Anda di halaman 1dari 6

OTONOMI PENDIDIKAN

(Jawaban Dalam Menghadapi Tantangan Dunia Pendidikan Dan Peningkatan Mutu


Pendidikan Sekolah)

Setelah digulirkannya tuntutan reformasi beberapa tahun yang lalu (1998) tampak membuahkan hasil dengan
diberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 2003. Perubahan arah kebijakan tersebut secara langsung juga
berimplikasi pada dunia pendidikan. Paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralisasi merupakan produk
nyata dari pelaksanaan reformasi di bidang pendidikan. Sejumlah faktor yang menjadi pendorong pelaksanaan
otonomi pendidikan antara lain: tuntutan dari segenap pemangku kepentingan, adanya reformasi dalam bidang
pendidikan, dan adanya dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat sentralisasi pendidikan selama ini. Memasuki
reformasi, tuntutan orang tua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis dan perhimpunan buruh untuk turut
serta, berpartisipasi aktif, mengontrol dan melakukan penilaian kualitas proses dan output pendidikan.
Di era baru, pendidikan nasional setidaknya menghadapi lima tantangan besar yang sangat kompleks.
Tantangan-tantangan itu saling berkaitan satu sama lain dan memberi dampak langsung terhadap dunia pendidikan,
serta dunia pendidikan harus dapat menyikapi tantangan itu secara efektif. Perubahan paradigma tersebut dilakukan
sebagai upaya untuk menghadapi tantangan dunia pendidikan dengan mengedepankan peningkatan mutu pendidikan
itu sendiri. Dalam konteks ini mutu pendidikan dianalogikan sebagai kebutuhan konsumen. Bagi lembaga pendidikan
yang produknya berupa jasa, kepuasan pelanggan dapat bermakna ganda. Pertama, kepuasan terhadap layanan
penyelenggaraan di dalam proses pendidikan, dalam bentuk berbagai layanan kepada siswa, baik didalam kelas
maupun di luar kelas, serta berbagai variasi program yang disajikan menyenangkan dan menggairahkan untuk belajar
dan beraktivitas. Juga layanan terhadap orang tua di dalam berhubungan dan berkomunikasi serta kerja sama dengan
sekolah. Kedua, kepuasan terhadap hasil pendidikan yang mengacu pada berbagai kompetensi yang dicapai siswa,
baik selama proses maupun setelah lulus (kompetensi lulusan) berdasarkan standar yang ditetapkan atau pemenuhan
harapan konsumen setelah lulus.
Era reformasi di Indonesia yang dicetuskan sejak 13 tahun yang lalu terus berjalan dengan tetap berbenah
pada arah perbaikan dan peningkatan mutu dan hasil, tanpa kecuali dibidang pendidikan. Perubahan paradigma
pendidikan dari sentralistik menjadi desentralisasi merupakan produk nyata dari pelaksanaan reformasi pendidikan.
Lahirnya Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 sebagai penyempurna dan pengganti UU No 2 Tahun
1989 memperkuat pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yang semula top down menjadi bottom up, dengan harapan
peningkatan mutu pendidikan.
Implikasi desentralisasi pendidikan ini adalah adanya pelimpahan wewenang dalam penyelenggaraan
pendidikan dari pusat ke daerah. Tanggung jawab, tugas, dan wewenang pemerintah pusat atau provinsi sebagian
dilimpahkan ke pemerintah kabupaten/kota. Daerah yang menginginkan kemajuan, sangat antusias dan serius dalam
merespon kehadiran otonomi pendidikan. Kabupaten-kota tidak menyia-nyiakan kesempatan dan kepercayaan besar
yang fundamental untuk memajukan pendidikan di daerahnya, sebagai tolak ukur penting dalam penyelenggaraan
otonomi daerah. Melalui otonomi daerah bidang pendidikan yang berhasil dilakukan dengan baik, daerah dalam
jangka panjang memiliki ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) bermutu untuk kepentingan kesinanmbungan
pembangunan di daerah.
Otonomi pendidikan sebagai konsekuensi dan hasil reformasi telah menjadi komitmen politik sejak otonomi
daerah diberlakukan. Pada saat mulai dilangsungkannya otonomi pendidikan tahun 2000 dengan diundangkannya UU
Nomor: 22 tahun 1999 dan UU Nomor: 32 tahun 2004, daerah memiliki kewenangan luas dan mendalam untuk
mengelola pendidikannya, mulai dari pendidikan pra sekolah sampai pendidikan menengah. Semua pihak tanpa
kecuali, utamanya pemerintah dan masyarakat di daerah harus mendukung, melaksanakan, dan pendidikan yang
berotonomi harus disukseskan.
Otonomi pendidikan memang diyakini sebagai modal dasar untuk terselenggaranya pendidikan berkualitas.
Otonomi pendidikan juga diyakini dapat menghadapi tantangan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Melalui otonomi
pendidikan akan terbangun sistem pendidikan yang kokoh di daerah; demokratisasi pendidikan berjalan dengan
partisipasi nyata dan luas dari masyarakat, memupuk kemandirian, mempercepat pelayanan, dan potensi sumberdaya
lokal di daerah dapat didayagunakan secara optimal untuk suatu kemajuan pendidikan (Amijoyo, 2001). Dalam
menghadapi tantangan dunia pendidikan, otonomi pendidikan menjadi jawaban dalam rangka meminimalisir atau
menghilangkan tantangan dunia pendidikan yang dihadapi serta sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan itu
sendiri.

Pengertian Otonomi (Desentralisasi) Pendidikan


Otonomi (desentralisasi) pendidikan adalah proses pendelegasian atau pelimpahan kekuasaan (wewenang)
dari pimpinan atau atasan ke tingkat bawahan dalam organisasi. Melalui desentralisasi, segala keputusan yang dibuat
dalam tubuh organisasi didelegasikan kepada tingkatan di bawahannya (Musaheri: 2005:125). Otonomi pendidikan
berarti suatu pemberian kewenangan, mandat, kepercayaan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pendidikan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; dan atau dari pemerintah daerah kepada satuan pendidikan, baik
dari sisi dana, personalia, sarana dan prasarana serta manajemen dan kurikulum pendidikan.

Perlunya Otonomi Pendidikan


Ada sejumlah faktor yang menjadi pendorong pelaksanaan otonomi pendidikan. Menurut Musaheri (2005) faktor
tersebut antara lain: Pertama, tuntutan orang tua, kelompok masyarakat, para legislator, bisnis dan perhimpunan
buruh, untuk turut serta, berpartisipasi aktif, mengontrol dan melakukan penilaian kualitas proses
dan output pendidikan. Kedua, struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat dan ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif
kebutuhan dan tuntutan pendidikan bermutu sesuai karakteristik dan harapan masyarakat yang beraneka ragam.
Ketiga, terjadinya tuntutan reformasi dalam bidang pendidikan dan kurangnya persaingan antardaerah dalam
memajukan pendidikan serta tuntutan masyarakat untuk mandiri sesuai dengan kemampuan daerah dalam
menyelenggarakan dan memajukan bidang pendidikan. Keempat, adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah
pusat atas pendanaan, kurikulum, fasilitas, sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pendidikan; yang
menjadikan kurangnya kreativitas dari daerah, sekolah, dan personalia penyelenggara pendidikan serta
akibatnya kemandirian dalam pengelolan pendidikan sulit diwujudkan.

Tujuan dan Manfaat Otonomi Pendidikan


Otonomi pendidikan dapat meningkatkan efisiensi manajemen dan kepuasan kerja tenaga pendidikan serta
menciptakan suatu sistem pendidikan dengan kebijakan-kebijakan yang konkret; sumber daya pendidikan dapat
didayagunakan secara optimal; dapat menggali potensi lokal secara lebih efektif, dapat mengelola sistem pendidikan
yang sejalan dengan kebudayaan setempat, serta partisipasi masyarakat dalam pendidikan meningkat; akuntabilitas
pendidikan juga meningkat; dan pada gilirannya mutu pendidikan dapat terjamin.

Dengan otonomi pendidikan, maka efek positif yang muncul adalah terjadinya perbaikan pendidikan di tingkat lokal,
efisiensi administrasi, efisiensi keuangan, dan terwujudnya pelayanan pendidikan sebagai modal dasar
terselenggaranya pendidikan berkualitas serta sebagai instrumen vital dalam menghadapi tantangan dunia pendidikan.
Prinsip-Prinsip Otonomi Pendidikan
Otonomi (desentralisasi) pendidikan memiliki prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi sebagai
berikut: Pertama, pola dan pelaksanaan manajemen yang diterapkan dalam otonomi pendidikan mulai dari proses
perencanaan, pelaksanaan, supervisi dan monitoring serta evaluasinya harus demokratis. Kedua, pemberdayaan
masyarakat harus menjadi tujuan utama; peran serta masyarakat harus menjadi bagian mutlak dari sistem pengelolaan
pendidikan; sehingga masyarakat diberi keleluasaan berpartisipasi, terlibat dan melibatkan diri secara aktif, difasilitasi,
diberi ruang aktualisasi dan akhirnya diberi kepercayaan dan pengharhgaaan atas partisipasinya. Ketiga, pelayanan
harus lebih cepat, efisien dan efektif demi kepentingan peserta didik dan rakyat banyak; serta keanekaragaman
aspirasi serta nilai dan norma lokal harus dihargai dalam kerangka dan untuk penguatan sistem pendidikan nasional..

Membangun Otonomi Pendidikan Yang Efektif


Pendidikan yang berotonomi dapat cerah bergantung pada sistem yang mendasari;
penyelenggaraannya akuntabel; pemimpin pendidikan yang dapat membangun sistem otonomi pendidikan secara
berkelanjutan dengan manajemen modern; terbangunnya partisipasi masyarakat secara luas dan berjalannya
rivitalisasi sekolah sebagai tumpuan utama otonomi pendidikan. Sistem pendidikan di otonomi daerah dapat terbangun
kokoh, bila dilandasi aturan main yang mantap dan jelas sebagai pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang
berotonomi. Tanpa aturan main yang mantap dan jelas (komprehensip, aspiratif, demokratis, dan daya antisipasi ke
depan), memberi peluang terjadinya otoritarisme baru, inkonsistensi kebijakan, dan kontraproduktif pengelolaan yang
justru merusak sendi-sendi desentralisasi pendidikan.
Peraturan pendidikan, khususnya Perda merupakan keputusan politik. Upaya desentratisasi pendidikan
seringkali sukses atau gagal lebih disebabkan oleh alasan politis dari pada alasan teknis. Keputusan politis pendidikan
dapat berdampak positif, bila dibangun di atas konsensus luas, dengan dukungan penuh dari berbagai pelaku yang
terlibat (Stakeholder), dan memperhatikan berbagai kelompok kepentingan yang terkena pengaruh sebagai akibat
otonomi pendidikan melalui wadah Dewan Pendidikan. Akuntabilitas merupakan kunci utama penyelenggaraan
otonomi pendidikan. Dalam hal ini ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas. Pertama,
adanya transparansi para penyelenggara pendidikan dalam menetapkan kebijakan publik dengan menerima masukan
dan mengikutsertakan institusi terkait. Kedua, adanya standarisasi kinerja pendidikan yang dapat diukur dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya. Dan Ketiga adalah adanya partisipasi untuk saling menciptakan
suasana kondusif dalam memberikan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang mudah disertai biaya murah, dan
pelayanan yang cepat (Menpan, 2001)
Dalam upaya menumbuhkan konsensus ke arah terwujudnya otonomi pendidikan yang efektif, dibutuhkan
langkah-langkah antara lain: Pertama, mengenali semua pihak terkait dengan kepentingan-kepentingan mereka.
Sebuah analisis yang hati-hati perlu dibuat untuk semua individu dan kelompok yang mempunyai kepentingan dalam
pendidikan dan apa yang masing-masing bisa diperoleh atau bahkan kehilangan karena desentralisasi.
Kedua memasukkan kepentingan-kepentingan yang mendasar ke dalam suatu model dengan mengorganisasi diskusi
publik. Desentralisasi harus dirancang dengan mempertimbangkan kekhawatiran-kekhawatiran utama dari berbagai
pihak yang berkepentingan dan perlu dilakukan diskusi-diskusi publik agar diperoleh pemahaman mendalam tentang
model otonomi pendidikan yang akan dibuat. Ketiga, mengklarifikasi tujuan-tujuan desentralisasi dan menganalisis
perintang-perintang desentralisasi. Semua ancaman penting yang menghantui seluruh upaya
desentralisasi diklarifikasi dan dirumuskan ke dalam tujuan desentralisasi serta dibutuhkan analisis memadai terhadap
masalah yang mungkin timbul setelah dilakukan otonomi pendidikan. Keempat, menghargai peran dari berbagai
pelaku dan menyediakan pelatihan yang memadai disertai sistem pemantauan. Berbagai peran dari masing-masing
yang terlibat diberi kesempatan yang seluas-luasnya dan diberi penghargaan secara demokratis serta disediakan
serangkaian pelatihan yang memadai agar memiliki kecakapan dalam melakukan otonomi pendidikan ditindaklanjuti
dengan mengembangkan sistem pemantauan.

Tantangan Dunia Pendidikan


Di era pasca reformasi hingga saat ini, pendidikan nasional setidaknya menghadapi lima tantangan besar
yang sangat kompleks. Tantangan-tantangan itu saling berkaitan satu sama lain dan memberi dampak langsung
terhadap dunia pendidikan, serta dunia pendidikan harus dapat menyikapi tantangan itu secara efektif. Adapun
tantangan-tantangan yang dihadapi dunia pendidikan tersebut, menurut Sidi (2003) yaitu: Pertama, tantangan untuk
meningkatkan nilai tambah (added value). Meningkatkan nilai tambah dalam rangka membangun produktivitas,
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan
berkelanjutan di tengah tuntutan kebutuhan yang tak terbatas. Kedua, tantangan untuk melakukan pengkajian secara
komprehensif dan mendalam terhadap terjadinya transformasi (perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat
agraris ke masyarakat modern menuju masyarakat industri yang menguasai teknologi dan informasi, yang implikasinya
pada tuntutan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang
semakin ketat, dengan jalan meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya yang bermutu dan
mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (iptek). Keempat, tantangan
terhadap munculnya kolonialisme baru di bidang iptek dan ekonomi menggantikan kolonialisme politik. Dengan
demikian, kolonialisme kini tidak lagi berbentuk fisik, melainkan dalam bentuk informasi. Berkembangnya teknologi
informasi dalam bentuk komputer dan internet, sehingga bangsa kita menjadi sangat tergantung kepada bangsa Barat
dalam hal teknologi dan informasi. Inilah bentuk kolonialisme baru yang menjadi semacam viritual enemy yang telah
masuk ke seluruh pelosok dunia ini. Semua tantangan itu menuntut SDM Indonesia, khususnya generasi muda
terpelajar agar meningkatkan serta memperluas pengetahuan, wawasan keunggulan (baik komparatif maupun
kompetitif), keahlian yang profesional, serta keterampilan kualitasnya. Kelima, tantangan berkaitan dengan bertambah
rusaknya jaman, dekadensi moral yang terus meningkat; dan terpaan secara dahsyad budaya global serta dunia
pendidikan dituntut menyiapkan sumber daya manusia yang bukan hanya memiliki ahlakul karimah, melainkan pula
mampu dan tanggap membentengi diri dan mengarahkan pihak lain terhadap berbagai perilaku yang merusak tatanan
agama, budaya dan etika bangsa

Pola Pikir Menjawab Tantangan Masa Depan

Pola berpikir masa lalu (milenium kedua) Pola berpikir masa kini (milenium ketiga)

Pembelajaran penting hanya dapat dilakukan melalui Orang dapat mempelajari sesuatu dari banyak sumber
fasilitas pembelajaran formal

Setiap orang harus mempelajari satu isi materi yang Setiap orang memahami proses pembelajaran dan
sama keterampilan dasar pembelajaran

Proses pembelajaran dikendalikan oleh guru. Apa Pendidikan dan pembelajaran merupakan aktivitas
yang diajarkan, bilamana harus diajarkan, dan interaktif. Keberhasilannya ditentukan oleh seberapa jauh
bagaimana harus diajarkan, semuanya ditentukan pembelajar dapat bekerjasama sebagai tim.
oleh seorang profesional

Pendidikan formal mempersiapkan orang untuk hidup Pendidikan formal merupakan dasar bagi pembelajaran
sepanjang hayat.
Pola berpikir masa lalu (milenium kedua) Pola berpikir masa kini (milenium ketiga)

Sebutan “pendidikan” dan “sekolah” hampir selalu “Sekolah” hanya salah satu tahapan dalam perjalanan
dalam pengertian yang sama pendidikan

Sekali seseorang meninggalkan pendidikan formal, Pendidikan formal menyediakan satu rentangan interaksi
maka ia memasuki “dunia nyata”. antara pembelajar dengan dunia bisnis, perdagangan, dan
Makin lebih banyak memperoleh kualifikasi formal, politik.Makin lebih banyak memiliki kemampuan dan daya
maka makin banyak kesuksesan akan diraih. adaptasi makin banyak meraih kesuksesan. Pendidikan
dasar dibiayai bersama oleh pemerintah dan sektor swasta

Pendidikan dasar dibiayai oleh pemerintah

Peningkatan Mutu Pendidikan dalam Otonomi Sekolah


Dengan era globalisasi dan pelaksanaan otonomi daerah peranan pendidikan semakin dipentingkan dan
mutu pendidikan merupakan prioritas paling menentukan guna mempersiapkan diri dalam penyediaan sumber daya
manusia yang mampu menyesuaikan dengan tuntutan globalisasi dan pemenuhan kebutuhan lokal. Perbaikan mutu
pendidikan itu pada prinsipnya terjadi di dalam sekolah sebagai institusi vital pendidikan. Oleh karena itu, usaha
peningkatan mutu pendidikan harus terkait erat dengan usaha pemberdayaan sekolah, guru dan masyarakat dalam
mendukung pendidikan persekolahan. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilakukan hanya dengan memperbaiki
kurikulum, menambah buku pelajaran, dan menyediakan laboratorium di sekolah. Mutu pendidikan itu merupakan
persoalan mikro pendidikan yang terkait dengan persoalan kemampuan guru, kesiapan sekolah dalam mendukung
proses belajar dengan menyediakan fasilitas yang diperlukan, dan partisipasi masyarakat pendukung pendidikan yang
ada di wilayahnya disertai penataan manajemen (Suryadi, 2002).
Menurut Indra Djati Sidi, mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan langkah-langkah sebagai
berikut. Pertama, pembenahan kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar
minimal (minimum basic skill), menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan
mandiri serta menerapkan secara berkesinambungan kurikulum berbasis kompetensi. Kedua, peningkatan kualifikasi,
kompetensi dan profesionalisme tenaga kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan melalui pendidikan dan
pelatihan, melalui lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), dan lembaga diklat profesional.
Ketiga, penetapan standar kelengkapan dan kualitas sarana prasarana pendidikan yang menjadi persyaratan bagi
setiap lembaga pendidikan dasar dan menengah, lembaga pendidikan tinggi, sehingga dapat melaksanakan kegiatan
belajar mengajar secara optimal. Keempat, pelaksanaan program peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah
sebagai upaya pemberian otonomi pedagogis kepada guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajar, sehingga mereka dapat melakukan yang terbaik, meningkatkan prestasi siswa, dan kinerja sekolah serta
dapat bertanggung jawab pada orang tua dan masyarakat tentang kualitas pembelajaran dan hasil yang dicapai.
Kelima, penciptaan iklim dan suasana kompetitif dan koperatif antarsekolah dalam memajukan dan meningkatkan
kualitas siswa dan sekolah sesuai dengan standar minimal yang ditetapkan. Melalui ikhtiar ini, setiap sekolah akan
terpacu untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan penyelenggaraan pembelajaran. Keenam, penerapan
telematika dalam pendidikan, pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap kabupaten/kota; pengembangan
sekolah berkeunggulan lokal di setiap kabupaten/kota; perluasan pendidikan berkecakapan hidup; akselerasi jumlah
prodi kejuruan, vokasi dan profesi; serta peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI. Ketujuh, perumusan
dan peningkatan standardisasi pendidikan. Dalam pendidikan terdapat dua jenis standar, yaitu standar akademis
(academic content standards) dan standar kompetensi (performance standards). Standar akademis merefleksikan
pengetahuan dan keterampilan esensial setiap disiplin ilmu yang harus dipelajari oleh seluruh peserta didik.
Sedangkan standar kompetensi ditunjukkan dalam bentuk proses atau hasil kegiatan yang didemonstrasikan oleh
peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya. Penyelenggaraan
otonomi sekolah sebagai langkah esensial dari otonomi daerah; dan telah diterapkan suatu terobosan kebijaksanaan
untuk otonomi pendidikan yang disebut manajemen berbasis sekolah (school based management). Dengan otonomi
sekolah, dapat lebih dioptimalkan peran sekolah dan menghargai kebutuhan nyata di setiap sekolah. Pemerintah
sekarang telah berkomitmen, bahwa pendidikan berkualitas hanya akan nyata terwujud, bila otonomi daerah berujung
pada otonomi sekolah yang berbasiskan manajemen (School based management) (Depdikbud, 2002). Manajemen
pendidikan berbasis sekolah tersebut dipandang sebagai sebuah bentuk pilihan (alternasi) strategis pemerintah dalam
upaya melaksanakan desentralisasi pendidikan. Sekolah menjadi tujuan utama dari setiap keputusan dan
upaya-upaya perbaikan pendidikan. Sehingga demand approach bisa benar-benar dilaksanakan oleh setiap sekolah
dalam hal perbaikan menuju terwujudnya mutu pendidikan. Karena itu, membangun mutu lembaga pendidikan
meniscayakan pentingnya partisipasi para staf dan orang tua serta masyarakat luas dalam proses penentuan jalannya
sekolah. Sekolah yang menginginkan untuk maju, setiap keputusan sebagai awal perbaikan dibuat secara kolektif
oleh stakeholders: kepala sekolah, seluruh staf dan guru, orang tua, tokoh masyarakat, bahkan juga para siswa sendiri
melalui suatu wadah komite sekolah. Melalui peran serta masyarakat secara luas dan mendalam terhadap sekolah,
penyelenggaraan pendidikan di sekolah akan berjalan sesuai kebutuhan dan kenyataan-kenyataan yang ada di
masyarakat, serta masyarakat akan mudah dalam memberikan suatu dukungan dan bantuan terhadap sekolah. Pada
gilirannya, maka pelaksanaan pendidikan di sekolah berjalan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Dari perspektif
demikianlah, konsep community based education (pendidikan berbasis komunitas/ masyarakat) merupakan
konsekuensi dari otonomi pendidikan dan otonomi sekolah sebagai pilar utama dan strategis dalam ikut memajukan
pendidikan. Seluruh potensi dan berbagai kenyataan yang hidup dan berkembang di masyarakat diperhatikan,
diperhitungkan, dan diperankan semaksimal mungkin melalui konsep manajemen berbasis masyarakat (community
base education) dan pengelolaan basis sekolah (school base management), yang kini banyak disebut-sebut para
pakar dan praktisi pendidikan, adalah amat tepat.
Di era otonomi pendidikan, partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai
program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi, karena partisipasi
tersebut bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah. Karena
itu, Depdiknas telah menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah (school-based management) sebagai
landasan bagi setiap lembaga pendidikan untuk menata manajemennya secara profesional serta mengembangkan
kesadaran di kalangan profesional dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah
sehingga merasa ikut memiliki (Zamroni, 2000).

Anda mungkin juga menyukai