Anda di halaman 1dari 9

SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Oleh: Ari Wardoyo[1]

BAB I

PENDAHULUAN

Dunia pendidikan kita dalam beberapa tahun yang silam telah mengalami berbagai hal yang serat
dengan nilai sejarah untuk masa yang akan datang. Berbagai peraturan telah dikeluarkan untuk
menyempurnakan system pendidikan di tanah air. Diantaranya adalah tentang system pendidikan
nasional, pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar, menengah, pendidikan tinggi dan berbagai
peraturan yang berkaitan langsung dengan system pendidikan.

Terkait dengan munculnya berbagai peraturan tentang pendidikan nasional, tentu berbagai asumsipun
muncul sebagai bentuk usaha untuk mengkritisi peraturan tersebut. Tentu tidak semua asumsi bernada
positif, terdapat pula asumsi yang bernada negative. Ada yang berasumsi bahwa, mutu pendidikan akan
dapat ditingkatkan apa bila ditangani dengan efisien. Artinya berbagai sumber yang mempengaruhi
terjadinya proses pendidikan perlu ditangani secara jelas, terkendali dan terarah. Kurikulum harus
diarahkan dan dirinci, para gurupun harus dipersiapkan dan ditugaskan keberbagai daerah, sarana dan
dana pendidikan harus diprogramkan secara efisien.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dari setiap warga negara, maka kewajiban pemerintah untuk
memformulasikan pendidikan dengan sebaik mungkin. Dalam hal ini unit pendidikan yang paling dekat,
pemerintah pusat dan daerah, berkewajiban untuk melaksanakannya. Pendidikan menjadi salah satu
masalah terutama pembagian wewenang kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Inilah yang
kemudian disebut sebagai tarik menarik antara sentralisasi dan desentralisasi pendidikan.

Sentralisasi dan desentraslisi pendidikan menjadi permasalahan yang sangat urgen untuk didiskusikan,
sebab pendidikan sebagai pilar pembangunan bangsa, dan sekaligus sebagai alat transformasi
pembangunan nasional. Berkait dengan hal tersebut, mutu pendidikan merupakan masalah yang berkait
dengan pengelolaan system pendidikan dan kebijakan yang diterapkan. Pendidikan harus mampu
menyediakan dan memenuhi kebutuhan dalam setiap lini kehidupan, setiap kawasan dan daerah
mempunyai kebutuhan yang berbeda, dan tentu mempunyai potensi yang berbeda pula. Dalam hal ini
kebijakan pemerintah pusat menjadi penentu dalam kesuksesan pendidikan kita dimasa yang akan
datang.               

BAB II

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SENTRALISASI/DESENTRALISASI

1. Sentralisasi

Sentralisasi secara bahasa berasal dari bahasa ingris yaitu dari kata ‘center’ yang dapat berarti
pusat[2], sentralisasi adalah pemusatan.[3] Sentralisasi merupakan memusatkan seluruh wewenang
kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sistem
ini digunakan sebelum adanya otonomi daerah atau desentralisasi. Dalam sistem sentralisasi seluruh
keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh pemerintah pusat, sehingga pemerintah pusat tidak
akan mengalami kekuatiran akan adanya permasalah yang timbul akibat perbedaan pengambilan
keputusan, sebab keputusan dan kebijakan dikontrol oleh pemerintah pusat.

Pada dasarnya Pusat mempunyai kecenderungan untuk mendorong sentralisasi, seperti juga di
Indonesia yang telah melaksanakan system sentralisasi. Tentu dalam system sentralisasi terdapat alasan
yang positif maupun negative.  Seperti alasan kontrol sumber daya dan alasan kestabilan politik,
ekonomi, menjaga batas kesenjangan agar tidak terlalu buruk, dan mendorong program secara cepat.

Pada dasarnya sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan organisasi atau
perusahaan bahkan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang yang ada pada
pusat dan daerah. Artinya, dalam penerapan kedua system tersebut, system apa pun yang dipakai
mempunyai konsekuensi yang mengiringinya. Pembagian, pengurangan atau penambahan wewenang
merupakan konsekuensi logis yang harus diterima. Dalam bahasa yang lebih ekstrim, bahkan ada salah
satu pihak yang dirugikan.     

2. Desentralisasi

Desentralisasi secara bahasa berasal dari bahasa ingris, yang artinya pendaerahan pemerintahan,
pemberian wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya
sendiri.[4]

Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada
pemimpin atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur organisasi. Sistem ini,
desentralisasi, banyak digunakan oleh organisasi ataupun perusahaan pada saat ini, sebab dapat
memperbaiki serta meningkatkan efektifitas dan produktivitas organisasi. Artinya, sistem
penyelengaraan organisasi, perusahaan atau pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan
sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan sebagian wewenang untuk
memutuskan berbagai persoalan ditingkat pemerintah daerah atau pemda.

Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat
diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Daerah dapat
menetapkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masing-masing. Kekurangan dari sistem
desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah adanya peluang yang sangat besar terjadinya
penyelewengan wewenang untuk kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk
mengeruk keuntungan pribadi. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah
ditingkat pusat.
Bila dibandingkan, kelemahan pengambilan keputusan yang terpusat lebih besar, sebab sebahagian
keputusan yang dihasilkan lepas dari konteks yang selalu berubah pada level daerah, hal ini disebabkan
pemerintah pusat yang tidak memahami kondisi yang dialami oleh daerah. Pengalaman menunjukan
bahwa sistem yang terpusat tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Desentralisasi/otonomi daerah adalah sebuah proses yang komplek dan dapat membawa perubahan-
perunahan yang penting berkaitan dengan menciptakan kebijakan, sumber daya, pengeluaran dana,
serta pengelolaan organisasi, pemerintah daerah.

Dalam konteks Indonesia, kelahiran otonomi daerah tidak lepas pula dari tuntutan pembangunan. ‘Kita
telah melihat bahwa keputusan politik untuk memberi otonomi kepada daerah didorong pula oleh
tuntunan pembangunan nasional yang semakin meningkat dan semakin kompleks sehingga meminta
penanganan yang lebih efisien serta mengikut sertakan masyarakat sedapat-dapatnya dalam mengambil
keputusan, dalam merencanakan, melaksanakan dan bertanggungjawab atas pembangunan di
daerahnya.’[5]     

2. DARI SENTRALISASI MENUJU DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Indonesia dalam sejarah pernah mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan dibanding dengan
negara-negara tetangga, seperti Malaysia. Kemajuan itu tentu juga merupakan hasil jerih payah
pemerintah dan masyarakat. Malaysia pada waktu itu banyak mengirimkan mahasiswanya ke-Indonesia,
bahkan banyak guru-guru yang dikirim ke Malaysia, kemudian Malaysia mampu memperbaiki
pendidikannya. Ironisnya, saat ini justru Indonesia tertinggal dibanding negara Malaysia dalam bidang
pendidikan, Indonesia tidak mampu mempertahankan kesuksesannya, bahkan pendidikan di Indonesia
mengalami kemunduran.

Dari permasalahan di atas, tentu kita akan berfikir mendalam bagaimana ini bisa terjadi? apa yang salah
dengan pendidikan kita saat ini? Sebab jika hal ini dibiarkan, tentu akan berdampak pada aspek-aspek
yang lain, bahkan dapat menjadi tolak ukur untuk kemajuan dan kemunduran suatu bangsa.    

Pendidikan dimanapun memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pembangunan suatu bangsa,
pendidikan merupakan tempat untuk menanamkan dan menerjemahkan pesan-pesan konstitusi,
undang-undang, untuk membentuk watak masyarakat. Keberhasilan dalam mengarahkan, pencapaian
tujuan pendidikan tersebut, tentu memerlukan kerangka sistem penyelengaraan pendidikan, yang
meliputi arah kebijakan pendidikan.

a.      Arah kebijakan Pendidikan

Arah kebijakan pendidikan Indonesia menurut Isbandi [6] bahwa ada beberapa poin, diantara;

Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi
bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan
peningkatan anggaran pendidikan;

Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan


tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam
peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga
kependidikan;
Melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk pembaruan kurikulum, berupa diversifikasi
kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan
lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional;

 Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan
nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung
oleh sarana dan pra sarana memadai;

 Melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi,
otonomi keilmuan dan manajemen;

Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun
pemerintah untuk menetapkan sistem pendidikan yang efektif dan efesien dalam mengahadapi
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan
menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi
muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan
potensinya.

Dalam upaya peningkatan mutu pendidian pemerintah telah memperluas dan pemerataan kesempatan
memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia. Memberdayakan lembaga
pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan,
serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan pra sarana
memadai. Hal ini telah memperjelas bahwa pemerintah telah memberikan keluasan kepada
penyelengara pendidikan ditingkat daerah untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan potensi
daerah dan sekolah masing-masing. Atau dengan kata lain, pemerintah telah memberlakukan sistem
desentralisasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan merupakan terobosan besar dalam pembangunan
bangsa yang selama ini memakai paradigma top-down berubah menjadi memakai paradigma bottom-up.
Sesuai dengan PP No. 25 tahun 2000 maka sejumlah kewenangan dalam bidang pendidikan yang selama
ini berada di pusat akan dilimpahkan kepada institusi penyelenggara pendidikan dalam bingkai
pemerintah daerah dan sekolah, termasuk dalam hal pengembangan kurikulum sekolah yang sekarang
dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Bentuk desentralisasi pendidikan tidak
terlepas juga dari UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU nomor 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

‘… suksesnya pembangunan nasional kita dimasa yang akan datang antara lain akan ditentukan oleh
pengembangan manajemen pembangunan kita diberbagai bidang. Transformasi ekonomi dan social
yang begitu cepat meminta pengelolaan sumber dengan strategi pengembangan kelembagaan dan
kepemimpinan yang kondusif bagi tumbuhnya masyarakat yang aktif dan partisipasif dalam
pembangunan sehingga dapat memanfaatkan berbagai sumber yang tersedia dalam lingkungan social
budaya dan potensi ekonominya. Arah pendekatan manajemen pembangunan kita kiranya sudah jelas,
dari sentralisasi yang berlebihan menuju kepada desentralisasi yang positif’. [7]    

Dengan demikian sekolah secara penuh memiliki otonomi dalam mengembangkan pendidikan. Sekolah
diizinkan untuk menyusun sendiri kurikulum yang akan diajarkan, tentunya tetap berdasarkan pada
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah
Depdiknas. Sekolah dapat memilih kurikulum mana yang sekiranya dibutuhkan di sekolah dapat
dijalankan dengan keleluasaan. Begitu juga proses pembelajarannya dapat dilakukan sesuai kebutuhan.

Ada beberapa alasan desentralisasi pendidikan diterapkan, sesuai dengan penjelasan Isjoni bahwa,
‘Dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan diberbagai masyarakat di dunia, terdapat beberapa alasan
mengapa konsep ini diberlakukan. Alasannya beragam seperti, ketidak mampuan pemerintah pusat
untuk mengangkat mutu pendidikan secara merata, alasan politis untuk memenangkan pertarungan
para calon politik, dan untuk pemenangan pemilu yang demokratis. Demikian pula berbagai alasan
tersembunyi seperti mengurangi tanggung jawab pemerintah pusat terhadap pengurusan daerah,
sampai pada bantuan pemerintah pusat kepada daerah. Begitu pula dengan anggapan bahwa
desentralisasi dipicu oleh kebutuhan pembangunan yang lebih merata keberbagai daerah.’. [8] Alasan ini
merupakan sebuah pelarian ketikmampuan dari pemerintah pusat untuk menyerahkan pendidikan
kepada pemerintah daerah, tentu alasan ini tidak mendasar dan terbilang sangat klise.

Dalam penyelengaraan pendidikan, kebutuhan daerah dan masyarakat tentu sangat beragam, komplek
dan tidak semua kebutuhan tersebut mampu dipenuhi oleh pemerintah. Oleh sebab itu, akan lebih bijak
dan sudah selayaknya tanggung jawab pendidikan diserahkan kepada masyarakat untuk mengelolanya.
Inilah alasan yang tepat, mengapa harus diterapkan system desentralisasi pendidikan. Lebih lanjut Isjoni
mengatakan, ‘pengembalian tanggung jawab pendidikan kepada rakyat sebagai pemiliknya merupakan
suatu proses pembangunan demokrasi yang sangat mendasar. Hanya anggota masyarakat yang terdidik
yang dapat menjadi warga demokratis yang produktif. Penyelengaraan pendidikan harus mengikut-
sertakan masyarakat karena masyarakat yang menjadi stekholders yang pertama dan utama dari proses
pendidikan tersebut. Hal ini berarti proses pendidikan, tujuan pendidikan, dan sarana pendidikan
termasuk pula mutu pendidikan merupakan tanggung jawab masyarakat setempat’. [9] Inilah yang
disebut dengan masyarakat sebagai basis pendidikan. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang
mampu menjawab kebutuhan masyarakat, membebaskan masyarakat dari keterpurukan, baik ekonomi,
social, budaya dan politik. Tentu masyarakat lebih mengetahui kebutuhannya.

Institusi pendidikan yang dikelola secara desentralistik, sekolah lebih dominant sebagai institusi
akademik, berbeda dengan institusi sekolah yang dikelola secara sentralistik, sekolah akan tampil
sebagai unit birokrasi ketimbang sebagai institusi akademik. Kepala sekolah, guru, staff akan tampil
sebagai aparat birokrasi yang terkontaminasi dengan kekuasaan yang terikat dengan prilaku politisi
katimbang sebagai tenaga akademik yang professional.

‘Konsep desentralisasi pendidikan memberikan keleluasaan kewenangan bagi pemerintah daerah


kabupaten/kota untuk mengatur dan mengelola pendidikan di wilayahnya. Proses kebijakan pemerintah
daerah dalam dunia pendidikan harus melibatkan peran serta masyarakat, sebagai salah satu amanat
dari diberlakukannya otonomi daerah. Alasan utama diberlakukannya desentralisasi pendidikan adalah
mengubah paradigma pendidikan sentralistis pada desentralisasi. Hal tersebut sebagai alternatif
pengembangan keberagaman potensi pendidikan yang tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia,
sehingga suatu saat diharapkan dapat membentuk citra dan kewibawaan pendidikan sebagai motor
penggerak bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.’. [10]

b. Strategi kebijakan manajemen pendidikan


Pelaksanaan desentralisasi pendidikan memerlukan perumusan kebijakan-kebijakan manajemen
pendidikan dasar yang sesuai dengan kondisi social budaya serta komitmen politik nasional. Menurut
H.A.R. Tilaar (2006:35-46) ada beberapa hal yang perlu dirumuskan, diantaranya adalah:

Wawasan Nusantara

Banyak anggapan bahwa pendidikan, dengan system desentralisasi, merupakan musuh bagi pemerintah
pusat yang kuat. Sebab pendidikan yang baik akan menghasilkan lulusan yang baik, dan mempunyai
kesadaran kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah. Desentralisasi juga dapat mengurangi rasa
nasionalisme, sebagaimana yang dinyatakan oleh H.A.R. Tilaar bahwa, ‘Desentralisasi manajemen
pendidikan dasar memang tidak dengan sendirinya akan melemahkan tumbuh berkembangnya
perasaan nasionalisme yang sehat. Namun desentralisasi cenderung memberi perioritas kepada
penghayatan-penghayatan nasionalisme yang konkrit dan menjauhi hal-hal yang abstrak seperti
nasionalisme, patriotisme dan cita-cita nasional. Dengan demikian dapat dimengerti bahaya yang
mengintai dibalik pendekatan desentralisasi seperti sparatisme, apalagi sejarah kehidupan nasional kita
pernah mengalami trauma akibat rasa daerahisme yang sempit. Dengan pengakuan dan kesepakatan
kita untuk menjadikan pancasila sebagai satu-satunya weltanschauung bangsa dan masyarakat
indonesisa, momok sparatisme kiranya tidak merupakan bahaya lagi asal tetap kita waspada’. [11]     

Demokrasi

‘Pelaksanaan pendidikan dengan desentralisasi menuntut untuk mengikutsertakan peran masayarakat.


Penyelengaraan pendidikan berdasarkan asas-asas demokrasi ialah mengikut-sertakan unsure-unsur
pemerintah setempat, masyarakat, orang tua saling bahu-membahu menyelenggarakan pendidikan
yang dikehendaki bagi anak-anaknya, dengan berpedoman pada patokan-patokan umum yang berlaku’.
[12]    
Dengan adanya demokrasi, setiap unsure masyarakat mempunyai hak untuk menyumbangkan dan ikut
serta dalam setiap proses pembangunan untuk memajukan bangsa dan negara. Keikut-sertaan
masyarakat dalam proses pembangunan menjadi salah satu kelebihan tersendiri, sebab pada dasarnya
masyarakat lebih mengetahui tentang kebutuhannya dan potensi yang dimiliki.     

Kurikulum

Desentralisasi memerlukan berbagai macam sarana dan tenaga pendidik, kemampuan untuk menyusun
kurikulum local yang dijabarkan dari kurikulum nasional serta menyiapkan alat-alat batu belajar
(teknologi pendidikan) yang sesuai dengan kurikulum jabaran itu. Penyusunan kurikulum harus mampu
menyerap kebutuhan lingkungan, pengembangan kebudayaan local dan nasional, sebab keduanya saling
mengisi, tentu memerlukan inovasi pendidikan.   

Proses Belajar Mengajar

Penguasaan ilmu pengetahuan, dalam proses belajar mengajar, akan mudah diserap jika dilaksanakan
secara kontektual. Proses belajar tidak terjadi dalam ruang hampa, data, ilmu pengetahuan, hanya dapat
diserap dalam kaitannya dengan dunia nyata. Inilah kelebihan desentralistik, memberi peluang
penyajian situasi belajar mengajar yang konkrit sehingga dengan demikian proses pengasahan penalaran
dapat terjadi secara wajar, dan oleh sebab itu, akan lebih berhasil. Lingkungan pendidikan adalah
sumber belajar yang pertama dan utama, oleh sebab itu proses belajar mengajar yang tidak
memperhatikan lingkungan bukan hanya menjauhkan peserta didik dari sadar lingkungan, juga tidak
akan membuahkan hasil belajar yang maksimal.  

Efisiensi

Pendidikan yang dikelola secara sentralistik cenderung melahirkan system yang sangat makro dan
kurang memperhatikan kebutuhan daerah yang beraneka ragam. Dengan system ujian nasional yang
sentralistik semakin menjauhkan dari relevansinya terhadap kebutuhan kehidupan yang nyata. Sehingga
lulusan yang dihasilkan pun tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, dan tidak mampu mengisi
celah-celah yang membutuhkan tenaga professional, ini adalah pemborosan. Sistem pendidikan
desentralisasi sebenarnya tidak menjamin dapat mengatasi permasalahan tersebut, akan tetapi,
desentralisasi penyelengaraan pendidikan akan meningkatkan efisiensi eksternal karena masyarakat
local mengetahui benar kebutuhannya.   

Pembiayaan Pendidikan

Permasalahan pendidikan kita yang selama ini menjadi hambatan salah satunya adalah anggaran dana
pendidikan. Indonesia dibading dengan negara-negara ASEAN lainnya, merupakan negara yang
mengalokasikan dana APBN terkecil untuk anggaran pendidikan. Walaupun ada perencanaan untuk
mengalokasikan 20 % untuk anggaran pendidikan, namun sampai saat ini belum maksimal
terealisasikan. Dengan adanya desentralisasi pendidikan, proses mobilisasi sumber dana dari masyarakat
diharapkan akan mudah dilaksanakan, sebab desentralisasi pendidikan mendekatkan pendidikan kepada
masyarakat, dengan demikian akan dapat memobilisasi dan menjaring sumber yang ada dalam
masyarakat untuk kepentingan pendidikan.        

Ketenagaan

Keberadaan tenaga pendidik memang sangat urgan dalam pendidikan. Pengadaan dan pemanfaatan
guru sekolah harus ditangani secara desentralisasi sebab masalah penempatnnya harus betul-betul
berdsarkan keadaan dan kebutuhan pada sekolah-sekolah.  

Dengan pertimbangan perumusan kebijakan-kebijakan manajemen pendidikan dasar yang sesuai


dengan kondisi social budaya serta komitmen politik nasional, menjadi sebuah poros baru bagi kita
untuk mengatasi dikotomi sentralisasi vs desentralisasi. Dengan adanya pertimbangan ke-7 unsur di
atas, sentralisasi maupun desentralisasi pendidikan masa depan akan saling mengisi kekurangan dan
kelebihannya masing-masing.  

BAB III

PENUTUP

Penyelengaraan system pendidikan bukan merupakan masalah yang sederhana, yang tidak akan selesai
dengan hanya penerapan pendekatan system sentralisasi maupun desentralisasi pendidikan. Masing-
masing pendekatan mempunyai kekuatan dan kelemahan. Akan tetapi pembangunan pendidikan yang
dikehendaki adalah pendidikan yang semakin mendekatkan kepda masyarakat atau dalam arti
desentralisasi. Desentralisasi pendidikan memerlukan persiapan yang matang dari semua kompenen dan
juga pemerintah. Tentu hal ini memerlukan waktu yang panjang untuk memperoleh hasil yang
sempurna.

Desentralisasi pendidikan memberikan keleluasaan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk


mengatur dan mengelola pendidikan di Wilayahnya masing-masing. Proses kebijakan pemerintah
daerah dalam dunia pendidikan harus melibatkan peran serta masyarakat, sebagai salah satu amanat
dari diberlakukannya otonomi daerah. Adanaya tarik-menarik dalam pelaksanaan system pendidikan
antara sentralisasi dan desentralisasi pendidikan, unsure yang merupakan poros penentu perumusan
strategi pengelolaan pendidikan adalah wawasan nusantara, asas demokrasi, kurikulum, tenaga
kependidikan, PBM, efesiensi, pembiayaan, dan partisipasi.

DAFTAR PUSTAKA

H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Cet.VIII, (Bandung; Rosdakarya, 2006)


Hasan Langulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta, Al-Husna Zikra, 2000)
http://www.icmimudabanten.org
Isjoni, Membangun visi bersama: Aspek-Aspek Penting Dalam Reformasi Pendidikan, (Jakarta,
Buku Obor, 2006)
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Ingris Indonesia, Cet. xxvii, (Jakarta; Gramedia, 2003)
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya; Arloka, 1994)

[1] Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

[2] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Ingris Indonesia, Cet. xxvii, (Jakarta; Gramedia, 2003),
hlm.104

[3] Ibid, hlm.702

[4] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya; Arloka, 1994), hlm.104
[5] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Cet.VIII, (Bandung; Rosdakarya, 2006), hlm.31

[6] http://www.icmimudabanten.org, Isbandi, Desentralisasi Pendidikan, download 14 November


2007.     

[7] H.A.R. Tilaar, Op.Cit. hlm.33

[8] Isjoni, Membangun visi bersama: Aspek-Aspek Penting Dalam Reformasi Pendidikan, (Jakarta, Buku
Obor, 2006), hlm.10-11

[9] Ibid, hlm.11

[10] http://www.icmimudabanten.org, download 14 November 2007  

[11] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional,  hlm.36

[12] Ibid, hlm.37

Anda mungkin juga menyukai