Anda di halaman 1dari 16

PARADIGMA BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN: Kajian Ideal Penerapan Konsep

Pendidikan Berbasis Masyarakat

Rizki Maulana, S.Sos, MSP

Abstrak
Pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat atau
pendidikan yang sebagian besar keputusan-keputusannya dibuat oleh masyarakat. Tujuan
pendidikan berbasis masyarakat (community based education) pada hakikatnya adalah
pemberdayaan masyarakat ke arah yang lebih baik demi terwujudnya masyarakat yang unggul
dalam segala bidang. Melalui konsep tersebut masyarakat diberdayakan segala potensi dan
kemampuan yang dimilikinya. Pemberdayaan dan pendidikan ini berlangsung terus-menerus dan
seumur hidup (long life education). Hubungan atau relasi pemerintah dan masyarakat pada
konsep ini adalah hubungan kemitraan (partnership), yang mana keduanya memiliki perannya
sendiri. Untuk berperan sebagai kekuatan pendidikan nasional, sekaligus untuk memberikan
sumbangan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, maka Pendidikan Berbasis Masyarakat
harus mengedepankan, yaitu Pertama, pola pengembangan yang melibatkan seluruh potensi di
dalam masyarakat untuk turut bertanggung jawab mengenai mutu pendidikan setempat
khususnya, dan mutu pendidikan nasional pada umumnya. Kedua, pola berbasis masyarakat
mengutamakan pengelolaan sendiri pendidikan di dalam konteks masyarakat, meliputi;
penentuan prioritas program pendidikan yang khas, penyediaan dana operasional dan
infrastrutur, pengadaan tenaga-tenaga yang kompeten, pelaksanaan dan pemantauan secara
menyeluruh, penilaian dan peningkatan efisiensi dan efektifitas.

PENDAHULUAN
Pembangunan sektor pendidikan secara terarah, terencana, intensif, efektif dan efisien
merupakan keharusan kalau tidak ingin suatu bangsa ketinggalan dalam persaingan global. Oleh
karena itu, berbagai upaya telah dan terus diupayakan pemerintah untuk mewujudkan SDM
berkualitas melalui usaha mengembangkan dan memperbaiki kurikulum dan sistem evaluasi,
perbaikan sarana pendidikan, pengadaan materi pembelajaran, serta pelatihan bagi guru dan
tenaga kependidikan lainnya. Akan tetapi upaya tersebut pada kenyataannya, sampai saat ini
belum cukup untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan bagi masyarakat
(Umaedi:1999).
Hasil Sensus Sosial Ekonomi Nasional terbaru menunjukkan masih tingginya angka
putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan di Indonesia. Rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia merupakan akumulasi dari kebijakan yang tidak tepat dalam pembangunan di
Indonesia dasawarsa sebelumnya. Pendekatan mutu dengan sistem education production function

1
atau input-output analysis tidak dilaksanakan dengan baik karena sistem pelaksanaan pendidikan
yang terlalu birokratis dan terpusat. Akibatnya muncul kecenderungan guru terpaku pada
kurikulum baku yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan melalui petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan. Peran guru yang seharusnya dapat menjadi promotor siswa dalam proses belajar
siswa, turun hanya sebatas sebagai pengajar. Selain itu, pendidikan
yang terpusat menjadikan masyarakat apatis terhadap program pendidikan (Mulyasa
2005: 23-24 dan Suderajat 2005 : 39-41).
Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang hidup dari dan untuk masyarakat.
Pendidikan yang berdasar pada masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang sebenarnya.
Pendidikan akan menjadi terasing dari konteks tujuannya apabila partisipasi masyarakat
diabaikan, karena pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan dan kebudayaan yang nyata.
Pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya adalah pendidikan
yang tidak memiliki tanggungjawab. Pendidikan berbasis masyarakat dan manajemen pendidikan
berbasis sekolah adalah wujud nyata dari demokratisasi dan desentralisasi pendidikan (Tilaar
2000 : 105).
Dalam Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 disebutkan konsep
dan prinsip-prinsip pendidikan berbasis masyarakat sebagai berikut:

1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan


formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan
budaya dari oleh dan untuk kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan
kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta managemen dan pandangannya sesuai dengan
standar nasional pendidikan.
3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah, dan atau sumber
lain yang tidak bertentangan dengan peraaturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana, dan sumber lain secara adil dan merata dari pemerintah dan atau pemerintah
daerah.

2
Oleh karena itu, implikasi dari pendidikan berbasis masyarakat pendidikan harus
direncanakan, dikembangkan oleh masyarakat yang pelaksanaannya merupakan hasil kerjasama
antara pemerintah dengan masyarakat. Pelaksanaan pendidikan tidak dapat diberlangsungkan
secara tertutup, jauh dari realitas kebutuhan riil masyarakat. Sesuai dengan prinsip desentralisasi
maka pelaksanaan pendidikan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan harus
dikembangkan berdasarkan prinsip otonomi yaitu mengembalikan keberadaan sekolah pada akar
rumputnya (masyarakat).

PEMBAHASAN
Dasar Pemikiran Pendidikan Berbasis Masyarakat
Gelombang keinginan para pemikir untuk mengubah pola pendidikan yang terpusat pada
negara menuju perubahan pada pola pendidikan dengan basis masyarakat sudah lama ada.
Pemikiran ini muncul oleh karena sekolah dianggap sebagai lembaga asing yang tidak memiliki
relevansi (kaitan) langsung dengan kehidupan masyarakat (Surjadi 1989:100-122).
Sejalan dengan diberlakukannnya Undang-undang Otonomi Daerah yang salah satu
tujuannya yaitu untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan dan
meningkatkan peran serta masyarakat, maka konsekuensi pelaksanaan pendidikan juga
diharapkan senantiasa melihat dan memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.
Sehingga satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan kebutuhan bentuk
pendidikan saat ini. Agar percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki
oleh masyarakat lokal dapat segera terwujud. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus
dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan local (Arifin 2003).
Perspektif sejarah persekolahan menjelaskan bahwa kebermaknaan sekolah selalu dilihat
sebagai institusi yang menopang kehidupan masyarakat, yaitu untuk memenuhi kebutuhannya.
Salah satu kebutuhan tersebut adalah kemilikan kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat (Satori 2006). Oleh karena itu terkait dengan desentralisasi pendidikan,
perencanaan, pengembangan, dan pelaksanaan pendidikan merupakan hasil kerjasama antara
pemerintah dengan masyarakat. Pelaksanaan pendidikan tidak dapat diberlangsungkan secara
terpisah, jauh dari realitas kebutuhan riil masyarakat. (Suryadi, 2001)
Tilaar (2000 : 105) menegaskan bahwa pendidikan yang benar adalah pendidikan yang
hidup dari dan untuk masyarakat. Pendidikan yang berdasar pada masyarakat merupakan bentuk

3
pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan akan menjadi terasing dari konteks tujuannya apabila
partisipasi masyarakat diabaikan, karena pendidikan tidak mampu menjawab kebutuhan dan
kebudayaan yang nyata. Pendidikan yang terlepas dari masyarakat dan budaya yang ada
didalamnya adalah pendidikan yang tidak memiliki akuntabilitas.

Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat


Pendidikan berbasis masyarakat (community based education) adalah konsep pendidikan
yang menekankan pada paradigma pendidikan dalam upaya peningkatan partisipasi dan
keterlibatan masyarakat, serta pengelolaan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan global dan
nasional.
Definisi formal tentang pendidikan berbasis masyarakat telah ditegaskan Dalam Undang
Undang Sistem Pendidikan Nasional Bab XV bagian dua pasal 55. Pendidikan berbasis
masyarakat diartikan sebagai bentuk penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama,
sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan
untuk masyarakat (UU Sisdiknas Tahun 2003).
Comton and Mc Clusky menggunakan istilah community education for
development untuk menjelaskan pendidikan berbasis masyarakat yang diartikan
sebagai proses dimana setiap anggota masyarakat hadir untuk mengemukakan semua persoalaan
dan kebutuhan, mencari solusi diantara mereka, mengerahkan sumberdaya
yang tersedia, dan melaksanakan suatu rencana kegiatan atau pembelajaran atau keduanya.
Sehingga, pendidikan berbasis masyarakat berangkat dari asumsi bahwa masyarakat baik desa
maupun kota memiliki potensi untuk memecahkan permasalahan yang dialami secara mandiri
dengan menggali potensi yang dimilikinya (Galbraith 1995).
Michael W. Galbraith sendiri memberikan pengertian bahwa pendidikan
berbasis masyarakat memiliki pengertian yang sama dengan community-based
education yaitu proses pendidikan dimana individu-individu (dalam hal ini orang
dewasa) menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep-konsep
mereka dalam mencapai kehidupan melalui usaha yang lebih, dalam mengontrol
aspek-aspek lokal masyarakat mereka melalui keterlibatan secara demokratis (Galbraith 1995).
Dari beberapa definisi tersebut maka dapat diambil sebuah pemahaman bahwa
pendidikan berbasis masyarakat memiliki tujuan utama untuk melayani kekhasan kebutuhan

4
masyarakat secara menyeluruh dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara mandiri.
Pendidikan berbasis masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap komponen dari masyarakat
memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk memecahkan problem sosial masyarakat
dengan memobilisasi aksi bersama. Masyarakat dalam konteks pendidikan berbasis masyarakat
adalah agen (pelaksana), tujuan dan sekaligus sebagai fasilitator dalam proses pendidikan.
Implementasi pendidikan berbasis masyarakat diharapkan setiap anggota masyarakat
dapat belajar bersama. Para guru, dewan pendidikan, pengelola dan pelajar
adalah semua anggota masyarakat dari semua generasi. Para guru tidaklah harus dari
guru sekolah, akan tetapi mereka yang memiliki pengalaman atau keahlian dapat dijadikan
sebagai guru. Guru bertindak sebagai pemimpin yang mengambil peran dalam mencarikan jalan
para siswa untuk mencapai pengetahuannya secara terbuka dan memberikan kebebasan untuk
mengkaji dengan cara pandang yang berbeda (Earth Systems Science 2005).
Secara lebih sederhana, formulasi konsep pendididikan berbasis masyarakat bertumpu
pada tiga pilar utama yaitu dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan merupakan jawaban dari apa yang menjadi
kebutuhan masyarakat. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat merupakan pelaku atau
subjek pendidikan yang aktif, bukan hanya sekedar sebagai objek pendidikan sehingga
masyarakat betul-betul memiliki, bertangungjawab dan peduli terhadap pendidikan. Sedangkan
pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat secara aktif terlibat dalam semua
program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka (Zubaedi:2005).
Untuk melaksanakan konsep pendidikan berbasis masyarakat setidaknya perlu
dipersiapkan lima hal:

1. Teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang
ada di masyarakat.
2. Adanya lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki, dipinjam, dikelola, dan
dikembangkan oleh masyarakat. Disini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam
perencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah.
3. Program pelajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi
kehidupan peserta didik atau warga belajar.
4. Program belajar harus milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah.

5
5. Aparat pendidikan luar sekolah tidak menangani sendiri programnya, tetapi
melibatkan dengan organisasi masyarakat lainnya (Zubaedi 2005:139-140).

Sihombing (1999:17) memberikan ciri-ciri khusus yang membedakan pendidikan


berbasis masyarakat dengan pendidikan berbasis sekolah. Pendidikan berbasis masyarakat
menurut Sihombing diarahkan tidak semata-mata memintarkan anak didik, tetapi juga
mencerdaskan. Oleh karena itu pendidikan berbasis masyarakat memberikan pelayanan proses
pendidikan tidak sebatas pada pengetahuan yang bersifat kognitif akan tetapi melakukan
pembelajaran terhadap masyarakat tentang segala aspek kehidupan.
Pendidikan berbasis masyarakat mengharuskan pelaksanaan pendidikan berbasis
masyarakat tidak jauh dari realitas yang dialami oleh masyarakat, sehingga program pendidikan
disusun berdasarkan kondisi dan kebutuhan riil di masyarakat mulai dari tingkat perencanaan
hingga evaluasi. Keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan untuk menampung aspirasi yang
menjadi kebutuhan dalam menyusun tujuan pendidikan yang diinginkan.
Oleh karena itu, inti sari dari pendidikan berbasis masyarakat adalah proses
kesadaran dari hubungan sosial yang diarahkan untuk pengembangan pendidikan dari, oleh dan
untuk masyarakat dengan memperhatikan kondisi sosial, politik, lingkungan, ekonomi, dan
faktor lainnya. Untuk melaksanakan program pendidikan berbasis masyarakat perlu adanya
kesadaran, kepercayaan dan keterlibatan penuh anggota dengan pemperhatikan kebebasan,
kemampuan dana, dan kesediaan untuk mengambil peranan.

Prinsip-Prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat


Galbraith dalam Zubaedi (2006) memberikan uraian tentang prinsip pendidikan berbasis
masyarakat sebagai berikut:

1. Self Determination (Menentukan Sendiri): Setiap anggota masyarakat memiliki hak dan
tangungjawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengenali
sumberdaya masyarakat yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan.
2. Self Help (Menolong Diri Sendiri): Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika
kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan
dikembangkan. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih

6
baik dari pada menggantungkan diri, karena mereka beranggapan bahwa kesejahteraan
adalah tanggungjawab jawab mereka sendiri.
3. Leadership Development (Pengembangan Kepemimpinan): Pemimpin lokal harus
mendapat pelatihan keahlian seperti pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan
memandirikan kelompok untuk mengembangkan masyarakat secara berkesinambungan.
4. Localization (Lokalitas): Potensi terbesar untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan
untuk terlibat dalam kehidupan di tempat tinggal.
5. Integrated Delivery of Service (Keterpaduan Pemberian Pelayanan): Setiap organisasi
atau agen yang ada dalam masyarakat secara bersamasama melayani masyarakat untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
6. Reduce Duplication of Service (Mengurangi Duplikasi Jasa): Masyarakat perlu
mengkoordinasikan secara menyeluruh segala bentuk pelayanan, keuangan, dan sumber
daya manusia untuk menghindari duplikasi jasa.
7. Accept Diversity (Menerima Keanekaragaman): Menghindari pemisahan atau
pengasingan orang-orang disebabkan oleh perbedaan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis
kelamin, ras, etnik, agama, yang menyebabkan terhalangnya pengembangan masyarakat
secara optimal. Termasuk perwakilan warga masyarakat seluas mungkin terlibat dalam
pengembangan, perencanaan, dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas
kemasyarakatan lainnya.
8. Institusional Responsiveness (Tanggungjawab Kelembagaan): Pelayanan terhadap
kebutuhan masyarakat yang berubah secara terusmenerus adalah sebuah kewajiban dari
lembaga publik, karena mereka ada untuk melayani orang banyak (masyarakat).
9. Lifelong Learning (Pembelajaran Seumur Hidup): Peluang untuk belajar secara informal
dan formal harus tersedia untuk setiap anggota masyarakat dari berbagai jenis latar
belakang (Zubaedi 2006 : 138- 138, Galbraith 1995).

Penerapan Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat


Achmad Munib (2011: 106) menyatakan bahwa lembaga pendidikan formal masih dinilai
lamban dalam merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar
yaitu, terkait dengan kesejahteraan. Oleh karena itu, dunia pendidikan dituntut untuk membuka
diri dalam merespon perubahan di antaranya dengan memodernisasi manajemen pengelolaannya.

7
Sudah saatnya dioptimalkan manajemen pendidikan ditangani secara rapi sesuai prinsip-prinsip
manajemen yang benar berbasis kemasyarakatan.
Manajemen pada konteks ini dimaksudkan sebagai proses perencanaan dan pembuatan
keputusan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian keuangan, fisik, dan sumber
informasi untuk memanfaatkan sumber daya yang ada guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan secara efektif dan efisien (Kamisa 1997: 49). Efektif dan efisien dimaksudkan
ketepatan cara, usaha, kerja dalam menjalankan sesuatu dengan tidak membuang waktu, tenaga,
biaya; kedayagunaan; ketepatgunaan.
Zubaedi (2007: 156) menyatakan bahwa desain manajemen pendidikan berbasis
masyarakat meliputi; perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan pengembangan yang
terus-menerus melalui budgeting dan evaluasi. Berikut dijelaskan secara rinci penerapan desain
manajemen pendidikan berbasis masyarakat.

1. Perencanaan (Planning)

Sekarang ini yang menjadi perhatian serius adalah sebuah realita bahwa nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat semakin terkikis eksistensinya. Hal ini terjadi
karena generasi muda sebagai penerus bangsa dalam konteks siswa sudah tidak lagi
mendapatkan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan, misal pengajaran tentang akhlak, tata
krama, sopan santun dan budaya. Karena pendidikan berbasis sekolah sekarang yang ada
mayoritas hanya berorientasi pada nilai rapor (hasil daripada proses) dan kurang mengedepankan
keterampilan hidup bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Sehingga moralitas bangsa, salah
satunya nilai-nilai kesopanan dan kesantunan di dalam dirinya, berangsur-angsur pudar.
Keidentikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah perlahan terkikis bersamaan
tergerusnya nilai-nilai moral lain.
Maka, untuk menjawab permasalahan tersebut sebagai sebuah kebutuhan adalah konsep
pendidikan berbasis masyarakat harus mengedepankan nilai-nilai moral kemasyarakatan sebagai
upaya pembangunan karakter siswa yang pandai juga baik dalam arti luas. Pendidikan tidak
hanya menghasilkan orang pandai tetapi tidak baik, begitu juga sebaliknya. Pendidikan tidak
cukup hanya untuk membuat anak pandai, tetapi juga harus mampu menciptakan nilai-nilai luhur
atau karakter.

8
2. Pengorganisasian (Organizing)

Zubaedi (2007: 158) menyatakan bahwa pengorganisasian merupakan aktivitas


menyusun dan membentuk hubungan-hubungan kerja antara orang-orang sehingga terwujud
suatu kesatuan usaha dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada tahap pengorganisasian
ini, merupakan pengaturan dan pembagian tugas-tugas pada seluruh pengurus atau pengelola
lembaga pendidikan untuk dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuannya dirangkai dalam Visi dan Misi pendidikan berbasis masyarakat sebagai
berikut; visinya adalah Mencetak generasi juara yang kompetitif, deduktif dan berakhlak mulia.
Generasi juara tersebut dimaksudkan pada tatanan mind set yaitu terciptanya generasi yang
tangguh, pantang menyerah, berani mencoba, optimis, sportif, jujur, dan tak kenal putus asa yang
memiliki jiwa kompetitif (daya saing yang berkualitas) deduktif (sikap deduksi) dan beakhlak
mulia (bermoral, beradab dan berbudaya).
Sedangkan Misi yang ditempuh adalah menyelenggarakan konsep pendidikan
berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, yang berbunyi
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Hal ini telah selaras (balance)
antara menekankan kecakapan keilmuan umum dan nilai-nilai kesusilaan.

3. Pengendalian (Controlling)

Kembali pada dasar pendidikan berbasis masyarakat yaitu pendidikan dari masyarakat,
oleh masyarakat dan untuk masyarakat, maka dalam proses penyelenggaraan pendidikan
pengendalian dilakukan secara bersama-sama antara pengurus, pengelola dan masyarakat.
Pada tataran implementasi pendidikan berbasis masyarakat, menjadi keharusan
masyarakat untuk berpartisipasi melakukan pengendalian dan pengawasan dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut pendayagunaan dan pengelolaan pendidikan.

9
4. Penganggaran (Budgeting)

Setiap Organisasi membutuhkan dana untuk membiayai kegiatannya. Begitu halnya


dengan organisasi pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Organisasi pendidikan harus mengadakan perencanaan budget secara berkala untuk mengalokasi
dana yang tersedia, agar dana itu dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh setiap unit kerja dalam
lembaga tersebut.
Menurut Koontz (dalam Zubaedi 2007: 160) penganggaran (budgeting) merupakan satu
langkah perencanaan dan juga sebagai instrumen perencanaan yang fundamental. Anggaran
dapat diartikan sebagai suatu rencana operasi dari suatu kegiatan atau proyek yang mengandung
perincian pengeluaran biaya untuk suatu periode tertentu. Selanjutnya koontz (dalam Zubaedi
2007: 160) membatasi bahwa budgeting adalah formulasi perencanaan untuk periode tertentu
dibutuhkan sejumlah dana.

5. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi sebagai fungsi dari administrasi pendidikan merupakan aktivitas untuk meneliti
dan mengetahui sampai di mana pelaksanaan yang dilakukan didalam proses keseluruhan
ketercapaian program organisasi. Untuk mengukur hasil kesesuaian dengan rencana atau
program yang telah ditetapkan dalam rangka pencapai tujuan pendidikan berbasis masyarakat
tersebut.
Evaluasi mencakup input, proses dan produk (IPP), penilaian input memfokuskan pada
kemampuan sistem dan strategi pencapaian tujuan. Penilaian proses memiliki fokus yaitu pada
penyediaan informasi untuk pembuatan keputusan dalam melaksanakan program. Sedangkan
penilaian produk berfokus pada mengukur pencapaian proses dan akhir program.
Jika input yang telah menjalani proses kemudian menghasilkan produk yang sesuai
dengan visi dan misi yang telah dicanangkan maka konsep tersebut tetap dan terus
dikembangkan. Namun jika tidak sesuai dengan visi dan misi yang telah dicanangkan maka
konsep tersebut harus ditinjau ulang dan proses pembelajaran harus ditingkatkan dengan melihat
kualitas sarana dan prasarana baik fisik (Kurikulum, gedung, peralatan, bahan kajian, media,
metode dan evaluasi) maupun non fisik (kualitas sumber daya guru).

10
Kendala dan Solusi Penerapan Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala
(2004) adalah:

1. Sistem perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban keuangan yang


dianut pemerintah masihdariatas ke bawah (top down).
2. Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi
masyarakat.
3. Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
4. Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem
perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
5. Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih
tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani/kebendaan.
6. Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita.
7. Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai
panutan sering berperilaku seperti birokrat.
8. Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
9. Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan.
10. Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang
kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis
masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.

Secara ideal, dunia pendidikan harus mampu berjalan beriringan dengan dunia luar. Akan
tetapi kita juga tahu bahwa dengan komitmen pemerintah yang buruk dalam hal dana pendidikan
baik pada masa lalu dan masa kini maka idealisme tersebut masih jauh dari impian. Karenanya
beberapa loncatan pemikiran untuk penanggulangan masalah tersebut harus dilakukan.

Berikut ada beberapa pemikiran yang dapat dilaksanakan pada penerapan pendidikan
berbasis masyarakat:

1. Partisipasi Masyarakat

Salah satu pendekatan yang ada hubungannya dengan partisipasi menyatakan bahwa
manusia mempunyai dinamika internal dan kapasitas yang tak terbatas untuk membantu dirinya

11
dan untuk berhubungan secara positif dengan lingkungannya, apabila dikembangkan melalui
perlakuan yang akurat dan dapat dipercaya. Selain itu, partisipasi juga disadari memiliki banyak
arti.

Partisipasi dapat berarti bahwa pembuat keputusan mengikutsertakan kelompok atau


masyarakat luas terlibat dalam bentuk saran, pendapat, barang, keterampilan, bahan atau jasa.
Partisipasi juga dapat berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji
pilihan sendiri, membuat keputusan dan memecahkan permasalahan mereka sendiri. Dalam
konteks partisipasi, Illich (1983) menyatakan bahwa rakyat biasa harus mampu
bertanggungjawab atas kepentingan dan kesejahteraan sendiri.

Oleh karena itu, rakyat harus diberi kesempatan untuk ikut bertanggungjawab dalam
semua bidang kehidupan baik dalam bidang pendidikan, perawatan kesehatan, transportasi,
perencanaan pembangunan dll. Sedangkan Paulo Freire (1973) menyatakan bahwa elit pembuat
keputusan harus menyadari pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik. Bertitik tolak dari pandangan ini, pemahaman tentang konsep partisipasi perlu diperluas
tidak hanya ditekankan dalam bentuk pemberian dana, barang sebagai masukan instrumental,
melainkan perlu dikembangkan pula berbagai bentuk partisipasi lain seperti paritipasi dalam hal
waktu, pemikiran dan gagasan, kepercayaan dan kemauan.

Rugh dan Bossert (1998:141) menyatakan bahwa masyarakat dan keluarga dapat diajak
untuk berpartisipasi dalam masalah pendidikan atau berinteraksi dalam dua belas langkah berikut
ini:

a. Advokasi pendaftaran dan pendidikan manfaat,


b. Memastikan siswa kehadiran yang teratur dan penyelesaian,
c. Membangun, memperbaiki, dan meningkatkan fasilitas,
d. Berkontribusi dalam bentuk tenaga kerja, bahan, tanah dan dana,
e. Mengidentifikasi dan mendukung calon guru local,
f. Membuat keputusan tentang lokasi sekolah dan jadwal,
g. Pemantauan dan menindaklanjuti guru dan siswa kehadiran,
h. Pembentukan komite pendidikan untuk mengelola sekolah,
i. Menghadiri pertemuan sekolah untuk mengetahui tentang pekerjaan anak-anak,

12
j. Memberikan instruksi keterampilan untuk tahu tentang pekerjaan anak-anak,
k. Membantu anak-anak belajar dengan,
l. Mengumpulkan lebih banyak sumber daya dan memecahkan masalah melalui birokrasi
pendidikan.

2. Pendekatan Sistem Sebagai Indikator Pendidikan Berbasis Masyarakat

Kalau ditinjau secara pendekatan sistem yang mempergunakan tiga aspek masukan,
proses dan keluaran sebagai titik pengkristalan, maka masukan PBM/CBE adalah peserta didik
yang datang dari masyarakat, proses pendidikan PBM/CBE terjadi di dalam masyarakat itu,
dengan masukan sumberdaya dan masukan lingkungan, asalnya terutama dari masyarakat itu
sendiri, serta keluarannya berlangsung di dalam masyarakat itu. Yang ditekankan dalam hal ini
adalah bahwa mestinya tanggungjawab pendidikan masyarakat itu adalah masyarakat itu sendiri.
Masyarakat setempat adalah stakeholder utama dari pendidikan di tempat itu.

Masyarakat setempat bukan hanya sebagai penonton yang kadang-kadang diundang


dalam permainan. Mestinya mereka itu berhak untuk menjadi pemain, bahkan menjadi pemain
utama. Itu akan lebih jelas bila dibandingkan dengan apa yang terjadi selama ini. Selama ini,
pendidikan seolah-olah adalah pendidikan Pemerintah, masyarakat hanyalah klien/pelanggan
belaka, ataupun dapat dikatakan konsumer pendidikan sematamata. Masyarakat kadang-kadang
dilibatkan, diundang ikut dalam kegiatan pendidikan (community involvement), tetapi tidak
berperan serta (community participation).

Berikut ini disajikan contoh indikator PBM/CBE yang dapat dilakukan oleh masyarakat
lokal maupun nasional:

a. Penurunan angka anak usia sekolah yang tidak bersekolah,


b. Pengurangan ketimpangan antar wilayah atau antar kelompok sosial ekonomi dalam
masyarakat.
c. Pengurangan ketimpangan sebaran guru, sistem insentif, dan mutasi guru.
d. Peningkatan sarana/prasarana pendidikan.
e. Peningkatan Sosial ekonomi anak-anak lingkungan ekonomi rendah.
f. Peningkatan kesadaran orangtua dalam hal membantu anaknya belajar.

13
g. Peningkatan kesadaran anak akan daya tarik bidang studi tertentu.
h. Peningkatan kemampuan guru dalam pendayagunaan alat dan sumber pendidikan.
i. Pendokumentasian sumberdaya pendidikan.
j. Penetapan kebutuhan sumberdaya pendidikan sesuai dengan identifikasi dan
rumusan kebutuhan pendidikan setempat.
k. Identifikasi perorangan, kelompok atau badan/lembaga yang potensial dengan berbagai
jenis tertentu sumberdaya pendidikan.

PENUTUP

Pada tataran implementasi, disentralisasi pendidikan harus memberikan kesempatan yang


lebih besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengembalian keputusan yang
menyangkut pendayagunaan dan pengelolaan pendidikan. Dalam konteks desentralisasi
pendidikan, pelempahan wewenang penetapan kebijakan dan keputusan kepala sekolah dan
stakeholders-nya, pendidikan berbasis masyarakat (PBM) menjadi hal yang tepat untuk
diterapkan.
Untuk berperan sebagai kekuatan pendidikan nasional, sekaligus untuk memberikan
sumbangan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, maka Pendidikan Berbasis Masyarakat
harus mengedepankan, yaitu Pertama, pola pengembangan yang melibatkan seluruh potensi di
dalam masyarakat untuk turut bertanggung jawab mengenai mutu pendidikan setempat
khususnya, dan mutu pendidikan nasional pada umumnya. Kedua, pola berbasis masyarakat
mengutamakan pengelolaan sendiri pendidikan di dalam konteks masyarakat, meliputi;
penentuan prioritas program pendidikan yang khas, penyediaan dana operasional dan
infrastrutur, pengadaan tenaga-tenaga yang kompeten, pelaksanaan dan pemantauan secara
menyeluruh, penilaian dan peningkatan efisiensi dan efektifitas.
Dengan demikian, konsep Community Based Education (PBM) harus di pahami sebagai
upaya mewujudkan sekolah sebagai tempat yang kondusif bagi berlangsungnya pelayanan
pembelajaran,yang pada gilirannya di harapkan dapat meningkatkan kinerja mutu hasil belajar
siswa. Agar pendidikan nasional, benar-benar mampu melaksanakan fungsinya dan mencapai
tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya
perlu di kembangkan dan dilaksanakan program pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang
dapat berfungsinya sebagai lembaga sosialisasi dan pemberdayaan berbagai kemampuan nilai,

14
sikap, dan akhlak yang dituntut oleh masyarakat Indonesia maju,adildan makmur serta
demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anwar. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam


Undang-Undang Sisdiknas. Diambil dari : http://www.samudrastudio.com./html/
paradigma.html. (5 Juli 2006)

Anwar, Khoirul. 2005. Pendidikan Global Berbasis Komunitas. Laporan Penelitian.


Semarang : IAIN Walisongo.

Earth Sistem Science, Inc. 2005, Community-based Education, Diambil dari :


http://www.neingborhoodlink.com/0rg/essi/clubextra/114449521.html.
(19 April 2006).

Galbraith, Michael W. 1995. Community Based Organizations and The Delivery of


Lifelong Learning Opportunities. Diambil dari : http.//www.ed.gov/pubs/PLLI
Conf95/comm..html. (19 April 2006).

Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pemberlajaran. Bandung : Alfabeta.

Satori, Djaman. 2006. Implementasi Life Skills Dalam Konteks


Pendidikan Di Sekolah. Diambil dari : http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/34/
implementasi_life_skills_dalam.htm ( 5 Juli 2006).

Sihombing, Umberto. 1999. Pendidikan Luar Sekolah Kini dan Masa Depan, Jakarta:
PD Mahkota.

Surjadi, Ace. 1989. Membangun Masyarakat Desa. Bandung : Mandar Maju


Suryadi, Ace. 2001. Menyoal Mutu Pendidikan. Diambil dari: http://www.
kompas.com/kompas-cetak/html. (12 Des 2005)

Tilaar. 2000. Pradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta.


Umaedi. 1999. Menejemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Diambil dari :
http://www.ssep.net/director.html. (12 Des 2005)

Undang-Undang Nomor 20. 2003, Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta :


Diperbanyak oleh Harvarindo.

Zubaedi. 2005. Pendidikan Berbasis Masyarakat, Jakarta : Pustaka Pelajar.

Hasim, Mohd. 2007. Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (Case Study


Pelaksanaan Proses Pembelajaran Di Sltp Alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening, Salatiga).
Tesis. Semarang : Program Pasca Sarjana Unversitas Negeri Semarang.

15
Dadang Sudiadi, Menuju Kehidupan Harmonis Dalam Masyarakat Yang Majemuk: Suatu
Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultur Dalam Pendidikan Di Indonesia.
Makalah.

Ahmad Islah, Desain Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat Di Tengah Era


Desentralisasi. Makalah.

16

Anda mungkin juga menyukai