DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2005). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Bank, James, With Clegg, 1975, Teaching Strategis for Social Studies: Inquiry, Valuing and Decission Making,
New York : White Plaens.
Hasan Hamid. S. ( 1996 ). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi.
Ibrahim, M.Sc. 1988. Inovasi Pendidikan. Dep.Dik.Bud. DirJed Pendidikan Tinggi. Jakarta.
Ibrahim, R dan Sukmadinata, N., S.. (2003). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Komariah Aan. ( 2006 ). Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi Sebagai Jaminan Mutu Guru Profesional “
Makalah pada Konfrensi Internasional Bersama Kedua UPI – UPSI “. Bandung : UPI – UPSI.
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. (2003). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Purwanto, M, Ngalim. (2001). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sanjaya Wina. ( 2006 ). Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media.
Sardiman A.M. ( 2006 ). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar/ Bab VIII. Jakarta Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Saud Saefudin Udin. H. Dan Suherman Ayi. ( 2006 ). Inovasi Pendidikan (Inovasi Kurikulum Berbasis
Masyarakat). Bandung : Universitas Pensisikan Indonesia.
Supriatna Nana. ( 2007 ). Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung : Historia Utama Prees.
Sukmadinata, N., S. (2005). Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumantri, M, Numan. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumantri, Mulyana. (1998). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Depdiknas.
Suwarma Al Muctar, 2001, Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya, Bandung : Gelar Pustaka Mandiri.
Suwarma Al Muctar, 2004, Pengembangan Berpikir dan Nilai dalam Pendidikan IPS, Bandung : Gelar Pustaka
Mandiri.
___________(2004) Kurikulum Ketentuan Pokok dan Struktur Program.. Bandung: Depdiknas UPI.
(2003). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
(2005). Implementasi Kurikulum 2004 : Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
( 2006 ). IPS Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ” Makalah ” .
Bandung : Program IPS-PPS.
Pendidikan IPS sebagai bidang ilmu masih diperdebatkan dalam aspek-aspek antologis
dan epismologinya, walaupun secara aksiologis sudah jelas manfaatnya.
1. Batang tubuh (body of knowledge) PIPS atau Studi social apabila PIPS adalah
seleksi secara psikologis dari bahan ilmu-ilmu social untuk keperluan pendidikan.
Numan Somantri mengatakan : kalau ditelesuri dari filsafat ilmu, Pendidikan IPS
harus bisa menjawab aspek antologis, epistemologis, dan aksiologis, yaitu :
a). Apa yang dikaji dalam Pendidikan IPS
b).Bagaimana proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan dalam Pendidikan IPS.
c). Apa kegunaan Pendidikan IPS.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa digunakan batasan Pendidikan IPS untuk
pendidikan dasar dan menengah serta untuk FPIPS. Batasan Pendidikan IPS, yakni ”Seleksi
dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasi
dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”. Untuk menelusuri
filsafat ilmu tentang Pendidikan IPS, kita bisa saja menganalisis berbagai faham ilmu (Barat)
dan filsafat pendidikan, dengan pengertian bahwa :
a). Kebenaran yang dicari dalam Pendidikan IPS ialah kebenaran yang dilandasi
iman, taqwa, dan kebudayaan Indonesia dengan ide vitalnya Pancasila.
b). Intraceptive knowledge dan extraceptive knowledge merupakan satu nafas.
c). Domain cognitive, efektif, dan keterampilan psikomotorik merupakan kesatuan
. (1)
Sedangkan dalam aspek konseptual yang merujuk pada arti ontologi, epistomologi dan
aksiologi dalam filsafat ilmu serta sumber Pendidikan IPS dan studi perbandingan di negara-
negara lain yang sudah lama mengembangkan social science education, dirumuskan bahwa
Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu social dan
humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah
dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. (2)
(1) Somantri (2001 : 88-89). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pendidikan IPS suatu program pendidikan yang memilih pendidikan dari disiplin ilmu-
ilmu sosial dan humanity, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan spikologis untuk
tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu
ilmu pengetahuan yang membahas hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku
manusia dalam masyarakat (Preston, 1968).
Pendidikan IPS bersumber dari beberapa dari beberapa disiplin ilmu, humaniora, disiplin
ilmu pendidikan, kegiatan dasar manusia dalam masyarakat, dan tujuan pendidikan nasional,
yang semuanya harus dipikirkan dan dikembangkan secara integrative. Dalam buku yang
sama, disebutkan pula bahwa ada anggapan dikalangan para penjabat Depdikbud, dosen, dan
guru bahwa Pendidikan IPS adalah program pendidikan terpadu, yaitu memadukan seluruh
disiplin ilmu-ilmu sosial menjadi “disiplin baru”. (5)
(5) Somantri (1993). .Beberapa Pokok Pikiran tentang: Penelusuran Filsafah Ilmu tentang Pendidikan IPS dan
kaitan Struktural-Fungsionalnya dengan Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial. Ujung Pandang: Panitia Forum
Komunikasi IV Pimpinan FPIPS IKIP dan JIPS-FKIP Universitas.
Secara filosofis, dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, Pendidikan IPS di Indonesia
mengacu kepada keyakinan dan kebudayaan bangsa, disamping mengikuti kaidah-kaidah
ilmiah.
Pendidikan IPS di Indonesia adalah penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial dan segala
sesuatu yang bersifat sosial, yang diorganisasikan secara ilmiah dan psikologis dengan
Pancasila dan UUD 1945. dengan demikian, Pancasila dan UUD 1945 itu harus melakukan
penetrasi (perembesan) terhadap tujuan, bahan pendidikan dan kegiatan-kegiatan pendidikan
lainnya.
Dalam aspek filosofis, Somantri dalam hal ini memandang bahwa filsafat pendidikan IPS
dan posisi sentral pendidikan IPS di antara faham-faham filsafat menunjukkan adanya
berbagai pemikiran dalam filsafat ilmu dan filsafat pendidikan yang memiliki
kebermanfaatan untuk pengembangan pendidikan IPS. Tetapi ada perbedaan yang mendasar.
Perbedaan yang mendasar antara pemikiran filsafat ilmu dan filsafat pendidikan (Barat)
dengan pendidikan IPS yang berlandaskan Pancasila ialah bahwa intraceptive knowledge
dengan extraceptive knowledge, yaitu iman, taqwa, dan kebudayaan (termasuk ilmu
pengetahuan) merupakan satu nafas, sementara filsafat ilmu (Barat) cenderung untuk
memisahkan ilmu dan keimanan (sekuler).
Karena itu, kedudukan pendidikan IPS dalam aneka ragam pemikiran filsafat ilmu
(Barat) berada dalam posisi sentral, sehingga kebenaran dalam arti filsafat ilmu (Barat) akan
diberi arti sebagai “kebenaran” yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional (aksiologis). Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pendidikan IPS akan
dikembangkan dan disajikan secara doksologis, melainkan sedapat mungkin mengikuti
perkembangan sains dan teknologi. Karena itu pula Pendidikan IPS akan berada dalam posisi
sentral diantara adagium “ intellectus quaerens fidem” , yaitu akal mengatasi atau lebih utama
daripada iman/agama dan “fides quaerens intellectum”, yaitu sebaliknya dimana iman/agama
mengatasi atau lebih utama daripada akal.
Pada dasarnya Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu social untuk
keperluan pembelajaran di sekolah. Dengan penyederhanaan materi tersebut, maka para siswa
dengan mudah melihat, menganalisis dan memahami gejala-gejala yang ada dalam
masyarakat lingkungannya konsep utama Pendidikan IPS menurut Yusnidar (1987) adalah
interaksi dengan lingkungan.
Tujuan Pendidikan IPS dapat dikelompokkan menjadi empat katagori berikut ini :
Knowledge, yang merupakan tujuan utama Pendidikan IPS, yaitu
membantu para siswa belajar tentang diri mereka sendiri dan lingkungannya. Hal-hal
yang dipelajari sehubungan dengan ini adalah geografi, sejarah, politik, ekonomi,
antropologi dan sosiopsikologi.
Keterampilan, yang berhubungan dengan tujuan Pendidikan IPS, dalam
hal ini mencakup keterampilan berpikir (thinking skills).
Attitude, dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sikap yang
diperlukan untuk tingkah laku berpikir (intellectual behaviour) dan tingkah laku social
(social behaviour).
Value, dalam hubungan ini, adalah nilai yang terkandung dalam
masyarakat yang didapatkan dari lingkungan masyarakat sekitar maupun lembaga
pemerintahan (falsafah bangsa). Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai kepercayaan,
nilai ekonomi, pergaulan antar manusia, ketaatan pada pemerintah, hukum, dan lain-lain.
Selain itu, juga terdapat beberapa orientasi Pendidikan IPS, yang sebenarnya dari
waktu ke waktu akan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu
Petama, menanamkan etika social, dengan mengupayakan peserta didik
agar berprilaku sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku, seperti
berkelakuan baik, berani membela kebenaran dan keadilan, bekerja sama, suka menolong,
dan sebagainya.
Kedua, orientasi nilai disiplin ilmu yang dapat memperkuat orientasi
pertama tadi. Dalam orientasi ini,ilmu-ilmu variable-variabelnya, dengan hokum-
hukumnya, sehingga terjadi peristiwa social tertentu.
Ketiga, orientasi keterampilan teknik dan partisipasi social dalam
kehidupan social ditempat mereka berada. Dari praktek kehidupan nyata itulah siswa
belajar lebih jauh, sehingga akhirnya mereka lebih adaptif terhadap kehidupan yang
senantiasa berubah.
Keempat, orientasi kemampuan memecahkan masalah dan inovasi, yang diperlukan setelah siswa
mampu berpartisipasi aktif. Dalam hal ini, maka tindakan orang yang mengalami PIPS dengan
tidak akan berbeda. Mereka mampu berinovasi dalam memperbaiki kualitas hidupnya, bahkan
masyarakatnya ke arah yang lebih baik (6) (6) Sanusi, A. (1998). Pendidikan Alternatif : Menyentuh
Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan. Bandung : PPS IKIP Bandung dan PT. Grafindo
Media Pratama.
Untuk menghadapi problema dunia yang ditandai oleh polusi, pemanasan global,
ledakan kependudukan dan kemiskinan, Fritjof Capra (2001) menawarkan pendekatan
ekologis dalam prosedur epistemologis ilmu.
1. Mengapa perlu ada perubahan dalam penggunaan metode ilmiah Cartesian –
Newtonian, apakah tidak cukup dengan aspek aksilogisnya yang beretika :
Capra adalah seorang fisikawan menjadikan Daoisme sebagai sumber etika. Capra
melihat adanya ketidak seimbangan atau ketimpangan yang luar biasa antara kemajuan
pengetahuan yang rasional, kekuatan intelek, dan keterampilan teknologi di satu sisi, dengan
perkembangan kebijaksanaan, spritualitas, dan etika disisi yang lain. Pada hal didalam
cosmogoni Cina, keseimbangan dari dua kutub Yang dan Yin merupakan conditio sine qua
non dari ketertiban, kestabilan, dan keseimbangan dunia. Dalam hal ini harman adalah tujuan
dari kehidupan individu, masyarakat dan negara. Kemajuan pesat dibidang ilmu dan
teknologi yang dirintis dalam sejarah peradaban manusia sejak zaman Mesir, Yunani dan
Islam diikuti dengan sangat lamban oleh kemajuan ilmu-ilmu tentang etika atau moral,
spritualitas, dan berbagai perilaku manusia. Ketidak seimbangan inilah nampaknya yang
menimbulkan disequilibrium, ketidak pastian, ketidak aturan, dan chaos.
Fritjof Capra menilai bahwa kerusakan kehidupan modern sebagai akibat dari
merajalelanya "krisis persepsi" manusia terhadap realitas yang cenderung bersifat analitis-
reduksionis, mekanistis, dan linear sehingga memilah, mengisolasi dan mendistorsi
keanekaragaman dan dinamika realitas itu sendiri. Cara memandang realitas itu berakibat
pada "kebangkrutan" substansi realitas, ketidaktepatan merumuskan realitas sehingga usaha
untuk membereskan persoalan juga membuahkan lagi persoalan yang lain karena landasan
pijakan atau asumsi yang keliru atau tak lengkap.
Krisis persepsi itu terjadi atau disebabkan oleh pandangan dunia modern yang masih
menganut paradigma Cartesian-Newtonian yang bersifat analitis-reduksionis, mekanistis, dan
linear itu. Paradigma itu bergulir sejak 300 tahunan lalu dan sukses dalam mengembangkan
sains dan teknologi, namun mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu
sendiri, sehingga menciptakan krisis-krisis kemanusiaan, misal perang, kerusakan
lingkungan, kerusakan jiwa, dan lain-lain yang dalam istilah Capra disebut sebagai "penyakit-
penyakit peradaban".
Capra menilai, paradigma Cartesian-Newtonian itu biang krisis manusia modern yang
dalam bahasa RD Laing dinyatakan begitu bagus sebagai paradigma "yang menawarkan
kepada kita suatu dunia yang mati: lenyapnya pemandangan, suara, rasa, sentuhan, dan
penciuman, serta bersama itu mati pula kepekaan etis dan estetis, nilai, kualitas, jiwa,
kesadaran, dan rohani". Akibatnya, masih menurut Laing, "Kita telah menghancurkan dunia
ini secara teori sebelum kita menghancurkannya dalam praktik."
Kini dibutuhkan paradigma baru yang lebih sesuai dengan zaman yang cenderung
saling berinteraksi, berkorelasi, dan saling mempengaruhi dalam suatu jaringan kehidupan
akibat terjadinya revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang begitu menakjubkan
melibas jarak ruang dan waktu, sehingga runtuhlah batas-batas lama yang bernama ideologi
politik, nasionalitas, dan agama maupun geografi. Kondisi kehidupan saat ini yang telah
berubah secara revolusioner harus diiringi paradigma baru melihat realitas. Artinya,
paradigma lama Cartesian-Newtonian setidaknya harus dievaluasi, ditimbang ulang,
dikoreksi, untuk menemukan paradigma lain yang lebih cocok dengan zaman. Kondisi zaman
dan cara pandang harus sinkron, tak ketinggalan zaman, supaya tak berbahaya bagi
kehidupan itu sendiri.
Paradigma baru itu harus bisa memandang keseluruhan ketimbang bagian-bagian,
bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, nonmekanistis, nonlinear, yaitu
paradigma holistik. Paradigma ini dapat juga disebut filsafat holistik yang potensial bisa
mengisi kekosongan pemaknaan dan paradigma dalam memahami realitas dan sains.(9)
(9) Fritjof Capra. (2002). Jaring-Jaring Kehidupan. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru
Dalam alam, perubahan kecil dalam sistem dapat menimbulkan konsekuensi berskala
besar. Dalam teori chaos biasa disebut ”efek kupu-kupu” dengan bahasan geometri
Factal untuk menerangkan konsep dasar kompleksitas dengan contoh krisis moneter
tahun 1998 :
Ketika Mandelbrot menerbitkan buku perintisnya pada pertengahan tahun 70-an, ia
tidak menyadari hubungan antara geometri fraktal dengan teori chaos, namun tidak lama
kemudian para matematikawan dan ia sendiri menemukan bahwa penarik-penarik aneh ini
merupakan contoh-contoh indah mengenai fraktal. Jika bagian-bagian dari strukturnya
diperbesar, mereka akan memperlihatkan substruktur yang berlapis-lapis, yang di dalamnya
pola-pola yang sama akan diulangi lagi dan lagi. Dengan demikian lazim mendefinisikan
penarik aneh sebagai lintasa-lintasan peluru di dalam fase ruang yang menampilkan geometri
fraktal.
. Hubungan penting lainnya antara teori chaos dengan geometri fraktal ialah perubahan
dari kuantitas menjadi kualitas. Seperti telah kita lihat, mustahil memprediksikan nilai
variabel-variabel dari suatu khaotik pada waktu tertentu, tetapi kita dapat memprediksikan
ciri-ciri kualitatif perilaku sistemnya. Sama halnya, mustahil menghitung panjang atau area
suatu bentuk fraktal, tetapi kita dapat mendefinisikan tingkat ”kebergerigian (jaggedness)” –
nya dengan cara kualitatif.
Di Indonesia tahun 1998 terjadi krisis moneter, yang diawali dengan nilai mata uang
Rupiah anjlok dari $ 1 = Rp. 3.000 menjadi $ 1 = Rp. 10.000. Mengapa ini sampai terjadi ?
Berawal dari sekelompok orang yang memiliki banyak uang, dan mereka suka sekali
berpergian ke luar negeri dan suka berbelanja. Selain itu mereka lebih senang memiliki uang
dolar dari pada uang rupiah, sehingga menukar uangnya ke dalam uang dolar.
Pada saatnya persepsi nilai uang rupiah mulai berkurang dan menaiknya persepsi nilai
uang dolar, terjadilah krisis moneter. Krisis ini terus berlanjut kepada dunia perdagangan,
terutama pada barang impor yang menggunakan standar nilai mata uang dolar. substansi yang
paling merugikan pada utang negara yang kian membungbung tinggi. Sementara nilai ekspor
lebih rendah dari nilai impor, devisa semakin berkurang. Perekonomian dalam negeri mulai
goncang karena harga semakin naik sementara nilai uang rupiah makin kecil. Masyarakat
daya belinya menurun. Maka masyarakat yang sudah banyak miskin, kini makin bertambah
jumlahnya, dengan ketidak mampuan dalam daya beli.
Kekecewaan rakyat semakin bertambah-tambah terhadap pemerintah. Muncullah
permasalaha baru atau dalam teori chaos disebutkan sebagai peluru yang meluncur dan
mengembang kepada fase berikutnya. Yaitu krisis kepercayaan rakyat kepada pemerintah.
Krisis ini akhirnya mendorong rakyat melakukan demontrasi bahkan perusakan sarana
umum.
Fase selanjutnya semakin melebar pada masalah yang lebih serius dan lebih besar
lagi, yaitu dekadensi moral. Dengan daya beli yang kecil sementara kebutuhan harus tetap
dipenuhi. Terjadi tindak kejahatan dimana-mana. Tidak hanya sekedar itu, munculnya
masalah yang lain dalam fase ini, yaitu masalah KKN, Nepotisme, dan korupsi.
Jadi permasalahan krisis moneter ini terus berkembang menjadi masalah nasional.
Dari satu masalah yaitu nilai uang rupiah terhadap mata uang dolar beranjak kepada masalah
multi deminsi pada tingkat nasional.
”Bagaimanpun juga, ini merupakan kesimpulan yang sangat optimistik, bahwa
semula studi terhadap choas merupakan usaha untuk menemukan aturan-
aturan sederhana yang terdapat dalam jagad di sekitar kita ......usaha-usaha itu
selalu mencari penjelasan-penjelasan sederhana atas realitas-realitas yang
rumit. Tetapi perbedaan antara kesederhanaan dengan kerumitan tak pernah
dapat dibandingkan di manapun dengan apa yang kita temukan dalam konteks
ini” (Mandelbrot)
Pesona besar yang ditampilkan oleh teori chaos dan geometri fraktal pada orang di
segala bidang, dari ilmuwan, manajer hingga seniman, barangkali merupakan tanda yang
menjanjikan bahwa pengucilan matematika sedang berakhir. Sekarang ini matematika baru
mengenai kompleksitas semakin menyadarkan orang bahwa matematika lebih dari pada
sekedar rumus-rumus yang kering ; dunia hidup di sekiling kita, dan segala persoalan
mengenai pola, keteraturan, dan kompleksitas pada dasarnya bersifat matematis. (11) (11)
Fritjof Capra. (2002). Jaring-Jaring Kehidupan. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru
“…dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang
seharusnya dikatakan tetapi ia menghindari mengatakannya…” (Edward W. Said)
Edward W. Said lebih menyukai batasan cendekiawan yang diberikan Antonio Gramsci
dalam bukunya Selection from Prison Notebooks (1978). Gramsci mengatakan, "Semua
manusia adalah cendekiawan (intelektual), namun tidak semua orang dalam masyarakat
memiliki fungsi cendekiawan." Gramsci mengelompokkan dua jenis cendekiawan.
Pertama, cendekiawan tradisional semacam guru, ulama, dan para administratur. Mereka ini
secara terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua,
cendekiawan organik, yaitu kalangan profesional. Menurut Said, definisi Gramsci ini lebih
dekat kepada realitas daripada konsepsi Julien Benda, terutama pada akhir abad ke-20 ketika
muncul begitu banyak profesi baru
Apa dan siapa cendekiawan itu? Jawaban yang kita peroleh tak pernah seragam. Namun, satu
hal yang menarik ketika kita membincangkan ihwal cendekiawan adalah karena dengannya
kita seolah diajak untuk bersolek di depan cermin. Kita diminta untuk selalu memandang dan
menyadari bahwa di depan kita hadir sebuah wajah yang senantiasa berubah keberadaannya,
wajah manusia. Mau tak mau, memang, membicarakan golongan berlabel cendekiawan
mengharuskan kita memperhatikan jati dirinya yang paling asal, sebagai manusia, sebagai
pribadi, bukan sebagai kolektiva.
"Memberikan nama atau predikat kepada seseorang sebagai cendekiawan merupakan suatu
self-definition, yakni mendefinisikan diri sendiri," demikian tulis Zygmunt Bauman (1987).
Yang ia maksudkan adalah bahwa biasanya para cendekiawanlah yang menulis mengenai
cendekiawan lain. Boleh jadi, pendapat ini ada benarnya, khususnya bila seseorang
menyetujui bahwa para cendekiawan adalah mereka yang menulis buku-buku dan artikel-
artikel ilmiah. Jika pendapat itu kita terima, maka tentu terjadi banyak upaya untuk
mendefinisikan diri sendiri, dan bukannya untuk mengerti diri sendiri.
Menurut EWS, dengan mengutip dan memperbandingkan beberapa pendapat pakar filsafat,
para intelektual adalah pencipta bahasa –dalam arti dia merupakan penyampai dan tukang
publikasi dari segala ide yang menuju ke perbaikan kemaslahatan umum. Namun, catatan
penting dari EWS, kaum intelektual bukan hanya sebagai boneka atau juru bicara semata.
Intelektual adalah figur representatif dari persoalan - persoalan itu sendiri. Saya simpulkan,
bahwa kaum intelektual harus menapakkan makna terhadap apa yang dilontarkan. Ya.
Makna. Karena kaum intelektual adalah kaum yang membangun kesadaran manusia lainnya,
untuk itu dia butuh ‘makna’. Dalam tulisan EWS, dia mengutip pendapat Julien Benda yang
kondang itu, namun, saya malah sengaja menyejajarkan dengan pandangan - pandangan Ali
Syari’ati, jagoan intelektual muslim - pemikir revolusioner asal Iran. Syari’ati seringkali
‘membebankan’ perjuangan terlalu berlebihan kepada kaum intelektual atau cendekiawan,
yang dalam pendapat Syari’ati disebut dengan ‘raushanfikr’.
Menurut Syari’ati, dalam suatu masyarakat yang tengah berjuang untuk menjadi ideal
membutuhkan tokoh intelektual yang mampu melontarkan pemikiran, menyadarkan
masyarakat, merintis ideologi masyarakat, dan menggerakkan masyarakat tersebut untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik. Membangun kesadaran biasanya akan kontradiktif
dengan posisi status quo. Dan dalam dunia ini tauladan intelektual versi Syati’ati adalah
Muhammad pendakwah Islam.
EWS juga mengingatkan bahwa posisi kaum intelektual selalu berada di jurang yang curam.
Pernyataan yang cukup mengganjal. Karena selalu berpikir kritis dan mendasar maka posisi
kaum intelektual adalah cenderung beroposisi ketimbang akomodasi. Walau bagi saya hal ini
terlalu berat, namun EWS memastikan hal itu. Pasti. Intelektual cenderung tidak akomodatif.
Dan, karena tuntutan untuk ‘tidak sekedar berbicara’, melainkan harus bertindak dan
bergerak sebagai rentetan aksi ideologi, maka konsekwensi oposisi ini semakin berat,
setidaknya bagi saya. Namun, sekali lagi EWS memastikan. EWS mencontohkan posisi non-
akomodatif seorang intelektual Italia bernama Gramsci yang berlangganan dipenjara oleh
Mussolini.
Komposisi oposisi ini semakin menjengkelkan karena ternyata –menurut Julien Benda dan
diamini dengan lantang oleh EWS, jumlah kaum intelektual ini tidak pernah banyak alias
sedikit sekali. Sedikit, tetapi harus memberikan penetrasi kepada persoalan sosio-kultur,
sekaligus menggagas ide, menyadarkan secara kolektif, dan menggerakkan.Tolong cocokkan
dengan komunitas sekitar anda ihwal minoritas ini. Minoritas yang menggerakkan, oposisi.
Dengan segala kondisi itulah, maka dugaan bahwa setiap revolusi pasti terkait dengan peran
intelektual, demikian juga keterlibatan kaum intelektual dalam segala pancaroba revolusioner
dan atau kontra-revolusi, pastilah tidak bisa dihindarkan lagi.
Mengutip pendapat C.Wright Mills, EWS menyampaikan bahwa peran intelektual saat ini
adalah menyingkap topeng dan menghancurkan visi stereotip dan intelek dengan mana
komunikasi modern membanamkan kita.
Namun, kenapa terjadi pembalikan peran? Tampaknya dunia modern, seperti ditunjukkan
Benda, telah menjadikan cendekiawan sebagai "warga negara," yang dibebani dengan segala
kewajibannya. Maka itu, lebih sulit bagi mereka untuk menolak gairah-gairah awam. (14) (14)
Haris Fauzi, Majalah Solid, Situs Keluarga, Kolom KENISAH, 71 Desember 2007
Kasus Indonesia, zaman Orde Baru dikenal „Mafia Berkeley“, juga pada Orde
berikutnya golongan intelektual dimanfaatkan (Komperatif) :
Julien Benda, penulis buku klasik, Pengkhianatan Kaum Intelektual, membagi masyarakat
dalam dua bagian yang tidak bersentuhan sama sekali (Dhakidae, 2003). Pertama adalah
cendekiawan yang dipandang sebagai golongan yang mendedikasikan hidupnya dalam
pencarian kebenaran-utama. Mengikuti prinsip yang dikembangkan dalam metode ilmiah,
pencarian terhadap kebenaran menjadi tujuan utama. Karena itu, cendekiawan dipandang
bukanlah orang yang mengejar kepentingan duniawi. Cendekiawan tidak tergoda oleh
nikmatnya kekayaan dan manisnya kekuasaan. Justru sebaliknya, mereka mencari kebenaran
di dalam kesederhanaan.
Golongan kedua adalah kaum awam yaitu mereka yang seluruh hidupnya terikat kepada
fungsi mengejar kepentingan material dan duniawi. Termasuk dalam golongan ini adalah
pedagang, politikus, dan masyarakat biasa. Oleh Julien Benda, kaum awam ditempatkan pada
posisi yang lebih rendah daripada cendekiawan. Karena itu, intelektual yang mengabdi
kepada kaum awam, terutama penguasa, dianggap pengkhianat. Mereka mengkhianati tujuan
hidupnya dan mengingkari posisi kelasnya yang terhormat.
Benda menempatkan cendekiawan dalam posisi yang sangat tinggi, bahkan nyaris absolut.
Tetapi, realitasnya tidak hitam putih seperti yang ditulis oleh Julien Benda. Pencarian
kebenaran yang menjadi obsesi oleh kaum cendekiawan sejatinya tidak berada di ruang
hampa. Pengembangan ilmu pengetahuan membutuhkan campur tangan kekuasaan. Karena
itu, sesungguhnya kekuasaan politik, dalam tingkatan tertentu, turut menentukan kebenaran
itu sendiri.
Tentu masih segar dalam ingatan kita pengalaman di bawah pemerintahan Orde Baru yang
represif.
”Mafia Berkeley” muncul dari perdebatan pola industrialisasi yang akan di pakai oleh bangsa
Indonesia. Seorang ekonom California yaitu Berkeley memberikan gambaran dan contoh
transformasi ekonomi AS bukanlah di awali dengan landasan terjadinya pergeseran struktural
dari sektor pertanian ke industri dalam bentuk tenaga kerja dan output nasional, melainkan
dilandasi oleh adanya proses yang mendorong peningkatan produktivitas di sektor pertanian
secara luar biasa. Sektor pertanian secara sengaja telah dijadikan sebagai sektor inti (core
sector). Sebagai sektor yang dinamis, sektor pertanian telah menjadi aktor utama yang
mendorong ekspansi industri-indudtri hulu dan hilir di sektor manufaktur. Sebagian besar
ekonom di Indonesia yakin bahwa peningkatan produktivitas sekotr pertanian merupakan
prasyarat bagi keberhasilan industrialisasi. Skenario produktivitas pertanian yang meningkat
akan menciptakan permintaan awal (input) bagi barang-barang industri. (16) (16) Dr. Ahmad
Erani Yustika, 2007 ; Perekonomian Indonesia, Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi – BPFE _ UNIBRAW.
Ekonom yang mendukung pola industrialisasi atas pendapat Berkeley, akhirnya mereka
disebut sebagai ”mafia Berkeley”.
Kekuasaan turut menentukan apa yang boleh dipelajari, apa yang dilarang. Saat itu
bahkan intelijen bisa hadir di ruang kelas, mengikuti ceramah akademis dan ikut menentukan
buku apa yang boleh dan harus dibaca. Intervensi kekuasaan juga berimplikasi pada
pendanaan. Topik penelitian yang disukai oleh penguasa akan mendapat kucuran dana besar.
Sebaliknya, gagasan yang berseberangan atau paradigma yang berlawanan, tidak akan
mendapat dukungan pendanaan yang memadai.
Oleh sebab itu, posisi cendekiawan tidaklah setinggi seperti yang digambarkan oleh
Julien Benda. Bahkan cendekiawan kerap menjadi bagian dari aparatur kekuasaan. Apalagi
kekuasaan juga beroperasi, salah satunya, melalui bahasa sehingga keberadaan cendekiawan
sangat diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan.
Tentang cendekiawan, Daniel Dhakidae memberikan gambaran yang lebih realistis
tentang cendekiawan. Menurutnya, cendekiawan merupakan hasil dari suatu pola hubungan
antara modal, kekuasaan, dan kebudayaan. Karena itu, meskipun cendekiawan adalah anak
kandung kebudayaan, eksistensinya tidak bisa dipisahkan dari modal dan kekuasaan
(Dhakidae, 2003). Mengikuti pengertian ini, cendekiawan yang menjadi bagian dari
kekuasaan, dapat dengan mudah tergelincir untuk menyalahgunakannya. Termasuk
melakukan korupsi. (17) (17) www.republika.co.id. Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 4 Mei 2005
Di awal-awal masa reformasi 1998-an yang lalu, negeri kita sebenarnya telah
melahirkan banyak cendekiawan generasi baru. Mereka kemudian tergabung dalam
kelompok atau organisasi cendekiawan. Mereka tampil "cantik" lewat panggung-panggung
media. Mereka berdebat di forum-forum seminar. Mereka semua berangkat dengan tujuan
yang sama, menyuarakan nurani rakyat.
Kini, kemudian, kita tahu. Para cendekiawan ramai-ramai membangun partai. Sebuah
organisasi kaum cendekiawan berubah menjadi partai politik, mungkin tidaklah aneh.
Terlebih lagi jika sejak awal mula kelahirannya, kecenderungan ke arah itu sudah tampak.
Kalau organisasi kaum cendekiawan berubah menjadi partai politik, semua itu sah-sah saja.
Masing-masing individu cendekiawan bergabung ke partai politik tertentu, juga boleh-boleh
saja.
Namun, peralihan pemihakan dari soal ilmiah maupun segi-segi sosial dalam hidup
rakyat ke praksis politik, seperti terjadi belakangan ini, tampaknya tak bisa diberi makna lain
kecuali bahwa itu berarti tak ada lagi orang mau peduli akan hidup rakyat.
Pergeseran peran dan orientasi kultural kaum cendekiawan menjadi mesin-mesin
partai politik berarti juga sebuah pergeseran bahwa rakyat memang tak lagi punya kawan.
Rakyat tak punya lagi pendamping yang bersedia membela mereka secara gigih. Ketika kaum
cendekiawan makin tak peduli atas nasib rakyat, mereka harus berjuang atau membela nasib
sendiri.
Tak perlu kita mungkiri, lewat partai politik orang bisa meraih cita-cita politiknya
untuk melakukan mobilitas sosial. Bila ditanya secara terbuka dan kaum cendekiawan mau
bicara jujur, jalur politik memang lebih mereka sukai. Barangkali cuma sedikit cendekiawan
yang tetap sabar berjuang di jalur ilmiah dan berani hidup jauh dari partai politik. Mereka
yang memiliki naluri politik, dan sebab itu besar pula ambisi politiknya, jelas akan
menganggap jalan politik seperti itu paling strategis bagi perjuangan mereka. Mereka pura-
pura lupa, atau pura-pura tidak tahu bahwa bila tujuan politik kita tercapai, kita lantas diam.
Mereka pura-pura tidak tahu bahwa jalan politik pada batas tertentu merupakan jalan buntu.
Wadah politik memang mendekatkan mereka ke kekuasaan. Namun ia juga hampir otomatis
menjauhkan diri dari rakyat.
Apabila kaum cendekiawan sudah berketetapan hati untuk masuk dalam jaring-jaring
partai, maka kita sudah bisa menduga-duga bahwa di dalam partai politik mereka akan lebih
suka diam, apalagi jika mereka leluasa menikmati fasilitas partai maupun kemewahan.
Pada saat yang sama, berbagai dugaan korupsi merebak dalam pengadaan barang dan
jasa di KPU. Korupsi diduga terjadi pada hampir seluruh pengadaan material untuk pemilu.
Alih-alih mendapatkan harga murah dan menghemat keuangan negara, anggota KPU justru
memberikan kontrak kepada pengusaha dekatnya. Karena korupsi, dua mantan anggota KPU
telah divonis bersalah oleh pengadilan. Belajar dari pengalaman, KPU pun diubah.
Anggotanya bukan lagi perwakilan dari partai politik tetapi tokoh masyarakat yang
independen. Diharapkan, mereka menjadi wasit yang adil bagi partaipolitik yang
berkompetisi. Dalam situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan dan aktivis berhasil menjadi
anggota KPU. Masuknya cendekiawan dalam KPU tidak bisa dilepaskan dari pandangan
yang menempatkan kaum intelektual pada posisi tinggi dan terhormat dimasyarakat. Para
pencari kebenaran sejati itu dianggap tidak memiliki hasrat politik untuk berkuasa dan
menimbun harta. Apalagi sebagian di antaranya masih aktif di dunia akademis. Dunia yang
sangat mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan etos kerja keras. Karena itu, beranggotakan
cendekiawan, KPU diharapkan menjadi wasit yang adil dan bersih.
Pemilu 2004 berjalan dengan lancar. Bahkan ancaman munculnya konflik horizontal
tidak terjadi selama proses pemilu. Dari sisi penyelenggaraan, KPU patut mendapat
penghargaan. Tetapi keberhasilan menyelenggarakan Pemilu 2004 ternoda oleh dugaan
korupsi. Seperti kejadian dalam Pemilu 1999, korupsi diduga mewarnai pengadaan barang
dan jasa di KPU. Bahkan situasinya lebih buruk, anggota KPU nan terhormat justru
tertangkap basah melakukan penyuapan.
Seakan tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, ada sejumlah penjelasan mengapa KPU
bisa jatuh dalam praktik korupsi. Pertama, korupsi pada dasarnya merupakan penyalahgunaan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Karena itu, korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka
yang memegang kekuasaan. Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula godaan untuk
melakukan korupsi. Dalam konteks ini, cendekiawan yang menjadi anggota KPU memegang
kekuasaan yang amat besar dan dengan mudah tergoda untuk menyalahgunakannya.
Kedua, korupsi sering kali tidak terjadi dan dilakukan secara telanjang, seperti
mengambil uang di atas meja. Korupsi dilakukandalam birokrasi dengan segala prosedurnya
dan terjadi tanpa disadari. Seolah-olah dana yang mengalir ke kantong adalah harta yang sah.
Karena itu, diperlukan keahlian teknis pada bidang-bidang khusus untuk bisa mencegah
terjadinya korupsi. Dalam konteks ini, korupsi di KPU terjadi karena absennya sistem
integritas. (18) (18) www.republika.co.id. Diakses tanggal 28 November 2007 J Danang Widoyoko, anggota
Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW))
Pendidikan IPS
Pendidikan IPS adalah suatu program pendidikan yang memilih bahan pendidikan dari
disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniti, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Berdasarkan pengertian ini ditunjukkan
bahwa salah satu ciri utama pendidikan IPS adalah kerjasama disiplin ilmu pendidikan
dengan disiplin ilmu-ilmu sosial.
Secara ideal, Djahiri (1993) mengkonsepsikan program Pendidikan IPS yang: (a) secara
kognitif melatih dan membekali anak didik dengan conceptual-knowledge yang layak,
kemampuan berpikir dan memecahkan masalah yang cukup; (b) secara metacognitive-
awareness and skills membekali kemampuan penalaran dan belajar yang luas; (c) secara
moral-afektual membina perbekalan tatanan nilai, keyakinan dan keadilannya maupun
pengalaman dan kemampuan afektual siswa; dan (d) secara sosial membina ketegaran akan
harga diri dan self-concept serta kemampuan melakukan interpersonal relationship.
Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas
hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat (Preston,
1968).
Mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat dengan berbagai aspeknya, tentu tidak
dapat dipisahkan seperti ilmu-ilmu sosial yang membahas dari berbagai sudut pandangnya,
seperti sejarah, geografi, psikologi, ekonomi politik, dan sebagainya. Bahkan MM Ohlsen
(dalam Vembriarto; 1979) menegaskan eratnya hubungan Pendidikan IPS dengan ilmu-ilmu
sosial, bahwa Pendidikan IPS merupakan keterpaduan dari berbagai ilmu sosial, termasuk
geografi, sejarah dan kewarganegaraan. Demikian juga Kenworthy (1973) menegaskan
bahwa pada kenyataannya dapat disebutkan bahwa antropologi dan sosiologi, ilmu ekonomi,
geografi, ilmu politik, sejarah, psikologi merupakan lapangan Pendidikan IPS. Disebutkan
pula bahwa Pendidikan IPS berhubungan erat dengan seni dan musik, agama dan filsafat serta
ilmu-ilmu lain.
Dengan banyaknya ilmu-ilmu sosial yang tercakup dalam Pendidikan IPS, tidak berarti
bahwa Pendidikan IPS adalah penjumlahan dari bermacam-macam ilmu sosial tersebut,
namun suatu pembelajaran tentang hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang lain,
serta menolong siswa mengembangkan kompetensi dan sikap menjadi warga negara dalam
masyarakat bebas, dengan menggunakan bahan dari berbagai ilmu sosial untuk memahami
masalah-masalah sosial (Gross, 1979).
Pada dasarnya Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan dari materi ilmu-ilmu sosial untuk
keperluan pembelajaran di sekolah. Dengan penyederhaan materi tersebut, maka para siswa
dengan mudah dapat melihat, menganalisis dan mamahami gejala-gejala yang ada dalam
masyarakat lingkungannya. Konsep utama Pendidikan IPS menurut Yusnidar (1987) adalah
interaksi individu dengan lingkungannya. Sedangkan pembelajaran Pendidikan IPS
mempergunakan pendekatan integratif.
Tujuan Pendidikan IPS dapat dikelompokkan menjadi empat kategori berikut ini. Knowledge,
yang merupakan tujuan utama Pendidikan IPS, yaitu membantu para siswa belajar tentang
diri mereka sendiri dan lingkungannya. Hal-hal yang dipelajari sehubungan dengan ini adalah
geografi, sejarah, politik, ekonomi, antropologi dan sosiopsikologi. Keterampilan, yang
berhubungan dengan tujuan Pendidikan IPS, dalam hal ini mencakup keterampilan berpikir
(thinking skills). Attitudes, dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sikap yang
diperlukan untuk tingkah laku berpikir (intelectual behaviour) dan tingkah laku sosial (social
behaviour). Value, dalam hubungan ini, adalah nilai yang terkandung dalam masyarakat yang
didapatkan dari lingkungan masyarakat sekitar maupun lembaga pemerintahan (falsafah
bangsa). Termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kepercayaan, nilai ekonomi, pergaulan
antarmanusia, ketaatan pada pemerintah, hukum, dan lain-lain.
Sedangkan tujuan utama Pendidikan IPS adalah untuk melatih siswa dapat bertanggung
jawab sebagai warga negara yang baik (Gross, 1978). Di samping itu juga untuk menolong
anak dan pemula untuk dapat aktif berpengetahuan, menjadi manusia yang mampu
beradaptasi, mampu berfungsi dan berperan dalam menghadapi seluruh kehidupannya dan
mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya lewat kegiatan pembelajaran
Pendidikan IPS di SD (Joyce, 1979).
Terdapat beberapa orientasi Pendidikan IPS, yang sebenarnya dari waktu ke waktu akan
berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu pertama, menanamkan etika sosial,
dengan mengupayakan peserta didik agar berperilaku sesusai dengan norma-norma dan nilai-
nilai yang berlaku, seperti berkelakuan baik, berani membela kebenaran dan keadilan, bekerja
sama, suka menolong, dan sebagainya. Kedua, orientasi nilai disiplin ilmu yang dapat
memperkuat orientasi pertama tadi. Dalam orientasi ini, ilmu-ilmu variabel-variabelnya,
dengan hukum-hukumnya, sehingga terjadi peristiwa sosial tertentu.
Ketiga, orientasi keterampilan teknik dan partisipasi sosial dalam kehidupan sosial di tempat
mereka berada. Dari praktek kehidupan nyata itulah siswa belajar lebih jauh, sehingga
akhirnya mereka lebih adaptif terhadap kehidupan yang senantiasa berubah. Keempat,
orientasi kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi, yang diperlukan setelah siswa
mampu berpartisipasi aktif. Dalam hal ini maka tindakan orang yang mengalami PIPS dengan
tidak akan berbeda. Mereka mampu berinovasi dalam memperbaiki kualitas hidupnya,
bahkan juga masyarakatnya ke arah yang lebih baik (Achmad Sanusi, dalam Akub Tisna
Somantri, 1993).
Pendidikan IPS di SD merupakan bidang studi yang mempelajari kehidupan sosial yang
didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara dan
sejarah. Pendidikan IPS yang diajarkan di SD sebagaimana diungkapkan di atas terdiri dari
dua bahan kajian pokok: pengetahuan sosial dan sejarah. Bahan kajian pengetahuan sosial
mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi dan pemerintahan, sedangkan bahan kajian
sejarah meliputi perkembangan masyarakat Indonesia sejak lampau hingga kini.
Pembelajaran IPS di sekolah dasar bersifat integratif, materi yang dibelajarkannya merupakan
akumulasi sejumlah disiplin ilmu sosial (Martorella, 1985). Pembelajaran IPS pun lebih
menekankan aspek "pendidikan" daripada "transfer-konsep", karena melalui pembelajaran
IPS siswa diharapkan memahami sejumlah konsep, dan melatih sikap, nilai, moral, dan
keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Hakikat belajar adalah suatu
aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar.
Perubahan tingkah laku terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar
mempengaruhi oleh berbagai faktor, yakni bahan yang dipelajari, faktor-faktor instrumental,
faktor-faktor lingkungan, dan kondisi individual si pelajar (Depdikbud, 1983).
Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan dalam proses
belajar, bahwa masukan untuk sistem belajar terdiri atas orang, informasi, dan sumber
lainnya. Sedangkan keluarannya berupa siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam
berbagai aspek. Di antara masukan dan keluaran terdapat kotak hitam yang berupa proses
pembelajaran atau pendidikan. Reigeluth (1983) secara lebih spesifik menyoroti tentang
variabel-variabel pembelajaran yang meliputi tiga komponen: metode, kondisi, dan hasil-
hasil. Metode merupakan cara menyampaikan isi pesan kepada peserta didik untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Kondisi pembelajaran mencakup karakteristik siswa,
lingkungan belajar, bahan pembelajaran dan tujuan kelembagaan. Sedangkan hasil-hasil
pembelajaran menggambarkan apa atau seberapa jauh tujuan-tujuan pembelajaran telah
dicapai.
Pembelajaran sebagai suatu proses, menurut Surya (1982) melandaskan diri kepada prinsip-
prinsip: (1) sebagai usaha memperoleh perubahan tingkah laku; (2) hasil pembelajaran
ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan; (3) merupakan suatu proses; (4)
terjadi karena adanya sesuatu pendorong dan tujuan yang akan dicapai; dan (5) merupakan
bentuk pengalaman.
Sedangkan ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar, meliputi
perubahan intensional, perubahan positif dan aktif, perubahan efektif dan fungsional (Surya,
1982). Perubahan intensional mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya
perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya ia merasakan adanya perubahan dalam
dirinya. Perubahan bersifat positif, artinya bermanfaat dan sesuai dengan harapan. Juga
berarti bahwa perubahan itu senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnya sesuatu
yang baru dan lebih baik daripada yang telah diperoleh sebelumnya. Sedangkan aktif berarti
bahwa perubahan itu terjadi tidak dengan sendirinya, tetapi lebih karena usaha siswa itu
sendiri. Sedangkan perubahan yang bersifat efektif artinya berdayaguna, membawa pengaruh,
makna, dan manfaat tertentu bagi siswa. Bersifat fungsional artinya bahwa hasil dari
perubahan itu relatif menetap, dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan itu dapat
direproduksi dan dimanfaatkan.
Wahab, et al (1986) menyatakan, guru IPS dalam merencanakan pelajaran dapat menciptakan
suasana yang demokratis-kreatif, di mana siswa terlibat secara aktif sebagai subjek maupun
objek pelajaran. Pengertian belajar demokratis ini dapat diartikan sebagai suatu upaya
merubah diri siswa dalam meningkatkan kemampuan siswa sesuai dengan potensi dan
minatnya. Apapun strategi belajar-mengajar yang dipergunakan dalam proses belajar
mengajar haruslah diusahakan agar kadar keterlibatan mental siswa setinggi mungkin.
Lebih jauh Djahiri (1993) mengemukakan bahwa kualitas suatu pengajaran diukur dan
ditentukan oleh sejauh mana kegiatan belajar-mengajar tertentu dapat merupakan alat
perubah tingkah laku individu ke arah yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Sehubungan dengan itu maka guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar di kelas
hendaknya mampu mengembangkan pola interaksi antara berbagai pihak yang terlibat di
dalamnya. Guru harus pandai memotivasi siswa untuk terbuka, kreatif, responsif, interaktif,
dan evaluatif.
Dalam konteks tersebut model pembelajaran role playing dapat dijadikan salah satu alternatif
selain metode ceramah yang hampir dijadikan sebagai satu-satunya metode pembelajaran IPS
di sekolah dasar. Menurut Wahab, et.al. (1986) banyak alasan mengapa metode ceramah
menjadi sangat terkondisi dalam proses belajar-mengajar, di antaranya ialah: (1) mengikuti
kebiasaan umum yang lazim menggunakannya; (2) kebiasaan yang telah membaku (inheren)
pada diri guru; (3) pertimbangan praktis, murah, mudah, cepat, dan tidak memerlukan
fasilitas yang banyak; (4) kurangnya waktu dan jumlah program; dan (5) tidak mengetahui
cara menggunakan metode lainnya.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa penggunaan model ini dalam rangka mencapai
tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Zuhaerini (1983) mengemukakan bahwa tujuan
penggunaan model ini dalam proses belajar mengajar antara lain:
3. Pelajaran dimaksudkan untuk melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan
memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.
Ada empat asumsi yang mendasari model mengajar ini yang kedudukannya sejajar dengan
model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: Pertama, secara implisit
bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan
dimensi "di sini dan kini" (here and now) sebagai isi pengajaran. Kedua, bermain peran
memberikan kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya
yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain. Ketiga, model ini
mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian
ditingkatkan melalui proses kelompok. Keempat, model mengajar ini mengasumsikan bahwa
proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-
perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi
pemeranan secara spontan dan analisisnya.
Untuk dapat mengukur sejauhmana bermain peran memberikan manfaat kepada pemeran dan
pengamatnya ditentukan oleh tiga hal, yakni (1) kualitas pemeranan; (2) analisis yang
dilakukan melalui diskusi setelah pemeranan; (3) persepsi siswa terhadap peran yang
ditampilkan dibandingkan dengan situasi nyata dalam kehidupan. Pembelajaran dengan
model role playing dilaksanakan menjadi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut: (1) tahap
memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran; (3) menyiapkan pengamat; (4) menyiapkan
tahap-tahap permainan peran; (5) pemeranan; (6) diskusi dan evaluasi; (7) pemeranan ulang;
(8) diskusi dan evaluasi kedua; (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi.
Kemampuan mengakhiri atau menutup pelajaran merupakan kegiatan guru baik pada akhir
jam pelajaran maupun pada setiap penggalan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan ini
dilakukan dengan maksud agar siswa memperoleh gambaran yang utuh mengenai pokok-
pokok materi yang dipelajarinya. Menutup pelajaran secara umum terdiri atas kegiatan-
kegiatan meninjau kembali dan mengevaluasi. Meninjau kembali pelajaran mencakup
kegiatan merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, sedangkan mengevaluasi
pelajaran merupakan kegiatan untuk mengetahui adanya pengembangan wawasan siswa
setelah pelajaran atau penggal kegiatan belajar berakhir
Kemukakan tiga masalah pembelajaran yang terdapat dalam wacana di atas , pilih
salah satu yang kemudian diberikan alasan mengapa hal tersebut diidentifikasi sebagai
masalah pembelajaran Pendidikan IPS.
Jawab :
Menurut pasal 1 ayat (19) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas: Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu. Adapun prinsip-prinsip pengembangan kurikulum menurut
Sukmadinata (2001:150-154), yaitu: Prinsip-prinsip umum, meliputi relevansi, fleksibilitas,
kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip-prinsip khusus berkenaan dengan tujuan
pendidikan, isi pendidikan, proses belajar mengajar, media dan alat pengajaran, serta kegiatan
penilaian.
Selama ini pengembangan kurikulum di Indonesia lebih berorientasi pada materi (isi
kurikulum) daripada proses pembelajaran. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan di
lapangan baik dalam budaya belajar maupun dalam budaya mengajar. Permasalahan tersebut
antara lain:
a. Budaya belajar lebih berorientasi pada bentuk menghapal daripada belajar
berpikir; belajar menyimak pengetahuan ilmu-ilmu sosial daripada berpikir untuk
mempertinggi apresiasi nilai sosial budaya; motivasi belajar hanya sekedar mendapatkan
nilai daripada mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mandiri; belajar menerima
informasi daripada mencari, mengolah dan menggunakan informasi; belajar pasif
daripada belajar aktif; belajar santai daripada belajar kompetitif secara sehat; belajar
mengumpulkan pengetahuan ilmu-ilmu sosial dari pada memecahkan masalah sosial.
b. Budaya mengajar yang selama ini tumbuh di lapangan, antara lain kebiasaan
memberi matari pelajaran daripada menyajikan bahan pelajaran IPS dalam bentuk
masalah sebagai media stimulus bagi perkembangan berpikir dan nilai; kebiasaan
berperan sebagai satu-satunya sumber daya belajar daripada berperan sebagai fasilitator
belajar yang dapat memberi kemudahan belajar; kebiasaan menciptakan pola interaksi
satu arah daripada menciptakan pola interaksi komunikasi serba arah; kebiasaan
mengajarkan nilai daripada mengklarifikasi nilai; kebiasaan memberikan hapalan
daripada merangsang untuk berpikir tingkat tinggi.
Kondisi tersebut tidak/kurang mendukung pencapaian sasaran pembelajaran IPS.
Menurut Djahiri dan Ma’mun (1978:36), sasaran pengajaran IPS antara lain membina insan
sosial yang paripurna yang mampu hidup dalam arena kehidupan masyarakat serta dapat
berpartisipasi secara aktif dan penuh tanggung jawab; membina kemampuan berpikir kritis
dan mengambil keputusan-keputusan yang baik, kemampuan hidup mandiri, kemampuan
melakukan hubungan dengan sesama (berinteraksi sosial), kemampuan ekonomis yang
survive, rasa tanggung jawab sebagai insan mandiri/sosial dan politik, kemampuan teknis
dalam mempelajari sesuatu (learning how to learn). Untuk itu pengembangan kurikulum IPS
harus mengarah kepada upaya pencapaian sasaran tersebut.
Secara empirik permasalahan dalam pengembangan kurikulum IPS, di antaranya:
a. Pengembangan kurikulum IPS lebih berorientasi pada pengembangan ilmu-
ilmu sosial, ketimbang pengembangan kemampuan berpikir dan kemampuan
mengklarifikasi nilai-nilai sosial budaya yang berkembang di masyarakat.
b. Pendekatan sentralistik dalam pengembangan kurikulum (kurikulum 1994)
pendidikan IPS mengakibatkan semakin tumbuh dan berkembangnya budaya belajar
mengajar untuk mencapai target kurikulum sebagai tuntutan kedinasan.
c. Muatan materi yang padat (kurikulum 2004) tidak diimbangi dengan alokasi
waktu yang cukup, akibatnya guru sebagai pengembang kurikulum mengalami
kesulitan dalam pembelajaran.
d. Banyak guru IPS terutama di daerah terpencil yang tidak memiliki kualifikasi
atau kelayakan untuk mengemban tugas sebagai guru IPS, sehingga mereka
mengalami kesulitan dalam mengembangkan kurikulum IPS.
Kondisi tersebut apabila terus dibiarkan akan memperlemah proses dan hasil
pendidikan IPS serta memperkokoh anggapan sementara pihak bahwa pendidikan IPS kurang
bermanfaat dibandingkan dengan MIPA. Untuk itu guru IPS harus berani mengambil
terombosan di antaranya dengan menggunakan pendekatan pengembangan berpikir dan nilai
dalam pembelajaran IPS.
Hasil penelitian dan pengkajian akademis yang dilakukan oleh Al Muchtar (2004:233-
236) merupakan gagasan inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan IPS, yaitu:
a. Pendidikan IPS memerlukan reorientasi dan transformasi dasar konseptual dari konsepsi
yang lebih menekankan pada orientasi upaya mempersiapkan peseta didik untuk
melanjutkan belajar ke perguruan tinggi dengan praktik pendidikan melatih mereka
supaya berhasil dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) kepada orientasi
yang harmonis antara mempersiapkan peserta didik untuk dapat belajar lebih lanjut
dengan membekali pengetahuan, sikap dan keterampilan sosial untuk menjalani
kehidupan di masyarakat.
b. Ketidakjelasan dasar konseptual pendidikan IPS yang selama ini terjadi, perlu
dihilangkan dengan cara dikembangkan suatu definisi dalam wawasan pengembangan
berpikir dan nilai secara konsisten. Difinisi tersebut bersifat kontekstual dan
memungkinkan terjadinya dinamisasi pemikiran inovatif di kalangan para pelaku
pendidikan IPS. Definisi yang dimaksud tidak dalam suatu rumusan formal yang kaku
sehingga kreativitas para pengembang pendidikan IPS terbelenggu. Untuk itu perlu
dikembangkan atas acuan: (1) tujuan yang berorientasi pada pengembangan kemampuan
berpikir dan nilai; (2) tujuan dengan orientasi pengembangan IPTEK dan era informasi
modern serta globalisasi, (3) tujuan dengan orientasi pengembangan ilmu sosial dan peran
ilmu sosial.
c. Gagasan ini dapat dikembangkan dengan cara mengembangkan ke arah
budaya otonomisasi untuk mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dalam perspektif
nasional dan lokal dengan para guru dan kepala sekolah bertindak tidak hanya sebagai
pelaksana kurikulum, akan tetapi harus lebih bertindak sebagai pengembang kurikulum
(curicullum developer). Adanya wawasan konseptual yang jelas, maka identifikasi dan
pencarian alternatif pemecahan masalah dalam pendidikan IPS yang selama ini sulit
dilakukan, akan mendapatkan konseptual yang jelas sehingga usaha peningkatan mutu
mudah untuk dilaksanakan. Di samping itu perlu dikembangkan sikap guru untuk
memberi makna terhadap pendekatan pengembangan sentralistik, dengan cara tidak
berpikir tekstual dan sektoral yang dapat mempersempit wawasan dan semangat inovasi
sebagai pengembang kurikulum. Untuk itu pengembangan IPS hendaknya diperankan
sebagai bagian dari pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga
pengembangan tidak terbatas pada lingkup pendidikan persekolahan semata.
Sebaik apapun gagasan hasil kajian akademik untuk mengatasi permasalahan dalam
pendidikan IPS apabila tidak didukung oleh political will dari pengambil kebijakan
(pemerintah), hasilnya tidak akan optimal apalagi maksimal. Sedangkan menurut Wahab
(1998:7), bahwa: Upaya perbaikan dalam arti reorientasi dan revitalisasi bagi
refungsionalisasi PIPS di sekolah harus dimulai dari para guru IPS sendiri dengan
menunjukkan kemampuan profesionalnya dalam pendidikan IPS melalui upaya perubahan
dan perbaikan terhadap berbagai kekurangan dalam pengajaran IPS yang selama ini
dilakukan di sekolah. Hal ini patut disadari bersama oleh karena guru merupakan ujung
tombak dari berbagai kebijakan termasuk upaya reorientasi dan revitalisasi pengajaran IPS di
sekolah tersebut. Perubahan apapun yang dilakukan tanpa komitmen dan kerja keras guru
semuanya akan menjadi sia-sia atau gagal sama sekali. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
banyak inovasi pendidikan yang telah dilakukan namun gagal atau bahkan ditinggalkan sama
sekali pada tingkat diseminasi dan implementasi hanya karena guru kurang memperoleh
informasi dan karena kurangnya komitmen profesional guru.
Antara political will dari pengambil kebijakan (pemerintah) dengan tekad dan
semangat dari komunitas pendidikan IPS baik akademisi maupun praktisi harus berjalan
secara simultan, tanpa itu upaya meningkatkan mutu pendidikan IPS sulit untuk diwujudkan.
Jadi, political will pemerintah dan tekad serta semangat komunitas pendidikan IPS
merupakan kunci utama untuk mengatasi permasalahan pendidikan IPS.
Bahan pelajaran IPS akan lebih fungsional bagi pengembangan berpikir dan nilai jika
diorganisir atas dasar acuan struktur ilmu-ilmu sosial sebagai sumber keilmuan dan masalah
sosial budaya sebagai sumber nilai yang diorganisir secara “integrated” dalam kemasan
problematis sebagai media stimulus bagi pengembangan kemampuan memecahkan masalah
dan pembinaan kemampuan menginternalisasi nilai-nilai sosial budaya. Jika hal ini dilakukan
maka anggapan bahwa pendidikan IPS sebagai bahan yang “paling tidak menarik” yang
selama ini berkembang dikalangan peserta didik akan berubah menjadi mata pelajaran yang
menantang dan menarik untuk dipikirkan dan dipelajari secara serius hal ini dapat dilakukan
apabila para guru bertindak sebagai pengembang kurikulum yang memiliki wawasan
penguasaan materi selain berupa konsep-konsep ilmu sosial, juga diperkaya dengan
penguasaan dan kemampuan pengetahuan sosial budaya dan perkembangannya (Al Muchtar,
2004:239-240).
Lebih lanjut menurut Al Muchtar (2004:240), bahwa: Transformasi yang harus
dilakukan oleh guru dan penulis buku IPS, adalah dari kebiasaan memberikan bahan
pelajaran sebanyak-banyaknya dalam kemasan informasi dan pengetahuan kepada penyajian
bahan yang diseleksi atas petimbangan esensial dalam kemasan problematik untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan membina kemantapan internalisasi nilai.
Dalam penyusunan materi pembelajaran, ada beberapa prinsip (Depdiknas, 2003:14)
yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Relevansi, yaitu relevan atau sinkron antara materi pembelajaran dengan kemampuan
dasar yang ingin dicapai.
b. Konsistensi, yaitu konsisten, ada keajegan antara materi pembelajaran dengan kemampuan
dasar dan standar kompetensi.
c. Adequasi (kecukupan), berarti cakupan materi pelajaran yang diberikan cukup lengkap
untuk tercapainya kemampuan yang telah ditentukan.
Lebih lanjut dalam menentukan urutan materi pembelajaran (Depdiknas, 2003:13),
perlu ditempuh pendekatan prosedural, dari materi pembelajaran yang sederhana ke yang
sukar, konkrit ke abstrak, spiral, tematis, hirarkis, terpadu, dan terjala.
Salah satu praktek kependidikan di sekolah yang perlu dibenahi adalah kebiasaan anak
dengan ‘budaya konsumtif’. Ini perlu dialihkan pada kebiasaan dengan ’budaya produktif’.
Budaya konsumtif antara lain meliputi, kebiasaan siswa menerima informasi secara pasif:
mencatat - mendengar - meniru sedangkan budaya produktif adalah kebiasaan siswa untuk
menghasilkan karya/gagasan: menulis gagasan - merancang/ membuat model - meneliti -
memecahkan masalah - menemukan rumus/gagasan baru. Guru perlu menciptakan
lingkungan belajar dengan budaya produktif kalau ingin meraih lulusan menjadi SDM yang
profesional, produktif, dan efisien.
Meskipun belum ada data akurat, disinyalir sejumlah lulusan sekolah kurang
produktif. Mereka kurang mahir menulis gagasannya, kurang berani mengungkapkan
gagasan, kurang terampil memecahkan masalah, kurang terampil merencanakan penelitian,
kurang berani mengambil keputusan dengan mempertimbangkan risiko, kurang mahir
berpikir alternatif untuk menemukan solusi masalah yang beragam, cenderung cepat putus
asa jika menemui masalah yang sulit dipecahkan. Biasanya, suatu masalah baru dapat
diselesaikannya jika dilengkapi dengan resep dan rumus yang operasional. Mengapa ini
terjadi? Apakah anak kita tidak potensial untuk produktif atau apakah peluang untuk menjadi
produktif belum tersedia secara optimal?
Bagaimanapun juga, kebiasaan produktif merupakan sikap bawaan anak sejak kecil
sebab setiap anak kecil memiliki dua sikap dasar: sikap ingin tahu dan sikap imajinatif. Kalau
kedua sikap ini dikembangkan dengan serius anak akan terlatih menjadi produktif. Sikap
pertama lazim teramati pada prilaku anak sehari-hari seperti bertanya tentang apa dan
mengapa, mengamati benda dan bagian benda yang kecil-kecil, mencoba-coba mainan baru.
Sikap ini mendorong anak untuk mengeksplorasi dan berinteraksi dengan alam sekitar - yang
kemudian berlanjut pada pembangunan pengetahuan , meskipun dalam wujud ‘gagasan naif’.
Sedangkan, sikap imajinatif sering muncul sewaktu anak bermain-main. Anak sering
membuat aneka ragam model bangunan pasir sewaktu bermain di pantai, sering melukis
macam-macam gambar sesuai seleranya, sering berandai-andai dirinya menjadi makhluk
selain manusia. Dengan demikian, ketika bersekolah, sebenarnya anak sudah memiliki kedua
sikap ini, suatu modal dasar untuk melatih anak menjadi produktif.
Supaya peran siswa sebagai ‘produsen’ seimbang dengan peran ‘konsumen’, guru
perlu melakukan pengajaran edukatif (educative teaching) dengan menempatkan diri dalam
peran sebagai fasilitator. Para ahli membedakan pengajaran edukatif dengan pengajaran
(teaching) yang berkonotasi pelatihan (training), pengkondisian (conditioning), dan
indoktrinasi (indoctrination’). Pengajaran edukatif adalah pengajaran yang melibatkan dan
menghargai pemikiran/tindakan siswa untuk menilai sesuatu yang akan dipelajari. Karena itu,
penanaman keyakinan terhadap sesuatu konsep/prinsip tidak cukup hanya menyediakan
bukti-bukti tetapi juga perlu mendorong siswa untuk mencari/menyediakan bukti sendiri dan
menilai bukti yang disajikan sebelum suatu konsep/prinsip dapat diterima dan dipahaminya.
Sementara itu, pengajaran dalam bentuk training/ drill lebih mengacu pada upaya
peningkatan ketrampilan tentang tehnik dan cara (know how) dari pada pemahaman tentang
hakekat apa dan mengapa (know what and why) suatu konsep. Lalu, pengajaran dalam bentuk
conditioning adalah bentuk kegiatan yang menyediakan stimulus (S) supaya bentuk prilaku
respon (R) yang dinginkan dapat ditunjukkan oleh siswa. Pemberian penghargaan (reward)
kalau siswa berbuat baik merupakan bentuk conditioning. Bentuk lain pengajaran adalah
indoctrination. Jenis pengajaran ini – yang beberapa ahli pendidikan mengelompokkannya
dalam kategori cara mengajar yang tidak edukatif - mengacu pada pemaksaan keyakinan/
kepercayaan terhadap konsep tertentu. Dengan demikian, bentuk indoktrinasi ini
bertentangan dengan baik metoda ilmiah maupun sikap ilmiah. Di sekolah, diduga guru yang
mengajar dengan cara indoctrination dan training/drill untuk mata pelajaran dengan sasaran
kognitif seperti kelompok mata pelajaran IPA dan IPS ini masih ada (dan bahkan mungkin
masih banyak). Di antara ketiga jenis pengajaran ini mungkin bentuk conditioning agak lebih
baik meski perlu ditingkatkan kearah bentuk educative teaching.
Dengan demikian, pada masa mendatang dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan,
guru perlu melakukan perubahan wawasan yang selanjutnya berimplikasi pada perubahan
perlakukan guru ke siswa, dari peran siswa sebagai konsumen ke peran siswa sebagai
produsen. Dalam Tabel, disajikan beberapa contoh perlakuan yang disajikan dalam dua kutub
ekstrim, yaitu kutub siswa sebagai konsumen kutub siswa sebagai produsen.
Perlakuan Guru Terhadap Siswa di Kelas
Siswa Sebagai Konsumen Siswa Sebagai Produsen
Mendengarkan penjelasan guru sepanjang Mengajukan pertanyaan, berkomentar
hari tanpa memberikan respon dan penilaian terhadap suatu pendapat, menjawab
terhadap materi yang disajikan pertanyaan secara kreatif
Mencatat semua informasi yang dituliskan Membuat karangan kreatif berdasarkan
guru di papan tulis dan didiktekan guru secara pengalaman dan imajinasinya.
lisan tanpa sedikitpun memberikan Kadangkala dalam karangan itu disertai
pandangan dan catatan menurut pikirannya gambar untuk memperjelas bahasa tulis.
Memberikan jawaban dengan mengulangi Memberikan jawaban sendiri secara kritis
kata-kata yang pernah disampaikan guru atau dengan alasan melalui hasil penelaran
mengulangi informasi yang tertuang dalam logis
buku teks. Mengomentari jawaban guru sambil
Mengulangi kata-kata guru secara koor mengungkapkan alasan tanda
sewaktu guru memberikan jawaban sepotong- kesetujuannya atau ketidaksetujuaan
potong dan potongan jawaban yang lain Menghasilkan karya dalam bentuk model,
dijawab bersama-sama seperti ‘Mahluk hidup tulisan, produk teknologi sederhana
selalu berna ………’ , kata guru dan anak
meneruskan dengan ‘faaaas’ Membuat laporan dengan bahasa dan pola
sendiri. Laporannya penuh imaginasi dan
Menghasilkan karya dan solusi permasalahan uraian yang disajikan sangat lengkap dan
setelah disajikan ‘resep’ rinci dari guru. rinci
Membuat laporan dengan bahasa dan Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak,
pedoman baku dari guru. Kadangkala jenis apakah ada kehidupan di planet Mars?’
laporan seperti ini cukup hanya melengkapi Guru langsung mengajukan pertanyaan
satu atau dua kata pada ruang kosong yang juga, ‘Menurutmu bagaimana, ada atau
disediakan. tidak ada kehidupan? ‘Kalau ada, apakah
Ketika seorang siswa SD bertanya, ‘Pak, mahluk hidup di sana seperti mahluk
apakah ada kehidupan di planet Mars?’ Guru hidup di bumi?’ ‘Kalau tidak ada, apakah
langsung mengatakan, ‘Kamu tahu kan bahwa tidak mungkin planet itu dijadikan objek
di planet Mars itu tidak ada udara maka pariwisata pada masa mendatang oleh
disana tidak mungkin ada kehidupan, ya… umat di bumi?’
kan’. Jawaban guru disertai wajah sinis yang
terkesan menganggap pertanyaan siswa itu
sebagai pertanyaan konyol.
Menurut pandangan constructivism, otak anak (siswa) pada dasarnya tidak seperti
gelas kosong yang siap diisi dengan air informasi yang berasal dari pikiran guru. Otak anak
tidak kosong. Otak anak berisi pengetahuan-pengetahuan yang dikonstruksi anak sendiri
sewaktu anak berinteraksi dengan lingkungan/peristiwa yang dialaminya. Meskipun beberapa
pengetahuan yang dikonstruksi anak ini cenderung miskonsepsi, menurut anak pengetahuan-
pengetahuan ini cukup masuk akal (make sense). Pengetahuan-pengetahuan ini terikat dalam
satu jaringan dan struktur kognitif anak. Driver, S ( 1986) menyebutkan struktur kognitif ini
dengan schemata.
Sayang sekali, masih ada guru yang memandang anak tidak memiliki
pengetahuan/gagasan tentang materi yang diajarkan. Guru sering menampilkan diri sebagai
sosok ‘maha tahu’ yang tidak mungkin salah sedangkan anak - secara tidak sengaja -
diperlakukan sebagai sosok ‘maha tidak tahu’ yang tidak boleh salah. Lalu, kegiatan
mengajar dimaknai sebagai kegiatan mengalirkan informasi dari kepala guru ke ‘gelas’
kepala anak yang dianggap ‘kosong’.
Hasil survei the British Council (Sukandi, U. Karhami SKA, Maskur, 2000) terhadap
192 guru SD diketahui bahwa 63,5 % masih menganggap mengajar sebagai kegiatan
mentransfer informasi dan hanya 5,2 % yang menganggap mengajar sebagai menciptakan
kondisi sehingga peristiwa siswa belajar dapat berlangsung. Barangkali karena pandangan ini,
kegiatan mengajar lebih sering tampak sebagai kegiatan menceramahi melalui tirani
indoktrinasi. Padahal, dengan cara ini guru sudah memerankan diri sebagai destroyer siswa
akibat kegiatan belajar bermakna tidak terwujud.
Dalam zaman yang serba berubah dewasa ini, guru perlu merubah peran dirinya dari
peran destroyer menjadi peran facilitator siswa belajar. Peran facilitator ini dicirikan dengan
disediakannya peluang seluas-luasnya bagi tiap anak (ingat semua anak bukan hanya anak
pandai saja) untuk mengembangkan gagasannya secara kreatif supaya anak selalu aktif
menyempurnakan gagasan miskonsepsi sambil membangun pengetahuan yang lebih ilmiah.
Bersamaan dengan ini, guru senantiasa melatih anak untuk memiliki keterampilan dan sikap
tertentu agar dirinya mampu dan mau belajar sepanjang hayat. Kalau ini berhasil, lulusan
sekolah akan selalu belajar dan menjadikan lingkungannya sebagai sekolah alam tempat
dirinya belajar sepanjang hayat.
Dalam Tabel selanjutnya disajikan beberapa bentuk perlakuan guru terhadap siswa,
dimana pada kolom kiri merupakan prilaku yang dikategorikan destroyer (pengganggu
peristiwa belajar) dan pada kolom kanan yang dikategorikan ‘facilitator’ (pemermudah
peristiwa belajar).