DISUSUN OLEH:
1. IKA
2. MAWARDI
Hal ini juga berlaku dalam manajemen pendidikan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan
dalam Penjelasan UUSPN 1989 bahwa pendidikan nasional diatur secara terpusat (sentralisasi),
namun penyelenggaraan satuan dan kegiatan pendidikan dilaksanakan secara tidak terpusat
(desentralisasi). Hal tersebut cukup beralasan karena masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan sehingga untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dan mengurangi segi-
segi negatif, pengelolaan pendidikan tersebut memadukan sistem sentralisasi dan desentralisasi.
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal
menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan
menurut UU. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang
kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur
organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan
sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan
oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal
menjadi lebih lama
Dalam era reformasi dewasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan
distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah,
termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang
pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada
kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang
adanya koordinasi dan sinkronisasi. Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal,
seperti: kesulitan pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak
dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal ini dibiarkan
berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul. Misalnya, kembali pada kebijakan
pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan
pendidikan yang dianggapnya paling tepat meskipun sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan
pusat.
Kalau hal ini terjadi maka konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sulit
dihindari. Dalam sejarah konflik kepentingan pusat dan daerah memicu terjadinya upaya-upaya
pemisahan diri yang tentunya mengancam disintegrasi bangsa.
Dengan perkataan lain apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak
dilakukan upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut dapat
mengarah pada disintegrasi bangsa. Dalam kondisi demikian diperlukan cara bagaimana agar
kebijakan pendidikan di daerah dengan pusat ada sinkronisasi dan koordinasi. Juga perlu
diusahakan secara sistematis untuk membina generasi muda untuk tetap memiliki komitmen
yang kuat dibawah naungan NKRI. Masalah sinkronisasi dan koordinasi kebijakan pendidikan
dan upaya membina generasi muda yang berorientasi memperkuat integrasi bangsa menjadi
fokus dalam makalah.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya,
juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang.
Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba keputusan dari
atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya baik kehidupan anak
dan lingkungannya.
Konsekuensinya, posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar
memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang
dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang
memperhatikan seperti:
Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak
diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan
pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat
pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995. Menurut UU
No.22, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab
pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
c. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehingga dapat meningkatkan
efisiensi.
a. Perubahan berkaitan dengan urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara
otomatis menjadi tangung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat. Desentralisasi pendidikan
suatu keharusan rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru
mengenai kehidupan masyrakat yang lebih sejahtera ialah pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat (civil rights). Kita ingin membangun suatu
masyarakat baru yaitu masyarakat demokrasi yang mengakui akan kebebasan individu yang
bertanggungjawab. Pada masa orde baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah.
Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang tersebut dan otoriter sehingga tidak
mengakui akan hak-hak daerah. Kekayaan nasional, kekayaan daerah telah dieksploitasi untuk
kepentingan segelintir elite politik. Kejadian yang terjadi berpuluh tahun telah melahirkan suatu
rasa curiga dan sikap tidak percaya kepada pemerintah. Lahirlah gerakan separtisme yang ingin
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, desentralisasi atau
otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan era reformasi. Termasuk di dalam tuntutan
otonomi daerah ialah desentralisasi pendidikan nasional. Ada tiga hal yang berkaitan dengan
urgensi desentralisasi pendidikan yaitu pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan
sosial capital, dan pengembangan daya saing bangsa.
1) Masyarakat Demokrasi
Masyarakat demokrasi atau dalam khasanah bahasa kita namakan masyarakat madani
(civil society) adalah suatu masyarakat yang antara lain mengakui hak-hak asasi manusia.
Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang terbuka dimana setiap anggotanya merupakan
pribadi yang bebas dan mempunyai tanggung jawab untuk membangun masyarakatnya sendiri.
Pemerintah dalam masyrakat madani adalah pemerintahan yang dipilih oleh rakyat dan untuk
kepentingan rakyat sendiri. Masyarakat demokrasi memerlukan suatu pemerintah yang bersih
(good and clean governance).
Para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998,
menekankan kepada nilai-nilai demokrasi sebagai bentuk social capital yang menjadi pemicu
pertumbuhan ekonomi dan kehidupan yang lebih manusiawi. Demokrasi sebagai social capital
hanya bisa diraih dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai-nilai
demokrasi tersebut. Suatu proses belajar yang tidak menghargai akan kebebassan berpikir kritis
tidak mungkin menghidupkan nilai-nilai demokrasi sebagai social capital suatu bangsa.
Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan
saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin
lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung
global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat,
bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia
terus-menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang
menentukan tingkat daya saing seseorang atau suatu masysrakat. Faktor-fator tersebut adalah
intelegensi, informasi, ide baru, dan inovasi.
a. Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru
untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
b. Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam
meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
c. Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah
setempat dan masyarakat yang beragam.
d. Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat
b. Pendelegasian wewenang;
c. Inovasi kurikulum.
b. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan
daerah.
b. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah
anggaran belanja sekolah akan menurun dari waktu sebelumnya, sehingga akan menurunkan
motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.
f. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam dikarenakan perbedaan potensi daerah
yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan
kecemburuan sosial.
g. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah.
a. Adanya jaminan dan keyakinan bahwa pendidikan akan tetap berfungsi sebagai wahana
pemersatu bangsa.
b. Masa transisi benar-benar digunakan untuk menyiapkan berbagai hal yang dilakukan
secara garnual dan dijadwalkan setepat mungkin.
d. Adanya kesiapan sumber daya manusia dan sistem manajemen yang tepat yang telah
dipersiapkan dengan matang oleh daerah.
f. Adanya kesadaran dari semua pihak (pemerintah, DPRD, masyarakat) bahwa pengelolaan
tenaga kependidikan di sekolah, terutama guru tidak sama dengan pengelolaan aparat birokrat
lainnya.
g. Adanya kesiapan psikologis dari pemerintah pusat dari propinsi untuk melepas
kewenangannya pada pemerintah kabupaten/kota.
Selain dampak negatif tentu saja disentralisasi pendidikan juga telah membuktikan
keberhasilan antara lain:
a. Mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri.
Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut
b. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan
pendidikan.
KELEMAHANDESENTRALISASI:
b. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah
anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya, sehingga akan menurunkan
motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolah untuk melakukan pembaruan.
f. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah
yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan mutu pendidikan serta melahirkan
kecemburuan sosial.
Menurut Wohlstetter dan Mohrman (1993) terdapat empat sumber daya yang harus
didesentralisasikan yaitu power/authority, knowledge, information dan reward. Pertama,
kekuasaan/kewenangan (power/authority) harus didesentralisasikan ke sekolah-sekolah secara
langsung yaitu melalui dewan sekolah. Sedikitnya terhadap tiga bidang penting yaitu budget,
personnel dan curriculum. Termasuk dalam kewenangan ini adalah menyangkut pengangkatan
dan pemperhentian kepala sekolah, guru dan staff sekolah.
Ketiga, hakikat lain yang harus didensentralisasikan adalah informasi (information). Pada
model sentralistik informasi hanya dimiliki para pimpinan puncak, maka pada model MBS harus
didistribusikan ke seluruh constituent sekolah bahkan ke seluruh stakeholder. Apa yang perlu
disebarluaskan? Antara lain berupa visi, misi, strategi, sasaran dan tujuan sekolah, keuangan dan
struktur biaya, isu-isu sekitar sekolah, kinerja sekolah dan para pelanggannya. Penyebaran
informasi bisa secara vertikal dan horizontal baik dengan cara tatap muka maupun tulisan.
Dengan mendesentralisasikan empat bidang tersebut diharapkan tujuan utama MBS akan
tercapai. Tujuan utama MBS tak lain adalah meningkatkan kinerja sekolah dan terutama
meningkatkan kinerja belajar siswa menjadi lebih baik.
e. Perangkat sosial, berupa kesiapan masyarakat setempat untuk menerima dan membantu
menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaksanaan desentralisasi tersebut.
B. Desentralisasi Pendidikan
1. Peningkatan mutu;
2. Efisien keuangan;
3. Efisien administrasi;
4. Perluasan/pemerataan.
1. Masyarakat lokal;
2. Orang tua;
3. Peserta didik;
4. Negara;
Permasalah dasar pendidikan di indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap
jenjang dan satuan pendidikan dasar dan menengah. Sedikitnya ada tiga faktor utama yang
menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan yang merata.
3. Faktor ketiga, peranan serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan
pendidikan sangat minim. partisipasi masyarakat lebih banyak bersifat dukungan (dana), bukan
pada proses pendidikan (pengembalian keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas ).
Hal-hal yang menguatkan bahwa pendidkan adalah sebuah “proses” sebagai mana yang
di paparkan H.A.R. Tilaar bahwa dalam perspektif mikro yang dijadikan pusat perhatian adalah
peserta didik dalam proses belajar mengajar. Perserta didik dalam proses belajar berkaitan
dengan tujuan pendidikan, metodologi, evaluasi hasil belajar. Semua masalah tersebut termasuk
dalam sistem pendidikan di sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut didukung oleh sistem internal,
yaitu:
1. Pembuatan kebijakan,
2. Manajemen,
3. Service.
1. Budaya,
2. Kekuatan politik,
3. Kondisi ekonomi.
Kekuatan pandangan mikro adalah menempatkan peserta didik sebagai objek utama
dalam menyelenggarakan pendidikan. Kelemahan pandangan mikro adalah seakan-akan proses
pendidikan peserta didik akan menentukan segala-galannya atas suksesnya sistem pendidikan
nasional.
Pendidikan sebagai proses dalam analisis mikro dapat dipahami dalam perspektif studi
kultural. Dalam konteks ini sistem pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem
budaya, sosial, politik, dan ekonomi sebagai suatu keseluruhan. Dalam kaitan antar
negara,pendidikan merupakan sistem yang terintegrasi dalam sistem kekuasaan. Kekuatan dalam
perspektif ini adalah sistem pendidikan dapat mengubah tingkah laku seseorang dalam berpikir
yang lebih terbuka dan reflektif. Peranan negara dalam perspektif ini dapat bersifat positif
apabila lembaga-lembaga pendidikan mempunyai kontrol terhadap kekuasaan negara.
Dalam kaitanya dengan hal-hal di atas, menunjukan bahwa peran negara dalam
pembangunan pendidikan dalam perspektif mikro dan mikro menunjukkan proses perubahan
yang cukup signifikan. Sebagai diuraikan H.A.R. Tilaar tentang perubahan peran negara dalam
pendidikan.
Lebih jauh tentang desentralisasi dan otonomi pendidikan mempunyai makna sebagai
pewujudan penghargaan atas hak dan kewajiban rakyat untuk memutuskan sendiri pendidikan
untuk anak-anaknya. Proses tersebut intinya ialah memberikan kesempatan pada rakyat untuk
mengambil keputusan tetang bentuk, proses, keberadaan lembaga pendidikan yang sesuai dengan
tuntutan kehidupanya. Dengan kata lain, desentralisasi dan otonomi pendidikan bertujuan
memberdayakan rakyat. Oleh karena itu, desentralisasi dan otonomi pendidikan mempunyai dua
makna, yaitu: pertama, pengambilan keputusan dari rakyat secara langsung, atau partisipasi
dalam mengambil keputusan. Kedua partisipasi dalam manajemen situasional atau manajemen
kepemimpinan oleh rakyat dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu, komitmen bupati walikota sebagai kepala pemerintah kabupaten/kota
terhadap bidang pendidikan akan memberi warna dan corak pendidikan diaerahnya.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi yang mulai dilaksanakan tahun 2000 membawa
konsekuensi besar perubahan pendidikan di indonesia. Dalam kaitanya dengan perubahan ini,
unit-unit di kabupaten dan kota perlu mengembangkan kapasita merumuskan kebijakan
operasional maupun kebijakan yang menjadi wewenangnya. Dibnyak kasus, kebijakan semacam
ini tidak eksplisit, dirumuskan secara jelas.
1. Setiap unit dan personil semakin menyadari dan memahami proses kebijakan yang menjadi
urusanya.
2. Pendidik dasar dapat memainkan peranan sentral dalam melaksankan desentralisasi kehidupan
masyarakat.
3. Pentingnya kemitraan, dialog, dan membangun belajar organisasi dalam mencapai tujuan
pendidikan dasar.
4. Pentingnya menyusun panduan dan pengembangan kapasitas unit-unit dan personil di jajaran
pendidikan kabupaten dan kota.
5. Pentingnya mengenali stakeholder pendidikan sedia serat mampu melibatkan mereka dalam
kegiatan dan manejemen pendidikan.
2. Kebijakan yang telah dikomunikasikan ke sekolah tetapi dalam ungkapan-ungkapan yang tak
jelas sehingga tak tahu apa yang harus mereka lakukan.
3. Tak jarang kepala sekolah dan guru beranggapan bahwa kebijakan dan program-program itu
tak cocok dengan realitas sekolah dan kelas.
6. Informasi sekolah yang tersedia di departemen tak mencantumkan informasi praktik pedagogis
di tingkat kelas.
Dalam kaitanya dengan uraian diatas, bahwa kegagalan kebijakan pendidikan disebabkan
kurang menekankan pada analisis proses.
Sekolah menerap kan menajemen peningkatan mutu bebasis sekolah (MPMBS) sebgai
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengembalian keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah
(guru,siswa,kepala sekolah, karyawan orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan
berdasarkan kebijakan pendidikan nasioanlal. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya
dalam mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang
dimilikinya.
Otonomi diartikan kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan
merdeka/ tidak tergantung. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah mengatur dan
mengurusi kepentingan warga sekolah menurut prakasa sendiri atau aspirasi warga sekolah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Pengambilan keputusan partisipatif adalah cara untuk mengambil keputusan melalui
penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, diimana warga sekolah didorong untuk
terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap
pencapaian tujuan sekolah.
MPMBS didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar
kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambalian keputusan secara
partisipatif untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah
dalam kerangka pendidikan nasional.
1. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga
dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan
sekolahnya;
2. Sekolah lebih mengeahui bebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan
dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidkan sesuai dengan tingkat perkembangan
dan kebutuhan peserta didik.
3. Pengambilan keputusan oleh sekolahnya lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah
karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya;
4. Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh
masyarakat setempat;
5. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarkat dalam pengambilan keputusan sekolah
menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat;
Andrias Harefa, Menjadi manusia pembelajar, kompas media Indonesia Jakarta, 2001
Dwiningrum, Siti Irene A.D. 2012. Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://maychan9.blogspot.co.id/2013/10/sentralisasi-dan-desentralisasi.html