Anda di halaman 1dari 68

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Studi Terdahulu


Menurut Ulya dan Marsono (2014), Kabupaten Ngawi mempunyai rencana
untuk meningkatkan kondisi sanitasi di daerahnya. Salah satu caranya dengan
membangun IPAL komunal di tiga titik. Hal tersebut dikarenakan selama ini
masih belum mempunyai IPAL komunal untuk limbah domestiknya. Tiga titik
yang dimaksud adalah perumahan Karangtengah Prandon, perumahan Karangsari,
dan kelurahan Karangtengah. Lokasi itu dipilih karena termasuk kawasan yang
ODF (Open Defecation Free). Sistem penyaluran air limbah untuk 3 lokasi
perumahan ini menggunakan sistem shallow sewer, yaitu air limbah domestik dari
alat saniter (jamban, wastafel, floor drain, kitchen sink dll) langsung dihubungkan
menggunakan pipa air limbah dan sistem penyaluran air limbah pada perencanaan
ini menggunakan sistem gravitasi. Dimensi pipa yang digunakan adalah 100 mm
untuk air limbah dari pipa service dan 150 mm untuk saluran pipa induk menuju
ke IPAL. IPAL Komunal yang digunakan adalah ABR (Anaerobic Baffled
Reactor) dengan 6 kompartemen tiap ABR.

2.2 Pengertian Drainase


Drainase merupakan salah satu unsur dari prasarana umum yang dibutuhkan
masyarakat guna mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat. Berikut adalah
pengertian drainase dari berbagai sumber :
1. Menurut Suripin (2004:7), drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage
mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang atau mengalihkan air.
Dalam bidang Teknik Sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai
suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari
air hujan, rembesan maupun kelebihan air irigasi dari kawasan atau lahan
sehingga fungsi kawasan atau lahan tidak terganggu.

5
6

2. Menurut Hasmar (2012:1), drainase secara umum didefinisikan sebagai ilmu


pengetahuan yang mempelajari usaha untuk mengalirkan air yang berlebihan
dalam suatu konteks pemanfaatan tertentu.
3. Menurut Gunadarma (2007:1), drainase (drainage) yang berasal dari kata kerja
‘to drain” yang berarti mengeringkan atau mengalirkan air adalah terminologi
yang digunakan untuk menyatakan sistem-sistem yang berkaitan dengan
penanganan masalah kelebihan air, baik di atas maupun di bawah permukaan
tanah.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa drainase merupakan
bangunan yang berfungsi untuk mengalirkan limpasan air ke badan air sehingga
suatu kawasan bebas dari genangan air yang merugikan.

2.3 Fungsi Drainase


Saluran drainase mempunyai fungsi yang sangat penting karena mencakup
kebersihan, kesehatan dan keselamatan tiap orang/masyarakat. Di bawah ini
merupakan fungsi drainase antara lain (Suripin, 2004:7)
1. Mengeringkan genangan air sehingga tidak ada akumulasi air tanah.
2. Menurunkan permukaan air tanah pada tingkat yang ideal.
3. Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan bangunan yang ada.
4. Mengendalikan air hujan yang berlebihan sehingga tidak terjadi bencana banjir.

2.4 Jenis Drainase


Menurut Hasmar (2012:3), jenis drainase menjadi 4 jenis sebagai berikut :
1. Menurut Sejarah Terbentuknya
a. Drainase alamiah (Natural Drainage)
Terbentuk secara alami, tidak ada unsur campur tangan manusia, contoh :
sungai
b. Drainase Buatan (Artificial Drainage)
Dibentuk berdasarkan analisis ilmu drainase untuk menentukan debit akibat
hujan, kecepatan resapan air dalam lapisan tanah dan dimensi saluran,
7

contoh : selokan pasangan batu/beton, gorong-gorong, pipa-pipa, dan


sebagainya
2. Menurut Letak Saluran
a. Drainase Muka Tanah (Surface Drainage)
Saluran drainase yang berada di atas permukaan tanah, fungsinya
mengalirkan air limpasan permukaan. Analisis
alirannya merupakan analisis open channel flow.
b. Drainase Bawah Tanah (Sub Surface Drainage)
Saluran drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan permukaan
melalui media di bawah permukaan tanah (pipa-pipa), dikarenakan alasan-
alasan tertentu. Seperti, tuntutan artistik, tuntutan fungsi permukaan tanah
yang tidak memperbolehkan adanya saluran di permukaan tanah, contohnya
lapangan sepak bola, lapangan terbang, taman, dan lain-lain.
3. Menurut Fungsi Drainase
a. Single Purpose
Saluran berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan saja, misalnya air
hujan saja atau jenis air buangan lainnya seperti limbah domestik dan
limbah industri.
b. Multy Purpose
Saluran berfungsi mengalirkan beberapa jenis buangan, baik secara
bercampur maupun bergantian.
4. Menurut Konstruksi
a. Saluran Terbuka
Saluran untuk air hujan yang terletak di area yang cukup luas. Juga untuk
saluran air non hujan yang tidak mengganggu kesehatan lingkungan.
b. Saluran Tertutup
Saluran untuk air kotor yang mengganggu kesehatan lingkungan. Juga untuk
saluran dalam kota.
8

2.5 Pola Jaringan Drainase


Pola jaringan drainase terbagi menjadi 6 macam, yaitu sebagai berikut :
1. Siku
Dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi dari pada
sungai. Sungai sebagai saluran pembuangan akhir berada di tengah kota.

Gambar 2.1 Pola Jaringan Drainase Siku (Hasmar, 2012:4)

2. Paralel
Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran
cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek. Apabila terjadi
perkembangan kota, saluran-saluran dapat menyesuaikan diri.

Gambar 2.2 Pola Jaringan Drainase Paralel (Hasmar, 2012:4)


3. Grid Iron
Untuk daerah yang sungainya terletak di pinggir kota, sehingga saluran-
saluran cabang dikumpulkan dulu pada saluran pengumpul.

Saluran cabang

Saluran utama

Gambar 2.3 Pola Jaringan Drainase Grid Iron (Hasmar, 2012:4)


9

4. Alamiah
Dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi dari pada
sungai. Sungai sebagai saluran pembuangan akhir berada di tengah kota, hanya
beban sungai pada pola alamiah lebih besar.

Gambar 2.4 Pola Jaringan Drainase Alamiah (Hasmar, 2012:5)

5. Radial
Pola jaringan ini terdapat pada daerah berbukit, sehingga pola saluran
meluncur ke segala arah.

Saluran

Gambar 2.5 Pola Jaringan Drainase Radial (Hasmar, 2012:5)

6. Jaring-jaring
Mempunyai saluran-saluran pembuang yang mengikuti arah jalan raya dan
cocok untuk daerah dengan topografi datar.

Saluran cabang

Saluran utama

Gambar 2.6 Pola Jaringan Drainase Jaring-jaring (Hasmar, 2012:5)


10

2.6 Analisis Hidrologi


Hidrologi adalah suatu ilmu tentang kehadiran dan gerakan air di alam.
Meliputi berbagai bentuk air yang menyangkut perubahan-perubahannya anatara
keadaan cair, padat, dan gas dalam atmosfir, di atas dan di bawah permukaan
(Soemarto, 1987:15).
Analisis hidrologi digunakan untuk menentukan besarnya debit banjir
rencana pada suatu perencanaan bangunan air. Data untuk penentuan debit banjir
rencana pada perencanaan ini adalah data curah hujan, dimana curah hujan
merupakan salah satu dari beberapa data yang dapat digunakan untuk
memperkirakan besarnya debit banjir rencana baik secara rasional, empiris
maupun statistik.
Penetapan besarnya debit banjir rencana adalah permasalahan pertimbangan
hidro-ekonomis, karena itu besarnya debit rencana diambil tidak terlalu kecil
sehingga bangunan menjadi tidak aman karena konstruksi yang tidak kuat dan
juga debit banjir rencana tidak terlalu besar sehingga bangunan menjadi tidak
ekonomis.

2.6.1 Siklus Hidrologi


Siklus hidrologi dimulai dengan penguapan air dari laut. Uap yang
dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan
uap tersebut terkondensasi membentuk awan yang pada akhirnya dapat
menghasilkan presipitasi. Presipitasi jatuh ke bumi menyebar dengan arah yang
berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari presipitasi tersebut
sementara tertahan di dekat tempat ia jatuh, dan akhirnya dikembalikan lagi ke
atmosfir oleh penguapan (evaporasi) dan pemeluhan (transpirasi) oleh tanaman.
Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui permukaan dan bagian atas tanah
menuju sungai, sementara lainnya menembus masuk lebih jauh ke dalam tanah
menjadi bagian dari air tanah (groundwater). Di bawah pengaruh gaya gravitasi,
baik aliran air permukaan (surface streamflow) maupun air dalam tanah bergerak
ke tempat yang lebih rendah yang dapat mengalir ke laut (Suripin, 2004:20).
11

Laut

Gambar 2.7 Siklus Hidrologi (Suripin, 2004:20)

2.6.2 Bentuk-Bentuk Presipitasi


Menurut Soemarto (1987:22) bentuk-bentuk presipitasi dibagi menjadi 5
macam, yaitu :
1. Hujan, merupakan bentuk yang paling penting.
2. Embun, merupakan hasil kondensasi di permukaan tanah atau tumbuh-
tumbuhan dan kondensasi dalam tanah. Sejumlah air yang mengembun di
malam hari akan diuapkan di pagi harinya. Ini sangat berguna bagi tanaman,
tetapi tidak memegang peranan penting dalam daur hidrologi, karena
jumlahnya tidak besar dan penguapannya di pagi hari.
3. Kondensasi di atas lapisan es terjadi jika ada massa udara panas bergerak di
atas lapisan es tersebut. Sedangkan, kondensasi dalam tanah pada umumnya
terjadi beberapa sentimeter saja dibawah permukaan tanah.
4. Kabut, pada saat ada kabut partikel-partikel air diendapkan di atas permukaan
tanah dan tumbuh-tumbuhan. Kabut beku atau “rime” adalah merupakan
endapan beku dari kabut. Kabut sangat penting bagi hutan yang menurut
penelitian di Jerman dapat menaikkan hujan tahunan (30-40% di tengah hutan
dan 100% di tepinya).
5. Salju dan es.
12

2.6.3 Karakteristik Hujan


Menurut Hasmar (2012:10) karakteristik hujan terbagi menjadi 5 unsur,
yaitu :
1. Durasi Hujan (T)
Durasi hujan adalah lama hujan yang diperoleh dari hasil pencatatan alat ukur
hujan otomatis. Durasi hujan selalu dihubungkan dengan waktu konsentrasi
(tc), khususnya pada drainase perkotaan/terapan diperlukan durasi hujan yang
relatif pendek, mengingat akan toleransi terhadap lama genangan.
2. Intensitas Hujan (I)
Intensitas hujan adalah yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan
tiap satuan waktu. Nilai intensitas hujan tergantung lama curah hujan dan
frekuensi hujan dan waktu konsentrasi. Intensitas hujan dianalisis dari data
hujan secara empiris atau secara statistik.
3. Lengkung Hujan
Lengkung hujan adalah grafik hubungan antara intensitas hujan dengan durasi
hujan. Perencanaan saluran didasarkan atas lengkung hujan rencana.

Gambar 2.8 Grafik Lengkung Hujan (Hasmar, 2012:11)

4. Waktu Konsentrasi
Waktu Konsentrasi adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan air dari
titik yang paling jauh pada daerah hilir suatu aliran. Waktu konsentrasi
(tc=to+td) terdiri dari :
13

a. Inlet time (to), waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di muka
tanah menuju saluran drainase.
b. Conduct time (td), waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di
sepanjang saluran.

2.7 Pengolahan Data Hujan


Hal awal yang dilakukan dalam pengolahan data hujan adalah penyiapan data
curah hujan. Data hujan yang digunakan dari 3 stasiun hujan terdekat dan diambil
10 tahun terakhir. Data hujan yang telah ada, akan diuji. Pengujian data hujan
tersebut meliputi uji konsistensi dan uji homogenitas.

2.7.1 Uji Konsistensi


Uji Konsistensi adalah suatu pengujian yang dilakukan untuk mengecek
konsistensi dan tidak konsistensinya suatu data hujan yang akan digunakan dalam
suatu perencanaan. Jika data hujan tidak konsisten yang diakibatkan oleh
berubahnya atau terganggunya lingkungan di sekitar tempat dimana penakar hujan
di pasang, misalnya terlindungi oleh pohon, terletak berdekatan dengan gedung
tinggi, perubahan cara penakaran dan lain – lain. Maka seolah – olah terjadi
penyimpangan terhadap trend (perubahan naik dan turun) semula (Soemarto,
1987:38).
Pengecekan data dikerjakan dengan membuat kurva masa ganda
berdasarkan prinsip bahwa setiap data yang berasal dari satu lingkup atau
konsisten, dan jika tidak satu lingkup, maka pada data tersebut ada penyimpangan
arah/trend-nya (tidak konsisten). Agar data hujan tersebut konsisten, maka harus
dikalikan dengan faktor koreksi.
Rumus yang digunakan adalah :

nxi. yi  xi..yi ......................................................................... (2.1)


m
nxi 2  (xi ) 2

m1
F ................................................................................................... (2.2)
m2
14

Keterangan :
F = faktor koreksi
n = banyaknya data
m1 = gradien garis lurus
m2 = gradien garis tidak lurus
xi = kumulatif stasiun pembanding
yi = kumulatif stasiun utama
Dalam pembuatan kurva masa ganda data yang dibuat mendekati linier,
sehingga data yang digunakan adalah data kumulatif dengan langkah perhitungan
sebagai berikut :
1. Menentukan satu stasiun utama sebagai stasiun dasar pengamatan
2. Menentukan stasiun lainnya sebagai pembanding.
3. Menghitung kumulatif data curah hujan pada stasiun utama (dy).
4. Menghitung rata – rata data curah hujan dan kumulatif stasiun – stasiun
pembandingnya (dx).
5. Membuat grafik lengkung massa ganda dengan (dx) sebagai basis dan (dy)
sebagai ordinat.
6. Menentukan trend baru dan trend lama. Tren baru (M1) merupakan data yang
diasumsikan dalam garis lurus, sedangkan trend lama (M2) yaitu data yang
diasumsikan tidak dalam garis lurus.
7. Menghitung nilai gradien dari trend baru dan trend lama dengan menggunakan
rumus (2.1).
8. Menghitung faktor koreksi menggunakan rumus (2.2).
9. Mengoreksi data dengan cara mengalikan data yang akan diasumsikan tidak
dalam garis lurus faktor koreksi lalu membuat grafik datanya.

2.7.2 Uji Homogenitas


Data hujan yang baik adalah data hujan yang menunjukkan sifat seragam
dari waktu ke waktu atau homogen. Penyebab data hujan tidak homogen adalah
kondisi klimatologi di daerah studi tidak stabil karena perubahan iklim global
akibat gangguan atmosfir, pencemaran udara, hujan buatan, dan lain –lain. Salah
15

satu proses penyiapan data hujan adalah menguji homogenitas data dan
mengkoreksi data yang tidak homogen agar memenuhi syarat homogenitas.
Pengujian ini dilakukan dengan mengeplotkan (N, Tr') pada grafik homogenitas
lalu ditinjau apakah plot (N, Tr') berada pada batas yang homogen. Berikut ini
adalah langkah – langkah pengujian homogenitas :
1. Mengurutkan data curah hujan dari data curah hujan tertinggi ke data curah
hujan terendah kemudian menghitung rata – ratanya.
2. Menghitung nilai standar deviasi data hujan dengan rumus :

n Xi.  Xr 
2
SD  ..................................................................... (2.3)
n 1
3. Mencari nilai Yn dan Sn pada Tabel (2.1) dan Tabel (2.2).
4. Membuat persamaan curah hujan rancangan sebagai berikut :
dranc = dr + (Yt – Yn) ....................................................................... (2.4)
Keterangan :
dranc = Curah hujan rancangan dengan kala ulang T
dr = Rata – rata data curah hujan
 TR  1 
Yt = Reduce variate =  ln   ln . 
 TR 
TR = Kala ulang
Yn = Tabel berdasar n (Tabel 2.6)
S = Standar deviasi data curah hujan
Sn = Tabel berdasar n (Tabel 2.7)
5. Menghitung curah hujan rancangan dengan kala ulang 10 tahun (d10).

d10  x   yt  y n .
s
 ..................................................................... (2.5)
sn

1
TR  Yt ................................................................... (2.6)
1  e e

6. Menghitung kala ulang (Tr) untuk curah hujan rata – rata (dr) berdasarkan
langkah 5.
16

7. Menghitung nilai Tr perbandingan dengan rumus :


d10
TR'  xTRr
dr ............................................................................ (2.7)

2.7.3 Curah Hujan Daerah


Analisis data curah hujan dimaksudkan untuk memperoleh besar curah
hujan daerah yang diperlukan untuk perhitungan curah hujan rencana. Beberapa
metode dapat digunakan dalam perhitungan curah hujan daerah. Metode tersebut
diantaranya adalah metode rata – rata aljabar, metode poligon Theissen, dan
metode Isohyet (Soemarto, 1987:31).
1. Metode rata – rata aljabar
Metode perhitungan rata – rata aljabar (aritmatic mean) adalah cara yang
paling sederhana. Metode ini biasanya digunakan untuk daerah yang datar, dengan
jumlah pos yang cukup banyak dan dengan anggapan bahwa curah hujan di
daerah tersebut cenderung bersifat seragam (uniform distribution). Curah hujan
daerah metode rata – rata aljabar dihitung dengan persamaan :

d1  d 2  d 3  ....  d n n d i
d  ..................................................... (2.8)
n 1 n

Keterangan :
d = Tinggi curah hujan rata – rata (mm)
d1,d2, …. , dn = Besarnya curah hujan yang tercatat pada masing-masing stasiun
(mm)
n = Jumlah stasiun pengukur hujan
2. Metode Poligon Theissen
Metode ini dilakukan dengan menganggap bahwa setiap stasiun hujan
dalam suatu daerah mempunyai luas pengaruh tertentu dan luas tersebut
merupakan faktor koreksi bagi hujan stasiun menjadi hujan daerah yang
bersangkutan. Caranya adalah dengan memplot letak stasiun – stasiun curah hujan
ke dalam gambar DAS yang bersangkutan. kemudian dibuat garis penghubung di
antara masing – masing stasiun dan ditarik sumbu tegak lurus.
17

Cara ini merupakan cara terbaik dan paling banyak digunakan walau
masih memiliki kekurangan karena tidak memasukkan pengaruh topografi.
Metode ini dapat digunakan apabila pos hujan tidak banyak. Curah hujan daerah
metode poligon Theissen dihitung dengan persamaan :
d1. A1  d 2 . A2  ....  d n . An n di . Ai
d  ................................................. (2.9)
A1  A2  ..  An 1 A

Keterangan :
d = Curah hujan daerah (mm)
d1,d2,…dn = Curah hujan yang tercatat di stasiun 1 sampai stasiun ke n (mm)
A1,A2,…An = Luas daerah pengaruh tiap-tiap stasiun (km2)

Gambar 2.9 Metode Poligon Theissen (Soemarto, 1987:32)


3. Metode Isohyet
Isohyet adalah garis lengkung yang menghubungkan tempat – tempat
kedudukan yang mempunyai curah hujan yang sama. Isohyet diperoleh dengan
cara menggambarkan kontur tinggi hujan yang sama, lalu luas area antara garis
isohyet yang berdekatan diukur dan dihitung nilai rata –ratanya. Curah hujan
daerah metode Isohyet dihitung dengan persamaan :
d 0  d1 d  d2 d .1  d n n d .1  d
A1  1 A2  .... n An  i i
Ai
d 2 2 2 
1 2 .............. (2.10)
A1  A2  .... An A

Keterangan :
d = Curah hujan rata-rata areal (mm)
d1,d2,…dn = Curah hujan di garis Isohyet(mm)
18

A1,A2,…An = Luas daerah untuk ketinggian curah hujan Isohyet yang


berdekatan (km2)
A = Luas total (A1+A2+…+An)

Gambar 2.10 Metode Isohyet (Soemarto, 1987:34)


Cara memilih metode perhitungan hujan daerah yang cocok dipakai pada suatu
DAS dapat ditentukan dengan mempertimbangkan tiga faktor. Faktor –faktor
tersebut adalah sebagai berikut (Suripin ,2004:31)
a. Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS
b. Luas DAS
c. Topografi DAS
Tabel 2.1 Cara Memilih Metode Perhitungan Hujan Daerah
Faktor-faktor Syarat-syarat Jenis Metoda
Metoda Isohiet,
Jumlah Pos Penakar Hujan
Thiessen, atau Rata-rata
Jaring-jaring Pos Cukup
Aljabar dapat dipakai
Penakar Hujan
Jumlah Pos Penakar Hujan Metoda Rata-rata
Dalam DAS
Terbatas Aljabar atau Thiessen
Pos Penakar Hujan Tunggal Metoda Hujan Titik
DAS Besar (>5000 km2) Metoda Isohiet
DAS Sedang (500 s/d 5000
Metoda Thiessen
Luas DAS km2)
Metoda Rata-rata
DAS Kecil (<500 km2)
Aljabar
19

Metoda Rata-rata
Pegunungan
Aljabar
Topografi DAS
Dataran Metoda Thiessen
Berbukit dan Tidak Beraturan Metoda Isohiet

(Sumber : Suripin, 2004:31)

2.7.4 Analisis Frekuensi Hujan


Analisis frekuensi atau distribusi frekuensi digunakan untuk memperoleh
probabilitas besaran curah hujan rencana dalam berbagai periode ulang. Dasar
perhitungan distribusi frekuensi adalah parameter yang berkaitan dengan analisis
data yang meliputi ratarata, simpangan baku, koefisien variasi, dan koefisien
skewness (kecondongan atau kemiringan).
Tabel 2.2 Parameter Statistik
Parameter Sampel Populasi
Rata-rata

Simpangan Baku

Koefisien Variasi

Koefisien Skewness

Kutosis

(Sumber : Suripin, 2004:34)


20

Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi yang


banyak digunakan dalam bidang hidrologi. Berikut ini empat jenis distribusi
frekuensi yang paling banyak digunakan dalam bidang hidrologi:
1. Distribusi Normal
2. Distribusi Log Normal
3. Distribusi Log Pearson Tipe III
4. Distribusi Gumbel Tipe I
Tabel 2.3 Pemilihan Distribusi

Jenis Sebaran Syarat


Normal Cs ≈ 0
Ck = 3
Gumbel Tipe I Cs ≤ 1,1396
Ck ≤ 5,4002
Log Pearson Tipe III Cs ≠ 0
Log Normal Cs ≈ 3Cv + Cv2 = 3
Ck = 5,383
(Sumber : Soewarno, 1995)
Keterangan :

Ck = Koefisien kepuncakan (kurtosis)


Cs = Koefisen Kepencengan (Skewness)
n = Jumlah data

X = Rerata data hujan (mm)
S = Standar deviasi
X = Data hujan (mm)
21

1. Distribusi Normal
Distribusi normal atau kurva normal disebut juga distribusi Gauss, perhitungan
curah hujan rencana menurut metode distribusi normal, mempunyai persamaan
sebagai berikut :
X T  X a  K T .S ..................................................................................... (2.11)

XT  Xa
KT  ....................................................................................... (2.12)
S

Keterangan :
XT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan
Xa = Nilai rata hitung
S = deviasi standar
KT = faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang
Nilai faktor frekuensi KT sudah tersedia dalam tabel nilai variable reduksi
Gauss, seperti ditunjukkan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2.4 Nilai Variabel Reduksi Gauss
No. Periode Ulang, T Peluang KT

(Tahun)

1 1,001 0,999 -3,05

2 1,005 0,995 -2,58

3 1,010 0,990 -2,33

4 1,050 0,950 -1,64

5 1,110 0,900 -1,28

6 1,250 0,800 -0,84

7 1,330 0,750 -0,67

8 1,430 0,700 -0,52


22

9 1,670 0,600 -0,25

10 2,000 0,500 0

11 2,500 0,400 0,25

12 3,330 0,300 0,52

13 4,000 0,250 0,67

14 5,000 0,200 0,84

15 10,000 0,100 1,28

16 20,000 0,050 1,64

17 50,000 0,020 2,05

18 100,000 0,010 2,33

19 200,000 0,005 2,58

20 500,000 0,002 2,88

21 1000,000 0,001 3,09

(Sumber : Suripin, 2004:37)

2. Distribusi Log Normal


Distribusi Log Normal perhitungan curah hujan rencana menggunakan
persamaan seperti berikut :

LogX r 
 LogX i
................................................................................. (2.13)
n

S log X 
 ( LogX i  log X a ) 2
.......................................................... (2.14)
n 1

LogX t  LogX a  k.S log x ..................................................................... (2.15)


23

Keterangan :

Xt = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan


n = Jumlah data
LogXa = Nilai rata hitung
Slogx = Standar deviasi
k = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang

3. Distribusi Log Pearson Tipe III


Berikut langkah-langkah penggunaan distribusi Log Pearson Tipe III :
1) Ubah data ke dalam bentuk logaritmis , X = log (X).
2) Hitung harga rata-rata :


n
i 1
log X i
log X r  ......................................................................... (2.16)
n
3) Hitung harga simpangan baku :

 log X  log X r 
n 2
i 1
S
i

n 1 ............................................................ (2.17)
4) Hitung koefisien kepencengan :

 log X  log X r 
n 3
i 1

i
CS
(n  1)(n  2) S 3 ............................................................. (2.18)
5) Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan rumus :
Log ( X )  log( X r )  G.S
.................................................................... (2.19)
Keterangan :
G = Variabel standar untuk X yang besarnya tergantung koefisien
kepencengan Cs. (Tabel 2.4)
XT = Nilai curah hujan dengan nilai T.
Xr = Rata – rata nilai curah hujan.
n = banyaknya data.
Xi = nilai curah hujan tahun ke – i.
24

Tabel 2.5 Tabel G Untuk Log Pearson Tipe III

(Sumber : Suripin, 2004:43)

4. Distribusi Gumbel Tipe I


Berikut langkah – langkah penggunaan distribusi Gumbel Tipe I :
1) Kumpulkan data hujan minimal 10 tahun terakhir yang telah melalui proses
penyiapan.
2) Urutkan data dari besar ke kecil.
3) Hitung peluang dan kala ulang masing – masing data.
m
P
n  1 ........................................................................................... (2.20)
25

1
TR 
P .............................................................................................. (2.21)

Keterangan :
P = Peluang
TR = Kala ulang (tahun)
m = Data urut ke-….
n = Jumlah seluruh data
4) Hitung standar deviasi data curah hujan tersebut

 . X i  X r 
2

s
n 1 ......................................................................... (2.22)
5) Berdasarkan jumlah data cari nilai Yn dan Sn (Tabel 2.5 dan 2.6)
6) Buat persamaan curah hujan rancangan

x rancangan  X r  Yt  Yn .
s
............................................................ (2.23)
sn
Keterangan :
Xrancangan = Curah hujan rancangan
Xr = Rata – rata data curah hujan
Yt = Reduce Variate, merupakan fungsi probabilitas
Yn = Reduce Variate Mean, merupakan fungsi dari pengamatan
Sn =Reduce Variate Standart deviation, merupakan koreksi
penyimpangan Tabel berdasar n
S = Standar deviasi
7) Hitung Yt dengan persamaan berdasarkan kala ulang (TR) yang dikehendaki
 TR  1 
Yt   ln   ln .  ..................................................................... (2.24)
 TR 
8) Hitung Xrancangan dengan memasukkan kedalam persamaan yang berada pada
langkah ke-6
26

Tabel 2.6 Reduced Mean (Yn)


n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,4952 0,4996 0,5035 0,507 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220

20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5309 0,5320 0,5332 0,5343 0,5353

30 0,5362 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5403 0,5410 0,5418 0,5424 0,5436

40 0,5436 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5463 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481

50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518

60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545

70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567

80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585

90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599

100 0,5600 0,5602 0,5603 0,5604 0,5606 0,5607 0,5608 0,5609 0,5610 0,5611
(Sumber : Suripin, 2004:51)

Tabel 2.7 Reduced Standard Deviation (Sn)


n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565

20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080

30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388

40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590

50 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734

60 1,1747 1,1759 1,1170 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844

70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930

80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001

90 1,2007 1,2013 1,2020 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2049 1,2055 1,2060

100 1,2065 1,2069 1,2073 1,2077 1,2081 1,2084 1,2087 1,2090 1,2093 1,2096
(Sumber : Suripin, 2004:52)
27

Tabel 2.8 Reduced Variate, YTr sebagai fungsi periode ulang


Periode Ulang Tr Reduced Variate Periode Ulang Tr Reduced Variate
(tahun) YTr (tahun) YTr
2 0,3668 100 4,6012
5 1,5004 200 5,2969
10 2,251 250 5,5206
20 2,9709 500 6,2149
25 3,1993 1000 6,9087
50 3,9028 5000 8,5188
75 4,3117 10000 9,2121
(Sumber : Suripin, 2004:52)

Untuk menetukan jenis distribusi maka harus dihitung terlebih dahulu koefisien
kepencengan (Cs) dan koefisien kepuncakan (Ck) memenuhi atau tidak. Syarat
nilai koefisien kepencengan (Cs) dan koefisien kepuncakan (Ck) adalah seperti
tabel 2.2 (Pemilihan Distribusi).

2.7.5 Uji Kesesuaian Distribusi


Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan distribusi
frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat
menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter
yang sering dipakai adalah Chi-Square dan Smirnov-Kolmogorov. (Suripin,
2004:57)
1. Uji Chi-Square
Uji Chi – Square dimaksudkan untuk menentukan bahwa penamaan distribusi
yang telah dipilih dapat diwakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis.
Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter x2, yang dapat dihitung
dengan rumus berikut :
Oi  Ei 
x 2 hitung  i 1
G
.................................................................... (2.25)
Ei
28

Keterangan :
x2hitung = parameter Chi-Square terhitung
G = jumlah sub kelompok
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i
Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i
Parameter x2hitung merupakan variable acak. Peluang yang mencapai x2hitung
sama atau lebih besar dari nilai chi-square sebenarnya (x2). Uji Chi-Square juga
dapat menggunakan grafik.
Langkah-langkah uji Chi-Square adalah sebagai berikut :
a. Plot data empiris (pengamatan) dan persamaan garis d pada kertas Distribusi
Gumbel
b. Uji simpangan horisontal/absis dengan uji Smirnov-Kolmogorov (Yt, P, Tr),
langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Membuat tabel nilai Xempiris (pengamatan hujan)
2) Menghitung Pempiris, TRempiris, Ytempiris
3) Menghitung Ytteoritis dari persamaan Gumbel yang telah dibuat untuk tiap
nilai Xempiris (Yt = ..…. + ..... d)
4) Menghitung nilai TRteoritis dari nilai Ytteoritis
5) Menghitung nilai Pteoritis dari nilai TRteoritis
6) Menghitung ∆P = |Pempiris-Pteoritis|, cari yang maksimal
7) Menghitung nilai Do (tabel) untuk n tertentu dan 𝛼 tertentu
8) Jika ∆P < Do, maka distribusi yang digunakan sesuai/memenuhi.
c. Uji simpangan vertikal/ordinat dengan uji Chi-Square (Curah Hujan), langkah-
langkahnya yaitu sebagai berikut :
1) Tabelkan nilai Xempiris, Ytempiris
2) Hitung nilai Xteoritis dari nilai Ytempiris dengan persamaan Gumbel yang telah
dibuat (Yt = ..…. + ..... d)
3) Hitung nilai Chi-Square (x2)
4) x2hit=S(Xempiris–Xteoritis)2 / Xteoritis
5) Tentukan nilai Chi-Square tabel (x2tab)
6) df=n-jumlah variabel-1 (jumlah variabel=2)
29

7) Jika x2hit<x2tab , maka distribusi yang digunakan sesuai/memenuhi.

Tabel 2.9 Nilai Kritis Do Untuk Uji Smirnov-Kolmogorov

(Sumber : Suripin, 2004:59)


30

Tabel 2.10 x2 tab Uji Chi-Square

2.7.6 Analisis Intensitas Curah Hujan


A. Intensitas Curah Hujan
Analisis hubungan dua parameter hujan yang penting berupa intensitas dan
durasi dapat dihubungkan secara statistik dengan suatu frekuensi kejadiannya.
Penyajian grafik hubungan ini adalah berupa kurva Intensity Duration Frekuensy
(IDF). Diperlukan data hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30
menit, 60 menit, dan jam – jaman untuk membentuk lengkung IDF dapat dibuat di
31

lengkung IDF. Data hujan jenis ini hanya diperoleh pos penakar hujan otomatis.
Selanjutnya berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut lengkung IDF dapat
dibuat dengan salah satu dari beberapa persamaan sebagai berikut :
1. Metode Talbolt, rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dat
tetapan – tetapan a dan b ditentukan dengan harga – harga yang terukur.
a
I
t  b .............................................................................................. (2.26)

Keterangan :
I = Intensitas Curah hujan (mm/jam)
t = Lamanya curah hujan (jam)
a dan b = Konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS
2. Metode Sherman , rumus ini lebih cocok digunakan untuk jangka waktu curah
hujan yang lamanya lebih dari 2 jam.
a
I
t n ................................................................................................. (2.27)
Keterangan :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
t = Lamanya curah hujan (jam)
n = Konstanta
3. Metode Ishiguro
Rumus yang digunakan adalah
a
I
t  b .......................................................................................... (2.28)
Keterangan :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
t = Lamanya curah hujan (jam)
a dan b = Konstanta
32

Jika yang ada data curah hujan maksimum (R24) metode yang digunakan
adalah sebagai berikut :
1) Metode Mononobe,
Rumus metode mononobe sebagai berikut :
2
R 24  24  3
I  
24  t  ............................................................................... (2.29)
Keterangan :
I = Intensitas hujan (mm/jam)
R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
t = Lamanya curah hujan (jam)
2) Metode Van Breen, rumus yang digunakan :
54.d 24  0,707(d 24 ) 2
I ................................................................. (2.30)
t  0,31.d 24

Keterangan :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
t = Waktu/durasi curah hujan (jam)
d24 = Tinggi hujan maksimum dalam 24 jam

B. Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan untuk
mengalir dari titik terjauh pada suatu daerah pengaliran menuju titik tertentu
yang ditinjau sehingga akan didapatkan debit yang maksimum.
Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah
rumus yang dikembangkan oleh Kirpich yaitu (Suripin, 2004:84)
0 , 385
 0,87.L2 
t c    ............................................................................... (2.31)
 1000.S 

Keterangan :
tc = Waktu konsentrasi dalam jam
L = Panjang saluran utama dari hulu sampai penguras (km)
S = Kemiringan rata – rata saluran utama (mm)
33

Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakannya menjadi


dua komponen yaitu waktu konsentrasi terdiri dari waktu yang dibutuhkan oleh
air hujan untuk mengalir diatas permukaan tanah ke saluran yang terdekat (t0 )
dan waktu yang diperlukan air hujan mengalir di dalam saluran (td), sehingga :
tc = to+td ............................................................................................ (2.32)
0 ,167
2 n 
t o   x3,28 xL0 x  menit ....................................................... (2.33)
3 s
Ls
td 
60v menit.................................................................................. (2.34)
Keterangan :
tc = Waktu konsentrasi dalam jam
to = Waktu limpasan menuju saluran (jam)
td = Waktu aliran pada saluran dari satu titik ke titik lainnya (jam)
n = Angka kekasaran Manning (tabel 2.11)
S = Kemiringan lahan
L0 = Panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)
Ls = Panjag lintasan lahan di dalam saluran/sungai (m)
V = Kecepatan aliran di dalam saluran (m/detik)

Tabel 2.11 Koefisien Hambatan (n)


Kondisi permukaan daerah pengaliran Angka
kekasaran
manning (n)
A. Gorong-gorong Tertutup Terisi Sebagian
A.2 Bukan Logam
a. Lusit 0,009
b. Kaca 0,010
c. Semen
1. acian 0,011
2. adukan 0,013
d. Beton
34

1. Gorong-gorong lurus dan bebas kikisan 0,011


2. Gorong-gorong dengan lengkungan, sambungan dan sedikit 0.013
kikisan
3. Dipoles 0,012
4. Saluran pembuang dengan bak kontrol, mulut pemasukan dan 0,015
lain lain, lurus
5. Tidak dipoles, seperti baja 0,013
6. Tidak dipoles seperti kayu 0,014
7. Tidak dipoles seperti kayu kasar 0,017
e. Kayu
1. Di lengkungkan 0,012
2. Dilapiskan, diawetkan 0,017
f. Lempung
1. Saluran pembuang, dengan ubin biasa 0,013
2. Saluran pembuang, dipoles 0,014
3. Saluran pembuang, dipoles, dengan bak kontrol, mulut 0,015
pembuangan dan lain-lain
4. Cabang saluran pembuang dengan sambungan terbuka 0,016
g. Bata
1. Diglasir
2. Dilapis adukan semen 0,013
h. Pembuangan air kotor dengan saluran lumpur dengan lengkungan 0,015
dan sambungan 0,013
i. Bagian dasar di lapis, saluran pembuang dengan dasar licin
j. Pecahan batu disemen 0.019
B. Saluran, dilapis atau dipoles 0.025
B-2 Bukan Logam
a. Semen
1. Acian
2. adukan 0.011
b. Kayu 0.013
35

1. Diserut, tidak diawetkan


2. Diserut, diawetkan dengan creosoted 0,012
3. Tidak diserut 0,012
4. Papan 0,013
5. Dilapis dengan kertas kedap air 0,015
c. Beton 0,014
1. Dipoles dengan sendok kayu
2. Dipoles sedikit 0,013
3. Dipoles 0,015
4. Tidak dipoles 0,017
5. Adukan semprot, penampang rata 0,017
6. Adukan semprot, penampang bergelombang 0,019
7. Pada galian batu yang teratur 0,022
8. Pada galian batu yang tak teratur 0,020
0,027

(Sumber : Chow, 1985:109)

2.7.7 Debit Banjir Rancangan


Ada beberapa metode untuk memperkirakan laju aliran puncak (debit
banjir). Metode yang dipakai pada suatu lokasi banyak ditentukan oleh
ketersediaan data. Dalam praktik, perkiraan debit banjir dilakukan dengan
beberapa metode dan ditentukan berdasarkan pertimbangan teknis (engineering
judgement). Secara umum, metode yang umum dipakai yaitu metode rasional dan
metode hidrograf banjir (Suripin, 2004:78)
Perhitungan ini menggunakan Metode Rasional. Metode ini berlaku jika luas
DAS < 300 ha sebagai berikut :

Q = 0,00278 x C x I x A ................................................................... (2.35)

Keterangan:
Q = Debit banjir rancangan (m³/detik)
36

C = Koefisien pengaliran (tabel 2.12)


I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Daerah pengaliran (ha)
Tabel 2.12 Koefisien Limpasan untuk Metode Rasional

Deskripsi Lahan/ karakter permukaan Koefisien Limpasan C


Business
perkotaan 0,70 – 0,95
pinggiran 0,50 – 0,70
Perumahan
Rumah tinggal 0,30 – 0,50
Multiunit, terpisah 0,40 – 0,60
Multiunit, tergabung 0,60 – 0,75
Perkampungan 0,25 – 0,40
Apartemen 0,50 – 0,70
Industri
Ringan 0,50 – 0,80
Berat 0,60 – 0,90
Perkerasan
Aspal dan beton 0,70 – 0,65
Batu Batu bata, paving 0,50 – 0,70
Atap 0,75 – 0,95
Halaman, tanah berpasir
Datar 2% 0,05 – 0,10
Rata-rata 2-7% 0,10 – 0,15
Curam, 7% 0,15 – 0,20
Halaman, tanah berat
Datar 2% 0,13 – 0,17
Rata-rata 2-7% 0,18 – 0,22
Curam, 7% 0,25 – 0,35
Halaman kereta api 0,10 – 0,35
Taman tempat bermain 0,20 – 0,35
Taman, perkuburan 0,10 – 0,25
Hutan
Datar, 0-5% 0,10 – 0,40
Bergelombang 5-10% 0,25 – 0,50
Berbukit, 10-30% 0,30 – 0,60
(Sumber : Suripin, 2004:81)
37

2.7.8 Debit Air Kotor


Perhitungan debit air limbah didasarkan pada jumlah pemakaian air
minum. Volume air limbah adalah (70-80%) x volume air minum (Fanggi,
Utomo, dan Udiana, 2015).
Tabel 2.13 Kriteria Perencanaan Air Bersih dan Standar Kebutuhan Air
Domestik

Kategori Kota Berdasarkan


500.000 100.000 20.000
>1.000.000 s/d s/d s/d <20.000
No Uraian/Kriteria
1.000.000 500.000 100.000
Kota Kota Kota Kota
Desa
Metropolitan Besar Sedang Kecil
1 Konsumsi Unit
Sambungan
>150 120-150 90-120 80-120 60-80
Rumah (SR)
(ltr/org/hari)
2 Konsumsi Unit
Hidran Umum
20-40 20-40 20-40 20-40 20-40
(HU)
(ltr/org/hari)
3 Faktor hari 1.15- 1.15-
1.15-1.25 1.15-1.25 1.15-1.25
maksimum 1.25 1.25
*harian *harian *harian
*harian *harian
4 Faktor jam 1.75-2.0 1.75-2.0 1.75-2.0
1.75-2.0 1.75-2.0
puncak *hari *hari *hari
*hari maks *hari maks
maks maks maks
5 Jumlah jiwa per
5 5 5 5 5
SR (Jiwa)
6 Jumlah jiwa per
100 100 100 100-200 200
HU (Jiwa)
7 Sisa tekan di
penyediaan 10 10 10 10 10
distribusi (meter)
8 Jam operasi (jam) 24 24 24 24 24
9 Volume reservoir
(% max day 15-25 15-25 15-25 15-25 15-25
demand)
10 SR : HU 50 : 50 50 : 50
s/d s/d 80 : 20 70 : 30 70 : 30
80 : 20 80 : 20

(Sumber : Kriteria Perencanaan Ditjen Cipta Karya Dinas PU, 1996)


38

2.8 Analisis Hidrolika


2.8.1 Bentuk-Bentuk Saluran Drainase
Zat cair dapat diangkut dari suatu tempat lain melalui bangunan pembawa
alamiah maupun buatan manusia. Bangunan pembawa ini dapat terbuka maupun
tertutup bagian atasnya. Saluran yang semua terisi air disebut saluran tertutup
(closed conduits), sedangkan saluran yang airnya tidak terisi penuh (terdapat
tekanan udara) disebut saluran terbuka (open channels). (Suripin, 2004:119)
Saluran buatan dapat berbentuk segitiga, trapesium, segi empat, bulat,
setengah lingkaran, dan bentuk tersusun.

Tabel 2.14 Macam-macam Penampang Saluran

(Sumber : Chow, 1985:21)


39

2.8.2 Perencanaan Dimensi Saluran


Penampang saluran yang sering digunakan pada perencanaan dimensi
adalah saluran berbentuk persegi dengan lebar dasar B, kedalaman air h, luas
penampang basah A, dan keliling basah P (Gambar 2.11), maka dapat ditulis
sebagai berikut (Suripin, 2004:147).

Gambar 2.11 Penampang Melintang Saluran Berbentuk Persegi


Rumus kecepatan rata – rata pada perhitungan dimensi penampang saluran
menggunakan rumus Manning, karena rumus ini mempunyai bentuk yang
sederhana. Oleh karena itu, rumus ini luas penggunaannya sebagai rumus aliran
seragam dalam kapasitas saluran.
Untuk merencanakan dimensi penampang pada saluran drainase digunakan
rumus aliran seragam. Aliran seragam adalah kondisi dimana komponen aliran
tidak berubah terhadap jarak. Contohnya aliran di saluran atau sungai pada
kondisi tidak ada pengaruh pembendungan atau terjunan dan tidak ada
penyempitan atau pelebaran yang ekstrim. Bentuk penampang saluran drainase
dapat berupa saluran terbuka maupun tertutup tergantung pada kondisi daerahnya.
Untuk menghitung saluran dapat dihitung dengan menggunakan rumus –
rumus sebagai berikut :
Manning
1 2 1
V  R 3  I 2 ....................................................................................(2.46)
n

A
R
P .................................................................................................... (2.47)

Q  V  A ............................................................................................... (2.48)
40

2.8.3 Bangunan Pelengkap (Gorong-gorong)


Gorong – gorong adalah saluran tertutup (pendek) yang mengalirkan air
melewati jalan raya, jalan kereta api, atau timbunan lainnya. Gorong – gorong
biasanya dibuat dari beton, aluminium gelombang, baja gelombang, atau plastik
gelombang. Gorong – gorong diperlukan ketika (Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri – Perkotaan : 60) :
1. Sungai kecil atau saluran melewati jalan.
2. Kapasitas saluran samping jalan kurang mampu mengalirkan volume air yang
diperkirakan dan air harus melewati jalan untuk dibuang.
3. Saluran samping jalan memotong jalan lain pada persimpangan.

2.8.4 Tinggi Jagaan (Free Board)


Jagaan (freeboard) suatu saluran adalah jarak vertikal dari puncak saluran
ke permukaan air pada kondisi rencana. Jarak ini harus cukup untuk mencegah
gelombang atau kenaikan muka air yang melimpah ke tepi.
Belum ada peraturan yang dapat diterima untuk menentukan besarnya
jagaan, karena gerakan gelombang atau kenaikan muka air di saluran dapat
diakibatkan oleh berbagai hal yang tak dapat diduga sebelumnya.
Besarnya jagaan yang umum dipakai dalam perencanaan berkisar antara
lebih kecil 5% sampai lebih besar dari 30% kedalaman aliran. (Chow, 1985:158).

2.8.5 Kecepatan Maksimum dan Minimum yang Diijinkan


Kecepatan maksimum adalah kecepatan rata – rata terbesar yang tidak
akan menimbulkan erosi pada tubuh saluran. Kecepatan ini hanya dapat
ditetapkan berdasarkan pengalaman dan penyimpulan. Secara umum saluran lama
dan telah banyak mengalami pergantian musim akan mampu menerima kecepatan
yang lebih besar dibandingkan dengan saluran baru (Ven Te Chow, 1985:164).
Kecepatan maksimum pada aliran sub kritis dalam pemakaiannya adalah sebagai
berikut (Departemen Pekerjaan Umum KP-03, 1986:77) :
a) Pasangan batu : 2 m/detik
b) Pasangan beton : 3 m/detik
41

Kecepatan minimum adalah kecepatan terendah yang tidak akan


menimbulkan sedimentasi dan mendorong pertumbuhan tanam air dan ganggang.
Kecepatan ini sangat tidak menentu dan nilainya yang tepat tidak dapat ditemukan
dengan mudah. Untuk kecepatan rata – rata yang diijinkan yaitu kurang lebih 0,6
m/detik biasanya cukup untuk mencegah tumbuhnya tanaman air yang dapat
menurunkan kapasitas angkut atau kapasitas hantaran suatu saluran (Departemen
Pekerjaan Umum KP-03, 1986:77).

2.8.6 Jenis Aliran


Aliran dikatakan kritis apabila kecepatan aliran sama dengan kecepatan
gelombang gravitasi dengan amplitude kecil. Gelombang gravitasi dapat
dibangkitkan dengan merubah kedalaman. Jika kecepatan aliran lebih kecil
daripada kecepatan kritis (Fr < 1), maka alirannya disebut subkritis, sedangkan
jika kecepatan alirannya lebih besar daripada kecepatan kritis (Fr > 1 ), maka
alirannya disebut superkritis (Suripin, 2003:123).
Parameter yang menentukan ketiga jenis aliran tersebut nisbah antara gaya
gravitasi dan gaya inersia yang dinyatakan dengan bilangan Froude (Fr). Bilangan
Froude untuk saluran didefinisikan sebagai :
v
Fr  ........................................................................................... (2.49)
gxh
Keterangan :
V = Kecepatan aliran (m/detik)
h = Kedalaman aliran (m)
g = Percepatan gravitasi (m/detik2)
42

2.9 Pengertian Instalasi Pengolah Air Limbah


IPAL adalah salah satu teknologi pengolah limbah cair yang bertujuan
menghilangkan atau memisahkan cemaran dalam air limbah sebelum dibuang ke
lingkungan sampai memenuhi baku mutu lingkungan. (Purnomo, 2007).
IPAL Komunal (septicktank modern) sama halnya seperti septicktank
konvensional, septictank biologis, hanya saja bagian dasar tertutup, sehingga air
limbah tidak merembes ke dalam air. Proses pengolah air limbah menggunakan
teknologi biologis dan filterasi. Itu sebabnya septictank modern (IPAL) di sebut
juga septictank biologis. Selain itu, septictank biologis tidak memerlukan resapan,
melainkan air yang keluar dari pipa pembuangan / outlet yang tidak akan berbau
dan tidak akan mencemari lingkungan sekitar serta bisa di alirkan langsung ke
saluran pembuangan atau bisa di manfaatkan sebagai air kolam. Saat ini ada 2
macam septictank biologis, yakni yang menggunakan bahan baku fiberglass
(biofil) dan dari beton (smart biofil). IPAL komunal terdiri dari 5 ruangan di
lengkapi dengan media kontak sebagai tempat tumbuhnya bakteri pengurai.
Kelima ruangan tersebut di hubungkan dengan pipa. (Kusjuliadi, 2007)

2.9.1 Komposisi Limbah Cair


Air Limbah rumah tangga terdiri dari 3 fraksi penting yaitu :
1. Tinja (faeces), berpotensi mengandung mikroba pentogen,
2. Air seni (urine), umumnya mengandung nitrogen dan posfor, serta
kemungkinan kecil mikro – organisme,
3. Grey Water merupakan air bekas cucian dapur, mesin cuci dan kamar mandi.
Campuran faeces dan urine disebut sebagai excreta, sedangkan campuran
excreta dengan air bilasan toilet disebut sebagai black water. (Sugiharto, 1987)
43

2.9.2 Karakteristik Air Limbah Domestik


Menurut Sa’adah dan Winarti (2009) sifat air limbah cair domestik terbagi
atas tiga karakteristik, yaitu karakteristik fisik, kimia, dan biologi.
1. Karakteristik Fisik
a. Padatan (Solid)
Limbah cair mengandung berbagai macam zat padat dari material yang
kasar sampai dengan material yang bersifat koloidal. Dalam karakterisasi
limbah cair material kasar selalu dihilangkan sebelum dilakukan analisis
contoh tehadap zat padat.
b. Bau (Odor)
Bau merupakan petunjuk adanya pembusukan air limbah. Penyebab
adanya bau pada air limbah karena adanya bahan volatile, gas terlarut dan hasil
samping dari pembusukan bahan organik. Bau yang dihasilkan oleh air limbah
pada umumnya berupa gas yang dihasilkan dari penguraian zat organic yang
terkandung dalam air limbah, seperti Hidrogen sulfide.
c. Warna (Color)
Air murni tidak berwarna tetapi seringkali diwarnai oleh benda asing.
Karakteristik yang sangat mencolok pada limbah cair adalah berwarna yang
umumnya disebabkan oleh zat organik dan algae. Air limbah yang baru
biasanya berwarna abu-abu.
d. Temperatur
Limbah cair umumnya mempunyai temperatur lebih tinggi dari pada
temperatur udara setempat. Temperatur limbah cair dan air merupakan
parameter sangat penting sebab efeknya pada kehidupan dalam air,
meningkatkan reaksi kima, dan mengurangnya spesies ikan dalam air.
e. Kekeruhan (Turbidity)
Kekeruhan sifat optis air yang akan membatasi pencahayaan kedalam air.
Kekeruhan terjadi karena adanya zat-zat koloid yang melayang dan zat-zat
yang terurai menjadi ukuran yang lebih (tersuspensi) oleh binatang, zat-zat
organik, jasad renik, lumpur, tanah, dan benda-benda lain yang melayang.
Tidak dapat dihubungkan secara langsung antara kekeruhan dengan kadar
44

semua jenis zat suspensi, karena tergantung juga kepada ukuran dan bentuk
butir.
2. Karakteristik Kimia
Terdiri dari dua parameter yaitu parameter Organik dan Paraeter Anorganik.
3. Karakteristik Biologi
Limbah cair biasanya mengandung mikroorganisme yang memiliki peranan
penting dalam pengolahan limbah cair secara biologi, tetapi ada juga mikro-
organisme yang membahayakan bagi kehidupan manusia. Mikro-organisme
tersebut antara lain bakteri, jamur, protozoa dan algae.

2.9.3 Manfaat IPAL Komunal


Dalam proses pembuatan perencanaan dan proses pengolahan limbah
sistem setempat (on site system) dan sistem pembuangan limbah terpusat (off site
sistem) pastinya ada keuntungan dan kerugian dalam prosesnya. Berikut
keuntungan dan kerugian penggunaan IPAL komunal :
1. Keuntungan sistem pembuangan limbah setempat :
a. Biaya pembuatan murah
b. Di buat oleh sektor swasta atau pribadi.
c. Teknologi cukup sederhana
d. Sistem sangat privasi karena terletak di prisilnya
e. Operasi dan pemeliharaan dilakukan secara pribadi.
Kerugian penggunaan sistem pengolah limbah cair setempat :
a. Tidak selalu cocok di semua daerah
b. Sulit mengontrol operasi dan pemeliharaan
c. Bila pengendalian tidak sempurna air limbah akan di buang ke drainase.
d. Sulit mengontrol operasi dan pemeliharaan.
2. Keuntungan penggunaan sistem pengolah limbah terpusat :
a. Pelayanan lebih nyaman
b. Menampung semua air limbah domestik
c. Pencemaran air tanah dan lingkungan dapat di hindari.
45

d. Cocok untuk daerah yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang


tinggi.
e. Usia pemakaian relatif lama.
Kerugian pemakaian sistem pengolah limbah terpusat :
a. Memerlukan pembiayaan tinggi
b. Memerlukan tenaga yang terampil untuk operasional dan pemeliharaan.
c. Memerlukan perencanaan dan pelaksanaan untuk jangka panjang.
d. Nilai manfaat akan terlihat apabila sistem telah berjalan dan semua
penduduk yang terlayani ( Kusjuliadi, 2007).

2.9.4 Sistem IPAL Komunal


Sistem penyaluran air limbah adalah suatu rangkaian bangunan air yang
berfungsi untuk mengurangi atau membuang air limbah dari suatu kawasan/ lahan
baik itu dari rumah tangga maupun kawasan industri. Sistem penyaluran biasanya
menggunakan sistem saluran tertutup dengan menggunakan pipa yang berfungsi
menyalurkan air limbah tersebut ke bak interceptor yang nantinya di salurkan ke
saluran utama atau saluran drainase. (Scundaria, 2000).
Sistem perpipaan dibuat mengikuti jalan dan sistem pengaliran diusahakan
secara gravitasi sehingga perencanaan jaringan perpipaan harus memperhatikan
kontur. Penyaluran air limbah diusahakan melalui jalur dan waktu alir sesingkat
mungkin untuk menghindari pencemaran lingkungan (Widiana dkk., 2012 dalam
Jurnal ). Jaringan pipa air buangan terdiri dari:
1. Pipa kolektor (lateral) sebagai pipa penerima air bungan dari rumah-rumah
dialirkan ke pipa utama.
2. Pipa utama (main pipe) sebagai pipa penerima aliran dari pipa kolektor untuk
di salurkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau ke trunk sewer.
3. Trunk sewer digunakan pada jaringan pelayanan air limbah yang luas (> 1.000
ha) untuk menerima aliran dari pipa utama dan untuk dialirkan ke
IPAL.(Wulandari, 2014)
46

2.9.5 Desain IPAL Domestik


Seluruh air limbah yang dihasilkan dari kegiatan domestik yaitu air limbah
dapur, kamar mandi, limbah pencucian, wastafel, limpasan tangki septik tank dll,
dialirkan ke bak pemisah lemak atau minyak. Selanjutnya dialirkan ke bak
ekualisasi (Sum pit) yang berfungsi sebagai bak penampung limbah dan bak
control aliran. Air limbah didalam bak ekualisasi selanjutnya di pompa di unit
IPAL.
Didalam unit IPAL, air limbah dialirkan masuk ke bak pengendap awal,
untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran organik tersuspensi.
Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungsi sebagai bak pengurai senyawa
organik yang berbentuk padatan dan penampung lumpur. Dari bak pengendap
awal dialirkan ke bak kontrol anaerob dengan arah aliran dari atas ke bawah. Di
dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi dengan media khusus dari bahan
plastik tipe sarang tawon. Jumlah bak kontaktor anaerob terdiri dari dua buah
ruangan. Penguraian zat – zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh
bakteri anaerobic atau fakultatif aerobic. Setelah beberapa hari operasi, pada
permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-organisme.
Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat
terurai pada bak pengendap.
Air limbah dari bak biofilter anaerob dialirkan ke bak kontaktor aerob.
Didalam bak kontaktor aerob ini diisi dengan media khusus dari bahan plastik tipe
sarang tawon, sambil diaerasi atau dihembus dengan udara sehingga mikro
organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah
serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah
akan kontak dengan mikro-organisme yang tersuspensi dalam air maupun yang
menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan
efisiensi penguraian zat organik,serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga
efisiensi penghilangan ammonia menjadi lebih besar. Proses ini sering dinamakan
Aerasi Kontak.
Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini
lumpur aktif, yang mengandung mikro-organisme diendakan dan sebagian air
47

dipompa kembali ke bagian bak pengendap awal dengan pompa sirkulasi lumpur.
Sedangkan air limpasan sebagian dialirkan ke bak yang ditanami ikan, dan
sebagian lagi dialirkan ke bak khlor. Didalam bak khlor ini air limbah
dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh micro-organisme patigen.
Penambahan khlor bisa dilakukan dengan menggunakan khlor tablet atau dengan
larutan kaporit yang disuplai melalui pompa dosing. Air olahan, yakni air yang
keluar setelah proses khlorinasi sebagian digunakan untuk mengaliri taman dan
sebagian dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan
kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain dapat menurunkan zat organik
(BOD,COD), ammonia, SS, phospat dan lainnya dapat juga turun secara
signifikan. (Sugiharto, 1987)
IPAL yang akan digunakan yaitu IPAL fabrikasi oleh PT. BioSeven
Fibreglass Indonesia. Bioseven IPAL adalah unit pengolahan limbah modern
dengan menggunakan biotechnology dan biofiltration system. Bioseven IPAL
menggunakan sistem media cell ganda (joint treatment anaerob and aerob) dan
sistem pengendapan lumpur yang melakukan efisiensi pengolahan 90% sehingga
air buangan hasil olahan sudah sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh
pemerintah, yaitu sebagai berikut :
1. BOD < 20-50 mg/l
2. DFDF
3. COD < 50-80 mg/l
4. Minyak dan lemak < 20-30 mg/l
5. Amoniak < 10 mg/l
6. KMnO4 < 85 mg/l
7. TSS < 50 mg/l
8. Blue Metilen < 2 mg/l
9. PH 6-9
Adapun proses pengolahan Bioseven IPAL adalah sebagai berikut :
1. Tahap pertama : pemisahan limbah domestik dengan benda-benda padat
lainnya yang tidak dapat terurai oleh bakteri pengurai.
48

2. Tahap kedua : pemisahan antara limbah domestik dengan zat-zat yang


mengandung minyak/oil, pada tahap ini juga terjadi pembusukan limbah secara
anaerobik.
3. Tahap ketiga : proses penguraian limbah dengan proses aerobik, dimana pada
ruang atau chamber ini terjadi injeksi udara menggunakan double blower dan
udara yang masuk didistribusikan melalui diffuser yang sudah terpasang. Pada
tahap ini BOD dan COD dapat direduksi secara optimal.
4. Tahap keempat : Proses sedimentasi atau pengendapan lumpur, untuk
memfilter kadar TSS (Total Suspended Solid) dari hasil proses aerobic.
5. Tahap kelima : proses disinfektan, sehingga air hasil buangan sudah baik dan
layak buang, serta aman bagi lingkungan. (www.bioseven.co.id).
Berikut adalah spesifikasi IPAL Bioseven untuk limbah domestik :
Tabel 2.15 Spesifikasi IPAL
Ukuran Tipe BFHGD
TIPE UKURAN VOLUME
BFHGD - 5 D 130 cm X P 260 cm = 5 M3/hari
BFHGD - 6 D 150 cm X P 260 cm = 6 M3/hari
BFHGD - 7 D 150 cm X P 330 cm = 7 M3/hari
BFHGD - 8 D 150 cm X P 380 cm = 8 M3/hari
BFHGD - 9 D 150 cm X P 410 cm = 9 M3/hari
BFHGD - 10 D 150 cm X P 450 cm = 10 M3/hari
BFHGD - 15 D 180 cm X P 500 cm = 15 M3/hari
BFHGD - 20 D 220 cm X P 575 cm = 20 M3/hari
BFHGD - 25 D 240 cm X P 525 cm = 25 M3/hari
BFHGD - 30 D 240 cm X P 610 cm = 30 M3/hari
BFHGD - 35 D 240 cm X P 700 cm = 35 M3/hari
BFHGD - 40 D 260 cm X P 700 cm = 40 M3/hari
BFHGD - 45 D 280 cm X P 700 cm = 45 M3/hari
BFHGD - 50 D 300 cm X P 700 cm = 50 M3/hari
BFHGD - 60 D 325 cm X P 700 cm = 60 M3/hari
BFHGD - 75 D 350 cm X P 770 cm = 75 M3/hari
(Sumber : Brosur PT.BioSeven Fibreglass Indonesia)
49

2.9.6 Gambar Instalasi Pengolah Air Limbah


Bioseven merupakan instalasi pengolah air limbah yang menggunakan
sistem biofilter anaerob dan kombinasi antara anaerob dengan aerob. Teknologi
biofilter adalah inovasi pengolahan air limbah domestik menggunakan bakteri
yang memadukan antara pertumbuhan bakteri tersuspensi pada badan air limbah
itu sendiri dengan pertumbuhan bakteri pada suatu media tempat tumbuh bakteri
(biomedia/biocell) yang sekaligus berfungsi sebagai penyaring limbah.

Gambar 2.12 IPAL Bioseven (Brosur PT.BioSeven Fibreglass Indonesia)

2.9.7 Grease Trap (Penangkap Minyak dan Lemak)


Merupakan salah satu limbah domestik yang tidak bisa diurai secara alami.
Sumber Grease adalah dari minyak goreng, mentega, susu, keju, daging dan lain-
lain. Jika limbah Grease ini tidak ditangani secara tepat akan menyebabkan :
1. Saluran pipa akan tertutup oleh grease yang membeku
2. Jika sampai keluar ke saluran kota akan menyebabkan bau yang tidak sedap
dan menimbulkan penyakit.
3. Bau yang tidak sedap pada lingkungan rumah, apartemen, dan lain-lain.
50

Untuk menangani grease ini salah satunya dengan cara memasang


Grease Trap Portable. salah satunya dengan cara memasang grease trap
portable yang dipasang di bawah sink dapur.
Cara kerja grease trap adalah semua air cucian dari dapur melalui sink
akan mengalir masuk kedalam grease trap portable. Sampah padat bekas
cucian akan tersaring pada basket strainer ∅2mm. Setelah melalui basket, air
dan grease masuk ke ruang 2. Grease akan naik ke permukaan air secara
gravitasi karena berat jenis grease lebih ringan daripada air. Kemudian air yang
berada dibawah grease akan keluar melalui pipa menuju ke bak kontrol .
Sampah-sampah pada basket dan grease yang ada di permukaan air diangkat
dan dibersihkan secara berkala.

2.9.8 Jenis-jenis Pipa Saluran Limbah Cair


Menurut Okun & Ponghis (1975 : 73), bahan yang umumnya dipakai
untuk pipa saluran limbah cair adalah :
1. Pipa asbes semen (Asbestos cement pipe)
Pipa asbes semen tahan terhadap korosi akibat asam, tahan terhadap kondisi
limbah yang sangat septik dan pada tanah yang alkalis.
2. Pipa beton (Concrete pipe)
Pipa beton sering digunakan untuk saluran limbah cair berukuran kecil dan
sedang (berdiamter 600 mm). Penanganannya cukup mudah karena secara
langsung dapat dibuat di lapangan, hanya saja umumnya tidak tahan terhadap
asam.
3. Pipa besi cor (Cast iron pipe)
Keuntungan pipa ini adalah umur penggunaan yang cukup lama, kuat menahan
beban, dan karakteristik pengaliran yang baik. Hanya saja secara ekonomis
tidak menguntungkan karena mahal, sulit untuk penggunaan secara khusus
(misalnya untuk sifon, saluran yang melewati daerah rawa).
4. Pipa tanah liat (Vetrified clay pipe)
Pipa ini sudah digunakan sejak zaman Babylonia dan sampai saat ini masih
digunakan. Pipa tanah liat ini pada umumnya berdiameter antara 450 mm
51

sampai 600 mm. Pipa ini terbuat dari tanah yang dicampur dengan air, dibentuk
kemudian dijemur dan dipanaskan dalam suhu tinggi.Keuntungan penggunaan
pipa ini adalah tahan korosi akibat produksi H2S limbah cair. Selain itu,
kelemahan pipa ini mudah pecah dan umumnya dicetak dalam ukuran pendek.
5. PVC (Polyvinyl chloride)
Pipa ini banyak digunakan karena mempunyai keunggulan, antara lain mudah
dalam penyambungan, ringan, tahan korosi, tahan asam, fleksibel, dan
karakteristik aliran sangat baik. Sambungan pipa penyalur limbah cair dapat
berupa adukan semen, aspal, karet penyekat (rubber gasket), atau serat goni.
Hal yang perlu diperhatikan adalah sambungan tersebut harus tahan rembesan,
terhadap pertumbuhan akar pohon yang melewatinya, korosi, dan mudah dalam
penanganannya, serta hemat.

2.10 Klasifikasi Tanah dari Data Sondir


Data tekanan conus (qc) dan hambatan pelekat (fs) yang didapatkan dari hasil
pengujian sondir dapat digunakan untuk menentukan jenis tanah seperti yang
ditunjukkan dalam Tabel 2.16 :

Tabel 2.16 Klasifikasi Tanah dari Data Sondir


Hasil Sondir
Klasifikasi
qc fs
6,0 0,15-0,40 Humus, lempung sangat lunak
0,20 Pasir kelanauan lepas, pasir sangat lepas
6,0-10,0
0,20-0,60 Lempung lembek, lempung kelanauan lembek
0,10 Kerikil lepas
0,10-0,40 Pasir lepas
10,0-30,0
0,40-0,80 Lempung atau lempung kelanauan
0,80-2,00 Lempung agak kenyal
1,50 Pasir kelanauan, pasir agak padat
30,0-60,0
1,0-3,0 Lempung atau lempung kelanuan kenyal
1,0 Kerikil kepasiran lepas
Pasir padat, pasir kelanauan atau lempung
60,0-150,0
1,0-3,0 padat dan lempung kelanauan
3,0 Lempung kekerikilan kenyal
Pasir padat, pasir kekerikilan, pasir kasar,
150,0-300,0 1,0-2,0 pasir kelanauan sangat padat
(Sumber : Das,B.M, 1994, Mekanika Tanah Jilid 1)
52

Robertson (1986) dalam Wibowo (2011). Untuk mengklasifikasikan tanah


ada banyak jenis klasifikasi. Salah satunya dari Robertson (1986). Pada klasifikasi
ini Gambar 2.12 digunakan dengan cara memplotkan antara nilai qc dengan FR.
Hasil pemplotannya itu menunjukkan jenis tanah pada daerah tersebut. Sebelum
memplotkan, nilai qc harus diubah terlebih dahulu dari satuan kg/cm2 ke dalam
satuan MPa atau Mega Pascal. Untuk 1 kg/cm2=0.0980665 Mpa.

Gambar 2.13 Grafik hubungan qc dan Fr menurut Robertson dan


Campanella
53

Hubungan antara kepadatan dengan relative density, nilai N SPT, qc, dan ϕ
adalah sebanding. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.17 :

Tabel 2.17 Hubungan antara kepadatan dengan relative density, nilai N SPT,
qc, dan ϕ
Kepadatan Relatif Nilai N Tekanan Sudut Geser
Density SPT Konus qc (ϕ)
(𝜸𝒅) (kg/cm2)
Very Loose (sangat < 0,2 <4 < 20 < 30
lepas)
Loose (lepas) 0,2 – 0,4 4 - 10 20 - 40 30 - 35
Medium Sense (agak 0,4 – 0,6 10 - 30 40 - 120 35 - 40
kompak)
Dense (kompak) 0,6 – 0,8 30 - 50 120 - 200 40 - 45
Very Dense (sangat 0,8 – 1,0 > 50 > 200 > 45
kompak)
(Sumber : Mayerhof, 1965)

2.11 Beton Normal


2.11.1 Pengertian Beton Normal
Berdasarkan SNI 2847-2013, beton adalah campuran semen portland atau
semen hidraulik yang lain, agregat halus, agregat kasar dan air dengan atau tanpa
bahan tambahan yang membentuk masa padat. Beton bertulang adalah beton
struktural yang ditulangi dengan tidak kurang dari jumlah baja prategang atau
tulangan non-prategang minimum yang ditetapkan dalam pasal 1 sampai 21 (SNI
2847-2013).
Sifat beton setelah mengeras adalah kuat terhadap tekan, yang mana
kekuatan beton bertulang tergantung dari mutu beton yang direncanakan. Beton
kuat terhadap tekan tetapi tidak kuat terhadap tarik, sehingga diperlukan tulangan
untuk menahan gaya tarik tersebut.
54

Beton dan baja dapat bekerja bersama-sama atas dasar beberapa alasan,
yaitu:
1. Lekatan (bond, atau interaksi antara batangan baja dengan beton keras
sekelilingnya).
2. Campuran beton yang memadai memberikan sifat anti resap yang cukup dari
beton untuk mencegah karat baja.
3. Angka kecepatan muai yang hampir serupa sehingga menimbulkan tegangan
antara baja dan beton yang dapat diabaikan dibawah perubahan suhu udara.

2.11.2 Baja Tulangan Beton


Baja Tulangan Beton didefinisikan sebagai baja berbentuk batang
berpenampang bundar yang digunakan untuk penulangan beton, yang diproduksi
dari bahan baku billet baja (sesuai Standar Nasional Indonesia) dengan cara canai
panas (hot rolling). Berdasarkan bentuknya, baja tulangan beton dibedakan
menjadi 2 (dua) jenis yaitu:
1. Baja tulangan beton polos
Baja tulangan beton polos adalah baja tulangan beton berpenampang bundar
dengan permukaan rata tidak bersirip, disingkat BjTP.
2. Baja tulangan beton sirip (Deform/ulir)
Baja tulangan beton sirip adalah baja tulangan beton dengan bentuk khusus
yang permukaannya memiliki sirip melintang dan rusuk memanjang yang
dimaksudkan untuk rneningkatkan daya lekat dan guna menahan gerakan
membujur dari batang secara relatif terhadap beton, disingkat BJTD.
55

Tabel 2.18 Ukuran Baja Tulangan Beton Polos


Diameter Luas penampang Berat nominal
No. Penamaan nominal (d) Nominal (L) per meter
(mm) (cm2) (kg/m)
1. P.6 6 0,2827 0,222
2. P.8 8 0,5027 0,395
3. P.10 10 0,7854 0,617
4. P.12 12 1,131 0,888
5. P.14 14 1,539 1,12
6. P.16 16 2,011 1,58
7. P.19 19 2,835 2,23
8. P.22 22 3,801 2,98
9. P.25 25 4,909 3,85
10. P.28 28 6,158 4,83
11. P.32 32 8,042 6,31
(Sumber : SNI 2847-2012)

Tabel 2.19 Ukuran Baja Tulangan Beton Sirip (Deform)

Tinggi
Dia- Luas Dia-meter Lebar
sirip
meter Penam- dalam rusuk me- Berat
Pena- melintang
No nominal pang nominal manjang nominal
maan
(d) nominal (do) Ma (maks)
min
x
Mm cm2 Mm mm mm Mm Kg/m
1 S.6 6 0,2827 5,5 0,3 0,6 4,7 0,222
2 S.8 8 0,5027 7,3 0,4 0,8 6,3 0,395
3 S.10 10 0,7854 8,9 0,5 1,0 7,9 0,617
4 S.13 13 1,327 12,0 0,7 1,3 10,2 1,04
5 S.16 16 2,011 15,0 0,8 1,6 12,6 4,58
6 S.19 19 2,835 17,8 1,0 1,9 14,9 2,23
7 S.22 22 3,801 20,7 1,1 2,2 17,3 2,98
8 S.25 25 4,909 23,6 1,3 2,5 19,7 3,85
9 S.29 29 6,625 27,2 1,5 2,9 22,8 5,18
10 S.32 32 8,042 30,2 1,6 3,2 25,1 6,31
11 S.36 36 10,18 34,0 1,8 3,6 28,3 7,99
12 S.40 40 12,57 38,0 2,0 4,0 31,4 9,88
13 S.50 50 19,64 48,0 2,5 5,0 39,3 17,4
(Sumber : SNI 2847-2012)
56

2.12 Pembebanan Struktur Cover IPAL


Struktur cover IPAL didesain untuk melindungi IPAL fabrikasi dari bahaya
longsoran tanah. Perhitungan cover IPAL diantaranya adalah perhitungan pelat,
balok, dan kolom.
Beban adalah gaya yang bekerja pada struktur. Oleh karena itu, setiap akan
melakukan dalam perencanaan struktur bangunan harus dimulai dengan
perhitungan seluruh beban yang diterima sebuah struktur bangunan. Ada beberapa
jenis beban yang harus dianalisis dalam perencanaan struktur diantaranya adalah
beban mati, beban hidup, beban angin, beban gempa, dan beban khusus.
Berdasarkan Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung (PPIUG) 1983,
pembebanan meliputi :
1. Beban Mati
Beban mati ialah berat dari semua bagian dari suatu bangunan yang bersifap
tetap baik segala unsur tambahan, penyelesaian-penyelesaian, mesin-mesin,
serta peralatan tetap yang tak terpisah dari bangunan itu Adapun beban mati
dari suatu bangunan merupakan beban yang bekerja vertikal karena adanya
gaya gravitasi. Pada Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Gedung (PPIUG)
1983 digunakan pembebanan sebagai berikut :
Tabel 2.20 Beban Mati
Bahan bangunan Berat
Beton bertulang 2400 kg/m3
Pasangan setengah bata 250 kg/m2
Keramik 2200 kg/m2
Spesi per cm tebal 21 kg/m2
Plafond 18 kg/m2
(Sumber: Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung, 1983:17)
2. Beban Hidup
Beban hidup ialah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau
penggunaan suatu bangunan, dan ke dalamnya temasuk beban-beban pada
lantai yang berasal dari barang-barang yang dapat berpindah, mesin-mesin
serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
57

bangunan itu, sehingga mengakibatkan perubahan dalam pembebanan lantai


dan atap tersebut. (PPIUG 1983). Beban hidup dimasukkan pada perencanaan
karena bersifat permanen dan pada tiap – tiap fungsi bangunan memiliki nilai
yang berbeda-beda. Jika tidak dilakukan demikian maka akan menyebabkan
keruntuhan struktur bangunan atau menyebabkan dimensi-dimensi strukturnya
terlalu besar sehingan boros dari segi bahan,tenaga kerja,waktu, dan uang. Oleh
karena itu pemerintah memberikan peraturan pembebanan untuk beban hidup
pada tiap-tiap bangunan.
3. Beban Kombinasi
Beban kombinasi adalah mengabungkan beban–beban yang berpengaruh pada
bangunan. Pada keadaan tertentu saat menghitung beban kombinasi tiap-tiap
beban di kalikan dengan koefision. Menurut peraturan baja Indonesia, SNI 03 -
1729 – 2002 pasal 6.2.2 mengenai kombinasi pembebanan, dinyatakan bahwa
dalam perencanaan suatu struktur baja haruslah diperhatikan jenis-jenis
kombinasi pembebanan berikut ini:
a. 1,4 D
b. 1,2 D + 1,6 L + 0,5 ( La atau H )
c. 1,2 D + 1,6 ( La atau H ) + ( L . L atau 0,8 W )
d. 1,2 D + 1,3 W + L . L + 0,5 ( La atau H )
e. 1,2 D  1,0 E + L . L
f. 0,9 D  ( 1,3 W atau 1,0 E )
Dengan:
D : Dead load (beban mati) yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen
L : Life load (beban hidup) yang diakibatkan oleh penggunaan bangunan
La : Life load (beban hidup) yang bekerja di atap
H : Beban Hujan, tidak termasuk beban yang diakibatkan oleh genangan air
W : Wind load (beban angin)
E : Beban gempa
58

2.12.1 Pelat
Pelat/slab adalah elemen horisontal utama yang menyalurkan beban hidup
maupun beban mati kerangka pendukung vertikal dari suatu sistem pendukung.
(Edward G. Nawi, 1998 : 61). Terdapat dua jenis pelat yaitu pelat satu arah dan
pelat dua arah.
1. Pelat satu arah (one way slab)
Pelat satu arah adalah pelat yang didukung pada dua tepi yang berhadapan
sehingga lenturan timbul hanya dalam satu arah saja, yaitu pada arah yang
tegak lurus terhadap arah dukungan tepi. Apabila pelat didukung sepanjang
keempat sisinya dimana perbandingan sisi panjang terhadap sisi pendek yang
saling tegak lurus lebih besar dari tiga, pelat hanya dianggap bekerja sebagai
pelat satu arah dengan lenturan utama pada sisi yang lebih pendek.

Gambar 2.14 Lendutan Akibat Lentur Satu Arah


Menurut SK SNI T-15-1991-03 pasal 3.6.6 mengijinkan untuk menggunakan
koefisien momen yang dapat dilakukan dengan mudah. Penggunaannya
dikaitkan dengan beberapa ketentuan yakni:
a. Jumlah bentang paling sedikit harus 2 (dua)
b. Panjang bentang bersebelahan yang paling besar di bagian sebelah kiri dan
kanan tumpuan, tidak boleh 1,2 kali lipat lebih besar dari panjang bentang
bersebelahan yang paling pendek
c. Beban harus merupakan beban terbagi rata (distribusi)
d. Beban hidup harus tiga kali lebih kecil dari beban mati
e. Penggunaan koefisien momen untuk bentang dapat berdasarkan :
momen lapangan : bentang bersih Ln diantara tumpuan, dan momen
tumpuan : bentang bersih rata-rata Ln pada sebelah kiri dan kanan tumpuan.
59

Adapun langkah-langkah perhitungan untuk pelat 1(satu) arah yaitu sebagai


berikut:
a. Menentukan syarat-syarat batas dan panjang bentang
b. Menentukan tebal pelat lantai
c. Perhitungan pembebanan, yaitu beban mati, beban hidup yang besarnya
disesuaikan dengan fungsi bangunan (PPIUG 1983), dan beban berfaktor
(Wu = 1,2Wd + 1,6Wl)……………………………… (2.50)
d. Perhitungan statika (momen)
e. Perhitungan tulangan yaitu dengan cara sebagai berikut:
a) Mentukan tebal pelat (h), tebal penutup beton (p), diameter tulangan
utama (D) dan tinggi efektif (d)
b) Menghitung batasan ratio tulangan
1.4
𝜌𝑚𝑖𝑛 = ………………………………………………(2.51)
𝑓𝑦

𝑓𝑐′ 600
𝜌𝑏 = 0,85 . 𝛽 . 𝑓𝑦
. 600 + 𝑓 …………………………… (2.52)
𝑦

𝜌𝑚𝑎𝑥 = 0,75 .𝜌𝑏 ……………………………………….. (2.53)

Syarat 𝜌min<𝜌<𝜌max
c) Menghitung ratio tulangan
𝑀𝑢
Rn = 𝜙 . ……………………………………… (2.54)
𝑏. 𝑑
𝑓𝑦
m= …………………………………………(2.55)
𝜙 . 𝑓𝑐′

1 2 . 𝑚 . 𝑅𝑛
𝜌perlu = 𝑚 . (1 − √1 − )…………………(2.56)
𝑓𝑦

d) Menghitung luas tulangan


Luas tulangan pokok :
As perlu = . b . d………………………………… (2.57)
Luas tulangan bagi :
As’ perlu = 2% As………………………………. (2.58)
60

2. Pelat dua arah (two way slab)


Pelat yang angka perbandingannya antar bentang yang panjang dengan bentang
yang pendek kurang dari sama dengan 3. (Istimawan;1993)
Ly/lx ≤ 3
dimana :ly = panjang bentang terpanjang
lx = panjang bentang terpendek
Pelat dua arah melentur pada dua arah yang terjadi akibat beban yang bekerja
diatasnya. Arah lenturan terjadi searah sumbu x dan sumbu y.

Gambar 2.15 Lendutan akibat lentur dua arah


Pada bangunan gedung pelat memiliki 2 jenis yakni pelat lantai dan pelat
konsol yang membedakan kuduanya adalah perletakanya dimana pelat lantai
diletakan di dalam gedung sedangkan pelat konsol ada pada bagian gedung
yang menjolong keluar. Langkah–langkah perencanaan pelat / slab:
a. Menentukan tebal pelat / slab
Tebal pelat dapat di hitung dengan mengunakan rumus SK-SNI 2002 ayat
11 yaitu sebagai berikut:
Tebal pelat beton minimum:
𝑖𝑛(0,8+𝑓𝑦/1500
h min ≥ ………………………………. (2.59)
36+9

Tebal pelat beton maksimum


𝑖𝑛(0,8+𝑓𝑦/1500
hmax ≥ ………………………………. (2.60)
36+9

Dimana
h = tebal pelat
ln = bentang terpanjang
fy = mutu tulangan yang digunakan
β = koefisien (ly/lx)
61

b. Menghitung pembebanan
Pembebanan didapatkan dari Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk
Gedung (PPIUG) 1983 yakni meliputi beban mati, beban hidup, beban
angin, dan beban berfaktor.
c. Menghitung momen
Perhitungan momen pada pelat tiap jenis tumpuanya berbeda dimana
koefisienya di hitung dengan mencari perbandingan ly dan lx dan di
masukan sesuai jenis tumpuanya dan perbandingannya tersebut. Jika
perbandingan ly dan lx tidak ada pada tabel maka di cari dengan di
ekuivalenkan.
Tabel 2.21 perhitungan momen pada pelat

Dimana
Mly = momen lapangan arah y
Mlx = momen lapangan arah x
Mty = momen tumpuan arah y
Mtx= momen tumpuan arah x
62

d. Menghitung tinggi efektif pelat

D1 D2 dy dx
h

Gambar 2.16 Tinggi Efektif Pelat


dx = h - p – 0,5 D1………………………………. (2.61)
dy = h – p – D1 -0,5 D2 ………………………… (2.62)
Dimana:
D1 = diameter tulangan 1
D2 = diameter tulangan 2
P = tebal selimut beton
h = tebal pelat
e. Menentukan rasio tulangan
Perhitungan rasio tulangan sesuai dengan SK-SNI 2002 dengan
mengunakan rumus berikut:
1.4
ρ min = 𝑓𝑦 ………………………………………….. (2.63)
𝑓𝑐′ 600
ρ max = 0,75 (0,85 x  x (600+𝑓𝑦)) ………………(2.64)
𝑦

dimana
fy = mutu beton bertulang
 = kostanta yang tergantung dari mutu beton
Fc’ = kuat tekan beton
f. Menghitung tulangan pelat
Untuk menentukan tulangan pada pelat lantai terlebih dahulu ada berbagai
hal yang dihitung diantranya :
(a) Menentukan momen ultimate yakni momen terbesar di lapangan dan di
tumpuan
(b) Menghitung rasio tulangan perlu dengan rumus seperti berikut :
63

1 2𝑚 .𝑅𝑛
perlu𝑚 (1 − √1 − ) ……………………………………(2.65)
𝑓𝑦

Dengan nilai
𝑓𝑦
m = 0.85 .𝑓𝑐′………………………………………….. ……….. (2.66)
𝑚𝑢
Rn = ∅.𝑏.𝑑𝑥²…………………………………………………… (2.67)

Dimana
Mu = momen ultimate
Fy = mutu beton bertulang
Ǿ = koefisien 0,8
b = panjang 1 meter
dx = tinggi efektif pelat
fc’ = kuat tekan beton
ρ perlu di temukan jika hasilnya lebih besar dari pada ρ min maka
digunakan ρ perlu, jika hasilnya lebih kecil dari ρ min maka digunakan
ρ min
(c) Menghitung luas tulangan perlu dengan mengunakan rumus:
As perlu = ρ min/perlu . b . dx……………………………… (2.68)
Dimana
b = panjang 1 meter
dx = tinggi efektif pelat
Untuk menghitung tulangan bagi menguanakan rumus berikut:
As’ = 0,002 . b . h……………………………… …(2.69)
Dimana
As’ = luas tulangan
b = jarak 1 meter
h = tebal pelat
(d) Menentukan tulangan dan diameter pelat dengan mengunakan tabel
tulangan
64

2.12.2 Balok
Balok adalah elemen struktur yang menyalurkan beban-beban tributary
dari slap lantai ke kolom penyangga yang vertikal. Pada umumnya elemen balok
dicor secara monolid dengan slap, dan secara struktur di tulangi dibagian bawah,
atau di bagian atas dan bawah. Karena balok dicor secara monolit dengan slap,
maka elemen tersebut membentuk penampang balok T untuk tumpuan dalam dan
balok L untuk tumpuan tepi (Edward G. Nawi, 1998:61) Dalam merencanakan
balok untuk struktur bangunan dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1. Melakukan peninjauan tehadap portal
Dengan diambil salah satu portal yang memdapatkan pembebanan paling besar
dapat mempercepat perhitungan. Karena bentang yang lainya bisa disamakan.
Portal yang ditinjau harus memabawa pelat yang paling besar.
2. Menghitung dimensi balok
Dapat dilakukan dengan cara mengasumsikan dimensi balok.
3. Menghitung beban ekuivalen
Karena balok yang berfungsi menahan beban dari pelat maka balok menerima
beban dari pelat pada 2 bentuk yakni Beban merata segitiga dan beban merata
trapezium sehinga sehingga keduanya harus dirubah menjadi beban merata
yang sejajar Dengan mengunakan rumus persamaan:
a. Untuk beban merata segitiga

Gambar 2.17 Pembebanan Amplop Segi Tiga


Merata segitiga = merata segi empat
Q = ½ * l * t……………………………… (2.70)
R1= R2 = ½ Q…………………………………. (2.71)
65

Merata segi empat = 1/8 x heq x (l)2…………(2.72)


Dimana:
Q = reaksi total
R1 = reaksi pada titik 1
R2 = reaksi pada titik 2
heq = tinggi ekuivalen
l = lebar
h = tinggi
b. Untuk beban merata trapezium

Gambar 2.18 Pembebanan Amplop Trapesium


Merata segi empat= 1/8 x heq x (l)2……………………………… (2.73)
Merata trapezium = R1(l1+l2) - Q1(1/3(L1)+ l2) – Q2 (l2/2) …… (2.74)
Merata trapesium = Merata segi empat
Dimana:
Q = reaksi total
R1 = reaksi pada titik 1
R2 = reaksi pada titik 2
heq = tinggi ekuivalen
l = lebar
h = tinggi
4. Menghitung pembebanan
Untuk beban hidup dimasukan beban dari peraturan pembebanan Indonesia
yang ditentukan sesuai dengan fungsi bangunan dikalikan dengan tinggi
66

ekuivalen dan dikalikan sisinya. Beban yang sudah di dapatkan semuanya


dikombinasikan dengan dikali koefisien.
5. Menghitung statika
Perhitungan statika mengunakan perhitungan manual atau dengan bantuan
software StaadPro dengan memasukan data-data.
6. Menghitung tulangan
Untuk menentukan banyak dan diameter tulangan terlebih dahulu dicari luas
tulangan dengan mengunakan rumus:
a) Perhitungan tulangan utama
As perlu = ρmin/perlu x b x d……………………………… (2.75)
Dengan
1.4
ρ min = 𝑓𝑦 ……………………………………………… (2.76)

1 2𝑚 .𝑅𝑛
 perlu𝑚 (1 − √1 − ) ………………………………(2.77)
𝑓𝑦

𝑓𝑦
m = 0.85 .𝑓𝑐′………………………………………………. (2.78)
𝑚𝑢
Rn = ∅.𝑏.𝑑𝑥²……………………………… ………………. (2.79)

Untuk nilai rasio tulangan yang diambil dilakukan berdasarkan


pertimbangan antara nilai ρ min atau ρ perlu dipilih yang paling besar jika
didapatkan ρ min  ρ perlu maka digunaka ρ min dan jika ρ min ≤ ρ perlu
maka digunakan ρ perlu.
b) Perhitungan tulangan sengkang
Perhitungan tulangan sengkang dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
(a) Mengambil nilai maxsimum tulangan geser
(b) Menghitung gaya geser
Gaya geser nominal
Vn = Vu / ϕ………………………………………. (2.80)
Gaya geser yang diterima
1
Vc  .b.d . fc '. …………………………………. (2.81)
6
67

Tentukan apakah dibutuhkan tulangan geser atau tidak.


Vu < 0,5 ɸVc = maka tidak perlu tulangan geser.Sehingga digunakan
sengkang praktis. Bila jarak sengkang tidak ditentukan oleh besarnya gaya
lintang, maka dianjurkan agar jarak antara sengkang yang terdiri dari batang
polos tidak lebih dari 250 mm. Sedangkan sengkang yang dibuat dari batang
deform jaraknya tidak boleh lebih dari 300 mm. (Dasar-dasar Perencanaan
Beton Bertulang, Gideon Kusuma, hal 107).
Vu > 0,5 ɸVc = maka perlu tulangan geser.
Jika memerlukan tulangan geser maka langkah selanjutnya yaitu dengan
rumus:
Vs = Vn – Vc……………………………… ……………….. (2.82)
Kemudian menentukan luas tulangan dengan mengasumsi tulangan sengkang
yang digunakan
A = ¼ x π x d2……………………………… ……………… (2.83)
Karena kanan- kiri
Av = 2 x A…………………………………………………... (2.84)
Menentukan jarak sengkang/spasi yang diperlukan.
𝐴𝑣 .𝑓𝑦 .𝑑
S= …………………………………………….... (2.85)
𝑉𝑠
(Buku Ajar Struktur Beton I, Nawir Rasyidi,Ir.Sugiharti)

2.12.3 Kolom
Menurut Edward G. Nawi dalam bukunya (1998), kolom adalah elemen
vertikal yang memikul sistem lantai structural. Elemen ini merupakan elemen
yang mengalami struktur tekan dan pada umumnya disertai dengan momen lentur.
Kolom merupakan salah satu unsure terpenting dalam peninjauan keamanan
struktur.kolom juga memikul beban dari balok Kolom berfungsi meneruskan
beban-beban dari elevasi atasnya ke elevasi bawahnya dampai kepondasi dan
disalurkan ke tanah pendukungnya. Kolompun dibagi menjadi beberapa menurut
bentuknya jenis di antaranya:
68

1. Kolom segi empat atau bujursangkar dengan tulangan memanjang dan


sengkang ikat.
2. Kolom bundar dengan tulangan memanjang dan tulangan lateral beupa
sengkang atau spiral.
3. Kolom komposit yang terdiri dari atas beton profil baja structural di
dalamnya.profil baja ini biasanya diletakan di dalam selubung tulangan.
Sedangkan apabila ditinjau dari segi ukuran, kolom dibagi menjadi 3, yaitu
sebagai berikut:
1. Kolom Pedestal
Jika ketinggian dari kolom tekan tegak kurang dari tiga kali dimensi lateral
terkecil, kolom tersebut dianggap sebagai pedestal/blok tekan pendek. Kolom
pedestal dapat didesain tanpa tulangan atau beton murni dengan tegangan tekan
desain maksimum sama dengan 0,85.fc.
2. Kolom Pendek
Kolom beton bertulang yang kehancurannya diawali dengan keruntuhan
material. Beban yang dapat dipikul ditentukan oleh dimensi penampang dan
kekuatan material penyusunnya. Kontrol sesuai SNI 03-2847-2002, Pasal
12.12(2):
𝑘𝑙𝑢 𝑚1
≤ 34 -12 (𝑚2) …………………………………………….... (2.86)
𝑟
𝑘𝑙𝑢
≤ 22…………………………………………….................... (2.87)
𝑟

Dimana:
k = faktor tekuk
Lu = panjang tak tertumpu
r = jari-jari girasi; ditetapkan 0,30.h dimana h ukuran dimensi kolom persegi
pada arah bekerjanya momen; atau 0,25.D dimana D adalah diameter kolom
bulat
3. Kolom panjang (Kolom langsing)
Dengan bertambahnya rasio kelangsingan, deformasi lentur akan bertambah
demikian juga dengan momen sekunder yang dihasilkan. Jika momen ini
69

demikian besar sehingga dapat mengurangi kapasitas beban aksial kolom


secara signifikan, kolom ini dinamakan kolom panjang atau langsing.
Kontrol sesuai SNI 03-2847-2002, Pasal 12.13(2):
𝑘𝑙𝑢
≤ 22…………………………………………….... (2.88)
𝑟

Adapun kolom apabila ditinjau dari beban yang bekerja terhadap penampang
melintangnya yakni sebagai berikut:
1. Kolom yang mengalami beban sentris
Kolom yang mengalami beban sentris berarti tidak mengalami momen lentur.
2. Kolom dengan beban eksentris
Kolom dengan beban eksentris selain mengalami beban aksial juga bekerja
momen lentur. Momen ini dapat dikonversikan menjadi satu beban P dengan
eksentrisitas e.

2.13 Peraturan Perencanaan Lingkungan Perumahan


Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan SNI 03-1733-
2004 dijelaskan bahwa lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1. Kriteria keamanan
Mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan merupakan lokasi lindung,
olahan pertanian, hutan produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah
bebas bangunan pada area bandara, daerah dibawah jaringan listrik tegangan
tinggi.
2. Kriteria kesehatan
Mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan daerah yang mempunyai
pencemaran udara di atas ambang batas, pencemaran air permukaan dan air
tanah dalam.
3. Kriteria kenyamanan
Kemudahan aksesbilitas, kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal,
langsung/tidak langsung), kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana
lingkungan tersedia).
70

4. Kriteria keindahan/keserasian/keteraturan
Dicapai dengan penghijauan,mempertahankan karakteristik topografi dan
lingkungan yang ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh
rawa atau danau/sungai dan sebagainya.
5. Kriteria fleksibiltas
Dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan
fisik/pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik
lingkungan dan keterpaduan prasarana.
6. Kriteria keterjangkauan jarak,
Dicapai dengan mempertimbangkan jarak pencapaian ideal kemampuan
orang berjalan kaki sebagai pengguna lingkungan terhadap penempatan
sarana, prasarana dan utilitas lingkungan.
7. Kriteria lingkungan berjati diri
Dicapai dengan mempertimbangkan keterkaitan dengan karakter sosial
budaya masyarakat setempat, terutama aspek kontekstual terhadap
lingkungan tradisional/lokal setempat.
Peraturan dengan 60% untuk hunian atau rumah dan 40% untuk fasilitas
umum dan fasilitas sosial yaitu yang dimaksudkan adalah 25% digunakan untuk
akses jalan dan 15% digunakan untuk fasilitas sosial meliputi seperti taman,
sekolah, tempat peribadataan, dan lain lain sisanya 10% dipergunakan untuk
saluran drainase.

2.14 Rencana Anggaran Biaya


Tahap-tahap yang sebaiknya dilakukan untuk menyusun anggaran biaya
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan pengumpulan data tentang jenis, harga serta kemampuan pasar
menyediakan bahan/material konstruksi secara bertahap.
2. Melakukan pengumpulan data tentang upah pekerja yang berlaku di daerah
lokasi proyek dan upah pada umumnya jika pekerja didatangkan dari luar daerah
lokasi proyek.
71

3. Melakukan perhitungan analisis bahan dan upah dengan menggunakan analisis


yang diyakini baik oleh si pembuat anggaran. Dalam hal ini digunakan
perhitungan berdasarkan analisis SNI.

2.14.1 Volume Pekerjaan


Yang dimaksud volume suatu pekerjaan adalah menghitung jumlah
banyaknya volume pekerjaan dalam suatu satuan. Volume dihitung berdasarkan
kepada gambar bestek. Volume juga disebut sebagai kubikasi pekerjaan. Jadi,
volume (kubikasi) suatu pekerjaan, bukanlah merupakan volume (isi
sesungguhnya) melainkan jumlah volume pekerjaan menurut satuannya. (Ibrahim,
1993).

2.14.2 Harga Satuan Pekerjaan


Harga satuan pekerjaan merupakan harga yang harus dibayar untuk
menyelesaikan satu jenis pekerjaan tertentu, meliputi harga material, upah tenaga
kerja dan sewa alat. Analisis harga satuan pekerjaan ini dapat diambil dari analisis
standart yang digunakan oleh Dinas Pekerjaan Umum atau menyusun sendiri
berdasarkan pengalaman.
Sebelum melakukan analisis HSP, terlebih dahulu yang harus dilakukan
adalah mencari dan menyusun daftar harga bahan dan upah tenaga kerja yang
berlaku pada saat itu. Setelah itu, estimator harus memeriksa ulang cara
membandingkan antara kelompok material dan tenaga kerja, untuk melihat apakah
keseimbangan komposisinya sudah benar.
Rumus harga satuan pekerjaan (menurut BOW) :
HSP = ∑ (Koefisien x Harga satuan pasar) ........................................... (2.89)
Keterangan :
Koefisien = angka pengali
Harga satuan pasar = harga yang berlaku pada saat itu
72

2.14.3 Rekapitulasi Analisis Biaya


Setelah mendapat nilai harga suatu pekerjaan dan volume masing –masing
pekerjaan, kita dapat menghitung biaya setiap item pekerjaan. Setelah
mendapatkan biaya semua pekerjaan, maka hasilnya akan direkap dalam suatu
tabel dan dijumlah seluruhnya, maka akan didapatkan nilai real bangunan atau
Real Of Cost. (Bachtiar, 1993)

Anda mungkin juga menyukai