Anda di halaman 1dari 22

ASAS-ASAS PEMERINTAHAN DAERAH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintah
Daerah

Dosen Pengampu: Dr. Nur Habibi, M.H

Disusun Oleh:

Bakas Resa (11200453000011)

Allanissyifa Cintara F (11200453000052)

Halimatul Zahro (11200480000009)

Rahma Afifah (11200480000072)

Mohammad Haikal Ramadhan (11200480000111)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur terpanjatkan Kehadirat Allah SWT. Karena berkat petunjuk,
pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah yang berjudul
“Asas-Asas Pemerintahan Daerah”

Selama penyusunan makalah ini banyak kendala yang dihadapi, namun berkat
bimbingan serta bantuan dari segala pihak semua kendala tersebut dapat teratasi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Nur Habibi, M.H selaku Dosen Pengampu Hukum Pemerintah
Daerah Program Studi Ilmu Hukum dan Hukum Tata Negara.
2. Serta seluruh pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Adapun makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Tangerang Selatan, 22 September 2023


Hormat Kami,

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Asas Desentralisasi ................................................................................... 3
B. Asas dekonsentrasi ................................................................................... 7
C. Asas Medebewind (Tugas Pembantuan) ................................................ 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 16
A. Kesimpulan ............................................................................................. 16
B. Saran ....................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem perencanaan pembangunan nasional adalah suatu kesatuan tata


cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
pusat dan daerah.1 Berkaitan dengan hal tersebut di dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah maka akan terdapat asas-asas dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah istilah asas berarti dasar prinsip, pedoman, pegangan,
sedangkan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah dasar-dasar
yang perlu diketahui oleh setiap orang dalam pelaksanaan hukum
pemerintahan daerah.

Menurut Muchtar Kusuma Atmatmaja yang dikenal dengan Madhab


Unpad menyatakan bahwa hukum dapat dipergunakan sebagai pembaharuan
masyarakat.2 Di Indonesia fungsi hukum dalam pembaharuan adalah sebagai
sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa
adanya ketertiban dalam pembangunan, merupakan sesuatu dipandang
penting dan sangat di perlukan. Oleh karena itu, penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat menggunakan asas-asas umum pemerintahan
yang baik, asas keahlian, asas dekonsentrasi, asas desentralisasi (asas otonomi
dan tugas pembantuan).3

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Indonesia menganut asas


desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan atau disebut dengan asas
medebewind. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan akibat

1
Pasal 1 ayat (3) Undand-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
2
Mochtar Kusuma Atmaja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002,
hlm 25
3
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Pemerintahan Derah Di Indonesia, Pustaka Setia,
Bandung,2006, hlm. 94

1
wewenang dan tugas pemerintahan tidak semua dapat dilaksanakan jika
hanya dengan menggunakan asas desentralisasi saja. Disamping itu, sebagai
konsekuensi negara kesatuan memang tidak dimungkinkan semua wewenang
pemerintah didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada daerah.4

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:


1. Apa maksud asas desentralisasi?
2. Apa maksud dekonsentrasi?
3. Apa maksud dari asas medebewind (tugas pembantu)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan memahami mengenai


asas-asas pemerintah daerah yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, asas
medebewind (tugas pembantu).

4
Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi
Dan Tugas Pembantuan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asas Desentralisasi

Desentralisasi sebagai sebuah konsep cukup populer dalam khazanah


ilmu pemerintahan. Hal ini bisa dipahami karena asas desentralisasi dalam
pelaksanaan pemerintahan memiliki konotasi yang positif, seperti flesibelitas,
pendidikan politik, akuntabilitas, dan stabilitas politik.5 Dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah,
perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar
pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan
wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal hubungan keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
dilaksanakan Asas Desentralisasi Dalam UU No.32 Tahun 2004 arti luas
mempunyai makna pelaksanaan Undang-Undang dimana berbagai faktor,
organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan
kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-
program.6

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengertian


desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.7 Dalam literatur lain juga
menyebutkan pengertian Asas desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan
pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah
tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.8

5
Fathur Rahman, Teori Pemerintahan, (Malang: UB Press ,2018), Cet 1, hlm 47
6
Budi Winarto, Kebijakan Publik Teori Dan Praktek, (Jogjakarta: Media Pressindo, 2007), hal. 144
7
Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125
8
Ridwan, Hukum Administrasi di Daerah, FH UII Press, Yogyakarta,2009 hlm. 15

3
Pemaknaan asas desentralisasi menjadi perdebatan di kalangan
pakar dalam mengkaji dan melihat penerapan asas ini dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah. Perdebatan yang muncul diakibatkan oleh arah
pandang dalam mengartikulasikan sisi mana desentralisasi diposisikan dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah. Dari pemaknaan beberapa pakar dapat
diklasifikasikan dalam beberapa hal, di antaranya:

(1) desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan dan kekuasaan;


(2) desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan;
(3) desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran, dan
pemberian kekuasaan dan kewenangan; serta
(4) desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah
pemerintahan.

Pertama, pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi


merupakan penyerahan kekuasaan dan kewenangan dapat dilihat dari
pandangan yang sama antara Hazairin, Kartasapoetra, Koswara, Seligman,
dan Van Berg yang menganggap bahwa desentralisasi sebagai penyerahan
kekuasaan (urusan) pemerintah pusat kepada daerah. Sementara De Ruiter
berpandangan bahwa penyerahan kekuasaan atau wewenang ini terjadi bukan
dari pemerintah pusat, tetapi dari badan yang lebih tinggi kepada badan yang
lebih rendah. Dalam arti ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi
adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat
atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.

Pemaknaan desentralisasi dibedakan dalam empat hal:


(1) kewenangan untuk mengambil keputusan diserahkan dari seorang
pejabat administrasi/pemerintah kepada yang lain;
(2) pejabat yang menyerahkan itu mempunyai lingkungan pekerjaan yang
lebih luas daripada pejabat yang diserahi kewenangan tersebut;
(3) pejabat yang menyerahkan kewenangan tidak dapat memberi perintah
kepada pejabat yang telah diserahi kewenangan itu, mengenai
pengambilan keputusan atau isi keputusan itu; serta

4
(4) pejabat yang menyerahkan kewenangan itu tidak dapat menjadikan
keputusannya sendiri sebagai pengganti keputusan yang telah diambil,
tidak dapat secara bebas menurut pilihan sendiri sebagai pengganti
keputusan yang telah diserahi kewenangan itu dengan orang lain, tidak
dapat menyingkirkan pejabat yang telah diserahi kewenangan dari
tempatnya.

Kedua, pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi


merupakan pelimpahan kekuasaan dan kewenangan dapat dilihat dari
pandangan Logemann dan Litvack bahwa desentralisasi adalah sebagai
pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah, tetapi Litvack lebih jauh
memaknai pelimpahan karena juga bisa kepada sektor swasta. Sementara
Ateng menjadikan sarana dekonsentrasi sebagai pelimpahan kewenangan
dalam rangka desentralisasi.

G. Shabir Cheema, John R. Nellis dan Dennis A Rondinelli memandang


bahwa pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah itu berkisar dalam sistem
desentralisasi itu, dikenal ada tiga ajaran yang menentukan pembagian
penyelenggaraan pemerintahan negara, yaitu: (i) ajaran rumah tangga
materiil; (ii) ajaran rumah tangga formil, dan (iii) ajaran rumah tangga riil.9

(1) Ajaran Rumah Tangga Material


Menurut ajaran rumah tangga materiil, untuk mengetahui yang
manakah urusan yang termasuk rumah tangga daerah atau pusat,
seseorang harus melihat kepada materi yang ditentukan akan diurus oleh
pemerintah daerah atau pusat itu masing-masing. Setiap pemerintahan
apakah ia pusat atau daerah hanya akan mampu menyelanggarakan
urusan tertentu dengan baik. Dalam praktik ajaran rumah tangga materiil
dapat dipertahankan sepanjang sifat pemerintahan daerah masih
sederhana. Sedangkan untuk menghadapi sifat pemerintahan yang sudah
maju, yang semakin kompleks, dan modern, agak sulit bagi kita untuk

9
Jimlly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 424-
426

5
secara objektif menilai mengenai urusan mana yang sebaiknya
diselenggarakan oleh pusat atau daerah. Oleh sebab itu mana yang akan
dipilih sebagai urusan pusat dan daerah, seringkali ditentukan secara
subjektif semata-mata berdasarkan pertimbangan kekuasaan. Dengan
ukuran penilaian yang bersifat subjektif itu, orang pun akhirnya akan
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya, karena hal itu dapat
menimbulkan perselisihan antara satu sama lain.

(2) Ajaran Rumah Tangga Formal


Berhubung dengan kelemahan dan kekurangan ajaran rumah
tangga materiil tersebut di atas, maka berkembang pula ajaran rumah
tangga formil. Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan ajaran materiil,
orang mencari pegangan yang tegas kepada ketentuan-ketentuan yang
bersifat formil yang mengatur bahwa suatu hal itu merupakan urusan
rumah tangga pemerintah pusat dan hal yang lain sebagai urusan daerah.
Pengaturan tersebut didasarkan atas daya guna pemerintahan masing-
masing. Jika suatu hal yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
akan mendatangkan manfaat yang lebih besar, maka terhadap hai itu
dipandang lebih baik ditentukan sebagai urusan rumah tangga daerah.
Penyerahan dilakukan secara formil dengan peraturan perundang-
undangan, sehingga hal-hal yang menjadi urusan daerah dipertegas
rinciannya dalam undang-undang. Dengan demikian orang dapat melihat
bahwa suatu urusan merupakan rumah tangga pemerintah daerah karena
oleh pusat telah dilakukan penyerahannya dengan Undang-Undang.

(3) Ajaran Rumah Tangga Riil

Istilah rumah tangga riil dapat dijumpai dalam penjelasan Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah. Juga dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Nomor XXI/ MPRS/ 1966, terdapat istilah yang sama dengan

6
tambahan kata-kata "seluas-luasnya". Dari kedua ketentuan tersebut
dapat diketahui apa yang dimaksud dengan Rumah Tangga Riil yang
didasarkan kepada kebutuhan riil atau keadaan yang nyata. Umpamanya
pada satu hal karena keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan untuk
mencapai manfaatnya yang sebesar-besarnya suatu urusan yang
merupakan wewenang pemerintah daerah dikurangi, karena urusan itu
menurut keadaan riil sekarang berdasarkan kebutuhan yang bersifat
nasional dinilai perlu diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Akan tetapi
sebaliknya suatu urusan dapat pula dilimpahkan kepada daerah untuk
menjadi suatu urusan rumah tangga daerah, mengingat manfaat dan hasil
yang akan dicapai jika urusan itu tetap diselenggarakan oleh pemerintah
pusat akan menjadi berkurang. Tentu saja segala penambahan atau
pengurangan suatu wewenang harus diatur dengan undang-undang atau
peraturan lainnya.

Desentralisasi mengandung segi positif dalam penyelenggaraan


pemerintahan baik dari sudut politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan
keamanan, karena dilihat dari fungsi pemerintahan, desentralisasi
menunjukkan:10

a. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai


perubahan yang terjadi dengan cepat;
b. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan
lebih efisien;
c. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
d. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang
lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.

B. Asas Dekonsentrasi

Negara Kesatuan merupakan bentuk negara yang berdasarkan


kesepakatan perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar Negara

10
R.G Kartasapoetra, Sistematka Hukum Tata Negara, Bina Aksara, Jakarta 1987 hlm. 87 - 98

7
Republik Indonesia (UUD NRI 1945) sampai kapanpun tidak akan diubah.
Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah, diupayakan
pelaksanaannya berdasarkan prinsip otonomi daerah. Hal ini supaya
penyelenggaraan pemerintahan dapat menjangkau sampai dengan daerah-
daerah terjauh dari pusat pemerintahan. Setiap daerah otonom yang
melaksanakan fungsi dan prinsip otonomi daerah memiliki pemerintah daerah
yang menyelenggarakan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan urusan
Pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945,
hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daera h (selanjutnya disebut UU No. 23
Tahun 2014).

Selain itu, pasal berikutnya yakni Pasal 18A UUD NRI 1945
mengamanatkan tentang hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi,
kabupaten serta kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam, serta sumber daya lainnya antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang. Pengaturan dalam kedua pasal tersebut
sekaligus apa yang diatur dalam undang-undang organiknya, dalam
penerapan memiliki implikasi “ikutan” yakni adanya hubungan kewenangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom, terdapat pelimpahan
maupun penyerahan beberapa urusan dari pusat ke daerah sampai dengan
kemandirian yang coba untuk dibangun di daerah-daerah otonom.11

11
Anajeng Asri Edhi Mahanani, Urgensi Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan
dalam Menjamin Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
https://jurnal.uns.ac.id/respublica/article/download/46732/29318 Diakses pada 23 September2023
pukul 16.19.

8
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan
pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu,
dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab
urusan pemerintahan umum (Pasal 1 angka 9 UU 23/2014 jo. UU 1/2022).12

Titik Triwulan dalam Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia


menerangkan bahwa asas dekonsentrasi adalah pendelegasian wewenang
pusat kepada daerah yang sifatnya menjalankan peraturan dan keputusan
pusat lainnya yang tidak berbentuk peraturan, yang tidak dapat berprakarsa
menciptakan peraturan, dan/atau membuat keputusan bentuk lainnya untuk
dilaksanakan sendiri.13 Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan
karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan
dengan rnenggunakan asas desentralisasi. Disamping itu, sebagai
konsekuensi negara kesatuan rnemang tidak dimungkinkan semua wewenang
pemerintah didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada daerah.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan
kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil
pemerintah di wilayah provinsi.14

Pada hakekatnya dekonsentrasi masih dalam rumpun sentralisasi atau


dekonsentrasi merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab
administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat dilapangan. Unit
pemerintah yang dibentuk dengan kebijakan dekonsentrasi tersebut disebut

12
Andi Pitono, Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan, (Sumedang: Kebijakan Publik, Vol.3 No.1, 2012).
13
Hukum Online, 3 Asas Otonomi Daerah dan Penjelasannya
https://www.hukumonline.com/berita/a/3-asas-otonomi-lt64c23fc402543/?page=2#! Diakses
pada 23 September2023 pukul 16.22.
14
Titik Triwulan, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Prestasi pustaka,
2010).

9
“Field Administration”. Selanjutnya dikatakatan bahwa ada dua cara yang
dapat ditempuh pusat dalam membentuk pemerintah wilayah, apabila unit
wilayah tersebut hanya diberi tanggung jawab untuk melaksanakan satu
kewenangan tertentu saja maka unit tersebut disebut “Functional Field
Administration”. Sedangkan unit wilayah diberi tanggung jawab untuk
melakukan berbagai kewenangan pusat yang ada di daerah (multi functions),
maka unit tersebut disebut “Integrated Field Administration”.15

Pemerintah Pusat menugaskan aparatnya untuk menjalankan


kewenangan pusat di daerah. Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai
pemerintah dalam menerapkan kebijakan dekonsentrasi, yaitu tujuan politis
dan tujuan administrasi.16 Tujuan politis dari kebijakan dekonsentrasi sebagai
berikut:

a. Dengan kebijakan dekonsentrasi, pemerintah akan berusaha menugaskan


aparatnya yang ada di daerah untuk mengetahui, menyerap dan
menginformasikan apa-apa yang menjadi aspirasi daerah untuk
disampaikan oleh pemerintah;
b. Dengan adanya pejabat pemerintah yang ditugaskan di daerah, akan
bermanfaat untuk menciptakan dukungan daerah terhadap kebijakan
pemerintah;
c. Apabila terjadi penolakan terhadap kebijakan pemerintah dan timbul
tekanan-tekanan daerah terhadap pusat tentang suatu isu tertentu, maka
pusat dapat menugaskan aparat dekonsentrasi untuk berfungsi
menghadapi tekanan-tekanan tersebut di daerah sehingga pusat terhindar
dari tekanan langsung oleh daerah.17

Sedangkan tujuan administrasi dari kebijakan dekonsentrasi sebagai berikut:

15
Made Suwandi, Pokok-pokok Pikiran Dasar Otonomi Daerah di Indonesia, (Jakarta: Direktorat
Jenderal Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri), 2002.
16
Made Suwandi, Pokok-Pokok Pikiran Konsepsi Dasar Otonomi Daerah di Indonesia, Makalah
Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otda, (Jakarta: Ditjen Otda Depdagri), 2007.
17
G. Shabbir Cheema & Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development (Implementation
in Developing Countries), USA: The UNCRD. 1983.

10
a. Pejabat dekonsentrasi diharapkan mampu mengetahui apa yang menjadi
kebutuhan orang daerah, sehingga mampu menyusun program-program
pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal;
b. Dengan menempatkan pejabatnya di daerah, pusat akan dapat
menugaskan mereka untuk mengetahui potensi daerah guna
dikembangkan bagi kepentingan nasional dan daerah tersebut;
c. Pusat dapat memerintahkan pejabat-pejabatnya di daerah untuk
membantu pelaksanaan program pusat yang ada di daerah, cara ini akan
jauh lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan pengelolannya secara
keseluruhan dari pusat;
d. Kebijakan dekonsentrasi akan lebih menjamin terjadi “speed of action”
atas suatu kebijakan atau program pusat.18

Untuk itu tujuan dekonsentrasi seharusnya dimaksudkan Pemerintah


Pusat untuk mendekatkan kepada masyarakat daerah. Dekonsentrasi adalah
perwujudan pertanggungjawaban pemerintah pusat kepada masyarakat di
daerah tanpa mengurangi hak masyaraka untuk berkembang sesuai dengan
potensi namun masih dalam naungan NKRI. Sedangkan untuk tugas
pembantuan, dimaksudkan untuk menjaga hubungan kewenangan yang
harmonis antara Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Tidak mungkin
dalam suatu negara kesatuan antara daera dengan pusat bekerja melayani
masyarakat daerah secara sendiri-sendiri, dan tidak mungkin pula dalam suatu
negara kesatuan segala urusan berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan diserahkan kepada daerah.19

Dari tataran teoritik tersebut terdapat ciri-ciri utama dari kebijakan


dekonsentrasi, yaitu:

18
G. Shabbir Cheema & Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development (Implementation
in Developing Countries), USA: The UNCRD. 1983.
19
Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, (Bandung: Pustaka Setia), 2015.

11
a. Dekonsentrasi tidak lebih dari perpanjangan tangan pusat yang
dilaksanakan di daerah melalui pejabat-pejabat pusat yang dilaksanakan
di daerah yang bersangkutan.
b. Pejabat yang ditugaskan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya ke
pusat dan bukan kepada rakyat di daerah tersebut. Manakala kebijakan
pusat tidak cocok untuk daerah, pejabat dekonsentrasi tersebut tidak tidak
mempunyai diskresi untuk merubah kebijakan tersebut, namun hanya
mengusulkan perubahannya ke pusat. Rakyat tidak dapat meminta
pertanggung jawaban perihal kebijakan yang telah digariskan pusat.
Pejabat dekonsentrasi hanya bertanggung jawab dari aspek pelaksanaan
dari kebijakan tersebut.
c. Kebijakan, jenis kegiatan, sasaran, biaya, sarana dan prasarana
pelaksanaan tugas tersebut disiapkan oleh pusat. Anggaran pejabat
dekonsentrasi berasal dari pusat, sehingga akuntabilitas pemanfaatan
anggaran adalah ke pusat dan bukan ke rakyat daerah.20

C. Asas Medebewind (Tugas Pembantuan)

Kewenangan bidang pertanahan adalah kewenangan untuk


menentukan, mengatur dan menyelenggarakan hal-hal mengenai tanah.
Menurut ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan landasan
politik dari hukum Agraria di Indonesia, kewenangan bidang pertanahan pada
asasnya merupakan urusan Pemerintah Pusat, yang pelaksanaannya di daerah
menggunakan asas medebewind.21 Setelah keluarnya UU No.22 Tahun 1999
yang sudah direvisi dengan UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, telah terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia,
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada Daerah. Setelah keluarnya UU tersebut telah terjadi penafsiran yang
berbeda tentang kewenangan bidang pertanahan. Pasal 10 ayat (5) UU No.32

20
G. Shabbir Cheema & Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development (Implementation
in Developing Countries), USA: The UNCR,. 1983.
21
Ana Silviana, Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Rangka Otonomi Daerah. Majalah
Masalah-Masalah Hukum, 36 (2), 2007, hal. 163-168

12
Tahun 2004 telah menjawab tentang kewenangan bidang pertanahan22, adalah
sebagai urusan-urusan lain yang kewenangannya ada pada Pemerintah Pusat
yang pelaksanaannya dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah dalam
bentuk medebewind sebagai urusan yang bersifat wajib.

Asas Medebewind Adalah pemerintah daerah yang di ikut sertakan


yang bersifat bantuan dalam melaksanakan urusan pemerintah dengan
membentuk suatu badan tersendiri dengan susunannya bersifat vertikal. Asas
ini sebagai bentuk suatu kewajiban–kewajiban untuk menjalankan
peraraturan dengan ruang lingkup berciri ciri menjadi 3 (tiga) hal antara lain:

a. Materi yang dijalankan bukan termasuk rumah tangga daerah otonom


dalam pelaksanaannya.
b. Daerah otonom diberikan penyesuaian dalam penyelenggaraan
peraturan yang diberikan pemerintah pusat.
c. Hanya daerah–daerah otonom saja yang diberikan medebewind, artinya
tidak mungkin alat pemerintahan yang tersusun secara vertikal tidak
dapat melaksanakannnya.23 Asas ini dalam penyelenggaraannya
pemerintah di daerah wajib untuk melaksanakan dan tidak dapat menolak
apa yang di berikan oleh pemerintah pusat dalam menjalankan peraturan
perundang–undangan. Jakarta yang merupakan daerah yang telah di
tetapkan sebagai Daerah Khusus Ibukota sesuai dengan Undang–Undang
Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta
sebagai Ibukota Negara Indonesia merupakan daerah otonom pada
tingkat provinsi. Dimana dalam hal kewenangannya mencakup
kebijakan–kebijakan seluruhnya, pengawasan menjalankan kebijakan
yang ada, dan menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) serta memonitoring pelaksanaan anggaran di lima wilayah yang
menjadi bagian dari wilayah Ibukota Jakarta yaitu:

22
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintahan Daerah.
23
Deddy Supriady Bratakusumah, 2004, Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali
Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

13
1. Kota Jakarta Pusat
2. Kota Jakarta Barat
3. Kota Jakarta Selatan
4. Kota Jakarta Utara
5. Kepulauan Seribu Jakarta

sebagai Ibukota Negara di pimpin oleh seorang Gubernur dan


mempunyai Wakil Gubernur yang dipilih melalui proses demokrasi
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung setiap 5 (lima) tahun sekali.
Gubernur mempunyai bawahan di setiap wilyah administrasi ysng di
pimpin oleh walikota di setiap wilayahnya. Sebagai daerah otonom pada
level provinsi proses pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan asas
otonom, asas dekosentrasi, asas tugas pembantuan, serta kekhususan
sebagai Ibukota Negara Indonesia.

Jakarta sebagai Ibukota Negara di pimpin oleh seorang Gubernur dan


mempunyai Wakil Gubernur yang dipilih melalui proses demokrasi
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung setiap 5 (lima) tahun sekali.
Gubernur mempunyai bawahan di setiap wilyah administrasi ysng di pimpin
oleh walikota disetiap wilayahnya. Sebagai daerah otonom pada level
provinsi proses pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan asas otonom,
asas dekosentrasi, asas tugas pembantuan, serta kekhususan sebagai Ibukota
Negara Indonesia. DKI Jakarta mempunyai kewenanagan sendiri dalam hal
penyusunan rencana kegiatan pemerintah daerah yang berdasarkan kepada
rancangan keuangan ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana
kerja, pendanaan, prakiraan maju, baik yang dilaksanakan langsung oleh
Pemerintah Pusat ataupun Daerah serta dengan peran serta partisipasi
masyarakat dan dunia usaha. Dalam menjalankan berbagai kebijakan,
program dan kegiatan yang tercantum dalam RKPD bukan berasal dari
anggaran daerah saja melainkan dengan dukungan Anggaran Pendapatan
Belanja Negara, pihak swasta serta peran dari masyarakat. Tujuan daam
penyusunan RKPD adalah untuk menjamin keterkaitan dan konsistemsi

14
antara perencanaan, penyusunan anggaran, pelaksanaan serta sistem
pengawasannya. Dengan adanya penyusunan prioritas pencapaian maka
harus dilaksanakan evaluasi pelaksanaan RKPD tahun sebelumnya, dengan
maksud evaluasi ini dilaksanakan sebagai proses penilaian kebijakan
perencanaan yang telah disusun tahun ini dan yang telah dilaksanakan pada
tahun sebelumnya. Hal demikian ini merupakan suatu langkah strategis dalam
upaya pencapaian suatu tujuan pembangunan diprovinsi DKI Jakarta.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Indonesia menganut asas


desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan atau disebut dengan asas
medebewind. Desentralisasi sendiri merupakan penyerahan wewenang
pemerintahan dari tangan Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah
otonom guna mengatur dan mengurus pemerintahan.

Namun tidak semua wewenang dan tugas pemerintah dapat


dilaksanakan dengan asas desentralisasi saja. Maka dari itu diperlukan
dekonsentrasi atau pelimpahan sebagian urusan pemerintahan pusat kepada
pemerintahan dibawahnya seperti gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan
bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.
Selain itu, asas desentralisasi juga dibantu dengan asas pembantuan atau
disebut dengan medebewind, yaitu keikutsertaan pemerintah daerah yang
bersifat bantuan dalam melaksanakan urusan pemerintah dengan membentuk
suatu badan tersendiri dengan susunannya bersifat vertikal. Biasanya asas
medebewind digunakan dalam urusan pertanahan.

B. Saran

Pemakalah menyadari bahwasanya makalah ini masih memiliki banyak


kesalahan dan kekurangan, baik penulisan maupun kekurangan referensi.
Oleh karena itu, pemakalah berharap agar pembaca dapat memberikan kritik
dan saran demi menjadikan makalah ini lebih baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


(2010).

Atmaja, Mochtar Kusuma. Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan.


Bandung: Alumni, (2002).

Cheema, G. Shabbir & Dennis A. Rondinelli. Decentralization and Development


(Implementation in Developing Countries). USA: The UNCRD, (1983).

Deddy Supriady Bratakusumah. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi


Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, (2004).

Kartasapoetra, R.G. Sistematka Hukum Tata Negara. Jakarta: Bina Aksara, (1987).

Rahman, Fathur. Teori Pemerintahan Cet 1. Malang: UB Press. (2018).

Riawan Tjandra, W. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Gramedia Widia sarana


Indonesia, (2014).

Ridwan. Hukum Administrasi di Daerah. Yogyakarta: FH UII Press, (2009).

Rosidin, Utang. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia,


(2015).

Siswanto, Sunarno. Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika, (2008).

Soeradi. Pengelolaan Keuangan Negara Di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta:


Graha Ilmu., (2014).

Suwanda, Dadang dan Hari Wahyudi. Strategi Mendapatkan Opini WTP: Laporan
Keuangan. Jakarta: Penerbit PPM, (2013).

17
Suwandi, Made. Pokok-pokok Pikiran Dasar Otonomi Daerah di Indonesia.
Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri,
(2002).

Suwandi, Made. Pokok-Pokok Pikiran Konsepsi Dasar Otonomi Daerah di


Indonesia. Makalah Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otda.
Jakarta: Ditjen Otda Depdagri, (2007).

Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah. Pemerintahan Derah Di Indonesia. Bandung:


Pustaka Setia. (2006).

Triwulan, Titik. Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Prestasi
Pustaka, (2010).

Winarto, Budi. Kebijakan Publik Teori Dan Praktek. Jogjakarta: Media Pressindo,
(2007).

PERATURAN UNDANG-UNDANG

Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125

Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008


Tentang Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan

Undand-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional

Undang-undang No 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang


No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Dasar 1945 Sesudah dan sebelum amandemen

Undang -Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan antara


Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah.

18
JURNAL

Mahanani, Anajeng Asri Edhi. “Urgensi Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas


Pembantuan dalam Menjamin Keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Artikel diakses pada 23 September 2023 dari
https://jurnal.uns.ac.id/respublica/article/download/46732/29318

Pitono, Andi. “Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan”. Sumedang: Kebijakan Publik, Vol.3 No.1,
(2012).

Silviana, Ana. “Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Rangka Otonomi Daerah”.


Majalah Masalah-Masalah Hukum, 36 (2), (2007): 0216-1389

WEBSITE

Hukum Online, “3 Asas Otonomi Daerah dan Penjelasannya”. Website diakses pada
23 September 2023 dari https://www.hukumonline.com/berita/a/3-asas-
otonomi-lt64c23fc402543/?page=2#.

19

Anda mungkin juga menyukai