Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Oleh :

Kelompok 1

KARUNIA PERDANI (E1E216093)


M.DIAN ADITYA KUSNANDI (E1E216104)
NISWATUN HUSNA (E1E216132)

6 C REGULER SORE

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Tatanan kehidupan masyarakat yang semerawut (chaos) merupakan akibat dari sistem
perekonomian yang tidak kuat, telah mengantarkan masyarakat bangsa pada krisis
berkepanjangan. Krisis yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan sebenarnya bersumber
dari rendahnya kualitas, kemampuan, dan semangat kerja. Secara jujur dapat kita katakana
bahwa bangsa ini belum mampu mandiri dan terlalu banyak mengandalkan interverensi pihak
asing. Meskipun agenda reformasi terus digulirkan untuk memperbaiki sendi-sendi kekuatan
dengan menetapkan prioritas tertentu, hal tersebut belum berlangsung secara kaffah
(menyeluruh), baru pada tahap mencari siapa bersalah.
Pendidikan memberikan konstrubusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan
merupakan wahana dalam menejermahkan pesan-pesan kosntitusi serta sarana dalam
membangun watak bangsa ( Nation Charakter Building). Masyarakat yang cerdas akan member
nuansa yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian. Masyarakat bangsa
yang sedemikian merupakan investasi besar untuk berjuang ke luar dari krisis dan menghadapi
dunia global.
Era reformasi yang sedang kita jalani, ditandai oleh beberapa perubahan dalam berbagai
bidang kehidupan : politik, moneter, hankam dan berbagai kebijakan lain. Diantara perubahan
tersebut adalah lahirnya Undang-Undang No 25 tentang Pertimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Undang-Undang tersebut membawa konsekuensi terhadap bidang-bidang kewenangan
daerah sehingga lebih otonom, termasuk dibidang pendidikan.
Keinginan pemerintah, yang digariskan dalam haluan Negara agar pengelolaan pendidikan
diarahkan pada desentralisasi, menuntut partisipasi masyarakat secara aktif untuk merealisasikan
otonomi daerah. Karena itu pula perlu kesiapan sekolah, sebagai ujung tembak pelaksanaan
operasioanl pendidikan, pada garis bawah. Sistem pendidikan yang dapat mengakomodasikan
seluruh elemen esensial diharapkan muncul dari pemerintah kabupaten dan kota sebagai
penerima wewenang otonomi. Pendidikan yang selama ini di kelola secara terpusat (sentralisasi)
harus diubah untuk mengikuti irama yang sedang berkembang. Otonomi daerah sebagai kebiakan
politik ditingkat marko akan member imbas terhadap otonomi sekolah sebagai subsistem
pendidikan nasional.

BAB II
PEMBAHASAN

A. OTONOMI DAERAH
Otonomi luas adalah kewenangan dan keleluasan pemerintah dalam menyelengarakan
seluruh bidang kehidupan kecuali politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter
dan fiscal, agama serta bidang yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah (pasal7). Otonomi luas
secara menyeluruh penyelenggaraan pemerintah mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Otonomi nyata adalah keluasan daerah melaksanakan
kewenangan pemerintahan dalam bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta
tumbuh, hidup, dan berkembang didaerah. Otonomi yang bertanggung jawab merupakan
perwujudan dan pertanggungjawaban terhadap pemberian hak dan wewenang kepada daerah.
Secara substansif pembahsan undang-undang tentang pemerintahan daerah berkaitan erat dengan
undang-undang tentang pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Sehubungan dengan itu Sidi
(2000) mengemukakan empat isu kebijakan penyelengaraan pendidikan nasional yang perlu
direkonstruksi dalam rangka otonomi daerah, berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan,
efesiensi pengelolaan pendidikan, serta relevansi pendidikan dan pemerataan pelayanan
pendidikan sebagai berikut :
1. Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar
kompetensi pendidikan, yaitu melalui consensus nasional antara pemerintah dengan
seluruh lapisan masyarakat. Standar kompetensi yang mungkin akan berbeda
antarsekolah atau antardaerah akan menghasilkan standar kompetensi nasioanl dalam
tingkatan standar minimal, normal (mainstream), dan unggulan.
2. Peningkatan efesiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan
berbasis sekoalh, dengan member kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk
mengoptimalkan sumber daya yang tersedia bagi tercapainya tujuan pendidikan yang
diharapkan.
3. Peningkatan relevensi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat.
Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level kebijakan (pengambilan
keputusan) dan level operasional melalui komite (dewan) sekolah. Komite ini terdiri atas
kepala sekolah, guru senior, wakil orang tua, tokoh masyarakat, dan perwakilan siswa.
Peran komite meliputi perencanaan, implementasi, monitoring, seta evaluasi program
kerja sekolah.
4. Pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan. Hal ini
berkenaan dengan penerapan formula pembiyaan pendidikan yang adil dan transparan,
upaya pemerataan mutu pendidikan dengan adanya standar kompetensi minimal, serta
pemerataan pelayanan pendidikan bagi siswa pada semua lapisan masyarakat.
B. Relevansi Pendidikan
Relevansi pendidikan merupakan salah satu masalah pokok pendidikan di Indonesia. Oleh
karena itu, berbagai program pendidikan, yang mengacu pada tema relevansi ini, terus dilakukan
sejak Pelita I (awal pemerintahan Soeharto) sampai sekarang, walaupun sampai saat ini masih
banyak permasalahan dan tantangan yang perlu mendapat perhatian. Salah satu masalah
pendidikan yang berhubungan dengan relevansi adalah perlunya penyesuaian dan peningkatan
materi program pendidikan agar secara lentur bergerak cepat sejalan dengan tuntutan dunia kerja
serta tuntutan kehidupan masyarakat yang berubah secara terus menerus. Sebagai wujud nyata
upaya tersebut, antara lain telah dilakukan perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum
1975/1976 dan 1994.
Dalam rangka meningkatkan relevansi pendidikan, Depdikbud (1999) mengkaji beberapa
upaya yang dapat dilakukan. Pertama, untuk menjamin pendidikan melalui program wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu dan lebih fungsional, baik bagi individu maupun
masyarakat, diperlukan keterlibatan para tokoh masyarakat, disamping para ahli untuk
merancang isi kurikulum dan jenis kegiatan-kegiatan pembelajarannya.Kedua, untuk
menghadapi tantangan globalisasi yang menuntut kualifikasi tertentu serta perubahan dan
perkembangan berbagai bidang, setiap lulusan dari setiap jenis dan jenjang pendidikan perlu
terus diorientasikan pada upaya tidak hanya menguasai kemampuan akademik dan keterampilan
teknis saja, tetapi juga kompetensi dalam bidang keterampilan generic, yang meliputi manajemen
diri, keterampilan komunikasi, manajemen orang lain dan tugas, serta kemampuan memobilisasi
inovasi dan perubahan. Prinsip relevansi merupakan prinsip umum yang digunakan di Indonesia
digunakan di Indonesia di samping prinsip efisiensi dan efektivitas, kontinuitas, fleksibilitas
program, serta pendidikan seumur hidup (Iskandar, 1988:137-139). Secara khusus prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip berorientasi pada tujuan, dengan menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai
peserta didik dalam mempelajari pelajaran.
2. Prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan dana, daya, dan waktu dalam
mencapai tujuan pendidikan.
3. Prinsip fleksibilitas program; dalam pelaksanaan, suatu program hendaknya
mempertimbangkan factor-faktor ekosistem dan kemampuan penyediaan fasilitas yang
menunjang.
4. Prinsip kontinuitas; dengan menyiapkan peserta didik agar mampu melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
5. Prinsip pendidikan seumur hidup, yang memandang bahwa pendidikan tidak hanya di
sekolah, tetapi harus dilanjutkan dalam keluarga dan masyarakat. Jadi, peserta didik perlu
memiliki kemampuan belajar sebagai persiapan belajar di masyarakat.
6. Prinsip relevansi, suatu pendidikan akan bermakna apabila kurikulum yang dipergunakan
relevan (terkait) dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan manajemen kurikulum, peningkatan relevansi dengan tuntutan
perkembangan kebutuhan masyarakat antara lain dilakukan manajemen kurikulum yang
berangkat dari suatu prediksi yang dapat memberikan gambaran dan keadaan masyarakat pada
10-20 tahun mendatang.
Nasution (1990) mengemukakan bahwa dalam membicarakan relevansi pendidikan perlu
dijawab beberapa pertanyaan antara lain relevansi menurut siapa, bagi siapa, dengan apa, dan
pada saat mana. Relevansi menurut siapa; yang menetukan pendidikan itu relevan atau tidak,
dalam tulisan ini relevan menurut Departemen Pendidikan Nasional. Relevansi bagi siapa,
apakah bagi peserta didik, orang tua, atau pihak lain. Dalam tulisan ini relevansi ditunjukan bagi
masyarakat setempat, pemakai lulusan, atau yang lain sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangannya. Relevansi dengan apa; dunia pendidikan dituntut untuk dapat menunjang
pembangunan nasional. Karena itu, dalam hal ini relevansi ditunjukan pada keberhasilan sekolah
dalam mengelola pendidikan, dengan bekerjasama dan memberikan pelayanan kepada
masyarakat melalui lulusan yang memiliki keterampilan sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhannya.
Dalam rangka meningkatkan relevansi antara pendidikan, pembangunan dan kebutuhan
masyarakat, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan link and match. Melalui kebijaksanaan ini
diperkuat keterkaitan antara pendidikan dan industri serta dunia usaha dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan penilaian, serta sertifikasi pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan
kebutuhan ekonomi. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menciptakan keadaan agar keluaran
pendidikan sepadan dengan kebutuhan berbagai sector pembangunan akan tenaga ahli dan
terampil sesuai dengan jumlah, mutu, dan sebarannya.

C. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai
keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang ditunjukan dengan
pernyataan politik dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Hal tersebut diharapkan
dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan
berkelanjutan, baik secara makro, meso, maupun mikro. Keragka makro erat kaitannya dengan
upaya politik yang saat ini sedang ramai dibicarakan yaitu desentralisasi kewenangan dari
pemerintah pusat ke daerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat provinsi
sampai tingkat kabupaten, sedangkan aspek mikro tingkat melibatkan seluruh sector dan lembaga
pendidikan yang paling bawah, tetapi terdepan dalam pelaksanaannya, yaitu sekolah.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah
terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan
secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di
sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai
komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di
sekolah. Dalam kerangka inilah, MBS tampil sebagai alternative paradigm baru manajemen
pendidikan yang ditawarkan. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada
sekolah untuk mementukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan
pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta
menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Dalam Education in Indonesia: From Crisis to Recovery (Depdikbud,1998), Bank Dunia
merekomendasikan perlunya diberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah yang disertai
manajemen sekolah yang bertanggung jawab. Otonomi yang lebih besar harus diberikan kepada
kepala sekolah dalam pemanfaatan sumber daya dan pengembangan strategi-strategi berbasis
sekolah sesuai dengan kondisi setempat. Namun demikian, otonomi yang lebih besar ini harus
diikuti oleh pemilihan kepala sekolah yang baik, yang memiliki keterampilan dan karakteristik
yang diperlukan untuk mengelola sekolah bernuansa otonom, pemberian penghargaan terhadap
kepala sekolah yang baik dan mengganti mereka yang kurang, serta pengembangan keterampilan
manajemen kepala sekolah dan program Training Modular. Program-program seperti ini
diharapkan dapat mendorong kepala sekolah memahami aspek-aspek diluar peranan
administrative mereka, termasuk pentingnya aspek kepemimpinan dalam pendidikan. (Secara
ekstrem, ada tiga kemampuan dasar yang harus dimiliki pemimpin [penyelenggara] lembaga
pendidikan. Pertama, kemampuan manajerial dalam kaitannya dengan chief officer. Kedua,
sense of business. Kemampuan dalam mencari sumber dana yang akan menjamin tetap
terlaksananya operasional pendidikan. Ketiga, sense of educated. Ini jelas sangat diperlukan
karena posisinya sebagai pendidik, red).
Otonomi sekolah juga berperan dalam menampung consensus umum tentang pemberdayaan
sekolah, yang meyakini bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan sedapat mungkin
keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang berada digaris depan (line staf), yang
bertanggung jawab secara langsung terhadap pelaksanaan kebijakan, dan yang terkena akibat-
akibat dari kebijakan tersebut, yaitu guru dan kepala sekolah.
Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, disamping menunjukan
sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga dapat ditunjukan sebagai sarana
peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dengan melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan sekolah, pemerintah akan terbantu baik dalam control maupun pembiayaan sehingga
pemerintah dapat lebih berkonsentrasi pada “masyarakat kurang mampu” yang semakin
bertambah jumlahnya. Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan
pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengeola sumber daya yang
ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui
partisipasi orag tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya
hadiah dan hukuman sebagai control, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana
yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama
yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Implementasi MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas agar dapat
membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah
setempat, serta mengefesienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih.
Keberhasilan seperti ini ditemukan di Meksiko sebab pemerintah pusat telah melakukan
pelatihan bagi personel yang akan dipekerjakan di berbagai tempat kerja yang diperlukan, malah
di Chili menunjukan adanya penurunan anggaran yang besar (Fiske 1996: 25).
BAB III
PENUTUP

Manajemen berbasis sekolah merupakan (MBS) merupakan suatu konsep yang menawarkan
otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu,
efesiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat
serta mejalin kerjasama yamng erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
BPPN dan Bank Dunia (1999) memberi pengertian bahwa MBS atau SBM merupakan
bentuk alternative sekolah dalam program desentralisasi dibidang pendidikan, yang ditandai oleh
otonomi luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat dan dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan
mengaloksikannya sesuia prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat
setempat. Partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta
mengontor pengelolaan pendiidkan.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesinesi , mutu, dan pemerataan pendidikan.
Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi
masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang
tua, kelenturan pengelolaan kelas, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan
hukuman sebagai control, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang
kondosif.
MBS memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta didik untuk melakukan inovasi
dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial dan
lain sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesionalisme yang dimiliki.
Pelibatan masyarakat dalam dewan sekolah dibawah monitoring pemerintah, mendorong sekolah
untuk lebih terbuka, demokratis, dan bertanggung jawab. Pemberian keleluasan yang lebih luas
memberikan kemungkinan kepada sekolah untuk menemukan jati dirinya dalam membina
peserta didik, guru dan petuga lain yang ada dalam lingkungan sekolah.

Anda mungkin juga menyukai