Anggota Kelompok:
yonkk1
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
3.1 Latar Belakang
Lebih dari 20 tahun telah berlalu sejak sistem desentralisasi dalam
pemerintahan pertama kali dilaksanakan di Indonesia. Dalam segala
ketidaksiapannya, Indonesia beralih daari sistem sentralisasi dan melebarkan
jangkauan pemerintahan. Reformasi ini menerapkan pendelegasian otoritas yang
lebih besar, kekuatan politik, dan sumber daya keuangan langsung ke kabupaten
dan kota, melewati provinsi (Nasution, 2017). Dalam tujuan awalnya, banyak
percobaan desentralisasi bertujuan untuk menyusun kembali pemerintah, dari
mekanisme hierarkis, birokratis dari manajemen top-down hingga sistem
pemerintahan yang dicirikan oleh partisipasi dan kerja sama.
Sistem desentralisasi yang terkesan lebih ‘demokratis’ dibandingkan
dengan sistem sentralisasi memiliki berbagai manfaat yang ditargetkan bagi
daerah-daerah di Indonesia. Kesehatan, sistem pendidikan, pelayanan publik,
lingkungan, transportasi, pertanian, komunikasi, hingga sektor ekonomi di daera-
daerah pelosok Indonesia mendapat sokongan lebih efektif dari pemerintah pusat.
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sistem desentralisasi terhadap
sistem pendidikan di Indonesia sejak pertama kali diberlakukan.
1
10. Bagaimana proses pelaksanaan sistem desentralisasi dan otonomi daerah di
bidang pendidikan?
11. Bagaimana efektivitas pelaksanaan sistem desentralisasi dan otonomi daerah
di bidang pendidikan?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Desentralisasi
Desentralisasi berasal dari perpaduan 2 kata yaitu De dalam bahasa
Belanda yang berarti lepas, dan Centerum berarti pusat. Jika digabungkan maka
desentralisasi memiliki makna terlepas dari sesuatu yang terpusat
Menurut Rondinelli (1983) Definisi desentralisasi adalah penyerahan
perencanaan, pembuatan keputusan, ataupun kewenangan administratif dari
pemerintah pusat kepada suatu organisasi wilayah, satuan administratif daerah,
organisasi semi otonom, pemerintah daerah, ataupun organisasi nonpemerintah
atau lembaga swadaya masyarakat. Sedangkan menurut Patrick Sills, arti
desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih
tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang
legislatif, yudikatif atau administratif.
Berdasarkan Undang – Undang nomor 32 tahun 2004 pada pasal 1, lalu
dilakukan amandemen menjadi Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 yang
berbunyi “Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD
dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah”.
Maka dari itu pengertian desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat (Kepala Negara / Presiden) kepada pemerintah daerah
(Gubernur / Bupati) untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri sesuai
dengan asas otonomi.
Pengertian desentralisasi secara keseluruhan yaitu sebuah istilah yang
merujuk pada penyerahan / pembagian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah dalam berbagai bidang dengan tujuan agar bidang-bidang
tersebut dapat terlaksana lebih terkomando dengan efektif dan efisien.
3
Dalam hal ini, desentralisasi berkaitan dengan pelimpahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal
kepentingan rumah tangga (AD/ART) bagi badan politik (Partai Politik)
sesuai dengan daerah wilayah masing-masing
4
• Mewujudkan demokratisasi dalam pemerintahan daerah
5
2.6 Dasar Hukum Otonomi Daerah
a) Undang-undang Dasar Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang
Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian
pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
b) Ketetapan MPR-RI Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang
penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan
Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lalu
diperbarui dengan adanya Tap MPR RI No. IV/MPR/2000 yang membahas
mengenai materi rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah
c) UU No. 23 tahun 2014 yang juga merupakan revisi atau perubahan dari
beberapa pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.
Di dalam UU ini, terdapat pengaturan mengenai pembagian wilayah negara,
kekuasaan pemerintahan, urusan pemerintahan (baik yang berupa klasifikasi
urusan pemerintahan, urusan pemerintahan absolut, dan urusan pemerintahan
konkuren serta urusan pemerintahan umum).
6
2.8 Asas-asas Otonomi Daerah
Pedoman pemerintahan diatur dalam pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004,
penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan
negara yang teradiri atas sebagai berikut:
a) Asas kepastian hukum ialah asas yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara.
b) Asas tertib penyelenggara ialah asas menjadi landasan keteraturan, keserasian,
dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
c) Asas kepentingan umum ialah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
d) Asas keterbukaan ialah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informas yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
e) Asas proporsinalitas ialah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
f) Asas profesionalitas ialah asas yang mengutamakan keadilan yang
berlandasan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
g) Asas akuntabilitas ialah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
h) Asas efisiensi dan efektifitas ialah asas yang menjamin terselenggaranya
kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya tersedia secara
optimal dan bertanggung jawab “efisiensi = ketepatgunaan, kedayagunaan,
efektivitas = berhasil guna”.
i) Adapun penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan tiga asas antara lain
sebagai berikut:
7
j) Asas desentralisasi ialah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI.
k) Asas dekosentrasi ialah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat daerah.
l) Asas tugas pembantuan ialah penugasan dari pemerintahan kepada daerah
dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskan.
8
daerah dan sekolah untuk memutuskan bagaimana mengelola pendidikan secara
efektif di daerah atau sekolah yang bersangkutan tergantung pada potensi daerah
dan pemangku kepentingan sekolah.
Oleh karena itu, desentralisasi pendidikan merupakan kebijakan yang
terkait dengan banyak topik selain diakui sebagai strategi politik yang berkaitan
dengan pendidikan. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan memiliki
beberapa manfaat yang sangat sesuai dengan kondisi Indonesia, menurut Paqueo
dan Lammaert: (1) kemampuan daerah untuk membiayai pendidikan; (2)
meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di setiap
daerah; (3) redistribusi kekuasaan politik; (4) meningkatkan standar pendidikan;
dan (5) menumbuhkan inovasi untuk memenuhi harapan seluruh warga negara.
9
pendidikan ini bersumber dari persepsi bahwa suatu lembaga pendidikan
memerlukan suatu rencana, yang berfungsi sebagai batu loncatan untuk kegiatan
selanjutnya dan memperjelas arah setiap tindakan agar kegiatan pendidikan dapat
dilaksanakan dengan sukses dan efisien.
Dalam bukunya Sirozi, Jalal dan Musthafa (2005: 234) yang dikutip
dari (Idris, 2020) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan didasarkan pada
dua gagasan yang berbeda namun terkait. Gagasan pertama berkaitan dengan
topik desentralisasi yang lebih luas, yaitu pengalihan kendali daerah atas
kebijakan pendidikan dari tingkat nasional. Menurut gagasan ini, pemerintah
federal harus memberikan rencana pendidikan kepada pemerintah daerah dan
uang yang diperlukan untuk membayar tugas yang diberikan. Pemerintah harus
menentukan kebutuhan masing-masing pemerintah daerah, tetapi terserah kepada
pemerintah daerah untuk memilih berapa besar dan jenis belanja pendidikan yang
dibutuhkan.
Gagasan kedua berkaitan dengan pengalihan otoritas atas berbagai
pilihan pendidikan dari negara ke masyarakat daerah. Gagasan mendasar yang
mendasari konsep ini adalah bahwa orang harus menyadari hak-hak mereka dan
membuat keputusan sendiri tentang program pendidikan yang mereka inginkan
karena merekalah yang akan memperoleh keuntungan darinya. Kedua gagasan ini
membantu menjelaskan lebih lanjut mengapa meningkatkan kualitas pendidikan
merupakan tujuan utama dari desentralisasi kekuasaan dalam sistem pendidikan.
Desentralisasi adalah strategi terbesar untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
menurut semacam kesepakatan dunia, khususnya di antara negara-negara
berkembang. Desentralisasi pendidikan mensyaratkan pendelegasian pilihan
mengenai sejumlah elemen karena kualitas pendidikan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang berhubungan.
10
lebih baik, lebih cepat, dan akuntabel. Pemerintah sangat mengutamakan
pendidikan.
Pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan di Indonesia terus
mengalami berbagai tantangan baik yang nyata maupun yang dirasakan. Jika
persoalan ini tidak segera diselesaikan, desentralisasi pengelolaan pendidikan
dikhawatirkan akan berdampak negatif lebih jauh, bahkan lebih pelik dari
persoalan disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 yang menganut kerangka
sistem pendidikan nasional tunggal Negara Kesatuan Republik Indonesia
memberikan dukungan yang kokoh dan jelas dalam pelaksanaan otonomi daerah
di bidang pendidikan. pendidikan.
Tujuan dari kajian ini adalah untuk melihat lebih dekat bagaimana
“kebijakan otonomi daerah di bidang pendidikan di kabupaten/kota”
diimplementasikan. Faktor kemampuan penerjemahan para pelaku kebijakan,
termasuk kapasitas sumber daya manusia dan pemahaman otonomi bidang
kebijakan pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan pendidikan, sarana
dan prasarana, dan pendidikan, yang diadopsi dari Teori Gerston, semuanya
termasuk dalam kajian ini. ruang lingkup (2002). Selain itu, studi ini melihat
bagaimana kebijakan otonomi daerah dapat diterapkan di tingkat kabupaten dan
kota di bidang pendidikan. Sedangkan Surakarta dan Kabupaten Kendai
merupakan wilayah fokus geografis kajian yaitu Jawa Tengah.
Pertama, dari sudut inisiasi kebijakan, proses pengambilan keputusan lebih
dipengaruhi oleh tujuan jangka pendek para pelaku pembuat kebijakan daerah
daripada secara objektif dibentuk oleh analisis kebutuhan mendalam yang
membahas masalah-masalah sosial. Karena proses pengambilan keputusan yang
ada, program pendidikan seringkali gagal memenuhi kebutuhan masyarakat.
Berbeda dengan aktor yang bertanggung jawab menjalankan kebijakan, Dinas
Pendidikan, dalam praktiknya, Bupati/Walikota dan Komisi E DPRD secara
signifikan lebih berpengaruh dan mendominasi dalam pembuatan kebijakan.
Masyarakat belum secara tepat dimobilisasi, diberdayakan, atau berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
11
Kedua, penanganan pelayanan pendidikan di daerah masing-masing masih
belum sepenuhnya dalam lingkup “kemampuan penerjemahan” aparatur
pemerintah kabupaten/kota. Rata-rata latar belakang pendidikan dan profesi
pegawai dinas relatif tinggi, hal ini cukup relevan, namun posisi tawar Dinas
Pendidikan jauh lebih lemah jika dibandingkan dengan aktor lain, khususnya
Bupati/Walikota dan DPRD. Akibatnya, aktor utama (Bupati/Walikota dan
DPRD), yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat, biasanya memiliki
pendidikan formal dan pengalaman kerja yang kurang relevan. Kerangka interaksi
yang timpang antara para pelaku yang terlibat dalam implementasi kebijakan
pendidikan dihasilkan oleh timpangnya pekerjaan dan latar belakang pendidikan.
Ketiga sebagai sistem pendukung, organisasi dan manajemen belum
mampu memberikan fasilitas kepada masyarakat untuk pelaksanaan kebijakan
pendidikan. Sebagai pelaksana kebijakan, perangkat Dinas Pendidikan seringkali
lebih berperan sebagai subordinasi para pelaku pembuat kebijakan daripada
sebagai mitra setara yang berperan dalam mengimplementasikan berbagai inovasi
layanan pendidikan untuk meningkatkan kualitasnya. Dalam menjalankan
perannya sebagai penyelenggara kebijakan publik, pendidikan aparatur cenderung
lebih berorientasi politis kepada kepentingan kepala pemerintahan dan kurang
didorong oleh tuntutan masyarakat. Koordinasi antara kabupaten/kota, pemerintah
provinsi, dan pemerintah federal menjadi sulit karena perbedaan nama dinas dan
struktur organisasi.
Keempat, kedua daerah otonom memiliki alokasi dana yang berbeda untuk
pelaksanaan kebijakan dan inisiatif pendidikan yang berbeda. Dana pendidikan
yang dikucurkan pemerintah Kendal lebih besar dari anggaran yang dikucurkan
pemerintah Surakarta. Mereka terus mendukung pengalokasian anggaran
pendidikan untuk program-program fisik bahkan jika penggunaan terlihat.
Hasilnya konsisten dengan Paqueo dan Lammert, yang melihat bagaimana
berbagai negara menerapkan kebijakan otonomi daerah. Indikator yang terungkap
dalam penelitian Paqueo dan Lammert menunjukkan bahwa politisi lokal
(pembuat kebijakan) memiliki kecenderungan untuk mengeluarkan dana untuk
membiayai program dan kegiatan fisik yang dapat menghasilkan keuntungan
secara cepat dalam jangka pendek.
12
Kelima, meskipun prasarana dan sarana pendukung setidaknya tersedia
untuk pelaksanaan kebijakan pendidikan di Kota Surakarta dan Kabupaten Kendal,
namun tidak didukung secara memadai secara finansial. Usulan anggaran untuk
pembelian sarana dan prasarana baru lebih terjangkau dibandingkan pengajuan
anggaran untuk pemeliharaan dan perbaikan sarana dan prasarana yang sudah ada,
yang merupakan temuan menarik lainnya dari penelitian ini di kedua ranah
tersebut.
Keenam, Indonesia, negara dengan luas daratan yang sangat besar,
memberlakukan undang-undang yang mempromosikan otonomi daerah. Salah
satu gagasan penting adalah bahwa tanpa pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab kepada berbagai wilayah pemerintahan serta masyarakat sebagai pengguna
kebijakan, maka pemerintah tidak dapat mengatur pemerintahannya sendiri.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan otonomi
daerah dalam Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 2004 tidak hanya sekedar
menerapkan otomi tentang pemerintahan semata, tetapi juga mencakup bidang
pendidikan secara lebih umum. Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah
(Provinsi, Kabupaten, dan Kota) yang terbentang dari Sabang sampai Merauke
harus berperan aktif dalam meningkatkan taraf pendidikan dengan menerapkan
undang-undang tersebut. Jika pendidikan maju, maka di tempat-tempat untuk
maju karena masalah ini dibawa oleh pendidikan itu. Kemampuan percepatan
pendidikan di setiap daerah dimungkinkan oleh otonomi pendidikan daerah. Juga,
otonomi pendidikan menawarkan masyarakat berbagai peluang.
3.2 Saran
Sistem desentralisasi merupakan sistem yang sesuai dengan sistem
pemerintahan Indonesia yang demokratis. Namun dalam penerapannya, sistem ini
masih memiliki kekurangan, terutama di sektor pendidikan yang sangat
fundamental dalam proses pembangunan bangsa. Oleh karena itu, penulis
merumuskan rekomendasi bagi pemerintah dalam meningkatkan efektivitas
sistem desentralisasi di bidang pendidikan, yakni:
• Pemerintah harus memerhatikan pembangunan fasilitas dan infrastruktur
sekolah-sekolah dasar dan menengah di daerah pelosok. Dalam hal ini,
instansi pendidikan perlu ditingkatkan bukan hanya dari segi kualitas, namun
juga kuantitas;
• Pemerintah perlu memerhatikan keterjangkauan instansi pendidikan bagi
pelajar dan mahasiswa yang hendak menempuh pendidikan;
• Perlunya seleksi tenaga pengajar yang khusus dan diutamakan, serta lulusan
yang berkualitas didistribusikan ke seluruh pelosok tanah air sebagai wujud
pemerataan pendidikan.
14
DAFTAR PUSTAKA
15