Anda di halaman 1dari 17

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH: TUJUAN, MANFAAT, DAN PRINSIP-PRINSIP

PENERAPANNYA DALAM PENYELENGGARAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh:
Mad Sobirin, S.A.N., M.M.

A. Pendahuluan

Pengaruh era globalisasi dan kemajuan teknologi tidak bisa dihindarkan oleh
setiap organisasi untuk melakukan perubahan dan pembenahan dalam rangka
mencapai tujuannya, baik oleh organisasi usaha, organisasi sosial maupun
organisasi pendidikan. Dalam dunia pendidikan, persaingan dalam pengembangan
Pendidikan tidak bisa dihindarkan. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan munculnya
lembaga-lembaga pendidikan mulai dari play group, SD, SLTP, SLTA sampai
perguruan tinggi yang berlebel internasional. Kondisi ini tentu merupakan sebuah
tantangan bagi dunia pendidikan untuk melakukan upaya-upaya penataan
organisasi dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan sesuai dengan tuntutan
perubahan.

Salah satu tuntutan perubahan dalam dunia pendidikan sebagai dampak


globalisasi dan kemajuan teknologi adalah perubahan di tingkat perilaku konsumen,
dalam hal ini adalah masyarakat (orang tua dan siswa). Tidak bisa dipungkiri, saat
ini konsumen menjadi semakin banyak tuntutan, baik mengenai kualitas lulusan,
fasilitas pendidikan maupun biaya pendidikan. Oleh karena itu manajemen
pendidikan harus mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat
dan dapat bersaing secara efektif dalam konteks persaingan lokal, nasional, bahkan
dalam konteks global.

Dalam upaya untuk meningkatkan daya saing dan tuntutan perubahan


sebagai akibat derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, maka penerapan
kebijakan desentralisasi dalam dunia pendidikan menjadi sebuah keniscayaan,
terutama di lembaga pendidikan. Dengan penerapan kebijakan desentralisasi
pendidikan, diharapkan lembaga pendidikan akan mampu bersaing dan dapat
meningkatkan kualitas layanan Pendidikan, serta mampu mengantisipasi dinamika
perubahan sebagai fenomena yang tidak dapat dihindarkan.

1
Merujuk pada ketentuan di dalam Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah diatur bahwa pendidikan menjadi urusan
pemerintahan konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah
pusat dan daerah. Hal ini mengandung pengertian bahwa kewenangan urusan
pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga
pemerintah daerah. Itu artinya, pemerintah pusat memberikan otonomi kepada
pemerintah daerah sebagai wujud penerapan kebijakan desentralisasi pendidikan.

Penerapan kebijakan otonomi dalam dunia pendidikan merupakan satu


keniscayaan yang harus dilaksanakan dalam menjawab tuntutan persaingan global
dan dalam menyesuaikan sistem pendidikan dengan perkembangan zaman serta
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Kebijakan otonomi dalam dunia
pendidikan merupakan wujud nyata kepedulian pemerintah pusat sebagai upaya
peningkatan mutu pendidikan secara umum dan sebagai sarana peningkatan
efisiensi pemerataan pendidikan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas publik.

Kebijakan otonomi pendidikan sebagai wujud nyata penerapan desentralisasi


pendidikan diharapkan akan memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan pada setiap daearah di Indonesia. Adapun model dan metode yang
digunakan dalam penerapan Desentralisasi pendidikan ini adalah model manajemen
berbasis sekolah (MBS) atau School Based Management (SBM). Manajemen
berbasis sekolah (MBS) memberikan otonomi yang lebih besar,
fleksibilitas/keluwesan kepada sekolah, serta mendorong partisipasi masyarakat
agar mampu meningkatkan peran mereka dalam meningkatkan mutu sekolah.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) menganut prinsip kemandirian, kerjasama,
partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan kebijakan dalam sistem


penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah yang dilakukan secara mandiri. Sistem
ini memberikan peluang bagi sekolah untuk mengatur pengelolaan sekolahnya
secara demokratis, professional, dan dinamis. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan pemerataan pendidikan, mutu sekolah dan peningkatan efisiensi
masyarakat. Melalui penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) diharapkan
dapat mempercepat peningkatan mutu pendidikan sekolah, kemandirian,
kemitraan/kerjasama, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas sekolah.

2
Dalam penulisan makalah ini akan dibahas tentang pengertian, karakteristik,
prinsip-prinsip, langkah-langkah pelaksanaan, kelebihan dan kekurangan
manajemen berbasis sekolah (Scool-Based Manajemen). Melalui penulisan makalah
ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam memahami pengertian pengertian,
karakteristik, prinsip-prinsip, langkah-langkah pelaksanaan, kelebihan dan
kekurangan manajemen berbasis sekolah (Scool-Based Manajemen) pada satuan
pendidikan (sekolah).

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan pada latar belakang di atas, rumusan masalah sebagai


kerangka dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Apakah pengertian manajemen berbasis sekolah (MBS)?
2. Apakah tujuan dan manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)?
3. Apakah karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)?
4. Apakah prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS)?
5. Bagaimanakah langkah-langkah pelaksananaan manajemen berbasis sekolah
(MBS)?
6. Apakah kelebihan dan kekurangan manajemen berbasis sekolah (MBS)?

C. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penulisan makalah ini antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian manajemen berbasis sekolah (MBS)
2. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)?
3. Untuk mengetahui karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS)
5. Untuk mengetahui langkah-langkah pelaksananaan manajemen berbasis
sekolah (MBS)
6. Untuk kelebihan dan kekurangan manajemen berbasis sekolah (MBS)

3
D. Pembahasan

1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara istilah merupakan terjemahan


dari School Based Management. Istilah ini muncul di Amerika Serikat ketika
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat setempat dimana pendekatan politis untuk mendesain
ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada
partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolah. Partisipan sekolah
adalah kepala sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator,
orangtua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa (Priscilia Wohlstetter dan Susan
Albers Mohrman, 1996).

Menurut Judith Capman yang dikutip Jamal Ma’mur (2012), MBS adalah
merujuk pada suatu bentuk administrasi pendidikan, dimana sekolah menjadi unit
kecil utama dalam pengambilan keputusan. Hal ini berbeda dengan bentuk
tradisional administrasi pendidikan, yakni pemerintah pusat sangat menonjol dalam
pengambilan keputusan). Pengertian MBS ini sejalan dengan pendapat Bedjo
sudjanto (2004), MBS merupakan model manajemen pendidikan yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah. Disamping itu, MBS juga mendorong
pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah
yang dilayani dengan tetap selaras pada kebijakan nasional pendidikan.

Menurut E. Mulyasa (2004), MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi
pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang
lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen
merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan
partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.

Sementara Nanang Fatah (2003), MBS merupakan pendekatan politik yang


bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan
kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang
tua siswa dan masyarakat.

4
Selanjutnya Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan bahwa MBS
adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. MBS
pada prinsipnya bertumpu pada masyarakat dan sekolah serta jauh dari birokrasi
dan sentralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. Hal
ini senada dengan pendapat Halinger sebagaimana dikutip oleh Ibtisam Abu Duhou
(2004) bahwa MBS mencakup model perencanaan penyelenggaraan pendidikan
dimana kewenangan dan tanggungjawab atas berfungsinya sekolah itu sendiri
ditanggung bersama antara kantor pusat (Kementerian, Departemen pendidikan,
Kantor daerah, otoritas pendidikan lokal, dan seterusnya), dan pegawai berbasis
sekolah (para guru, kepala sekolah, dewan sekolah, dan seterusnya) yang
kesemuanya bekerja sebagai profesional dan kolega yang bekerja sama.

Pengertian MBS menurut Hadiyanto (2004) adalah suatu cara untuk


memajukan mutu pendidikan dengan pelimpahan kebijakan pengambilan keputusan
yang seyogyanya berasal dari pemerintah pusat kepada daerah masing-masing
lembaga, yang hal tersebut menjadikan kepala sekolah, guru, peserta didik, dan wali
murid mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap kegiatan belajar mengajar
dilembaga atau disekolah, dan yang tak kalah penting adalah bahwa sekolah
mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar dalam mengambil keputusan
dalam bidang keuangan dan kurikulum sekolah.

Sementara itu, Ogawa dan Kranz (1990) memandang MBS secara konseptual
sebagai perubahan formal dari struktur tata pelayanan pendidikan terutama pada
aspek distribusi kewenangan pengambilan keputusan sebagai bentuk desentralisasi
yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dari peningkatan dan
kepercayaan, dan juga sebagai alat utama untuk meningkatkan partisipasi dan
dukungan. Beberapa kewenangan formal adalah untuk membuat keputusan tentang
sumber-sumber pendanaan (budget), ketenagaan, dan program yang didelegasikan
dan didistribusikan kepada orang-orang antarberbagai level. Beberapa struktur
formal seperti kepala sekolah, guru, orang tua, dan kadang-kadang siswa dan
masyarakat sekitarnya yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga dapat secara
langsung dilibatkan dalam pembuatan keputusan sekolah secara luas.

Definisi yang mencakup makna lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter dan
Mohram (1996) yang dikutip dari Nurkolis (2006). Secara luas manajemen berbasis
sekolah berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah
dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada

5
tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Manajemen berbasis sekolah dalam
pengertian yang sama dikemukaan oleh Myers dan Stonehill (1993) mengemukakan,
MBS adalah strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas
pengambilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah ke
sekolah-sekolah secara individual dengan memberi kepala sekolah, guru, siswa,
orangtua dan masyarakat untuk memiliki kontrol yang lebih besar dalam proses
pendidikan dan memberikan mereka tanggungjawab tentang dana, personel dan
kurikulum.

Selain itu, Depdiknas (2009) mengartikan manajemen berbasis sekolah


sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah,
memberikan fleksibilitas/ keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi
secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan
masyarakat (orang tua siswa, pengusaha, dan sebagainya) untuk meningkatkan
mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan
perundangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan
kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusankeputusan sesuai
dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau
stakeholder yang ada. Baik peningkatan otonomi sekolah, fleksibilitas pengelolaan
sumber daya sekolah maupun partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaran sekolah, kesemuanya itu ditujukan untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundangan
yang berlaku.

Dari berbagai definisi yang telah dikemukan di atas, dapat dikemukakan suatu
kesimpulkan bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan suatu model
pelaksanaan pengelolaan pendidikan yang memberikan kewenangan (otonomi)
lebih besar kepada internal pengelola sekolah untuk mengurus dan mengatur
sekolahnya secara mandiri dengan dukungan sumberdaya dan partisipasi warga
sekolah serta masyarakat (stakeholders) untuk mencapai tujuan dan cita-cita
sekolah dalam rangka terwujudnya transformasi sekolah dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan,
sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat
di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada
kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah
selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.

6
2. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Menurut Subakir dan Sapari (2001), tujuan utama penerapan manajemen


berbasis sekolah (MBS) adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan dan
meningkatkan relevansi pendidikan di sekolah, dengan adanya wewenang yang
lebih besar dan lebih luas bagi sekolah untuk mengelola urusannya sendiri.
Sedangkan menurut Mulyasa (2006), tujuan manajemen berbasis sekolah yaitu:
1. Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola
sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
2. Peningkatan mutu, antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah,
fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru
dan kepala sekolah.
3. Peningkatan pemerataan, antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi
masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada
kelompok tertentu.

Adapun manfaat pelaksanaan MBS di sekolah adalah untuk memandirikan


atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan
sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Menurut Depdiknas (2000),
manfaat manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut:
1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan,
peluang, dan ancaman bagi dirinya dibandingkan dengan lembaga-lembaga
lainnya, sehingga dia dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk
memajukan lembaganya.
2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan
yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai
dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
3. Sekolah bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada
pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya, sehingga
dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai
sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan.
4. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk
meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan
orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.

7
3. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Menurut Nurkholis (2003:56), MBS memiliki 8 karakteristik. Pertama, sekolah


dengan MBS memiliki misi atau cita-cita menjalankan sekolah untuk mewakili
sekelompok harapan bersama, keyakinan dan nilai-nilai sekolah, membimbing
warga sekolah di dalam aktivitas pendidikan dan memberi arah kerja. Misi ini
mempunyai pengaruh yang besar terhadap fungsi dan efektivitas sekolah, karena
dengan misi ini warga sekolah dapat mengembangkan budaya organisasi sekolah
yang tepat, membangun komitmen yang tinggi terhadap sekolah, dan mempunyai
inisiatif untuk memberikan tingkat layanan pendidikan yang lebih baik.

Kedua, aktivitas pendidikan dijalankan berdasarkan karakteristik kebutuhan


dan situasi sekolah. Hakikat aktivitas sangat penting bagi sekolah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, karena secara tidak langsung memperkenalkan
perubahan manajemen sekolah dari manajemen kontrol eksternal menjadi model
berbasis sekolah. Ketiga, terjadinya proses perubahan strategi manajemen yang
menyangkut hakikat manusia, organisasi sekolah, gaya pengambilan keputusan,
gaya kepemimpinan, penggunaan kekuasaan, dan keterampilan-keterampilan
manajemen. Oleh karena itu dalam konteks pelaksanaan MBS, perubahan strategi
manajemen lebih memandang pada aspek pengembangan yang tepat dan relevan
dengan kebutuhan sekolah.

Keempat, keleluasaan dan kewenangan dalam pengelolaan sumber daya


yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan, guna memecahkan masalah-
masalah pendidikan yang dihadapi, baik tenaga kependidikan, keuangan dan
sebagainya. Kelima, MBS menuntut peran aktif sekolah, administrator sekolah,
guru, orang tua, dan pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan di sekolah. Dengan
MBS sekolah dapat mengembangkan siswa dan guru sesuai dengan karakteristik
sekolah masing-masing. Dalam konteks ini, sekolah berperan mengembangkan
inisiatif, memecahkan masalah, dan mengeksplorasi semua kemungkinan untuk
memfasilitasi efektivitas pembelajaran. Demikian halnya dengan unsur-unsur lain
seperti guru, orang tua, komite sekolah, administrator sekolah, dinas pendidikan, dan
sebagainya sesuai dengan perannya masing-masing. Keenam, MBS menekankan
hubungan antarmanusia yang cenderung terbuka, bekerja sama, semangat tim, dan
komitmen Manajemen Berbasis sekolah yang menguntungkan. Ketujuh, peran
administrator sangat penting dalam kerangka MBS, termasuk di dalamnya kualitas
yang dimiliki administrator.

8
Kedelapan, dalam MBS, efektivitas sekolah dinilai menurut indikator
multitingkat dan multisegi. Penilaian tentang efektivitas sekolah harus mencakup
proses pembelajaran dan metode untuk membantu kemajuan sekolah. Oleh karena
itu, penilaian efektivitas sekolah harus memperhatikan multitingkat, yaitu pada
tingkat sekolah, kelompok, dan individu, serta indikator multisegi yaitu input, proses
dan output sekolah serta perkembangan akademik siswa.

4. Prinsip-Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Pedoman yang digunakan manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk


mengelola sekolah didasarkan pada prinsip-prinsip yang dapat mendukung
ketercapaian tujuan dari pelaksanaan MBS. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 27 disebutkan
bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan anak usia
dini dan jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis
sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan,
dan akuntabilitas.

Berdasarkan peraturan tersebut di atas, terdapat 5 (lima) prinsip pelaksanaan


MBS antara lain:
1. Kemandirian
Sekolah yang mandiri dapat diartikan sebagai sekolah yang mampu
menyelesaikan segala permasalahan tanpa terlalu mengandalkan campur
tangan dari pemerintah pusat. Sekolah diharapkan dapat berupaya menciptakan
dan meningkatkan situasi, kondisi, dan budaya kemandirian melalui berbagai
cara seperti mengembangkan unit-unit usaha sekolah, membangun kerja sama
dengan pihak lain dalam bidang komersial, dan upaya-upaya lain untuk
meningkatkan pemasukan pendanaan dan peningkatan program sekolah.
2. Kemitraan
Prinsip kemitraan adalah suatu bentuk kerja sama antara sekolah dengan para
pemangku kepentingan. Esensi kemitraan pada dasarnya adalah untuk
meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dari masyarakat baik
berupa dukungan moral, pemikiran, tenaga, material, maupun finansial. Bentuk
kemitraan yang dapat dilakukan dapat disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan sekolah sesuai kategori sekolah. Pastikan kemitraan yang terjalin
saling menguntungkan dan bersifat sejajar.

9
3. Partisipasi
Partisipasi dapat dimaknai sebagai keterlibatan para pemangku kepentingan
secara aktif. Konteks partisipasi dalam implementasi MBS antara lain dalam hal
pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan pendidikan di sekolah. Tujuan utama peningkatan partisipasi antara
lain untuk meningkatkan kontribusi, memberdayakan kemampuan pemangku
kepentingan, meningkatkan peran pemangku kepentingan, dan menjamin agar
setiap keputusan yang diambil mewakili aspirasi pemangku kepentingan. Upaya
peningkatan partisipasi di satuan pendidikan dapat diwujudkan melalui
penyediaan sarana partisipasi, advokasi, publikasi sekaligus transparansi
terhadap pemangku kepentingan.
4. Keterbukaan
Sebagai lembaga pendidikan formal yang memberikan pelayanan pendidikan
kepada masyarakat, maka prinsip keterbukaan sangat penting
diimplementasikan. Keterbukaan dapat membangun kepercayaan publik
terhadap program-program yang dijalankan oleh sekolah. Upaya yang dapat
dilakukan oleh satuan pendidikan untuk membangun keterbukaan kepada publik
yaitu dengan mendayagunakan berbagai jalur komunikasi yang tersedia untuk
menyampaikan berbagai program yang akan dijalankan serta menyampaikan
laporan dari setiap program yang telah berjalan.
5. Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan prinsip yang sangat penting dijalankan oleh sekolah.
Akuntabilitas memiliki arti suatu keadaan dimana suatu hal dapat
dipertanggungjawabkan. Upaya peningkatan akuntabilitas dapat dilakukan
dengan menyusun pedoman pemantauan kinerja satuan pendidikan, menyusun
rencana pengembangan sekolah, memberikan tanggapan terhadap pertanyaan
dan pengaduan publik.

Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, Nurkolis (2005: 52-55)


mengemukanan prinsip-prinsip MBS sebagai berikiut:
1. Ekuifinalitas (equifinality)
Prinsip ekuifinalitas berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-
beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga
sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi masing-masing,
walaupun sekolah yang berbeda dihadapkan masalah yang sama, cara
penanganannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.

10
2. Desentralisasi (decentralization)
Prinsip pengelolaan mandiri, memberikan kewenangan sekolah untuk
mengelola secara mandiri dengan kebijakan yang telah ditetapkan secara
kolaboratif. Dengan demikian, sekolah memiliki otonomi untuk
mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi
sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya, memecahkan masalah, dan
mencapai tujuan berdasarkan kondisi masing-masing.
3. Pengelolaan mandiri (self-managing system)
Prinsip inisiatif manusia, mengakui bahwa manusia bukanlah sumberdaya
yang statis, melainkan dinamis. Karena itu, potensi sumberdaya manusia
harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Lembaga
Pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources development,
yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan
manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi
untuk terus dikembangkan.
4. Inisiatif manusia (human initiative).
Prinsip inisiatif manusia, mengakui bahwa manusia bukanlah sumberdaya
yang statis, melainkan dinamis. Karena itu, potensi sumberdaya manusia
harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Lembaga
Pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources development,
yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan
manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi
untuk terus dikembangkan.

5. Langkah-langkah Pelaksananaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Tujuan penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) akan dapat dicapai


melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Tahap Penyiapan Konsep MBS
Penyiapan konsep MBS yaitu penyiapan buku panduan sebagai rujukan
utama dalam memahami manajemen berbasis sekolah (MBS) didalamnya
berisi latar belakang, tujuan, manfaat, karakteristik, prinsip-prinsip, serta
strategi implementasi manajemen berbasis sekolah serta kriteria
keberhasilannya.

11
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan terdiri: (a) kegiatan seminar dan lokakarya, (b) pelatihan
manajemen berbasis sekolah bagi para kepala sekolah, (c) pembentukan
komite sekolah, (d) pengembangan sekolah model manajemen berbasis
sekolah, (e) monitoring dan evaluasi, (f) desiminasi MBS kepada sekolah
di kabupaten/ kota. Penjelasan lebih lanjut terkait tahap pelaksanaan adalah
sebagai berikut:
a. Kegiatan seminar dan lokakarya
Kegiatan seminar dan lokakarya dilakukan diskusi, curah pendapat
antara kelompok kerja MBS dengan berbagai unsur terkait di Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, para praktisi Pendidikan (guru, kepala
sekolah, pengawas), serta para akademisi dari FKIP, para cendikiawan,
pemerhati pendidikan, tokoh masyarakat, dunia usaha, anggota
legislatif, dan pihak lain yang peduli terhadap kemajuan dunia
pendidikan.
b. Pelatihan MBS bagi para kepala sekolah
Pelatihan MBS bagi para kepala sekolah ditujukan untuk menyiapkan
leader yang mampu memahami konsep MBS sekaligus kompeten
dalam melaksanakan tahapan MBS sesuai standar yang ditetapkan.
c. Pembentukan komite sekolah
Pembentukan komite sekolah dilaksanakan di setiap satuan pendidikan,
dengan mempertimbangkan keterwakilan unsur-unsur masyarakat,
sekolah, dan pemangku kepentingan lainnnya.
d. Pengembangan sekolah model MBS
Pengembangan sekolah model MBS adalah sekolah yang telah
berhasil menerapkan manajemen berbasis sekolah dan selanjutnya
sebagai sekolah percontohan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam
melaksanakan MBS.
e. Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui hambatan dan kendala
dalam melaksanakan tahapan manajemen berbasis sekolah guna
dilakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam aspek prosedur,
organisasi, personalia dan lainnya.
f. Desiminasi manajemen berbasis sekolah
Desiminasi manajemen berbasis sekolah ke satuan pendidikan (sekolah) di
wilayah kabupaten/kota.

12
3. Tahap Evaluasi dan Perbaikan berkelanjutan
Walaupun telah dikembangkan sekolah model MBS dan dibuat panduan
untuk pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, perlu kiranya dilakukan
evaluasi terhadap pencapaian tujuan pada setiap sekolah. Beragamnya
tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat akan berpengaruh
terhadap keberhasilan manajemen berbasis sekolah (MBS).

6. Kelebihan dan Kekurangan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

1. Kelebihan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Kelebihan penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) secara


spesisifik diidentifikasi oleh Gunawan dalam Laili (2012) adalah:
a. Memberikan peluang kepada tenaga pendidik dan kependidikan yang
kompeten untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan dalam
peningkatan pembelajaran.
b. Memberi peluang kepada seluruh pihak dalam sekolah untuk ikut andil
dalam pengambilan keputusan yang penting.
c. Memunculkan kreativitas dalam merencanakan program pembelajaran.
d. Memberdayakan kembali sumber daya pendidikan yang ada dalam
mendukung tujuan yang dikembangkan sekolah.
e. Membuat rencana anggaran yang realistik sesuai kebutuhan karena harus
bersifat terbuka dan memenuhi tanggung jawab penggunaan biaya sekolah.
f. Meningkatkan motivasi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dalam
mengembangkan keahlian manajemen dan kepemimpinanya.

2. Kekurangan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Beberapa kekurangan/hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak


berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut:
a. Tidak Berminat untuk Terlibat.
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang
sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam
kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan
sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang
menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru
tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek
lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses
penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.

13
b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya
menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan
cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja
sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar
itu.
c. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan
besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena
mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu
menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak
berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah
mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang
diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau
belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini.
Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan
tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya,
pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan
iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran
dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang
mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan
sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan
keputusan.
f. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam
mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu,
kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing
yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.

14
E. Penutup

1. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada bab-bab terdahulu, dapat dibuat


kesimpulan dari penulisan makalah ini antara lain:
1. Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan
sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya
dilakukan oleh unit atau pejabat pusat kepada unit atau pejabat di bawahnya
atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, atau dari pemerintah
kepada masyarakat. Salah satu wujud dari desentralisasi itu adalah
terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan.
2. Penerapan kebijakan desentralisasi pendidikan membawa sejumlah manfaat
dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, antara lain: (a)
desentralisasi pendidikan akan meningkatkan kapasitas sekolah, (b)
memperkuat partisipasi masyarakat dalam keseluruhan kegiatan Pendidikan,
(c) menumbuhkan manajemen yang efisien, efektif, dan produktif, dan (d)
memperkuat kebermaknaan dan fungsi kelembagaan institusi pendidikan.
3. Manajemen berbasis sekolah adalah suatu bentuk desentralisasi pendidikan
dimana pemerintah memberikan otonomi atau tanggung jawab yang lebih
besar kepada pihak sekolah untuk dapat merencanakan hingga mengelola
kegiatan pendidikannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan
melibatkan seluruh tenaga di sekolah sekaligus masyarakat sekitar secara
mandiri dan terbuka.
4. Kajian tentang implementasi manajemen berbasis sekolah memberikan
gambaran keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam bidang
Pendidikan. Untuk mengukur keberhasilan MBS harus dilihat dari
perspektif yang lebih luas baik prestasi akademik maupun nonakademik
siswa, kuantitas dan kualitas layanan pendidikan, efisiensi, efektivitas
dan produktivitas penyelenggaraan Pendidikan dan kualitas kerja guru, staf
dalam menjalankan tugas di sekolah, serta terciptanya demokratisasi
dalam penyelenggaraan pendidikan.

15
2. Saran

Manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai bentuk reformasi


pendidikan menuntut adanya dukungan dan aspirasi dari pemerintah,
masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, agar tujuan
penerapan manajemen berbasis sekolah dapat tercapai, hal-hal yang perlu
dilakukan antara lain:
1. Meningkatkan mutu SDM dan profesionalitas kepala sekolah, guru, dan
pengawas dengan cara melibatkan stakeholder dalam berbagai pelatihan di
sekolah.
2. Mengadakan penyuluhan tentang kondisi tingkat pendidikan orangtua siswa dan
masyarakat, kemampuan dalam membiayai pendidikan, serta tingkat apresiasi
dalam mendorong anak untuk terus belajar.
3. Dukungan pemerintah. Faktor ini sangat membantu efektifitas implementasi MBS
terutama bagi sekolah yang kemampuan orangtua/ masyarakatnya relative
belum siap memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan.
alokasi dana pemerintah dan pemberian kewenangan dalam pengelolaan
sekolah.
4. Mendorong siswa untuk lebih meningkatkan cara belajarnya agar menjadi cara
belajar yang efektif dan efisien.
5. Mempersiapkan instrumen pengukuran pencapaian kinerja baik terhadap proses
maupun hasil dengan indikator yang transparan sehingga semua pihak
memahami betul ukuran keberhasilan yang disepakati.
6. Melaksanakan pertemuan mengembangakan rencana kegiatan, evaluasi
kegiatan, dan evaluasi hasil.
7. Menyusun pertanggung jawaban program secara transparan dan akuntabel.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abu, Ibtisan & Duhou. (2002). School-Based Management. Paris: United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization.
Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam
Manajemen Peningkatan Mutu.
Fattah, N. (2004). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan
Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Gumelar, A. & Dahyat, Tjep. (2002). Kapita Selekta MBS: Pengelolaan Pendidikan
yang Profesional Berwawasan Masa Depan, Relevan dan Lebih
Bermutu. Bandung: CV Gatar Karya Prima.
Hasibuan, Malayu S. P. 2001. Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah, Jakarta,
Bumi Aksara.
Mulyasa, E. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi. Bandung. Remaja Rosdakarta.
Nurkolis. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta: PT
Grasindo.
Permadi, D. (2001). Manajemen Berbasis Sekolah dan Kepemimpinan Kepala
Sekolah: Strategi Baru Dalam Rangka Peningkatan Sekolah Yang Bermutu.
Bandung: PT Sarana Panca Karya Nusa.
Undang-Undang Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
2000-2004, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan

17

Anda mungkin juga menyukai