PENDAHULUAN
2. Relevansi Pendidikan
Pendidikan Indonesia dihadapkan pada rendahnya relevansi pendidikan
dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang
menganggur. Data BAPPENAS menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3
juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga
menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara
hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika
peserta didik memasuki dunia kerja. Rendahnya relevansi dan penyerapan tenaga
kerja terdidik ditunjukkan oleh tingginya angka pengangguran terdidik (4,5 juta
pada Februari 2008).
Adanya pergeseran struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri,
menimbulkan kebutuhan peningkatan kemampuan dan keterampilan yang harus
dimiliki peserta didik. Keanekaragaman pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan oleh sektor jasa ini sangat mempengaruhi jenis pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan. Salah satu sudut pandang mengatakan bahwa
sektor pendidikanlah yang berkewajiban menyediakan keterampilan yang
diperlukan oleh lapangan kerja. Dengan demikian pendidikan formal di sekolah
harus berorientasikan kepada peningkatan keterampilan anak didik. Ini berarti
juga penyesuaian kurikulum dan penyediaan program keterampilan di sekolah.
Peningkatan mutu dan relevansi dalam rangka meningkatkan daya saing
lulusan sudah merupakan suatu keharusan. Kegagalan lulusan (misalnya PT)
memasuki dunia kerja adalah karena masih rendahnya mutu dan tidak relevannya
kompetensi lulusan dengan dunia kerja. Kesadaran Perguruan Tinggi dalam upaya
menaikkan mutu dan relevansi ini masih terkendala oleh sumberdaya manusia
(dosen) dan sumberdaya financial (terutama PTS). Untuk mengatasi kendala itu,
sering kemudian terjadi trade-off antara peningkatan jumlah mahasiswa, biaya
SPP dan kualitas pendidikan.
Untuk menjamin konsistensi mutu dan relevansi pendidikan dibutuhkan
sebuah organisasi pengelola yang sehat. Ciri-ciri organisasi yang sehat adalah
berkembangnya suasana akademik yang menciptakan kebebasan akademik,
mendorong inovasi, kreativitas dan ide-ide setiap individu; Terciptanya sistem
nilai, norma, tata tertib dan prosedur operasi standar yang memungkinkan
terjadinya team building dan team spirit, sehingga aktivitas kelompok-kelompok
menjadi lebih produktif dan maksimal; Terbentuknya kemampuan memasarkan
hasil-hasil kegiatan penelitian; Berlakunya prinsip meritokrasi sehingga tercipta
motivasi individual untuk bekerja keras dan meraih keunggulan; Berkembangnya
kemampuan untuk menjalin kerjasama yang berkelanjutan di dalam maupun
diluar perguruan tinggi, ditingkat nasional maupun internasional; Terciptanya
akuntabilitas publik (kinerja, keuangan, nilai keilmuan).
3. Mutu Pendidikan
pendidikan di Indonesia dihadapkan para rendah mutu pendidikan baik di
tingkat dasar dan menengah dan pemerintah telah melalukan berbagai upaya
untuk meningkatkan mutu pendidikan, tetapi semua upaya itu belum
menunjukkan peningkatan yang berarti. Jika dicermati ada beberapa faktor yang
menyebakan rendahnya mutu pendidikan. Menurut Isjoni ada beberapa faktor
yang menjelaskan mengapa upaya perbaikan pendidikan selama ini kurang
berhasil, diantaranya: pembangunan pendidikan bersifat input-output oriented,
pengelolaan pendidikan bersifat makro oriented, sistem pendidikan mengarah
pada kognitif oriented, dan program pembangunan pendidikan lebih berorientasi
pada bangunan fisik, kurangnya kemandirian sekolah dalam memberdayakan
sumber daya pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan minimnya peran
serta masyarakat dalam bidang pendidikan.
Mutu pendidikan bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya, ini
merupakan hasil dari suatu proses pendidikan, jika suatu proses pendidikan
berjalan baik, efektif dan efisien, maka terbuka peluang yang sangat besar
memperoleh hasil pendidikan yang berkualitas. mutu pendidikan mempunyai
kontinum dari rendah ke tinggi. Dalam konteks pendidikan sebagai suatu sistem,
mutu pendidikan dapat dipandang sebagai suatu hal yang dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti kepemimpinan, iklim organisasi, kualifikasi guru, anggaran,
kecukupan fasilitas belajar dan sebagainya.
Edward Sallis menyatakan: “Ada banyak sumber mutu dalam pendidikan,
misalnya sarana gedung yang bagus, guru yang terkemuka, nilai moral yang
tinggi, hasil ujian yang memuaskan, spesialisasi atau kejuruan, dorongan orang
tua, bisnis dan komunitas lokal, sumberdaya yang melimpah, aplikasi teknologi
mutakhir, kepemimpinan yang baik dan efektif, perhatian terhadap pelajaran anak
didik, kurikulum yang memadai, atau juga kombinasi dari faktor-faktor tersebut”.
Pernyataan diatas menunjukkan banyaknya sumber mutu dalam bidang
pendidikan, sumber ini dapat dipandang sebagai faktor pembentuk dari suatu
kualitas pendidikan, atau faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan.
Hal paling krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah masalah
pembiayaan/keuangan, karena seluruh komponen pendidikan di sekolah erat
kaitannya dengan komponen pembiayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan
tersebut tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas pendidikan,
namun pembiayaan berkaitan dengan sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa
banyak sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar
secara optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun
untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini,
meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas,
namun pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup
banyak.
Bagi sebagian orang, sekolah negeri masih dianggap lebih bagus dan menjadi
pilihan daripada sekolah swasta. Apalagi kenyataan bahwa sekolah negeri
seringkali jauh lebih murah di banding sekolah swasta. Bahkan ada anggapan
bahwa sekolah swasta adalah sekolah buangan. Namun fakta di lapangan
menunjukkan, banyak juga sekolah swasta yang tak kalah bagusnya dengan
sekolah negeri, bahkan sudah menjadi prioritas pilihan.
Sekolah negeri adalah sekolah yang dikembangkan dan dibiayai oleh negara.
Sebagaian besar tenaga pendidik adalah pegawai negeri sipil / PNS. Acuan
kurikulum dikembangkan oleh pendidikan nasional.
Sedangkan sekolah swasta, umumnya dikembangkan oleh sebuah yayasan
swasta. Sumber keuangan sebagaian besar tidak diperoleh dari negara, tapi dari
iuran pembayaran siswa dan para donatur. Acuan kurikulumnya tidak mutlak
mengikuti ketentuan pendidikan nasional, tetapi menggabungkannya dengan
kurikulum yang dikembangkan sendiri. Di sekolah swasta yang bonafit, guru
benar-benar dikontrol kualitasnya dengan berbagai program yang diadakan
yayasan demi menjaga kualitas sekolah tersebut dan kepercayaan dari orang tua
murid, sehingga hasilnya pun sangat memuaskan. Bukti sederhana bagaimana
hasil didikan sekolah-sekolah swasta adalah prestasi siswa mereka di Olimpiade
Sains tingkat Nasional dan Internasional. Sebenarnya masih banyak perbedaan
antara keduanya. Meskipun demikian, pada dasarnya kedua jenis sekolah tersebut
didirikan dan dikembangkan untuk tujuan yang sama, yakni “Dalam Rangka
Mencerdaskan Anak Bangsa“ . Sejauh ini masyarakat menilai kualitas sekolah,
baik negeri maupun swasta adalah melalui prestasi sekolah, kualitas guru
pengajar, serta etika murid di luar sekolah. (aris, 2011)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai sebuah investasi dalam bentuk modal SDM, pendidikan dan
pelatihan memerlukan pembiayaan yang besar dan pengelolaannya secara efektif
dan efisien. Istilah efektif merujuk pada sasaran atau hasil yang ingin dicapai
untuk setiap penggunaan mata anggaran, sedangkan istilah efisien merujuk pada
proses pengalokasian dan penggunaan anggaran itu.
Menurut Howard R. Bowen (1981) memilah pembelanjaan pendidikan
menjadi empat jenis, yaitu pembelanjaan capital (capital expenditures),
pembelanjaan rutin (current or routine expenditures), pembelanjaan pendidikan
(educational expenditures), dan pembelanjaan pendidikan dan umum (educational
and general expenditures). Pembiayaan pendidikan berasal dari pemerintah dan
nonpemerintah atau masyarakat.
Pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai prloblem mulai dari
ketidakmerataan akses pendidikan, kurang efektif dan efisien,
ketidakrelevanansian lulusan dengan dunia kerja hingga pada mutu pendidikan.
Dan itu semua merupakan masalah-masalah besar yang harus dicermati dan dicari
pemecahannya. Sejauh ini masyarakat menilai kualitas sekolah, baik negeri
maupun swasta adalah melalui prestasi sekolah, kualitas guru pengajar, serta etika
murid di luar sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarwan Danim, 2004, Ekonomi Sumber Daya Manusia, CV Pustaka Setia, Bandung.
Safir Senduk, 2000, pendidikan anak: betulkah sebuah investasi (Diunduh dari
http://www.perencanakeuangan.com/files/InvestasiPendidikanAnak.html tanggal
14 Mei 2018)