Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

OTONOMI DAERAH DAN GOOD GOVERNANCE

Disusun oleh:

 Ilham Robby Nugroho 1331310079


 Irma Noor Fadhilla 1331310105
 Nur Yakin 1331310102
 Rezha Anggi Manggala 1331310053

KELAS 1E
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI MALANG
2013

Otonomi Daerah
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat serta anugrah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “OTONOMI DAERAH DAN GOOD GOVERNANCE” dengan baik dan
sesuai dengan waktu yang ditetapkan.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kewarganegaraan kelas I
semester ganjil di Politeknik Negeri Malang tahun 2013.
Makalah ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada :
1. Khrisna Hadiwinarta SH. MH dan Dewi Cahyandani selaku dosen pembimbing
Kewarganegaraan yang telah banyak membimbing, membantu dan memotifasi
penulis dengan rasa penuh tanggung jawab demi terselesainya makalah ini.
2. Semua rekan-rekan yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
3. Serta seluruh pihak yang tidak dapat satu persatu disebutkan, yang telah terlibat
sehingga tuntasnya susunan makalah yang tersedia ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari bahwa masih banyaknya
kekeliruan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu dengan segenap kerendahan
hati, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Penyusun

Otonomi Daerah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................2
A. Pengertian Otonomi daerah..............................................................................................2
B. Faktor- Faktor yang Berpengaruh Terhadap Wawasan Nusantara............................2
C. Isi Wawasan Nusantara....................................................................................................7
D. Ketahanan Nasional..........................................................................................................9
E. Kasus Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan...............................................................18

BAB III PENUTUP..............................................................................................................24


A. Kesimpulan......................................................................................................................24
B. Saran.................................................................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................26

Otonomi Daerah
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang Masalah

Letak geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh


terhadap mekanisme pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan
geografis yang berupa kepulauan ini menyebabkan pemerintah sulit
mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan
pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya berbagai
suatu 4dmini pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri
tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah pusat.
Di era reformasi ini sangat dibutuhkan 4dmini pemerintahan yang
memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat di daerah, namun itu
juga tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut
sangat diperlukan karena mulai terdapat munculnya ancaman-ancaman
terhadap keutuhan NKRI, hal tersebut ditandai dengan banyaknya daerah-
daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sumber daya alam daerah di Indoinesia yang tidak merata juga
merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu 4dmini
pemerintahan yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang
merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan
nasional.
Sebab seperti yang kita ketahui bersama bahwa terdapat beberapa
daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat dari pada daerah
lain. Karena itulah pemerintah pusat membuat suatu 4dmini pengelolaan
pemerintahan di tingkat daerah yang disebut otonomi daerah (OTDA) untuk
mengelola potensi-potensi dan sekaligus mengembangkanya.
Pada kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan
begitu saja terhadap pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundang-
undangan, pemerintah pusat juga harus mengawasi keputusan-keputusan
yang diambil oleh pemerintah daerah. Apakah sudah sesuai dengan tujuan
nasional atau tidak, maka dari itu pemerataan pembangunan di seluruh
wilayah Republik Indonesia di dalam pembangunan itu yang bukan hanya
kepada tata pengelolaan pembangunan kota yang strategis, tapi dari aspek
yang lain yang sama mesti di bangun seperti pengembangan kualitas

Otonomi Daerah
1
sumberdaya manusia, pembangunan didalam bidang pendidikan yang
mengacu kepada UUD 1945 yang memang harus benar-benar merata agar
tersusun tatanan pola pembangunan yang merata dan terstruktur bagi
tatanan daerah.

1.2. Pokok Permasalahan

Masalah ialah harus dipecahkan secara baik-baik dan benar sesuai


prosedur, dan masalah yang akan disusunpun harus benar-benar
dirumuskan dan dipikirkan secara matang-matang. Berdasarkan latar
belakang masalah diatas kita dapat merumuskan hal/pokok permasalahan
dalam susunan makalah ini. Ialah sebagai berikut yang akan menjadi
uraian dan sekaligus menjadi bahasan pada bab selanjutnya.

1. Apa arti dari otonomi daerah dan desentralisasi ?


2. Siapa yang mengungkapkan bentuk desentralisasi?
3. Apakah ada kemungkinan implikasi terhadap keuangan daerah dari
otonomi daerah ?
4. Seperti apakah implikasi terhadap dinamika politik 5dmin/Daerah ?
5. Apa saja ruang lingkup dari visi otonomi daerah ?

Otonomi Daerah
2
BAB II
PEMBAHASAN MENGENAI OTONOMI DAERAH

1. Arti Otonomi Daerah

Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri.


Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Jadi,
otonomi daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan
dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika
daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut maka daerah dapat
dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa
tekanan dari luar.
Desentralisasi didefinisikan dalam United Nations (PBB) yang menjelaskan
proses kewenangan yang diserahkan dari pusat kepada daerah. 6dministra
melalui dua cara yaitu dengan delegasi kepada pejabat-pejabat di daerah
(deconcentration) atau bisa juga dengan devolution kepada badan-badan
otonomi daerah. Desenteralisasi sangat identik dengan otonomi karena
kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama yaitu kewenangan
daerah untuk menggurus urusan-urusan pemerintahan daerah atau
mengurus rumah tangganya sendiri sedangkan dalam penerapanya otonomi
lebih cenderung pada politik sedangkan desenteralisasi mengacu pada
administrasi.

2. Model Desentralisasi

Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu :


(1)     dekonsentrasi
(2)     delegasi
(3)     devolusi
(4)     privatisasi
1) Dekonsentrasi

Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconcentration), menurut


Rondinelli pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan
tanggung jawab 6dministrative antara departemen pusat dengan pejabat
pusat dilapangan tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil
keputusan atau keleluasan untuk membuat keputusan.
Rondinelli selanjutnya membedakan dua tipe dekonsentrasi yaitu :
3

Otonomi Daerah
a) Field administration (administrasi lapangan)
Pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan
seperti merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan
menyesuikan pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi setempat.

b) Local administrasion (administrasi lokal)


Terdiri dari dua tipe yaitu integrated local administration (administrasi
lokal yang terpadu) dan unintegrated local administration (administrasi
lokal yang tidak padu).Dalam tipe integrated local administration, tenaga-
tenaga dari departemen pusat yang ditempatkan didaerah berada langsung
di bawah perintah dan supervisi kepala daerah yang diangkat oleh dan
bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Walaupun tenaga-tenaga
tersebut diangkat, digaji, dipromosikan dan dimutasikan oleh pemerintah
pusat, mereka tetap berkedudukan sebagai staf teknis dari kepala daerah
dan bertanggung jawab kepadanya. Sedangkan tipe unintegrated local
administration ialah tenaga-tenaga pemerintah pusat yang berada didaerah
dan kepala daerah masing-masing berdiri sendiri.
Menurut Rondinelli, dekonsentrasi dapat ditempuh melalui dua cara
yaitu, pertama; transfer kewajiban dan bantuan keuangan dari pemerintah
pusat kepada provinsi, distrik dan unit administratif lokal. Kedua; melalui
koordinasi unit-unit pada level sub-nasional atau pemerintah pusat dan
daerah serta unit-unit tersebut.
2) Delegasi

Delegasi sebagai bentuk kedua yang disebutkan oleh Rondinelli adalah


pelimpahan keputusan dan kewenangan untuk melakukan tugas-tugas
khusus suatu organisasi yang tidak secara langsung berada dibawah
pengawasan pemerintah pusat. Delegasi menurut Litvack merujuk kepada
sebuah situasi dimana pemerintah pusat mentrasfer tanggung jawab
(responsibility) pengambilan keputusan dan fungsi administrasi publik
kepada pemerintah daerah atau kepada organisasi semi otonomi yang
sepenuhnya tidak dikendalikan oleh pemerintah pusat akan tetapi pada
akhirnya tetap bertanggung jawab (accountable) kepadanya. Bentuk
desentralisasi semacam ini dapat dirincikan sebagai hubungan daerah
prinsipelagen dimana pemerintah pusat sebagai prinsipal dan pemerintah
daerah sebagai kebebasan pemerintah daerah yang memperoleh insentif
dari pemerintah pusat dan cenderung dituntut untuk lebih memenuhi
keinginan pemerintah pusat agar tidak sampai mengorbankan kepentingan
daerah dalam mengelola kewenangan dan tanggung jawabnya.

Otonomi Daerah
3) Devolusi

Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-


unit pemerintahan diluar pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-
fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri.
Bentuk devolusi mempunyai lima karakteristik, diantaranya :
a) Unit pemerintahan lokal bersifat otonomi, mandiri dan secara tegas
terpisah dari tingkat- tingkat pemerintahan. Pemerintahan pusat tidak
melakukan pengawasan langsung terhadapnya.
b) Unit pemerintahan lokal diakui mempunayi batas-batas wilayah yang
jelas dan legal, yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas
umum pemerintahan
c) Unit pemerintahan daerah berstatus sebagi badan hukum dan
berwenang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-dumber daya
untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
d) Unit pemerintahan daerah diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga
yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi
kebutuhan meraka.
e) Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinator
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi
lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
4) Privatisasi
Bentuk terakhir dari desentralisasi menurut Rondinelli adalah
orivatisasi. Privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari
pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta dan swadaya
masyarakat, tetapi dapat pula merupakan peleburan badan Pemerintah
menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN & BUMD dilebur menjadi
PT.
Rondinelli menjelaskan melalui privatisasi pemerintahan menyerahkan
tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi nirlaba atau
mengizinkan mereka membentuk perusahaan swasta. Dalam beberapa
kasus, pemerintah menstransfer tanggung jawab tersebut kepada
organisasi paralel seperti nasional, asosiasi dagang dan industri, kelompok-
kelompok profesional, organisasi keagamaan, partai politik dan koperasi.
Dari penjelasan diatas, kita dapat melihat bahwa konsep desentralisasi
didekati dalam jangkauan aktivitas dan ide yang luas. Oleh karena itu bagi
Maddick sebagaimana dikutip oleh Turner yang penting adalah adanya
evolusi sistem pemerintahan.
Pembagian Kekuasaan Antara Pusat dan Daerah Dalam UU No. 22 Tahun
1999
Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan
prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat fedralisme. Jenis yang

Otonomi Daerah
ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangai oleh pemerintah
dinegara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan,
peradilan, moneter dan agama serta berbagai jenis urusan yang memang
lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat seperti
kebijakan makro ekonomi standarisasi nasional, administrasi
pemerintahan, badan usaha milik negara dan pengembangan sumber daya
manusia.

Kewenangan propinsi sebagai daerah administrasi mencakup :


1)        Kewenangan bersifat lintas kabupaten dan kota
2)        Kewenangan pemerintahan lainnya, seperti perencanaan dan
pengendalian pembangunan regional secara makro.
3)        Kewenangan kelautan
4) Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan
kota.

FUNGSI DESENTRALISASI :
desentralisai dapat menghantarkan kepada administrasi pemerintahan
yang mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Pemerintah Daerah dapat
memiliki peluang untuk menguji inofasi, serta berexperiment dengan
kebijakansanaan yang baru didaerah tertentu tanpa harus
menjastipikasinya kepada seluruh wilayah negara. Kalau mereka berhasil
maka dapat dicontoh oleh daerah yang lainya.
desenteralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat memungkinkan
peminpin di daearah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektip
ditengah-tengah masyarakat, menintegrasikan daerah-daerah yang
terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek
pembangunan dengan lebih baik daripada yang dilakukan oleh pejabat di
pusat.
desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional
yang memberikan peluang kapada berbagai kelompok masyarakat didaerah
untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan,
sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentinggan mereka
didalam memelihara sistem politik.
desenteralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa ditingkat
lokal dengan biayaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi
beban pemerintah Pusat karena sudah diserahkan kepada Daerah.

3. Apakah Ada Kemungkinan Implikasi Terhadap Keuangan Daerah dari


Otonomi Daerah ?
Persoalaan klasik yang selalu muncul ketika membicarakan masalah
pemerintah Daerah adalah yang berkaitan dengan masalah keuangan.
Sangat masuk akal persoalan ini selalu muncul karena uang jelas sangat

Otonomi Daerah
mutlak diperlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan,
baik dalam memberikan pelayanaan kepada masyarakat ataupun guna
memberikan perlindungan. Dana yang sangat besar diperlukan untuk
membayar belanja pegawai, dan juga segala bentuk pembiayaan lainya yang
biasanya diwujudkan dalam bentuk proyek.
Dengan adanya 2 UUD yang mengatur pemerintahan Daerah yang
baru, apakah persoalaan tersebut akan dapat diselesaikan ? tentu saja
tidak, apalagi masih diperlukan sejumlah peraturan lebih lanjut guna
menginterpretasikan kedua UU tersebut. Baik UU.No.22/1999 ataupun UU
No.25/1999, keuangan Daerah dinyatakan bersumber dari :
a.       Pendapatan asli Daerah yaitu:
  Hasil pajak Daerah.
  Hasil retribusi daerah.
  Hasil perusahaan Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan, dan
  Lain-lain pendapatan asli daerah yang syah.
a. Dana perimbangan;
b. Pinjaman Daerah;
c. Lain-lain pendapatan Daerah yang syah.
Sementara itu yang dimaksud dengan “dana perimbangan” adalah “ a.
Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bagunan, dan penrimaan SDA; b. Dana alokasi umum;
dan c. Dana alokasi khusus. “bagian dari perolehan daerah secara terperinci
dinyatakan pembagiannya sebagai berikut agar terlihat lebih jelas kita
mencoba dengan penjelasan lewat tabel berikut ini.

Jenis Penerimaan Pusat Daerah


Penerimaan dari PBB 10% 90%
Bea perolehan Hak T&B 20% 80%
Pertambangan Umum &
20% 80%
Perik
Minyak Bumi 85% 15%
Gas Alam 70% 30%
Data ini kita mengacu dari :UU PKPD No. 22/1999 Pasal 6

“Pengaturan masalah keuangan Daerah, menrut hemat kita sesuai


hasil keputusan bersama setelah mengkaji dari semua data ialah masih
bersifat “setengah hati” karena titik beratnya masih tetap pada pembagian
proporsi, bukan terletak kepada pemberian kewenangan yang luas
sebagaimana dinyatakan juga dalam UU No. 22 Tahun 1999. Kita lebih
percaya pada mekanisme yang memberikan kewenangan yang luas kepada
daerah dalam bidang keuangan, karena dengan kewenangan tersebut uang
akan dapat dicari semaksimal mungkin, tentu saja dengan memperhatikan

Otonomi Daerah
potensi daerah serta kemampuan aparat pemerintah daerah untuk
mengambil inisiatif guna menemukan sumber-sumber keuangan yang baru.
Dengan demikian yang menjadi landasan falsafahnya adalah “dengan
kewenangan, uang akan dicari” atau dalam bahasa asingnya ialah “Money
Follows Funcition.” Bukan sebaliknya sebagaimana yang sudah
diperlihatkan selama puluhan tahun di Indonesia.

4. Seperti apakah implikasi terhadap dinamika politik lokal ?

Pada masa-masa yang akan datang kita justru harus dapat bersigap
tegas dan jeli untuk mengantisipasi terhadap kemungkinan akan
tumbuhnya dinamika politik lokal yang sangat tinggi. Hal itu sangat sejalan
sekali dengan dengan berkembangnya proses demokratisasi hampir di
semua tingkatan masyarakat, termasuk ditinggkatan lokal. Pejabat
pemerintah itu tidak lagi merupakan individu yang “untouchable “namun
mereka akan sangat terbuka untuk dijadikan sasaran keritik dari berbagai
pihak didaerah. Oleh karena itu, kemungkinan peningkatan akuntabilitas
pejabat di daerah akan sangat tinggi, karena akan terjadi proses
skrutinisasi terhadap pemegang jabatan, baik yang menyangkut
perilakunya sehari-hari ataupun yang berkaitan dengan pemilihan
kebijaksanananya.
Hal itu menjadi bertambah kuat lagi sejalan dengan meningkatnya
kebebasan, baik kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat ataupun
kebebasan Pers. Hal yang terakir ini jelas merupakan hal gejala yang sangat
menarik karena. Selama masa transisi Pers Indonesia telah memperlihatkan
peranannya yang memang cukup luar biasa besarnya dalam menyoroti
berbagai perilaku pejabat pemerintahan, termasuk pejabat didaerahpun
sama demikian.

5. Arti Penting Otonomi Daerah Desentralisasi

Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di


Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak :
1)        Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di
Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
2)     Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata
3)     Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah
dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah
berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah
masih lamban dan terbengkalai.

Otonomi Daerah
4) Dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak
saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
5) Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian
sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti
geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau
latar belakang sejarahnya.
6) Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan
karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung dapat
membantu pembangunan tersebut.

Berbagai argumen dan penjelasan mengenai fungsi desentralisasi,


otonomi yaitu :

1.    Untuk terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan pemerintahan.


Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti
bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik,
integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dll. Selain itu juga
mempunyai fungsi distributif akan hal yang telah diungkapkan, fungsi
regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa, dan fungsi
ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka sarana
membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
2. Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuan politik
berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan
(training ground) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara.
3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
Banyak kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah daerah
merupakan langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama karir
di bidang politik dan pemerintahan ditingkat nasional.
pemerintahan daerah maka kesetaraan politik diantara berbatgai
komponen masyarakat akan terwujud.
4. Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada
masyarakat, termasuk didaerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk
kegiatan penyelenggaraan negara.

3. Apa saja ruang lingkup dari visi Otonomi Daerah ?

Otonomi Daerah
1) Politik

Karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentalisasi dan demokrasi,


maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi
lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,
memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang
respontif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara
mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung
jawaban publik. Demokratisasi pemerintah juga berarti transparansi
kebijakan.artinya untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa
yang memprakarsainya dari kebijakan itu. Apa tujuanya, berapa ongkos
yang harus dipikul, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang harus
ditanggung, dan siapa yang harus bertangung jawab ketika kebijakan itu
gagal ? otonomi daerah juga berkesempatan membangun struktur
pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem
dan pola karir politik administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan
manajemen pemerintah yang efektif.

2) Ekonomi

Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan


kebijakan. Ekonomi didaerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi
pemerintahan daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya.
Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memnungkinkan lahirnya
berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan pasilitas
investasimemudahkan proses perijinan, dan membangun berbagai
infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi didaerahnya. Dengan
demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat
kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.

3) Sosial dan budaya

Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan


memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-
nilai lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan
masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian
melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999,
merangkum hal-hal berikut ini:
a)        Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam
hubungan domestik kepada daerah.

Otonomi Daerah
b)        Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan
dan penetapan kepala Daerah
c)        Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi
demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi
tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
d)       Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui
pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan
ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara dengan
beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih
responsif terhadap kebutuhan daerah.
e)        Peningkatan efisien administrasi keuangan darah serta pengaturan yang
lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian
revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan
kekayaan alam, pajak dan retribusi serta tata cara dan syarat untuk
pinjaman dan obligasi daerah.
f)         Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintahan pusat yang bersifat
alokasi subsidi berbentuk block gran, peraturan pembagian sumber-sumber
pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk
menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya
pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya
pembangunan yang ada.

Kewenangan pemerintah kabupaten dan kota sebagai daerah otonomi :


1. Pertahanan,
2. Pertanian,
3. Pendidikan dan kebudayaan,
4. Tenaga kerja,
5. Kesehatan,
6. Lingkungan hidup,
7. Pekerjaan umum,
8. Perhubungan,
9. Perdagangan dan industri,
10. Penanaman modal, dan
11. Koperasi.

Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonomi


kabupaten dan daerah otonomi kota dilandasi oleh sejumlah pemikiran :
1. Makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga
masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan
terjangkau pelayanan publik tersebut.

Otonomi Daerah
2. Penyerahan 11 jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten
dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi
aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang berkualitas
didaerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas dan melakukan
inovasi.
3. Karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata.
4. Pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang
tidak saja hanya dipikulkan kepada pemerintah pusat semata.

5. Otonomi Daerah dan Demokratisasi

Eksistensi kebijakan otonomi daerah kiranya sangat penting dipahami


sebagai bagian dari agenda demokratisasi kehidupan bangsa. Dengan kata
lain, keberadaan kebijakan otonomi daerah tidak boleh dipandang sebagai a
final destination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan
demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Keterkaitan otonomi daerah
dengan demokratisasi pernah diungkapkan oleh Muhammad Hatta,
proklamator RI dalam suatu kesempatan. Memberikan otonomi daerah
tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, bertindak sendiri,
melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri.
Dengan berkembangnya auto-aktiviet tercapailah apa yang dimaksud
dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat
untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan
juga dan terutama memperbaikai nasibnya sendiri.
Konsekuensi otonomi daerah dengan demokratisasi :
1)   Otonomi daerah harus dipandang keutuhan sebagai instrumen
desentralisasi dalam rangka mempertahankan keutuhan serta
keberagaman bangsa.
2) Otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi pemerintahan daerah
(pemda), juga bukan otonomi bagi “daerah”.

Beberapa contoh kasus dalam otonomi daerah :


1) Kekecewaan masyarakat Papua terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah yang
tidak sesuai harapan.

Beberapa kasus muncul di Papua sebagai akibat kesalahan dalam


pelaksanaan Otonomi Daerah, antara lain kasus Freeport dan Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Kasus Freeport adalah kasus mengenai suatu perusahaan
tambang yang sudah sekian lama mengeruk kekayaan alam Papua, namun tidak
berimbas baik bagi penduduk pribumi Papau, justru kehadiran PT. Freeport

Otonomi Daerah
merugikan penduduk pribumi. Sedangkan kasus Organisasi Papua Merdeka (OPM)
adalah kasus yang menginginkan penduduk pribumi Papua untuk lepas dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara sendiri.

Pada kasus freeport, pemerintah memberikan ijin kepada PT Freeport


untuk melakukan kegiatan pertambangan di daerah Papua. Pemberian ijin dalam
melakukan kegiatan pertambangan ini merupakan suatu bentuk kewenangan
pemerintah daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, guna membangun
daerahnya. Dalam pemberian ijin ini pemerintah pusat pun terlibat. Adanya suatu
industri di suatu daerah harusnya memberikan kemajuan bagi masyarakat
sekitar, entah itu industri yang dijalankan bangsa Indonesia itu sendiri maupun
bangsa luar.

Sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan atau kekecewaan mendapatkan


perilaku yang tidak adil, beberapa penduduk Papua menghendaki adanya negara
baru, Organisasi Papua Merdeka (OPM). Beberapa aksi gencar diluncurkan demi
mewujudkan keinginan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Aksi yang sering mereka lakukan dalam menyampaikan aspirasinya
adalah melalui mengibarkan bendera bintang kejora di berbagai wilayah Papua.
Namun pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menanggapi permasalahan ini.
Aparat keamanan dikerahkan untuk menjaga kesatuan negara Indonesia ini dan
menindak tegas segala oknum yang ikut campur dalam Organisasi Papua Merdeka
(OPM).

Sebab terjadinya berbagai konflik di Papua menurut Wakil Ketua Komisi I


DPR TB Hasanuddin ada 4 faktor, yakni Pertama, masih adanya perbedaan
persepsi masalah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Menurut dia, pemerintah menganggap masalah Papua telah final sejak
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Kedua, adanya marjinalisasi terhadap
penduduk asli Papua.Ketiga, masih adanya pelanggaran HAM yang terus terjadi
kendati memasuki era reformasi. Keempat, masalah otonomi khusus (Otsus) yang
dianggap masyarakat Papua tak jalan.

2) Korupsi para Pejabat daerah

Otonomi daerah dibuat dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola


secara mandiri segala sumberdaya, keuangan, maupun sumber-sumber lain
sebagai pendapatan bagi daerah. Antusias yang tinggi “untuk meningkatkan
kemajuan daerah” terlihat dari banyaknya daerah-daerah yang meminta
dimekarkan sehingga terjadi pemekaran daerah besar-besaran di seluruh wilayah
Indonesia. Yang menarik dari “proses mekarnya suatu daerah” ini adalah
menjamurnya praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum yang bernama
pemimpin/petinggi di daerah. Banyak contoh kasus yang dapat memperlihatkan
hal ini. Beberapa contoh kasus korupsi yang dilakukan pemimpin daerah dari
Provinsi Sumatra Barat yang saya ambil dari beberapa sumber.

Pertama, Yumler Lahar. Yang menjabat Walikota Solok. Kasus yang


menjeratnya adalah “pembatalan kerjasama antara Pemerintah Kota Solok,

Otonomi Daerah
Sumatra Barat dan Investor Hariadi, yang menyebabkan kerugian negara”. Dalam
hal ini negara dirugikan sebesar 1,3 miliar (Kompas, 11 Agustus 2004)

Kedua, kasus korupsi yang menimpa Wakil Bupati Agam. Umar diduga
terlibat dalam kasus korupsi proyek swakelola perbaikan jalan lingkungan Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Agam tahun 2008 dengan kerugian negara RP 2.9
miliar (Kompas, selasa, 9 November 2010)

Ketiga, kasus pengalihan tanah negara di Kabupaten Solok yang dilakukan


oleh Wakil Walikota Pariaman Helmi Darlis. Dalam kasus ini Kejati Sumbar telah
menetapkan tujuh tersangka termasuk mantan Bupati Solok, Gusmal. Dalam
kasus ini negara dirugikan sekitar Rp 288 juta (Padangekspress, Sabtu, 9 Juli
2011).

Keempat, Masriadi Martunus dan Edityawarman (Mantan Bupati dan


Asisten III, Pemkab Tanah Datar, Sumbar) ditetapkan sebagai tersangka dalam
kasus dugaan bagi-bagi bunga deposito APBD Tanah Datar tahun 2001-2004
senilai Rp 1,7 miliar (Suara Karya, 16 Januari 2007)

Kelima, kasus korupsi yang menimpa Wakil Walikota Bukittinggi pada


tahun 2009 (Kompas, 14 Maret 2009)

Keenam, kasus korupsi yang menimpa ketua DPRD Kota Payakumbuh


Chin Star. Chin Star mengakui telah menyalahgunakan keuangan APBD di luar
ketentuan Peraturan Pemerintah No 110 Tahun 2000, sekitar Rp 167 juta. Masih
banyak contoh kasus lain yang dapat membuktikan betapa maraknya praktik
korupsi yang dilakukan oknum yang berada di daerah.

TANGGAPAN TERHADAP KASUS-KASUS TERSEBUT :

Berbagai contoh kasus diatas memperlihatkan kepada kita bahwa korupsi


benar-benar berada pada kawasan elit pemerintah. Jika fenomena tersebut dapat
dibongkar secara lebih besar, tentu kita akan melihat kenyataan yang sangat
mecengangkan. Hal ini diperkuat data Indonesia Coruption Watch, bahwa hingga
akhir 2010 ada 148 mantan kepala daerah dan mantan wakil kepala daerah, serta
kepala daerah yang masih aktif terjerat kasus korupsi. Namun kasus yang
diizinkan disidik hanya 84 kasus, di luar 27 kasus yang ditangani Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Sedangkan sisanya belum diizinkan
presiden.Sepertinya otonomi daerah dan tuntutan pemekaran daerah, hanya
dijadikan kedok untuk mencari kekuasaan dan kekayaan.Tampak disini,
perluasan kekuasaan dan kewenangan yang besar bukan dianggap amanah
sesuai dengan cita-cita awal tetapi sebagai ajang untuk mencari kekayaan
berlebih.

Yang sebaiknya dilakukan agar otonomi daerah dapat berhasil


mencapai tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan adalah:

1.Memperkuat fungsi kontrol terhadap pemda yang dilakukan oleh


masyarakat dan lembaga legislatif daerah.
2.Pemberdayaan politik warga masyarakat.

Otonomi Daerah
3.Pemahaman terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik
meliputi :
1.Asas persamaan
2.Asas Kepercayaan
3.Asas Kepastian Hukum
4.Asas Kecermatan
5.Asas Pemberian Alasan
6.Asas Larangan bertindak kesewenang-wenangan

Terkait berbagai problematika otonomi daerah tersebut, menjadi


sangat urgen bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas dan
strategis. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah:
Pertama, segera merevisi UU 32/ 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, terutama masalah pembagian wewenang pemerintah pusat dan
daerah dan terkait pasal 126 yang memuat status kepala daerah yang
terjerat kasus korupsi. Selama ini, dasar hukum tersebut memberi
ketentuan bahwa sejauh belum menjadi terdakwa dan tuntutannya kurang
dari lima tahun penjara, mereka bisa bebas dan tetap menempati
jabatannya.Status sebagai pejabat negara juga kerap menyulitkan aparat
penegak hukum ketika akan menahan dan memeriksa mereka. Undang-
undang mengharuskan pemeriksaan terhadap kepala daerah atas izin
presiden. Sedangkan izin tersebut juga harus melalui birokrasi yang
panjang dan rumit. Dengan merevisi undang-undang tersebut, diharapkan
gubernur, bupati/walikota yang tersangkut kasus korupsi akan dinon-
aktifkan begitu menjadi tersangka. Jabatan dan hak mereka akan diberikan
kembali jika penyidikan kasusnya dihentikan.Kedua, pemerintah juga dapat
mengefektifkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya
memerangi korupsi di daerah yang semakin menggurita. Argumentasi ini
didasarkan pada kapasitas legal yang dimiliki KPK untuk untuk masuk ke
semua lembaga negara dan melakukan evaluasi untuk pencegahan korupsi.
Sebelum itu ditempuh, tentu langkah yang harus diambil adalah penguatan
posisi KPK di daerah, yakni dengan pembentukan KPK di
daerah.Ketiga,penting untuk menerapkan asas pembuktian terbalik. Asas
pembuktian terbalik merupakan aturan hukum yang mengharuskan
seseorang untuk membuktikan kekayaan yang dimilikinya, sebelum
menjabat dibandingkan setelah menjabat. Serta darimana sumber
kekayaan itu berasal. Jika kekayaan melonjak drastis dan bersumber dari
kas Negara atau sumber lain yang ilegal, tentu merupakan tindak pidana
korupsi. Korupsi memang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary
crime), maka harus ditangani secara luar biasa pula dan tentu dengan
melibatkan semua pihak. Karena, langkah-langkah strategis tersebut tidak
akan berarti tanpa kerja sama dari semua pihak, terutama aparat penegak
hukum untuk menjunjung hukum seadil-adilnya. Ini diperlukan agar

Otonomi Daerah
otonomi daerah benar-benar bernilai serta menjadi berkah bagi rakyat di
daerah.

BAB III
PENUTUP

Otonomi Daerah
A. Kesimpulan
  Otonomi daerah merupakan kemandirian suatu daerah dalam kagitan
pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya
sendiri.
  Desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Arti penting otonomi daerah :
  Untuk terciptanya efisien – efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
  Sebagai sarana pendidikan politik
  Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
  Stabilitas politik
  Kesetaraan politik
  Akuntabilitas publik.
Model desentralisasi :
         Dekonsentrasi
         Delegasi
         Devolusi
         Privatisasi

Daftar Pustaka

Otonomi Daerah
, 1990, presfektif Otonomi Daerah (Jakarta, Rinekacipta) Sulvian,
John, 1992, Local Government and Commnunity in Java: An Urban Case
Study (Oxford, Oxford University Press)
, Riwukaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Negara
Republik Indonesia (Jakarta, Rineka Cipta)
, Davey, Kent J, 1989, Pembiayayaan Pemerintah Daerah
(Jakarta, UI Press)
, Devsas, Nick, 1989, Keuangan Daerah di Indonesia (Jakarta,
UI Press)
, http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah

BAB I

Otonomi Daerah
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang


Secara umum, Good Governance adalah pemerintahan yang baik.
Good Governance diIndonesia sendiri mulai benar – benar dirintis
dan diterapkan sejak meletusnya era Reformasi yang dimana pada era
tersebut telah terjadi perombakan sistem pemerintahan yang menuntut
proses demokrasi yang bersih sehingga Good Governance merupakan salah
satu alat Reformasi yang mutlak diterapkan dalam pemerintahan baru.
Akan tetapi, jika dilihat dari perkembangan Reformasi yang sudah berjalan
selama 15 tahun ini, penerapan Good Governance di Indonesia belum dapat
dikatakan berhasil sepenuhnya sesuai dengan cita – cita Reformasi
sebelumnya. Masih banyak ditemukan kecurangan dan kebocoran dalam
pengelolaan anggaran dan akuntansi yang merupakan dua produk utama
Good Governance.
Akan tetapi, Hal tersebut tidak berarti gagal untuk diterapkan,
banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam menciptakan iklim Good
Governance yang baik, diantaranya ialah mulai diupayakannya
transparansi informasi terhadap publik mengenai APBN sehingga
memudahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menciptakan
kebijakan dan dalam proses pengawasan pengelolaan APBN dan BUMN.
Oleh karena itu, hal tersebut dapat terus menjadi acuan terhadap
akuntabilitas manajerial dari sektor publik tersebut agar kelak lebih baik
dan kredibel kedepannya. Undang-undang, peraturan dan lembaga –
lembaga penunjang pelaksanaan Good governance pun banyak yang
dibentuk. Hal ini sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan sektor publik
pada era Orde Lama yang banyak dipolitisir pengelolaannya dan juga pada
era Orde Baru dimana sektor publik di tempatkan sebagai agent of
development bukannya sebagai entitas bisnis sehingga masih kental dengan
rezim yang sangat menghambat terlahirnya pemerintahan berbasis Good
Governance.
Diterapkannya Good Governance diIndonesia tidak hanya membawa
dampak positif dalam sistem pemerintahan saja akan tetapi hal tersebut
mampu membawa dampak positif terhadap badan usaha non-pemerintah
yaitu dengan lahirnya Good Corporate Governance. Dengan landasan yang
kuat diharapkan akan membawa bangsa Indonesia kedalam suatu
pemerintahan yang bersih dan amanah.

B.     Rumusan Masalah

Otonomi Daerah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.         Bagaimana prinsip dan konsepsi good governance?
2.         Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor pemerintah?
3.         Apa saja prinsip-prinsip good governance pada sektor swasta?
4.         Bagaimana hubungan antara good governance dengan otonomi daerah?

C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana cara mewujudkan konsep good governance
di indonesia.
2.      Untuk mengetahui apa saja prinsip-prinsip good governance.
3.      Untuk menjelaskan kaitan dari prinsip-prinsip good governance dalam
pelayanan publik.

Otonomi Daerah
  BAB II
PEMBAHASAN

1.  Prinsip Good Governance di Indonesia


Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh
tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur
dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum
yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas
pelayanan kepada masyarakat yang memburuk. Masalah-masalah tersebut
juga telah menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga
jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk miskin
bertambah, tingkat kesehatan menurun, dan bahkan telah menyebabkan
munculnya konflik-konflik di berbagai daerah yang dapat mengancam
persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Bahkan kondisi saat
inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang
bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik, yang bisa
menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi.
Konsep Good Governance sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh
semua pihak yaitu Pemerintah, Swasta dan Masyarakat, namun demikian
masih banyak yang rancu memahami konsep Governance. Secara
sederhana, banyak pihak menerjemahkan governance sebagai Tata
Pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian
struktur dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena
pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang
membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain adalah
private sektor (sektor swasta) dan civil society (masyarakat madani).
Karenanya memahami governance adalah memahami bagaimana integrasi
peran antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam
suatu aturan main yang disepakati bersama. Lembaga pemerintah harus
mampu menciptakan lingkungan ekonomi, politik, sosial budaya, hukum
dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta berperan aktif dalam
menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas lapangan
kerja dan meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus mampu
berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam aktifitas perekonomian,
sosial dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap
jalannya aktifitas-aktifitas tersebut.

Otonomi Daerah
2.  Prinsip- Prinsip Good Governance Dalam Sektor Pemerintah
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sedang
berjuang dan mendambakan terciptanya good governance. Namun, keadaan
saat ini menunjukkan bahwa hal tersebut masih sangat jauh dari harapan.
Kepentingan politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja di luar
kewenangan, dan kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa
masalah yang membuat pemerintahan yang baik masih belum bisa
tercapai. Untuk mencapai good governance dalam tata pemerintahan di
Indonesia, maka prinsip-prinsip good governance hendaknya ditegakkan
dalam berbagai institusi penting pemerintahan. Dengan melaksanakan
prinsip-prinsip good governance maka tiga pilarnya  yaitu pemerintah,
korporasi, dan masyarakat sipil hendaknya saling menjaga, saling support
dan berpatisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sedang
dilakukan
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan
didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya
pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur
prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini,
prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di
bawah ini:
1.      Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga
perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
2.      Tegaknya Supremasi Hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu,
termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi
manusia.
3.      Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh
proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses
oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus
memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
4.      Peduli pada Stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha
melayani semua pihak yang berkepentingan.
5.      Berorientasi pada Konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan
yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal

Otonomi Daerah
apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin,
konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6.      Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraan mereka.
7.      Efektifitas dan Efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan
hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8.      Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan
organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada
masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9.      Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan
jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan
manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk
mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus
memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial
yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
3.1  Kaitan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik
Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan
mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good
governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik.
Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis
untuk memulai menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting
oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-
unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki
kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan
penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik
dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan
kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah
, warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari
ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga,
nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance
diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik
Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat
dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele,
ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi

Otonomi Daerah
sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi
ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi
sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan
pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan.
Upaya untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan
pelayanan publik barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun
keterkaitan antara konsep good-governance (tata-pemerintahan yang baik)
dengan konsep public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas
logikanya publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang
membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya
dengan tingkat kesejahteraan rakyat.

3.2    Penerapan Prinsip Good Governance pada Sektor Publik


Di dalam berbagai analisis dikemukakan, ada keterkaitan antara
krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis yang berkepanjangan di berbagai
negara dengan lemahya corporate governance.
Corporate governance adalah seperangkat tata hubungan diantara
manajemen, direksi, dewan komisaris, pemegang saham dan para
pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya yang mengatur dan
mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004).
Good Corporate Governance (GCG) diperlukan untuk menjaga
kelangsungan hidup perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada
asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta
kewajaran dan kesetaraan. Di tahun 2007 Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan PT Multi Utama Indojasa melaksanakan kegiatan studi
Implementasi Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN
dan BUMD. Studi ini ditujukan untuk memperoleh gambaran awal
(baseline) yang komprehensif tentang pelaksanaan prinsip-prinsip GCG di
Sektor swasta, BUMN dan BUMD di Indonesia yang dari waktu ke waktu
bisa digunakan sebagai data pembanding dengan kondisi di masa depan.
Studi dilakukan dengan 3 (tiga) metode, yaitu (1) penyebaran
kuesioner kepada responden, (2) wawancara mendalam dengan pimpinan
perusahaan yang menangani implementasi GCG, dan (3) penelusuran
dokumen perusahaan. Perusahaan yang terlibat dalam studi ini adalah 66
perusahaan, yang terdiri dari 37 perusahaan swasta yang sudah go public,
17 perusahaan BUMN (12 diantaranya sudah go public), dan 12
perusahaan BUMD. Dari setiap perusahaan, diambil sekitar 27 responden,
mulai dari Preskom hingga karyawan non-manajerial, serta pihak-pihak
eksternal dari perusahaan seperti pelanggan, pemasok, perusahaan
asuransi, auditor eksternal, investor institusi, lembaga pembiayaan dan
perusahaan afiliasi.

Otonomi Daerah
Analisis implementasi GCG dilakukan dengan mengukur
implementasi berdasarkan prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness. Dari hasil studi
diketahui bahwa secara umum implementasi GCG pada perusahaan-
perusahaan yang menjadi responden sudah sangat baik. Hal ini dapat
dilihat dari Indeks GCG yang didapat, baik berdasarkan prinsip-prinsip
GCG yang mencapai angka 88,89 maupun berdasarkan kerangka kerja
implementasi GCG (compliance, conformance dan performance) yang
mencapai 90,41.
Hal ini berarti secara rata-rata, hampir 90% dari prinsip-prinsip GCG
sudah dilaksanakan oleh perusahaan responden. Dari prinsip-prinsip GCG,
ada satu prinsip yang relatif lemah yaitu responsibilitas.
Indeks pencegahan korupsi adalah 89,39, yang berarti sudah cukup
baik. Namun beberapa hal yang perlu didorong adalah pengawasan
terhadap pelaksanaan dari tindakan yang berpotensi terhadap terjadinya
benturan kepentingan. Selain itu, masih belum adanya kerjasama antara
perusahaan dengan lembaga penegak hukum dalam mengembangkan
sistem pencegahan korupsi.Untuk analisis, perusahaan responden dibagi
dalam 4 (empat) kelompok, yaitu BUMN/BUMD Lembaga Keuangan,
BUMN/BUMD Non Lembaga Keuangan, Swasta Lembaga Keuangan, dan
Swasta Non Lembaga Keuangan.
Secara umum implementasi di perusahaan yang bergerak di sektor
keuangan, baik perusahaan swasta BUMN/BUMD lebih baik dibanding
perusahaan non lembaga keuangan. Selain itu, implementasi di perusahaan
yang swasta lebih baik dibanding BUMN/BUMD. Demikian pula,
perusahaan yang sudah terbuka (go public) lebih baik dibanding
perusahaan yang belum go public. Berdasarkan kerangka kerja GCG, aspek
compliance cukup lemah pada kelompok perusahaan non lembaga
keuangan. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya perusahaan yang belum
melengkapi komite-komite fungsionalnya. Selain itu, masih kurangnya
tindakan komisaris terhadap (potensi) benturan kepentingan yang
menyangkut dirinya. Sebaliknya, aspek-aspek tersebut sangat diperhatikan
oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, sehingga
lembaga keuangan lebih patuh dibanding perusahaan non lembaga
keuangan. Sebagai rekomendasi, untuk meningkatkan kualitas
implementasi GCG, perusahaan-perusahaan perlu didorong untuk lebih
patuh dalam membentuk berbagai komite fungsional yang diperlukan
dalam penerapan GCG. Lembaga-lembaga yang berfungsi mengawasi dan
membina seperti Bank Indonesia, Menneg BUMN dan Bapepam LK agar
lebih proaktif dalam mengawasi implementasi GCG terutama berkaitan
dengan potensi terjadinya benturan kepentingan.
Selain itu, perlu diterbitkan peraturan yang dapat memaksa
perusahaan sawsta yang belum terbuka dan BUMD untuk menerapkan

Otonomi Daerah
GCG. Dalam rangka meningkatkan kerjasama perusahaan dengan lembaga
penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi, diperlukan rumusan
bentuk dan metode kerjasama yang dapat dilakukan dan mendorong
perusahaan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga penegak hukum.
4.     Good Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang
merefleksikan keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata
pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal
ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan
penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun
2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara
pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya
terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung
tergantung dari bersinergi satu sarna lainnya, yaitu :
1. Urusan Pemerintahan;
2. Kelembagaan;
3 Personil;
4. Keuangan;
5. Perwakilan;
6. Pelayanan Publik dari
7. Pengawasan.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat
berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk
menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang
bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk
menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai
peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan
menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU
no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga
menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk
mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari
pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no
25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam Tata urutan
peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun 2004),
Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam
penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang
menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban
Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan

Otonomi Daerah
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh
masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan,
kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya
indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan
pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran
mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas
masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang
berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No.
74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan
penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang.
Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat
dalam menjalankan pengawasan.

CONTOH KASUS 1 GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA


Ketika presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei
1998, harapan bangsa ini untuk
membangun masa depan yang lebih baik, lebih adil, lebih makmur, dan
lebih sejahtera langsung
membumbung tinggi. Sayangnya , sampai sekarang reformasi yang terjadi
tidak membawa banyak
perbaikan bagi kehidupan rakyat. Pemerintahan yang silih berganti itu
hanya melaksanakan agenda
pembangunan yang bersifat reaktif terhadap kondisi yang dihadapi. Dari
hari ke hari tidak pernah sepi berita soal sekolah ambruk, gonta – ganti
buku pelajaran,
pungutan di sekolah, kekurangan guru, keberadaan guru yang tak layak
mengajar, atau anak –
anak miskin yang tidak bersekolah.
Pendidikan runyam karena terjadi kepentingan – kepentingan politik yang
mengangkangi
pendidikan sejak Orde Baru sampai sekarang , persoalan itu makin runyam
ketika liberasisasi
pendidikan dikibarkan sehingga akses pendidikan bermutu untuk
masyarakat kebanyakan makin
tertutup. Dengan alasan kekurangn dana, pemerintah mengibarkan
privaittisasi dan liberalisasi
pendidikan.
Privatisasi itu bukan hanya dengan membuka pintu seluas-luasnya bagi
swasta di dalam dan luar

Otonomi Daerah
negeri untuk menawarkan jasa pendidikan, tetapi juga memaksa institusi –
institusi pendidikan
negeri mencari dan menghimpun dana dari mahasiswa dan murid. Dengan
berbagai dalih,
universitas – universitas negeri yang selama ini diunggulkan membuka
jalur-jalur khusus,
menyejajarkan kompetisi kecerdasan dengan kompetisi kantong.
Kelangkaan penduduk yang
berpendidikan tinggi jelas tidak sesuai dengan dengan kebijakan privatisasi
yang dilakukan di
perguruan tinggi yang berakibat meningkatnya beban masyarakat untuk
membiayai pendidikan
tinggi. Alokasi dana pemerintah untuk pendidikan tinggi per mahasiswa
dibandingkan produk
domestik bruto (PDB) per kapita tahun 2002 sangat rendah, yakni hanya
12,3%.
Tidak jauh dengan pendidikan, kesehatan pun masih banyak masalah.
Angka kematian Ibu (AKI)
melahirkan, mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2003
menurut Badan Pusat
Statistik dan ORC Macro. Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada angka
negara –negara Asia
lainnya. Padahal AKI 307 itu pun sebenarnya dapat lebih tinggi lagi karena
belum memasukkan data
dari Papua, Maluku, Maluku Utara dan Aceh.
Masalah tingginya angka kematian ibu sebenarnya baru sebagian kecil dari
masalah kesehatan
reproduksi secara menyeluruh yang merupakan satu siklus hidup dari
sejak lahir hingga lanjut usia.
Tingginya angka kematian ibu sangat tergantung kepada kesehatan ibu
sebelumnya. Padahal
dalam diskusi terungkap, kebijakan yang maskulin dan tidak sensitif jender
menyebabkan layanan
kesehatan tidak terpenuhi.
Selain angka kematian ibu, angka kematian bayi juga masih cukup tinggi
yaitu ..... . angka yang
tinggi ini disebabkan oleh gizi yang buruk, kurangnya pengetahuan dan
kesadaran akan kesehatan,
dan lainnya.

Otonomi Daerah
TANGGAPAN TENTANG KASUS GOOD GOVERNANCE
TERSEBUT
Setelah delapan tahun reformasi , harapan untuk membangun masa depan
yang lebih baik, lebih
adil, lebih makmur , dan lebih sejahtera masih tetap tinggal harapan.
Pengalaman di negara lain
menunjukkan bahwa gelombang reformasi itu seperti bola salju : jika
dibiarkan menggelinding
tanpa terkendali, bola salju yang semakin lama semakin besar itu akan
menggelinding semakin
cepat , melindas dan menghancurkan apa saja yang berada di depannya.
Dalam situasi seperti ini, tidak mengehrankan apabila krisis kepemimpinan
diajdikan biang keladi
atas semua masalah transisional. Ini. Yang dihadapi pemimpin di masa
seperti ini adalah berbagai
paradoks. Rakyat menginginkan pemimpin yang kuat yang mampu
menyelesaikan masalah, tetapi
rakyat juga takut dia menyalahgunakan kekuasaan. Rakyat ingin presiden
yang menyatu dengan
rakyat, tetapi juga bisa mengambil tindakan-tindakan visioner. Rakyat ingin
presiden yang
mengatasi semua golongan, tetapi kantor presiden dipenuhi masalah dan
pikiran yang sarat
kepentingan. Rakyat menginginkan pemimpin yang mempersatukan, tetapi
tiap keputusan harus
selalu bisa memenangkan satu pihak dan mengalahkan pihak lain. Rakyat
ingin presiden yang
punya program jelas dan sistematis, tetapi juga tanggap pada suara-suara
rakyat yang sama sekali
tak peduli pada program yang jelas dan sistematik itu.
Titik berat bukan pada kebijakan pemerintah dan inisiatif
pemimpin nasional,
tetapi juga sinergi dengan masyarakat madani, dan pasar. Namun, tentu
saja, pemimpinlah
yang harus mengambil prakarsa untuk menawarkan konsep dan visinya ke
depan. Dan yang
mungkin perlu didorong, agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih
proaktif, tegas, dan berani
melakukan terobosan. penting , karena visilah yang akan menjadi petunjuk
arah yang dibutukan bagi setiap pihak yang
berada di dalamnya untukm menjalankan kegiatan. Banyak pihak tidak
berani menetapkan masa

Otonomi Daerah
depan yang hendak dituju karena takut akan adanya kesenjangan antara
apa yang diinginkan di
masa yang akan datang dan relaitas yang terjadi. Sepanjang dilakukan
dengan pikiran terbuka
(open mind) dan hati terbuka (open heart), maka visi ke depan bisa
ditetapkan. Apalagi jika diiikuti
dengan kemauan terbuka , maka visi itu akan bisa diaplikasikan
Peningkatan sumberdaya manusia menjadi kunci utama, karena mereka
yang mampu memprediksi
apa yang terjadi di depan, dan merealisasikan apa yang menjadi kebutuhan
ke depan akan
memetik manfaat paling maksimal.
Perlu membangun etos kerja baru, Kepemimpinan yang kuta dan
berwibawa. Sebuah reformasi di bidang kebudayaan baru bisa bergulir
apabila nilai – nilai di
dalam masyarakat bisa dikukuhkan menjadi sebuah etos. Kebudayaan
menyangkut pengetahuan
dan nilai – nilai, sedangkan pengetahuai akan berarti apabila menjadi
pegangan dalam perilaku
sehari – hari. Siapa pun di negara ini memeilki pengetahuan bahwa korupsi
itu dilarang, namun
mengapa sampai kini Indonesia tetap menjadi salah satu negara terkorup di
dunia?
Ketimpangan antara kata dan perilaku lama kelamaan memupuk rasa tidak
percaya dalam
masyarakat. Semakin tinggi ketidakpercayaan, semakin dalam hilangnya
kepercayaan rakyat
terhadap pemimpinnya. Rasa percaya adalah modal suatu bangsa untuk
bekerjasama.

SIAPA PEMIMPIN – PEMIMPIN MASA DEPAN? MEREKALAH, DI


ANTARANYA MANUSIA-MANUSIA
UNGGUL INDONESIA , YANG TIDAK HANYA UNGGUL OTAK DAN
TERAMPIL, TETAPI JUGA UNGGUL
DALAM KOMITMEN, TABIAT PERILAKU DAN PUNYA HATI TERHADAP
RAKYAT.

Pengertian Good Corporate Governance dan Contoh Kasus


Penyimpangannya
Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (input,
Proses, output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara berbagai pihak yang kepentingan (stakeholders) terutama dalam arti

Otonomi Daerah
sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan
direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Good Corporate Gorvernance
dimasukkan untuk mengatur hubungan-hubungan ini dan mencegah
terjadinya kesalaha-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan dan
untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat di
perebaiki dengan segera. Penertian ini dikutip dari buku Good Corporate
Governance pada badan usaha manufaktur, perbankan dan jasa keuangan
lainnya (2008:36)

Contoh kasus dalam penyimpangan GCG :

JAKARTA—Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai terjadi


pelanggaran Good Corporate Governance (GCG) oleh Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia (BRTI) kala mengeluarkan (SE) No.
177/BRTI/2011 ke 10 operator telekomunikasi pada medio Oktober 2011.

SE tersebut berisikan himbauan menghentikan penawaran konten melalui


SMS broadcast, pop screen, atau voice broadcast sampai dengan batas
waktu yang akan ditentukan kemudian.

Analisis :

Layanan SMS premium ini tentunya sudsh tidak asing lagi bagi kita, dan
sudah tidak asing pula bahwa jasa ini memberikan dampak yang sangat
merugikan bagi pengguna telepon seluler. Kerugian yang didapat tersebut
adalah banyak sekali pelanggan yang pulsanya sering habis oleh ulah para
penyelenggara jasa SMS premium tersebut, walaupun pelanggan sudah
menghentikan layanan tersebut tetapi pulsa selalu saja di sedot oleh pihak
penyelenggara jasa tersebut. Hal ini tentu saja merugikan pelanggan yang
membuat keperluannya terhambat karena pulsa yang tiba-tiba habis di
ambil oleh penyelenggara jasa tersebut.

Namun dalam mengatasi hal tersebut BRTI yang seharusnya menyelesaikan


masalah ini kepada pihak penyelenggara jasa tersebut bukan kepada
operator. BRTI juga seharusnya lebih ketat dalam pengawasan layanan

Otonomi Daerah
tersebut agar tidak terjadi lagi peristiwa sedot pulsa. Dalam kasus diatas
juga sudah di jelaskan tentang pasal-pasal yang tidak dilaksanakan sesuai
kenyataan. Hal inilah yang membuat BRTI diduga menyimpang dari Good
Corporate Governance (GCG)

Otonomi Daerah
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau
rancanggan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap
yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa memandang siapa
serta mengapa hal tersebut harus di lakukan.
2.      Good Governance merupakan pengertian dalam hal yang luas sehingga
untuk memberikan arti serta defenisi tidak semudah mengartikan kata
perkata melainkan perlunya aspek –aspek serta pemikiran yang luas
menyangkut bidang tersebut.
3.      Perlunya pengertian menggenai aspek-aspek dalam Good Governance
sehingga tidak ada kesalahan dalam aplikasinya.
4.      Penerapan Good Governance dalam sistem kepemerintahan saat ini
sangat di perlukan karena peranan perintah dalam memajukan suatu
negara sangatlah besar.
B.     Saran
Atas kesimpulan di atas, beberapa saran untuk membenahi
kelemahan-kelemahan dalam penegakkan prinsip good governance di
Indonesia yaitu:
1.      Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan atau dikomunikasikan
dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan pihak terkait. Karena sebaik
apapun desain sebuah pengawasan tidak akan terlaksana dengan efektif,
efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki
integritas dan nilai etika yang rendah.
2.      Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus ditingkatkan
meskipun penulis mengusulkan sektor publik, namun itu bukan berarti
mengabaikan sektor pengawasan intern.
 

Otonomi Daerah
DAFTAR PUSTAKA

http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/99011-12-
466363723031.doc

http://www.alisjahbana08.wordpress.com/page/22/

http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=7

http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067

http://www.scribd.com/doc/52568330/Good-Governance

http://www.scribd.com/document_downloads/direct/52568330?
extension=docx&ft=1322794393&lt=1322798003&uahk=I7OI11/oFO1Qz58
2ultXVVmvKbU

Otonomi Daerah

Anda mungkin juga menyukai