Oleh:
Mad Sobirin, S.A.N., M.M.
A. Pendahuluan
Pengaruh era globalisasi dan kemajuan teknologi tidak bisa dihindarkan oleh
setiap organisasi untuk melakukan perubahan dan pembenahan dalam rangka
mencapai tujuannya, baik oleh organisasi usaha, organisasi sosial maupun
organisasi pendidikan. Dalam dunia pendidikan, persaingan dalam pengembangan
Pendidikan tidak bisa dihindarkan. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan munculnya
lembaga-lembaga pendidikan mulai dari play group, SD, SLTP, SLTA sampai
perguruan tinggi yang berlebel internasional. Kondisi ini tentu merupakan sebuah
tantangan bagi dunia pendidikan untuk melakukan upaya-upaya penataan
organisasi dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan sesuai dengan tuntutan
perubahan.
1
Merujuk pada ketentuan di dalam Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah diatur bahwa pendidikan menjadi urusan
pemerintahan konkuren, yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah
pusat dan daerah. Hal ini mengandung pengertian bahwa kewenangan urusan
pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, tetapi juga
pemerintah daerah. Itu artinya, pemerintah pusat memberikan otonomi kepada
pemerintah daerah sebagai wujud penerapan kebijakan desentralisasi pendidikan.
2
Dalam penulisan makalah ini akan dibahas tentang pengertian, karakteristik,
prinsip-prinsip, langkah-langkah pelaksanaan, kelebihan dan kekurangan
manajemen berbasis sekolah (Scool-Based Manajemen). Melalui penulisan makalah
ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam memahami pengertian pengertian,
karakteristik, prinsip-prinsip, langkah-langkah pelaksanaan, kelebihan dan
kekurangan manajemen berbasis sekolah (Scool-Based Manajemen) pada satuan
pendidikan (sekolah).
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penulisan makalah ini antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian manajemen berbasis sekolah (MBS)
2. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat manajemen berbasis sekolah (MBS)?
3. Untuk mengetahui karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS)
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS)
5. Untuk mengetahui langkah-langkah pelaksananaan manajemen berbasis
sekolah (MBS)
6. Untuk kelebihan dan kekurangan manajemen berbasis sekolah (MBS)
3
D. Pembahasan
Menurut Judith Capman yang dikutip Jamal Ma’mur (2012), MBS adalah
merujuk pada suatu bentuk administrasi pendidikan, dimana sekolah menjadi unit
kecil utama dalam pengambilan keputusan. Hal ini berbeda dengan bentuk
tradisional administrasi pendidikan, yakni pemerintah pusat sangat menonjol dalam
pengambilan keputusan). Pengertian MBS ini sejalan dengan pendapat Bedjo
sudjanto (2004), MBS merupakan model manajemen pendidikan yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah. Disamping itu, MBS juga mendorong
pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah
yang dilayani dengan tetap selaras pada kebijakan nasional pendidikan.
Menurut E. Mulyasa (2004), MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi
pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang
lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen
merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan
partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan
pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
4
Selanjutnya Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan bahwa MBS
adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. MBS
pada prinsipnya bertumpu pada masyarakat dan sekolah serta jauh dari birokrasi
dan sentralistik. MBS berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada tingkat sekolah. Hal
ini senada dengan pendapat Halinger sebagaimana dikutip oleh Ibtisam Abu Duhou
(2004) bahwa MBS mencakup model perencanaan penyelenggaraan pendidikan
dimana kewenangan dan tanggungjawab atas berfungsinya sekolah itu sendiri
ditanggung bersama antara kantor pusat (Kementerian, Departemen pendidikan,
Kantor daerah, otoritas pendidikan lokal, dan seterusnya), dan pegawai berbasis
sekolah (para guru, kepala sekolah, dewan sekolah, dan seterusnya) yang
kesemuanya bekerja sebagai profesional dan kolega yang bekerja sama.
Sementara itu, Ogawa dan Kranz (1990) memandang MBS secara konseptual
sebagai perubahan formal dari struktur tata pelayanan pendidikan terutama pada
aspek distribusi kewenangan pengambilan keputusan sebagai bentuk desentralisasi
yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dari peningkatan dan
kepercayaan, dan juga sebagai alat utama untuk meningkatkan partisipasi dan
dukungan. Beberapa kewenangan formal adalah untuk membuat keputusan tentang
sumber-sumber pendanaan (budget), ketenagaan, dan program yang didelegasikan
dan didistribusikan kepada orang-orang antarberbagai level. Beberapa struktur
formal seperti kepala sekolah, guru, orang tua, dan kadang-kadang siswa dan
masyarakat sekitarnya yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga dapat secara
langsung dilibatkan dalam pembuatan keputusan sekolah secara luas.
Definisi yang mencakup makna lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter dan
Mohram (1996) yang dikutip dari Nurkolis (2006). Secara luas manajemen berbasis
sekolah berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah
dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada
5
tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Manajemen berbasis sekolah dalam
pengertian yang sama dikemukaan oleh Myers dan Stonehill (1993) mengemukakan,
MBS adalah strategi untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas
pengambilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan daerah ke
sekolah-sekolah secara individual dengan memberi kepala sekolah, guru, siswa,
orangtua dan masyarakat untuk memiliki kontrol yang lebih besar dalam proses
pendidikan dan memberikan mereka tanggungjawab tentang dana, personel dan
kurikulum.
Dari berbagai definisi yang telah dikemukan di atas, dapat dikemukakan suatu
kesimpulkan bahwa manajemen berbasis sekolah merupakan suatu model
pelaksanaan pengelolaan pendidikan yang memberikan kewenangan (otonomi)
lebih besar kepada internal pengelola sekolah untuk mengurus dan mengatur
sekolahnya secara mandiri dengan dukungan sumberdaya dan partisipasi warga
sekolah serta masyarakat (stakeholders) untuk mencapai tujuan dan cita-cita
sekolah dalam rangka terwujudnya transformasi sekolah dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan,
sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat
di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada
kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah
selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
6
2. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
7
3. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
8
Kedelapan, dalam MBS, efektivitas sekolah dinilai menurut indikator
multitingkat dan multisegi. Penilaian tentang efektivitas sekolah harus mencakup
proses pembelajaran dan metode untuk membantu kemajuan sekolah. Oleh karena
itu, penilaian efektivitas sekolah harus memperhatikan multitingkat, yaitu pada
tingkat sekolah, kelompok, dan individu, serta indikator multisegi yaitu input, proses
dan output sekolah serta perkembangan akademik siswa.
9
3. Partisipasi
Partisipasi dapat dimaknai sebagai keterlibatan para pemangku kepentingan
secara aktif. Konteks partisipasi dalam implementasi MBS antara lain dalam hal
pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan pendidikan di sekolah. Tujuan utama peningkatan partisipasi antara
lain untuk meningkatkan kontribusi, memberdayakan kemampuan pemangku
kepentingan, meningkatkan peran pemangku kepentingan, dan menjamin agar
setiap keputusan yang diambil mewakili aspirasi pemangku kepentingan. Upaya
peningkatan partisipasi di satuan pendidikan dapat diwujudkan melalui
penyediaan sarana partisipasi, advokasi, publikasi sekaligus transparansi
terhadap pemangku kepentingan.
4. Keterbukaan
Sebagai lembaga pendidikan formal yang memberikan pelayanan pendidikan
kepada masyarakat, maka prinsip keterbukaan sangat penting
diimplementasikan. Keterbukaan dapat membangun kepercayaan publik
terhadap program-program yang dijalankan oleh sekolah. Upaya yang dapat
dilakukan oleh satuan pendidikan untuk membangun keterbukaan kepada publik
yaitu dengan mendayagunakan berbagai jalur komunikasi yang tersedia untuk
menyampaikan berbagai program yang akan dijalankan serta menyampaikan
laporan dari setiap program yang telah berjalan.
5. Akuntabilitas
Akuntabilitas merupakan prinsip yang sangat penting dijalankan oleh sekolah.
Akuntabilitas memiliki arti suatu keadaan dimana suatu hal dapat
dipertanggungjawabkan. Upaya peningkatan akuntabilitas dapat dilakukan
dengan menyusun pedoman pemantauan kinerja satuan pendidikan, menyusun
rencana pengembangan sekolah, memberikan tanggapan terhadap pertanyaan
dan pengaduan publik.
10
2. Desentralisasi (decentralization)
Prinsip pengelolaan mandiri, memberikan kewenangan sekolah untuk
mengelola secara mandiri dengan kebijakan yang telah ditetapkan secara
kolaboratif. Dengan demikian, sekolah memiliki otonomi untuk
mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi
sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya, memecahkan masalah, dan
mencapai tujuan berdasarkan kondisi masing-masing.
3. Pengelolaan mandiri (self-managing system)
Prinsip inisiatif manusia, mengakui bahwa manusia bukanlah sumberdaya
yang statis, melainkan dinamis. Karena itu, potensi sumberdaya manusia
harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Lembaga
Pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources development,
yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan
manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi
untuk terus dikembangkan.
4. Inisiatif manusia (human initiative).
Prinsip inisiatif manusia, mengakui bahwa manusia bukanlah sumberdaya
yang statis, melainkan dinamis. Karena itu, potensi sumberdaya manusia
harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Lembaga
Pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources development,
yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan
manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi
untuk terus dikembangkan.
11
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan terdiri: (a) kegiatan seminar dan lokakarya, (b) pelatihan
manajemen berbasis sekolah bagi para kepala sekolah, (c) pembentukan
komite sekolah, (d) pengembangan sekolah model manajemen berbasis
sekolah, (e) monitoring dan evaluasi, (f) desiminasi MBS kepada sekolah
di kabupaten/ kota. Penjelasan lebih lanjut terkait tahap pelaksanaan adalah
sebagai berikut:
a. Kegiatan seminar dan lokakarya
Kegiatan seminar dan lokakarya dilakukan diskusi, curah pendapat
antara kelompok kerja MBS dengan berbagai unsur terkait di Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota, para praktisi Pendidikan (guru, kepala
sekolah, pengawas), serta para akademisi dari FKIP, para cendikiawan,
pemerhati pendidikan, tokoh masyarakat, dunia usaha, anggota
legislatif, dan pihak lain yang peduli terhadap kemajuan dunia
pendidikan.
b. Pelatihan MBS bagi para kepala sekolah
Pelatihan MBS bagi para kepala sekolah ditujukan untuk menyiapkan
leader yang mampu memahami konsep MBS sekaligus kompeten
dalam melaksanakan tahapan MBS sesuai standar yang ditetapkan.
c. Pembentukan komite sekolah
Pembentukan komite sekolah dilaksanakan di setiap satuan pendidikan,
dengan mempertimbangkan keterwakilan unsur-unsur masyarakat,
sekolah, dan pemangku kepentingan lainnnya.
d. Pengembangan sekolah model MBS
Pengembangan sekolah model MBS adalah sekolah yang telah
berhasil menerapkan manajemen berbasis sekolah dan selanjutnya
sebagai sekolah percontohan atau rujukan bagi sekolah lainnya dalam
melaksanakan MBS.
e. Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui hambatan dan kendala
dalam melaksanakan tahapan manajemen berbasis sekolah guna
dilakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam aspek prosedur,
organisasi, personalia dan lainnya.
f. Desiminasi manajemen berbasis sekolah
Desiminasi manajemen berbasis sekolah ke satuan pendidikan (sekolah) di
wilayah kabupaten/kota.
12
3. Tahap Evaluasi dan Perbaikan berkelanjutan
Walaupun telah dikembangkan sekolah model MBS dan dibuat panduan
untuk pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, perlu kiranya dilakukan
evaluasi terhadap pencapaian tujuan pada setiap sekolah. Beragamnya
tingkat pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat akan berpengaruh
terhadap keberhasilan manajemen berbasis sekolah (MBS).
13
b. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya
menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan
cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja
sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar
itu.
c. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan
besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena
mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu
menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak
berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah
mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang
diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
d. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau
belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini.
Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan
tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya,
pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
e. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan
iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran
dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang
mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan
sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan
keputusan.
f. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam
mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu,
kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing
yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
14
E. Penutup
1. Kesimpulan
15
2. Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Abu, Ibtisan & Duhou. (2002). School-Based Management. Paris: United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization.
Departemen Pendidikan Nasional, 2001. Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam
Manajemen Peningkatan Mutu.
Fattah, N. (2004). Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan
Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Gumelar, A. & Dahyat, Tjep. (2002). Kapita Selekta MBS: Pengelolaan Pendidikan
yang Profesional Berwawasan Masa Depan, Relevan dan Lebih
Bermutu. Bandung: CV Gatar Karya Prima.
Hasibuan, Malayu S. P. 2001. Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah, Jakarta,
Bumi Aksara.
Mulyasa, E. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan
Implementasi. Bandung. Remaja Rosdakarta.
Nurkolis. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta: PT
Grasindo.
Permadi, D. (2001). Manajemen Berbasis Sekolah dan Kepemimpinan Kepala
Sekolah: Strategi Baru Dalam Rangka Peningkatan Sekolah Yang Bermutu.
Bandung: PT Sarana Panca Karya Nusa.
Undang-Undang Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
2000-2004, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas),
Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan
17