Anda di halaman 1dari 41

TANYA-JAWAB PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS 2

Jelaskan inovasi besar yang sedang dilakukan dunia pendidikan di Indonesia !


Mengapa ?
Jawab :
Visi reformasi pembangunan dalam rangka penyelematan dan reformasi kehidupan
nasional yang tertera dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah terwujudnya
masyarakat Indoensia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan
sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia
Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air,
berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memeiliki
etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Perwujudan masyarakat berkualitas tersebut menjadi tanggung jawab pendidikan,
terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang makin berperan
menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada
bidangnya masing-masing. Hal tersebut diperlukan, terutama untuk mengantisipasi era
kesejagatan, khususnya globalisasi pasar bebas di lingkungan negara-negara ASEAN, seperti
AFTA (Asean Free Trade Area), AFLA (Asean Free Labour Area), maupun di kawasan
negara-negara Asia Pasifik (APEC)
Dalam kaitannya dengan pendidikan, Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. (1998),
mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada empat krisis
pokok, yang berkaitan dengan kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme dan
manajemen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sedikitnya ada enam masalah pokok sistem
pendidikan nasional: (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik, (2) pemerataan
kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, (4) status
kelembagaan, (5) manajemen pendidian yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional,
dan (6) sumber daya yang belum profesional.
Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara
kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya
dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini perlu adanya perubahan sosial
yang memberi arah bahwa pendidikan merupakan pendekatan dasar dalam proses perubahan
itu. Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta
didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan
kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Pemecahan masalah secara reflektif sangat penting
dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan melalui kerjasama secara demokratis.
Unesco (1990) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat relevan dengan Pancasila:
pertama; pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (learning to
know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live
together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be); kedua, belajar seumur hidup (life
long learning). Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pembangunan manusia,
karena pada akhirnya aspek kultural dari kehidupan manusia lebih penting dari pertumbuhan
ekonomi.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan baik secara
konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus setelah diamanatkan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan
jenjang pendidikan. Pemerintah dalam hal ini Menteri pendidikan Nasional juga
mencanangkan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” pada tanggal 2 Mei 2002. Namun
demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang
cukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih meprihatinkan. Dari berbagai
pengamatan dan analisis, sedikitnya terdapat tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan
tidak mengalami perubahan secara merata (Depdiknas, 2001:1-2).
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan
pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan
secara konsekuen. Faktor kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara
birokratik-sentralistik. Faktor ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa
dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Menyadari hal tersebut, pemerintah telah melakukan upaya penyempurnaan sistem
pendidikan, baik melalui penataan peringkat lunak (soft ware) maupun perangkat keras (hard
ware). Di antara upaya tersebut, antara lain dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang tentang Sisdiknas 2003,
yang secara langsung berpengaruh terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pendidikan. Bila sebelumnya pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka
dengan berlakunya undang-undang tersebut kewenangannya berada pada pemerintah daerah
kota/kabupaten. Dalam kaitan ini visi, misi dan strategi Kantor Depdiknas pada tingkat
kabupaten harus dapat mempertimbangkan dengan bijaksana kondisi nyata organisasi
maupun lingkungannya, dan harus mendukung pula misi pendidikan nasional, serta harus
mampu memelihara garis kebijaksanaan dari birokrasi yang lebih tinggi. Di samping itu,
tujuan harus layak, dapat dicapai dengan kemampuan yang ada serta memiliki wawasan
tentang gambaran ideal kondisi pendidikan yang diharapkan di masa depan.
Menurut Sidi (2000) mengemukakan empat isu kebijakan penyelenggaraan
pendidikan nasional yang perlu direkonstruksi dalam rangka otonomi daerah. Hal tersebut
berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan, peningkatan efisiensi pengelolaan
pendidikan, peningkatan relevansi pendidikan dan pemerataan pelayanan pendidikan.
Keempat hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar
kompetensi pendidikan, yaitu melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan
seluruh lapisan masyarakat. Standar kompetensi yang mungkin akan berbeda antar
sekolah atau antar daerah akan menghasilkan standar kompetensi nasional dalam
tingkatan standar minimal, normal (mainstrem), dan unggulan.
2. Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan
berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan yang lebih luas kepada sekolah untuk
mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia bagi terciptanya tujuan pendidikan yang
diharapkan.
3. Peningkatan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat.
Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat pada level kebijakan (pengambilan
keputusan) dan level operasional melalui komite (dewan) sekolah. Komite ini terdiri atas
kepala sekolah, guru senior, wakil orang tua, tokoh masyarakat dan perwakilan siswa.
Peran komite meliputi perencanaan, implementasi, monitoring, serta evaluasi program
kerja sekolah.
4. Pemerataan pelayanan pendidikan mengarah pada pendidikan yang berkeadilan. Hal ini
berkenaan dengan penerapan formula pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan,
upaya pemerataan mutu pendidikan dengan adanya standar kompetensi minimal serta
pemerataan pelayanan pendidikan bagi siswa pada semua lapisan masyarakat.
Sejalan dengan uraian di atas, dan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah,
mengantisipasi perubahan global pada persaingan pasar bebas, serta tuntutan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang semakin hari semakin
canggih, maka pemerataan pelayanan pendidikan perlu diarahkan pada pendidikan yang
tanrsparan, berkeadilan dan demokratis (democartic education). Hal tersebut harus
dikondisikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam hal ini sekolah
sebagai sebuah masyarakat kecil (mini society) yang merupakan wahana pengembangan
peserta didik, dituntut untuk menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis (democratic
instruction), agar terjadi proses belajar yang menyenangkan (joyfull learning).
Dengan iklim yang demikian, pendidikan diharapkan mampu melahirkan calon
penerus pembangunan masa depan yang sabar, kompeten, mandiri, kritis, rasional, cerdas,
kreatif, dan siap menghadapi berbagai macam tantangan, dengan tetap bertawakal terhadap
maha pencipta.
Untuk kepentingan tersebut diperlukan perubahan yang cukup mendasar dalam sistem
pendidikan nasional, yang dipandang oleh berbagai pihak sudah tidak efektif, dan tidak
mampu lagi memberikan bekal, serta tidak dapat mempersiapkan peserta didik untuk bersaing
dengan bagsa lain di dunia. Perubahan yang mendasar tersebut berkaitan dengan kurikulum,
yang sendirinya menuntut dan mempersyaratkan berbagai perubahan pada komponen
pendidikan lain.
Berkaitan dengan perubahan kurikulum, berbagai pihak menganalisis dan melihat
perlunya diterapkan kurikulum berbasis kompetensi (competency based curriculum), yang
dapat membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntutan
zaman dan tuntutan reformasi, guna menjawab tantangan arus globalisasi, berkontribusi pada
pembangunan masyarakat dan kesejahteraan sosial, lentur, dan adaptif terhadap berbagai
perubahan. Kurikulum berbasis kompetensi diharapkan mampu memecahkan berbagai
persoalan bangsa, khususnya dalam bidang pendidikan, dengan mempersiapkan peserta didik
melalui perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap sistem pendidikan secara efektif,
efisien dan berhasil guna.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi seperti yang
digariskan dalam haluan negara. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara
makro, meso maupun mikro. Kerangka makro erat kaitannya dengan upaya politik yang saat
ini sedang ramai dibicarakan yaitu desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke
daerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat provinsi sampai tingkat
kabupaten sedangkan aspek mikro melibatkan seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang
paling bawah, tetapi terdepan dalam pelaksanaannya, yaitu sekolah.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas kepada sekolah merupakan kepedulian
pemerintah terhadap gejala yang muncul di masyarakat serta upaya peningkatan mutu
pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan kurikulum yang lebih
kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan
berbagai komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang
ada di sekolah. Dalam kerangka ini KBK tampil sebagai alternatif kurikulum yang
ditawarkan. KBK merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk
menentukan kebijakan sekolah dalam meningkatkan mutu, dan efisiensi pendidikan agar
dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat
antara sekolah, masyarakat, industri, dan pemerintah dalam membentuk pribadi peserta didik.
Dalam kehidupan suatu negara pendidikan memegang peranan yang amat penting
untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa, karena pendidikan merupakan
wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumberdaya manusia. Masyarakat
Indonesia dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah pendidikan yang berat,
terutama berkaitan dengan kualitas, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Menurut Mulyasa
(2002:17-18), bahwa pembangunan pendidikan nasional didasarkan pada visi dan misi
sebagai berikut:
1. Meningakatkan pemerataan dan perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan
yang bersamaan dengan peningkatan mutu. Bersamaan dengan upaya perluasan dan
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, semakin kuat pula tuntutan
masyarakat dan pembangunan nasional akan perlunya pendidikan yang lebih bermutu,
relevan, adil, manusiawi, dengan menjangkau semua orang dalam semua lapisan atau
golongan.
2. Pengembangan wawasan persaingan dan keunggulan. Bangsa Indonesia harus memiliki
keunggulan sehingga dapat bersaing secara global. Kuncinya adalah tersedianya
pendidikan yang bermutu. Wawasan keuanggulan diperlukan karena masyarakat
Indonesia dan dunia terus berubah dalam irama yang semakin cepat. Salah satu aspek
dari wawasan kuunggulan ialah bahwa bangsa Indonesia perlu melihat posisinya di
tengah bangsa-bangsa lain.
3. Memperkuat keterkaitan pendidikan agar sepadan dengan kebutuhan pembangunan.
Pendidikan nasional harus memiliki keterkaitan dengan pembangunan nasioanal, agar
dapat menunjang pembangunan nasional melalui penyediaan sumberdaya manusia yang
lebih bermutu dan jumlah yang memadai.
4. Mendorong terciptanya masyarakat belajar. Masyarakat Indonesia masa depan, tanpa
memandang usia dan tingkat pendidikannya, adalah masyarakat yang memiliki kehendak,
kemauan dan kemampuan untuk belajar atas prakarsanya sendiri secara terus menerus
dan berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan penguasaannya terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi.
5. Pendidikan merupakan sarana untuk menyiapkan generasi masa kini dan sekaligus masa
depan. Hal ini berarti bahwa proses pendidikan yang dilakukan pada saat ini bukan
semata-mata untuk hari ini, melainkan untuk masa depan.
6. Pendidikan merupakan sarana untuk memperkuat jati diri bangsa dalam proses
industrialisasi dan mendorong terjadinya perubahan masyarakat Indonesia dalam
memasuki era globalisasi di abad 21. Pembangunan pendidikan harus mampu
memantapkan jati diri bangsa Indonesia di tengah pergaulan dengan bangsa lain dalam
keadaan bagaimanapun, tetap tampil sebagai bangsa Indonesia dengan segala
kepribadiannya.
Beberapa program pemerintah pusat (Depdiknas) dalam mewujudkan visi, misi,
tujuan dan standar kopetensi pendidikan nasional antara lain: kurikulum berbasis kompetensi
(KBK), broad based education yang berorientasi life skill, (BBE-LE), pemberian block
grant, pemberdayaan MKKS dan MGMP, serta lomba keilmuan (Depdiknas, 2002).
a. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Menurut Mulyasa (2002:27) bahwa Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah suatu
konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan
(kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat
dirasakan oleh peserta didik, berupa pengausaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.
Dengan demikian implementasi kurikulum dapat menumbuhkan tanggung jawab, dan
partisipasi peserta didik untuk belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum (public
policy), serta memberanikan diri berperanserta dalam berbagai kegiatan, baik di sekolah
maupun di masyarakat.
Kurikulum berbasis kompetensi memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk
menyusun dan mengembangkan silabus mata pelajaran sesuai dengan potensi sekolah,
kebutuhan dan kemampuan peserta didik serta kebutuhan masyarakat di sekitar sekolah.
Silabus KBK dikembangkan di tiap sekolah, sehingga dimungkinkan beragamnya kurikulum
antarsekolah atau wilayah tanpa mengurangi kompetensi yang telah ditetapkan dan berlaku
secara nasional (standar nasional)
Impelementasi kurikulum berbasis kompetensi di sekolah sangat erat kaitannya dengan
kebijakan Depdiknas mengenai pelaksanaan Broad Based Education (BBE) dalam
mewujudkan program peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu penerapan KBK
menggunakan konsep BBE yang berorientasi life skill (BBE-LS), dan mendayagunakan semua
potensi sumber belajar yang dimiliki sekolah dan yang ada di sekitar sekolah, baik yang
direncanakan untuk kepentingan belajar (learning resourcess by design), maupun yang
dimanfaatkan (learning resourcess by utilization)
Reorientasi pembelajaran (class room reform) sebagai salah satu implementasi
program BBE-LS dilaksanakan dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi dengan
silabus yang dikembangkan oleh pihak sekolah. Dalam hal ini kepala sekolah dan guru
memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan reorientasi pembelajaran. Contoh
kompetensi lulusan Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah diharapkan memiliki
kemampuan sebagai berikut:
(1) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
(2) Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
(3) Menguasai pengetahuan dan keterampilan akademik serta beretos belajar untuk
melanjutkan pendidikan.
(4) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup di masyarakat lokal dan
global.
(5) Berekspresi dan menghargai seni.
(6) Menjaga kebersihan, kesehatan, dan kebugaran jasmani.
(7) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara secara demokratis (Depdiknas, 2002).
b. Broad Based Education yang berorientasi Life Skill
Program BBE, diterjemahkan pendidikan berbasis masyarakat luas yang berorientasi
kecakapan hidup (life skill-LS) adalah inisiatif pemerinta pusat untuk menjawab tantangan
tersebut. Program ini berbasis masyarakat luas karena melayani kebutuhan sebagian besar
masyarakat, yakni lulusan sekolah yang memiliki kecakapan hidup. Implementasi program
BBE-LS terfokus pada lima hal berikut: (1) reorientasi pembelajaran menuju pembelajaran
dan evaluasi yang efektif, (2) pengembangan budaya sekolah, (3) peningkatan efektivitas
manajemen sekolah, (4) penciptaan hubungan yang harmonis, dan sinergis antara sekolah
dengan masyarakat, serta (5) pengisian muatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat.
Program BBE-LE secara alami berada dalam kerangka MBS/MPMBS, karena kelima
penekanan tersebut bersandar pada pengambilan keputusan di level masyarakat sekolah.
Proses pembelajaran, evaluasi, kondisi sekolah, dan manajemen sekolah yang efektif sulit
dilaksanakan pada pola sentralistik, tetapi akan menemukan kesempatan yang luas dalam
konteks MBS/MPMBS. Pengisian muatan kurikulum yang dibutuhkan masyarakat pada
BBE-LS akan mendorong partisipasi dalam hubungan yang harmonis, dan sinergis dengan
masyarakat jika dikembangkan dalam konteks MBS/MPMBS, yang responsif dan antisipatif.
c. Pemberian Block Grant
Peningkatan mutu pendidikan tidak dapat terlepas dari masalah dana, bahkan seringkali
menjadi penghambat utama. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan berbagai upaya
untuk memberikan berbagai kewenangan pada sekolah, antara lain pemberian block grant
yang ditujukan langsung ke sekolah. Hal ini merupakan pengalihan proyek pemerintah yang
pada masa yang lalau memberikan intervensi langsung dalam bentuk dan kadar yang
sesungguhnya bisa dan lebih efisien, jika dilakukan oleh sekolah. Proyek ini mencakup
pendirian dan rehabilitasi bangunan sekolah, penyediaan fasilitas dan bahan, serta
pengembangan staf. Blok grant diberikan berdasarkan pada need assesment, prioritas,
perencanaan dan keputusan sekolah bersama masyarakat yang dituangkan dalam proposal
sekolah. Pendekatan bottom up ini, diharapkan dapat mendorong terciptanya suasana
kondusif bagi peningkatan mutu pendidikan, seperti pengambilan keputusan secara
partisipatif, penyusunan perencanaan yang jelas dan terarah, serta transparansi manajemen
yang mencerminkan sifat otonomi sekolah.
Block grant yang telah diberikan adalah dana bantuan operasional manajemen mutu
(BOMM) yang merupakan performance based grant, diberikan kepada sekolah yang
memiliki potensi nyata untuk meningkatkan kinerja,namun terhambat oleh keterbatasan dana.
Kategori ini meliputi life skill block grant yang diberikan mulai tahun ajaran 2002/2003.
Block grant yang lain adalah matching grant, diberikan langsung ke sekolah dengan istilah
bantuan imbal swadaya (BIS). Sifatnya agak berbeda dengan performance based grant, dana
BIS bertujuan merangsang partisipasi finansial warga masyarakat, dengan mensyaratkan
secara mutlak kemampuan sekolah bersama masyarakat untuk menyediakan dana swadaya
(sharing cost). Dana swadaya tersebut tidak harus dalam bentuk uang, tetapi bisa dalam
bentuk barang, dan jasa yang disediakan oleh warga sekolah dan masyarakat.
d. Pemberdayaan MKKS dan MGMP
Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MPKKS) merupakan suatu wadah pertemuan atau
perkumpulan kepala sekolah yang berada pada satu wilayah, kabupaten atau gugus sekolah,
yang berfungsi sebagai sarana komunikasi, konsultasi, dan tukar pengalaman. Sesuai dengan
perubahan paradigma pendidikan, hal tersebut perlu lebih diberdayakan, terutama untuk
meningkatkan kualitas dan kinerja kepala sekolah sebagai ujung tombak inovasi dan
reformasi pendidikan di sekolah (school reform). Tujuan MGMP antara lain untuk
meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran yang bermutu sesuai
kebutuhan peserta didik.Pada dasarnya wadah komunikasi profesi sangat diperlukan dalam
memberikan kontribusi pada peningkatan keprofesionalan para anggotanya. Sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebijakan pemerintah tentang
peningktan mutu pendidikan, seyogyanya penyelenggaraan pertemuan MGMP dibiayai
dengan dana mandiri dari sekolah atau para anggotanya.
Pemberdayaan MKKS dan MGMP memberikan banyak manfaat terhadap implementasi
program school reform dan classroom reform, antara meningaktkan profesionalisme tenaga
kependidikan dalam melayani peserta didik. Pemberdayaan forum MKKS dan MGMP
sebagai wadah peningkatan profesionalisme, menuntut kepala sekolah untuk mengubah peran
dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan.
e. Lomba-Lomba Keilmuan
Peningkatan mutu pendidikan menuntut kerja keras berbagai pihak, mulai tenaga
pendidikan, orang tua, peserta didik, masyarakat, dan pemerintah untuk mencapai tujuan
akhir yaitu sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk meraih cita-cita tersebut diperlukan
nilai tambah yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir. Hal
tersebut penting terutama untuk menghadapi persaingan di masa depan yang semakin keras,
sehingga peserta didik perlu dipersiapkan sejak dini agar dapat berkompetisi dalam berbagai
bidang kehidupan. Keperluan ini dapat dilakukan antara lain melalui berbagai kegiatan ilmiah
dan lomba keilmuan, yang dimulai tingkat sekolah, kemudioan kegiatannya diintensifkan
dalam konteks kehidupan yang lebih luas. Dalam hal ini, kondisi dan kesempatan yang
diciptakan pemerintah, dan lembaga swasta melalui lomba keilmuan akan menumbuhkan
semangat belajar yang tinggi, karena seleksinya dilakukan mulai tingkat sekolah sampai ke
tingkat nasional bahkan menuju tingkat internasional.
Salah satu tujuan nasional Indonesia ialah terciptanya masyarakat yang sejahtera.
Berarti menciptakan kesejahteraan bagi tiap individu manusia, karena individu merupakan
komponen pembentuk masyarakat. Agar setiap individu sejahtera, mereka harus memiliki
penghidupan yang layak yang diperolehnya melalui pekerjaan yang selaras dengan
kemampuan individualnya. Agar supaya individu memperoleh pekerjaan (pasal 27 UUD 45)
demi pencapaian taraf penghidupan yang layak maka setiap individu berhak atas pengajaran
(baca: pendidikan) sebagaimana diamanatkan dalam pasal 31 UUD 45. Untuk maksud itulah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengangkat strategi
pendidikan yakni pemerataan pendidikan berupa perluasan kesempatan belajar bagi setiap
manusia Indonesia, peningkatan mutu pendidikan, relevansi pendidikan dengan dunia
pekerjaan sebagaimana diprogramkan dalam GBHN, dan efisiensi pendidikan agar
pelaksanaan pendidikan mampu mencapai hasil yang semaksimal mungkin dengan
pengorbanan biaya dan waktu yang sekecil mungkin. Sejauh mana keberhasilan pelaksanaan
strategi pendidikan dalam kaitan dengan pelaksanaan pembangunan nasional dapat dipantau
melalui data pendidikan yang dijaring berdasarkan indikator-indikator pendidikan. Dengan
demikian, perumusan indikator-indikator pendidikan dan penggalian data yang
mengekspresikan ketercapaian indikator-indikator termaksud merupakan suatu upaya vital
yang tidak boleh diabaikan.
Abad 21 disebut abad globalisasi, yang menumbuhkan dampak besar bagi berbagai
bidang kehidupan, sosial budaya, politik, maupun ekonomi. Globalisasi memungkinkan arus
barang, jasa, tenaga ahli dan aliran informasi menembus batas-batas negara tanpa hambatan.
Salah satu yang perlu diwaspadai adalah persaingan antar bangsa di segala segi kehidupan.
Untuk dapat menghadapi persoalan-persoalan yang ditimbulkan globalisasi diperlukan SDM
yang berkualitas, baik untuk tenaga profesional maupun untuk penerap iptek, serta tenaga
dalam bidang lain dari seluruh aspek kehidupan. Upaya peningkatan kualitas SDM ini
dilakukan melalui pendidikan yang berjenjang (Dasar, Menengah, Perguruan Tinggi).
Melalui pendidikan diharapkan dapat membentuk manusia Indonesia yang menguasai iptek
dan seni yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta
ketangguhan daya saing yang sejajar dengan bangsa lain.
Peranan guru dalam pendidikan merupakan titik sentral dan strategis dalam
membekali ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik. Mulai dari membaca,
menulis, dan menghitung merupakan jasa guru kepada peserta didik sehingga menjadi
pandai. Dalam era pembangunan dan mengantisipasi masa depan bangsa, pemerintah telah
berupaya meningkatkan kualitas guru dalam hal pengetahuan dan keterampilan, metodologi
dan manajemen kegiatan belajar mengajar melalui berbagai pelatihan/penataran (training)
dan pendidikan formal baik di dalam maupun di luar negeri. Hal tersebut sejalan dengan UU
nomor 2, tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 ayat 4, bahwasanya
"setiap tenaga kependidikan berkewajiban untuk meningkatkan kemampuan profesional
sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan
bangsa ". Sekalipun demikian, hasil upaya tersebut masih belum sesuai dengan harapan
pemerintah dan masyarakal. Kendala yang masih dirasakan sebagai penghambat antara lain,
masalah distribusi pemenuhan guru belum merata, penguasaan materi, kinerja guru masih
relatif rendah, serta belum memadainya kesejahteraan guru.
Pembangunan terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan manusia. Namun, pada
sisi yang lain, pembangunan ternyata menimbulkan dampak negatif bagi kualitas lingkungan
dan kualitas hidup manusia seperti erosi, perubahan iklim, pemanasan global, kebakaran
hutan, dan sebagainya. Kenyataan tersebut mendorong manusia mencari strategi baru dalam
pembangunan. Pembangunan konvensional, terutama di negara-negara industri, ternyata
menimbulkan dampak negatif yang bersifat fisik dan sosial. Strategi yang dipilih manusia
adalah pembangunan berwawasan lingkungan. Strategi ini menjamin terciptanya
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sehingga pembangunan bukan hanya
untuk kemakmuran generasi masa kini tapi juga kemakmuran generasi masa depan. Untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan diperlukan manusia-manusia berwawasan
lingkungan. Sebagai salah satu tempat bagi berlangsungnya enkulturasi, sekolah menjadi
pendukung usaha menghasilkan manusia berwawasan lingkungan. Untuk itu diperlukan guru
berwawasan lingkungan, yaitu sosok guru yang mempunyai pola pikir dan tindakan yang
integralistik dalam menempatkan dirinya sebagai salah satu bagian dari ekosistem lingkungan
hidupnya. Memasuki milenium ketiga, tantangan yang dihadapi guru bertambah kompleks,
karena guru harus menyiapkan anak didiknya menghadapi perubahan dari masa sekarang dan
mengantisipasi perubahan yang berjalan cepat.
 Semangat Otonomi Pendidikan dan Otonomi Daerah.
Implementasi otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999, berdampak positif pada
pelaksanaan manajemen pendidikan baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal.
Otonomi daerah dimaksudkan untuk mengubah paradigma pemerintahan yang semula
berorientasi sentral ke pusat dalam manajemen pemerintahan yang sentralistis, berubah 180
derajat. Otonomi daerah selain dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik dalam
segala bidang kehidupan, termasuk layanan pendidikan bermutu dalam satuan pendidikan di
sekolah, juga untuk mengejar ketertinggalan dalam kehidupan global.
Pengaruh besar otonomi daerah ke sekolah-sekolah tampak pada perubahan kondisi
kerja, yang semula berorientasi ke pusat menunggu perintah dan petunjuk atasan, kini
menjadi pemerakarsa yang harus mengambil inisiatif sendiri. Konsep otonomi daerah
adalah ;
Konsep manajemen sektor publik yang berfokus pada perbaikan kinerja organisasi.
Penerapan konsep tersebut berimplikasi pada perlunya dilakukan perubahan
manajerial, terutama perubahan personel dan struktur organisasi yang semula
berorientasi birokrasi, menjadi berorientasi playanan publik yang mengutamakan
mutu. (Mardiasmo, (2002:13))
Implementasi otonomi daerah kedalam pendidikan berbentuk Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS). MBS dewasa ini sedang menjadi pusat perhatian para pengelola
pendidikan, baik pada tingkat persekolahan, kecamatan, kota dan kabupaten, provinsi
maupun tingkat nasional. Sebab implementasi otonomi pendidikan dalam bentuk MBS
menjadi konsekwensi logis dari keputusan pemerintah menerapkan kebijakan otonomi daerah
sesuai dengan Undang-Undang No 22 Tahun 1999/Undang undang No 32 Tahun 2004
tentang Otonomi Daerah, peraturan pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang pembagian
kewenangan antara pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah Otonom.
Esensi kebijakan otonomi daerah pada dasarnya ingin mengubah keterpurukan
bangsa kerah yang lebih maju untuk menyusul ketertinggalan, intinya adalah peningkatan
mutu pelayanan publik. Dunia pendidikan juga memperoleh keuntungan dengan adanya
kebijakan ini yaitu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan publik di sektor
pendidikan dengan melakukan berbagai perbaikan manajemen lembaga dan peningkatan
mutu pembelajarannya. Pendidikan menjadi semakin akrab dengan masyarakat yang
dilayaninya, masyarakat menjadi dilibatkan dalam penyelenggaraan dan pengawasan
pendidikan. Peningkatan mutu layanan dalam pendidikan intinya tiada lain adalah
peningkatan mutu yang berfokus pada layanan belajar, yang sekarang oleh berbagai kalangan
dirasakan rendah.
Peran serta masyarakat dalam pengawasan pendidikan diatur secara jelas dan kuat
dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003. tentang Sistem Pendidikan Nasional pada BAB
XV, yang secara khusus mencantumkan wadahnya dalam Dewan Pendidikan/Komite Sekolah
pada bagian ketiga, pasal 56, ayat (3) :
Komite sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
(Undang-Undang Sisdiknas No
20,2003:27)
Gagasan MBS sejalan dengan kebijakan Otonomi Daerah, implementasinya bertujuan
untuk meningkatkan mutu pendidikan sebagai mana di kemukakan dalam Buku Pedoman
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Jawa Barat (2001:5). Manajemen Berbasis
Sekolah bertujuan untuk :
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama
3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada publik, orang tua dan pengguna
jasa pendidikan tentang mutu pendidikan
4. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah untuk mencapai mutu
pendidikan yang diharapkan
Otonomi Daerah berimplikasi terhadap pengelolaan satuan pendidikan, pada tingkat
persekolahan diharapkan menghasilkan manfaat nyata, yaitu terciptanya :
1. Peningkatan mutu layanan pembelajaran di sekolah-sekolah karena terciptanya
suasana kerja baru yang lebih kondusif.
2. Meningkatnya pelayanan sekolah terhadap peserta didik terutama pelayanan
belajar dari guru yang makin profesional terhadap peserta didik
3. Meningkatnya kinerja sekolah dalam meningkatkan kreativitas dan inisiatif
untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
4. Para Kepala Sekolah lebih berani mengambil inisiatif dalam memberdayakan
guru untuk memecahkan berbagai kesulitan dalam proses pendidikannya karena
kewenangannya yang lebih besar dalam mengelola sekolah.
Seiring dengan diberlakukannya Otonomi Daerah, pendidikan pun menuntut otonomi
seluas-luasnya. Hal ini harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan secara
keseluruhan. Menurut Gumelar dan Tjep Dahyat (2002:41) bahwa prinsip pendidikan
nasional dijabarkan dalam empat strategi kebijakan dasar yaitu: pemerataan kesempatan
pendidikan, relevansi pendidikan dengan pembangunan, kualitas pendidikan dan efisiensi
pengelolaan pendidikan.
Perubahan pendidikan dari sentralisasi menuju desentralisasi akan menyebab
terjadinya perbedaan dalam hal kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan oleh keragaman
potensi sumberdaya yang dimiliki daerah. Daerah yang surplus seperti Riau, ada
kemungkinan akan melejit, karena sumber dana yang kuat. Sekarang, Riau sudah bisa
memberikan tunjangan fungsional yang cukup besar kepada guru. Hal ini bisa menambah
gairah guru dalam PBM yang berdampak meningaktnya mutu pendidikan. Sebaliknya, ada
daerah minus yang tidak bisa menaikkan tunjangan fungsional guru dan tidak adanya
peningkatan sarana belajar. Perbedaan ini, bisa mengakibatkan beragamnya hasil belajar.
Untuk itulah diperlukan standar mutu, baik global yang harus diatur dalam suatu sistem
pendidikan nasional. Oleh karena itu, desentralisasi pendidikan harus tetap mengacu kepada
standarisasi pendidikan secara nasional dan global.
Inti dari pemertaan pendidikan adalah demokrasi pendidikan yang bertujuan untuk
menciptakan keadaan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan, tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, lokasi
geografis.
Perubahan dari pendidikan yang terpusat menuju otonomi daerah tidak serta merta
mengubah kurikulum nasional. Kurikulum nasional tetap sebagai inti atau core (Prof. H.A.
Kosasih Djahiri, 2002). Kurikulum nasional menjadi standar dalam merumuskan
kompetensi siswa. Oleh karena itu isi program disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaian dengan
lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kesenian sesuai dengan jenis dan jenjang satuan pendidikan.
Kurikulum berbasis lingkungan adalah kurikulum yang senantiasa mengaitkan atau
melibatkan aspek lingkungan. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan. Aspek
lingkungan yang dimaksud adalah menyangkut geografis dan sumber daya alam maupun
aspek lingkungan sosial seperti kebudayaan, ekonomi, agama, politik dan keamanan.
Dilibatkannya lingkungan dalam pendidikan disebabkan otonomi pendidikan intinya
kebebasan bagi guru untuk mengembangkan daya imajinasi, potensi dan kreativitas dalam
proses belajar mengajar. Lingkungan merupakan salah satu sumber belajar yang potensial.
Salah satu bagian dari pengembangan kurikulum adalah muatan lokal. Sekolah dapat
mengembangkan kurikulum muatan lokal atau mulok ini untuk memberdayakan potensi
daerah. Mulok akan disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Sebagai contoh,
anak-anak di kawasan pinggir laut diberikan mulok mengenai peirkanan laut, cara hidup
nelayan dan teknik penangkapan ikan. Hal ini sangat menunjang kehidupan mereka kelak,
sehingga mereka tidak perlu pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Mereka bisa
mengembangkan potensi yang ada di daerahnya. Anak-anak ini wawasannya akan semakin
bertambah, karena pengetahuan yang didapat tidak hanya diwarisi secara turun temurun,
melainkan melalui pendidikan.
 Semangat Millennium Development Goals (MDG)
KTT Milenium. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang
sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi
Milenium. Deklarasi itu berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian
bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks inilah negara-negara anggota PBB
kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals
(MDG). Setiap tujuan (goal) memiliki satu atau beberapa target. Target yang tercakup dalam
MDG sangat beragam, mulai dari mengurangi kemiskinan dan kelaparan, menuntaskan
tingkat pendidikan dasar, mempromosikan kesamaan gender, mengurangi kematian anak dan
ibu, mengatasi HIV/AIDS dan berbagai penyakit lainnya, serta memastikan kelestarian
lingkungan hidup dan membentuk kemitraan dalam pelaksanaan pembangunan.
Untuk meningkatkan pembangunan suatu bangsa diperlukan critical mass di bidang
pendidikan. Hal ini membutuhkan adanya persentase penduduk dengan tingkat pendidikan
yang memadai untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial yang cepat. Program
pendidikan dasar sembilan tahun merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan
critical mass itu dan membekali anak didik dengan ketrampilan dan pengetahuan dasar: untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, untuk bekal menjalani kehidupan dalam
masyarakat, untuk membuat pilihan-pilihan dan memanfaatkan produk-produk berteknologi
tinggi, untuk mengadakan interaksi dan kompetisi antar warga masyarakat, kelompok, dan
antar bangsa.
Target MDG adalah menjamin bahwa sampai dengan 2015, semua anak, di mana pun,
lakilaki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar. Target itu sejalan dengan
target Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, yaitu meningkatkan
partisipasi pendidikan dasar dengan indikator kinerja pencapaian Angka Partisipasi
Kasar (APK) jenjang SLTP/MTs mencapai 90 persen persen paling lambat pada
2008, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar yang pada saat ini masih di bawah
standar nasional.
( Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia,
2006)
Dalam kaitan dengan itu, maka perencanaan pengajaran yang tidak lagi bersifat
sentralisasi, berubah menjadi desentralisasi yang pada akhirnya berimbas pada
dikembangkannya Kurikulum Tingkat Saruan Pendidikan ( KTSP ).
Perbandingan Dilihat dari Sisi Ide Kurikulum
KBK 2004 KTSP 2006
 Salah satu bentuk kegagalan  Disesuaikan dengan
pelaksanaan kurikulum dimasa lalu adalah situasi dan kondisi sekolah
adanya penyeragaman kurikulum dari Sabang masing – masing, sehingga
sampai Marauke, tidak melihat pada situasi ril di potensi dan kemampuan siswa
lapangan, dan kurang menghargai potensi sangat berbeda. Dengan
keunggulan lokal. Dengan demikian, kurikulum demikian kurikulum tersebut
tersebut menjadi kurang operasional, sehingga lebih proposional sehingga
tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi memberikan kompetensi yang
peserta didik untuk mengembangkan diri dan cukup untuk mengembangkan
daerahnya. Akibatnya para lulusan kalah sendiri sesuai demgam potensi
bersaing di dunia kerja dan berimplikasi daerah masing – masing.
terhadap peningkatan angka pengangguran.
 Desain Kurikulum
Yang dimaksudkan dengan desain adalah rancangan, pola, atau model yang menjadi
patolakan.
Mendesain kurikulum berarti menyusun rencana atau menyusun model kurikulum
sesuai dengan visi dam misi sekolah. Tugas dan peran seorang desainer kurikulum
sama seperti seorang arsitektur. Sebelum menentukan bahan dan cara mengkonstruksi
seorang arsitek terlebih dahulu merancang model atau desain bangunan yang
dibangun.
( Wina Sanjaya, 2006 : 37 )
Berbicara mengenai desain kurikulum, maka dalam kaitan dengan penyusunan desain
kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi yakni dimansi horisontal dan dimensi vertikal.
Dimensi horisontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Susunan
lingkup ini sering di integrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya. Desain vertikal
menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran. Bahan
tersusun mulai dari yang mudah, kemudian menuju kepada yang lebih sulit, atau mulai
dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.
Tiga pola desain kurikulum yakni sebagai berikut :
1. Subject centered design, suatau desain kutikulum yang berpusat pada bahan ajar.
Dalam Subject centered design, kurikulum dipusatkan pada isi atau meteri yang
dajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata pelajaran, dan mata-mata pelajaran
tersebut diajarkan secara terpisah-pisah.
2. Learner centered design, suatu desain kurikulum yang menggunakan peran siswa.
Learner centered design, memberikan tempat utama kepada peserta didik. Di dalam
pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik sendiri.
Guru atau pendidik hannya bereran menciptakan situasi belajar mengajar, mendorong
dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
3. Problems centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah masalah
yang dihadapai dalam masyarakat.
Konsep pendidikan para pengembang model kurikulum ini berangkat dari asumsi
bahwa manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama. Dalam kehidupan
bersama ini menusia menghadapi masalah-masalah bersama yang harus dipecahkan
bersama.
( Nana S Sukmadinata, 2006 : 113 )
Dalam kaitan dengan pengembangan kurikulum ( KTSP ) yang lebih terarah sehingga
dapat menjawab semua permasalahan yang ada.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan
dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih
banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang
dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus
dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya.
Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada
permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide
tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan
evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang
tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat
hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
(S. Hamid Hasan, http://ppsupi.org/sghamidh.html)
Keseluruhan Proses Pengembangan Kurikulum Dapat Digambarkan Sebagai berikut :

Perbandingan Dilihat dari Sisi Desain Kurikulum


KBK 2004 KTSP 2006
Sekolah kurang diberikan Mengacu kepada paduan kurikulum ringkat satuan pendidikan
kewenangan secara lebih dasar dan menengah yang dibuat oleh BSNP, sekolah
luas walaupun dalam diberikan keleluasan, merancang, mengembangkan, dan
KBK sudah ada, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan
pengembangan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang dapat
kurikulum sudah dimunculkan oleh sekolah. Sekolah dapat mengembangkan
ditentukan elaborasi standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar
pusat dan daerah kompetensi lulusan. Prinsip pengembangan KTSP adalah (1)
sehingga kadang kala berpusat pada potensi, pengembangan, kebutuhan, dan
tidak sesuai dengan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) beragam
kondisi masing- masing dan terpadu; (3) tanggapan terhadap perkembangan ilmu
sekolah. pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) relevan dengan
kebutuhan kehidupan; (5) menyeluruh dan berkesinambungan;
(6) belajar sepanjang hayat; (7) dan seimbang antara
kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2005). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Bank, James, With Clegg, 1975, Teaching Strategis for Social Studies: Inquiry, Valuing and Decission Making,
New York : White Plaens.
Hasan Hamid. S. ( 1996 ). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi.
Ibrahim, M.Sc. 1988. Inovasi Pendidikan. Dep.Dik.Bud. DirJed Pendidikan Tinggi. Jakarta.
Ibrahim, R dan Sukmadinata, N., S.. (2003). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Komariah Aan. ( 2006 ). Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi Sebagai Jaminan Mutu Guru Profesional “
Makalah pada Konfrensi Internasional Bersama Kedua UPI – UPSI “. Bandung : UPI – UPSI.
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. (2003). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Purwanto, M, Ngalim. (2001). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sanjaya Wina. ( 2006 ). Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media.
Sardiman A.M. ( 2006 ). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar/ Bab VIII. Jakarta Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Saud Saefudin Udin. H. Dan Suherman Ayi. ( 2006 ). Inovasi Pendidikan (Inovasi Kurikulum Berbasis
Masyarakat). Bandung : Universitas Pensisikan Indonesia.
Supriatna Nana. ( 2007 ). Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung : Historia Utama Prees.
Sukmadinata, N., S. (2005). Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumantri, M, Numan. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumantri, Mulyana. (1998). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Depdiknas.
Suwarma Al Muctar, 2001, Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya, Bandung : Gelar Pustaka Mandiri.
Suwarma Al Muctar, 2004, Pengembangan Berpikir dan Nilai dalam Pendidikan IPS, Bandung : Gelar Pustaka
Mandiri.
___________(2004) Kurikulum Ketentuan Pokok dan Struktur Program.. Bandung: Depdiknas UPI.
(2003). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
(2005). Implementasi Kurikulum 2004 : Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
( 2006 ). IPS Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ” Makalah ” .
Bandung : Program IPS-PPS.

Pendidikan IPS sebagai bidang ilmu masih diperdebatkan dalam aspek-aspek antologis
dan epismologinya, walaupun secara aksiologis sudah jelas manfaatnya.
1. Batang tubuh (body of knowledge) PIPS atau Studi social apabila PIPS adalah
seleksi secara psikologis dari bahan ilmu-ilmu social untuk keperluan pendidikan.
Numan Somantri mengatakan : kalau ditelesuri dari filsafat ilmu, Pendidikan IPS
harus bisa menjawab aspek antologis, epistemologis, dan aksiologis, yaitu :
a). Apa yang dikaji dalam Pendidikan IPS
b).Bagaimana proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan dalam Pendidikan IPS.
c). Apa kegunaan Pendidikan IPS.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa digunakan batasan Pendidikan IPS untuk
pendidikan dasar dan menengah serta untuk FPIPS. Batasan Pendidikan IPS, yakni ”Seleksi
dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasi
dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”. Untuk menelusuri
filsafat ilmu tentang Pendidikan IPS, kita bisa saja menganalisis berbagai faham ilmu (Barat)
dan filsafat pendidikan, dengan pengertian bahwa :
a). Kebenaran yang dicari dalam Pendidikan IPS ialah kebenaran yang dilandasi
iman, taqwa, dan kebudayaan Indonesia dengan ide vitalnya Pancasila.
b). Intraceptive knowledge dan extraceptive knowledge merupakan satu nafas.
c). Domain cognitive, efektif, dan keterampilan psikomotorik merupakan kesatuan
. (1)
Sedangkan dalam aspek konseptual yang merujuk pada arti ontologi, epistomologi dan
aksiologi dalam filsafat ilmu serta sumber Pendidikan IPS dan studi perbandingan di negara-
negara lain yang sudah lama mengembangkan social science education, dirumuskan bahwa
Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu social dan
humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah
dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. (2)
(1) Somantri (2001 : 88-89). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(2) (hasil forum komunikasi II HISPIPSI 1991 di Yogyakarta).


Maka melihat pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli, jelaslah bahwa fungsi filsafat ilmu
pendidikan dalam memecahkan permasalahan Pendidikan IPS adalah sebagai landasan dalam
menyelediki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan “tujuan”, “latar
belakang”, “cara”, serta hakikat ilmu Pendidikan IPS, dan juga yang bersangkut paut dengan
analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya dengan menggunakan struktur ilmu, yaitu
metode dan bentuk pengetahuan ilmiah Serta makna teoritis dan praktis dari ilmu. (4) (4)
Kattsoff, L.O. (1996). Pengantar Filsafat.. Alih bahasa : Soejono Soemargono. Jakarta: Tiara Wacana.

Pendidikan IPS suatu program pendidikan yang memilih pendidikan dari disiplin ilmu-
ilmu sosial dan humanity, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan spikologis untuk
tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu
ilmu pengetahuan yang membahas hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku
manusia dalam masyarakat (Preston, 1968).
Pendidikan IPS bersumber dari beberapa dari beberapa disiplin ilmu, humaniora, disiplin
ilmu pendidikan, kegiatan dasar manusia dalam masyarakat, dan tujuan pendidikan nasional,
yang semuanya harus dipikirkan dan dikembangkan secara integrative. Dalam buku yang
sama, disebutkan pula bahwa ada anggapan dikalangan para penjabat Depdikbud, dosen, dan
guru bahwa Pendidikan IPS adalah program pendidikan terpadu, yaitu memadukan seluruh
disiplin ilmu-ilmu sosial menjadi “disiplin baru”. (5)
(5) Somantri (1993). .Beberapa Pokok Pikiran tentang: Penelusuran Filsafah Ilmu tentang Pendidikan IPS dan
kaitan Struktural-Fungsionalnya dengan Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial. Ujung Pandang: Panitia Forum
Komunikasi IV Pimpinan FPIPS IKIP dan JIPS-FKIP Universitas.

Secara filosofis, dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, Pendidikan IPS di Indonesia
mengacu kepada keyakinan dan kebudayaan bangsa, disamping mengikuti kaidah-kaidah
ilmiah.

Pendidikan IPS di Indonesia adalah penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial dan segala
sesuatu yang bersifat sosial, yang diorganisasikan secara ilmiah dan psikologis dengan
Pancasila dan UUD 1945. dengan demikian, Pancasila dan UUD 1945 itu harus melakukan
penetrasi (perembesan) terhadap tujuan, bahan pendidikan dan kegiatan-kegiatan pendidikan
lainnya.
Dalam aspek filosofis, Somantri dalam hal ini memandang bahwa filsafat pendidikan IPS
dan posisi sentral pendidikan IPS di antara faham-faham filsafat menunjukkan adanya
berbagai pemikiran dalam filsafat ilmu dan filsafat pendidikan yang memiliki
kebermanfaatan untuk pengembangan pendidikan IPS. Tetapi ada perbedaan yang mendasar.
Perbedaan yang mendasar antara pemikiran filsafat ilmu dan filsafat pendidikan (Barat)
dengan pendidikan IPS yang berlandaskan Pancasila ialah bahwa intraceptive knowledge
dengan extraceptive knowledge, yaitu iman, taqwa, dan kebudayaan (termasuk ilmu
pengetahuan) merupakan satu nafas, sementara filsafat ilmu (Barat) cenderung untuk
memisahkan ilmu dan keimanan (sekuler).
Karena itu, kedudukan pendidikan IPS dalam aneka ragam pemikiran filsafat ilmu
(Barat) berada dalam posisi sentral, sehingga kebenaran dalam arti filsafat ilmu (Barat) akan
diberi arti sebagai “kebenaran” yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional (aksiologis). Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pendidikan IPS akan
dikembangkan dan disajikan secara doksologis, melainkan sedapat mungkin mengikuti
perkembangan sains dan teknologi. Karena itu pula Pendidikan IPS akan berada dalam posisi
sentral diantara adagium “ intellectus quaerens fidem” , yaitu akal mengatasi atau lebih utama
daripada iman/agama dan “fides quaerens intellectum”, yaitu sebaliknya dimana iman/agama
mengatasi atau lebih utama daripada akal.
Pada dasarnya Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu social untuk
keperluan pembelajaran di sekolah. Dengan penyederhanaan materi tersebut, maka para siswa
dengan mudah melihat, menganalisis dan memahami gejala-gejala yang ada dalam
masyarakat lingkungannya konsep utama Pendidikan IPS menurut Yusnidar (1987) adalah
interaksi dengan lingkungan.
Tujuan Pendidikan IPS dapat dikelompokkan menjadi empat katagori berikut ini :
 Knowledge, yang merupakan tujuan utama Pendidikan IPS, yaitu
membantu para siswa belajar tentang diri mereka sendiri dan lingkungannya. Hal-hal
yang dipelajari sehubungan dengan ini adalah geografi, sejarah, politik, ekonomi,
antropologi dan sosiopsikologi.
 Keterampilan, yang berhubungan dengan tujuan Pendidikan IPS, dalam
hal ini mencakup keterampilan berpikir (thinking skills).
 Attitude, dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sikap yang
diperlukan untuk tingkah laku berpikir (intellectual behaviour) dan tingkah laku social
(social behaviour).
 Value, dalam hubungan ini, adalah nilai yang terkandung dalam
masyarakat yang didapatkan dari lingkungan masyarakat sekitar maupun lembaga
pemerintahan (falsafah bangsa). Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai kepercayaan,
nilai ekonomi, pergaulan antar manusia, ketaatan pada pemerintah, hukum, dan lain-lain.
Selain itu, juga terdapat beberapa orientasi Pendidikan IPS, yang sebenarnya dari
waktu ke waktu akan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu
 Petama, menanamkan etika social, dengan mengupayakan peserta didik
agar berprilaku sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku, seperti
berkelakuan baik, berani membela kebenaran dan keadilan, bekerja sama, suka menolong,
dan sebagainya.
 Kedua, orientasi nilai disiplin ilmu yang dapat memperkuat orientasi
pertama tadi. Dalam orientasi ini,ilmu-ilmu variable-variabelnya, dengan hokum-
hukumnya, sehingga terjadi peristiwa social tertentu.
 Ketiga, orientasi keterampilan teknik dan partisipasi social dalam
kehidupan social ditempat mereka berada. Dari praktek kehidupan nyata itulah siswa
belajar lebih jauh, sehingga akhirnya mereka lebih adaptif terhadap kehidupan yang
senantiasa berubah.
Keempat, orientasi kemampuan memecahkan masalah dan inovasi, yang diperlukan setelah siswa
mampu berpartisipasi aktif. Dalam hal ini, maka tindakan orang yang mengalami PIPS dengan
tidak akan berbeda. Mereka mampu berinovasi dalam memperbaiki kualitas hidupnya, bahkan
masyarakatnya ke arah yang lebih baik (6) (6) Sanusi, A. (1998). Pendidikan Alternatif : Menyentuh
Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan. Bandung : PPS IKIP Bandung dan PT. Grafindo
Media Pratama.

Membedakan Pendidikan yang dikembangkan untuk jenjang persekolahan yang


berlandaskan kurikulum dengan orientasi esensialisme dengan PIPS yang mengikuti
kurikulum dengan orientasi ke arah rekonstruksi sosial :
Sementara itu dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia
sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni
 Pendidikan IPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan
penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora yang diorganisasikan secara psiko-
pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan
 Pendidikan Disiplin IPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang
pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta
psiko-pedagodis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin ilmu lain yang relevan
untuk tujuan pendidikan professional guru IPS.
Filosofi IPS ada tiga pandangan yaitu esensialisme, perenialisme dan transsion of
culture. Menurut pandangan esensialisme, disebutkan bahwa pengajaran disiplin ilmu
tersebut harus diajarkan dalam bentuk aslinya. Pandangan perenialisme menyebutkan bahwa
sebagai disiplin itu dapat melakukan kolrelasi maupun intregrasi. Sedangkan pandangan
transsion of culture menghendaki pendidikan sebagai alat untuk pewarisan budaya walaupun
ini hanya dikenakan pada pendidikan sejarah. (7) (7) Hamid Hasan (2002 :7) Diktat Kuliah PIPS UPI
Bandung

Studi tentang kurikulum sosial studies di berbagai negara menunjukkan fenomena


yang semakin kuat bahwa IPS di Indonesia harus mengubah orintasi filosofi kurikulumnya
terutama untuk SD dan SMP sedangkan untuk SMA diperlukan perubahan pada model desain
kurikulum. Kondisi masyarakat baik dalam kehidupan politik, sosial budaya, ekonomi, ilmu,
teknologi dan seni menunjukkan adanya tuntutan yang tidak dapat dijawab hanya oleh
orientasi kurikulum IPS sekarang ini. Tantangan kehidupan yang dihasilkan adanya otonomi
daerah dan kehidupan persaingan global serta suasana kehidupan politik tingkat nasional
telah memberikan dasar yang kuat bagi orientasi baru kurikulum IPS.
Ketiga pandangan di atas ternyata tidak mampu mewadahi pengembangan IPS
sebagai pendidikan sosial karena pendidikan IPS tidak hanya sebagai alat pewaris
kebudayaan, melainkan pula harus dapat berperan aktif dalam kehidupannya di masyarakat
(agent of change) sehingga diperlukan perubahan pandangan filosofinya menjadi pandangan
rekonstruksi sosial. Atas pandangan rekonstruksi sosial, maka kurikulum IPS harus dapat :
 Mengembangkan kemampuan dan keterampilan sosial yang diperlukan
masyarakat dan dirinya.
 Mengembangkan life skills yang berkenaan dengan berbagai hal yang
diperlukan masyarakat Indonesia masa kini dan mendatang seperti disiplin, kerja keras,
kerja sama, taat peraturan, komunikasi, toleransi, hemat, kreatif dan sebagainya.
 Mengembangkan berbagai sikap yang diperlukan untuk mendukung dan
keterampilan sosial seperti sikap menghargai waktu, pekerjaan, karya orang lain, hormat
pada prestasi, kepedulian terhadap mutu.
Rekonstruksi sosial juga diperlukan bagi kurikulum di SD dan SMP karena justru
pada pendidikan dasar ini perubahan filosofi harus mulai dilakukan agar terdapat
kesinambungan antara pendidikan dasar dengan pendidikan menengah dan Perguruan Tinggi.
Pada akhirnya, IPS tidak lagi dipenuhi dengan fakta, konsep, generalisasi dan teori disiplin
itu yang harus dikuasai peserta didik tanpa jelas kebermaknaannya dalam kehidupan tetapi
berkenaan dengan hal-hal yang diperlukan dirinya dan masyarakat termasuk berbagai konsep,
generalisasi dan teori terpilih dari disiplin ilmu berdasarkan kegunaannya di masyarakat. (8)
(8) Winataputra (2007). Dinamika Pemikian Inovatif dalam Khasanah Social Studies dan IPS untuk Pendidikan
Dasar dan Menengah di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional PIPS program studi PIPS-PPs
UPI. Bandung: UPI.

Untuk menghadapi problema dunia yang ditandai oleh polusi, pemanasan global,
ledakan kependudukan dan kemiskinan, Fritjof Capra (2001) menawarkan pendekatan
ekologis dalam prosedur epistemologis ilmu.
1. Mengapa perlu ada perubahan dalam penggunaan metode ilmiah Cartesian –
Newtonian, apakah tidak cukup dengan aspek aksilogisnya yang beretika :
Capra adalah seorang fisikawan menjadikan Daoisme sebagai sumber etika. Capra
melihat adanya ketidak seimbangan atau ketimpangan yang luar biasa antara kemajuan
pengetahuan yang rasional, kekuatan intelek, dan keterampilan teknologi di satu sisi, dengan
perkembangan kebijaksanaan, spritualitas, dan etika disisi yang lain. Pada hal didalam
cosmogoni Cina, keseimbangan dari dua kutub Yang dan Yin merupakan conditio sine qua
non dari ketertiban, kestabilan, dan keseimbangan dunia. Dalam hal ini harman adalah tujuan
dari kehidupan individu, masyarakat dan negara. Kemajuan pesat dibidang ilmu dan
teknologi yang dirintis dalam sejarah peradaban manusia sejak zaman Mesir, Yunani dan
Islam diikuti dengan sangat lamban oleh kemajuan ilmu-ilmu tentang etika atau moral,
spritualitas, dan berbagai perilaku manusia. Ketidak seimbangan inilah nampaknya yang
menimbulkan disequilibrium, ketidak pastian, ketidak aturan, dan chaos.
Fritjof Capra menilai bahwa kerusakan kehidupan modern sebagai akibat dari
merajalelanya "krisis persepsi" manusia terhadap realitas yang cenderung bersifat analitis-
reduksionis, mekanistis, dan linear sehingga memilah, mengisolasi dan mendistorsi
keanekaragaman dan dinamika realitas itu sendiri. Cara memandang realitas itu berakibat
pada "kebangkrutan" substansi realitas, ketidaktepatan merumuskan realitas sehingga usaha
untuk membereskan persoalan juga membuahkan lagi persoalan yang lain karena landasan
pijakan atau asumsi yang keliru atau tak lengkap.
Krisis persepsi itu terjadi atau disebabkan oleh pandangan dunia modern yang masih
menganut paradigma Cartesian-Newtonian yang bersifat analitis-reduksionis, mekanistis, dan
linear itu. Paradigma itu bergulir sejak 300 tahunan lalu dan sukses dalam mengembangkan
sains dan teknologi, namun mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu
sendiri, sehingga menciptakan krisis-krisis kemanusiaan, misal perang, kerusakan
lingkungan, kerusakan jiwa, dan lain-lain yang dalam istilah Capra disebut sebagai "penyakit-
penyakit peradaban".
Capra menilai, paradigma Cartesian-Newtonian itu biang krisis manusia modern yang
dalam bahasa RD Laing dinyatakan begitu bagus sebagai paradigma "yang menawarkan
kepada kita suatu dunia yang mati: lenyapnya pemandangan, suara, rasa, sentuhan, dan
penciuman, serta bersama itu mati pula kepekaan etis dan estetis, nilai, kualitas, jiwa,
kesadaran, dan rohani". Akibatnya, masih menurut Laing, "Kita telah menghancurkan dunia
ini secara teori sebelum kita menghancurkannya dalam praktik."
Kini dibutuhkan paradigma baru yang lebih sesuai dengan zaman yang cenderung
saling berinteraksi, berkorelasi, dan saling mempengaruhi dalam suatu jaringan kehidupan
akibat terjadinya revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang begitu menakjubkan
melibas jarak ruang dan waktu, sehingga runtuhlah batas-batas lama yang bernama ideologi
politik, nasionalitas, dan agama maupun geografi. Kondisi kehidupan saat ini yang telah
berubah secara revolusioner harus diiringi paradigma baru melihat realitas. Artinya,
paradigma lama Cartesian-Newtonian setidaknya harus dievaluasi, ditimbang ulang,
dikoreksi, untuk menemukan paradigma lain yang lebih cocok dengan zaman. Kondisi zaman
dan cara pandang harus sinkron, tak ketinggalan zaman, supaya tak berbahaya bagi
kehidupan itu sendiri.
Paradigma baru itu harus bisa memandang keseluruhan ketimbang bagian-bagian,
bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, nonmekanistis, nonlinear, yaitu
paradigma holistik. Paradigma ini dapat juga disebut filsafat holistik yang potensial bisa
mengisi kekosongan pemaknaan dan paradigma dalam memahami realitas dan sains.(9)
(9) Fritjof Capra. (2002). Jaring-Jaring Kehidupan. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru

Perbedaan pendekatan antroposentris dengan pendekatan ekologis dalam pandangan


perlakuan terhadap planet bumi :
Pada intinya perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
Pendekatan Antroposentris :
Bahwa manusia dipandang sebagai pusatnya, dimana manusia berada di atas atau
di luar alam, sebagai sumber nilai, dan akan dianggap sebagai instrumen atau
hanya bernilai “guna.”
Pendekatan ekologis:
Pendekatan ekologis memandang planet bumi sebagai satu kesatuan system
dimana adanya kesalingtergantungan fundamental semua fenomena dan
sebagaimana individu dan masyarakat, kita sekalian berada dalam dan bergantung
secara mutlak pada proses siklis alam.
Paradigma yang berakar dari hukum gerak Newton dan pemikir-filsof Descartes ini
memang banyak membawa kemajuan pada kehidupan manusia, seperti sarana transportasi
darat, laut dan udara, sistem persenjataan, dan konstruksi bangunan. Namun perjalanan
peradaban manusia kemudian menunjukkan bahwa paradigma mekanistik ini ternyata gagal
bila diterapkan pada sistem kehidupan seperti kehidupan sosial, pengelolaan hutan,
pengelolaan danau dan sungai, atau bahkan kawasan transmigrasi. Paradigma yang telah
menghujam lama dan berakar pada setiap individu dan kelompok atau golongan masyarakat
modern ini telah menjadi inti dari berbagai akar masalah timbulnya kerusakan ekosistem
hutan, degradasi keanekaragaman hayati, pencemaran ekosistem sungai dan laut, dan
berbagai masalah lingkungan hidup yang kita jumpai saat ini.
Menurut ahli falsafah Daoisme, dao bermaksud metafizik. Ini bermaksud jika terdapat
suatu proses kewujudan,maka hendaklah terdapat suatu puncak utama yang meluas dan ini
dipanggil Dao. Seperti First Cause yang terdapat dalam kepercayaan Kristian. Menurut
Konfusius Dao adalah satu konsep tata tertib moral yang mesti dipatuhi oleh seseorang
individu, atau suatu set peraturan-peraturan etika yang harus diikuti oleh seorang individu. Ia
juga menunjukkan kepada suatu corak atau jenis pentadbiran yang dapat menjamin
kepentingan dan kesejahteraan rakyat dengan cara yang paling baik.
Konsep Dao mempunyai pelbagai maksud. Maksud terawal menunjuk kepada
"jalan"atau "lorong". Sebelum kedatangan falsafah Konfusius , Dao digunakan untuk
menunjukkan satu "jalan"ataupun suatu cara kelakuan atau tabiat sama ada tabiat baik
ataupun buruk. Selepas kedatangan Konfusius, orang-orang yang mengikut fahaman Daoisme
(berasal dari perkataan Dao) menggunakan konsep Dao dengan suatu maksud metafisik untuk
menunjukkan kepada keseluruhan alam semesta.
Capra di dalam bukunya “Titik Balik Peradaban” menyebutkan Dao atau Tao
merupakan suatu proses perubahan dan aliran yang terus menerus. Dalam pandangan falsafah
dao ini semua fenomena yang kita amati turut serta didalam proses kosmik sehingga secara
instrinsik bersifat dinamis. Ciri utama filsafat Dao atau Tao adalah alam yang berputar dalam
gerakannya yang tak pernah berhenti; semua perkembangan di alam semesta, baik dialam
fisik maupun psikologis dn sosial, menunjukkan adanya pola berputar ini. Orang-oranmg
Cina memberi suatu struktur yang pasti pada konsep pola berputar ini dengan
memperkenalkan dua kekuatan yang berlawanan, yin dan yang, yaitu kutub yang
membatasisiklus perubahan. Yang setelah mencapai klimaksnya mundur demi Yin, lalu yin
setelah mencapai klimaknya mundur demi yang.
Menurut Capra paradigma yang lebih tepat untuk penanganan atau pengelolaan suatu
sistem kehidupan adalah paradigma ekologi. Paradigma ini berciri organik, sistemik,
partisipatif, non-linier dan ekosentris. Karakter utamanya terletak pada hubungan manusia
dan alam yang saling sinergi - tidak terpisah, penekanan pada kualitatif, dua arah, subyek dan
obyek saling interaktif, dan ekologi menjadi penentu daya dukung lingkungan. Karakter lain
dari paradigma ekologi ini adalah adanya sifat desentralisasi, menerapkan pendekatan multi
dimensi dan penghargaan kepada pluralitas (kemajemukan) sehingga terwujud kerjasama
atau integrasi.
Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, budaya dan struktur social merupakan jaring-
jaring kehidupan abstrak yang telah mengubah dunia nyata beserta isinya. Namun manusia
dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut banyak yang
mengesampingkan nilai etis dan estetis. Manusia mengeksploitasi habis-habisan bumi beserta
isinya sehingga bumi tidak lagi berada dalam keseimbangan. Akibatnya sejak akhir abad ke-
20 masyarakat dunia diperhadapkan pada serangkaian masalah global yang membahayakan
masa depan planet bumi. Diantara serangkaian masalah global yang dihadapi oleh seluruh
masyarakat dunia yang menjadi masalah utama dan dominan adalah masalah lingkungan
hidup.
Masalah-masakah global menyangkut kehidupan masyarakat dunia baik sekarang
maupun masa yang akan datang tersebut perlu ditangapi dengan kerja keras dan pemikiran
yang komprehensip, sistematik dan futuristic maka diperlukan suatu perubahan radikal dalam
persepsi, pemikiran dan nilai-nilai. Dalam hubungan tersebut, Capra mengemukakan
teorinya tentang nilai-nilai yang bersifat ekosentris dengan menyodorkan formula baru
tentang paradifgma ilmu pengetahuan dan kehidupan, yaitu pemikiran system.
Dengan memodifikasi defenisi Thomas Kuhn mengenai paradigma ilmiah kepada
paradigma social maka Capra merumuskan bahwa “ suatu konstelasi konsep-konsep, nilai-
nilai, persepsi-persepsi dan praktek-praktek yang digunakan bersama oleh suatu komunitas,
yang membentuk suatu visi tertentu atas realita yang merupakan basis bagi cara komunitas
tersebut mengatur dirinya’. Paradigma baru ini dinamakan suatu pandangan dunia holistic,
yang memandang dunia sebagai suatu keseluruhan yang terpadu, bukan suatu kumpulan
bagian-bagian yang terpisah. Paradigma baru tersebut disebut juga suatu pandangan ekologis,
yakni dengan melihat dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah tetapi
sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantuing satu sama
lain secara fundamental. Ekologi mengakui nilai instrinsik semua mahkluk hidup dan
memandang manusia tidak lebih dari satu untaian dalam jaring-jaring kehidupan atau tidak
dapat dipisah-pisah, satu sama lain saling tergantung. Seperti masalah keterbelakangan yang
dihadapi oleh negara-negara dunia ketiga. Masalah produktivitas tenaga kerja yang rendah,
akan menyangkut banyak aspek kehidupan seperti pendapatan menjadi rendah. Akibat
pendapatan yang rendah menyebabkan tingkat gizi dan kesehatan rendah, kesempatan
pendidikan terbatas, tabungan menjadi rendah, sehingga tingkat pengangguran menjadi
tinggi. Masalah-masalah inilah yang menjadi dasar pemikiran Fritjof Capra menyodorkan
teori system tersebut. Dengan teorinya ini diharapkan dunia dapat kembali dalam suatu
keseimbangan yang dapat menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia.
Sekaligus tercipta sebuah masyarakat yang mampu mempertahankan kehidupan yakni yang
mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhan tanpa mengurangi prospek generasi-genertasi
masa depan. Dengan demikian, metode ilmiah itu harus dapat dikendalikan oleh etika guna
mengantisipasi kehancuran manusia dengan adanya penemuan berbagai bidang ilmu. Perlu
adanya kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari pada keseluruhan dunia atau jaring-
jaring keseluruhan yang lebih luas sebagaimana telah dijelaskan tersebut. (10) (10) Fritjof
Capra. (2004). Titik Balik Peradaban. Yogyakarta : PT. Bentang Pustaka

Dalam alam, perubahan kecil dalam sistem dapat menimbulkan konsekuensi berskala
besar. Dalam teori chaos biasa disebut ”efek kupu-kupu” dengan bahasan geometri
Factal untuk menerangkan konsep dasar kompleksitas dengan contoh krisis moneter
tahun 1998 :
Ketika Mandelbrot menerbitkan buku perintisnya pada pertengahan tahun 70-an, ia
tidak menyadari hubungan antara geometri fraktal dengan teori chaos, namun tidak lama
kemudian para matematikawan dan ia sendiri menemukan bahwa penarik-penarik aneh ini
merupakan contoh-contoh indah mengenai fraktal. Jika bagian-bagian dari strukturnya
diperbesar, mereka akan memperlihatkan substruktur yang berlapis-lapis, yang di dalamnya
pola-pola yang sama akan diulangi lagi dan lagi. Dengan demikian lazim mendefinisikan
penarik aneh sebagai lintasa-lintasan peluru di dalam fase ruang yang menampilkan geometri
fraktal.
. Hubungan penting lainnya antara teori chaos dengan geometri fraktal ialah perubahan
dari kuantitas menjadi kualitas. Seperti telah kita lihat, mustahil memprediksikan nilai
variabel-variabel dari suatu khaotik pada waktu tertentu, tetapi kita dapat memprediksikan
ciri-ciri kualitatif perilaku sistemnya. Sama halnya, mustahil menghitung panjang atau area
suatu bentuk fraktal, tetapi kita dapat mendefinisikan tingkat ”kebergerigian (jaggedness)” –
nya dengan cara kualitatif.
Di Indonesia tahun 1998 terjadi krisis moneter, yang diawali dengan nilai mata uang
Rupiah anjlok dari $ 1 = Rp. 3.000 menjadi $ 1 = Rp. 10.000. Mengapa ini sampai terjadi ?
Berawal dari sekelompok orang yang memiliki banyak uang, dan mereka suka sekali
berpergian ke luar negeri dan suka berbelanja. Selain itu mereka lebih senang memiliki uang
dolar dari pada uang rupiah, sehingga menukar uangnya ke dalam uang dolar.
Pada saatnya persepsi nilai uang rupiah mulai berkurang dan menaiknya persepsi nilai
uang dolar, terjadilah krisis moneter. Krisis ini terus berlanjut kepada dunia perdagangan,
terutama pada barang impor yang menggunakan standar nilai mata uang dolar. substansi yang
paling merugikan pada utang negara yang kian membungbung tinggi. Sementara nilai ekspor
lebih rendah dari nilai impor, devisa semakin berkurang. Perekonomian dalam negeri mulai
goncang karena harga semakin naik sementara nilai uang rupiah makin kecil. Masyarakat
daya belinya menurun. Maka masyarakat yang sudah banyak miskin, kini makin bertambah
jumlahnya, dengan ketidak mampuan dalam daya beli.
Kekecewaan rakyat semakin bertambah-tambah terhadap pemerintah. Muncullah
permasalaha baru atau dalam teori chaos disebutkan sebagai peluru yang meluncur dan
mengembang kepada fase berikutnya. Yaitu krisis kepercayaan rakyat kepada pemerintah.
Krisis ini akhirnya mendorong rakyat melakukan demontrasi bahkan perusakan sarana
umum.
Fase selanjutnya semakin melebar pada masalah yang lebih serius dan lebih besar
lagi, yaitu dekadensi moral. Dengan daya beli yang kecil sementara kebutuhan harus tetap
dipenuhi. Terjadi tindak kejahatan dimana-mana. Tidak hanya sekedar itu, munculnya
masalah yang lain dalam fase ini, yaitu masalah KKN, Nepotisme, dan korupsi.
Jadi permasalahan krisis moneter ini terus berkembang menjadi masalah nasional.
Dari satu masalah yaitu nilai uang rupiah terhadap mata uang dolar beranjak kepada masalah
multi deminsi pada tingkat nasional.
”Bagaimanpun juga, ini merupakan kesimpulan yang sangat optimistik, bahwa
semula studi terhadap choas merupakan usaha untuk menemukan aturan-
aturan sederhana yang terdapat dalam jagad di sekitar kita ......usaha-usaha itu
selalu mencari penjelasan-penjelasan sederhana atas realitas-realitas yang
rumit. Tetapi perbedaan antara kesederhanaan dengan kerumitan tak pernah
dapat dibandingkan di manapun dengan apa yang kita temukan dalam konteks
ini” (Mandelbrot)
Pesona besar yang ditampilkan oleh teori chaos dan geometri fraktal pada orang di
segala bidang, dari ilmuwan, manajer hingga seniman, barangkali merupakan tanda yang
menjanjikan bahwa pengucilan matematika sedang berakhir. Sekarang ini matematika baru
mengenai kompleksitas semakin menyadarkan orang bahwa matematika lebih dari pada
sekedar rumus-rumus yang kering ; dunia hidup di sekiling kita, dan segala persoalan
mengenai pola, keteraturan, dan kompleksitas pada dasarnya bersifat matematis. (11) (11)
Fritjof Capra. (2002). Jaring-Jaring Kehidupan. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru

Tanggung jawab cendikiawan, menurut Edward Said (1998), merupakan kewajiban


moral yang harus dipenuhi karena mereka merupakan individu yang mampu
mengartikulasikan pesan, pandangan, gagasan, atau filsafah kepada publik.
1. Julien Benda dengan ”La Trahison des Clercks”
Buku yang terbit untuk pertama kali di Prancis pada 1927 ini berisi sebuah renungan
mendalam tentang peran dan kewajiban para cendekiawan di tengah-tengah masyarakat.
Kemunculan esai ini bermula dari sebuah peristiwa (disebut "L'Affaire Dreyfus") yang
menggemparkan masyarakat Prancis pada tahun 1894, sewaktu seorang perwira Prancis
berdarah Yahudi, Dreyfus, diadili atas tuduhan menjual rahasia militer kepada dinas intel
Jerman. Dreyfus dinyatakan bersalah dan dibuang selama sepuluh tahun.
Sebagai reaksi terhadap pengadilan yang tidak adil itu, sejumlah cendekiawan -- antara
lain Emile Zola -- bangkit dan mengumumkan sebuah "Manifes Para Intelektual". Dengan
manifes itulah para cendekiawan (yaitu para ilmuwan, seniman, dan filosuf) untuk pertama
kali menyatakan diri sebagai sebuah golongan masyarakat. Peristiwa ini pulalah yang
kemudian mendorong Benda untuk memikirkan hubungan kaum cendekiawan itu dengan
negara, dengan kaum militer, dan dengan dunia politik.
Roy Eyerman mencoba menjernihkan pemahaman kita mengenai proses menjadi
cendekiawan. Dalam fenomena kontekstualisasi historis, misalnya, posisi cendekiawan ada
yang muncul dari pihak negara atau kerajaan dan ada pula kelompok cendekiawan yang
berkembang karena panggilan sejarah dari massa rakyat dalam hubungannya dengan kelas
menengah. Rusia pada masa Peter Agung (awal abad ke-19) bisa dijadikan contoh bagaimana
sekelompok cendekiawan yang dibentuk atas restu Kaisar tentu saja berkepentingan dan
digunakan posisinya untuk mendukung dan menjalankan misi dari negara. Baru setelah satu
dan dua generasi kemudian muncul kaum cendekiawan yang makin terdiversifikasi posisinya
dan semakin berfungsi kritis serta menjadi jembatan pendidik massa rakyat dan kelas
menengah lainnya. (12) (12) Roy Eyerman (1994), Between Culture and Politics Intellectuals in Modern
Society
Istilah cendekiawan atau padanannya intellectual dalam bahasa asing, untuk pertama kali
muncul di penghujung abad ke-19 di Barat, untuk memberi sebutan kepada sekelompok elite
yang mematuhi kaidah-kaidah tertentu sebagai panutan dalam kehidupan masyarakat,
terutama dalam menghadapi pelbagai persoalan fundamental yang perlu ditanggapi secara
fundamental pula.
Di Barat sana, kehadiran kaum cendekiawan sebagai tokoh masyarakat, seperti dikatakan
J.P. Nettl, berkaitan erat dengan budaya (nilai, norma, gagasan) dan konflik, yaitu hal-hal
yang juga terjadi di sini, bahkan di mana pun. Selama ada orang-orang yang berusaha
mengubah sistem nilai dengan jalan mengatur ulang prioritas dari komponen-komponennya,
kerap muncul konflik antara gagasan-gagasan (ideas), dan konflik macam itu lantas
menemukan gema strukturnya yang khas; di Yunani Purba, misalnya, berbentuk transformasi
intelektual dari sistem kepercayaan ideal menjadi gerakan sosio politis; di Rusia berupa
perubahan revolusioner kekuasaan dari kekuasaan ortodoks ke diktator proletar.
Julien Benda memosisikan seorang cendekiawan dalam sosok yang ideal, yaitu seseorang
yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan
atas renungan metafisika, dan bukan hendak mengejar tujuan-tujuan praktis. Mereka itu,
dalam pandangan Benda, adalah para ilmuwan, filosuf, seniman, dan ahli metafisika yang
menemukan kepuasan dalam penerapan ilmu, bukan dalam penerapan hasil-hasilnya.
Para cendekiawan zaman dulu adalah moralis yang aktivitasnya merupakan perlawanan
terhadap realisme massa. Benda memaknai kecenderungan tersebut sebagai kecenderungan
awam untuk menuruti kehendak-kehendak pribadi yang sifatnya sesaat.
Karena peran kaum cendekiawan inilah, menurut Benda, walaupun selama 2.000 tahun
umat manusia berbuat jahat, mereka tetap menghormati yang baik. Namun, ujar Benda, sejak
akhir abad ke-19, semuanya praktis berubah. Kini, mereka berbalik menggelorakan dan
memuaskan gairah-gairah politik, dan menjungkirbalikkan tatanan moral.
Sekarang, mayoritas kaum sastrawan, ilmuwan, filosuf, dan ulama, ikut serta dalam
paduan suara kebencian rasial dan kelas, serta turut mendukung gairah yang menuju pada
cauvinisme, fanatisme yang memicu terjadinya perang, xenobia, sebagaimana tercermin
dalam pikiran Nietzsche, Georges Sorel, dan Bergson, yang mementingkan keperkasaan serta
mengagungkan sikap kekerasan, mendapat tempat persemaian yang lapang. Dengan
munculnya fenomena semacam ini, maka menurut Benda, para cendekiawan tadi telah
kehilangan "kecendekiawanan"-nya dan menjadi tidak berbeda lagi dengan kaum awam.
Pembalikan peran atau fungsi inilah yang oleh Benda kemudian ditengarai sebagai
"pengkhianatan kaum cendekiawan
Begitulah Julien Benda. Meski La Trahison des Clercs ini ditulis 77 tahun lalu, namun
getaran semangatnya masih sangat relevan untuk memikirkan, merefleksikan, dan menilai
ulang eksistensi dan situasi para cendekiawan kita di Indonesia, tentang peran mereka dalam
masyarakat, tentang kewajiban mereka terhadap bangsa, dan tentang hubungan mereka
dengan negara. (13) (13) Tulisan Drs. Alex Sobur, M.Si, dosen bidang kajian ilmu jurnalistik Fikom
Unisba, mahasiswa program doktor BKU Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Unpad. Pikiran Rakyat, 16
Juli 2004.

Kaitan antara kaum cendikiawan dengan identitas nasional, atau nasionalisme


(elaborasi):

“…dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang
seharusnya dikatakan tetapi ia menghindari mengatakannya…” (Edward W. Said)

Edward W. Said lebih menyukai batasan cendekiawan yang diberikan Antonio Gramsci
dalam bukunya Selection from Prison Notebooks (1978). Gramsci mengatakan, "Semua
manusia adalah cendekiawan (intelektual), namun tidak semua orang dalam masyarakat
memiliki fungsi cendekiawan." Gramsci mengelompokkan dua jenis cendekiawan.

Pertama, cendekiawan tradisional semacam guru, ulama, dan para administratur. Mereka ini
secara terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua,
cendekiawan organik, yaitu kalangan profesional. Menurut Said, definisi Gramsci ini lebih
dekat kepada realitas daripada konsepsi Julien Benda, terutama pada akhir abad ke-20 ketika
muncul begitu banyak profesi baru

Apa dan siapa cendekiawan itu? Jawaban yang kita peroleh tak pernah seragam. Namun, satu
hal yang menarik ketika kita membincangkan ihwal cendekiawan adalah karena dengannya
kita seolah diajak untuk bersolek di depan cermin. Kita diminta untuk selalu memandang dan
menyadari bahwa di depan kita hadir sebuah wajah yang senantiasa berubah keberadaannya,
wajah manusia. Mau tak mau, memang, membicarakan golongan berlabel cendekiawan
mengharuskan kita memperhatikan jati dirinya yang paling asal, sebagai manusia, sebagai
pribadi, bukan sebagai kolektiva.
"Memberikan nama atau predikat kepada seseorang sebagai cendekiawan merupakan suatu
self-definition, yakni mendefinisikan diri sendiri," demikian tulis Zygmunt Bauman (1987).
Yang ia maksudkan adalah bahwa biasanya para cendekiawanlah yang menulis mengenai
cendekiawan lain. Boleh jadi, pendapat ini ada benarnya, khususnya bila seseorang
menyetujui bahwa para cendekiawan adalah mereka yang menulis buku-buku dan artikel-
artikel ilmiah. Jika pendapat itu kita terima, maka tentu terjadi banyak upaya untuk
mendefinisikan diri sendiri, dan bukannya untuk mengerti diri sendiri.

Menurut EWS, dengan mengutip dan memperbandingkan beberapa pendapat pakar filsafat,
para intelektual adalah pencipta bahasa –dalam arti dia merupakan penyampai dan tukang
publikasi dari segala ide yang menuju ke perbaikan kemaslahatan umum. Namun, catatan
penting dari EWS, kaum intelektual bukan hanya sebagai boneka atau juru bicara semata.

Intelektual adalah figur representatif dari persoalan - persoalan itu sendiri. Saya simpulkan,
bahwa kaum intelektual harus menapakkan makna terhadap apa yang dilontarkan. Ya.
Makna. Karena kaum intelektual adalah kaum yang membangun kesadaran manusia lainnya,
untuk itu dia butuh ‘makna’. Dalam tulisan EWS, dia mengutip pendapat Julien Benda yang
kondang itu, namun, saya malah sengaja menyejajarkan dengan pandangan - pandangan Ali
Syari’ati, jagoan intelektual muslim - pemikir revolusioner asal Iran. Syari’ati seringkali
‘membebankan’ perjuangan terlalu berlebihan kepada kaum intelektual atau cendekiawan,
yang dalam pendapat Syari’ati disebut dengan ‘raushanfikr’.

Menurut Syari’ati, dalam suatu masyarakat yang tengah berjuang untuk menjadi ideal
membutuhkan tokoh intelektual yang mampu melontarkan pemikiran, menyadarkan
masyarakat, merintis ideologi masyarakat, dan menggerakkan masyarakat tersebut untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik. Membangun kesadaran biasanya akan kontradiktif
dengan posisi status quo. Dan dalam dunia ini tauladan intelektual versi Syati’ati adalah
Muhammad pendakwah Islam.

EWS juga mengingatkan bahwa posisi kaum intelektual selalu berada di jurang yang curam.
Pernyataan yang cukup mengganjal. Karena selalu berpikir kritis dan mendasar maka posisi
kaum intelektual adalah cenderung beroposisi ketimbang akomodasi. Walau bagi saya hal ini
terlalu berat, namun EWS memastikan hal itu. Pasti. Intelektual cenderung tidak akomodatif.
Dan, karena tuntutan untuk ‘tidak sekedar berbicara’, melainkan harus bertindak dan
bergerak sebagai rentetan aksi ideologi, maka konsekwensi oposisi ini semakin berat,
setidaknya bagi saya. Namun, sekali lagi EWS memastikan. EWS mencontohkan posisi non-
akomodatif seorang intelektual Italia bernama Gramsci yang berlangganan dipenjara oleh
Mussolini.

Komposisi oposisi ini semakin menjengkelkan karena ternyata –menurut Julien Benda dan
diamini dengan lantang oleh EWS, jumlah kaum intelektual ini tidak pernah banyak alias
sedikit sekali. Sedikit, tetapi harus memberikan penetrasi kepada persoalan sosio-kultur,
sekaligus menggagas ide, menyadarkan secara kolektif, dan menggerakkan.Tolong cocokkan
dengan komunitas sekitar anda ihwal minoritas ini. Minoritas yang menggerakkan, oposisi.
Dengan segala kondisi itulah, maka dugaan bahwa setiap revolusi pasti terkait dengan peran
intelektual, demikian juga keterlibatan kaum intelektual dalam segala pancaroba revolusioner
dan atau kontra-revolusi, pastilah tidak bisa dihindarkan lagi.
Mengutip pendapat C.Wright Mills, EWS menyampaikan bahwa peran intelektual saat ini
adalah menyingkap topeng dan menghancurkan visi stereotip dan intelek dengan mana
komunikasi modern membanamkan kita.

Namun, kenapa terjadi pembalikan peran? Tampaknya dunia modern, seperti ditunjukkan
Benda, telah menjadikan cendekiawan sebagai "warga negara," yang dibebani dengan segala
kewajibannya. Maka itu, lebih sulit bagi mereka untuk menolak gairah-gairah awam. (14) (14)
Haris Fauzi, Majalah Solid, Situs Keluarga, Kolom KENISAH, 71 Desember 2007

Kasus Indonesia, zaman Orde Baru dikenal „Mafia Berkeley“, juga pada Orde
berikutnya golongan intelektual dimanfaatkan (Komperatif) :

Julien Benda, penulis buku klasik, Pengkhianatan Kaum Intelektual, membagi masyarakat
dalam dua bagian yang tidak bersentuhan sama sekali (Dhakidae, 2003). Pertama adalah
cendekiawan yang dipandang sebagai golongan yang mendedikasikan hidupnya dalam
pencarian kebenaran-utama. Mengikuti prinsip yang dikembangkan dalam metode ilmiah,
pencarian terhadap kebenaran menjadi tujuan utama. Karena itu, cendekiawan dipandang
bukanlah orang yang mengejar kepentingan duniawi. Cendekiawan tidak tergoda oleh
nikmatnya kekayaan dan manisnya kekuasaan. Justru sebaliknya, mereka mencari kebenaran
di dalam kesederhanaan.
Golongan kedua adalah kaum awam yaitu mereka yang seluruh hidupnya terikat kepada
fungsi mengejar kepentingan material dan duniawi. Termasuk dalam golongan ini adalah
pedagang, politikus, dan masyarakat biasa. Oleh Julien Benda, kaum awam ditempatkan pada
posisi yang lebih rendah daripada cendekiawan. Karena itu, intelektual yang mengabdi
kepada kaum awam, terutama penguasa, dianggap pengkhianat. Mereka mengkhianati tujuan
hidupnya dan mengingkari posisi kelasnya yang terhormat.

Benda menempatkan cendekiawan dalam posisi yang sangat tinggi, bahkan nyaris absolut.
Tetapi, realitasnya tidak hitam putih seperti yang ditulis oleh Julien Benda. Pencarian
kebenaran yang menjadi obsesi oleh kaum cendekiawan sejatinya tidak berada di ruang
hampa. Pengembangan ilmu pengetahuan membutuhkan campur tangan kekuasaan. Karena
itu, sesungguhnya kekuasaan politik, dalam tingkatan tertentu, turut menentukan kebenaran
itu sendiri.

Peran Intelektual Indonesia


Zaman Kolonial Pasca Kemerdekaan Orde Lama Orde Baru
Kaum Cendikia Terjadi pergeseran Kaum cendikiawan Para intelektual
(intelektual posisi kaum intelektual terimbas dengan terbagi menjadi dua
Organik) muncul yang praktis menjadi pemimpin Negara bagian, yang
yang terdiri dari penguasa, mereka (Soekarno). Para menang menuju
elite pribumi memainkan peranan cendikian menjadi akses kekuasaan.
yang berprofesi baru dengan semangat pemberontak/simpatis Intelektual masuk
dokter, sarjana berlebih. Mereka an karena otoriternya dalam dunia politik
hokum, insinyur, tampil lebih populis dari kepemimpinan dan masuk dalam
mahasiwa, dll dan merasa lebih Negara. birokrasi.
memelopori teremban untuk Tak terhitung jumlah Intelektual
pergerakan mencerdaskan dan para cendikia yang teranggas dengan
nasional untuk memajukan rakyat, kehilangan nyawa, eufisme dan
kemerdekaan mereka umumnya tetap dibui atau pergi ke kehipokritan
tampil sebagai benteng pengasingan Intelektual
akal sehat yang bias Independen masih
kritis terhadap ada (YB
kekuasaan itu sendiri Mangunwijaya,
Arief Budiman,
Goerge Junus
Aditjondro
Tokoh : Wahidin, Tokoh : Sjahrir, Tokoh : Sjarifuddin P, Tokoh : Widjojo
Tjipto, Sutomo, Soedjatmoko, Natsir, Hatta, dan Nitisastro, Ginanjar
dll Soemitro, dll Soemitro Kartasasmita,
Djojohadikusumo Daoed Joesoef,
Fuad hasan
(15) www.yahoo.com. Tersedia dalam diosdias wordpress.com. Diakses tanggal 29 November 2007

Tentu masih segar dalam ingatan kita pengalaman di bawah pemerintahan Orde Baru yang
represif.
”Mafia Berkeley” muncul dari perdebatan pola industrialisasi yang akan di pakai oleh bangsa
Indonesia. Seorang ekonom California yaitu Berkeley memberikan gambaran dan contoh
transformasi ekonomi AS bukanlah di awali dengan landasan terjadinya pergeseran struktural
dari sektor pertanian ke industri dalam bentuk tenaga kerja dan output nasional, melainkan
dilandasi oleh adanya proses yang mendorong peningkatan produktivitas di sektor pertanian
secara luar biasa. Sektor pertanian secara sengaja telah dijadikan sebagai sektor inti (core
sector). Sebagai sektor yang dinamis, sektor pertanian telah menjadi aktor utama yang
mendorong ekspansi industri-indudtri hulu dan hilir di sektor manufaktur. Sebagian besar
ekonom di Indonesia yakin bahwa peningkatan produktivitas sekotr pertanian merupakan
prasyarat bagi keberhasilan industrialisasi. Skenario produktivitas pertanian yang meningkat
akan menciptakan permintaan awal (input) bagi barang-barang industri. (16) (16) Dr. Ahmad
Erani Yustika, 2007 ; Perekonomian Indonesia, Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi – BPFE _ UNIBRAW.
Ekonom yang mendukung pola industrialisasi atas pendapat Berkeley, akhirnya mereka
disebut sebagai ”mafia Berkeley”.
Kekuasaan turut menentukan apa yang boleh dipelajari, apa yang dilarang. Saat itu
bahkan intelijen bisa hadir di ruang kelas, mengikuti ceramah akademis dan ikut menentukan
buku apa yang boleh dan harus dibaca. Intervensi kekuasaan juga berimplikasi pada
pendanaan. Topik penelitian yang disukai oleh penguasa akan mendapat kucuran dana besar.
Sebaliknya, gagasan yang berseberangan atau paradigma yang berlawanan, tidak akan
mendapat dukungan pendanaan yang memadai.
Oleh sebab itu, posisi cendekiawan tidaklah setinggi seperti yang digambarkan oleh
Julien Benda. Bahkan cendekiawan kerap menjadi bagian dari aparatur kekuasaan. Apalagi
kekuasaan juga beroperasi, salah satunya, melalui bahasa sehingga keberadaan cendekiawan
sangat diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan.
Tentang cendekiawan, Daniel Dhakidae memberikan gambaran yang lebih realistis
tentang cendekiawan. Menurutnya, cendekiawan merupakan hasil dari suatu pola hubungan
antara modal, kekuasaan, dan kebudayaan. Karena itu, meskipun cendekiawan adalah anak
kandung kebudayaan, eksistensinya tidak bisa dipisahkan dari modal dan kekuasaan
(Dhakidae, 2003). Mengikuti pengertian ini, cendekiawan yang menjadi bagian dari
kekuasaan, dapat dengan mudah tergelincir untuk menyalahgunakannya. Termasuk
melakukan korupsi. (17) (17) www.republika.co.id. Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 4 Mei 2005
Di awal-awal masa reformasi 1998-an yang lalu, negeri kita sebenarnya telah
melahirkan banyak cendekiawan generasi baru. Mereka kemudian tergabung dalam
kelompok atau organisasi cendekiawan. Mereka tampil "cantik" lewat panggung-panggung
media. Mereka berdebat di forum-forum seminar. Mereka semua berangkat dengan tujuan
yang sama, menyuarakan nurani rakyat.
Kini, kemudian, kita tahu. Para cendekiawan ramai-ramai membangun partai. Sebuah
organisasi kaum cendekiawan berubah menjadi partai politik, mungkin tidaklah aneh.
Terlebih lagi jika sejak awal mula kelahirannya, kecenderungan ke arah itu sudah tampak.
Kalau organisasi kaum cendekiawan berubah menjadi partai politik, semua itu sah-sah saja.
Masing-masing individu cendekiawan bergabung ke partai politik tertentu, juga boleh-boleh
saja.
Namun, peralihan pemihakan dari soal ilmiah maupun segi-segi sosial dalam hidup
rakyat ke praksis politik, seperti terjadi belakangan ini, tampaknya tak bisa diberi makna lain
kecuali bahwa itu berarti tak ada lagi orang mau peduli akan hidup rakyat.
Pergeseran peran dan orientasi kultural kaum cendekiawan menjadi mesin-mesin
partai politik berarti juga sebuah pergeseran bahwa rakyat memang tak lagi punya kawan.
Rakyat tak punya lagi pendamping yang bersedia membela mereka secara gigih. Ketika kaum
cendekiawan makin tak peduli atas nasib rakyat, mereka harus berjuang atau membela nasib
sendiri.

Tak perlu kita mungkiri, lewat partai politik orang bisa meraih cita-cita politiknya
untuk melakukan mobilitas sosial. Bila ditanya secara terbuka dan kaum cendekiawan mau
bicara jujur, jalur politik memang lebih mereka sukai. Barangkali cuma sedikit cendekiawan
yang tetap sabar berjuang di jalur ilmiah dan berani hidup jauh dari partai politik. Mereka
yang memiliki naluri politik, dan sebab itu besar pula ambisi politiknya, jelas akan
menganggap jalan politik seperti itu paling strategis bagi perjuangan mereka. Mereka pura-
pura lupa, atau pura-pura tidak tahu bahwa bila tujuan politik kita tercapai, kita lantas diam.
Mereka pura-pura tidak tahu bahwa jalan politik pada batas tertentu merupakan jalan buntu.
Wadah politik memang mendekatkan mereka ke kekuasaan. Namun ia juga hampir otomatis
menjauhkan diri dari rakyat.

Apabila kaum cendekiawan sudah berketetapan hati untuk masuk dalam jaring-jaring
partai, maka kita sudah bisa menduga-duga bahwa di dalam partai politik mereka akan lebih
suka diam, apalagi jika mereka leluasa menikmati fasilitas partai maupun kemewahan.

Jika kaum cendekiawan kita rame-rame menjadikan dirinya sebagai komoditas


politik; jika kaum cendekiawan kita sudah pada banyak berharap memperoleh keuntungan
politis yang jelas buat diri sendiri maupun kelompoknya; dan jika akhirnya kemudian kaum
cendekiawan kita sudah kehilangan kekuatan kultural dan jati dirinya; lantas, siapa lagi yang
akan memainkan peran sebagai penjaga hati nurani masyarakat? Siapa lagi yang akan berdiri
dalam posisi memberi kontrol atas jalannya proses politik?

Pemilihan Umum 1999 diselenggarakan oleh KPU yang beranggotakan perwakilan


partai politik. Dalam perjalanannya, KPU justru sering terperosok dalam konflik tiada akhir
di antara anggotanya. Klimaksnya, hasil akhir dari Pemilu 1999 tidak ditentukan oleh KPU
yang gagal menyatukan suara, melainkan oleh Presiden Habibie waktu itu.

Pada saat yang sama, berbagai dugaan korupsi merebak dalam pengadaan barang dan
jasa di KPU. Korupsi diduga terjadi pada hampir seluruh pengadaan material untuk pemilu.
Alih-alih mendapatkan harga murah dan menghemat keuangan negara, anggota KPU justru
memberikan kontrak kepada pengusaha dekatnya. Karena korupsi, dua mantan anggota KPU
telah divonis bersalah oleh pengadilan. Belajar dari pengalaman, KPU pun diubah.
Anggotanya bukan lagi perwakilan dari partai politik tetapi tokoh masyarakat yang
independen. Diharapkan, mereka menjadi wasit yang adil bagi partaipolitik yang
berkompetisi. Dalam situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan dan aktivis berhasil menjadi
anggota KPU. Masuknya cendekiawan dalam KPU tidak bisa dilepaskan dari pandangan
yang menempatkan kaum intelektual pada posisi tinggi dan terhormat dimasyarakat. Para
pencari kebenaran sejati itu dianggap tidak memiliki hasrat politik untuk berkuasa dan
menimbun harta. Apalagi sebagian di antaranya masih aktif di dunia akademis. Dunia yang
sangat mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan etos kerja keras. Karena itu, beranggotakan
cendekiawan, KPU diharapkan menjadi wasit yang adil dan bersih.

Pemilu 2004 berjalan dengan lancar. Bahkan ancaman munculnya konflik horizontal
tidak terjadi selama proses pemilu. Dari sisi penyelenggaraan, KPU patut mendapat
penghargaan. Tetapi keberhasilan menyelenggarakan Pemilu 2004 ternoda oleh dugaan
korupsi. Seperti kejadian dalam Pemilu 1999, korupsi diduga mewarnai pengadaan barang
dan jasa di KPU. Bahkan situasinya lebih buruk, anggota KPU nan terhormat justru
tertangkap basah melakukan penyuapan.
Seakan tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, ada sejumlah penjelasan mengapa KPU
bisa jatuh dalam praktik korupsi. Pertama, korupsi pada dasarnya merupakan penyalahgunaan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Karena itu, korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka
yang memegang kekuasaan. Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula godaan untuk
melakukan korupsi. Dalam konteks ini, cendekiawan yang menjadi anggota KPU memegang
kekuasaan yang amat besar dan dengan mudah tergoda untuk menyalahgunakannya.

Kedua, korupsi sering kali tidak terjadi dan dilakukan secara telanjang, seperti
mengambil uang di atas meja. Korupsi dilakukandalam birokrasi dengan segala prosedurnya
dan terjadi tanpa disadari. Seolah-olah dana yang mengalir ke kantong adalah harta yang sah.
Karena itu, diperlukan keahlian teknis pada bidang-bidang khusus untuk bisa mencegah
terjadinya korupsi. Dalam konteks ini, korupsi di KPU terjadi karena absennya sistem
integritas. (18) (18) www.republika.co.id. Diakses tanggal 28 November 2007 J Danang Widoyoko, anggota
Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW))

Pendidikan IPS

Pendidikan IPS adalah suatu program pendidikan yang memilih bahan pendidikan dari
disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniti, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Berdasarkan pengertian ini ditunjukkan
bahwa salah satu ciri utama pendidikan IPS adalah kerjasama disiplin ilmu pendidikan
dengan disiplin ilmu-ilmu sosial.

Secara ideal, Djahiri (1993) mengkonsepsikan program Pendidikan IPS yang: (a) secara
kognitif melatih dan membekali anak didik dengan conceptual-knowledge yang layak,
kemampuan berpikir dan memecahkan masalah yang cukup; (b) secara metacognitive-
awareness and skills membekali kemampuan penalaran dan belajar yang luas; (c) secara
moral-afektual membina perbekalan tatanan nilai, keyakinan dan keadilannya maupun
pengalaman dan kemampuan afektual siswa; dan (d) secara sosial membina ketegaran akan
harga diri dan self-concept serta kemampuan melakukan interpersonal relationship.
Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas
hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat (Preston,
1968).
Mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat dengan berbagai aspeknya, tentu tidak
dapat dipisahkan seperti ilmu-ilmu sosial yang membahas dari berbagai sudut pandangnya,
seperti sejarah, geografi, psikologi, ekonomi politik, dan sebagainya. Bahkan MM Ohlsen
(dalam Vembriarto; 1979) menegaskan eratnya hubungan Pendidikan IPS dengan ilmu-ilmu
sosial, bahwa Pendidikan IPS merupakan keterpaduan dari berbagai ilmu sosial, termasuk
geografi, sejarah dan kewarganegaraan. Demikian juga Kenworthy (1973) menegaskan
bahwa pada kenyataannya dapat disebutkan bahwa antropologi dan sosiologi, ilmu ekonomi,
geografi, ilmu politik, sejarah, psikologi merupakan lapangan Pendidikan IPS. Disebutkan
pula bahwa Pendidikan IPS berhubungan erat dengan seni dan musik, agama dan filsafat serta
ilmu-ilmu lain.

Dengan banyaknya ilmu-ilmu sosial yang tercakup dalam Pendidikan IPS, tidak berarti
bahwa Pendidikan IPS adalah penjumlahan dari bermacam-macam ilmu sosial tersebut,
namun suatu pembelajaran tentang hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang lain,
serta menolong siswa mengembangkan kompetensi dan sikap menjadi warga negara dalam
masyarakat bebas, dengan menggunakan bahan dari berbagai ilmu sosial untuk memahami
masalah-masalah sosial (Gross, 1979).

Pada dasarnya Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan dari materi ilmu-ilmu sosial untuk
keperluan pembelajaran di sekolah. Dengan penyederhaan materi tersebut, maka para siswa
dengan mudah dapat melihat, menganalisis dan mamahami gejala-gejala yang ada dalam
masyarakat lingkungannya. Konsep utama Pendidikan IPS menurut Yusnidar (1987) adalah
interaksi individu dengan lingkungannya. Sedangkan pembelajaran Pendidikan IPS
mempergunakan pendekatan integratif.

Tujuan Pendidikan IPS dapat dikelompokkan menjadi empat kategori berikut ini. Knowledge,
yang merupakan tujuan utama Pendidikan IPS, yaitu membantu para siswa belajar tentang
diri mereka sendiri dan lingkungannya. Hal-hal yang dipelajari sehubungan dengan ini adalah
geografi, sejarah, politik, ekonomi, antropologi dan sosiopsikologi. Keterampilan, yang
berhubungan dengan tujuan Pendidikan IPS, dalam hal ini mencakup keterampilan berpikir
(thinking skills). Attitudes, dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sikap yang
diperlukan untuk tingkah laku berpikir (intelectual behaviour) dan tingkah laku sosial (social
behaviour). Value, dalam hubungan ini, adalah nilai yang terkandung dalam masyarakat yang
didapatkan dari lingkungan masyarakat sekitar maupun lembaga pemerintahan (falsafah
bangsa). Termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kepercayaan, nilai ekonomi, pergaulan
antarmanusia, ketaatan pada pemerintah, hukum, dan lain-lain.

Sedangkan tujuan utama Pendidikan IPS adalah untuk melatih siswa dapat bertanggung
jawab sebagai warga negara yang baik (Gross, 1978). Di samping itu juga untuk menolong
anak dan pemula untuk dapat aktif berpengetahuan, menjadi manusia yang mampu
beradaptasi, mampu berfungsi dan berperan dalam menghadapi seluruh kehidupannya dan
mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya lewat kegiatan pembelajaran
Pendidikan IPS di SD (Joyce, 1979).

Terdapat beberapa orientasi Pendidikan IPS, yang sebenarnya dari waktu ke waktu akan
berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu pertama, menanamkan etika sosial,
dengan mengupayakan peserta didik agar berperilaku sesusai dengan norma-norma dan nilai-
nilai yang berlaku, seperti berkelakuan baik, berani membela kebenaran dan keadilan, bekerja
sama, suka menolong, dan sebagainya. Kedua, orientasi nilai disiplin ilmu yang dapat
memperkuat orientasi pertama tadi. Dalam orientasi ini, ilmu-ilmu variabel-variabelnya,
dengan hukum-hukumnya, sehingga terjadi peristiwa sosial tertentu.

Ketiga, orientasi keterampilan teknik dan partisipasi sosial dalam kehidupan sosial di tempat
mereka berada. Dari praktek kehidupan nyata itulah siswa belajar lebih jauh, sehingga
akhirnya mereka lebih adaptif terhadap kehidupan yang senantiasa berubah. Keempat,
orientasi kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi, yang diperlukan setelah siswa
mampu berpartisipasi aktif. Dalam hal ini maka tindakan orang yang mengalami PIPS dengan
tidak akan berbeda. Mereka mampu berinovasi dalam memperbaiki kualitas hidupnya,
bahkan juga masyarakatnya ke arah yang lebih baik (Achmad Sanusi, dalam Akub Tisna
Somantri, 1993).

Pendidikan IPS di SD merupakan bidang studi yang mempelajari kehidupan sosial yang
didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara dan
sejarah. Pendidikan IPS yang diajarkan di SD sebagaimana diungkapkan di atas terdiri dari
dua bahan kajian pokok: pengetahuan sosial dan sejarah. Bahan kajian pengetahuan sosial
mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi dan pemerintahan, sedangkan bahan kajian
sejarah meliputi perkembangan masyarakat Indonesia sejak lampau hingga kini.

Adapun fungsi Pendidikan IPS di SD ialah mengembangkan pengetahuan dan keterampilan


dasar untuk melihat kenyataan sosial yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan pengajaran sejarah berfungsi menumbuhkan rasa kebangsaan dan kebanggaan
terhadap perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa lalu hingga masa kini. Pendidikan
IPS di SD bertujuan agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran sejarah bertujuan
untuk mengembangkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa
lalu hingga kini agar siswa memiliki kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia dan cinta tanah
air (Kurikulum Pendidikan Dasar, 1994/1995).

Pembelajaran Pendidikan IPS di Sekolah Dasar

Pembelajaran IPS di sekolah dasar bersifat integratif, materi yang dibelajarkannya merupakan
akumulasi sejumlah disiplin ilmu sosial (Martorella, 1985). Pembelajaran IPS pun lebih
menekankan aspek "pendidikan" daripada "transfer-konsep", karena melalui pembelajaran
IPS siswa diharapkan memahami sejumlah konsep, dan melatih sikap, nilai, moral, dan
keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Hakikat belajar adalah suatu
aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar.
Perubahan tingkah laku terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar
mempengaruhi oleh berbagai faktor, yakni bahan yang dipelajari, faktor-faktor instrumental,
faktor-faktor lingkungan, dan kondisi individual si pelajar (Depdikbud, 1983).

Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan dalam proses
belajar, bahwa masukan untuk sistem belajar terdiri atas orang, informasi, dan sumber
lainnya. Sedangkan keluarannya berupa siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam
berbagai aspek. Di antara masukan dan keluaran terdapat kotak hitam yang berupa proses
pembelajaran atau pendidikan. Reigeluth (1983) secara lebih spesifik menyoroti tentang
variabel-variabel pembelajaran yang meliputi tiga komponen: metode, kondisi, dan hasil-
hasil. Metode merupakan cara menyampaikan isi pesan kepada peserta didik untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Kondisi pembelajaran mencakup karakteristik siswa,
lingkungan belajar, bahan pembelajaran dan tujuan kelembagaan. Sedangkan hasil-hasil
pembelajaran menggambarkan apa atau seberapa jauh tujuan-tujuan pembelajaran telah
dicapai.

Pembelajaran sebagai suatu proses, menurut Surya (1982) melandaskan diri kepada prinsip-
prinsip: (1) sebagai usaha memperoleh perubahan tingkah laku; (2) hasil pembelajaran
ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan; (3) merupakan suatu proses; (4)
terjadi karena adanya sesuatu pendorong dan tujuan yang akan dicapai; dan (5) merupakan
bentuk pengalaman.

Sedangkan ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar, meliputi
perubahan intensional, perubahan positif dan aktif, perubahan efektif dan fungsional (Surya,
1982). Perubahan intensional mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya
perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya ia merasakan adanya perubahan dalam
dirinya. Perubahan bersifat positif, artinya bermanfaat dan sesuai dengan harapan. Juga
berarti bahwa perubahan itu senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnya sesuatu
yang baru dan lebih baik daripada yang telah diperoleh sebelumnya. Sedangkan aktif berarti
bahwa perubahan itu terjadi tidak dengan sendirinya, tetapi lebih karena usaha siswa itu
sendiri. Sedangkan perubahan yang bersifat efektif artinya berdayaguna, membawa pengaruh,
makna, dan manfaat tertentu bagi siswa. Bersifat fungsional artinya bahwa hasil dari
perubahan itu relatif menetap, dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan itu dapat
direproduksi dan dimanfaatkan.

Kombinasi antar-variabel pembelajaran, khususnya karakteristik siswa dan metode yang


digunakan, akan menghasilkan keluaran berupa siswa dengan ketiga bentuk perubahan tadi
yang mencakup ranah-ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik (Bloom, 1974) sebagai akibat
pengalaman belajar. Untuk mengukur efektivitas metode tertentu dihubungkan dengan
karakteristik siswa, dapat dilakukan dengan cara mengukur penampilan siswa setelah belajar.

Wahab, et al (1986) menyatakan, guru IPS dalam merencanakan pelajaran dapat menciptakan
suasana yang demokratis-kreatif, di mana siswa terlibat secara aktif sebagai subjek maupun
objek pelajaran. Pengertian belajar demokratis ini dapat diartikan sebagai suatu upaya
merubah diri siswa dalam meningkatkan kemampuan siswa sesuai dengan potensi dan
minatnya. Apapun strategi belajar-mengajar yang dipergunakan dalam proses belajar
mengajar haruslah diusahakan agar kadar keterlibatan mental siswa setinggi mungkin.

Lebih jauh Djahiri (1993) mengemukakan bahwa kualitas suatu pengajaran diukur dan
ditentukan oleh sejauh mana kegiatan belajar-mengajar tertentu dapat merupakan alat
perubah tingkah laku individu ke arah yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Sehubungan dengan itu maka guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar di kelas
hendaknya mampu mengembangkan pola interaksi antara berbagai pihak yang terlibat di
dalamnya. Guru harus pandai memotivasi siswa untuk terbuka, kreatif, responsif, interaktif,
dan evaluatif.

Dalam konteks tersebut model pembelajaran role playing dapat dijadikan salah satu alternatif
selain metode ceramah yang hampir dijadikan sebagai satu-satunya metode pembelajaran IPS
di sekolah dasar. Menurut Wahab, et.al. (1986) banyak alasan mengapa metode ceramah
menjadi sangat terkondisi dalam proses belajar-mengajar, di antaranya ialah: (1) mengikuti
kebiasaan umum yang lazim menggunakannya; (2) kebiasaan yang telah membaku (inheren)
pada diri guru; (3) pertimbangan praktis, murah, mudah, cepat, dan tidak memerlukan
fasilitas yang banyak; (4) kurangnya waktu dan jumlah program; dan (5) tidak mengetahui
cara menggunakan metode lainnya.

Model Role Playing

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa penggunaan model ini dalam rangka mencapai
tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Zuhaerini (1983) mengemukakan bahwa tujuan
penggunaan model ini dalam proses belajar mengajar antara lain:

1. Apabila pelajaran dimaksudkan untuk menerangkan suatu peristiwa yang didalamnya


menyangkut orang banyak dan berdasar pertimbangan didaktis, lebih baik
didramatisasikan, daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh
anak.

2. Apabila pelajaran dimaksudkan untuk melatih anak-anak agar mereka mampu


menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat sosial psikologis.

3. Pelajaran dimaksudkan untuk melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan
memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.

Ada empat asumsi yang mendasari model mengajar ini yang kedudukannya sejajar dengan
model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: Pertama, secara implisit
bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan
dimensi "di sini dan kini" (here and now) sebagai isi pengajaran. Kedua, bermain peran
memberikan kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya
yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain. Ketiga, model ini
mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian
ditingkatkan melalui proses kelompok. Keempat, model mengajar ini mengasumsikan bahwa
proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-
perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi
pemeranan secara spontan dan analisisnya.

Untuk dapat mengukur sejauhmana bermain peran memberikan manfaat kepada pemeran dan
pengamatnya ditentukan oleh tiga hal, yakni (1) kualitas pemeranan; (2) analisis yang
dilakukan melalui diskusi setelah pemeranan; (3) persepsi siswa terhadap peran yang
ditampilkan dibandingkan dengan situasi nyata dalam kehidupan. Pembelajaran dengan
model role playing dilaksanakan menjadi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut: (1) tahap
memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran; (3) menyiapkan pengamat; (4) menyiapkan
tahap-tahap permainan peran; (5) pemeranan; (6) diskusi dan evaluasi; (7) pemeranan ulang;
(8) diskusi dan evaluasi kedua; (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi.

Kemampuan Guru dalam Pembelajaran IPS

Kemampuan guru dalam arti performansi dalam pembelajaran merupakan seperangkat


perilaku nyata guru pada waktu memberikan pelajaran kepada siswanya (Johnson, dalam
Natawidjaya, 1996). Menurut Sunaryo (1989) dan Suciati (1994), performansi guru dalam
melaksanakan proses pembelajaran mencakup tiga aspek, yaitu membuka pelajaran,
melaksanakan pelajaran, dan menutup pelajaran.
Membuka pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk menciptakan suasana
kesiapan mental dan menumbuhkan perhatian siswa terhadap hal-hal yang akan dipelajari.
Dasar kesiapan mental yang dimaksud, menurut Sumaatmadja (1984) antara lain minat,
dorongan untuk mengetahui kenyataan, dan dorongan untuk menemukan sendiri gejala-gejala
kehidupan. Menurut pendapat Connel (1988), kesiapan belajar siswa meliputi kesiapan
afektif dan kesiapan kognitif. Sedangkan menurut Bruner (dalam Maxim, 1987), kesiapan
merupakan peristiwa yang timbul dari lingkungan belajar yang kaya dan bermakna,
dihadapkan kepada guru yang mendorong siswa dalam berbagai peristiwa belajar yang
menggugah.

Berdasarkan kutipan pendapat di atas, aktivitas membuka pelajaran pada hakikatnya


merupakan upaya guru menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberi acuan, dan
membuat keterkaitan. Menarik perhatian siswa dapat dilakukan antara lain dengan gaya
mengajar, penggunaan alat-bantu mengajar, dan pola interaksi yang bervariasi. Kemampuan
melaksanakan proses pengajaran menunjuk kepada sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh
guru ketika ia menyajikan bahan pelajaran. Pada tahap ini berlangsung interaksi antara guru
dengan siswa, antarsiswa, dan antara siswa dengan kelompok belajarnya. Selanjutnya,
Oregon (1977) mengemukakan pula mengenai cakupan pelaksanaan pengajaran seperti aspek
tujuan pengajaran yang dikehendaki, bahan pelajaran yang disajikan, siswa yang belajar,
metode mengajar yang digunakan, guru yang mengajar, dan alokasi waktu dalam mengajar.

Kemampuan mengakhiri atau menutup pelajaran merupakan kegiatan guru baik pada akhir
jam pelajaran maupun pada setiap penggalan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan ini
dilakukan dengan maksud agar siswa memperoleh gambaran yang utuh mengenai pokok-
pokok materi yang dipelajarinya. Menutup pelajaran secara umum terdiri atas kegiatan-
kegiatan meninjau kembali dan mengevaluasi. Meninjau kembali pelajaran mencakup
kegiatan merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, sedangkan mengevaluasi
pelajaran merupakan kegiatan untuk mengetahui adanya pengembangan wawasan siswa
setelah pelajaran atau penggal kegiatan belajar berakhir

Kemukakan tiga masalah pembelajaran yang terdapat dalam wacana di atas , pilih
salah satu yang kemudian diberikan alasan mengapa hal tersebut diidentifikasi sebagai
masalah pembelajaran Pendidikan IPS.
Jawab :
Menurut pasal 1 ayat (19) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas: Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu. Adapun prinsip-prinsip pengembangan kurikulum menurut
Sukmadinata (2001:150-154), yaitu: Prinsip-prinsip umum, meliputi relevansi, fleksibilitas,
kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip-prinsip khusus berkenaan dengan tujuan
pendidikan, isi pendidikan, proses belajar mengajar, media dan alat pengajaran, serta kegiatan
penilaian.
Selama ini pengembangan kurikulum di Indonesia lebih berorientasi pada materi (isi
kurikulum) daripada proses pembelajaran. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan di
lapangan baik dalam budaya belajar maupun dalam budaya mengajar. Permasalahan tersebut
antara lain:
a. Budaya belajar lebih berorientasi pada bentuk menghapal daripada belajar
berpikir; belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial daripada berpikir untuk
mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya; motivasi belajar hanya sekedar mendapatkan
nilai daripada mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri; belajar menerima
informasi daripada mencari, mengolah dan menggunakan informasi; belajar pasif
daripada belajar aktif; belajar santai daripada belajar kompetitif secara sehat; belajar
mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial dari pada memecahkan masalah sosial.
b. Budaya mengajar yang selama ini tumbuh di lapangan, antara lain kebiasaan
memberi matari pelajaran daripada menyajikan bahan pelajaran IPS dalam bentuk
masalah sebagai media stimulus bagi perkembangan berpikir dan nilai; kebiasaan
berperan sebagai satu-satunya sumber daya belajar daripada berperan sebagai fasilitator
belajar yang dapat memberi kemudahan belajar; kebiasaan menciptakan pola interaksi
satu arah daripada menciptakan pola interaksi komunikasi serba arah; kebiasaan
mengajarkan nilai daripada mengklarifikasi nilai; kebiasaan memberikan hapalan
daripada merangsang untuk berpikir tingkat tinggi.
Kondisi tersebut tidak/kurang mendukung pencapaian sasaran pembelajaran IPS.
Menurut Djahiri dan Ma’mun (1978:36), sasaran pengajaran IPS antara lain membina insan
sosial yang paripurna yang mampu hidup dalam arena kehidupan masyarakat serta dapat
berpartisipasi secara aktif dan penuh tanggung jawab; membina kemampuan berpikir kritis
dan mengambil keputusan-keputusan yang baik, kemampuan hidup mandiri, kemampuan
melakukan hubungan dengan sesama (berinteraksi sosial), kemampuan ekonomis yang
survive, rasa tanggung jawab sebagai insan mandiri/sosial dan politik, kemampuan teknis
dalam mempelajari sesuatu (learning how to learn). Untuk itu pengembangan kurikulum IPS
harus mengarah kepada upaya pencapaian sasaran tersebut.
Secara empirik permasalahan dalam pengembangan kurikulum IPS, di antaranya:
a. Pengembangan kurikulum IPS lebih berorientasi pada pengembangan ilmu-
ilmu sosial, ketimbang pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan
mengklarifikasi nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di masyarakat.
b. Pendekatan sentralistik dalam pengembangan kurikulum (kurikulum 1994)
pendidikan IPS mengakibatkan semakin tumbuh dan berkembangnya budaya belajar
mengajar untuk mencapai target kurikulum sebagai tuntutan kedinasan.
c. Muatan materi yang padat (kurikulum 2004) tidak diimbangi dengan alokasi
waktu yang cukup, akibatnya guru sebagai pengembang kurikulum mengalami
kesulitan dalam pembelajaran.
d. Banyak guru IPS terutama di daerah terpencil yang tidak memiliki kualifikasi
atau kelayakan untuk mengemban tugas sebagai guru IPS, sehingga mereka
mengalami kesulitan dalam mengembangkan kurikulum IPS.
Kondisi tersebut apabila terus dibiarkan akan memperlemah proses dan hasil
pendidikan IPS serta memperkokoh anggapan sementara pihak bahwa pendidikan IPS kurang
bermanfaat dibandingkan dengan MIPA. Untuk itu guru IPS harus berani mengambil
terombosan di antaranya dengan menggunakan pendekatan pengembangan berpikir dan nilai
dalam pembelajaran IPS.
Hasil penelitian dan pengkajian akademis yang dilakukan oleh Al Muchtar (2004:233-
236) merupakan gagasan inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan IPS, yaitu:
a. Pendidikan IPS memerlukan reorientasi dan transformasi dasar konseptual dari konsepsi
yang lebih menekankan pada orientasi upaya mempersiapkan peseta didik untuk
melanjutkan belajar ke perguruan tinggi dengan praktik pendidikan melatih mereka
supaya berhasil dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) kepada orientasi
yang harmonis antara mempersiapkan peserta didik untuk dapat belajar lebih lanjut
dengan membekali pengetahuan, sikap dan keterampilan sosial untuk menjalani
kehidupan di masyarakat.
b. Ketidakjelasan dasar konseptual pendidikan IPS yang selama ini terjadi, perlu
dihilangkan dengan cara dikembangkan suatu definisi dalam wawasan pengembangan
berpikir dan nilai secara konsisten. Difinisi tersebut bersifat kontekstual dan
memungkinkan terjadinya dinamisasi pemikiran inovatif di kalangan para pelaku
pendidikan IPS. Definisi yang dimaksud tidak dalam suatu rumusan formal yang kaku
sehingga kreativitas para pengembang pendidikan IPS terbelenggu. Untuk itu perlu
dikembangkan atas acuan: (1) tujuan yang berorientasi pada pengembangan kemampuan
berpikir dan nilai; (2) tujuan dengan orientasi pengembangan IPTEK dan era informasi
modern serta globalisasi, (3) tujuan dengan orientasi pengembangan ilmu sosial dan peran
ilmu sosial.
c. Gagasan ini dapat dikembangkan dengan cara mengembangkan ke arah
budaya otonomisasi untuk mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dalam perspektif
nasional dan lokal dengan para guru dan kepala sekolah bertindak tidak hanya sebagai
pelaksana kurikulum, akan tetapi harus lebih bertindak sebagai pengembang kurikulum
(curicullum developer). Adanya wawasan konseptual yang jelas, maka identifikasi dan
pencarian alternatif pemecahan masalah dalam pendidikan IPS yang selama ini sulit
dilakukan, akan mendapatkan konseptual yang jelas sehingga usaha peningkatan mutu
mudah untuk dilaksanakan. Di samping itu perlu dikembangkan sikap guru untuk
memberi makna terhadap pendekatan pengembangan sentralistik, dengan cara tidak
berpikir tekstual dan sektoral yang dapat mempersempit wawasan dan semangat inovasi
sebagai pengembang kurikulum. Untuk itu pengembangan IPS hendaknya diperankan
sebagai bagian dari pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga
pengembangan tidak terbatas pada lingkup pendidikan persekolahan semata.
Sebaik apapun gagasan hasil kajian akademik untuk mengatasi permasalahan dalam
pendidikan IPS apabila tidak didukung oleh political will dari pengambil kebijakan
(pemerintah), hasilnya tidak akan optimal apalagi maksimal. Sedangkan menurut Wahab
(1998:7), bahwa: Upaya perbaikan dalam arti reorientasi dan revitalisasi bagi
refungsionalisasi PIPS di sekolah harus dimulai dari para guru IPS sendiri dengan
menunjukkan kemampuan profesionalnya dalam pendidikan IPS melalui upaya perubahan
dan perbaikan terhadap berbagai kekurangan dalam pengajaran IPS yang selama ini
dilakukan di sekolah. Hal ini patut disadari bersama oleh karena guru merupakan ujung
tombak dari berbagai kebijakan termasuk upaya reorientasi dan revitalisasi pengajaran IPS di
sekolah tersebut. Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru
semuanya akan menjadi sia-sia atau gagal sama sekali. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
banyak inovasi pendidikan yang telah dilakukan namun gagal atau bahkan ditinggalkan sama
sekali pada tingkat diseminasi dan implementasi hanya karena guru kurang memperoleh
informasi dan karena kurangnya komitmen profesional guru.
Antara political will dari pengambil kebijakan (pemerintah) dengan tekad dan
semangat dari komunitas pendidikan IPS baik akademisi maupun praktisi harus berjalan
secara simultan, tanpa itu upaya meningkatkan mutu pendidikan IPS sulit untuk diwujudkan.
Jadi, political will pemerintah dan tekad serta semangat komunitas pendidikan IPS
merupakan kunci utama untuk mengatasi permasalahan pendidikan IPS.
Bahan pelajaran IPS akan lebih fungsional bagi pengembangan berpikir dan nilai jika
diorganisir atas dasar acuan struktur ilmu-ilmu sosial sebagai sumber keilmuan dan masalah
sosial budaya sebagai sumber nilai yang diorganisir secara “integrated” dalam kemasan
problematis sebagai media stimulus bagi pengembangan kemampuan memecahkan masalah
dan pembinaan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai sosial budaya. Jika hal ini dilakukan
maka anggapan bahwa pendidikan IPS sebagai bahan yang “paling tidak menarik” yang
selama ini berkembang dikalangan peserta didik akan berubah menjadi mata pelajaran yang
menantang dan menarik untuk dipikirkan dan dipelajari secara serius hal ini dapat dilakukan
apabila para guru bertindak sebagai pengembang kurikulum yang memiliki wawasan
penguasaan materi selain berupa konsep-konsep ilmu sosial, juga diperkaya dengan
penguasaan dan kemampuan pengetahuan sosial budaya dan perkembangannya (Al Muchtar,
2004:239-240).
Lebih lanjut menurut Al Muchtar (2004:240), bahwa: Transformasi yang harus
dilakukan oleh guru dan penulis buku IPS, adalah dari kebiasaan memberikan bahan
pelajaran sebanyak-banyaknya dalam kemasan informasi dan pengetahuan kepada penyajian
bahan yang diseleksi atas petimbangan esensial dalam kemasan problematik untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan membina kemantapan internalisasi nilai.
Dalam penyusunan materi pembelajaran, ada beberapa prinsip (Depdiknas, 2003:14)
yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Relevansi, yaitu relevan atau sinkron antara materi pembelajaran dengan kemampuan
dasar yang ingin dicapai.
b. Konsistensi, yaitu konsisten, ada keajegan antara materi pembelajaran dengan kemampuan
dasar dan standar kompetensi.
c. Adequasi (kecukupan), berarti cakupan materi pelajaran yang diberikan cukup lengkap
untuk tercapainya kemampuan yang telah ditentukan.
Lebih lanjut dalam menentukan urutan materi pembelajaran (Depdiknas, 2003:13),
perlu ditempuh pendekatan prosedural, dari materi pembelajaran yang sederhana ke yang
sukar, konkrit ke abstrak, spiral, tematis, hirarkis, terpadu, dan terjala.
Salah satu praktek kependidikan di sekolah yang perlu dibenahi adalah kebiasaan anak
dengan ‘budaya konsumtif’. Ini perlu dialihkan pada kebiasaan dengan ’budaya produktif’.
Budaya konsumtif antara lain meliputi, kebiasaan siswa menerima informasi secara pasif:
mencatat - mendengar - meniru sedangkan budaya produktif adalah kebiasaan siswa untuk
menghasilkan karya/gagasan: menulis gagasan - merancang/ membuat model - meneliti -
memecahkan masalah - menemukan rumus/gagasan baru. Guru perlu menciptakan
lingkungan belajar dengan budaya produktif kalau ingin meraih lulusan menjadi SDM yang
profesional, produktif, dan efisien.
Meskipun belum ada data akurat, disinyalir sejumlah lulusan sekolah kurang
produktif. Mereka kurang mahir menulis gagasannya, kurang berani mengungkapkan
gagasan, kurang terampil memecahkan masalah, kurang terampil merencanakan penelitian,
kurang berani mengambil keputusan dengan mempertimbangkan risiko, kurang mahir
berpikir alternatif untuk menemukan solusi masalah yang beragam, cenderung cepat putus
asa jika menemui masalah yang sulit dipecahkan. Biasanya, suatu masalah baru dapat
diselesaikannya jika dilengkapi dengan resep dan rumus yang operasional. Mengapa ini
terjadi? Apakah anak kita tidak potensial untuk produktif atau apakah peluang untuk menjadi
produktif belum tersedia secara optimal?
Bagaimanapun juga, kebiasaan produktif merupakan sikap bawaan anak sejak kecil
sebab setiap anak kecil memiliki dua sikap dasar: sikap ingin tahu dan sikap imajinatif. Kalau
kedua sikap ini dikembangkan dengan serius anak akan terlatih menjadi produktif. Sikap
pertama lazim teramati pada prilaku anak sehari-hari seperti bertanya tentang apa dan
mengapa, mengamati benda dan bagian benda yang kecil-kecil, mencoba-coba mainan baru.
Sikap ini mendorong anak untuk mengeksplorasi dan berinteraksi dengan alam sekitar - yang
kemudian berlanjut pada pembangunan pengetahuan , meskipun dalam wujud ‘gagasan naif’.
Sedangkan, sikap imajinatif sering muncul sewaktu anak bermain-main. Anak sering
membuat aneka ragam model bangunan pasir sewaktu bermain di pantai, sering melukis
macam-macam gambar sesuai seleranya, sering berandai-andai dirinya menjadi makhluk
selain manusia. Dengan demikian, ketika bersekolah, sebenarnya anak sudah memiliki kedua
sikap ini, suatu modal dasar untuk melatih anak menjadi produktif.
Supaya peran siswa sebagai ‘produsen’ seimbang dengan peran ‘konsumen’, guru
perlu melakukan pengajaran edukatif (educative teaching) dengan menempatkan diri dalam
peran sebagai fasilitator. Para ahli membedakan pengajaran edukatif dengan pengajaran
(teaching) yang berkonotasi pelatihan (training), pengkondisian (conditioning), dan
indoktrinasi (indoctrination’). Pengajaran edukatif adalah pengajaran yang melibatkan dan
menghargai pemikiran/tindakan siswa untuk menilai sesuatu yang akan dipelajari. Karena itu,
penanaman keyakinan terhadap sesuatu konsep/prinsip tidak cukup hanya menyediakan
bukti-bukti tetapi juga perlu mendorong siswa untuk mencari/menyediakan bukti sendiri dan
menilai bukti yang disajikan sebelum suatu konsep/prinsip dapat diterima dan dipahaminya.
Sementara itu, pengajaran dalam bentuk training/ drill lebih mengacu pada upaya
peningkatan ketrampilan tentang tehnik dan cara (know how) dari pada pemahaman tentang
hakekat apa dan mengapa (know what and why) suatu konsep. Lalu, pengajaran dalam bentuk
conditioning adalah bentuk kegiatan yang menyediakan stimulus (S) supaya bentuk prilaku
respon (R) yang dinginkan dapat ditunjukkan oleh siswa. Pemberian penghargaan (reward)
kalau siswa berbuat baik merupakan bentuk conditioning. Bentuk lain pengajaran adalah
indoctrination. Jenis pengajaran ini – yang beberapa ahli pendidikan mengelompokkannya
dalam kategori cara mengajar yang tidak edukatif - mengacu pada pemaksaan keyakinan/
kepercayaan terhadap konsep tertentu. Dengan demikian, bentuk indoktrinasi ini
bertentangan dengan baik metoda ilmiah maupun sikap ilmiah. Di sekolah, diduga guru yang
mengajar dengan cara indoctrination dan training/drill untuk mata pelajaran dengan sasaran
kognitif seperti kelompok mata pelajaran IPA dan IPS ini masih ada (dan bahkan mungkin
masih banyak). Di antara ketiga jenis pengajaran ini mungkin bentuk conditioning agak lebih
baik meski perlu ditingkatkan kearah bentuk educative teaching.
Dengan demikian, pada masa mendatang dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan,
guru perlu melakukan perubahan wawasan yang selanjutnya berimplikasi pada perubahan
perlakukan guru ke siswa, dari peran siswa sebagai konsumen ke peran siswa sebagai
produsen. Dalam Tabel, disajikan beberapa contoh perlakuan yang disajikan dalam dua kutub
ekstrim, yaitu kutub siswa sebagai konsumen kutub siswa sebagai produsen.
Perlakuan Guru Terhadap Siswa di Kelas
Siswa Sebagai Konsumen Siswa Sebagai Produsen
 Mendengarkan penjelasan guru sepanjang  Mengajukan pertanyaan, berkomentar
hari tanpa memberikan respon dan penilaian terhadap suatu pendapat, menjawab
terhadap materi yang disajikan pertanyaan secara kreatif
 Mencatat semua informasi yang dituliskan  Membuat karangan kreatif berdasarkan
guru di papan tulis dan didiktekan guru secara pengalaman dan imajinasinya.
lisan tanpa sedikitpun memberikan Kadangkala dalam karangan itu disertai
pandangan dan catatan menurut pikirannya gambar untuk memperjelas bahasa tulis.
 Memberikan jawaban dengan mengulangi  Memberikan jawaban sendiri secara kritis
kata-kata yang pernah disampaikan guru atau dengan alasan melalui hasil penelaran
mengulangi informasi yang tertuang dalam logis
buku teks.  Mengomentari jawaban guru sambil
 Mengulangi kata-kata guru secara koor mengungkapkan alasan tanda
sewaktu guru memberikan jawaban sepotong- kesetujuannya atau ketidaksetujuaan
potong dan potongan jawaban yang lain  Menghasilkan karya dalam bentuk model,
dijawab bersama-sama seperti ‘Mahluk hidup tulisan, produk teknologi sederhana
selalu berna ………’ , kata guru dan anak
meneruskan dengan ‘faaaas’  Membuat laporan dengan bahasa dan pola
sendiri. Laporannya penuh imaginasi dan
 Menghasilkan karya dan solusi permasalahan uraian yang disajikan sangat lengkap dan
setelah disajikan ‘resep’ rinci dari guru. rinci
 Membuat laporan dengan bahasa dan  Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak,
pedoman baku dari guru. Kadangkala jenis apakah ada kehidupan di planet Mars?’
laporan seperti ini cukup hanya melengkapi Guru langsung mengajukan pertanyaan
satu atau dua kata pada ruang kosong yang juga, ‘Menurutmu bagaimana, ada atau
disediakan. tidak ada kehidupan? ‘Kalau ada, apakah
 Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak, mahluk hidup di sana seperti mahluk
apakah ada kehidupan di planet Mars?’ Guru hidup di bumi?’ ‘Kalau tidak ada, apakah
langsung mengatakan, ‘Kamu tahu kan bahwa tidak mungkin planet itu dijadikan objek
di planet Mars itu tidak ada udara maka pariwisata pada masa mendatang oleh
disana tidak mungkin ada kehidupan, ya… umat di bumi?’
kan’. Jawaban guru disertai wajah sinis yang
terkesan menganggap pertanyaan siswa itu
sebagai pertanyaan konyol.
Menurut pandangan constructivism, otak anak (siswa) pada dasarnya tidak seperti
gelas kosong yang siap diisi dengan air informasi yang berasal dari pikiran guru. Otak anak
tidak kosong. Otak anak berisi pengetahuan-pengetahuan yang dikonstruksi anak sendiri
sewaktu anak berinteraksi dengan lingkungan/peristiwa yang dialaminya. Meskipun beberapa
pengetahuan yang dikonstruksi anak ini cenderung miskonsepsi, menurut anak pengetahuan-
pengetahuan ini cukup masuk akal (make sense). Pengetahuan-pengetahuan ini terikat dalam
satu jaringan dan struktur kognitif anak. Driver, S ( 1986) menyebutkan struktur kognitif ini
dengan schemata.
Sayang sekali, masih ada guru yang memandang anak tidak memiliki
pengetahuan/gagasan tentang materi yang diajarkan. Guru sering menampilkan diri sebagai
sosok ‘maha tahu’ yang tidak mungkin salah sedangkan anak - secara tidak sengaja -
diperlakukan sebagai sosok ‘maha tidak tahu’ yang tidak boleh salah. Lalu, kegiatan
mengajar dimaknai sebagai kegiatan mengalirkan informasi dari kepala guru ke ‘gelas’
kepala anak yang dianggap ‘kosong’.
Hasil survei the British Council (Sukandi, U. Karhami SKA, Maskur, 2000) terhadap
192 guru SD diketahui bahwa 63,5 % masih menganggap mengajar sebagai kegiatan
mentransfer informasi dan hanya 5,2 % yang menganggap mengajar sebagai menciptakan
kondisi sehingga peristiwa siswa belajar dapat berlangsung. Barangkali karena pandangan ini,
kegiatan mengajar lebih sering tampak sebagai kegiatan menceramahi melalui tirani
indoktrinasi. Padahal, dengan cara ini guru sudah memerankan diri sebagai destroyer siswa
akibat kegiatan belajar bermakna tidak terwujud.
Dalam zaman yang serba berubah dewasa ini, guru perlu merubah peran dirinya dari
peran destroyer menjadi peran facilitator siswa belajar. Peran facilitator ini dicirikan dengan
disediakannya peluang seluas-luasnya bagi tiap anak (ingat semua anak bukan hanya anak
pandai saja) untuk mengembangkan gagasannya secara kreatif supaya anak selalu aktif
menyempurnakan gagasan miskonsepsi sambil membangun pengetahuan yang lebih ilmiah.
Bersamaan dengan ini, guru senantiasa melatih anak untuk memiliki keterampilan dan sikap
tertentu agar dirinya mampu dan mau belajar sepanjang hayat. Kalau ini berhasil, lulusan
sekolah akan selalu belajar dan menjadikan lingkungannya sebagai sekolah alam tempat
dirinya belajar sepanjang hayat.
Dalam Tabel selanjutnya disajikan beberapa bentuk perlakuan guru terhadap siswa,
dimana pada kolom kiri merupakan prilaku yang dikategorikan destroyer (pengganggu
peristiwa belajar) dan pada kolom kanan yang dikategorikan ‘facilitator’ (pemermudah
peristiwa belajar).

Peran Guru di Kelas


Sebagai Destroyer Sebagai Facilitator
(Pengganggu Peristiwa Belajar) (Pemermudah Peristiwa Belajar)
 Guru yang menganggap masalah anak sebagai  Guru yang menempatkan masalah anak
masalah guru sehingga kalau anak sebagai masalah anak. Pada keadaan ini
memperoleh masalah guru langsung guru hanya berperan menyediakan kondisi
menyelesaikannya lalu memberikannya dan memberikan dorongan sehingga anak
jawaban langsung. Misalnya, ketika anak mau menyelesaikan masalahnya tanpa
bertanya; ‘Pak, soal no. 3 PR kemarin sulit!’. beban. Misalnya ketika anak
Menanggapi keluhan ini guru langsung memeperoleh PR/soal matematika tentang
memberikan uraian jawaban secara panjang jual beli yang dianggapnya sulit guru
lebar sehingga tidak ada ruang bagi anak hanya mengajukan pertanyaan seperti;
untuk menambahkan gagasannya. ‘Apakah kamu sudah mencoba dengan
 Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa rumus itu?’ atau, ‘Bagaimana kalau
Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris soalnya dirinci menjadi seperti ini?’ atau
bewilder itu?’ Menanggapi pertanyaan, ‘Bagaimana kalau melakukan pengamatan
seorang Ibu guru Bahasa Inggeris yang fasih langsung pada pedagang ke pasar?’
berbahasa Inggeris langsung memberikan  Ketika siswa bertanya pada guru Bahasa
respon. ‘Masak tidak tahu, bewilder itu kan Inggeris: ‘Bu apa arti kata bahasa Inggeris
artinya mengembara’. bewilder itu?’, guru langsung
memberikan kamus untuk mencarinya
sendiri arti kata tersebut.
Dalam era kesejagatan yang penuh dengan perubahan dan yang kecepatan
perubahannya pun berlangsung begitu cepat, prilaku dan lingkungan belajar peserta didik ikut
berubah. Menyikapi situasi ini, praktisi pendidikan khususnya guru perlu melakukan
perubahan pola pikir/pandangan dan pola tindak. Perubahan-perubahan itu meliputi:
1. Pola pikir dan pandangan tentang hakikat belajar-mengajar. Belajar lebih diartikan
pada pembangunan gagasan yang bermakna oleh pebelajar (baca: siswa) dalam suatu
jaringan schemata kognitif sedangkan peristiwa ‘mengajar’ baru terjadi kalau
peristiwa ‘belajar’ benar-benar sudah berlangsung. Dengan kata lain, dalam konteks
belajar mengajar, ‘mengajar’ sebagai dimensi ‘sebab’ dan belajar sebagai dimensi
‘akibat’.
2. Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, guru perlu menggeser peran siswa supaya
menjadi lebih variatif dalam rentangan peran sebagai ‘konsumen’ (baca: meniru
gagasan secara pasif) dan sebagai ‘produsen’ (baca: menggagas gagasan secara
kreatif). Kurangi peran siswa yang melulu hanya diposisikan sebagai ‘konsumen’
yang lazim dicirikan dengan kebiasaan mengulangi kata-kata guru/buku, menyalin,
mendengarkan.
3. Konsekuensi dari orientasi pada proses learning dari pada proses teaching
mengharuskan guru untuk berperan sebagai facilitator peristiwa belajar. Untuk
keperluan ini guru perlu menyediakan kegiatan teaching dalam wajah educative
teaching atau conditioning sambil menghindari dominasi kegiatan teaching dalam
wujud indoctrination ataupun training.
Model adalah suatu pola atau gaya dari suatu proses pembelajaran yang berlangsung
untuk mencapai keberhasilan dari suatu program pembelajaran. Sedangkan pembelajaran
adalah suatu upaya yang sistematik dan disengaja untuk menciptakan kondisi agar terjadi
proses belajar mengajar. Model Konvensional adalah model lama yang kering dengan variasi
dan terjebak kedalam rutinitas metode ceramah pasif dan proses “menghafal” materi
pelajaran. Hal ini diungkapkan oleh Al Mukhtar (1999:70) yang menyatakan :
Proses belajar masih lemah dan terperangkap pada “proses menghafal”, menyentuh
kognitif tingkat rendah. Proses belajar belum mengembangkan kemampuan berfikir
tingkat tinggi…Kualitas partisipasi siswa dalam belajar masih rendah, mereka
belum diperankan sebagai pembelajar secara mandiri melakukan kegiatan belajar.
Lebih dari itu, belajar belum diartikan sebagai pengembangan potensi berfikir,
posisi menerima masih banyak dilakukan oleh siswa. Begitu pula siswa belum
dilibatkan secra optimal dalam pembentukan konsep berdasarkan potensi intelektual
dan emosional dirinya sendiri.
Slavin (1995:19) menjelaskan bahwa secara historis cooperative learning telah
dikenal sejak lama. Pada saat itu guru mendorong para siswa untuk kerja sama dalam
kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau tutor sebaya. Hal ini dilakukan karena
didasarkan pada keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar atau diajar oleh
siswa yang lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus
diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman lain yaitu teman
sebaya. Hal ini dilakukan karena keyakinan bahwa siswa akan lebih baik apabila mengajar
atau diajar oleh siswa lain. Ini berarti bahwa keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata
harus diperoleh dari guru saja, melainkan dapat juga dilakukan melalui teman sebaya.
Cooperative adalah mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu
sama lainnya sebagai satu tim. Sedangkan Cooperative Learning artinya belajar bersama-
sama dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang
telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cooperative
learning adalah menyangkut teknik pengelompokkan yang didalamnya siswa bekerja terarah
pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5 orang
(Bernet dalam Broto Kiswoyo, 1995 :9)
Cooperative Learning adalah model pembelajaran yang sistematis yang
mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif
yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis (Davidson dan
Warsharn :1992).
Pada hakekatnya cooperative learning sama dengan kerja kelompok, oleh karena itu
banyak guru mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang aneh dalam cooperative learning
karena mereka menganggap telah terbiasa menggunakannya. Walaupun cooperative learning
terjadi dlam bentuk kerja kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dikatakan cooperative
learning. Ishak Abdullah (2001:19-20) menjelaskan bahwa pembelajaran cooperative
dilaksanakan melalaui sharing proses antara peserta belajar, sehingga dapat mewujudkan
pemahaman bersama di antara peserta belajar itu sendiri.
Menurut Bernet dalam Broto Kiswoyo (1995:9) ada lima unsur dasar yang dapat
membedakan antara cooperative learning dengan belajar kelompok .
2. Positive interdependence, yaitu hubungan antar timbal balik yang didasari adanya
kepentingan yang sama atau perasaan yang sama diantara anggota kelompok dimana
keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya.
3. Interaction Face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antara siswa tanpa
adanya perentara. Tidak adanya penonjolan kekuatan individu dan yang ada hanya
pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa.
4. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok
sehingga siswa termotivasi untuk membantu temannya, karena tujuan dalam
cooperative learning adalah menjadikan setiap anggota kelompok lebih kuat
pribadinya.
5. Membutuhkan keluwesan, yaitu menciptakan hubungan antar pribadi,
mengembangkan kemampuan kelompok dan memelihara hubungan kerja yang
efektif.
6. Meningkatkan keterampilan bekerjasama dalam memecahkan masalah (proses
kelompok), yaitu tujuan terpenting yang diharapkan dapat tercapai dalam cooperative
learning adalah siswa belajar keterampilan bekerjasama dan berhubungan. Ini
merupakan keterampilan yang penting dan diperlukan dalam masyarakat.
Beberapa konsep dasar pengembangan Model Cooperative Learning seperti yang
tertera berikut ini :
1. Kejelasan tujuan pembelajaran
2. Penerimaan siswa secara menyeluruh tentang tujuan belajar
3. Saling membutuhkan sesama anggota kelompok
4. Keterbukaan dalam interaksi pembelajaran
5. Tanggung jawab individu
6. Heterogenitas kelompok
7. Sikap dan perilaku sosial yang positif
8. Defrefing (refleksi)
9. Kepuasan dalam belajar
Menurut Al Muchtar (2003:13) pendidikan multikultural sebagai sebuah paradigma
dalam pengembangan pendidikan yang diunggulkan dan dijadikan wacana berkaitan dengan
bagaimana memperkuat peran pendidikan dalam mentransformasikan nilai-nilai
kemajemukan, pluralitas dan keragaman untuk membentuk sikap keterbukaan, toleransi dan
memperkuat demokrasi, dengan demikian dapat memperkuat ketahanan budaya. Lebih lanjut
Al Muchtar (2003:17) mengemukakan, bahwa pendidikan multikultural bertujuan
memperkuat makna dan validitas sosial budaya pendidikan, menginternalisasikan nilai-nilai
untuk menghargai pluralitas dengan menekankan ajaran etika nilai budaya yang bersumber
dari ajaran agama, yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual,
kematangan emosional dan spiritual serta pengamalan akhlak mulia. Sementara menurut
Wiriaatmadja (2002:255) tujuan utama pendidikan multikultural ialah mempersiapkan anak
didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam
lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional dan antar budaya etnik lainnya.
Adapun sasaran pendidikan multikultural menurut Banks sebagaimana dikutip oleh
Skeel (1995:102) mengarahkan siswa tanpa memandang perbedaan jender, sosial, budaya,
ras, dan etnik memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan/pengalaman
belajar siswa di sekolah; membantu siswa untuk mengembangkan sikap positif terhadap
adanya perbedaan budaya, suku, dan agama/kepercayaan; memberikan kekuatan kepada
siswa yang menjadi korban tindak kejahatan dengan mengajarkan kepada mereka bagaimana
mengambil keputusan dan keterampilan sosial; membantu para siswa mengembangkan
ketergantungan lintas budaya dan cara pandang mereka terhadap perbedaan kelompok.
Langkah-langkah operasional pendidikan multikultural yang disajikan di kelas
majemuk, miniatur Indonesia. Memberi penjelasan dan pemahaman kepada siswa bahwa kita
(Indonesia) ditakdirkan menjadi bangsa yang majemuk, sehingga diharapkan siswa dapat
menyadarinya. Kemajemukan bukan sesuatu hal yang dapat dijadikan alasan oleh kita untuk
saling bermusuhan, tetapi justru sebagai aset bangsa yang dapat mempersatukan kita. Bagi
kita bersatu dalam kemajemukan adalah suatu anugrah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang patut kita syukuri.
a. Mengarahkan siswa akan keharusan dalam kehidupan masyarakat
dan bangsa yang majemuk, di antaranya saling menghormati/menghargai
perbedaan, toleransi, dan tenggang rasa.
b. Menanamkan kesadaran/keyakinan kepada siswa, bahwa hidup
damai tanpa konflik akan membuahkan ketenangan dan kesejahteraan.
Perbedaan pendidikan global dengan pendidikan multikultural. Menurut Sapriya
(2002:155), pendidikan global merupakan upaya untuk menanamkan suatu pandangan
(perspective) tentang dunia kepada para siswa dengan memfokuskan bahwa terdapat saling
keterkaitan antar budaya, umat manusia dan kondisi planet bumi. Pada umumnya, tujuan
pendidikan setiap mata pelajaran untuk kondisi saat ini menekankan pada kemampuan siswa
dalam berpikir kritis (critical thinking skill), namun ada hal yang unik dalam pendidikan
global, yakni fokus substansinya yang berasal dari hal-hal mendunia yang semakin bercirikan
pluralisme, interdependensi dan perubahan. Tujuan pendidikan global adalah untuk
mengembangkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitudes) yang
diperlukan untuk hidup secara efektif dalam dunia yang sumber daya alamnya semakin
menipis dan ditandai oleh keragaman etnis, pluralisme budaya dan semakin saling
ketergantungan. Sementara Kniep (Sapriya, 2002:158) mengemukakan bahwa isi pendidikan
global dirumuskan dari realitas sejarah dan kondisi saat ini yang menggambarkan dunia
sebagai masyarakat global. Dari hasil analisisnya ini, Kniep memperkenalkan empat unsur
kajian yang dianggap esensial dan mendasar dari pendidikan global: (1) kajian tentang nilai
manusia (the study of human values); (2) kajian tentang sistem global (the study of global
systems); (3) kajian tentang masalah-masalah dan isu-isu global (the study of global problems
and issues); dan (4) kajian tentang sejarah hubungan dan saling ketergantungan antar orang,
budaya, dan bangsa (the study of the history of contacts and interdependence among peoples,
cultures, and nations).
Perbedaan antara pendidikan global dengan pendidikan multikultural, yaitu bahwa
pendidikan global ini lebih menekankan hal-hal yang sifatnya mendunia yang bercirikan
pluralisme, interdependensi dan perubahan. Contoh materi pendidikan global: Isu-isu global
seperti HAM, terorisme dan wabah HIV/AIDS; dan peranan organisasi-organisasi
internasional.
Sedangkan pendidikan multikultural lebih menekankan kepada keragaman budaya
pada tingkat lokal dan nasional dalam rangka memperkuat ketahanan budaya dan integritas
nasional. Contoh materi pendidikan multikultural: teloransi; dan pemahaman keragaman
budaya, etnik dan agama.

Anda mungkin juga menyukai