Anda di halaman 1dari 16

Selasa, 19 November 2013 | 09:37 WIB

Kicauan Lengkap SBY di Twitter Soal Penyadapan

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bereaksi keras


terhadap kabar penyadapan yang diduga dilakukan oleh intelijen Australia. Melalui akun
Twitter @SBYudhoyono, SBY mengungkapkan perasaan kesal, merasa diremehkan, serta
menginstruksikan tindakan tegas pada jajaran menterinya.

Celotehan pertama SBY diunggah pada 19 November 2013, pukul 00.04. Dalam twit
pertama, SBY mengatakan Indonesia sudah melayangkan protes keras atas penyadapan oleh
Australia. "Sejak ada informasi penyadapan AS & Australia terhadap banyak negara,
termasuk Indonesia, kita sudah protes keras," kata dia sembari mencantumkan identitas
*SBY*.

Selanjutnya, SBY memerintahkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk melakukan
diplomasi yang efektif sambil meminta penjelasan dari Australia. SBY pun memerintahkan
Marty untuk memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Australia, Nadjib Riphat Kesoema.
"Indonesia juga minta Australia berikan jawaban yg resmi & bisa dipahami masyarakat luas
atas penyadapan terhadap Indonesia," demikian petikan twit SBY.

Pada dinihari tersebut, SBY mengunggah tujuh celotehan tentang penyadapan hingga pukul
12.14, atau dalam waktu 10 menit. Pagi harinya, pukul 09.09, SBY kembali mengungkapkan
pernyataan yang sama, tetapi dalam bahasa Inggris.

Berikut petikan celoteh SBY yang diunggah di Twitter pada Selasa dinihari.

- Sejak ada informasi penyadapan AS & Australia terhadap banyak negara, termasuk
Indonesia, kita sudah protes keras. *SBY*
- Menlu & jajaran pemerintah juga lakukan langkah diplomasi yang efektif, sambil meminta
penjelasan & klarifikasi dari AS & Australia. *SBY*
- Hari ini, saya instruksikan Menlu Marty Natalegawa utk memanggil ke Jakarta Dubes RI
utk Australia. Ini langkah diplomasi yg tegas. *SBY*
- Indonesia juga minta Australia berikan jawaban yg resmi & bisa dipahami masyarakat luas
atas penyadapan terhadap Indonesia. *SBY*
- Kita juga akan meninjau kembali sejumlah agenda kerjasama bilateral, akibat perlakuan
Australia yang menyakitkan itu. *SBY*
- Tindakan AS & Australia sangat mencederai kemitraan strategis dgn Indonesia, sesama
negara demokrasi. *SBY*
- Saya juga menyayangkan pernyataan PM Australia yang menganggap remeh penyadapan
terhadap Indonesia, tanpa rasa bersalah. *SBY*
Penyadapan: Bukti Tidak Ada "Zero Enemies"
Oleh Satya Dewangga
Posted: 22/11/2013 16:53

Citizen6, Jakarta: Mantan kontraktor Agensi Keamanan Nasional (National Security


Agency/NSA) Amerika Serikat, Edward Snowden kembali membuka aib Amerika Serikat
(AS) dan Australia.

Sebuah media massa di Australia melansir, Presiden Susilo BambangY udhoyono (SBY), Ibu
Negara Ani Yudhoyono, dan sejumlah pejabat lain menjadi target penyadapan. Hal itu tentu
saja menimbulkan kemarahan bagi publik, bahkan pemerintah menarik pulang Duta Besar RI
untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema dari kantornya di Canberra.
Namun, Perdana Menteri (PM) Tony Abbot justru menolak meminta maaf dan hanya
menyampaikan penyesalannya mengenai kabar tersebut. Menurut Kepala Badan Intelijen
Nasional (BIN), Marciano Norman menyesalkan kejadian tersebut hingga mengganggu
hubungan kedua negara yang tengah membaik. Dia pun meminta kepada mitranya di
Australia untuk memperbaiki dan mengevaluasi kegiatan yang mereka lakukan terhadap
pemerintah Indonesia.
"Mereka memperbaiki ke depan, agar hal-hal seperti ini yang sangat sensitif, dan ini tentunya
sangat berdampak pada kewibawaan NKRI yang tidak satu pun warga negara kita
diperlakukan seperti itu," tegas Marciano di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu 20 November
2013.

Marciano menjelaskan, beberapa penyadapan yang dilakukan saat itu memang dilakukan
secara terbuka dalam kurun waktu 2007 sampai 2009 hingga muncul kepermukaan. Dari
informasi yang diterima BIN, tercium aroma pelanggaran yang dilakukan pihak intelijen
Australia saat menjalankan tugasnya.
"Tentunya dalam melakukan hal-hal seperti itu harus ikuti undang-undang yang berlaku,
undang-undang gitu, bahwa kita bisa melakukan penyadapan terhadap potensi-potensi yang
akan mengganggu stabilitas keamanan negara," tandas purnawirawan Letnan Jenderal TNI
AD ini.

Sementara itu, Presiden SBY telah memberikan keteranga pers di Istana Presiden, berisi
protes keras terhadap tingkah laku Australia terhadap negara kawan yang bertetangga.
Presiden SBY juga memerintahkan menghentikan semua kerjasama, terutama pertukaran
informasi dan intelijena ntara RI-Australia, sampai Australia memperbaiki perilakunya dalam
hidup bertetangga dan meminta maaf kepada Indonesia.

Menurut penulis, pihak institusi intelijen Indonesia sebaiknya juga menghentikan kerjasama
beragam pelatihan dengan lembaga intelijen di Australia. Karena kerjasama-kerjasama seperti
ini adalah modus operandi intelijen untuk mengetahui mutu SDM dan menyerap informasi
dari kalangan pesertanya, melalui tugas pengumpulan informasi ataupun penganalisaan atas
sebuah kasus. Sehingga dapat terpotret kemampuan analisa para institusi intelijen di
Indonesia. Pemerintah RI telah memerintahkan Dubes RI di Australia kembali ke Jakarta
membawa koper pakaiannya, bukan sekedar tas kerjanya.

Demikian pula TNI telah memerintahkan semua anggota TNI yang sedang berlatih di Perth
Australia kembali ke Indonesia, termasuk beberapa pesawat TNI AU yang sedang melakukan
program kerjasama AngkatanBersenjata antara TNI dengan AngkatanBersenjata Australia.
Bahkan, kalau perlu kerjasama pertukaran perwira antara TNI dengan Angkatan Bersenjata
Australia dihentikan, sebelum ada penjelasan komprehensif, integral, dan factual terkait
penyadapan yang dilakukan Australia dan Amerika Serikat terhadap Indonesia seperti
dikoarkan Snowden.
Zero Enemies dan MIDLIFES
Dalam situasi sekarang ini, ada gium yang menyatakan "zero enemies, thousand friends"
sebenarnya sudah usang dan hanyalah ada gium yang ada di langit, tidak mungkin dapat
diterapkan dalam berbagai hubungan internasional antar sesama bangsa, bahkan di negara
manapun juga, intelijen selalu bersikap tidak ada "zero enemies" tersebut, yang ada adalah
"kepentingan".

Kasus penyadapan yang dikemukakan Edward Snowden dan disebarluaskan oleh The
Manchester Guardian atau lebih dikenal dengan harian The Guardian di Inggris serta Radio
Australia Broadcasting Company (ABC) Australia adalah berita yang usang karena
kejadiannya terjadi pada 2007 dan 2009. Sebagai sebuah media massa yang sebenarnya
cukup kredibel, The Guardian tampaknya akanmenyesal telah mengeluarkan pemberitaan
bombastis namun usang tersebut. Karena secara tidak langsung mereka sudah melanggar
kode etik wartawan yang kemungkinan berlaku secara global, yaitu "fairness, accountability,
reality, cover both sides anf fact not rumors".

Oleh karenanya, penulis sangat yakin The Guardian akan semakin terpuruk, karena saingan
mereka yaitu Harian Daily Telegraph tidak mau menyiarkan informasi yang sudah usang
tersebut. Pembuatan berita ini oleh The Guardian juga menunjukkan kemampuan analisa
redaktur-redaktur media ini patut dipertanyakan terutama dalam memahami fenomena
"hubungan internasional dan intelijen".

Sementara itu, siaran Radio ABC Australia juga hampir sama dengan The Guardian. Namun
kita memakluminya karena radio ini dibiayai oleh Pemerintah Australia. Sehingga langsung
atau tidak langsung memang menyuarakan propaganda, agitasi, dan lain-lain yang
kemungkinan besar banyak wartawan ataupun redaktur di radio ini adalah anggota intelijen
Australia lainnya. Karena sudah bukan rahasia umum lagi, insan intelijen banyak yang
menggunakan cover wartawan dan lain-lain dalam menjalankan tugasnya. Kesalahan terbesar
bangsa Indonesia pada umumnya adalah mereka selalu percaya dengan bule! Siaran Radio
ABC ini juga perlu diantisipasi karena sangat terdengar jelas di wilayah-wilayah Indonesia,
seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Ambon.

Dalam teori terkait hubungan internasional dan intelijen, dikenal apa yang disebut dengan
Military, Information, Demografi, Legal, Intelijen, Finance, Ekonomi dan Sosial
(MIDLIFES) sebagai "pintu masuk" infiltrasi asing dari suatu negara ke negara lain. Militer
misalnya, dapat mudah dimasuki anasir asing melalui pikiran ataupun emosi, sikap, tingkah
laku, opini, dan motivasi (ESTOM) melalui berbagai bentuk kerjasama, mulai dari tukar-
menukar perwira dan lain-lain. Karena acara tersebut "tindakan gratis" yang itu sama dengan
praktik hubungan internasional yaitu "no free launch atau tidak ada makan siang gratis".
Maraknya tawaran tukar-menukar perwira, tukar menukar pelajar, budaya ataupun kerjasama
pelatihan teknis harus diterjemahkan sebagai modus operandi lawan untuk mengetahui
ESTOM dari aparat negara ataupun generasi muda berpotensial yang penulis angat
mempercayai sudah banyak masuk dalam radar "talent scouting" pihak asing. Sehingga
ditawari berbagai jenis kerjasama, apalagi orang asing kemungkinan sudah memahami betul
gejala sosial budaya di Indonesia yang sudah mulai berubah ke arah individualis, hedonis,
kehidupan jet set, kleptomania ataupun glamour, sehingga penggalangan asing kepada stake
holder Indonesia sangat mudah dilakukan. Output penggalangan asing tersebut tidak dapat
dilihat dalam waktu pendek, namun akan terlihat beberapa tahun ke depan. Salah satu output
yang patut diwaspadai dari penggalangan asing adalah "hilangnya nasionalisme dan jati diri
bangsa". (Satya Dewangga/mar)
Penyadapan Telepon

Penyadapan AS dan Australia Mencederai


Hubungan
Jumat, 15 November 2013, 06:00 WIB

Puluhan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia menggelar aksi demonstrasi di depan Kedubes AS,
Jakarta, Jumat (1/11). (Republika/Yasin Habibi)
REPUBLIKA.CO.ID, Kali kesekian, sikap Amerika Serikat (AS) dan Australia membuat
Indonesia seakan kehilangan martabat bangsa. Kedua negara diduga melakukan penyadapan
komunikasi terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sejumlah pemimpin
nasional, salah satunya mantan presiden BJ Habibie.

Disamping itu, Indonesia disebut menjadi salah satu dari 90 pos tempat kedutaan AS dan
Australia memiliki fasilitas penyadapan. Informasi itu berdasarkan kesaksian whistleblower
Edward Snowden yang kemudian dikutip Sydney Herald Tribune dan beberapa media
lainnya. Edward Snowden adalah mantan pekerja kontraktor NSA (Badan Keamanan
Nasional AS).

Koran tersebut memberitakan peta rahasia yang berisi 90 daftar fasilitas pengintaian di
seluruh dunia. Di wilayah Asia, menurut koran tersebut, fasilitas penyadapan itu, antara lain,
terdapat di Kedubes AS di Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Yangoon.

Sikap kedua negara sontak membuat marah sejumlah pihak, seperti MPR, DPR, serta
sejumlah politisi. Sebaliknya, Presiden SBY justru tidak menunjukkan sikap gusar atau
marah kepada kedua negara tersebut. 
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari mengatakan Indonesia berhak marah dan kecewa
dengan pratik penyadapan yang dilakukan AS terhadap sejumlah pejabat negara di Indonesia.
"Jika informasi itu benar sungguh kita berhak kecewa dan marah," tegasnya. Aksi
penyadapan itu dinilai merupakan tindakan tak terpuji AS dalam bersahabat.
Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang menambahkan aksi penyadapan tersebut sangat
mengkhawatirkan. Sebab, penyadapan bukan hanya dilakukan terhadap presiden dan wakil
presiden, tapi juga politisi, menteri, dan para ketua umum partai, termasuk pimpinan DPR.
"Menurut pandangan saya, mereka cukup 'telanjang' dan mudah disadap. Apakah mereka
punya pengamanan yang cukup sehingga tidak disadap," ujarnya.

Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Jafar mengatakan penyadapan tersebut
merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan Indonesia. Penyadapan itu bagian dari penjajahan
bidang teknologi informasi Indonesia.

Indonesia saat ini dinilai ibarat rumah kaca. Segala hal yang dilakukan dan terjadi di
Indonesia bisa diawasi lewat aksi-aksi intelijen. Tragisnya, kasus penyadapan ini
menunjukkan institusi intelijen negara tidak berjalan maksimal. Padahal, seharusnya Badan
Intelijen Negara (BIN), Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), dan Kementerian Luar Negeri
(Kemenlu) bisa mengantisipasi penyadapan itu.

Pemerintah, khususnya Presiden SBY, diminta segera melakukan tindakan-tindakan


pengamanan. SBY harus membangun sistem yang bisa menangkal penyadapan. "Kedaulatan
negara itu tidak hanya lewat fisik, tapi kedaulatan negara itu harus dijaga juga melalui
teknologi komunikasi," katanya.

Ketua DPR RI Marzuki Alie meminta Pemerintah Indonesia memprotes keras AS dan
Australia terkait penyadapan. Tindakan keras terhadap AS dan Australia penting demi
menegakkan kedaulatan Indonesia. “Sebagai negara yang berdaulat, harusnya kita punya
sikap dengan apa yang dilakukan intelijen luar negara. Maka, kita harus lebih tegas, lebih
keras lagi,” ujar Marzuki.

Namun, sebelumnya, Marzuki mengatakan, pemerintah harus melakukan klarifikasi terlebih


dahulu. Harus dibuktikan mengenai siapa yang melakukan penyadapan. Apakah penyadapan
itu menimbulkan dampak sistemis atau tidak. Selain meminta pemerintah memprotes AS dan
Australia, DPR pun mendesak kedua negara itu meminta maaf atas insiden penyadapan
terhadap Indonesia.

Pengamat hubungan internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Ganewati Wulandari mengatakan, dugaan penyadapan yang dilakukan kedua negara itu
menjadi bukti tidak ada teman abadi dalam hubungan internasional. Keduanya diduga
melakukan pencurian secara diam-diam terhadap data-data milik Indonesia, meski negara ini
memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan kedua negara tersebut.

Menurut dia, karena sifatnya yang sudah masif, maka isu penyadapan sekarang ini menjadi
isu internasional. “Ini mengakibatkan bahwa dalam konteks hubungan internasional menjadi
goncangan. Karena, ada persoalan trust dan confident building yang rusak,” ujarnya.

Sejumlah ormas yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) juga
mengutuk keras isu penyadapan. Penyadapan dituding menghina martabat Indonesia. "Negara
mana pun yang lakukan penyadapan itu jelas menghina martabat Indonesia sebagai sebuah
bangsa," kata Ketua Umum LPOI Said Aqil Siroj, Kamis (7/11).

Dia berharap pemerintah bersikap lebih tegas. Bila perlu, pemerintah bisa memanggil dubes
terkait. "Pemerintah jangan sampai diam dan kurang bertindak tegas," ujarnya.
Ketika ditanyakan apakah perlu memutus hubungan diplomatik, Said berpendapat hal
tersebut bisa saja dilakukan. "Kalau memang keterlaluan, ajukan saja pemutusan hubungan
diplomatik, supaya bangsa kita enggak dianggap penakut," tegas Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama ini.

Sikap kecewa dan protes mereka justru berbanding terbalik dengan sikap resmi pemerintah
maupun Presiden SBY. Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku
Faizasyah menjelaskan, ada perbedaan antara isu penyadapan Kanselir Jerman Angela
Merkel dan SBY. Menurut Faizasyah, Merkel dikabarkan disadap langsung melalui telepon
selulernya.

Saat itu, Angela Merkel marah besar saat mengetahui kabar bahwa dirinya disadap pihak AS.
Berbeda dengan Merkel, Presiden SBY justru diam menanggapi isu penyadapan yang juga
menimpa dirinya. SBY tak bereaksi sekeras Merkel, lanjut Teuku, karena isu penyadapan
terhadap SBY muncul karena informasi tentang adanya perangkat alat sadap di kantor
Kedutaan Besar AS di Jakarta.

"Beberapa kepala negara memang bereaksi karena alat komunikasinya disadap, termasuk
Merkel. Jadi, privacy mereka terusik. Kalau untuk Indonesia, diduga ada alat penyadapan di
kantor perwakilan AS dan Australia," kata Faizasyah, Jakarta, Sabtu (9/11). Faiz menolak
jika SBY dikatakan diam terkait isu penyadapan itu. Menurutnya, pernyataan keras dari
Menlu Marty Natalegawa justru berdasarkan instruksi dari Presiden SBY.

Menanggapi tudingan Indonesia bersikap lembek atas kasus penyadapan ini, Menteri Luar
Negeri Indonesia Marty Natalegawa membantahnya. "Tak ada yang lembek dalam
menyatakan kita menolak. Tak ada yang lembek dalam menyatakan protes keras. Kami akan
mengkaji ulang pertukaran informasi antara kedua negara," kata Menlu Marty Natalegawa
setelah menutup Bali Democracy Forum VI di Nusa Dua, Bali.

Istilah "kaji ulang" penuh dengan makna dan arti dalam diplomasi. Kaji ulang adalah
melakukan proses secara terus-menerus hingga ada titik penyelesaian. "Masalah rasa saling
percaya di antara kedua negara juga harus diperbaiki dan dikembalikan," kata Marty.

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengaku sulit untuk membuktikan penyadapan.


Menurutnya, penyadapan bisa dibuktikan melalui dua sumber. "Dari intelijen dalam negeri
dan pengakuan negara penyadap," kata Purnomo seusai menerima kunjungan Menhan
Australia David Johnston di kantor Kemenhan, Jakarta, Jumat (8/11).

Pernyataan Menteri Pertahanan Australia David Johnston belum bisa menjawab pertanyaan
Indonesia. "Isu penyadapan termasuk makro dan menjadi urusan Menteri Luar Negeri
Australia," kata Purnomo, menirukan jawaban David Johnston. Menurut Menhan Australia,
isu penyadapan tersebut telah dibahas pada level yang lebih tinggi oleh Menlu Indonesia dan
Menlu Australia.

Meski Indonesia marah karena kasus penyadapan itu, menurut Guru Besar FH UI
Hikmahanto Juwana, pemerintah juga berhak marah, tidak perlu ditunjukkan dengan
memutus hubungan diplomatik kedua negara tersebut. Secara diplomatik, ujar Hikmahanto,
pemerintah dapat melakukan pengusiran (persona non grata) terhadap sejumlah diplomat AS
dan Australia.
Sejumlah pembaca Republika memberikan komentar beragam. Ada yang menilai tuntutan
sikap pemerintah dan Presiden SBY kurang tegas karena hanya memerintahkan para
menterinya untuk klarifikasi kepada AS dan Australia. Sebaliknya, ada pembaca yang
menilai penyadapan sudah terjadi sejak era presiden Sukarno, karena AS menaruh sejumlah
kepentingan di negeri ini. n ed: zaky al hamzah
PENYADAPAN
Penyadapan adalah bagian dari kegiatan intelijen untuk mengumpulkan data dan informasi.
penyadapan bisa dilakukan secara acak atau sasaran tertentu. Obyeknya bisa perorangan
ataupun institusi.

"Pelaku penyadapan dalam prakteknya tidak hanya dilakukan oleh negara melalui aktor-aktor
institusi keamanannya. Tapi bisa dilakukan swasta. #sadap," ujar Ketua Komisi I DPR
Mahfudz Siddiq dalam aku twittwrnya, @MahfudzSiddiq sesaat lalu, Jumat (1/11).

Jelas Mahfudz, pihak pebisnis, media dan jasa pengamanan swasta juga berhak dan bisa
lakukan tindakan penyadapan. Ini dimungkinkan karena tersedianya sarana teknologi
penyadapan yang bahkan bisa didapatkan di pasar bebas.

Menurutnya, secara domestik, setiap negara punya regulasi tentang penyadapan. Untuk
mengatur agar terhindar dari penyalahgunaan. Dan secara internasional juga ada konvensi
yang mengatur hal-hal terkait penyadapan.

"Perspektif regulasi tentang penyadapan adalah otorisasi penyadapan dan perlindungan hak
warga negara. #sadap," ungkap politisi PKS ini
Korupsi alat kesehatan, Kejagung tangkap
mantan Kadinkes Anambas
| Minggu, 24 November 2013 03:00

Merdeka.com - Tim Satuan Petugas (Satgas) Kejaksaan Agung bekerja sama dengan
Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengamankan Daftar
Pencarian Orang (DPO) asal Riau, yakni terdakwa Sofyan, SKM. Pria itu adalah pensiunan
PNS/mantan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kepulauan Anambas.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Setia Untung Arimuladi, mengatakan
bahwa terdakwa tertangkap pada Sabtu (23/11) pukul 00.52 WIB di Kompleks Perumahan
Jakapurwa Blok M-5 RT. 01 RW. 05 Kelurahan Kujang Sari Kecamatan Bandung Kidul-
Kota Bandung.

"Penangkapan ini terkait dengan Perkara Tindak Pidana Korupsi pengadaan alat-alat
kesehatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun Anggaran 2009
senilai Rp 3,5 miliar," kata Untung melalui siaran pers, Sabtu (23/11).

Hal tersebut berdasarkan Petikan Putusan Hakim No. 27/PID.SUS/2012/TIPIKOR.PN.TPI


tanggal 25 September 2013, dimana dalam amar putusan tersebut, "Terdakwa terbukti
bersalah melakukan korupsi dan dijatuhi hukuman selama tiga tahun kurungan, dan
memerintahkan terdakwa agar ditahan," ujarnya.

Untung menjelaskan, terdakwa Sofyan dinilai telan melakukan perbuatan secara bersama-
sama dengan dari Tajri yang menjabat Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
membayarkan dana 100 persen untuk 10 item sarana alat kesehatan kepada kontraktor
pemenang proyek, CV Intan Diantika.
Padahal, barang yang disediakan pihak kontraktor dinilai tidak sesuai dengan spek
sebagaimana awal perjanjian kontraknya lumpsum. Seharusnya tidak boleh dilakukan
pembayaran dan dikenakan denda. Kedua terdakwa yang memiliki kewenangan, seharusnya
membatalkan kontrak dan memberikan denda kepada kontraktor, namun hal itu tidak
dilakukan.

"Perbuatan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dan
Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,"
paparnya.

Terdakwa terbukti bersalah melanggar ketentuan pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 ayat 1
ke-1 sebagaimana yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
korupsi jo pasal 55 KUHP. Selain menghukum terdakwa dengan hukuman badan, terdakwa
juga dikenakan denda sebesar Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.

Sementara itu, mantan Kabid di Dinkes KKA, Tajri, yang menjabat sebagai PPTK dalam
proyek tersebut juga divonis hakim selama tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp 50 juta
subsider tiga bulan kurungan.

"Bahwa pelaksanaan penangkapan ini berkaitan dengan pelaksanaan penetapan hakim yang
memerintahkan agar terdakwa ditahan, sedangkan untuk perkaranya saat ini masih dalam
tahap proses banding, karena baik JPU maupun terdakwa mengajukan banding," imbuh
Untung.
Kejagung cokok DPO kasus korupsi dana
parkir Bandara Ngurah Rai
| Sabtu, 23 November 2013 19:19

Gedung Kejaksaan Agung.

Merdeka.com - Tim Satuan Petugas (Satgas) Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama Tim
Kejari Denpasar berhasil menangkap tersangka kasus korupsi pengelolaan dana parkir
Bandara Ngurah Rai, Bali, yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Bidang Pidana
Khusus (Gedung Bundar) Kejagung.

"Tersangka atas nama Chris Sridana, MBA (Dirut PT PSB) pada hari Sabtu (23/11/2013)
pukul 00.30 WITA di Platinum Executive Club, Jalan Suwung Batan Kendal, Nomor 20
Denpasar, Bali," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Setia Untung Arimuladi
melalui siaran persnya kepada wartawan, Sabtu (23/11).

Untung menjelaskan, penangkapan ini terkait dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi
pengelolaan parkir Bandara Ngurah Rai, yang dilakukannya bersama-sama dengan 3
tersangka lainnya, yang lebih dulu telah di limpahkan oleh Penyidik Kejagung ke tahap
penuntutan di Kejaksaan Negeri Denpasar (19/11).

Ketiga tersangka itu adalah: Inderapura Bernoza (general manager PT PSB), Mikhael Maksi
(manager operasional PT PSB), dan Rudi Johnson Sitorus (staf admin PT PSB).

Untung menambahkan, tersangka diduga telah melakukan perbuatan korupsi ketika PT


Angkasapura menunjuk PT PSB mengelola parkir di sana. PT PSB diketahui mengelola
parkir dengan sistem komputerisasi. Para tersangka itu, dalam melakukan sharing atau
pembagian keuntungan pendapatan parkir diduga memanipulasi jumlah pengunjung yang
masuk.
Ketiganya, kata Untung, mengurangi lamanya waktu pengunjung yang keluar, dan lain-lain
dengan memanfaatkan sistem komputerisasi (merekayasa laporan pendapatan parkir) periode
Oktober 2008 sampai Desember 2011).

"Bahwa pada saat penyidikan dilakukan penyidik berhasil melakukan penyitaan berupa 23
item surat-surat atau dokumen, serta bangunan berupa kantor-rumah-lahan tanah yang terbagi
dalam 7 sertifikat hak milik, antara lain di lokasi Jalan Raya Baypass Ngurah Rai, Pererenan
dan Tabanan senilai Rp 15.100.000.000," paparnya.

Hingga saat ini Chris Sridana telah ditahan di Rutan Grobogan Denpasar untuk 20 hari ke
depan mulai 23 November 2013. Tersangka diduga merugikan negara sebesar kurang lebih
Rp 20.826.955.358, melanggar pasal 2 ayat(1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP.
Manipulasi pinjaman, 5 pengurus koperasi
PNS dibui 5 tahun

tipikor. merdeka.com/Imam Buhori

Merdeka.com - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan menjatuhi 5 pengurus Koperasi


Pegawai Negeri (KPN) Pelita Stabat/Wampu dengan hukuman masing-masing 5 tahun
penjara. Kelimanya dinyatakan terbukti bersalah menyelewengkan Rp 1,5 miliar dana yang
dipinjam dari bank.

Kelima terdakwa yakni Mursyid (Ketua Koperasi), Suparman (Ketua II), Tumario
(Sekretaris), Hadi Pranoto (Sekretaris I), dan Marli (Bendahara). Kelimanya juga didenda Rp
100 juta subsider 2 bulan kurungan.

Para terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara masing-masing
Rp 164 juta. "Dengan ketentuan, jika tidak dibayar, harta bendanya akan disita dan dilelang.
Jika hasil lelang tidak mencukupi untuk membayar kerugian negara, maka terdakwa harus
menjalani pidana penjara selama 6 bulan," kata SB Hutagalung, ketua majelis hakim di
Pengadilan Tipikor, Medan, Kamis (21/11).

Para terdakwa telah melanggar Pasal 2 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. "Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama," sebut SB Hutagalung.

Berdasarkan putusan majelis hakim diketahui bahwa pada 2008 KPN Pelita Stabat/Wampu
menjalin kerja sama dengan BNI Cabang Polonia tentang pemberian pinjaman kepada 30
anggota koperasi sebesar Rp 3,5 miliar.

Pada pencairan pertama koperasi menerima Rp 1,2 miliar dan pencairan kedua Rp 1,58
miliar. Ternyata para terdakwa tidak menyalurkan uang yang dicairkan pada tahap dua
kepada 30 anggota koperasi yang diajukan sebagai peminjam ke BNI Cabang Polonia.

Perbuatan para terdakwa terbongkar ketika pihak BNI Cabang Polonia menegur dua anggota
koperasi karena kreditnya macet. Merasa tidak ada meminjam, kedua anggota koperasi ini
pun mengajukan protes ke BNI Cabang Polonia.

Menyikapi putusan majelis hakim, penasihat hukum para terdakwa, Hasnul Arifin
menyatakan keberatan dan akan mengajukan banding. "Ini perkara perdata. Kredit macet.
Dan, dari kredit itu sudah ada yg dikembalikan sebesar Rp 700 juta," ucapnya seusai sidang.

Anda mungkin juga menyukai