Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Pendidikan merupakan elemen penting dalam kehidupan. Di tangan
pendidikanlah masa depan bangsa ini dipertaruhkan. Bangsa yang memiliki
keunggulan kompetitif adalah bangsa yang berdaya saing global. Ini di buktikan
dengan kuatnya penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tentu saja, untuk
dapat memiliki daya saing global tersebut-teknologi dan ilmu pengetahuan-
pendidikan adalah prasayarat utamanya.
Melalui pendidikan, masyarakat diberi alat dan ilmu pengetahuan yang
diperlukan untuk mengambil bagian dalam kemajuan dunia. Tidak hanya itu,
melalui pendidikan, sikap dan tindak tanduk manusia dibentuk. Melalui
pendidikan pula, disiplin, pola hidup bersih, dan kejujuran manusia ditanamkan.
Belajar dari perjalanan sejarah peradaban dunia, kita akan menemukan bahwa
bangsa-bangsa yang sekarang termasuk dalam gugusan negara maju, seperti
Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan sekarang disusul China, India, Malaysia,
Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, adalah negara-negara yang menempatkan
sektor pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan negaranya. Dari
sekian sumber daya pendidikan yang dianggap penting adalah uang. Pendidikan
tidak akan berjalan tanpa adanya biaya atau uang. Uang ini termasuk sumber daya
yang langka dan terbatas. Oleh karena itu, uang perlu dikelola dengan efektif dan
efisien agar membantu pencapaian tujuan pendidikan.
Pendidikan sebagai investasi yang akan menghasilkan manusia-manusia yang
memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan dalam
pembangunan suatu bangunan. Manfaat (benefit) individu sosial atau institusional
akan diperoleh secara bervariasi. Akan tetapi, manfaat individual tidak akan
diperoleh dalam waktu seketika atau diperoleh secara cepat, tetapi perlu waktu
yang cukup lama, bahkan bisa saatu generasi.
Pendidikan dipandang sebagai sektor publik yang dapat melayani masyarakat
dengan berbagai pengajaran, bimbingan dan latihan yang dibutuhkan oleh peserta
didik. Manajemen Pembiayaan dalam lembaga pendidikan berbeda dengan
manajemen pembiayaan perusahaan yang berorientasi profit atau laba. Organisasi
pendidikan dikategorikan sebagai organisasi publik yang nirlaba (non profit).
Oleh karena itu, manajemen pembiayaan memiliki keunikan sesuai dengan misi
daan karakteristik pendidikan.
Penerapan peraturan dan sistem manajemen pembiayaan yang baku dalam
lembaga pendidikan tidak dapat disangkal lagi. Permasalahan yang terjadi
didalam lembaga terkait dengan manajemen pembiayaan pendidikan diantaranya
sumber dana yang terbatas, pembiayaan program yang serampangan, tidak
mendukung visi, misi, dan kebijakan sebagaimana tertulis didalam rencana
strategis lembaga pendidikan. Disatu sisi, lembaga pendidikan perlu dikelola
dengan tata pamong yang baik (good governance), sehingga menjadikan lembaga
pendidikan yang bersih dari berbagai malfungsi dan malpraktik pendidikan yang
merugikan pendidikan.

1.2  Rumusan Masalah


1. Apa maksud dari pendidikan sebagai restoran ?
2. Apa definisi dan jenis-jenis pembelanjaan pendidikan?
3. Apa saja jenis pembiayaan pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana pembiayaan pendidikan di Indonesia ?
5. Bagaimana pembiayaan pendidikan umum dan swasta?

1.3  Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan sebagai restoran?
2. Untuk mengetahui definisi dan jenis-jenis pembelanjaan pendidikan?
3. Untuk mengetahui Apa saja jenis pembiayaan pendidikan di Indonesia?
4. Untuk mengetahui pembiayaan pendidikan di Indonesia?
5. Untuk mengetahui pembiayaan pendidikan umum dan swasta?

1.4  Manfaat Penelitian


1. Bagi penulis, dapat mengetahui informasi tentang konsep dasar
pembiayaan untuk investasi pendidikan.
2. Bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa program studi magister
pendidikan IPS tulisan ini dapat menjadi informasi tentang konsep dasar
pembiayaan untuk investasi pendidikan.
3. Bagi pembaca lainnya, tulisan ini dapat dijadikan bahan informasi untuk
tulisan atau makalah-makalah selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pendidikan Sebagai Restoran


Sebagai sebuah investasi dalam bentuk modal SDM, pendidikan dan
pelatihan memerlukan pembiayaan yang besar dan pengelolaannya secara efektif
dan efisien. Istilah efektif merujuk pada sasaran atau hasil yang ingin dicapai
untuk setiap penggunaan mata anggaran, sedangkan istilah efisien merujuk pada
proses pengalokasian dan penggunaan anggaran itu.
Secara konseptual efisiensi pendidikan meliputi efisiensi atau disebut juga
keefektifan biaya (cost effectiveness), dan efisiensi eksternal atau disebut manfaat
biaya (cost benefit). Cost benefit dikaitkan dengan analisis keuntungan atas
investasi pendidikan dari pembentukan kemampuan, sikap dan keterampilan.
Dalam perhitungan investasi terdapat dua hal penting yaitu (1) Investasi
hendaknya menghasilkan kemampuan yang memiliki nilai ekonomi di luar nilai
instrinsiknya, (2) nilai guna dari kemampuan. Analisis biaya manfaat (cost benefit
analysis) merupakan metodologi yang banyak digunakan dalam melakukan
analisis investasi pendidikan. Metode Analisis biaya manfaat dapat membantu
para pengambil keputusan dalam menentukan pilihan diantara alternatif alokasi
sumber-sumber pendidikan yang terbatas tetapi memberikan keuntungan yang
tinggi.
Investasi dibidang pendidikan perlu untuk merespon kebutuhan ekonomi
tenaga kerja menurut jenjang dan jenis pendidikan. Analisis tingkat balik (Rates
of Return Analysis) ekonomi dari investasi ini diperoleh dengan membandingkan
produktivitas dari tenaga kerja terdidik yang biasanya digambarkan oleh profil
upah dengan produktivitas tenaga kerja yang tidak terdidik. Nilai investasi
pendidikan dapat berbeda bergantung acuannya, apakah acuannya dari sudut
pandang masyarakat atau individu.Tidak semua biaya pendidikan ditanggung oleh
individu, tetapi sebagian ditanggung oleh masyarakat melalui subsidi pemerintah.
Perluasan dan pembatasan pendidikan harus diciptakan bersama, dengan ini
dilakukan upaya peningkatan investasi dan relevansi pendidikan secara lebih
merata dan meluas dalam berbagai jenis, jenjang dan jalur pendidikan. Investasi
pendidikan di negara-negara berkembang, dimana kondisi ekonomi sudah relatif
maju dengan berbasis perindustrian, maka strategi investasi pendidikan diarahkan
untuk memenuhi lapangan dunia kerja. Pengembangan investasi pendidikan perlu
dilakukan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Inventarisasi kebutuhan tenaga
kerja dalam jangka pendek berdasarkan estimasi kebutuhan tenaga kerja dalam
persektif jangka panjang merupakan peluang untuk melakukan investasi
pendidikan. (Sofa, 2008)
Pendidikan anak sebetulnya sebuah investasi. Hasil dari pembiayaan
pendidikan yang dilakukan orang tua nantinya akan lebih banyak dinikmati oleh si
anak itu sendiri, bukan oleh si orang tua. Sebagai contoh, bila orangtua
membayari pendidikan anaknya, si orang tua boleh berharap bahwa mudah-
mudahan saja dengan pendidikannya si anak bisa menjalani kehidupannya sehari-
hari dengan baik nantinya ketika kelak ia dewasa. Atau, dengan pendidikan yang
baik, diharapkan si anak bisa lebih pandai dalam berpikir, bertindak dan
berkomunikasi.
Apabila hasil investasi itu telah dinikmati oleh si anak, maka barulah secara
tidak langsung keluarganya juga akan ikut terangkat derajat dan martabatnya.
Jadi, pantaslah bila dikatakan bahwa dengan Anda membayari pendidikan anak
Anda, Anda sebetulnya telah melakukan investasi. Bukan investasi yang
menghasilkan uang untuk keluarga, tapi investasi untuk menjadikan hidup anak
Anda lebih baik, sehingga nantinya itu juga akan mengangkat derajat dan
martabat Anda sebagai orang tuanya. Sehingga penting untuk mempersiapkan
biaya pendidikan anak Anda dengan baik sehingga Anda akan selalu punya cukup
uang untuk membayari pendidikan anak Anda. (Safir Senduk, 2000)

2.2  Definisi dan Jenis-Jenis Pembelanjaan Pendidikan


Menurut Howard R. Bowen (1981) memilah pembelanjaan pendidikan
menjadi empat jenis, yaitu pembelanjaan capital (capital expenditures),
pembelanjaan rutin (current or routine expenditures), pembelanjaan pendidikan
(educational expenditures), dan pembelanjaan pendidikan dan umum (educational
and general expenditures).
  Pembelanjaan Capital (capital expenditures), adalah pengeluaran lembaga
pendidikan untuk mendapatkan asset-aset yang dibutuhkan, seperti tanah,
bangunan, atau peralatan-peralatan berat yang bersifat mayor lainnya.
 Pembelanjaan Rutin (current or routine expenditures), adalah pengeluaran
lembaga pendidikan yang berlangsung secara continue dan bersifat
berulang-ulang untuk memperlancar operasi program akademik dan
nonakademik. Secara umum pembelanjaan rutin ini termasuk gaji
pegawai, namun dalam makna khusus dapat dipersepsi sebagai
pembelanjaan untuk operasional program
  Pembelanjaan Pendidikan (educational expenditures), merupakan bagian
dari pembelanjaan pendidikan dan pembelanjaan umum dari lembaga
pendidikan, yang terkait langsung dengan kepentingan pembelajaran dan
kesejahteraan siswa (instruction and welfare of students). Pembelanjaan
jenis ini antara lain meliputi:
1. Pendidikan dan pembelajaran
2. Penelitian dan pengembangan
3. Pelayanan siswa
4. Beasiswa
5. Program magang atau praktik kerja
6. Dana pendamping kegiatan akademik dan
7. Operasi dan pemeliharaan

 Pembelanjaan Pendidikan dan Umum (educational and general


expenditures) merupakan pembelanjaan rutin lembaga pendidikan yang
bersifat mendukung kegiatan pendidikan dan pembelajaran, penelitian dan
pengembangan, dan penelitian-penelitian terorganisasi, serta pelayanan
kepada masyarakat. Dalam makna luas, Pembelanjaan Pendidikan dan
Umumsulit untuk dibedakan dengan pembelajaran pendidikan dalam
makna education expenditures karena didalamnya juga mencakup
pembiayaan untuk:
a. Pembelajaran dan penelitian
b. Penelitian- penelitian terorganisasi
c. Pengabdian kepada masyarakat
d. Beasiswa dan mendatangkan tenaga ahli oleh penyandang dana
khusus
e. Dana pendukung kegiatan akademik
f. Dana pendukung kegiatan instruksi
g. Operasi dan pemeliharaan asset-aset capital dan
h. Kewajiban-kewajiban khusus yang harus dipenuhi oleh sekolah.

2.3  Dua Jenis Pembiayaan Pendidikan Di Indonesia


Secara koseptual, besarnya biaya yang digunakan (misalnya untuk kegiatan
akademik dan pembinaan kesiswaan) dan kemampuan dalam penyediaannya
merupakan petunjuk kelayakan sebuah institusi persekolahan. Institusi pendidikan
dan pelatihan harus mampu menggaransi bahwa setiap item kegiatan yang akan
dilakukan harus didukung oleh kemampuan financial yang memadai.
Pembiayaan pendidikan berasal dari pemerintah dan nonpemerintah atau
masyarakat. Administrasi pembiayaan pendidikan adalah segenap kegiatan yang
berkenaan dengan penataan sumber, penggunaan, dan pertanggungjawaban dana
pendidikan di sekolah atau lembaga pendidikan. Kegiatan yang ada dalam
administrasi pembiayaan meliputi tiga hal yaitu penyusunan anggaran yang dapat
disebut dengan perencanaan pembiayaan pendidikan, pembukuan yang termasuk
dalam pelaksanaan pembiayaan pendidikan dan pengawasan pelaksanaan
pembiayaan pendidikan.
Pengertian biaya dalam ekonomi adalah pengorbanan-pengorbanan yang
dinyatakan dalam bentuk uang, diberikan secara rasional, melekat pada proses
produksi, dan tidak dapat dihindarkan. Bila tidak demikian, maka pengeluaran
tersebut dikategorikan sebagai pemborosan.

Sumber Dana Pendidikan


Lembaga pendidikan dalam melaksanakan tugasnya menerima dana dari
berbagai sumber. Penerimaan dari berbagai sumber tersebut perlu dikelola dengan
baik dan benar. Banyak pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan
penerimaan keuangan pendidikan, namun dalam pelaksanaannya pendekatan-
pendekatan tersebut memiliki berbagai persamaan.
Sumber-sumber dana pendidikan antara lain meliputi: Anggaran rutin (DIK);
Anggaran pembangunan (DIP); Dana Penunjang Pendidikan (DPP); Dana BP3;
Donatur; dan lain-lain yang dianggap sah oleh semua pihak yang terkait.
Pendanaan pendidikan pada dasarnya bersumber dari pemerintah, orang tua dan
masyarakat (pasal 33 No. 2 tahun 1989).
Sejalan dengan adanya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah dapat
menggali dan mencari sumber-sumber dana dari pihak masyarakat, baik secara
perorangan maupun secara melembaga, baik di dalam maupun di luar negeri,
sejalan dengan semangat globalisasi. Dana yang diperoleh dari berbagai sumber
itu perlu digunakan untuk kepentingan sekolah, khususnya kegiatan belajar
mengajar secara efektif dan efisien. Sehubungan dengan itu, setiap perolehan
dana, pengeluarannya harus didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan yang telah
disesuaikan dengan rencana anggaran pembiayaan sekolah (RAPBS). (sofa, 2008)

Pembiayaan Pendidikan Biaya Rutin dan Biaya Modal


Secara umum, pembiayaan pendidikan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu;
(1) biaya rutin (recurring cost) dan biaya modal (capital cost). Recurring cost pada
intinya mencakup keseluruhan biaya operasional penyelenggaraaan pendidikan,
seperti biaya administrasi, pemeliharaan fasilitas, pengawasan, gaji, biaya untuk
kesejahteraan, dan lain-lain. Sementara, capital cost atau sering pula disebut biaya
pembangunan mencakup biaya untuk pembangunan fisik, pembelian tanah, dan
pengadaan barang-barang lainnya yang didanai melalui anggaran pembangunan.
Biaya rutin adalah biaya yang harus dikeluarkan dari tahun ke tahun, seperti
gaji pegawai (guru dan non guru), serta biaya operasional, biaya pemeliharaan
gedung, fasilitas dan alat-alat pengajaran (barang-barang habis pakai). Sementara
biaya pembangunan, misalnya, biaya pembelian atau pengembangan tanah,
pembangunan gedung, perbaikan atau rehab gedung, penambahan furnitur, serta
biaya atau pengeluaran lain unutk barang-barang yang tidak habis pakai.
Dalam implementasi MBS, manajemen komponen keuangan harus
dilaksanakan dengan baik dan teliti mulai dari tahap penyusunan anggaran,
penggunaan, sampai pengawasan dan pertanggungjawaban sesuai dengan
ketentuan yang berlaku agar semua dana sekolah benar-benar dimanfaatkan secara
efektif, efisien, tidak ada kebocoran-kebocoran, serta bebas dari penyakit korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Akumulasi biaya dibagi jumlah siswa akan diketahui besarnya biaya satuan
(unit cost). Unit cost yang dimaksud di sini adalah unit cost per siswa. Unit cost
per siswa memiliki empat makna. Pertama, unit cost per siswa dilihat dari aspek
recurring cost. Kedua, unit cost per siswa dilihat dari aspek capital cost. Ketiga,
unit cost per siswa dilihat dari akumulasi atau perjumlahan dari recurring cost
dengan capital cost. Keempat, unit cost per siswa dilihat dari recurring cost,
capital cost, dan seluruh biaya yang dikeluarkan langsung oleh siswa untuk
keperluan pendidikannya.
Dengan demikian, secara sederhana biaya satuan per siswa yang belajar
penuh (unit cost per full time student) tidak sulit dihitung. Perhitungannya
dilakukan dengan menambahkan seluruh belanja atau dana yang dikeluarkan oleh
isntitusi (total institution expenditures) dalam pelaksanaan tugas-tugas
kependidikan dibagi dengan jumlah siswa reguler (full time student) dalam tahun
tertentu, termasuk biaya yang mereka keluarkan untuk keperluannya sendiri dalam
menjalani pendidikan. (M. Asrori Ardiansyah. 2011)

PERENCANAAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN


Dalam perencanaan pembiayaan, terlebih dahulu harus memahami jenis-jenis
biaya dalam istilah pembiayaan. Jenis-jenis biaya tersebut yaitu :
1. Biaya langsung (direct cost)
Merupakan biaya pendidikan yang diperoleh dan dibelanjakan oleh sekolah
sebagai suatu lembaga meliputi biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan proses
belajar mengajar, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang
dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri.
2. Biaya tidak langsung (indirect cost)
Biaya tidak langsung merupakan keuntungan yang hilang (earning forgone)
dalam bentuk biaya kesempatan yang hilang yang dikorbankan oleh siswa selama
belajar. Istilah lain yang berkenaan dengan dua sisi anggaran yakni penerimaan
dan pengeluaran. Anggaran penerimaan merupakan pendapatan yang diperoleh
rutin setiap tahun oleh sekolah dari berbagai sumber resmi. Anggaran dasar
pengeluaran Merupakan jumlah uang yang dibelanjakan setiap akhir tahun untuk
kepentingan pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Berdasarkan sifatnya, pengeluaran dikelompokkan menjadi dua, antara lain :
a. Pengeluaran yang bersifat rutin
Pengeluaran rutin di sekolah misalnya pengeluaran pelaksanaan pelajaran,
pengeluaran tata usaha sekolah, pemeliharaan sarana/prasarana sekolah,
kesejahteraan pegawai, administrasi, pembinaan teknis edukatif, pendataan.
b. Pengeluaran yang bersifat tidak rutin/pembangunan
Contoh pengeluaran tidak rutin : pembangunan gedung, pengadaan kendaraan
dinas, dan lain sebagainya.
Dalam mengukur biaya pendidikan ada yang dinamakan sebagai total cost
dan unit cost. Total cost merupakan biaya pendidikan secara keseluruhan.
Sedangkan unit cost adalah biaya satuan per peserta didik. Untuk menentukan
biaya satuan terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan makro dan mikro.
Pendekatan makro mendasarkan perhitungan pada keseluruhan jumlah
pengeluaran pendidikan yang diterima dari berbagai sumber dana kemudian
dibagi jumlah murid. Sedangkan pendekatan mikro berdasar pada alokasi
pengeluaran per komponen pendidikan yang digunakan peserta didik.

2.4  Minimnya Pembiayaan Pendidikan Di Indonesia


Dewasa ini pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai prloblem
mulia dari ketikmerataan akses pendidikan, kurang efektif dan efisien,
ketidakrelevanansian lulusan dengan dunia kerja hingga pada mutu pendidikan.
Dan itu semua merupakan masalah-masalah besar yang harus dicermati dan dicari
pemecahannya. Adanya problem tersebut dikarenakan keterbatasan keuangan
yang dimiliki, baik oleh orang tua maupun pihak sekolah. Menurut saudara apa
hubungan Manajemen Pembiayaan Pendidikan Islam dengan empat masalah
pokok pendidikan nasional tersebut!
Masalah pemerataan pendidikan merupakan masalah di bidang pendidikan
pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, berdasarkan data
yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dari periode
2001/02 sampai 2005/06, angka partisipasi murni SD cukup bagus sebesar
94,20%. Untuk level pendidikan SMP, SMU dan Perguruan Tinggi terjadi
ketidakmerataan pendidikan dengan angka partisipasi bersekolah yang kecil.
Jika melihat angka partisipasi murni untuk usia SMP tahun 2005/06 (data dari
Depdiknas) maka menunjukkan angka 62,06% yang berarti 37,94% yang tidak
dapat melanjutkan ke pendidikan SMP. Itupun belum memperhitungkan jumlah
anak yang putus sekolah, maka jumlah tersebut akan berkurang. APM sebesar
42,64% pada level SMU, menunjukkan lebih besarnya jumlah anak usia SMU
yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke level SMU. Hal ini juga belum
memperhitungkan anak putus sekolah di level pendidikan SMU. Beberapa
penyebab terjadinya ketidakmerataan pendidikan di Indonesia diantaranya adalah
karena aspek kemiskinan yang dibarengi dengan biaya oportunitas dan aspek
pembiayaan pendidikan yang dibarengi oleh korupsi dana pendidikan.
Diakui atau tidak, setiap penduduk di negeri ini belumlah dapat mengenyam
bangku pendidikan. Kita bisa melihat hampir di manapun selalu dijumpai anak
putus sekolah karena berbagai faktor seperti biaya sekolah yang melangit.
Ditambah lagi angka buta huruf dimasyarakat Indonesia. Jika mengacu pasal
konstitusi, anak usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan dasar tanpa biaya
dan sekolah tidak lagi menarik pungutan-pungutan kepada siswa dan orangtua
siswa. UU No 20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sisdiknas pun menggariskan agar
pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang
pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Yang jelas, kita tidak bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh
jenjang pendidikan di negeri ini. Biaya pendidikan yang mahal telah merambah di
hampir semua jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan dasar, jenjang
pendidikan menengah maupun jenjang pendidikan tinggi, sehingga masyarakat
miskin tidak dapat mengakses pendidikan karena biaya yang mahal tersebut.
Upaya pemerataan pendidikan agar terakses bagi seluruh kalangan bukanlah
hal baru, misalnya kebijakan penyaluran dana BOS . Pemberian bantuan tersebut
diasumsikan sebagai bentuk stimulan bagi pendidikan. Pada praktik di lapangan,
beragam program pendidikan tersebut belum berjalan secara efektif. Semangat
menyelenggarakannya belum sinkron dengan sistem pendidikan yang sudah
terstruktur demikian lama.
Beragam faktor menjadi penyebab belum meratanya kebijakan pendanaan
pendidikan selama ini. 

1. Lemahnya Database Dunia Pendidikan


kita menjadi salah satu faktor penyebabnya. Patut diakui rendahnya
pemahaman akan validitas dan reabilitas data berimbas pada dunia pendidikan
kita. Kebijakan pendidikan agar menyentuh semua lapisan pendidikan menjadi
pekerjaan tersendiri bagi pihak pemerintah. Pemerataan kebijakan bagi pendidikan
ini secara konseptual haruslah menyentuh seluruh lapisan pendidikan baik
menyangkut peserta didik maupun pihak–pihak penyelenggara pendidikan.
Agar pemerataan pendidikan terwujud dan pendidikan dapat diakses oleh
semua kalangan, maka dalam hal strategi pembiayaan pemerintah harus benar-
benar terfokus untuk membuat APM mencapai angka minimal 95% untuk level
SD dan SMP sebagai program wajib belajar sembilan tahun. SD dan SMP ini
harus dibenahi terlebih dahulu. Kalau sudah tercapai pemerataan pendidikan
untuk SD dan SMP, maka baru pemerintah memperhitungkan untuk pendidikan
level SMU dan Perguruan Tinggi. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dana
pemerintah. Yang perlu ditekankan adalah pemerintah harus benar-benar terfokus
pada dana bantuan untuk anak-anak orang miskin baik untuk dana pendidikan dan
dana untuk biaya oportunitasnya. Pemerintah harus memperhitungkan biaya
oportunitas dalam memberi bantuan kepada anak orang miskin yang bersekolah di
level SD dan SMP. Pemerintah harus menjamin dana untuk mereka sampai
mereka tamat SD dan SMP. Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk putus
sekolah.
Pemerintah tidak pelu menggratiskan semua anak yang masuk sekolah dasar
dan sekolah menengah karena tidak semua anak yang masuk sekolah dasar atau
menengah yang tidak mampu atau miskin. Yang perlu dibantu itu adalah hanya
anak orang miskin. Jadi dengan memfokuskan bantuan kepada anak orang miskin
untuk bersekolah pada level pendidikan SD dan SMP serta memperhitungkan
biaya oportunitasnya maka diharapkan APM dapat mencapai 95% untuk SD dan
SMP atau terjadi pemerataan pendidikan untuk pendidikan sembilan tahun.
Secara keseluruhan, kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan
meliputi:
1) Pendanaan satuan pendidikan pelaksana program wajib belajar (wajar).
2) Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di sekolah/madrasah, termasuk di
pesantren salafiyah, dan satuan pendidikan keagamaan lainnya, serta
satuan/program pendidikan nonformal
3) Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di SLB dan sekolah inklusif
4) Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah
terpencil/kepulauan yang berpenduduk jarang dan terpencar
5) Penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan satuan pendidikan pelaksana
program wajar
6) Penyediaan sarana dan prasarana satuan pendidikan pelaksana program
wajar
7) Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia di atas 15 tahun
8) Perluasan akses pendidikan melalui ICT dan TV Edukasi
9) Perluasan pendidikan kecakapan hidup, termasuk bagi santri Pondok
Pesantren
10) Perluasan akses SMA/MA/SMK/MAK dan SM terpadu
11) Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses
SMA/SMK/MA/MAK/SM Terpadu, SLB, dan PT
12) Peningkatan akses lulusan SMA/MA berprestasi/berbakat istimewa ke
pendidikan lanjutan di PT Unggulan di dalam dan luar negeri
13) Perluasan akses PT/PTA
14) Pelaksanaan advokasi pendidikan yang responsif gender
15) Perluasan akses PAUD, termasuk TK, RA, BA, KB, TPA, TPQ

2. Relevansi Pendidikan
Pendidikan Indonesia dihadapkan pada rendahnya relevansi pendidikan
dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data BAPPENAS menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3
juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga
menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara
hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika
peserta didik memasuki dunia kerja. Rendahnya relevansi dan penyerapan tenaga
kerja terdidik ditunjukkan oleh tingginya angka pengangguran terdidik (4,5 juta
pada Februari 2008).
Adanya pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri,
menimbulkan kebutuhan peningkatan kemampuan dan keterampilan yang harus
dimiliki peserta didik. Keanekaragaman pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan oleh sektor jasa ini sangat mempengaruhi jenis pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan. Salah satu sudut pandang mengatakan bahwa
sektor pendidikanlah yang berkewajiban menyediakan keterampilan yang
diperlukan oleh lapangan kerja. Dengan demikian pendidikan formal di sekolah
harus berorientasikan kepada peningkatan keterampilan anak didik. Ini berarti
juga penyesuaian kurikulum dan penyediaan program keterampilan di sekolah.
Peningkatan mutu dan relevansi dalam rangka meningkatkan daya saing
lulusan sudah merupakan suatu keharusan. Kegagalan lulusan (misalnya PT)
memasuki dunia kerja adalah karena masih rendahnya mutu dan tidak relevannya
kompetensi lulusan dengan dunia kerja. Kesadaran Perguruan Tinggi dalam upaya
menaikkan mutu dan relevansi ini masih terkendala oleh sumberdaya manusia
(dosen) dan sumberdaya financial (terutama PTS). Untuk mengatasi kendala itu,
sering kemudian terjadi trade-off antara peningkatan jumlah mahasiswa, biaya
SPP dan kualitas pendidikan.
Untuk menjamin konsistensi mutu dan relevansi pendidikan dibutuhkan
sebuah organisasi pengelola yang sehat. Ciri-ciri organisasi yang sehat adalah
berkembangnya suasana akademik yang menciptakan kebebasan akademik,
mendorong inovasi, kreativitas dan ide-ide setiap individu; Terciptanya sistem
nilai, norma, tata tertib dan prosedur operasi standar yang memungkinkan
terjadinya team building dan team spirit, sehingga aktivitas kelompok-kelompok
menjadi lebih produktif dan maksimal; Terbentuknya kemampuan memasarkan
hasil-hasil kegiatan penelitian; Berlakunya prinsip meritokrasi sehingga tercipta
motivasi individual untuk bekerja keras dan meraih keunggulan; Berkembangnya
kemampuan untuk menjalin kerjasama yang berkelanjutan di dalam maupun
diluar perguruan tinggi, ditingkat nasional maupun internasional; Terciptanya
akuntabilitas publik (kinerja, keuangan, nilai keilmuan).

3. Mutu Pendidikan
pendidikan di Indonesia dihadapkan para rendah mutu pendidikan baik di
tingkat dasar dan menengah dan pemerintah telah melalukan berbagai upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan, tetapi semua upaya itu belum
menunjukkan peningkatan yang berarti. Jika dicermati ada beberapa faktor yang
menyebakan rendahnya mutu pendidikan. Menurut Isjoni ada beberapa faktor
yang menjelaskan mengapa upaya perbaikan pendidikan selama ini kurang
berhasil, diantaranya: pembangunan pendidikan bersifat input-output oriented,
pengelolaan pendidikan bersifat makro oriented, sistem pendidikan mengarah
pada kognitif oriented, dan program pembangunan pendidikan lebih berorientasi
pada bangunan fisik, kurangnya kemandirian sekolah dalam memberdayakan
sumber daya pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan minimnya peran
serta masyarakat dalam bidang pendidikan.
Mutu pendidikan bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, ini
merupakan hasil dari suatu proses pendidikan, jika suatu proses pendidikan
berjalan baik, efektif dan efisien, maka terbuka peluang yang sangat besar
memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas. mutu pendidikan mempunyai
kontinum dari rendah ke tinggi. Dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem,
mutu pendidikan dapat dipandang sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti kepemimpinan, iklim organisasi, kualifikasi guru, anggaran,
kecukupan fasilitas belajar dan sebagainya.
Edward Sallis menyatakan: “Ada banyak sumber mutu dalam pendidikan,
misalnya sarana gedung yang bagus, guru yang terkemuka, nilai moral yang
tinggi, hasil ujian yang memuaskan, spesialisasi atau kejuruan, dorongan orang
tua, bisnis dan komunitas lokal, sumberdaya yang melimpah, aplikasi teknologi
mutakhir, kepemimpinan yang baik dan efektif, perhatian terhadap pelajaran anak
didik, kurikulum yang memadai, atau juga kombinasi dari faktor-faktor tersebut”.
Pernyataan diatas menunjukkan banyaknya sumber mutu dalam bidang
pendidikan, sumber ini dapat dipandang sebagai faktor pembentuk dari suatu
kualitas pendidikan, atau faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Hal paling krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah masalah
pembiayaan/keuangan, karena seluruh komponen pendidikan di sekolah erat
kaitannya dengan komponen pembiayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan
tersebut tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas pendidikan,
namun pembiayaan berkaitan dengan sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa
banyak sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar
secara optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun
untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini,
meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas,
namun pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup
banyak.

4. Efisiensi dan Efektifitas


Keempat, terkait dengan, sekolah harus mampu memenej keuangan yang ada
sehingga dapat menghindari penggunaan biaya yang tidak perlu. Efektifitas
pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi, program kegiatan tidak hanya
dihitung berdasarkan biaya tetapi juga waktu, dan amat penting menseleksi
penggunaan dana operasional, pemeliharaan, dan biaya lain yang mengarah pada
pemborosan.
Menurut Bobbit (1992), sekolah secara mandiri dan berkewenangan penuh
menata anggaran biaya secara efisien, karena jumlah enrollment akan menguras
sumber-sumber daya dan dana yang cukup besar. Suatu contoh efektivitas dan
efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan Pemerintah
Kabupaten (pemkab) Jembrana-Bali. Kabupaten Jembrana sejak tahun 2001 yang
mampu memberikan pendidikan gratis 12 tahun bagi warga asli daerah tersebut.
“Pemerataan pendidikan, manajemen pendidikan yang efektif, dan peningkatan
partisipasi masyarakat merupakan pijakan dalam memuluskan program
pendidikan di Jembrana”.
Adanya konsep manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya menampilkan
konsep pengelolaan anggaran pendidikan dengan tujuan untuk menjawab
persoalan bagaimana mendayagunakan sumber-sumber pembiayaan yang relatif
kecil dan terbatas itu secara efektif dan efisien, bagaimana mengembangkan
sumber-sumber baru pembiayaan bagi pembangunan pendidikan, agar tujuan
pendidikan tercapai secara optimal.
Dalam kondisi dana yang sangat terbatas dan sekolah dihadapkan kepada
kebutuhan yang beragam, maka sekolah harus mampu membuat keputusan
dengan berpedoman kepada peningkatan mutu. Manakala sekolah memiliki
rencana untuk mengadakan perbaikan suasana dan fasilitas lain seperti
memperbaiki pagar sekolah atau memperbaiki sarana olah raga. Tetapi
pengaruhnya terhadap peningkatan mutu proses belajar mengajar lebih kecil
dibanding dengan pengadaan alat peraga atau laboratorium, maka keputusan yang
paling efisien adalah mengadakan alat peraga atau melengkapi laboratorium.
Dalam biaya pendidikan, efisiensi hanya akan ditentukan oleh ketepatan di
dalam mendayagunakan anggaran pendidikan dengan memberikan prioritas pada
faktor-faktor input pendidikan yang dapat memacu prestasi belajar siswa.
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) merupakan
suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah dalam rangka mengatur dan
mengalokasikan dana pendidikan yang ada sumbernya dan sudah terkalkulasi
jumlah dan besarannya baik yang merupakan dana rutin bantuan dari pemerintah
berupa Dana Bantuan Operasional atau dana lain yang berasal dari sumbangan
masyarakat atau orang tua siswa.
Dalam merancang dan menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya masalah efektivitas
pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi. Efektivitas pembiayaan
merupakan faktor penting yang senantiasa diperhitungkan bersamaan dengan
efisiensi, artinya suatu program kegiatan tidak hanya menghitung waktu yang
singkat tetapi tidak memperhatikan anggaran yang harus dikeluarkan seperti biaya
operasional dan dana pemeliharaan sarana yang mengarah pada pemborosan. Jadi
dalam hal ini Kepala Sekolah bersama-sama guru dan Komite Sekolah dalam
menentukan anggaran pembelajaran harus berdasarkan kebutuhan yang riil dan
benar-benar sangat dibutuhkan untuk keperluan dalam rangka menunjang
penyelenggaraan proses pembelajaran yang bermutu. (M. Asrori Ardiansyah,
2011)

2.5  Pembiayaan Pendidikan Umum Dan Swasta


Salah satu sumber dana pendididkan adalah dari masyarakat dan terutama
orang tua siswa/ mahasiswa. Dana pendidikan yang dibebankan kepada
masyarakat , seperti melalui komite sekolah memang dapat ditentukan secara
pasti namun demikian , dalam kenyataannnya, anak didika dan orang tua atau
masyarakat tetap harus menanggung beban biaya lainnya, sepeti:
a. Pembelian buku
b. Pembelian alat-alat tulis
c. Biaya transportasi
d. Program belajar tambahan
e. Kegiatan ekstrakulikuler
f. Kegiatan- Kegiatan ilmiah
g. Pakaian seragam
h. Kegiatan- Kegiatan social lain, dan sebagainya.

SUMBER-SUMBER PEMBIAYAAN PENDIDIKAN


Untuk terselenggaranya suatu pendidikan, diperlukan pembiayaan yang
bersumer baik dari pemerintah, orang tua, murid, masyarakat, maupun institusi-
institusi lainnya seperti organisasi regional maupun internasional. Pemerintah
merupakan penanggung dana terbesar diantara yang lain (sekitar 70%),
selanjutnya orangtua murid (sekitar 10-24%) masyarakat (sekitar 5%) dan yang
terakhir pihak lain baik yang berbentuk hibah maupun pinjaman.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk menggali dana ke semua pihak sumber
pembiayaan pendidikan antara lain:
1) Pemerintah pusat dan daerah : mengusahakan agar alokasi untuk sektor
pendidikan diperbesar, pemanfaatan dana secara efektif dan efisien, dan
mengusahakan adanya alokasi bagi sektor pendidikan yang diambil dari
pajak umum.
2) Orang tua peserta didik : menyadarkan orang tua agar mau dan tertib
membayar SPP dan pendanaan lainnya yang diijinkan pemerintah,
pemanfaatan dana dari orang tua peserta didik seefektif dan seefisien
mungkin.
3) Masyarakat : mengajak dunia usaha untuk bersedia sebagai fasilitator
praktik peserta didik, menghimbau dunia usaha agar bersedia memberikan
dana yang lebih besar untuk dunia pendidikan.
4) Pihak lain (institusi) : mengusahakan bentuk kerja sama yang tidak saling
mengikat namun menguntungkan serta mempertimbangkan bentuk-bentuk
pinjaman agar tidak memberatkan di kemudian hari.
5) Dana hasil usaha sendiri yang halal : seperti penyewaan alat, koperasi,
kopma.

Bagi sebagian orang, sekolah negeri masih dianggap lebih bagus dan menjadi
pilihan daripada sekolah swasta. Apalagi kenyataan bahwa sekolah negeri
seringkali jauh lebih murah di banding sekolah swasta. Bahkan ada anggapan
bahwa sekolah swasta adalah sekolah buangan. Namun fakta di lapangan
menunjukkan, banyak juga sekolah swasta yang tak kalah bagusnya dengan
sekolah negeri, bahkan sudah menjadi prioritas pilihan.
Sekolah negeri adalah sekolah yang dikembangkan dan dibiayai oleh negara.
Sebagaian besar tenaga pendidik adalah pegawai negeri sipil / PNS. Acuan
kurikulum dikembangkan oleh pendidikan nasional.
Sedangkan sekolah swasta, umumnya dikembangkan oleh sebuah yayasan
swasta. Sumber keuangan sebagaian besar tidak diperoleh dari negara, tapi dari
iuran pembayaran siswa dan para donatur. Acuan kurikulumnya tidak mutlak
mengikuti ketentuan pendidikan nasional, tetapi menggabungkannya dengan
kurikulum yang dikembangkan sendiri. Di sekolah swasta yang bonafit, guru
benar-benar dikontrol kualitasnya dengan berbagai program yang diadakan
yayasan demi menjaga kualitas sekolah tersebut dan kepercayaan dari orang tua
murid, sehingga hasilnya pun sangat memuaskan. Bukti sederhana bagaimana
hasil didikan sekolah-sekolah swasta adalah prestasi siswa mereka di Olimpiade
Sains tingkat Nasional dan Internasional. Sebenarnya masih banyak perbedaan
antara keduanya. Meskipun demikian, pada dasarnya kedua jenis sekolah tersebut
didirikan dan dikembangkan untuk tujuan yang sama, yakni “Dalam Rangka
Mencerdaskan Anak Bangsa“ . Sejauh ini masyarakat menilai kualitas sekolah,
baik negeri maupun swasta adalah melalui prestasi sekolah, kualitas guru
pengajar, serta etika murid di luar sekolah. (aris, 2011)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagai sebuah investasi dalam bentuk modal SDM, pendidikan dan
pelatihan memerlukan pembiayaan yang besar dan pengelolaannya secara efektif
dan efisien. Istilah efektif merujuk pada sasaran atau hasil yang ingin dicapai
untuk setiap penggunaan mata anggaran, sedangkan istilah efisien merujuk pada
proses pengalokasian dan penggunaan anggaran itu.
Menurut Howard R. Bowen (1981) memilah pembelanjaan pendidikan
menjadi empat jenis, yaitu pembelanjaan capital (capital expenditures),
pembelanjaan rutin (current or routine expenditures), pembelanjaan pendidikan
(educational expenditures), dan pembelanjaan pendidikan dan umum (educational
and general expenditures). Pembiayaan pendidikan berasal dari pemerintah dan
nonpemerintah atau masyarakat.
Pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai prloblem mulai dari
ketidakmerataan akses pendidikan, kurang efektif dan efisien,
ketidakrelevanansian lulusan dengan dunia kerja hingga pada mutu pendidikan.
Dan itu semua merupakan masalah-masalah besar yang harus dicermati dan dicari
pemecahannya. Sejauh ini masyarakat menilai kualitas sekolah, baik negeri
maupun swasta adalah melalui prestasi sekolah, kualitas guru pengajar, serta etika
murid di luar sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Aris, 2011, pendidikan-sebagai-investasi-masa-depan-terbaik-anak (Diunduh dari


http://blog.intisari-online.com/2011/05/pendidikan-sebagai-investasi-masa-depan-
terbaik-anak/ tanggal 14 Mei 2018)

M. Asrori Ardiansyah, 2011, teori-teori-pembiayaan-pendidikan. (Diunduh dari


http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/teori-teori-pembiayaan-
pendidikan.html tanggal 14 Mei 2018)

Sudarwan Danim, 2004, Ekonomi Sumber Daya Manusia, CV Pustaka Setia, Bandung.

Safir Senduk, 2000, pendidikan anak: betulkah sebuah investasi (Diunduh dari
http://www.perencanakeuangan.com/files/InvestasiPendidikanAnak.html tanggal
14 Mei 2018)

Sofa, 2008. Konsep dan Analisis Biaya Pendidikan (Diunduh dari


http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/konsep-dan-analisis-biaya-pendidikan/
posting tanggal 14 Mei 2018)

Anda mungkin juga menyukai