DAYA MANUSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejalan dengan pesatnya laju pembangunan, jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke
tahun juga mengalami peningkatan yang cukup berarti. Melalui jalur pendidikan baik formal
mulai dari pendidikan dasar, sekolah menengah sampai dengan pendidikan tinggi, maupun non
formal Pemerintah bertekad untuk membekali masyarakat (peserta didik) sehingga mampu hidup
layak sebagai anggota masyarakat. Pembaharuan dan penyempurnaan di bidang pendidikan
terus-menerus dilakukan, mencakup segi kualitas, relevansi, maupun pemerataan. Lebih Ianjut
untuk mengatasi kesenjangan antara produk pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja dunia
industri telah dijalin berbagai bentuk kerjasama yung saling mendukung dan menguntungkan.
Karena itu lembaga pendidikan dituntut untuk segera melakukan konsolidasi, di pihak lain dunia
kerja/industri dituntut untuk lebih membuka diri. Dengan demikian diharapkun upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama dalam kaitannya dengan bidang pendidikan
dan ketenagakerjaan dapat dicapai secara maksimal.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal yang sangat
penting karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya Manusia. Dimana dewasa ini
keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya kekayaan alam, melainkan
pada keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM). Dimana mutu Sember Daya Manusia (SDM)
berkorelasi positif dengan mutu pendidikan, mutu pendidikan sering diindikasikan dengan
kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang harus terdapat dalam
pendidikan, komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana serta biaya.
Mutu pendidikan tercapai apabila masukan, proses, keluaran, guru, sarana dan prasarana
serta biaya apabila seluruh komponen tersebut memenuhi syarat tertentu. Namun dari beberapa
komponen tersebut yang lebih banyak berperan adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu
yang mampu menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan tanggung jawab. Tenaga
kependidikan pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut tenaga
kependidikan untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan
kompetensinya.
Pendidikan yang bermutu sangat membutuhkan tenaga kependidikan yang professional.
Tenaga kependidkan mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan pengetahuan,
ketrampilan, dan karakter peserta didik. Oleh karena itu tenaga kependidikan yang professional
akan melaksanakan tugasnya secara professional sehingga menghasilkan tamatan yang lebih
bermutu. Menjadi tenaga kependidikan yang profesional tidak akan terwujud begitu saja tanpa
adanya upaya untuk meningkatkannya, adapun salah satu cara untuk mewujudkannya adalah
dengan pengembangan profesionalisme ini membutuhkan dukungan dari pihak yang mempunyai
peran penting dalam hal ini adalah kepala sekolah, dimana kepala sekolah merupakan pemimpin
pendidikan yang sangat penting karena kepala sekolah berhubungan langsung dengan
pelaksanaan program pendidikan di sekolah.
Profesionalisme tenaga kependidikan juga secara konsinten menjadi salah satu faktor
terpenting dari mutu pendidikan. Tenaga kependidikan yang profesional mampu membelajarkan
murid secara efektif sesuai dengan kendala sumber daya dan lingkungan. Namun, untuk
menghasilkan guru yang profesional juga bukanlah tugas yang mudah. Guru harus harus lebih
dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Agar proses pendidikan
dapat berjalan efektif dan efisien, guru dituntut memiliki kompetensi yang memadai, baik dari
segi jenis maupun isinya
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan
selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih
bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana
semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat
belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya,
maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran)
yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan
oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di
lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh
jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro
(pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau
dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan,
seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
B. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Agar dapat mengetahui bagaimana peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia.
2. Peranan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu dan Kualitas Pendidikan
3. Agar dapat mengetahui apa yang harus dilakukan sebagai seorang guru dalam
meningkatkan Sumber Daya Manusia.
4. Agar dapat mengetahui peran aktif siswa dalam meningkatkan Mutu dan kualitas
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan Pendidikan dalam meningkat Sumber Daya Manusia
Secara garis besar, ruang lingkup tugas kepala sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam
dua aspek pokok, yaitu pekerjaan di bidang administrasi sekolah dan pekerjaan yang berkenaan
dengan pembinaan profesional kependidikan. Untuk melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik
– baiknya, ada tiga jenis ketrampilan pokok yang harus dimiliki oleh kepala sekolah sebagai
pemimpin pendidikan yaitu ketrampilan teknis ( technical skill ), ketrampilan berkomunikasi
( human relations skill ) dan ketrampilan konseptual ( conceptual skill ).
Menurut persepsi banyak guru, keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah terutama
dilandasi oleh kemampuannya dalam memimpin. Kunci bagi kelancaran kerja kepala sekolah
terletak pada stabilitas dan emosi dan rasa percaya diri. Hal ini merupakan landasan psikologis
untuk memperlakukan stafnya secara adil, memberikan keteladanan dalam bersikap, bertingkah
laku dan melaksanakan tugas.
Dalam konteks ini, kepala sekolah dituntut untuk menampilkan kemampuannya membina
kerja sama dengan seluruh personel dalam iklim kerja terbuka yang bersifat kemitraan, serta
meningkatkan partisipasi aktif dari orang tua murid. Dengan demikian, kepala sekolah bisa
mendapatkan dukungan penuh setiap program kerjanya.
Keterlibatan kepala sekolah dalam proses pembelajaran siswa lebih banyak dilakukan
secara tidak langsung, yaitu melalui pembinaan terhadap para guru dan upaya penyediaan sarana
belajar yang diperlukan.
Kepala sekolah sebagai komunikator bertugas menjadi perantara untuk meneruskan
instruksi kepada guru, serta menyalurkan aspirasi personel sekolah kepada instansi kepada para
guru, serta menyalurkan aspirasi personel sekolah kepada instansi vertikal maupun
masyarakat. Pola komunikasi dari sekolah pada umumnya bersifat kekeluargaan dengan
memanfaatkan waktu senggang mereka. Alur penyampaian informasi berlangsung dua arah,
yaitu komunikasi top-down, cenderung bersifat instruktif, sedangkan komunikasi bottom-
up cenderung berisi pernyataan atau permintaan akan rincian tugas secara teknis operasional.
Media komunikasi yang digunakan oleh kepala sekolah ialah : rapat dinas, surat edaran, buku
informasi keliling, papan data, pengumuman lisan serta pesan berantai yang disampaikan secara
lisan.
Dalam bidang pendidikan, yang dimaksud dengan mutu memiliki pengertian sesuai
dengan makna yang terkandung dalam siklus pembelajaran. Secara ringkas dapat disebutkan
beberapa kata kunci pengertian mutu, yaitu: sesuai standar (fitness to standard), sesuai
penggunaan pasar/pelanggan (fitness to use), sesuai perkembangan kebutuhan (fitness to latent
requirements), dan sesuai lingkungan global (fitness to global environmental requirements).2
Adapun yang dimaksud mutu sesuai dengan standar, yaitu jika salah satu aspek dalam
pengelolaan pendidikan itu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Garvin seperti dikutip Gaspersz mendefinisikan delapan dimensi yang dapat digunakan
untuk menganalisis karakteristik suatu mutu, yaitu: (1) kinerja (performance), (2) feature, (3)
kehandalan (reliability), (4) konfirmasi (conformance), (5) durability, (6) kompetensi pelayanan
(servitability), (7) estetika (aestetics), dan (8) kualitas yang dipersepsikan pelanggan yang
bersifat subjektif.
Dalam pandangan masyarakat umum sering dijumpai bahwa mutu sekolah atau
keunggulan sekolah dapat dilihat dari ukuran fisik sekolah, seperti gedung dan jumlah ekstra
kurikuler yang disediakan. Ada pula masyarakat yang berpendapat bahwa kualitas sekolah dapat
dilihat dari jumlah lulusan sekolah tersebut yang diterima di jenjang pendidikan selanjutnya.
Untuk dapat memahami kualitas pendidikan formal di sekolah, perlu kiranya melihat pendidikan
formal di sekolah sebagai suatu sistem. Selanjutnya mutu sistem tergantung pada mutu
komponen yang membentuk sistem, serta proses yang berlangsung hingga membuahkan hasil.
Dalam pelaksanaan manajemen peningkatan mutu, Kepala sekolah harus senantiasa
memahami sekolah sebagai suatu sistem organic. Untuk itu kepala sekolah harus lebih berperan
sebagai pemimpin dibandingkan sebagai manager. Sebagai leader maka kepala sekolah harus :
1. Lebih banyak mengarahkan daripada mendorong atau memaksa
2. Lebih bersandar pada kerjasama dalam menjalankan tugas dibandingkan bersandar
pada kekuasaan atau SK.
3. Senantiasa menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf administrasi. Bukannya
menciptakan rasa takut.
4. Senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada menunjukkan
bahwa ia tahu sesuatu.
5. Senantiasa mengembangkan suasana antusias bukannya mengembangkan suasana
yang menjemukan
6. Senantiasa memperbaiki kesalahan yang ada daripada menyalahkan kesalahan pada
seseorang, bekerja dengan penuh ketangguhan bukannya ogah-ogahan karena serba
kekurangan (Boediono,1998).
Menurut Poernomosidi Hadjisarosa (1997 dalam slamet, PH, 2000), kepala sekolah
merupakan salah satu sumberdaya sekolah yang disebut sumberdaya manusia jenis manajer
(SDM-M) yang memiliki tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan menyerasikan sumberdaya
manusia jenis pelaksana (SDM-P) melalui sejumlah input manajemen agar SDM-P
menggunakan jasanya untuk bercampur tangan dengan sumberdaya selebihnya (SD-slbh),
sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output
yang diharapkan.
Secara umum, karakteristik kepala sekolah tangguh dapat dituliskan sebagai berikut (Slamet,
PH,2000) : Kepala sekolah:
a) Memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi)
serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi);
b) Memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumberdaya
terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang
umumnya tak terbatas)
c) Memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat, dan
akurat)
d) Memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dan
yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan
sekolahnya
e) Memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang
yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang
meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai
f) Memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian,
kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku,
dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak.
Adapun peran kepala sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Kepala sekolah menggunakan “pendekatan sistem” sebagai dasar cara berpikir, cara
mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah harus
berpikir sistem (bukan unsystem), yaitu berpikir secara benar dan utuh, berpikir secara
runtut (tidak meloncat-loncat), berpikir secara holistik (tidak parsial), berpikir multi-inter-
lintas disiplin (tidak parosial), berpikir entropis (apa yang diubah pada komponen tertentu
akan berpengaruh terhadap komponen-komponen lainnya); berpikir “sebab-akibat” (ingat
ciptaan-Nya selalu berpasang-pasangan); berpikir interdipendensi dan integrasi, berpikir
eklektif (kuantitatif +kualitatif), dan berpikir sinkretisme.
2. Kepala sekolah memiliki input manajemen yang lengkap dan jelas, yangditunjukkan oleh
kelengkapan dan kejelasan dalam tugas (apa yang harus dikerjakan, yang disertai fungsi,
kewenangan, tanggungjawab, kewajiban, dan hak), rencana (diskripsi produk yang akan
dihasilkan), program (alokasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana),
ketentuanketentuan/limitasi (peraturan perundang-undangan, kualifikasi, spesifikasi, metoda
kerja, prosedur kerja, dsb.), pengendalian (tindakan turun tangan), dan memberikan kesan
yang baik kepada anak buahnya.
3. Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan perannya sebagai manajer
(mengkoordinasi dan menyerasikan sumberdaya untuk mencapai tujuan), pemimpin
(memobilisasi dan memberdayakan sumberdaya manusia), pendidik (mengajak nikmat
untuk berubah), wirausahawan (membuat sesuatu bisa terjadi), penyelia (mengarahkan,
membimbing dan memberi contoh), pencipta iklim kerja (membuat situasi kehidupan kerja
nikmat), pengurus/administrator (mengadminitrasi), pembaharu (memberi nilai tambah),
regulator (membuat aturan-aturan sekolah), dan pembangkit motivasi (menyemangatkan).
Menurut Enterprising Nation (1995), manajer tangguh memiliki delapan kompetensi, yaitu:
(a) people skills, (b) strategic thinker, (c) visionary, (d) flexible and adaptable to change, (e)
self-management, (f) team player, (g) ability to solve complex problem and make decisions,
and (h) ethical/high personal standards.
Sedang American Management Association (1998) menuliskan 18 kompetensi yang harus
dimiliki manajer tangguh, yaitu: (a) efficiency orientation, (b) proactivity, (c) concern with
impact, (d) diagnostic use of concepts, (e) use of unilateral power, (f) developing others, (g)
spontaneity, (h) accurate self-assessment, (i) self-control, (j) stamina and adaptability, (k)
perceptual objectivity, (l) positive regard, (m) managing group process, (n) use of sosialized
power, (o) self-confidence, (p) conceptualization, (q) logical thought, and (r) use of oral
presentation.
4. Kepala sekolah memahami, menghayati, dan melaksanakan dimensi-dimensi tugas (apa),
proses (bagaimana), lingkungan, dan keterampilan personal, yang dapat diuraikan sebagai
berikut: (a) dimensi tugas terdiri dari: pengembangan kurikulum, manajemen personalia,
manajemen kesiswaan, manajemen fasilitas, pengelolaan keuangan, hubungan
sekolahmasyarakat, dsb; (b) dimensi proses, meliputi pengambilan keputusan, pengelolaan
kelembagaan, pengelolaan program, pengkoordinasian, pemotivasian, pemantauan dan
pengevaluasian, dan pengelolaan proses belajar mengajar; (c) dimensi lingkungan meliputi
pengelolaan waktu, tempat, sumberdaya, dan kelompok kepentingan; dan (d) dimensi
keterampilan personal meliputi organisasi diri, hubungan antar manusia, pembawaan diri,
pemecahan masalah, gaya bicara dan gaya menulis (Lipham, 1974; Norton, 1985).
5. Kepala sekolah mampu menciptakan tantangan kinerja sekolah (kesenjangan antara kinerja
yang aktual/nyata dan kinerja yang diharapkan). Berangkat dari sini, kemudian dirumuskan
sasaran yang akan dicapai oleh sekolah, dilanjutkan dengan memilih fungsi-fungsi yang
diperlukan untuk mencapai sasaran, lalu melakukan analisis SWOT (Strength, Weaknes,
Opportunity, Threat) untuk menemukan faktor-faktor yang tidak siap (mengandung
persoalan), dan mengupayakan langkah-langkah pemecahan persoalan. Sepanjang masih
ada persoalan, maka sasaran tidak akan pernah tercapai.
6. Kepala sekolah mengupayakan teamwork yang kompak/kohesif dan cerdas, serta membuat
saling terkait dan terikat antar fungsi dan antar warganya, menumbuhkan
solidaritas/kerjasama/kolaborasi dan bukan kompetisi sehingga terbentuk iklim kolektifitas
yang dapat menjamin kepastian hasil/output sekolah.
7. Kepala sekolah menciptakan situasi yang dapat menumbuhkan kreativitas dan memberikan
peluang kepada warganya untuk melakukan eksperimentasi-eksperimentasi untuk
menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru, meskipun hasilnya tidak selalu benar
(salah). Dengan kata lain, kepala sekolah mendorong warganya untuk mengambil dan
mengelola resiko serta melindunginya sekiranya hasilnya salah.
8. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan menciptakan sekolah belajar.
9. Kepala sekolah memiliki kemampuan dan kesanggupan melaksanakan Manajemen
Berbasis Sekolah sebagai konsekuensi logis dari pergeseran kebijakan manajemen, yaitu
pergeseran dari Manajemen Berbasis Pusat menuju Manajemen Berbasis Sekolah (dalam
kerangka otonomi daerah).
10. Kepala sekolah memusatkan perhatian pada pengelolaan proses belajar mengajar sebagai
kegiatan utamanya, dan memandang kegiatan-kegiatan lain sebagai penunjang/pendukung
proses belajar mengajar. Karena itu, pengelolaan proses belajar mengajar dianggap
memiliki tingkat kepentingan tertinggi dan kegiatan-kegiatan lainnya dianggap memiliki
tingkat kepentingan lebih rendah.
11. Kepala sekolah mampu dan sanggup memberdayakan sekolahnya (Slamet PH, 2000),
terutama sumberdaya manusianya melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan
sumberdaya.
C. Persiapan seorang guru dalam pendidkan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia
Berdasarkan data The World Competitive Scoreboard Tahun 2005 SDM Indonesia masih
berada pada peringkat 59 jauh dibawah Singapura (peringkat 3) ataupun Malaysia (peringkat 28).
Data UNDP tahun 2005 menunjukkan bahwa Human Developement Indeks (HDI) Indonesia
sejauh ini masih berada pada peringkat 110 yang menempatkan negara ini dibawah Vietnam
(peringkat 108) dan Malaysia (peringkat 61). Dari data-data diatas dapat disimpulkan bahwa
guru Indonesia sebagai motor pendidikan ternyata belum mampu mencapai kualitas sebagaimana
diharapkan. Kaitan antara kualitas guru dan kualitas SDM cukup berdasar sebab guru
merupakan “nahkoda” di dalam kelas. Hal ini dipertegas oleh Anderson & Mitchener (dalam
Rahayu, 2005) bahwa pengetahuan, pengalaman dan paradigma guru tentang pembelajaran akan
sangat mempengaruhi apa yang terjadi di dalam kelas.
Pembelajaran di kelas yang efektif mensyaratkan guru sebagai partner siswa dalam
belajar, motivator dan teladan sikap positif, sekaligus selalu melakukan refleksi terhadap apa
yang telah dilakukannya. Ditegaskan oleh Glenn (dalam Rahayu, 2005) bahwa kemampuan
mengajar bukanlah suatu yang ”take for granted”, namun kemampuan ini dapat untuk dipelajari
bahkan untuk disempurnakan secara terus menerus. Ketrampilan mengajar khusus, misalnya
kemampuan untuk membedakan antara apa yang paling penting dipelajari oleh siswa atau apa
yang paling sulit dipahami siswa, hanya dapat diperoleh melalui pelatihan, konsultasi,
kolaborasi, dan praktek langsung, dengan demikian berarti bahwa penguasaan guru terhadap
materi akan menentukan kualitas guru itu sendiri.
Budaya kolaborasi guru inilah yang hampir jarang ditemukan di Indonesia. Hal ini
berbeda dengan budaya pendidikan yang ada di Jepang, sejak akhir perang dunia II dengan
terinspirasi semangat ”hansei”, semangat bangsa Jepang untuk mengkritik diri sendiri (refleksi
diri) dalam rangka mengembangkan kekurangan diri sendiri. Dari sini lahir metode yang dikenal
dengan istilah ”Jugyokenkyu”, kemudian hari Chaterine C. Lewis menyebutnya sebagai lesson
study. Di Jepang adalah hal yang biasa saat seorang guru bahkan murid sendiri mengajukan
pertanyaan seperti ”apakah saya sudah mencoba dengan sekuat tenaga ?”, ”apakah saya ingat
materi apa yang harus saya bawa ke sekolah sepanjang minggu ini ?”, ”apakah saya sudah
melakukan perbuatan perbuatan cinta kasih ke teman-teman saya ?”, ”apa yang masih perlu saya
perbaiki ?”. Budaya ini demikian efektif hingga menjadi sebuah motor penggerak dalam
pembaharuan pendidikan di Jepang.
Menurut Stigler dan Heibert (dalam Susilo, 2005: 3) menyebutkan bahwa terdapat unsur
kunci yang hilang dari reformasi pendidikan yaitu suatu cara efektif untuk meningkatkan
kegiatan belajar mengajar melalui pengembangan pengetahuan keprofesionalan bersama-sama
berdasarkan praktik pembelajaran. Untuk mencapai hal tersebut maka seorang guru dituntut
untuk memiliki enam sikap dasar, yang antara lain: (1) Mengkritik diri sendiri, senantiasa
melakukan refleksi secara jujur, dalam rangka pengembangan kekurangan diri sendiri. (2)
Terbuka terhadap masukan orang luar, berbagai macam masukan dan informasi merupakan “data
base” untuk terasah dan semakin kaya akan solusi dan inovasi dalam pembelajaran. (3) Mau
mengakui kesalahan, menumbuhkan sikap tanggung jawab dalam melakukan tindakan. (4) Mau
menggunakan ide orang lain yang dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. (5) Mau
memberi masukan yang jujur dan penuh dan terakhir (6) Berkomitmen terhadap perubahan,
setiap guru harus mampu menumbuhkan komitmen bahwa proses pembelajaran hakekatnya
adalah belajar untuk menjadi dan memberikan yang terbaik bagi siswa, sebab belajar adalah
proses perubahan itu sendiri.
Para pakar pendidikan di Barat telah melakukan penelitian tentang peran guru yang harus
dilakoni. Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young (1988),
Manan (1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran tersebut adalah sebagai
berikut :
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta
didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang
mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Peran guru sebagai pendidik (nurturer)
berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang
tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggungjawab kemasyarakatan, pengetahuan dan
keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan
hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik
dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol
setiap aktivitas anak-anak agar tingkat laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang
ada.
Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam kegiatan belajar peserta didik
dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan
guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam
berkomunikasi. Jika factor-faktor di atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik
dapat belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas bagi peserta
didik dan terampil dalam memecahkan masalah.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran, yaitu :
Membuat ilustrasi, Mendefinisikan, Menganalisis, Mensintesis, Bertanya, Merespon,
Mendengarkan, Menciptakan kepercayaan, Memberikan pandangan yang bervariasi,
Menyediakan media untuk mengkaji materi standar, Menyesuaikan metode pembelajaran,
Memberikan nada perasaan.
Pertama, guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak
dicapai. Kedua, guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang
paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara
jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.Ketiga, guru harus memaknai kegiatan
belajar.Keempat, guru harus melaksanakan penilaian.
Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang
menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa
peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan
apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitar
lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh guru : Sikap dasar, Bicara dan gaya bicara, Kebiasaan bekerja, Sikap melalui
pengalaman dan kesalahan, Pakaian, Hubungan kemanusiaan, Proses berfikir, Perilaku neurotis,
Selera, Keputusan, Kesehatan, Gaya hidup secara umum. Perilaku guru sangat mempengaruhi
peserta didik, tetapi peserta didik harus berani mengembangkan gaya hidup pribadinya sendiri.
Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan
apa yang ada pada dirinya, kemudian menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan
harus diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai
administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Guru akan dihadapkan pada berbagai
tugas administrasi di sekolah. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi
teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan
secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat
hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka
tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap
untuk menasehati orang.
Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan
dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang
kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian
dan ilmu kesehatan mental.
Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna
bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu
dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada
nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari
pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan.
Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini kedalam
istilah atau bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara
generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi
yang terdidik.
Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut
untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas merupakan
sesuatu yang bersifat universal dan merupakan cirri aspek dunia kehidupan di sekitar kita.
Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan
tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu.
Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik
dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilaianya bahwa ia memang kreatif
dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan
dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya.
Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena
melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila
berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi
penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang
jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.
Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga
akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu
tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui kemajuan belajarnya. Di sini
peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator.
Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu
mentransferkan kebisaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan
perkembangan dan potensi anak didik.
Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat
dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas mulia
tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia harus
menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu
masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat
tersebut bergerak menuju kehancuran.
Pendidikan, sebuah kata yang memiliki banyak definisi dan tidak akan habis jika
diperbincangkan. Karena pendidikan dapat diperoleh oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana
saja. Perlu kita ketahui beberapa hal tentang pendidikan. Pendidikan adalah sebuah persoalan
pokok yang mendasar yang merupakan kebutuhan dasar seluruh umat manusia dan merupakan
suatu titik awal berkembangnya peradaban dunia. Pendidikan tersebut tidak semata – mata hanya
dari bangku sekolah saja, tetapi digolongkan menjadi pendidikan formal dan pendidikan non-
formal. Dalam hal ini, pembahasan lebih cenderung kepada pendidikan formal.
Yang menjadi tonggak awal berkembangnya pendidikan di Indonesia, yaitu pada saat
dilaksanakannya politik etis atau balas budi, yang, dimana rakyat Indonesia, baik kaum
bangsawan maupun rakyat biasa dapat mengecap pendidikan dan lahirlah golongan
terpelajar. Dengan lahirnya golongan terpelajar, maka berubahlah nasib bangsa Indonesia melalui
proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Sama halnya dengan pendapat
beberapa ahli, seperti tokoh pendiri nasional, Ir. Soekarno dan Ki Hajar Dewantara, menyebutkan
bahwa satu – satunya yang dapat mengubah nasib suatu bangsa adalah pendidikan. Sedangkan
Jean Jaqques Rosseau, seorang tokoh pembaharu Perancis yang menyebutkan, semua yang kita
butuhkan dan semua kekurangan kita waktu lahir, hanya akan kita penuhi melalui pendidikan.
Selain itu, Aristoteles, ahli filsafat Yunani kuno berpendapat, bahwa perbaikan masyarakat hanya
dapat dilakukan dengan terlebih dahulu memperbaiki sistem pendidikan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, para siswa sebagai generasi muda Indonesia,
khususnya pelajar Merangin, dapat menilai sendiri betapa pentingnya pendidikan. Pendidikan
dapat menjadi alat dan sarana bagi kita untuk mengubah dunia. Oleh karena itu, dengan mutu
dan kualitas pendidikan yang baik, para siswa juga dapat mengubah dunia menjadi lebih baik
lagi, khususnya berperan aktif dalam pembangunan di Merangin dikemudian hari.
Dalam dunia pendidikan, siswa adalah aktor penting yang menjalankan peran utama
dalam dunia pendidikan. Dengan semakin meningkatnya peran siswa dalam dunia pendidikan,
maka semakin bagus pula mutu dan kualitas pendidikan tersebut. Untuk meningkatkan peran
aktif siswa dalam dunia pendidikan Merangin, ada 2 faktor utama yang sangat berperan, yaitu
faktor Internal dan Eksternal.
Yang menjadi faktor internal dalam meningkatkan peran aktif siswa di dunia pendidikan
adalah siswa itu sendiri. Dengan demikian, mereka merupakan motor penggerak dalam
meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Untuk menciptakan motor penggerak yang bermutu
dan berkualitas diperlukan pengambilan sikap para siswa untuk terlibat dan berperan aktif, yaitu
dengan menempuh jalur pendidikan yang lebih tinggi, antara lain dengan mengecap pendidikan
di Universitas, Akademi, dan pendidikan lainnya yang sejenis. Namun perlu disadari, bahwa
menempuh jalur pendidikan yang dimaksud di atas bukanlah segala – galanya. Perlu adanya
usaha dan kesadaran yang maksimal dari para siswa untuk giat dan serius dalam menjalani
orientasi pendidikannya.
Sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan perguruan tinggi yang akan dipilih
adalah suatu hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan, para siswa tersebut akan menjadi
motor penggerak yang bermutu dan berkualitas. Mereka dituntut untuk lebih jeli dan bijaksana
dalam memilih perguruan tinggi. Karena langkah awal merupakan penentu akhir dari suatu
tujuan, yaitu terciptanya motor penggerak yang bermutu dan berkualitas dalam
membangun Merangin dikemudian hari.
Dalam hal memilih perguruan tinggi, seperti yang kita ketahui, akhir – akhir ini mulai
menjamurnya perguruan tinggi berpapan nama yang menawarkan banyak kelebihan dan janji –
janji, namun masih banyak yang belum memenuhi kriteria sebuah pendidikan tinggi, sehingga
pada masa pertengahannya, perguruan tinggi berpapan nama tersebut ditutup dan berakibat
hancurnya cita –cita motor penggerak tersebut. Oleh karena itu, diperlukanlah peran aktif siswa
agar bijak mengambil keputusan demi tercapainya cita – cita.
Untuk menunjukkan peran aktif siswa dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan
yang ada di Merangin, tidak sedikit para siswa yang berkeinginan mengecap pendidikan tinggi,
dan jika dianggap perlu, mereka rela meninggalkan kampung halaman dan merantau untuk
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di luar merangn. Hal ini dirasa sangat penting oleh
orang tua siswa dengan mendukung peran aktif siswa tersebut. Selain itu juga adanya
kesempatan yang diberikan oleh perguruan tinggi di luar Merangin
Sebagai bukti konkrit, telah kita ketahui banyaknya peserta didik Merangin yang
menuntut ilmu pada perguruan tinggi di Jambi bahkan ada juga yang ke Pulau Jawa . Yang kelak,
setelah mereka menamatkan pendidikan dan dengan bekal yang telah mereka dapati, mereka
akan kembali Merangin sebagai sumber daya manusia yang berkualitas dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dengan besarnya minat dan keinginan untuk merealisasikan cita – cita
dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Merangin,
Ini menjadi sebuah motto yang mendukung mental para siswa untuk dapat lebih berhasil
dalam proses pendidikan selanjutnya. Selain faktor internal, ada juga faktor eksternal yang
mendukung terlaksananya faktor internal di atas. Yaitu dukungan dari keluarga, khususnya orang
tua, sekolah, maupun masyarakat dan pemerintah. Dengan dukungan dan bimbingan yang penuh
dari berbagai pihak, maka dapat terciptanya manusia yang berakhlak dan bermental dewasa,
sehingga cita – cita pembangunan Merangin, bukan hanya sebuah mimpi belaka, melainkan
sebuah proses realisasi untuk mewujudkan pembangunan bangsa.
Dalam lingkungan keluarga, orang tua sangat berperan dalam mendukung peran aktif
sang anak dalam dunia pendidikan, yaitu dengan memberikan pendidikan, berupa bimbingan dan
didikan. Pendidikan non-formal yang didapat seorang anak dari lingkungan keluarganya sangat
berpengaruh dan menentukan seberapa besar peran aktif anak tersebut dalam dunia pendidikan.
Hal ini dikarenakan lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi anak tersebut.
Sedangkan melalui pendidikan formal, guru sangat berperan untuk membangun tingkat
intelektual siswa. Dengan berkualitasnya seorang guru, maka akan terciptalah siswa yang
berkualitas pula. Peran seorang guru yang berkualitas, bukan hanya sebagai sumber utama ilmu
pengetahuan atau jawaban dari segala persoalan, namun sebagai sarana dan fasilitator dalam
menghubungkan siswa dengan ilmu pengetahuan, sehingga kompetensi yang baik dari seorang
guru sangat diperlukan. Sedangkan peran seorang murid yang berkualitas adalah sebagai
partisipan yang aktif, bukan sebagai partisipan pasif. Jika peran antara guru dan murid yang
berkualitas telah sinkron, maka akan terwujudlah siswa sebagai calon motor penggerak
pembangunan yang baik.
Selain itu, pemerintah juga memegang peranan yang cukup besar dalam mendukung
peran aktif siswa. Hal tersebut terwujud dalam bentuk kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah, baik dalam penentuan anggaran pendidikan, penentuan kurikulum, serta penentuan
sistem – sistem pendidikan lainnya. Jika kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut dapat
meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, maka keberhasilan dalam menciptakan motor
penggerak akan terwujud.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan, bahwa para siswa Merangin, Dalam mendukung
semangat dan daya juang para siswa, yaitu dengan meningkatkan kualitas pendidikan melalui
dukungan dari orang tua, sekolah, dan pemerintah. Dan untuk mencapai cita – cita tersebut, hal
yang sangat penting adalah penentuan disiplin ilmu tertentu yang akan dituju oleh para siswa.
Selanjutnya, keberhasilan orientasi pendidikan akan ditentukan oleh komitmen dan sikap disiplin
para siswa pada saat masa pendidikannya. Dengan demikian, peran aktif siswa hanya akan
terwujud dengan dukungan dari berbagai pihak, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat, dan
pemerintah.