Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH LANDASAN ILMU PENDIDIKAN

NEGARA DAN PENDIDIKAN SENTRALISASI


DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN, MANAJEMEN BERBASIS
SEKOLAH

Oleh: IMERA (19176006)

Dosen Mata Kuliah : Prof. Dr. ELLIZAR, M. Pd.

Dr. YERIMADESI, S Pd., M. Si.

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah dan
karunia-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, SAW, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan judul “Negara dan
Pendidikan Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan, Manajemen Berbasis
Sekolah” sebagai tugas mata kuliah Landasan Ilmu Pendidikan. Disamping itu,
makalah ini diharapkan dapat menjadi sarana pembelajaran serta menambah wawasan
dan pengetahuan terutama bagi penulis.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam
penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna karena masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisannya. Oleh
karena itu penulis menerima kritikan dan saran demi perbaikan makalah ini.

Padang, Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………… i


DAFTAR ISI ………………………………………………… ii
Negara dan Pendidikan Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan, ………… 1
Manajemen Berbasis Sekolah
A. Konsep Dasar Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan ………… 1
B. Kelebihan dan Kekurangan Sentralisasi Pendidikan ………………. 5
C. Kelebihan dan Kekurangan Desentralisasi Pendidikan ……………. 6
D. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah ……………………………... 7
a. Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah ……………………………. 8
b. Kewenangan Sekolah …………………………………………….. 12
c. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah ……………… 12
d. Faktor-Faktor Penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah …….. 14
KEPUSTAKAAN …………………………………………………………….. 16

ii
Negara dan Pendidikan Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan,
Manajemen Berbasis Sekolah

A. Konsep Dasar Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan


Sentralisasi dan desentralisasi merupakan mekanisme pengaturan
dalam pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
sentralisasi adalah penyatuan segala sesuatu ke suatu tempat (daerah dan
sebagainya) yang dianggap sebagai pusat, penyentralan atau pemusatan
sedangkan desentralisasi adalah sistem pemerintahan yang lebih banyak
memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah atau penyerahan sebagian
wewenang pimpinan kepada bawahan (atau pusat kepada cabang dan
sebagainya).
Dalam manajemen pendidikan juga dikenal dua mekanisme
pengaturan, yaitu sistem sentralisasi dan desentralisasi. Dalam sistem
sentralisasi, segala sesuatu yang berkenaan dengan penyelenggaraan
pendidikan diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Sementara dalam sistem
desentralisasi, wewenang pengaturan tersebut diserahkan kepada pemerintah
daerah. Dalam pelaksanaannya kebijakan tersebut berlangsung secara
bertahap dengan pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah (lokal).
Manajemen pendidikan di Indonesia, dijelaskan dalam Penjelasan UU
No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan
bahwa Pendidikan Nasional diatur secara terpusat (sentralisasi), namun
penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak
terpusat (desentralisasi). Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat
yang sebesar-besarnya dan mengurangi segi-segi negatif, pengelolaan
pendidikan tersebut memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.

1
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah
tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang telah digariskan menurut UU.
Pada dasarnya, sistem desentralisasi sudah berlangsung cukup lama di
Indonesia, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5
tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-
pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah.
Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP
No. 8 tahun 1995.
Menurut UU No.22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan
wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom. Menurut Tim Teknis Bappenas bekerjasama dengan
Bank Dunia (Sufyarma, 2003: 83), desentralisasi pendidikan diartikan sebagai
pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk
membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapi bidang pendidikan, namun harus tetap mengacu
kepada tujuan pendidikan nasional sebagai bagian dari upaya pencapaian
tujuan pembangunan nasional. Sedangkan, menurut Zamroni desentralisasi
pendidikan pada hakekatnya merupakan pengakuan bahwa proses pendidikan
tidak akan berjalan dengan baik kalau semuanya dikontrol dari pusat.
Sedangkan menurut Chan, desentralisasi pendidikan ditetapkan untuk
meningkatkan mutu pendidikan ( Nafiatu, 2016 )
Dengan demikian, desentralisasi pendidikan dapat dipahami sebagai
pemberian sebagian otoritas, kewenangan, dan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan dasar maupun menengah dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota. Dengan penerapan
desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah dengan dukungan masyarakat
akan mengembangkan pendidikan sesuai karakteristik dan keunggulan
daerahnya, tetapi tetap mengacu pada sistem pendidikan nasional.

2
Menurut Hasbullah, dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan
berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya, kalau
desentralisasi bidang pemerintahan lain berada pada pemerintahan di tingkat
kabupaten/ kota, maka desentralisasi dibidang pendidikan tidak berhenti pada
tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau
sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan (Kris Setyaningsih,
2017)
Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan merupakan salah satu
bagian dalam implementasi desentralisasi pada penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia. Otonomi Daerah merupakan wujud dari
pelaksanaan azas desentralisasi sedangkan bidang pendidikan adalah salah
satu urusan wajib yang harus dilaksanakan di daerah dan menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah untuk memenuhi pelayanan yang baik bagi
masyarakat dengan standar yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Menurut Burki, secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi
pendidikan, yaitu:

1. Desentralisasi kewenangan di bidang pendidikan dalam hal kebijakan


pendidikan dan aspek pendanaannya dari Pemerintah Pusat ke pemerintah
daerah (provinsi, kabupaten/kota)
2. Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang
lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan yang
pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi
penyelenggaraan pemerintahan dari Pusat ke daerah, sedangkan konsep
desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan
yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk
meningkatkan kualitas hasil pendidikan ( Subijanto, 2010)

3
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional bahwa pemerintah daerah berkewajiban untuk mengalokasikan
anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBD yang ditetapkan setiap
tahunnya. Ketetapan ini merupakan komitmen politik dari pemerintah
(negara) agar pemerintah daerah berusaha optimal untuk memenuhi kewajiban
tersebut. Namun dalam implementasinya hampir seluruh kabupaten/kota di
Indonesia belum mampu memenuhi amanah UU tersebut karena
ketidakmampuan sumber keuangan daerah (PAD). Oleh karenanya
desentralisasi pendidikan bagi daerah di Indonesia tidak mampu
diselenggarakan dengan mengandalkan pada kemampuan APBD daerah,
karena pemenuhan alokasi 20% anggaran pendidikan tidak bisa dipenuhi.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya kendala dan hambatan yang
dihadapi oleh kabupaten/kota terkait dengan penyelenggaraan desentralisasi
pendidikan terutama kesiapaan alokasi pendanaan dalam APBD yang
mengharuskan memenuhi angka 20%. Dengan demikian bahwa dalam
penguatan otonomi daerah sebagai implementasi dari desentralisasi bidang
pendidikan sangat diperlukan adanya dukungan dari berbagai pihak seperti
pemerintah, swasta dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan di daerah. (Aos Kuswandi, 2011 )
Oleh sebab itu, desentralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan
proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri.
Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut
sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat
demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu
bangsa.
Ada beberapa faktor pendorong penerapan desentralisasi dalam
pendidikan yaitu :

4
a. Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis,
dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan
menilai kualitas pendidikan.
b. Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat
bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
c. Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif
kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
d. Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari
masyarakat
e. Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.

B. Kelebihan dan Kekurangan Sentralisasi Pendidikan


Dalam pelaksanaan sebuah system atau program tentu tidak terlepas
dari kelebihan dan kekurangan. Begitu juga dengan system manajemen
sentralisasi pendidikan ini, yang juga memiliki berbagai kelebihan dan
kekurangan.
Adapun beberapa kelebihan dari sentralisasi pendidikan ini adalah :
1. Totaliterisme dari penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia
2. Adanya bentuk keseragaman dari pola pembudayaan masyarakat
3. Organisasi akan menjadi lebih khusus dan efisien serta seluruh
aktifitas dari organisasi tersebut menjadi semakin terpusat dan
kemudahan dalam sistem pengambilan suara.
4. Pengembangan beserta perencanaan dari beragam organisasi yang
akan lebih terintegrasi.

Disamping kelebihan tentu juga terdapat kelemahan dari system


sentralisasi pendidikan ini. Menurut Hasbullah ada beberapa kelemahan
konseptual dalam penyelenggaraan pendidikan nasional secara sentralisasi yaitu:

5
1. Kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang
pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi
ekonomi, budaya masyarakat Indonesia diberbagai daerah.
2. Kebijakan dan penyelenggaraan nasional lebih berorientasi pada
pencapaian pada target-target tertentu seperti target kurikulum yang pada
gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu
menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. ( Nafiatu, 2010 )

C. Kelebihan Dan Kekurangan Desentralisasi Pendidikan


Desentralisasi pendidikan tentu juga memiliki kelebihan dan
kekurangan. Adapun kelebihan dari desentralisasi pendidikan ini antara lain :
1. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota mengambil insisiatif sendiri dalam
melaksanakan perubahan organisasi untuk merespon peran dan fungsi
yang berubah .
2. Tumbuhnya inisiatif dalam mengelola perubahan yang didorong oleh
kekuatan internal pada tingkat satuan pendidikan dan masyarakat.
3. Pada tingkat pusat reformasi struktur organisasi Departemen lebih di
arahkan pada semakin besarnya fungsi manajemen mutu sebagai respons
positif terhadap tuntutan perkembangan global dan kebijakan
desentralisasi
4. Adanya kebutuhan legislasi dan regulasi dalam pengelolaan pendidikan di
daerah. ( Nanang Fattah, 2012)

Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan desentralisasi yang tidak matang


juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :

1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah, antar


sekolah, antar individu warga masyarakat. Hal ini, dipengaruh oleh
kemampuan keuangan masing-masing daerah berbeda.

6
2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua)
menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurun dari waktu
sebelumnya, sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga
kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.
3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggaran
dialokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru
didistribusikan ke sekolah.
4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan,
secara kumulatif berpotensi akan menurunkan kualitas pendidikan.
5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahami sepenuhnya
permasalahan dan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan
menurunkan mutu pendidikan.
6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan
potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu
pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial. (Kris Setyaningsih,
2017)

D. Manajemen Berbasis Sekolah


Pada awalnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat,
namun dengan berlakunya undang-undang tentang otonomi daerah, maka
karena itu, tidak ada lagi penekanan pada keseragaman, namun jaminan
adanya keberagaman antar sekolah. Melalui penerapan manajemen berbasis
sekolah, perencanaan dan pengembangan sekolah didasarkan pada semua
potensi yang dapat dikembangkan, baik yang dimiliki oleh pendidik dan
tenaga kependidikan, maupun pemanfaatan secara optimal semua fasilitas
yang tersedia di sekolah.
Manajemen pendidikan merupakan suatu hal yang mesti dilakukan
untuk menghadapi tantangan dalam pendidikan di Indonesia. Menurut Ace
Suryadi dan H.A.R Tilaar tantangan yang paling mendasar yang dihadapi

7
adalah factor guru, buku pelajaran, proses pendidikan, alat-alat pelajaran,
manajemen sekolah, besarnya kelas-sekolah, dan factor keluarga ( Nanang
Fattah, 2012). Sedangkan menurut Nanang Fattah (2006) tantangan tersebut
mencakup :
1. Kemampuan keuangan yang tidak memadai
2. Kepemimpinan kepala sekolah yang tidak kompeten
3. Organisasi dan komitmen guru yang masih rendah
4. Persepsi negative dari masyarakat
5. Penataan staf
6. Kurikulum yang tidak relevan
7. Konflik politik dan rasial
8. Keterbatasan fasilitas
9. Komunikasi yang tidak kondusif
10. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah tidak jelas
11. Rendahnya peningkatan mutu guru
12. Sertifikasi kependidikan bagi guru, kepala sekolah dan pengawas belum
terpenuhi
13. Peningkatan kesejahteraan guru yang belum memadai
( Nanang Fattah, 2012 )

Untuk menghadapi tantangan tersebut tentu diperlukan sebuah usaha


nyata dengan menggunakan sebuah bentuk manejemen atau pengaturan yang
disebut dengan Manajemen Berbasis Sekolah yang harus dilakukan secara
maksimal dan berkesinambungan

a. Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan


Nasional pada Pasal 48 Ayat (1) menyatakan bahwa, “Pengelolaan dana

8
pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik”. Sejalan dengan amanat tersebut, Peratuan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas PP Nomor 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 49 Ayat (1) menyatakan:
“Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan
kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”.
Berdasarkan kedua isi kebijakan tersebut, prinsip MBS meliputi:

1. Kemandirian
Kemandirian berarti kewenangan sekolah untuk mengelola sumberdaya dan
mengatur kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi seluruh warga sekolah sesuai peraturan perundangan. Kemandirian
sekolah hendaknya didukung oleh kemampuan sekolah dalam mengambil
keputusan terbaik, demokratis, mobilisasi sumberdaya, berkomunikasi yang
efektif, memecahkan masalah, antisipatif dan adaptif terhadap inovasi
pendidikan, bersinergi, kolaborasi, dan memenuhi kebutuhan sekolah sendiri.
2. Keadilan
Keadilan berarti sekolah tidak memihak terhadap salah satu sumber daya
manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya sekolah, dan dalam
pembagian sumber daya untuk kepentingan peningkatan mutu sekolah.
Sumber daya manusia yang terlibat, baik warga sekolah maupun pemangku
kepentingan lainnya diberikan kesempatan yang sama untuk ikut serta
memberikan dukungan guna peningkatan mutu sekolah sesuai dengan
kapasitas mereka. Pembagian sumber daya untuk pengelolaan semua
substansi manajemen sekolah dilakukan secara bijaksana untuk mempercepat
dan keberlanjutan upaya peningkatan mutu sekolah. Dengan diperlakukan
secara adil, maka semua pemangku kepentingan akan memberikan dukungan
terhadap sekolah seoptimal mungkin

9
3. Keterbukaan
Manajemen dalam konteks MBS dilakukan secara terbuka atau transparan,
sehingga seluruh warga sekolah dan pemangku kepentingan dapat mengetahui
mekanisme pengelolaan sumber daya sekolah. Selanjutnya sekolah
memperoleh kepercayaan dan dukungan dari pemangku kepentingan.
Keterbukaan dapat dilakukan melalui penyebarluasan informasi di sekolah
dan pemberian informasi kepada masyarakat tentang pengelolaan sumber
daya sekolah, untuk memperoleh kepercayaan publik terhadap sekolah.
Tumbuhnya kepercayaan publik merupakan langkah awal dalam
meningkatkan peran serta masyarakat terhadap sekolah.
4. Kemitraan
Kemitraan yaitu jalinan kerjasama antara sekolah dengan masyarakat, baik
individu, kelompok/organisasi, maupun Dunia Usaha dan Dunia Industri
(DUDI). Dalam prinsip kemitraan antara sekolah dengan masyarakat dalam
posisi sejajar, yang melaksanakan kerjasama saling menguntungkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah. Keuntungan yang diterima
sekolah antara lain meningkatnya kemampuan dan ketrampilan peseta didik,
meningkatnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana sekolah,
diperolehnya sumbangan ide untuk pengembangan sekolah, diperolehnya
sumbangan dana untuk peningkatan mutu sekolah, dan terbantunya tugas
kepala sekolah dan guru. Keuntungan bagi masyarakat biasanya dirasakan
secara tidak langsung, misalnya tersedianya tenaga kerja terdidik, terbinanya
anggota masyarakat yang berakhlakul karimah, dan terciptanya tertib sosial.
Sekolah bisa menjalin kemitraan, antara lain dengan tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh adat, dunia usaha, dunia industri, lembaga pemerintah,
organisasi profesi, organisasi pemuda, dan organisasi wanita.
5. Partisipatif
Partisipatif dimaksudkan sebagai keikutsertaan semua pemangku kepentingan
yang terkait dengan sekolah dalam mengelola sekolah dan pembuatan

10
keputusan. Keikutsertaan mereka dapat dilakukan melalui prosedur formal
yaitu komite sekolah, atau keterlibatan pada kegiatan sekolah secara
insidental, seperti peringatan hari besar nasional, mendukung keberhasilan
lomba antar sekolah, atau pengembangan pembelajaran. Bentuk partisipasi
dapat berupa sumbangan tenaga, dana, dan sarana prasarana, serta bantuan
teknis antara lain gagasan tentang pengembangan sekolah.
6. Efisiensi
Efisiensi dapat diartikan sebagai penggunaan sumberdaya (dana, sarana
prasarana dan tenaga) sesedikit mungkin dengan harapan memperoleh hasil
seoptimal mungkin. Efisiensi juga berarti hemat terhadap pemakaian
sumberdaya namun tetap dapat mencapai sasaran peningkatan mutu sekolah.
7. Akuntabilitas
Akuntabilitas menurut LAN dan BPKP (2000) adalah kewajiban untuk
memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja
dan tindakan seseorang / badan hokum/pimpinan organisasi kepada pihak
yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban ( Nanang Fattah, 2012 )
Akuntabilitas menekankan pada pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan di sekolah utamanya pencapaian sasaran peningkatan mutu
sekolah. Sekolah dalam mengelola sumberdaya berdasar pada peraturan
perundangan dan dapat mempertangungjawabkan kepada pemerintah, seluruh
warga sekolah dan pemangku kepentingan lainnya. Pertanggungjawaban
meliputi implementasi proses dan komponen manajemen sekolah.
Sejalan dengan adanya pemberian otonomi yang lebih besar terhadap
sekolah untuk mengambil keputusan, maka implementasi ketujuh prinsip
MBS di sekolah pada dasarnya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi
sekolah. Sekolah boleh menambah prinsip implementasi MBS yang sesuai
dengan karakteristik sekolah, guna mempercepat upaya peningkatan mutu
sekolah baik secara akademis maupun non akademis.

11
b. Kewenangan Sekolah
Melalui MBS, Caldwell dan Spink menyebutkan bahwa sekolah memiliki
otonomi dalam hal berikut ini:
1. Pengetahuan (knowledge)
Sekolah memiliki kewenangan berkaitan dengan kurikulum, termasuk
membuat keputusan mengenai tujuan dan sasaran pendidikan atau
pembelajaran yang akan dicapai.
2. Teknologi (Technology)
Memutuskan sarana teknologi belajar mengajar apa saja yang digunakan
untuk mencapai kualitas.
3. Kekuasaan (Power)
Membuat keputusan terbaik yang mendorong kualitas sekolah.
4. Material (Material)
Dalam hal pengadaan dan penggunaan berbagai fasilitas peralatan sekolah
secara optimal.
5. Manusia (People)
Keputusan mengenai pengembangan sumber daya manusia di sekolah,
termasuk pengembangan profesionalisme yang berkaitan dengan proses
belajar mengajar yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar secara
efektif.
6. Waktu (Time)
Keputusan mengenai pemanfaatan alokasi waktu.
7. Keuangan (Finance)
Sekolah memiliki otonomi keputusan mengenai alokasi keuangan.

c. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah


Dengan ada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), diharapkan sekolah
mampu mengembangkan sekolah ke arah yang lebih baik. Hal ini tentu sangat

12
penting sekali karena sekolah merupakan ujung tombak kemajuan suatu
bangsa.
Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ) ini memiliki berbagai tujuan,
antara lain :

1. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi


sekolah sehingga sekolah dapat lebih leluasa dalam mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam rangka memajukan sekolah.
2. Sekolah lebih mengetahui semua yang dibutuhkan lembaganya khususnya
input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses
pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
3. Pengambilan keputusan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan
sekolah.
4. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan
keputusan sekolah akan dapat menciptakan transparasi yang sehat.
5. Semua warga sekolah diharapkan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi
untuk berlomba-lomba dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
6. Terjadinya persaingan yang sehat antarsekolah di lingkup kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi dan nasional dalam hal mutu pendidikan.
7. Secara yuridis, Manajemen Berbasis Sekolah telah ditetapkan dalam peraturan
perundangan yang berlaku untuk diterapkan di sekolah baik tingkat anak usia
dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Adapun manfaat MBS adalah sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan
guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugasnya, keleluasaan dalam
mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi,
mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer
maupun pemimpin sekolah, guru didorong untuk berinovasi, rasa tanggap sekolah
terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai
dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.

13
d. Faktor-Faktor Penting dalam Manajemen Berbasis Sekolah

Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam peningkatan


manajemen mutu berbasis sekolah. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan
kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orang tua dan
masyarakat, peranan profesionalisme dan manajerial, serta pengembangan
profesi.

1. Kewajiban sekolah
Manajemen berbasis sekolah yang menawarkan keleluasaan pengelolaan
sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru,
dan pengelola sistem pendidikan profesional. Oleh karena itu, pelaksanaannya
perlu disertai seperangkat kewajiban, serta monitoring dan tuntutan
pertanggungjawaban yang relatif tinggi untuk menjamin bahwa sekolah selain
memiliki otonomi juga memunyai kewajiban melaksanakan kebijakan
pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat sekolah.
2. Kebijakan dan prioritas pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak
merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama
yang berkaitan dengan program peningkatan melek huruf dan angka,
efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal tersebut sekolah
tidak diperbolehkan berjalan sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan
standar yang ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis. Agar
prioritas-prioritas pemerintah dilaksanakan oleh sekolah dan semua aktivitas
sekolah ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik sehingga
dapat belajar dengan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat
pedoman umum tentang pelaksanaan MBS. Pedoman-pedoman tersebut
terutama ditujukan untuk menjamin bahwa hasil pendidikan (student
outcomes) terevaluasi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah

14
dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam kerangka yang
disetujui oleh pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
3. Peranan orang tua dan masyarakat
MBS menunut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk
membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan
otoritas daerah setempat, serta mengefesiensikan sistem dan menghilangkan
birokrasi yang tumpang tindih. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting
dalam manajemen berbasis sekolah, khususnya dalam pembuatan keputusan.
Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami, dan dapat mengawasi
serta membantu sekolah dalam pengelolaan dan kegiatan belajar mengajar.
Besaranya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah memungkinkan
dapat menimbulkan rancunya kepentingan antar sekolah, orang tua, dan
masyarakat. Oleh karenanya, dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan
bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas.
4. Peranan profesional dan manajerial
Menurut Mulyasa, manajemen berbasis sekolah menuntut perubahan-
perubahan tingkah laku kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi dalam
mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi meningkatkan
gesekan peranan yang bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi
persyaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah guru dan tenaga administrasi
harus memiliki kedua sifattersebut yaitu, profesional dan manajerial.
Pengembangan profesi Dalam MBS pemerintah harus menjamin bahwa
semua unsure penting tenaga kependidikan (sumber daya manusia) menerima
pengembangan profesi yang diperlukan untuk mengelola sekolah secara
efektif. Oleh karena itu perlu adanya pusat pengembangan profesi yang
berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi tenaga kependidikan (Muh.
Anwar HM, 2018).

15
KEPUSTAKAAN

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia,


Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas,
Jakarta.

Fattah, Nanang. 2012. Analisis Kebijakan Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya,


Bandung

Firdianti, Arinda. 2018. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Dalam


Meningkatkan Prestasi Belajar. CV. Gre Publishing : Yogyakarta

HM, Muh. Anwar. 2018. Manajemen Berbasis Sekolah (Alternatif Peningkatan


Mutu Pendidikan Madrasah) . Jurnal Ekspose Volume 17, Nomor 2

Ismail, Feiby…… Manajemen Berbasis Sekolah: Solusi Peningkatan Kualitas


Pendidikan

Kuswandi, Aos. 2011. Desentralisasi Pendidikan dalam Penyelenggaraan


Otonomi Daerah di Indonesia . Governance, Vol. 2, No. 1

Nafiatu. 2010. Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan. nafiatusblog.mhtml


Setyaningsih, Kris. 2017. Esensi Tranformasi Sistem Sentralisasi Desentralisasi
Pendidikan Dalam Pembangunan Masyarakat Journal of Islamic Education
Management ( 1-19 )

Subijanto. 2010. Prinsip-Prinsip dan Efektivitas Desentralisasi Pendidikan dalam


Rangka Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan . Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan, Vol. 16, Nomor 5

16

Anda mungkin juga menyukai