Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

"DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH"

MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

Dosen Pengampu : Silvia Sari, S.P., M.Si.

Disusun Oleh :

KELOMPOK 1

03SAKM002

1. Agusrianus Waruwu 201011250284

2. Etika Dewi Rahayu 201011250322

3. Muhammad Albi Khairi 201011250323

4. Nur Kholifah 201011250352

5. Tiara Saragih 211011200064

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

UNIVERSITAS PAMULANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat dan Hidayah-Nya, Sehingga
kami kelompok 1 dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul "Desentralisasi dan
Otonomi Daerah" Dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Perekonomian Indonesia,
Selain itu makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai Desentralisasi dan
Otonomi Daerah bagi para pembaca serta bagi kami kelompok 1.

Kami kelompok 1 mengucapkan terima kasih kepada ibu Silvia Sari, S.P., M.Si. selaku
dosen Mata Kuliah Perekonomian Indonesia. Ucapan Terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikan nya makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang Selatan, 21 Mei 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2


A. Desentralisasi ..................................................................................................... 2
1. Pengertian Desentralisasi ............................................................................. 2
2. Asas Desentralisasi ...................................................................................... 3
3. Fungsi dan Tujuan Desentralisasi ................................................................. 5
4. Kelebihan dan Kekurangan Desentralisasi .................................................... 5
B. Otonomi daerah .................................................................................................. 6
1. Pengertian Otonomi Daerah ......................................................................... 6
2. Pengertian Menurut Para Ahli ...................................................................... 7
3. Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah ................................................ 10
4. Tujuan Otonomi Daerah ............................................................................... 11
5. Asas Otonomi Daerah .................................................................................. 11
6. Prinsip Otonomi Daerah ............................................................................... 11
7. Kebijakan Otonomi Daerah .......................................................................... 12
8. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ................................................... 13
9. Faktor - Faktor yang menjadi Kendala Otonomi Daerah di Indonesia ........... 15
10. Beberapa Provinsi/Daerah yang menginginkan Otonomi Daerah diawal
Kemerdekaan. .............................................................................................. 16
11. Perbedaan PERPU dengan PERDA .............................................................. 18

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 15


A. Kesimpulan ........................................................................................................ 15
B. Saran .................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan masalah yang paling
ramai dibicarakan di negeri ini, di samping integrasi nasional, korupsi, partai politik,
dan kohesi nasional. Otonomi daerah adalah sebuah proses bernegara yang tidak akan
pernah tuntas dan mengalami perubahan secara terus menerus dan tidak berkesudahan.
Hal ini wajar karena tuntutan-tuntutan baru akan selalu muncul sesuai kebutuhan,
maupun disebabkan adanya koreksi atas kelemahan formulasi pada faktor perubahan
lingkungan baik internal maupun eksternal.
Sadar atau tidak sesungguhnya pertumbuhan otonomi daerah di Indonesia sejak
masa kemerdekaan sampai sekarang (masa reformasi) telah mengalami perubahan-
perubahan secara fluktuatif (naik-turun) sesuai dengan realitas di lapangan yang dilalui
dengan rezim pemerintahan yang berganti-ganti. Melihat pertumbuhan dan
perkembangannya ternyata berlangsung tidak sesuai apa yang diinginkan para pendiri
republik ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan desentralisasi ?
2. Bagaimana fungsi dan tujuan desentralisasi dalam penerapannya di Indonesia?
3. Apakah yang dimaksud dengan otonomi daerah?
4. bagaimana asas dan kebijakan dalam penerapan otonomi daerah di Indonesia ?
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini agar penulis lebih mengetahui
secara mendalam bahwa desentralisasi yang memiliki peran penting dalam pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia dalam upaya Menciptakan dan meningkatkan
pembangunan suatu bangsa

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Desentralisasi
1. Pengertian Desentralisasi
Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari Bahasa Belanda, yaitu de
yang berarti lepas, dan centerum yang berarti pusat. Desentralisasi adalah sesuatu
hal yang terlepas dari pusat. Terdapat dua kelompok besar yang memberikan
definisi tentang desentralisasi, yakni kelompok Anglo Saxon dan Kontinental.
Kelompok Anglo Saxon mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan
wewenang dari pemerintah pusat, baik kepada para pejabat pusat yang ada di daerah
yang disebut dengan dekonsentrasi maupun kepada badan-badan otonom daerah
yang disebut devolusi. Devolusi berarti sebagian kekuasaan diserahkan kepada
badan-badan politik di daerah yang diikuti dengan penyerahan kekuasaan
sepenuhnya untuk mengambil keputusan baik secara politis maupun secara
administratif.
Adapun Kelompok Kontinental membedakan desentralisasi menjadi dua bagian
yaitu desentralisasi jabatan atau dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan.
Dekonsentrasi adalah penyerahan kekuasaan dari atas ke bawah dalam rangka
kepegawaian guna kelancaran pekerjaan semata. Adapun desentralisasi
ketatanegaraan merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur daerah di dalam
lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara
Menurut ahli ilmu tata negara, dekonsentrasi merupakan pelimpahan kewenangan
dari alat perlengkapan negara di pusat kepada instansi bawahannya guna
melaksanakan pekerjaan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah pusat tidak kehilangan kewenangannya karena instansi bawahan
melaksanakan tugas atas nama pemerintah pusat.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada
daerah otonom sebagai wakil pemerintah atau perangkat pusat di daerah dalam
kerangka negara kesatuan. Lembaga yang melimpahkan kewenangan dapat
memberikan perintah kepada pejabat yang telah dilimpahi kewenangannya itu
mengenai pengambilan atau pembuatan keputusan.
Menurut Amran Muslimin (2009:120),Desentralisasi dibedakan atas 3 (tiga)
bagian.

2
a. Desentralisasi politik, yakni pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat
yang meliputi hak mengatur dan mengurus kepentingan rumah tangga sendiri
bagi badan-badan politik di daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-
daerah tertentu.
b. Desentralisasi fungsional, yaitu pemberian hak kepada golongan-golongan
tertentu untuk mengurus segolongan kepentingan tertentu dalam masyarakat
baik terikat maupun tidak pada suatu daerah tertentu, seperti mengurus irigasi
bagi petani.
c. Desentralisasi kebudayaan, yakni pemberian hak kepada golongan-golongan
minoritas dalam masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaan sendiri,
seperti ritual kebudayaan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi pada dasarnya


adalah suatu proses penyerahan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari
urusan yang semula adalah urusan pemerintah pusat kepada badan-badan atau
lembaga-lembaga pemerintah daerah. Tujuannya adalah agar urusan-urusan dapat
beralih kepada daerah dan menjadi wewenang serta tanggung jawab pemerintah
daerah.

2. Asas desentralisasi
Asas desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan
golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurus
rumah tangganya sendiri. dengan demikian pemerintah daerah sejalan adanya asas
desentralisasi maka pemerintah daerah menjadi lebih mandiri dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahannya.
Pelimpahan sebagian dari kewenangan Pemerintah Pusat pada alat-alat Pusat
yang ada di daerah atau pelaksanaan urusan pemerintahan pusat, yang tidak
diserahkan kepada satuan pemerintahan daerah. Pada hakikatnya alat pemerintahan
pusat ini melaksanakan pemerintahan sendiri di daerah-daerah dan berwenang
mengambil keputusan sendiri dan sampai tingkat tertentu berdasarkan
tanggungjawab langsung kepada Pemerintahan Pusat, yang memikul semua biaya
dan tanggung jawab terakhir mengenai urusan dekonsentrasi. Dalam asas
desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat
mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan,

3
pelaksanaan, dan pembiayaan. Pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah
pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan,
perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan
aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan. Sementra Asas
pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah
memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan
pemerintah pusat.
Desentralisasi saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang
diterima secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara.
Hal ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat
diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas
perkembangan masyarakat, kemajemukan struktu sosial dan budaya lokal serta
adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Desentralisasi memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat
diklasifikasi ke dalam dua variabel penting, yaitu, sebagai berikut:
a. Peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan (yang
merupakan pendekatan model efisiensi struktural/structural efficiency model).
b. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan
(yang merupakan pendekatan model partisipasi/participatory model). Setiap
negara lazimnya memiliki titik berat yang berbeda dalam tujuantujuan
desentralisasinya tergantung pada kesepakatan dalam konstitusi terhadap arah
pertumbuhan (direction of growth) yang akan dicapai melalui desentralisasi.

Oleh karena itu desentralisasi merupakan simbol “trust” dari pemerintrah pusat
kepada sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi
berbagai masalah, dalam sistem otonomi daerah mereka tertantang untuk secara
kolektif menentukan solusi-solusi atas berbagai masalah yang dihadapi.11 Secara
yuridis asas desentralisai di sebutkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, Pasal 1 ayat (7), yaitu menyatakankan sebagai
berikut: “Desentralisai adalah penyerahan wewenang Pemerintahan kepada daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.

4
Dengan demikian permasalahan-permasalahan dapat saja muncul pada
pelaksanaan asas desentralisasi di tiap-tiap pemerintahan daerah. Berdasarkan teori-
teori di atas maka pelaksanaan asas desentralisasi harus berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku maka dari itu UndangUndang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi dasar hukum dalam
pelaksanaan asas desentralisasi di Pemerintahan Daerah khususnya di Pemerintahan
Daerah Kabupaten Garut, dalam hal ini Pemerintahan Daerah Kabupaten Garut
terdapat kesenjangan antara keharusan melaksanakan ketetuan peraturan
perundang-undangan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang 32 Tahun 2004
Pemerintahan Daerah (Das Solen), yaitu menyatakan sebagai berikut:

“Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah menggunakan asas


desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.

3. Fungsi dan Tujuan Desentralisasi


Fungsi sistem desentralisasi adalah untuk meringankan beban pekerjaan yang
ada di pemerintah pusat, sehingga pekerjaan dapat dialihkan kepada pemerintah
daerah. Supaya dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan, tidak terjadi
penumpukan kekuasaan pada salah satu pihak saja.
Tujuan desentralisasi adalah meningkatkan kesejahteraan dan menjadi salah
satu upaya mengurangi angka kemiskinan di daerah. Tujuan desentralisasi yaitu:
a. Wujud Demokrasi Pemerintahan Daerah.
Desentralisasi menjadi salah satu peruwjudan dari demokrasi negara, khususnya
di tingkat pemerintah daerah. Dengan pemberlakuan desentralisasi, diharapkan
akan membuka peluang dan wadah yang semakin luas bagi partisipasi
masyarakat.
b. Merealisasikan Potensi dan Kesetaraan Daerah
Salah satu dampak negatif terpusatnya pemerintahan adalah pemusatan
keuangan. Desentralisasi memungkinkan pelimpahan pengelolaan keuangan
sehingga memperkecil peluang eksploitasi keuangan.
4. Kelebihan & Kekurangan Desentralisasi
a. Kelebihan Desentralisasi
1. Desentralisasi jauh lebih fleksibel daripada pemusatan kekuasaan. Lewat
desentralisasi respon terhadap kebutuhan masyarakat jauh lebih cepat.

5
2. Desentralisasi meningkatkan efektivitas birokrasi. Lebih jauh bahkan
meberikan keuntungan yang besar bagi organisasi partisipatif.
3. Desentralisasi meningkatkan inovasi. Khususnya bagi pemerimtah daerah
yang diberi wewenang terutama dalam hal pelayanan public.
4. Desentralisasi menghasilkan etos kerja yang lebih tinggi, memperkuat
komitmen, dan meningkatkan produktivitas.
b. Kekurangan Desentralisasi
1. Membuat struktur pemerintahan menjadi semakin kompleks sehingga
memperumit koordinasi.
2. Keseimbangan antara beragam kepentingan lebih mudah terganggu.
3. Berpeluang memunculkan sifat kedaerahan atau kecintaan berlebih terhadap
daerah sendiri.
4. Koordinasi yang menjadi semakin sulit membuat perundingan menjadi
bertele-tele sehingga pengambilan keputusan semakin lama.
5. Desentralisasi membutuhkan biaya yang lebih banyak dan sulit
mendapatkan keseragaman.
Penerapan desentralisasi dalam negara kesatuan menandakan bahwa
kedudukan pemerintah pusat adalah tetap, yakni sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi. Hal ditandai dengan daerah yang juga ikut bertanggung jawab,
terhadap pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Mengapa desentralisasi diterapkan di Indonesia ?
Dalam proses terbentuknya desentralisasi ini terjadi karena adanya
pergolakan di masyarakat yang tidak setuju dengan pemerintahan yang
sentralistik atau terpusat (tidak demokratis), maka dari itu terjadilah transisi dan
terciptalah desentralisasi sebagai salah satu sistem penyelenggaraan politik di
Indonesia yang mengatur tentang jalannya pemerintahan pusat dan daerah yang
demokratis.

Apakah dengan ditetapkannya Desentralisasi akan mengurangi atau


meningkatkan KKN?
Sejak masa reformasi bergulir, dan dilaksanakannya desentralisasi
(otonomi daerah) dengan diberlakukannya UU no. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah (dan lebih lanjut diganti UU No. 32 / 2004 dan UU No.
23 / 2014), banyak pejabat daerah yang tersangkut kasus korupsi. Berdasarkan

6
data Kementerian Dalam Negeri, dari tahun 2004 hingga awal tahun 2015
terdapat 343 kepala daerah yang harus menghadapi proses hukum baik di
kejaksaan, kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat
perkara korupsi, yang sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan
keuangan daerah (Kompas, 4 Februari 2015). Sebagian dari mereka, seperti
Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Syamsul Arifin (Gubernur Sumatera
Utara), Awang Faruk Ishak (Gubernur Kaltim), Agusrin Najamudin (Gubernur
Bengkulu), Fuad Amin (Bupati Bangkalan), Hendi Bundoro dan Siti
Nurmarkesi (Bupati Kendal), Rina Iriani (Bupati Karanganyar), dan Amran
Batalipu (Bupati Buol), harus mendekam di penjara.
Fakta ini menunjukkan bahwa desentralisasi dapat memiliki
konsekweksi yang ambigu: pada satu sisi memungkinkan daerah untuk lebih
memiliki kewenangan sehingga flexible dan responsif dalam melakukan
pelayanan publik; tapi pada sisi lain, juga menyebabkan para pejabatnya lebih
memiliki kesempatan untuk korup. Korupsi oleh pejabat terpilih dan pegawai
publik dapat menjadi sumber utama ketidakpuasan publik terhadap pemerintah
daerah. Ketika pejabat mengkorup uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), atau meminta uang dari individu atau perusahaan yang
berbisnis dengan atau diatur oleh pemerintah daerah, maka akan terjadi
kenaikan biaya pemerintah, peraturan yang tak dijalankan, dan secara umum
mereduksi kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Akhirnya, korupsi
menghancurkan harapan pelayanan publik yang baik sebagai tujuan
desentralisasi itu sendiri. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan
bahwa korupsi di daerah telah menyebabkan buruknya kualitas pelayanan
publik, khususnya di sektor pendidikan, transportasi dan kesehatan.
Mengapa para pejabat daerah itu terjerat kasus korupsi? Apakah mereka
kekurangan secara ekonomi sehingga terpaksa harus menerima suap atau
mengambil uang negara bagi dirinya, keluarganya, maupun kelompok tertentu
dengan jalan yang tidak legal? Ataukah ini berkaitan dengan kultur yang lebih
luas, sehingga terjadinya kasus korupsi para pejabat ini adalah akibat adanya
tekanan sosial-politik yang tidak mampu mereka kendalikan? Apakah hal ini
disebabkan karena cacatnya sistem politik dan pemerintahan di Indonesia yang
menyebabkan mereka terjebak dalam sistem itu? Ataukah hal ini berkaitan
dengan masalah moral masing-masing individu pejabat? Secara teoritik,

7
menurut Bauhr dan Nasiritousi3, korupsi terjadi karena dua persoalan, yakni
karena ada kebutuhan (corruption by need), dan karena sikap rakus untuk
menumpuk kekayaan (corruption by greed). Namun demikian, kedua penyebab
itu bisa jadi terlalu simplistik. Sebagaimana dikemukakan Sajo4, dalam situasi
adminisitrasi pemerintahan yang ruwet, keadaan dapat saja memaksa pejabat
utuk melakukan korupsi. Dengan kata lain, para pejabat itu secara individu bisa
jadi tidak memiliki keinginan untuk bertindak korup, akan tetapi mereka
terpaksa terlibat dalam tindakan korupsi karena sistem administrasi tidak
memungkinkan mereka bertindak bersih. Peraturan yang berbelit-belit dan tidak
jelas, hierarkhi organisasi yang terlalu kaku, dan tugas yang terlalu luas, untuk
menyebut beberapa contoh, dapat menyebabkan seorang pejabat terjebak dalam
tindakan yang dipersepsikan sebagai Korupsi.
B. Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi. Istilah otonomi
berasal dari penggalan dua kata bahasa Yunani, yakni autos yang berarti sendiri dan
nomos yang berarti undang-undang. Otonomi bermakna membuat perundang-
undangan sendiri (zelfwetgeving), namun dalam perkembangannya, konsepsi
otonomi daerah selain mengandung arti zelfwetgeving (membuat perda-perda),
juga utamanya mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri). C.W. van der Pot
memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah
tangganya sendiri).
Otonomi daerah adalah hak wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan
otonomi yang nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah.
Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul
oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,

8
Pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam penjelasan
umum Undang- Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang dikemukakan bahwa daerah
provinsi berkedudukan sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administratif.
Dengan kata lain daerah provinsi dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan
dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi dilaksanakan secara meluas di tingkat provinsi
dan secara terbatas di tingkat kabupaten/kota, terutama untuk kewenangan yang
mutlak berada di tangan pemerintah pusat.
2. Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli
Berikut ini pengertian otonomi daerah menurut para ahli (syamsuddin Haris,
2007:12-13) adalah sebagai berikut :
a. Menurut F. Sugeng Istianto: Otonomi Daerah adalah sebuah hak dan wewenang
untuk mengatur serta mengurus rumah tangga daerah.
b. Menurut Syarif Saleh: Otonomi Daerah merupakan hak yang mengatur serta
memerintah daerahnya sendiri dimana hak tersebut merupakan hak yang
diperoleh dari pemerintah pusat.
c. Menurut Kansil: Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, serta kewajiban
daerah untuk mengatur serta mengurus daerahnya sendiri sesuai perundang-
undangan yang masih berlaku.
d. Menurut Widjaja: Otonomi Daerah merupakan salah satu bentuk desentralisasi
pemerintahan yang pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan
bangsa dan negara secara menyeluruh dengan upaya yang lebih baik dalam
mendekatkan berbagai tujuan penyelenggaraan pemerintahan agar terwujudnya
cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.
e. Menurut Philip Mahwood: Otonomi Daerah merupakan hak dari masyarakat
sipil untuk mendapatkan kesempatan serta perlakuan yang sama, baik dalam hal
mengekspresikan, berusaha mempertahankan kepentingan mereka masing-
masing dan ikut serta dalam mengendalikan penyelenggaraan kinerja
pemerintahan daerah.
f. Menurut Benyamin Hoesein: Otonomi Daerah merupakan pemerintahan oleh
dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional Negara secara informal berada
diluar pemerintah pusat.

9
g. Menurut Mariun: Otonomi Daerah merupakan kewenangan atau kebebasan
yang dimiliki pemerintah daerah agar memungkinkan mereka dalam membuat
inisiatif sendiri untuk mengatur dan mengoptimalkan sumber daya yang
dimiliki daerahnya.
h. Menurut Vincent Lemius: Otonomi Daerah adalah kebebasan/ kewenangan
dalam membuat keputusan politik serta administrasi yang sesuai dengan
peraturan perundang- undangan.
3. Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah:
a. Undang Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen ke-2 yang terdiri dari: Pasal
18 Ayat 1 - 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2 dan Pasal 18B ayat 1 dan 2.
b. Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah.
c. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 mengenai Rekomendasi Kebijakan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
d. Undang Undang No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.
e. Undang Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Daerah dan Pusat.

Penerapan Otonomi Daerah, Penerapan (Pelaksanaan) otonomi daerah di


Indonesia menjadi titik fokus penting dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Pengembangan suatu daerah bisa disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan
potensi dan ciri khas daerah masing-masing. Otonomi daerah mulai diberlakukan
di Indonesia berdasarkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
telah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,
serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Oleh karena itu maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 digantikan


dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sampai sekarang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah telah mengalami banyak perubahan. Salah satunya yaitu Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

10
4. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah setidaknya meliputi beberapa
aspek:
a. Dari segi politik adalah untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan
aspirasi masyarakat, baik untuk.kepentingan daerah sendiri, maupun untuk
mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka pembangunan
dalam proses demokrasi di lapisan bawah.
b. Dari segi manajemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan
pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis – jenis pelayanan
dalam berbagai kebutuhan masyarakat.
c. Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan
kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha pemberdayaan
(empowerment) masyarakat, sehingga masyarakat makin mandiri, dan tidak
terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing
yang kuat dalam proses penumbuhannya.
Dari segi ekonomi pembangunan, adalah untuk melancarkan pelaksanaan program
pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.
5. Asas Otonomi Daerah
Asas-asas untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah, pada dasarnya ada
empat, yaitu:
a. Sentralisasi, yaitu sistem pemerintahan dimana segala kekuasaan dipusatkan di
pemerintah pusat.
b. Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya
sendiri.
c. Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
d. Tugas Pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah atau desa,
dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, kota atau desa, dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
6. Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah adalah:

11
a. Penyelenggaraan OTODA dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekargaman daerah.
b. Pelaksanaan OTODA didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab.
c. Luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, pelaksanaan
OTODA yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota,
sedangkan propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan OTODA harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat, dan daerah serta antardaerah.
e. Pelaksanaan OTODA harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom,
dan oleh karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah
administrasi. Demikian pula kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh
pemerintah atau pihak lain, seperti bahan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan
perumahan, kawasan industri, kawasan pekebunan, kawasan pertambangan,
kawasan kehutanan , kawasan perkantoran baru, kawasan pariwisata, berlaku
ketentuan daerah otonom.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas penyelengaraan pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk meletakan pelaksanaan
kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai
wakil pemerintah.
h. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemeritah
kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang
disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan.
7. Kebijakan Otonomi Daerah
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang telah berlangsung selama lebih
dari satu dasawarsa, lahir sebagai akibat adanya gerakan reformasi yang mendorong
timbulnya pembaharuan atas komitmen politik pemerintah Indonesia untuk
membentuk pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dengan menyusun UU No 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang

12
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan UU ini
kemudian Pemerintah Pusat memberi otonomi penuh pada daerah Kabupaten/Kota
dan otonomi parsial pada daerah Provinsi. Hingga yang terakhir Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang disesuaikan dengan
keadaan dan kondisi dari kondisi daerah daerah di Indonesia.
Otonomi daerah adalah subsistem besar dari sistem yang lebih besar yaitu
sistem pemerintahan nasional. Sebagai subsistern besar eksistensinya menjadi
sangat penting kecuali jika ia dianggap sebagai bagian dari subsistem kecil yang
bisa dikesampingkan untuk sementara waktu. Keberadaan pasal 18 UUD 1945
yang mengatur tentang otonomi menunjukkan bahwa ia merupakan subsistem besar
dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Pada prinsipnya otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan
kewenangan yang sebelumnya tersentralisasi oleh pemerintah pusat. Dalam proses
desentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dialihkan ke pemerintahan daerah
sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pemerintah
pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula
arus kekuasaan pemerintahan bergerak daerah ke tingkat pusat, sejak ditetapkannya
kebijakan otonomi daerah arus kekuasaan bergerak sebaliknya yaitu dari pusat ke
daerah.
8. Pelaksanaan Otonomi Daerah Indonesia
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pada
dasarnya mencoba memperbaiki kelemahan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah yaitu memperjelas konsep desentralisasi dalam negara
kesatuan republik Indonesia dan memperjelas peraturan dalam berbagai aspek
penyelenggaraan pemerintahan daerah. selain itu, Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 memuat pengaturan baru sesuai dengan dinamika masyarakat dan tuntutan
pelaksanaan desentralisasi, antara lain pengaturan tentang hak warga untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, adanya jaminan
terselenggaranya pelayanan publik dan inovasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Menurut Kaho (2004:80) Suatu daerah dikatakan sebagai daerah otonom
apabila memiliki atribut-atribut sebagai berikut:

13
a. Mempunyai urusan tertentu yang disebut urusan rumah tangga daerah; urusan
rumah tangga daerah ini merupakan urusan yang diserahkan oleh pemerintah
pusat ke daerah.
b. Urusan rumah tangga daerah diatur dan diurus/diselenggarakan atas
inisiatif/prakarsa kebijaksanaan pemerintahan daerah.
c. Untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah tersebut, maka daerah
memerlukan aparatur sendiri yang terpisah dari aparatur pemerintah pusat yang
mampu menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
d. Mempunyai sumber keuangan sendiri yang dapat menghasilkan pendapatan
yang cukup bagi daerah agar dapat membiayai segala kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan rumah tangga daerahnya.

Menurut Dr. Sumarsono, Direktur Jenderal otonomi daerah bahwa otonomi


daerah melalui Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanggung jawab
pemerintahan daerah ditekankan pada bagaimana memanfaatkan kearifan , potensi,
inovasi, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan rasional di tingkat lokal yang
secara agregat akan mendukung pencapaian tujuan nasional.

Masih menurut Dr. Sumarsono bahwa otonomi memberikan peluang dan


tantangan bagi daerah-daerah di Indonesia yaitu:

a. Peluang
1. Otonomi daerah akan bcrkonnibusi dalam meningkatkan dan memperkuat
tingkat perekonomian masyarakat di daerah yang pada gilirannya
mengurangi kemiskinan, meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan dan
mendorong penciptaan lapangan pekerjaan, menjaga kelestarian sumber
daya alam dan lahan, serta kerukunan antar suku dan agama dalam
bingkai NKRI.
2. Tingkat perekonomian di daerah dan nasional berkontribusi dalam
meminimalisir berbagai pengaruh- pengaruh dari dalam dan luar negeri
yang memunculkan tindakan radikalisme serta mengancam keamanan
dalam negeri termasuk mengacaukan keamanan dan perdamaian global.

14
3. Otonomi daerah melalui pilkada langsung mendorong munculnya para
pemimpin daerah yang kapabel dan akseptabel melalui pemilihan kepala
daerah secara langsung, termasuk juga untuk mendapatkan pemimpin
daerah yang peduli serta dapat merespon cepat.
b. Tantangan
1. Otonomi daerah dituntut untuk semakin mempererat persatuan dan
kesatuan bangsa di tengah-tengah kemajemukan di tingkat lokal, regional,
dan nasional.
2. Otonomi daerah dituntut untuk menumbuhkan kemandirian
penyelenggaraan tata kelola pemerintahan daerah yang aspiratif, transparan
dan akuntabel.
3. Otonomi daerah dituntut untuk mengharmoniskan pemanfaatan berbagai
sumber daya lokal dan kearifan daerah dengan tetap menjamin
keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
4. Momentum regional dan global memberikan tantangan bagi setiap daerah
untuk meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah.
5. Otonomi daerah menjadi faktor penguat bagi setiap daerah dalam
menghadapi kebijakan MEA dan tantangan bonus demografi pada 15
sampai 20 tahun yang akan datang.
9. Faktor-faktor yang menjadi kendala otonomi daerah di Indonesia
Berikut faktor-faktor yang menjadi kendala otonomi daerah di Indonesia:
a. Komitmen Politik
Penyelenggaraan otonomi daerah yang di lakukan oleh penerintah pusat selama
ini cenderung tidak di anggap sebagai amanat konstitusi.
b. Masih Terpaku Pada Sentralisasi
Daerah masih memiliki ketergantungan tinggi terhadap pusat, sehingga
mematikan kreativitas masyarakat dan perangkat pemerintah di daerah.
c. Kesenjangan Antar Daerah
Kesenjangan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, serta intra struktur
ekonomi.
d. Ketimpangan Sumber Daya Alam

15
Daerah yang tidak memiliki sumber daya alam tetapi populasi penduduk tinggi
akan terengah-engah dalam melaksanakan ekonomi.
e. Benturan Kepentingan
Adanya perbedaan kepentingan yang sangat melekat pada berbagai pihak tang
menghambat proses otonomi daerah, seperti benturan keinginan pimpinan
daerah dengan kepentingan partai politik.
f. Keinginan politik atau political will
Keinginan polotik yang tidak seragam dari pemerintah derah untuk menata
kembali hubungan kekuasaan pusat atau daerah
g. Perubahan perilaku elit local
Elit local mengalami perubahan perilaku dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah karena pengaruh kekuasaan yang di milikinya.
10. Beberapa Provinsi/Daerah yang menginginkan Otonomi Daerah diawal
Kemerdekaan.
a. D. I. Jogjakarta
Sejarah Keraton Jogja Bergabung Republik Indonesia Sebelum
keraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati
pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga.
Menempati pesanggrahan resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat
inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan keraton yang
sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan
memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah
Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta
Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan
Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di keraton yang baru.
Peresmian mana terjadi tanggal 7 Oktober 1756.
Kota Jogja dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya
Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di
hutan Beringin, suatu kawasan di antara Sungai Winongo dan Sungai Code di
mana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada
waktu itu. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam
pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari
Presiden RI. Selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 Sultan mengeluarkan

16
amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman
merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia
menurut pasal 18 UUD 1945. Pada tanggal 30 Oktober 1945, Sultan
mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan
Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan
Pekerja Komite Nasional
b. Nanggroe Aceh Darussalam
Otonomi khusus untuk Aceh didasarkan kepada Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001. Lahirnya Undang-undang ini dilatarbelakangi setidak-
tidaknya oleh dua Hal, pertama terdapat di Aceh dan yang kedua ditingkat
nasional. Yang pertama,Berkaitan dengan konflik Aceh yang timbul akibat
adanya Gerakan Aceh Merdeka Sejak tahun 1976. Sedang yang kedua
berkaitan dengan reformasi yang menuntut. Perubahan disegala bidang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk menguba. Pola hubungan
antara pusat dan daerah. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa telah
“memaksa” pemerintah untuk membuat Beberapa kebijakan, diantaranya
kebijakan tentang desentralisasi dengan diterbitkannyaUndang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh
Yang berlangsung berlarut-larut telah “mendorong” sebagian anggota DPR
untuk mengajukan Usul inisiatif yang lantas melahirkan Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh. Melalui Undang-Undang ini, keistimewaan yang
selalu disebut-sebut sebagai ciri utama dan telah menjadi “identitas” Aceh.
Sejak tahun 1959 itu diharapkan akan menjadi lebih menyeluruh di
tengah masyarakat. Undang- Undang ini hanya mengatur hal-hal pokok, dan
setelah itu memberi kebebasan kepada Daerah Untuk mengatur
pelaksanaannya melalui peraturan daerah dan keterlibatan ulama dalam
Pembuatan kebijakan daerah, agar kebijakan daerah lebih akomodatif
terhadap aspirasi Masyarakat Aceh. Karena Undang-Undang ini dirasakan
belum cukup mengakomondir tuntutan daerah, Sidang Umum MPR tahun
1999 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, Mengamanatkan antara
lain pemberian otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh.

17
11. Perbedaan PERPU dengan PERDA
a. PERPU
Perpu merupakan Peraturan Pemerintah yang dibentuk dalam hal ihwal
Kegentingan yang Memaksa untuk mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945.
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya meliputi tahapan
perencanaan, penyusunan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
Dengan Kedudukan Perpu yang setingkat dengan UU, maka fungsi Perpu
adalah sama dengan fungsi Undang-Undang, baik untuk menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 yang tegas-tegas
menyebutnya, pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam
Batang Tubuh UUD 1945, Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Ketetapan
MPR yang tegas-tegas menyebutnya, dan Pengaturan di bidang materi
konstitusi. Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) adalah
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam ikhwal
kegentingan yang memaksa.
b. PERDA
Pengertian Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Menurut
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Adapun fungsi Peraturan
Daerah antara lain: Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi
daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan
UU tentang Pemerintahan Daerah. Merupakan peraturan pelaksanaan dari
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan daerah ditetapkan
oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Perda
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/
kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

18
19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyelenggaraan otonomi daerah yang sehat dapat diwujudkan dengan
menentukan kapasitas yang dimiliki oleh manusia sebagai sumber pelaksanaanya.
Berarti otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan baik dan lancar apabila manusia
dalam pelaksanaanya dikatakan baik, dalam arti mentalitas maupun kapasitasnya.
Pentingnya manusia sebagai sumber pelaksananya karena manusia merupakan unsur
dinamis dalam organisasi yang bertindak atau berfungsi sebagai subyek penggerak
roda pemerintahan. Oleh karena itu, kualifikasi mentalitas dan kapasitas manusia yang
kurang memadai dengan sendirinya melahirkan implikasi yang kurang
menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam pemerintah daerah
terdapat Pemerintah Daerah yang penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan Dewan (DPRD), kemudian Alat-alat perlengkapan daerah,
yaitu aparatur atau pegawai daerah dan terakhir rakyat daerah, yatu sebagai komponen
yang merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang
bersistem terbuka.
B. Saran
Sebaiknya para aparatur pemerintah daerah dibekali dengan pendidikan yang
cukup yang dapat dimiliki oleh aparatur daerah dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya masing-masing, serta dapat menjalankan tugas dan wewenangnya
dengan bijaksana dan adil. Agar pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik
sehingga kemiskinan dapat dikurangi, maka partisipasi masyarakat terhadap kegiatan-
kegiatan pembangunan di daerah ditumbuh kembangkan sehingga masyarakat merasa
ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan yang sedang
dilaksanakan.
Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan bagi
pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah. Salah satu hal
yang harus diantisipasi adalah kemungkinan terjadinya perpindahan penyelewengan
dan KKN dari pemerintah pusat ke daerah. Kasus di beberapa negara berkembang
menunjukkan bahwa pemberian otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang terlalu
cepat tanpa pengawasan adalah dengan mengoptimalisasi fungsi pengawasan oleh
DPR.

20
DAFTAR PUSTAKA

Arum Sutrisni Putri (2019). "Pengertian Otonomi Daerah dan Dasar Hukumnya".
Kompas.com.

Booth, Anne. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia.UI-Press, Jakarta

Haris, syamsuddin. 2005. Desentralisasi dan otonomi daerah. Jakarta : LIPI Pres

Kaho, Josef Riwu. 2002. Prospek otonomi daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta :
Rajawali Press

Karjo Redjo,Sardi .1999, Desentralisaasi Pembangunan Daerah di Indonesia, Erlangga,


Jakarta.

Muluk,Khairul, 2006. Desentralisasi pemerintahan Daerah,Bayumedia Publishing, Malang.

Rahman, Fathur. 2018. Teori Pemerintahan. Malang: UB Press

Riwu Kaho, Josef. 1995. Prospek Otonomi Daerah di NKRI. Jakarta: Rajagrafindo Persada

Sudantoko, Djoko. 2003. Dilema Otonomi Daerah. Yogyakarta : Penerbit ANDI

Utomo Warsito. 2000. Otonomi dan Pengembangan Lembaga Daerah. Yogyakarta: Fisipol
UGM.

21

Anda mungkin juga menyukai