedangkan revisi pertama terjadi pada tahun 2004, dan revisi terbaru disetujui

1
DPR dan disahkan oleh Pemerintah pada tahun 2014 dikenal dengan UU
No.23/2014, dilengkapi dengan lampiran yang menjelaskan secara jelas pembagian
tanggung jawab antara semua tingkat pemerintahan. Hal inilah yang memberikan
kepastian kepada masyarakat dan pemerintah daerah mengenai tanggung jawab
mereka.

Secara historis lahirnya Undang Undang Pemerintahan Daerah diikuti oleh


lahirnya Undang Undang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dan saat ini telah
banyak mengalami perbaikan dengan lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun
2022. Undang Undang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah inilah yang mengatur
proses dan regulasi desentralisasi fiskal di Indonesia. Koeksistensi kedua hukum
tersebut menunjukkan bahwa, sampai batas tertentu, Indonesia telah mengadopsi
prinsip “money follow function” yang dimulai dari fungsi desentralisasi dan
selanjutnya diikuti oleh alokasi fiskal untuk membiayai fungsi desentralisasi
tersebut. Agak berbeda dengan negara maju, seperti Inggris yang menghitung
kebutuhan pengeluaran untuk masing masing daerahnya berdasarkan Standar
Pengeluaran Penilaian (SSA), di tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal,
transfer fiskal ke pemerintah daerah di Indonesia dialokasikan berdasarkan
kesenjangan fiscal yang dihitung berdasarkan perbandingan antara PDB lokal, dan
total pendapatan aktual dari pendapatan asli daerah.

Desentralisasi di Indonesia pada awalnya bermula dari tuntutan masyarakat


untuk reformasi politik dan demokrasi yang berujung pada pemilihan kepala daerah
secara langsung. Versi awal undang-undang tentang pemerintah daerah mengatur
tentang pemilu ini. Namun pada tahun 2014, permasalahan yang berkaitan dengan
pemilih an kepala daerah secara langsung dipisahkan dari undang-undang
tentang pemerintah daerah sehingga menjadi undang-undang yang berdiri sendiri
yaitu UU No.1/2015.

Dalam perkembangannya fokus hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah


berangsur-angsur berubah menjadi peningkatan pelayanan publik daerah,

2
kesejahteraan masyarakat daerah, administrasi dan manajemen pemerintahan
daerah. Administrasi dan manajemen pemerintahan daerah yang lebih baik adalah
menjadi tujuan utama. Di bawah skema desentralisasi, instrumen dasar yang
penting, yaitu tanggung jawab, sumber daya manusia (pejabat administrasi, guru
dan kesehatan pekerja) dan transfer keuangan sudah masuk ke tangan pemerintah
daerah. Kepala Daerah bertanggung jawab untuk mengelola semua dana transfer
daerah ini untuk pemberdayaan ekonomi daerah. Hal ini untuk menunjukkan bahwa
otoritas ekonomi pada dasarnya juga sudah didesentralisasikan kepada daerah.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa desentralisasi Indonesia pada
dasarnya bertumpu pada empat pilar utama yaitu: (1) Politik, (2) Masalah Fiskal,
(3) Administrasi dan (4) Desentralisasi Ekonomi. (Kementerian Keuangan RI,
2008)

B.Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan otonomi dan desentralisasi daerah ?


b. Bagaimana evaluasi terhadap otonomi dan desentralisasi daerah di
Indonesia?
c. Bagaimana perspektif masa depan desentralisasi di Indonesia ?

C.Tujuan

a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan otonomi dan


desentralisasi daerah
b. Untuk mengetahui evaluasi terhadap otonomi dan desentralisasi daerah
di Indonesia
c. Untuk mengetahui perspektif masa depan desentralisasi di Indonesia

3
BAB II

PEMBAHASAN

A.Otonomi dan Desentralisasi Dearah

Otonomi daerah adalah sebuah sistem atau kewenangan yang dimiliki daerah.
Otonomi daerah ini bertujuan untuk mengembangkan daerah serta isi di dalam
daerah tersebut. Di negara Indonesia ini, otonomi daerah sudah diterapkan.Tujuan
dari penerapannya adalah untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat di daerah
tersebut. Otonomi daerah ini membuat pemerintah daerah dapat melakukan
pengembangan pada daerah-daerahnya tersebut.

Kata otonomi berasal dari kata “autos” yang memiliki arti “sendiri”, kata kedua
berasal dari kata “nomos” yang memiliki arti “Aturan”.Berdasarkan etimologi
otonomi memiliki arti pengaturan sendiri, memerintah sendiri atau mengatur.
Otonomi daerah dan daerah otonom adalah dua hal yang berbeda. Dalam makna
sempit, otonomi memiliki arti mandiri.Dalam makna luas memiliki arti
berdaya. Maka dari itu, otonomi daerah adalah kemandirian suatu daerah.
Kemandirian tersebut berkaitan dengan pembuatan dan keputusan mengenai hal-
hal penting yang ada di daerahnya sendiri.

Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa otonomi daerah adalah sebuah
kewenangan otonomi daerah. Kewenangan tersebut untuk mengatur serta mengurus
kepentingan masyarakat setempatnya. Hal ini didasari oleh pelaksanaannya sendiri,
dan berdasarkan aspirasi dari masyarakat.Otonomi daerah berjalan sesuai dengan
peraturan undang-undang. Sedangkan arti dari daerah otonomi adalah sebuah
kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan tersebut memiliki batas daerah
tertentu.Daerah tersebut memiliki wewenang untuk mengatur daerahnya. Selain itu,
terdapat pula wewenang untuk mengurus kepentingan masyarakatnya. Hal ini juga

4
didasari oleh aspirasi masyarakat di dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Ada salah satu hal yang menjadi aspek penting dari otonomi daerah. Hal
tersebut adalah pemberdayaan masyarakat. Hal ini akan membuat mereka memiliki
hak untuk berpartisipasi.Seperti dalam proses perencanaan, proses pelaksanaan,
proses penggerakan dan proses pengawasan. Proses-proses tersebut akan terjadi
dalam pengelolaan pemerintah daerah. Hal tersebut digunakan dalam penggunaan
sumber daya pengelola serta memberi pelayanan yang prima kepada public atau
masyarakat.

Menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak,


wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Beberapa tujuan dari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

a. Bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada para masyarakat.


b. Bertujuan untuk mengembangkan kehidupan masyarakat yang didasari oleh
demokrasi.
c. Bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan sosial kepada seluruh lapisan
masyarakat.
d. Bertujuan untuk mewujudkan pemerataan daerah.
e. Bertujuan untuk memelihara hubungan yang serasi dan baik. Hubungan
yang dimaksud adalah antara pusat dan daerah. Selain itu, menjalin
hubungan baik antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
f. Bertujuan untuk mendorong upaya pemberdayaan masyarakat.

5
g. Bertujuan untuk menumbuhkan prakarsa sekaligus kreativitas. Serta
meningkatkan peran masyarakat dan mengembangkan peran juga fungsi
dari pihak DPRD.

Adapun prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut:

a. Prinsip otonomi seluas-luasnya


Prinsip otonomi seluas luasnya memiliki arti bahwa suatu daerah akan
diberikan sebuah wewenang. Kewenangan tersebut dipakai untuk mengatur serta
mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Kewenangan ini juga membuat daerah
dapat mengatur pemerintahannya sendiri.Akan tetapi, harus tetap sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Seperti ketika sebuah hal menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Maka pemerintah daerah harus mengikuti aturan dari undang-
undang tersebut.

b. Prinsip otonomi nyata


Berdasarkan prinsip otonomi nyata, suatu daerah akan diberikan sebuah
wewenang. Kewenangan tersebut digunakan untuk menangani urusan-urusan dari
pemerintahan. Urusan tersebut didasarkan dari sebuah tugas, wewenang serta
kewajiban.Ketiga hal tersebut secara nyata sudah ada dan memiliki potensi untuk
terus bertumbuh. Selain itu, memiliki potensi untuk terus berkembang. Serta hidup
sesuai dengan potensi dari daerah tertentu.

c. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab


Prinsip otonomi daerah yang bertanggung jawab ini memiliki makna dalam
suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan. Prinsip ini harus disesuaikan serta
diperhatikan. Mengenai tujuan dan maksud dari pemberian otonomi.

6
Tujuan-tujuan yang akan dicapai menurut prinsip otonomi yang
bertanggung jawab adalah mampu dan dapat memberdayakan daerahnya masing-
masing. Ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat
yang luas

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintah


Daerah, terdapat 3 jenis penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi dasar
bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Asas-asas tersebut
antara lain adalah asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

a. Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah sebuah penyerahan wewenang. Penyerahan
tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat pada pemerintah daerah. Pemerintah
daerah memiliki wewenang untuk mengurus daerahnya tersebut secara mandiri. Hal
ini berdasarkan dari asas otonom.

b. Asas Dekonsentrasi
Asas dekonsentrasi adalah sebagian urusan dari pemerintahan yang menjadi
wewenang pemerintah pusat pada gubernur. Hal tersebut karena gubernur adalah
wakil dari pemerintah pusat.Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat pada instansi
vertikal di sebuah wilayah tertentu, dan/atau pada gubernur dan walikota atau
bupati sebagai penanggung jawab dari urusan pemerintahan umum.

c. Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah provinsi.

7
Adapun landasan atau dasar hukum dari penerapan otonomi daerah adalah
sebagai berikut:

a. Undang Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen ke-2, terdiri dari: Pasal 18
Ayat 1 sampai 7, Pasal 18 A ayat 1 dan 2 dan Pasal 18 B ayat 1 dan 2.
b. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 mengenai Penyelenggaraan
Otonomi Daerah.
c. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
d. Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
e. Undang Undang No. 33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Daerah dan Pusat

B.Evaluasi Otonomi dan Desentralisasi Daerah

Sejalan dengan pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah


daerah, muncul harapan akan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Indikator pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat
pasca desentralisasi. Kemampuan pemerintah daerah juga memainkan peran
penting dalam pelaksanaan desentralisasi. Kepemimpinan lokal yang kuat,
lingkungan yang pro-bisnis dan pengelolaan anggaran masyarakat secara baik
merupakan hal yang penting bagi Kepala Daerah.

Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi, ada beberapa hal lain yang


menjadi perhatian, yaitu desentralisasi asimetris dan kesenjangan regional.
Masalah-masalah ini pasti sangat dinilai dengan hati-hati karena ini dapat
menghambat hasil kebijakan desentralisasi.

8
1.Desentralisasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Secara historis desentralisasi pemerintahan di Indonesia telah diikuti
dengan desentralisasi fiscal. Atau dengan kata lain pelimpahan urusan
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah telah dilengkapi
dengan kewenangan anggaran. Untuk mengetahui bagaimana kontribusi
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, diperlukan ukuran kuantitatif
desentralisasi fiskal.

Para peneliti telah meninjau pengukuran ini dalam berbagai literatur.


Secara umum, desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan wewenang terkait
pengambilan keputusan dari pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang
lebih rendah. Dalam mengukur desentralisasi fiskal kita harus memahami tingkat
kewenangan yang ada di pemerintah daerah. Namun, untuk mengukur otoritas ini
secara kuantitatif adalah tugas yang sangat menantang (Akai dan Sakata, 2002).
Metode yang paling umum digunakan untuk mengukur tingkat otoritas adalah
dengan menggunakan pendekatan akuntansi baik dari pendapatan maupun
pengeluaran (Akai dan Sakata, 2002; Swasono , 2007; Yushkov, 2015). Namun
pendekatan akuntansi ini tidak menghasilkan pengukuran kewenangan yang akurat
karena pengeluaran pemerintah daerah dapat berasal dari pemerintah pusat yang
telah ditentukan sebelumnya. Kewenangan dianggap terdesentralisasi ketika
pemerintah daerah diberikan otonomi untuk menggali sumber-sumber dana untuk
membiayai pengeluarannya. Oleh karena itu, otonomi ini juga harus digunakan
sebagai indikator desentralisasi fiskal (Akai dan Sakata, 2002).

Akai dan Sakata (2002) mengajukan beberapa indikator desentralisasi


fiskal dari berbagai perspektif untuk memperoleh hasil yang meyakinkan, yang
dilatarbelakangi oleh tantangan untuk mengembangkan satu ukuran yang akurat.
Indikator-indikator tersebut adalah: i) indikator pendapatan, yaitu rasio pendapatan
pemerintah daerah terhadap total pendapatan negara dan pemerintah daerah, tidak
termasuk hibah dari pemerintah lain; ii) indikator produksi, didefinisikan sebagai
rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah negara

9
bagian dan daerah termasuk hibah dari pemerintah lain; iii) indikator otonomi,
didefinisikan sebagai perbandingan antara pendapatan asli daerah dengan total
pendapatannya. Indikator ini terbagi menjadi dua, yaitu pendapatan termasuk hibah
dan tidak termasuk hibah; dan iv) indikator produksi-pendapatan, yang mewakili
ukuran desentralisasi yang menggabungkan baik bagi hasil maupun bagi
pengeluaran.

Rasio yang digunakan oleh Akai dan Sakata (2002) dikembangkan lebih
lanjut oleh Martinez-Vazquez dan Timofeev (2010) yang disebut sebagai “rasio
komposit”. Martinez mengakui bahwa terkadang satu indikator diperlukan untuk
menunjukkan meski hanya sekilas, tren desentralisasi fiskal. Meski diakuinya juga
desentralisasi tidak mungkin hanya dilihat dari satu aspek saja, dengan indikator
komposit, kita bisa mencoba mengukur lebih dari satu aspek, bukan hanya satu sisi
pendapatan atau pengeluaran. Pengukuran ini pada dasarnya merupakan kombinasi
dari rasio pendapatan dan pengeluaran. Dalam ukuran ini, rasio komposit akan lebih
besar jika desentralisasi pendapatan lebih tinggi, tetap konstan. Sebaliknya, rasio
komposit akan lebih tinggi jika desentralisasi pengeluaran lebih tinggi, menjaga
desentralisasi pendapatan tetap konstan.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh F. Setiawan and A F Aritenang


(2019), menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota. Desentralisasi fiskal memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap kinerja ekonomi pada nilai lag tiga tahun, menyiratkan
bahwa penganggaran publik akan memiliki berdampak signifikan terhadap
peningkatan kinerja ekonomi tiga tahun kemudian.

Hal ini tentu sejalan dengan pendapat Oates (2005, dikutip dalam Gemmell
et al., 2013) bahwa desentralisasi fiskal dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian kebijakan desentralisasi pemerintahan yang diiringi
desentralisasi fiscal telah mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.

10
2.Kesejahteraan Daerah dan APBD
Cara lain untuk mengukur tingkat kesejahteraan adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang menurut definisi UNDP, adalah ringkasan
ukuran pencapaian rata-rata dalam dimensi kunci pembangunan manusia: Umur
Panjang dan hidup sehat, pengetahuan dan standar hidup sehat. IPM adalah rata-
rata geometrik dari indeks yang dinormalisasi untuk masing-masing dari tiga
dimensi ini. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perubahan IPM antara lain
capaian pemerintah daerah dalam menyediakan fasilitas umum yang baik, seperti
pendidikan dan kesehatan.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Tahun 2021, Indeks


Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2021 mencapai 72,29, meningkat
0,35 poin (0,49 persen) dibandingkan capaian tahun sebelumnya (71,94). Selama
2010–2021, IPM Indonesia rata-rata meningkat sebesar 0,76 persen. Peningkatan
IPM 2021 terjadi pada semua dimensi, baik umur panjang dan hidup sehat,
pengetahuan, dan standar hidup layak. Hal ini berbeda dengan peningkatan IPM
2020 yang hanya didukung oleh peningkatan pada dimensi umur panjang dan hidup
sehat dan dimensi pengetahuan, sedangkan dimensi standar hidup layak mengalami
penurunan. Pada 2021, dimensi hidup layak yang diukur berdasarkan rata-rata
pengeluaran riil per kapita (yang disesuaikan) meningkat 1,30 persen. Pada dimensi
pendidikan, penduduk berusia 7 tahun memiliki harapan lama sekolah (dapat
menjalani pendidikan formal) selama 13,08 tahun, atau hampir setara dengan
lamanya waktu untuk menamatkan pendidikan hingga setingkat Diploma I. Angka
ini meningkat 0,10 tahun dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 12,98 tahun.
Sementara itu, rata-rata lama sekolah penduduk umur 25 tahun ke atas meningkat
0,06 tahun, dari 8,48 tahun menjadi 8,54 tahun pada tahun 2021. Pada dimensi umur
panjang dan hidup sehat, bayi yang lahir pada tahun 2021 memiliki harapan untuk
dapat hidup hingga 71,57 tahun, lebih lama 0,10 tahun dibandingkan dengan
mereka yang lahir pada tahun sebelumnya..

11
Tren Pertumbuhan IPM 2010-2021

Sumber: BPS 2021

Jika dilihat perbandingan perubahan IPM antara 1999 (sebelum


desentralisasi) dan 2021 (setelah dua puluh enam tahun pelaksanaan desentralisasi)
menunjukkan bahwa hampir 50% dari semua kabupaten dan kotamadya mengalami
peningkatan IPM sebesar lima sampai sepuluh persen. Hanya beberapa
kabupaten/kota yang mengalami peningkatan IPM kurang dari lima persen. Empat
puluh persen kabupaten/kota mengalami peningkatan IPM sebesar dua puluh persen
atau lebih. Kenaikan IPM menunjukkan adanya kemajuan positif dalam pendidikan
dan kesehatan.

3.Kepemimpinan Lokal dan Lingkungan Bisnis


Desentralisasi telah memaksa pemerintah daerah untuk lebih fokus dalam
pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah dituntut untuk mampu
menciptakan lingkungan “pro-bisnis” di wilayah masing masing, seperti misalnya
melalui penyederhanaan perijinan. Hal ini tentu menguntungkan ekonomi daerah,
karena sebagai sebuah kebijakan “pro-bisnis” tentu akan menarik Investasi Asing
Langsung (FDI).

12
Namun, ada beberapa pemimpin lokal yang gagal mengelola ekonomi lokal
mereka karena membuat peraturan daerah yang rumit, sehingga menghambat iklim
investasi di daerah. Investor telah pindah dari daerah tersebut, dan ini
memperlambat laju pertumbuhan ekonomi di daerah. Analisis regresi sederhana
pada provinsi data investasi telah membuktikan bahwa daerah “pro-bisnis” dapat
menarik lebih banyak investasi. Provinsi dengan peraturan yang tidak rumit dan
berbelit belit umumnya lebih menarik untuk investasi. Seperti yang dirangkum
dalam Gambar 2, ada beberapa faktor positif yang mempengaruhi aliran investasi
ke provinsi, seperti ukuran ekonomi, jumlah penduduk dan pajak daerah. Di sisi
lain, ada juga faktor negatif yang mempengaruhi masuknya investasi, seperti
ketersediaan infrastruktur (jalan dan listrik) dan sejumlah peraturan yang
menghambat. Memahami akan dampak negatif dari peraturan daerah yang
menghambat investasi maka undang-undang lama tentang pajak lokal dan retribusi
telah dicabut, dan diganti dengan UU No.28/20009 dan terakhir Undang Undang
ini juga dicabut dan dimasukkan menjadi bagian dari Undang Undang Perimbangan
Kuangan Pusat dan Daerah yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang
mengadopsi metode daftar positif; yang berarti bahwa pemerintah daerah
diperbolehkan memungut pajak dan retribusi, hanya jika hal itu diatur dalam
hukum.

13
10 Provinsi dengan Realisasi Investasi PMDN Terbesar Tahun 2021

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)

3.Desentralisasi Asimetris
Desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralisation) adalah
pemberlakuan/transfer kewenangan khusus yang hanya diberikan pada daerah
daerah tertentu dalam suatu negara, yang dianggap sebagai alternatif untuk
menyelesaikan permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, dalam konteks Indonesia dalam rangka menjaga eksistensi daerah dalam
NKRI. Desentralisasi asimetris mencakup desentralisasi politik, ekonomi, fiskal,
dan administrasi, namun tidak harus seragam untuk semua wilayah negara, dengan
mempertimbangkan kekhususan masing-masing daerah. Hal ini berbeda dengan
desentralisasi simetris, di mana kebijakannya tidak membeda-bedakan daerah
konstituen.

Pendekatan desentralisasi asimetris adalah sering diajukan sebagai solusi


atas ketidakpuasan yang muncul ketika satu atau dua konstituen unit merasakan

14
kebutuhan yang sangat berbeda dari orang lain sebagai akibat dari perbedaan etnis,
bahasa atau budaya. Di Indonesia, meskipun bentuk negara adalah Kesatuan, empat
provinsi diberi keistimewaan status otonomi; yaitu Aceh, Jakarta, Yogyakarta, dan
Papua. Setiap provinsi memiliki undang-undang status khusus sendiri yang
menetapkan derajatnya otonomi khusus. Setiap provinsi telah diberikan dana
otonomi khusus, sesuai dengan keunikannya. Untuk menghindari pemberian status
khusus kepada setiap provinsi, kebijakan desentralisasi asimetris perlu
diimplementasikan secara berbeda. Keunikan daerah diakui bukan sebagai individu
pengobatan, bukan sebagai pengobatan berkerumun. Kluster ini dapat digunakan
sebagai kriteria tambahan untuk mengalokasikan hibah tujuan umum. Sebagai
contoh, daerah dapat dibedakan berdasarkan kebutuhan perkotaan dan pedesaan.
Ini menyiratkan tujuan umum dari hibah bisa berbeda antara perkotaan dan daerah
pedesaan.

5.Disparitas Wilayah
Fenomena ketimpangan wilayah adalah bukan hal baru bagi Indonesia.
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1, distribusi PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto) tidak banyak berubah sejak tahun 1970, dimana porsi terbesar dari
PDRB dinikmati oleh wilayah Jawa. mungkinkah ini karena perbedaan lokasi
produksi untuk industri di Indonesia. Sebagian besar basis produksi, yang biasanya
menciptakan nilai tambah lebih, tetap terletak di Jawa dan Sumatera. Untuk
mengurangi disparitas regional, harus ada perubahan dalam struktur ekonomi
wilayah di luar Jawa dan Sumatera. Pemerintah harus mengambil tindakan afirmatif
untuk mengembangkan lebih banyak industri di luar Jawa. Harus ada strategi
“catch-up” untuk wilayah di luar Jawa dan Sumatera. Ketersediaan infrastruktur,
seperti rel kereta api, pelabuhan dan listrik, di luar Jawa dan Sumatera, bisa
merangsang perekonomian daerah dinamis. Kebijakan desentralisasi fiskal dapat
membantu pembangunan infrastruktur yang lebih baik luar Jawa dan Sumatera,
dirumuskan melalui hibah khusus DAK (Dana Alokasi Khusus).

15
Regional GDP Distribution

Distribusi PDRB Terhadap Jumlah PDRB (%)


Provinsi
2019 2020 2021

Sumatera 19.60 21.34 21.70

DKI Jakarta 17.55 17.55 17.19

Jawa (w/o DKI Jakarta)


42.91 42.62 42.00
& Bali

Nusa Tenggara 1.50 1.53 1.48

Kalimantan 8.06 7.95 8.25

Sulawesi 6.47 6.67 6.90

Maluku dan Papua 2.26 2.35 2.49

Sumber: BPS

C.Perspektif Masa Depan Desentralisasi di Indonesia

Tidak mudah untuk memprediksi masa depan desentralisasi Indonesia.


Dinamika politik bisa menggeser pendulum dari desentralisasi kembali ke
sentralisasi. Situasi seperti itu pernah terjadi ketika ada wacana, bahkan sudah ada
keputusan untuk mengganti sistem pemilihan kepala daerah langsung menjadi
sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung, walaupun akhirnya
dibatalkan setelah sempat disetujui DPR. Sesuai perkembangan politik saat ini
pendulum mulai bergeser lagi kearah sentralisasi dengan diundangkannya Undang

16
Undang Cipta Kerja yang menarik kembali hampir semua kewenangan perijinan
dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat walaupun undang undang tersebut
digugat oleh masyarakat melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Akhirnya masa depan desentralisasi tergantung pada kemampuannya untuk


mendukung pelaksanaan prioritas nasional, seperti pembangunan infrastruktur,
perubahan iklim dan juga prioritas nasional lainnya. Kejelasan dan kepastian
kebijakan desentralisasi penting untuk mendukung pencapaian prioritas nasional.
Masa depan kebijakan desentralisasi juga tergantung pada hasil dari kebijakan,
terutama untuk apa dan sejauh mana kebijakan tersebut telah membantu dalam
peningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Untuk meminimalisir perubahan yang sering terjadi pada kebijakan


desentralisasi, maka pemerintah harus segera menyelesaikan grand
design desentralisasi agar desentralisasi tetap berada pada jalur yang benar dan
secara konsisten mendukung pembangunan Indonesia ke depan. Saat ini,
hanya grand design untuk desentralisasi fiskal tersedia. Namun grand design ini
tidak hanya berfokus pada sisi pendapatan, tetapi juga pada sisi pengeluaran
anggaran pemerintah daerah. Besarnya pelimpahan wewenang kepada daerah
seharusnya diimbangi dengan pelimpahan di bidang anggaran.

17
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari kajian diatas ,dapat diambil kesimpulan bahwa otonomi daerah adalah
sebuah sistem atau kewenangan yang dimiliki daerah. Otonomi daerah ini bertujuan
untuk mengembangkan daerah serta isi di dalam daerah tersebut. Keberadaan
otonomi menghasilkan desentralisasi yang di Indonesia sendiri saat ini disebut
sebagai desentralisasi big bang yang melahirkan banyak sekali perubahan dalam
sistem dan tata kelola pemerintahan. Dalam hal ini,banyak sekali perubahan yang
harus dievaluasi sehingga kemudian perubahan yang tercipta tidak melenceng dari
bentuk perencanaan dan tujuan awal dari otonomi serta desentralisasi tersebut agar
kemudian apa yang menjadi target tersebut dapat tercapai di masa depan.

B.Saran

Terkait otonomi dan desentralisasi daerah ini,saya menyarankan bahwa


tahapan dan proses evaluasi mengenai otonomi dan desentralisasi daerah harus
selalu dilakukan ,bahkan dalam jangka periode yang tidak lama baik itu setiap tiga
ataupun enam bulan sekali. Hal ini perlu dilakukan agar berbagai permasalahan
terkait hal ini dapat dicegah,diketahui, dan diselesaikan dengan lebih cepat dan
berjenjang dari tingkat terendah di pemerintahan daerah sampai pada tingkat
tertinggi di pemerintah pusat. Dengan rutinnya dilaksanakan evalusasi ini,maka
tentunya sistem otonomi dan desentraliasi daerah ini dapat menjadi lebih baik
kedepannya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Ministry of Finance, 2008. Grand Design of Fiscal Decentralization.

Mahi, B. R., 2013. Presentation for GRIPS Research Meeting.

Mahi, B. R. and R. M. Qibthiyyah, 2015. “Intergovernmental Transfers:


Effectiveness and Response on Government” in: A. Nasution, Macroeconomic Policies
in Indonesia: Indonesia Economy since the Asian Financial Crisis of 1997. Oxon and
New York: Routledge.

Green, K., 2005. “Decentralization and Good Governance: The Case of


Indonesia”, MPRA Paper No. 18097. Available at: https://mpra.ub.uni-
muenchen.de/18097/
1/Decentralization_and_Good_GovernanceThe_Case_of_Indonesia.pdf.

Hofman, B. and K. Kaiser, 2002. “The Making of the Big Bang and its Aftermath:
A Political Economy Perspective”, Paper Presented at the Conference ‘Can
Decentralization Helpf Rebuild Indonesia?’. Atlanta: Georgia State University.

Keuleers, P., 2002. The role of the Governor and of the provincial
administration: Comparative experiences, UNDP.
Available at: http://web.iaincirebon.ac.id/ebook/moon/Decentralization/Q%201.4%20-
%20UNDP%20-%20role_of_the_governor_020902.pdf.

F Setiawan1 and A F Aritenang, 2019, The impact of fiscal decentralization on


economic performance in Indonesia, https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-
1315/340/1/012021/pdf

iii

Anda mungkin juga menyukai