2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah dan
karunia-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, SAW, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan judul “Negara dan
Pendidikan Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan, Manajemen Berbasis
Sekolah” sebagai tugas mata kuliah Landasan Ilmu Pendidikan. Disamping itu,
makalah ini diharapkan dapat menjadi sarana pembelajaran serta menambah wawasan
dan pengetahuan terutama bagi penulis.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam
penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisannya. Oleh
karena itu penulis menerima kritikan dan saran demi perbaikan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
Negara dan Pendidikan Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan,
Manajemen Berbasis Sekolah
1
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah
tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang telah digariskan menurut UU.
Pada dasarnya, sistem desentralisasi sudah berlangsung cukup lama di
Indonesia, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5
tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-
pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah.
Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP
No. 8 tahun 1995.
Menurut UU No.22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan
wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom. Menurut Tim Teknis Bappenas bekerjasama dengan
Bank Dunia (Sufyarma, 2003: 83), desentralisasi pendidikan diartikan sebagai
pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk
membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapi bidang pendidikan, namun harus tetap mengacu
kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian
tujuan pembangunan nasional. Sedangkan, menurut Zamroni desentralisasi
pendidikan pada hakekatnya merupakan pengakuan bahwa proses pendidikan
tidak akan berjalan dengan baik kalau semuanya dikontrol dari pusat.
Sedangkan menurut Chan, desentralisasi pendidikan ditetapkan untuk
meningkatkan mutu pendidikan ( Nafiatu, 2016 )
Dengan demikian, desentralisasi pendidikan dapat dipahami sebagai
pemberian sebagian otoritas, kewenangan, dan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan dasar maupun menengah dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota. Dengan penerapan
desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah dengan dukungan masyarakat
akan mengembangkan pendidikan sesuai karakteristik dan keunggulan
daerahnya, tetapi tetap mengacu pada sistem pendidikan nasional.
2
Menurut Hasbullah, dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan
berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya, kalau
desentralisasi bidang pemerintahan lain berada pada pemerintahan di tingkat
kabupaten/ kota, maka desentralisasi dibidang pendidikan tidak berhenti pada
tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau
sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan (Kris Setyaningsih,
2017)
Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan merupakan salah satu
bagian dalam implementasi desentralisasi pada penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia. Otonomi Daerah merupakan wujud dari
pelaksanaan azas desentralisasi sedangkan bidang pendidikan adalah salah
satu urusan wajib yang harus dilaksanakan di daerah dan menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah untuk memenuhi pelayanan yang baik bagi
masyarakat dengan standar yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Menurut Burki, secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi
pendidikan, yaitu:
3
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk mengalokasikan
anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBD yang ditetapkan setiap
tahunnya. Ketetapan ini merupakan komitmen politik dari pemerintah
(negara) agar pemerintah daerah berusaha optimal untuk memenuhi kewajiban
tersebut. Namun dalam implementasinya hampir seluruh kabupaten/kota di
Indonesia belum mampu memenuhi amanah UU tersebut karena
ketidakmampuan sumber keuangan daerah (PAD). Oleh karenanya
desentralisasi pendidikan bagi daerah di Indonesia tidak mampu
diselenggarakan dengan mengandalkan pada kemampuan APBD daerah,
karena pemenuhan alokasi 20% anggaran pendidikan tidak bisa dipenuhi.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya kendala dan hambatan yang
dihadapi oleh kabupaten/kota terkait dengan penyelenggaraan desentralisasi
pendidikan terutama kesiapaan alokasi pendanaan dalam APBD yang
mengharuskan memenuhi angka 20%. Dengan demikian bahwa dalam
penguatan otonomi daerah sebagai implementasi dari desentralisasi bidang
pendidikan sangat diperlukan adanya dukungan dari berbagai pihak seperti
pemerintah, swasta dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan di daerah. (Aos Kuswandi, 2011 )
Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan
proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri.
Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut
sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat
demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu
bangsa.
Ada beberapa faktor pendorong penerapan desentralisasi dalam
pendidikan yaitu :
4
a. Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis,
dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan
menilai kualitas pendidikan.
b. Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat
bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
c. Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif
kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
d. Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari
masyarakat
e. Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
5
1. Kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang
pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi
ekonomi, budaya masyarakat Indonesia diberbagai daerah.
2. Kebijakan dan penyelenggaraan nasional lebih berorientasi pada
pencapaian pada target-target tertentu seperti target kurikulum yang pada
gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu
menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. ( Nafiatu, 2010 )
6
2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua)
menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurun dari waktu
sebelumnya, sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga
kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.
3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran
dialokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru
didistribusikan ke sekolah.
4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan,
secara kumulatif berpotensi akan menurunkan kualitas pendidikan.
5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya
permasalahan dan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan
menurunkan mutu pendidikan.
6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan
potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu
pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial. (Kris Setyaningsih,
2017)
7
adalah factor guru, buku pelajaran, proses pendidikan, alat-alat pelajaran,
manajemen sekolah, besarnya kelas-sekolah, dan factor keluarga ( Nanang
Fattah, 2012). Sedangkan menurut Nanang Fattah (2006) tantangan tersebut
mencakup :
1. Kemampuan keuangan yang tidak memadai
2. Kepemimpinan kepala sekolah yang tidak kompeten
3. Organisasi dan komitmen guru yang masih rendah
4. Persepsi negative dari masyarakat
5. Penataan staf
6. Kurikulum yang tidak relevan
7. Konflik politik dan rasial
8. Keterbatasan fasilitas
9. Komunikasi yang tidak kondusif
10. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah tidak jelas
11. Rendahnya peningkatan mutu guru
12. Sertifikasi kependidikan bagi guru, kepala sekolah dan pengawas belum
terpenuhi
13. Peningkatan kesejahteraan guru yang belum memadai
( Nanang Fattah, 2012 )
8
pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik”. Sejalan dengan amanat tersebut, Peratuan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas PP Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 49 Ayat (1) menyatakan:
“Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan
kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”.
Berdasarkan kedua isi kebijakan tersebut, prinsip MBS meliputi:
1. Kemandirian
Kemandirian berarti kewenangan sekolah untuk mengelola sumberdaya dan
mengatur kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi seluruh warga sekolah sesuai peraturan perundangan. Kemandirian
sekolah hendaknya didukung oleh kemampuan sekolah dalam mengambil
keputusan terbaik, demokratis, mobilisasi sumberdaya, berkomunikasi yang
efektif, memecahkan masalah, antisipatif dan adaptif terhadap inovasi
pendidikan, bersinergi, kolaborasi, dan memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
2. Keadilan
Keadilan berarti sekolah tidak memihak terhadap salah satu sumber daya
manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya sekolah, dan dalam
pembagian sumber daya untuk kepentingan peningkatan mutu sekolah.
Sumber daya manusia yang terlibat, baik warga sekolah maupun pemangku
kepentingan lainnya diberikan kesempatan yang sama untuk ikut serta
memberikan dukungan guna peningkatan mutu sekolah sesuai dengan
kapasitas mereka. Pembagian sumber daya untuk pengelolaan semua
substansi manajemen sekolah dilakukan secara bijaksana untuk mempercepat
dan keberlanjutan upaya peningkatan mutu sekolah. Dengan diperlakukan
secara adil, maka semua pemangku kepentingan akan memberikan dukungan
terhadap sekolah seoptimal mungkin
9
3. Keterbukaan
Manajemen dalam konteks MBS dilakukan secara terbuka atau transparan,
sehingga seluruh warga sekolah dan pemangku kepentingan dapat mengetahui
mekanisme pengelolaan sumber daya sekolah. Selanjutnya sekolah
memperoleh kepercayaan dan dukungan dari pemangku kepentingan.
Keterbukaan dapat dilakukan melalui penyebarluasan informasi di sekolah
dan pemberian informasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sumber
daya sekolah, untuk memperoleh kepercayaan publik terhadap sekolah.
Tumbuhnya kepercayaan publik merupakan langkah awal dalam
meningkatkan peran serta masyarakat terhadap sekolah.
4. Kemitraan
Kemitraan yaitu jalinan kerjasama antara sekolah dengan masyarakat, baik
individu, kelompok/organisasi, maupun Dunia Usaha dan Dunia Industri
(DUDI). Dalam prinsip kemitraan antara sekolah dengan masyarakat dalam
posisi sejajar, yang melaksanakan kerjasama saling menguntungkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Keuntungan yang diterima
sekolah antara lain meningkatnya kemampuan dan ketrampilan peseta didik,
meningkatnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana sekolah,
diperolehnya sumbangan ide untuk pengembangan sekolah, diperolehnya
sumbangan dana untuk peningkatan mutu sekolah, dan terbantunya tugas
kepala sekolah dan guru. Keuntungan bagi masyarakat biasanya dirasakan
secara tidak langsung, misalnya tersedianya tenaga kerja terdidik, terbinanya
anggota masyarakat yang berakhlakul karimah, dan terciptanya tertib sosial.
Sekolah bisa menjalin kemitraan, antara lain dengan tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh adat, dunia usaha, dunia industri, lembaga pemerintah,
organisasi profesi, organisasi pemuda, dan organisasi wanita.
5. Partisipatif
Partisipatif dimaksudkan sebagai keikutsertaan semua pemangku kepentingan
yang terkait dengan sekolah dalam mengelola sekolah dan pembuatan
10
keputusan. Keikutsertaan mereka dapat dilakukan melalui prosedur formal
yaitu komite sekolah, atau keterlibatan pada kegiatan sekolah secara
insidental, seperti peringatan hari besar nasional, mendukung keberhasilan
lomba antar sekolah, atau pengembangan pembelajaran. Bentuk partisipasi
dapat berupa sumbangan tenaga, dana, dan sarana prasarana, serta bantuan
teknis antara lain gagasan tentang pengembangan sekolah.
6. Efisiensi
Efisiensi dapat diartikan sebagai penggunaan sumberdaya (dana, sarana
prasarana dan tenaga) sesedikit mungkin dengan harapan memperoleh hasil
seoptimal mungkin. Efisiensi juga berarti hemat terhadap pemakaian
sumberdaya namun tetap dapat mencapai sasaran peningkatan mutu sekolah.
7. Akuntabilitas
Akuntabilitas menurut LAN dan BPKP (2000) adalah kewajiban untuk
memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja
dan tindakan seseorang / badan hokum/pimpinan organisasi kepada pihak
yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban ( Nanang Fattah, 2012 )
Akuntabilitas menekankan pada pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan di sekolah utamanya pencapaian sasaran peningkatan mutu
sekolah. Sekolah dalam mengelola sumberdaya berdasar pada peraturan
perundangan dan dapat mempertangungjawabkan kepada pemerintah, seluruh
warga sekolah dan pemangku kepentingan lainnya. Pertanggungjawaban
meliputi implementasi proses dan komponen manajemen sekolah.
Sejalan dengan adanya pemberian otonomi yang lebih besar terhadap
sekolah untuk mengambil keputusan, maka implementasi ketujuh prinsip
MBS di sekolah pada dasarnya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi
sekolah. Sekolah boleh menambah prinsip implementasi MBS yang sesuai
dengan karakteristik sekolah, guna mempercepat upaya peningkatan mutu
sekolah baik secara akademis maupun non akademis.
11
b. Kewenangan Sekolah
Melalui MBS, Caldwell dan Spink menyebutkan bahwa sekolah memiliki
otonomi dalam hal berikut ini:
1. Pengetahuan (knowledge)
Sekolah memiliki kewenangan berkaitan dengan kurikulum, termasuk
membuat keputusan mengenai tujuan dan sasaran pendidikan atau
pembelajaran yang akan dicapai.
2. Teknologi (Technology)
Memutuskan sarana teknologi belajar mengajar apa saja yang digunakan
untuk mencapai kualitas.
3. Kekuasaan (Power)
Membuat keputusan terbaik yang mendorong kualitas sekolah.
4. Material (Material)
Dalam hal pengadaan dan penggunaan berbagai fasilitas peralatan sekolah
secara optimal.
5. Manusia (People)
Keputusan mengenai pengembangan sumber daya manusia di sekolah,
termasuk pengembangan profesionalisme yang berkaitan dengan proses
belajar mengajar yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar secara
efektif.
6. Waktu (Time)
Keputusan mengenai pemanfaatan alokasi waktu.
7. Keuangan (Finance)
Sekolah memiliki otonomi keputusan mengenai alokasi keuangan.
12
penting sekali karena sekolah merupakan ujung tombak kemajuan suatu
bangsa.
Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ) ini memiliki berbagai tujuan,
antara lain :
13
d. Faktor-Faktor Penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah
1. Kewajiban sekolah
Manajemen berbasis sekolah yang menawarkan keleluasaan pengelolaan
sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru,
dan pengelola sistem pendidikan profesional. Oleh karena itu, pelaksanaannya
perlu disertai seperangkat kewajiban, serta monitoring dan tuntutan
pertanggungjawaban yang relatif tinggi untuk menjamin bahwa sekolah selain
memiliki otonomi juga memunyai kewajiban melaksanakan kebijakan
pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat sekolah.
2. Kebijakan dan prioritas pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak
merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama
yang berkaitan dengan program peningkatan melek huruf dan angka,
efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal tersebut sekolah
tidak diperbolehkan berjalan sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan
standar yang ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis. Agar
prioritas-prioritas pemerintah dilaksanakan oleh sekolah dan semua aktivitas
sekolah ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik sehingga
dapat belajar dengan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat
pedoman umum tentang pelaksanaan MBS. Pedoman-pedoman tersebut
terutama ditujukan untuk menjamin bahwa hasil pendidikan (student
outcomes) terevaluasi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah
14
dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam kerangka yang
disetujui oleh pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
3. Peranan orang tua dan masyarakat
MBS menunut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk
membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan
otoritas daerah setempat, serta mengefesiensikan sistem dan menghilangkan
birokrasi yang tumpang tindih. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting
dalam manajemen berbasis sekolah, khususnya dalam pembuatan keputusan.
Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami, dan dapat mengawasi
serta membantu sekolah dalam pengelolaan dan kegiatan belajar mengajar.
Besaranya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah memungkinkan
dapat menimbulkan rancunya kepentingan antar sekolah, orang tua, dan
masyarakat. Oleh karenanya, dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan
bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.
4. Peranan profesional dan manajerial
Menurut Mulyasa, manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-
perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam
mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi meningkatkan
gesekan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi
persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah guru dan tenaga administrasi
harus memiliki kedua sifattersebut yaitu, profesional dan manajerial.
Pengembangan profesi Dalam MBS pemerintah harus menjamin bahwa
semua unsure penting tenaga kependidikan (sumber daya manusia) menerima
pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara
efektif. Oleh karena itu perlu adanya pusat pengembangan profesi yang
berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan (Muh.
Anwar HM, 2018).
15
KEPUSTAKAAN
16