Oleh:
Putri Dini Shofaturrahmah 226301518058
Kelas: K1
UNIVERSITAS NASIONAL
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
JAKARTA
TAHUN 2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. i
B. Rumusan ......................................................................................................................... 3
C. Tujuan ............................................................................................................................. 3
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 10
B. Saran ................................................................................................................................. 10
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masuk pada era kepemimpinan Presiden Ir. H. Joko Widodo ingin menciptakan
kemudahan untuk berinvestasi. Beliau menegaskan bahwa investasi dan ekspor merupakan dua
hal yang harus ditingkatkan karena untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional dan akan
membuka lapangan kerja menjadi lebih luas. Akan tetapi, Selama ini Pemrosesan izin usaha
selalu terkendala oleh waktu dan keamanan. Waktu yang diperlukan untuk memproses izin
usaha juga tidak dapat diprediksi. Selain itu, peraturan yang ada justru menghambat serta
terlalu berbelit-belit sehingga prosedur izin usaha saling timbul berbenturan dan ini menjadi
kendala dalam menjalankan usaha.
Solusi dari masalah tersebut Presiden Joko Widodo menyampaikan gagasannya tentang
konsep omnibus law dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konsep tersebut ada tiga
1
undang-undang yang dibuat sebagai konsep omnibus law yaitu perpajakan, cipta lapangan
kerja dan pemberdayaan UMKM. Namun, konsep ini mengalami perubahan secara signifikan.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan hukum Indonesia, dan seringkali terjadi tumpang
tindih dan inkonsistensi antar peraturan perundang-undangan. Disharmonisasi tersebut terjadi
baik secara horizontal maupun vertikal.
Dan juga keberadaan peraturan daerah tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Berbagai kebijakan daerah harus didasarkan pada legalitas hukum,
begitu pula dalam membentuk peraturan daerah. Sebagai hasil dari skema desain
desentralisasi, daerah memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan daerah sesuai dengan
otonomi daerah masing-masing.
Skema desain desentralisasi Indonesia adalah negara kesatuan. Tentu jelas prinsip
desentralisasinya berbeda dengan desentralisasi negara federal seperti Amerika. Pada dasarnya
prinsip desentralisasi pada negara kesatuan adalah sharing of power (berbagi kekuasaan) yang
artinya pemerintahan pusat mensharing sebagian kewenangan ke daerah kecuali kewenangan
yang memang tidak bisa dibagikan untuk menjaga keutuhan negara kesatuan tersebut. Sangat
berbeda dengan prinsip desentralisasi negara federal yaitu separation of power (pemisahan
kekuasaan) yang mana pemilik dan yang membagi kewenangan tersebut adalah negara bagian
ke pemerintah pusat. Misalnya wewenang atau urusan politik dalam luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, keuangan dan agama itu pusat yang mengurus wewenang tersebut.
Begitu pula prinsip otonomi daerah juga jelas berbeda. Jika di negara kesatuan seperti
Indonesia ini, otonominya terbagi menjadi tiga yaitu luas, terbatas dan khusus. Sedangkan di
negara federal prinsip otonominya adalah otonomi penuh.
maka dari itu sisi asimetris desentralisasi antara negara federal dan negara kesatuan
berbeda. Seperti di Indonesia sebagai desentralisasi negara kesatuan, desentralisasi
asimetrisnya adalah sistem pemerintahan di pusatnya sama, secara struktur di daerahnya juga
sama akan tetapi muatan dan model otonomi setiap daerahnya berbeda-beda. Dengan demikan
penulis akan membahas tentang penerapan omnibus law dengan menggunakan desain
desentralisasi asimetris.
2
B. Rumusan
Dalam penulisan makalah ini penulis merumuskan masalah yaitu bagaimana konsep
desentralisasi asimetris dalam menerapkan omnibus law di daerah?
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Desentralisasi
Perspektif makna Desentralisasi terbagi menjadi dua desentralisasi politik dan
desentralisasi administrasi. Desentralisasi menurut politik adalah Konsep desentralisasi
berkaitan dengan besaran pelimpahan kekuasaan (power) dan kewenangan (authoriy) yang
diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal melalui hirarki secara geografis di
negara. sebagaimana pendapat Brian Smith (1985):
1
Materi perkuliahan kedua pada matakuliah Studi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Prof. Dr Syarif Hidayat
4
desentralisasi untuk good government. akan tetapi di Indonesia dalam konteks perkembangan
pada tahun 1990-an itu terlambat. Indonesia mengadopsi desentralisasi good government
setelah reformasi.
Secara definisi omnibus law berarti satu aturan yang terdiri dari banyak muatan (Jardine
Le Blanc dalam Christiawan, 2021). Kata omnibus itu sendiri secara harfiah bermakna satu bus
dengan banyak muatan. Yang berarti konteks omnibus law jika dilihat sebagai hukum maka
karakteristiknya adalah pada subtansi maupun muatan undang-undang yang menggunakan
model omnibus law itu sendiri.
Pada dasarnya omnibus law ini hanya sebuah sebutan bukan jenis peraturan perundang-
undangan yang dikenal dalam hierarki peraturan perundangan sebagaimana dikenal dalam tata
urutan perundangan. Maka dari itu omnibus law tidak menunjuk pada satu produk hukum yang
5
baru, melainkan menerangkan bentuk dan jenis substansi dari aturan yang dimuat dalam
omnibus law tersebut.
Maka Omnibus law adalah sebuah konsep produk hukum yang membantu
mengintegrasikan berbagai subjek, materi, isu, dan peraturan perundang-undangan dari
berbagai bidang menjadi satu produk hukum yang besar dan holistik. Hal ini merupakan
langkah untuk membuat satu undang-undang yang dapat memperbaiki banyak undang-undang
yang dianggap tumpang tindih dan menghambat proses kemudahan dalam berusaha.
Dan juga implementasi dari system otonomi daerah tersebut adalah banyaknya
kewenangan di tingkat provinsi/kabupaten/kota. Selain itu, system pemerintahan otonomi
daerah memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk menerbitkan aturan dalam bentuk
peraturan daerah (Perda). Dalam banyak hal peraturan daerah yang dipergunakan sebagai
pedoman di daerah justru bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yang berlaku secara
nasional. Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan persoalan konflik norma serta
menimbulkan persoalan tumpang-tindah kewenangan.
Tujuan omnibus law dibentuk bukan hanya untuk mempermudah regulasi investasi dan
berusaha. Namun juga untuk menyelesaikan konflik norma (tumpang-tindih peraturan
6
perundangan) dan untuk penataan kewenangan antar instansi. Salah satunya contoh konflik
norma adalah timbulkan gangguan pada fungsi biroksasi dalam melayani masyarakat, yaitu
panjangnya biroksasi dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.
Begitu juga Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana
diatur pada undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Pasal 18A Tahun 1945
menyatakan bahwa:
2
Gunawan A Tauda, “Desain Desentralisasi Asimetris Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”,
Administrative Law and Governance Journal, 1.4 (2018), 413–35 <https://doi.org/10.14710/alj.v1i4.413-435>.
7
2. hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan
secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Frasa “dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah” dalam Pasal 18A
Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ini sebenarnya mengindikasikan bahwa konstitusi
menghendaki adanya pengaturan yang berbeda bagi tiap-tiap daerah yang mempunyai corak
khusus dan beragam. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya undang-undang dasar Negara
Republik Indonesia Pasal 18B Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :
Oleh karena itu, kebijakan hukum desentralisasi yang digariskan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (1945) menunjukkan perlunya pelaksanaan
desentralisasi asimetris yang mengedepankan kekhasan, keistimewaan, keragaman
wilayah, dan kesatuan masyarakat adat serta hak tradisional yang tetap diatur dengan
undang-undang.
3
UUD Negara Republik Indonesia,
https://www.sman2temanggung.sch.id/upload/file/80415410uud1945perubahankedua.pdf Akses pada hari
minggu, 6 November 2022, 11:05 AM
4
Kadek Cahya Susila Wibawa, “Penegasan Politik Hukum Desentralisasi Asimetris dalam Rangka Menata
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di Indonesia,” Adminitrative Law & Governance
Journal. Volume 2 Issue 3, August 2019, h. 404.
8
Berikut dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan yang menjadi desain
desentralisasi asimetris guna menerapkan kebijakan omnibus law dalam peraturan daerah:
1. kekhasan daerah berbasis potensi dan pertumbuhan ekonomi, misalnya Batam, dan
Jakarta
2. kekhasan daerah berbasis sosio-kultural, misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta
3. kekhasan daerah berbasis geografis- strategis, khususnya daerah perbatasan, misalnya
Kepulauan Riau, Papua, dan Kalimantan Barat
4. kekhasan daerah karena factor politik, khususnya terkait sejarah konflik yang
panjang, misalnya di Papua
5. kekhasan daerah karena factor Agama, misalnya Aceh
9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyimpulkan bahwa penerapan kebijakan
omnibus law dalam peraturan pemerintahan daerah guna untuk menutupi kekurangan dan
memperbaiki penyimpangan dari pelaksanaan otonomi daerah selama ini. Misalnya dari segi
administrative: perbaikan atas sistem perizinan di daerah, mencegah praktik korupsi. dan dari
segi ekonomi: membuka akses terhadap penciptaan lapangan kerja, memudahkan akses
berusaha dan iklim investasi. Dan juga dengan menggunakan desain desentralisasi asimetris
untuk dapat membuat peraturan dalam menyelesaikan ke timpang-tindih peraturan disesuaikan
dengan kekhasan tiap daerah.
B. SARAN
Berikut beberapa rekomendasi yang dapat dilaksanakan antara lain:
1. Melakukan evaluasi setelah menerapkan omnibus law di daerah
2. Melakukan sosialisasi dan diskusi yang berkesinambungan, serta pengkajian ulang yang
transparan dan partisipatif dengan melibatkan unsur pemerintah daerah dan public
3. Melakukan pengawasan, pembinaan dan pendampingan sementara kepada aparatur
pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan tersebut
10
DAFTAR PUSTAKA
Christiawan, Rio. “Omnibus Law (Teori dan Penerapannya)”. Jakarta: Sinar Grafika, 2021
Kadek Cahya Susila Wibawa, “Penegasan Politik Hukum Desentralisasi Asimetris dalam
Rangka Menata Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di Indonesia,”
Adminitrative Law & Governance Journal. Volume 2 Issue 3, August 2019
Mardatillah, Aida. “Kebijakan Omnibus Law Dalam Menata Good Governance Di Indonesia”,
PALAR (Pakuan Law Review), Volume 07, Nomor 02, Juli-Desember 2021, Halaman
220-233 https://journal.unpak.ac.id/index.php/palar
Sholahuddin, Al-Fatih. “Harmonisasi Regulasi Hubungan Pusat & Daerah Melalui Omnibus
Law”
Supriyadi, dkk. “Gagasan Penggunaan Metode Omnibus Law Dalam Pembentukan Peraturan
Daerah”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 15, No. 2, Juli 2021: 257-270
11