Anda di halaman 1dari 4

NAMA : ANDINI LATIFAH

NPM ; 202103002

MANAJEMEN STRATEGIK DALAM MENGELOLA SATUAN PENDIDKAN

A. Kebijakan Sentralistik

Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru,
Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa itu diarahkan
kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan
demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar
melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai
pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan
tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3)
menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau penyeragaman di dalam
berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat,
semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat
bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada
masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat
dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem
pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai
akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemen sekolah.
Pendidikan diselenggarakan dengan mengingkari kebhinekaan dan mengurangi toleransi serta
semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak lagi diarahkan pada
peningkatan kualitas, melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah
walaupun telah diterapkan prinsip ‘link and match” karena manajemen hanya dilakukan oleh
sekelompok orang.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional.
Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa pada
keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis
kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa
saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang
dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran
dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis,
dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.

B. Kebijakan Desentralistik

Berdasarkan beberapa hasil penelitian di beberapa negara maju menunjukkan, bahwa kebijakan
desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan.
Setidaknya, terdapat empat karakteristik positif dalam menerapkan kebijakan desentralisasi
pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4)
perluasan atau pemerataan.
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah,
akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh
yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber
daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-
lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan
memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung
di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih
penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk
bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zeland, misalnya, desentralisasi berdampak
positif terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau
angka hasil ulangan untuk mata pelajaran dasar (bidang studi pokok). Di Amerika Serikat,
desentralisasi pendidikan mengharuskan pendapatan pajak di negara bagian (pendapatan asli daerah)
sebesar 60%-nya digunakan untuk pendidikan, sedangkan 40%-nya digunakan kegiatan lainnya.
Penerapan desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan diharapkan dapat memotong mata rantai
birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Desentralisasi akan
memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara
pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile,
misalnya, desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai
dengan perampingan jumlah pegawai.
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah
dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan
pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar,
terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada
kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber
daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain
yang miskin dan kurang potensi SDM-nya. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi
dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat
berkembang secara lebih seimbang.
Kebijakan desentralisasi bidang pendidikan dalam melaksanakan Otonomi Daerah berkonsekuensi
pada perlunya kebijakan strategis bidang pendidikan, yaitu: (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan
sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi
komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan
masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma
belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia
yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Based
Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun
keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan
life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya
agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari
insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan
manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini
akan memberdayakan masyarakat pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan
kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS,
mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua
siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat,
pakar, dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas
penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality assurance) yang disusun secara bersama-sama
dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan
operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol
kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat,
termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas
pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam
menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan
sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja,
termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di
tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh
program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat
baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat
mewadahi kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang
dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap
pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang
pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidiknya masih kurang atau menganggap Komite
Sekolah seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders
pendidikan semakin menurun. Dengan demikian, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk,
bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, Bos, funding
father yaitu pemerintah.

C. Manajemen Strategik
Sebagaimana diungkapkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan (sekolah/
madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat) berbasis pada potensi stakeholder di sekitar
sekolah. Pengelolaan ini sejalan dengan prinsip Badan Hukum Pendidikan yang akan diterapkan untuk
setiap satuan pendidikan. Pengelolaan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu dilakukan seperti
halnya pengelolaan pesantren, diserahkan kepada pemangku kepentingan. Pemerintah tidak ikut
campur lagi mengurusi hal teknis, sehingga kebijakan pemerintah dalam peningkatan mutu hanya
difasilitasi dengan kebijakan otonomisasi, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Dalam menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah harus menetapkan mutu
sebagai tujuan penyelenggaraan pendidikan. Pencapaian mutu tersebut menjadi benchmarking bagi
sekolah dalam menjalankan kinerjanya. Oleh karena itu, sejak uji coba pelaksanaan Bantuan
Operasional Manajemen Mutu (BOMM) pada 1000 SLTP/SLTA dilakukan pemerintah maka ditetapkan
program Manajemen Peningatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Dalam program MPMBS, pemerintah tidak lagi ikut mengatur masalah kurikulum, karena kurikulum
harus dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah dari Standar Isi dan Standar Kompetensi
Lulusan yang disusun oleh lembaga independen yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Pemerintah dan pemerintah daerah tidak ikut melakukan pengujian atau mengevaluasi hasil pendidikan
(ulangan umum), karena kewenangan tersebut berada pada guru, kecuali nilai prasyarat untuk
penentuan kelulusan pendidikan dasar dan menengah berdasarkan Ujian Nasional yang soal dan
pelaksanaannya dilakukan oleh BSNP. Pemerintah tidak ikut mengatur penggunaan buku teks
pelajaran, kecuali menyediakan Buku Sumber Elektronik (BSE) yang kualitasnya telah dinilai oleh
BSNP dan dana untuk pembelian buku tersebut. Pemerintah atau pemerintah daerah tidak lagi harus
menyediakan buku laporan pendidikan (raport), karena hal tersebut merupakan kewenangan dan
tanggungjawab sekolah.
Otonomi yang demikian besar diberikan kepada sekolah ini seharusnya menjadi dasar untuk
melakukan manajemen strategik. Kepala Sekolah sebagai leader memiliki kewenangan manajerial
untuk memimpin warga sekolah untuk bersama-sama merancang manajemen strategik.
Sebagaimana diketahui bahwa pada awalnya manajemen strategik digunakan dalam manajemen
bisnis, yaitu usaha manajerial untuk menumbuhkembangkan kekuatan perusahaan untuk
mengeksploitasi peluang bisnis yang muncul guna mencapai tujuan perusahaan yang merupakan
pengembangan dari visi dan misi yang telah ditentukan”. Peluang bisnis dalam bidang pendidikan
adalah “layanan jasa pendidikan”, sehingga yang menjadi pelanggan pun adalah peserta didik sebagai
pelanggan internal dan orangtua siswa sebagai pelanggan eksternal. Manajemen strategik dalam dunia
pendidikan merupakan suatu pengelolaan satuan pendidikan berdasarkan pendekatan terhadap
analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan untuk merancang aktivitas dalam rangka
mencapai visi, misi, dan tujuan sekolah yang telah ditentukan.

1) Upaya Peningkatan Mutu sebagai Dasar Manajemen Strategik

Program peningkatan mutu pendidikan yang dicanangkan pemerintah sebagai salah satu rencana
strategik harus ditindaklanjuti di tingkat satuan pendidikan. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya
saing dimaksudkan untuk perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup
bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya ini dimaksudkan untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa.
Mutu pendidikan juga dilihat dari peningkatan atas penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme
yang meliputi keteguhan iman dan taqwa serta berakhlak mulia, beretika, berwawasan kebangsaan,
berkepribadian tangguh, dan berekspresi estetis, serta sehat jasmani dan rohani. Peningkatan mutu
dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan nonakademik lebih tinggi
yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang
baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Berdasarkan kesadaran ini maka orientasi mutu
pendidikan sebagai benchmaking menjadi sasaran manajemen strategik di satuan pendidikan.
Dalam menerapkan manajemen strategik, Kepala sekolah memimpin satuan pendidikan untuk
melakukan analisis terhadap potensi diri dan lingkungan. Analisis ini merupakan dasar untuk
melaksanakan manajemen mutu yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Standar ini
meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan, yaitu standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kepala Sekolah
menetapkan pencapaian terhadap standar-standar tersebut sebagai dasar untuk mengukur kinerja
satuan pendidikan yang dipimpinnya pada standarisasi pendidikan.
2) Menerapkan Manajemen Strategik Kontemporer

Dalam melaksanakan manajemen strategik, saat ini telah berkembang dari suatu manajemen strategik
yang tradisional ke arah suatu sistem manajemen bersifat kontemporer. Sistem manajemen strategik
kontemporer memiliki karakteristik yang berbeda dengan sistem manajemen tradisional. Sistem
manajemen tradisional hanya berfokus pada sasaran-sasaran yang bersifat efisiensi keuangan,
sedangkan sistem manajemen kontemporer mencakup 4 (empat) perspektif yaitu mencakup perspektif
efisiensi keuangan, proses layanan internal, kepuasan pelanggan, dan pertumbuhan layanan jasa.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan manajemen strategik adalah
menggunakan empat komponen manajemen strategik, yaitu:
(1) Analisis potensi dan profil satuan pendidikan (sekolah/madrasah) untuk mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan;
(2) Analisis lingkungan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melaksanakan layanan
jasa pendidikan;
(3) Menetapkan visi dan misi berdasarkan analisis potensi dan lingkungan sebagai acuan dalam
pengelolaan satuan pendidikan;
(4) Menetapkan strategi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja sekolah dalam mencapai visi dan
misi sekolah;

Berdasarkan pandangan manajemen strategik kontemporer diperlukan keseimbangan antara efisiensi


keuangan dengan proses layanan. Peningkatan pembiayaan harus diiringi dengan peningkatan proses
layanan, misalnya dengan menggunakan sarana teknologi atau media lain yang menjadikan proses
layanan lebih simpel, cepat, dan akurat. Peningkatan pembiayaan harus sejalan dengan kepuasan
pelanggan (custommer satisfaction), semakin besar biaya yang dikeluarkan maka semakin meningkat
pula jumlah pelanggan karena mereka merasa puas dengan layanan yang diberikan. Peningkatan
pembiayaan harus diiringi pula dengan penambahan atau pertumbuhan layanan jasa. Peningkatan
pembiayaan yang dapat meningkatkan proses layanan dan kepuasan pelanggan seharusnya
menumbuhkan jenis layanan jasa lainnya (difersifikasi) layanan jasa pendukung pendidikan.
Manajemen strategik kontemporer di atas dapat diterapkan pada satuan pendidikan
(sekolah/madrasah/pesantren/pusat kegiatan belajar masyarakat). Penerapan manajemen strategik ini
dapat mendorong satuan pendidikan dalam menjalankan program peningkatan mutu pendidikan.

D. Simpulan

Manajemen strategik merupakan salah satu implementasi dari Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS). Manajemen strategik pada satuan pendidikan merupakan pengelolaan pendidikan
yang dipimpin oleh kepala sekolah sebagai manajer dan leader di satuan pendidikan. Manajemen
strategik merupakan model pengelolaan pendidikan modern yang harus diterapkan oleh setiap satuan
pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan;
Manajemen strategik merupakan pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada quality assurance
sebagai jaminan kepada pelanggan, baik internal maupun eksternal dalam pengelolaan pendidikan
yang berorientasi pada peningkatan mutu. Manajemen strategik direncanakan oleh satuan pendidikan
dengan selalu menganalisis pada potensi kekuatan dan kekurangan serta analisis pada lingkungan
sebagai peluang dan tantangan.

(Makalah ini disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan di Cilacap Jawa Tengah pada
tanggal 14 Juni 2009)

Anda mungkin juga menyukai