Anda di halaman 1dari 23

I.

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari School Based Management, istilah
ini muncul pertama kali di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi
pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada pada tingkat sekolah dengan melibatkan masyarakat
dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen,
berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk
mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah
lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran.
Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya
yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. MBS
juga diartikan sebagai suau proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-
kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran
secara bermutu.
Ibrahim Bafadal (2009:82) mendefinisikan MBS sebagai “Proses manjemen sekolah yang diarahkan
pada peningkatan mutu pendidikan, secara otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan
dievaluasi melibatkan 10 semua stakeholder sekolah”. Selanjutnya menurut Malen, Ogawa Krans
(dalam Ali Idrus, 2009:25-26) “manejemn berbasis sekolah secara konseptual dapat digambarkan
sebagai suatu perubahan formal struktural penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang
mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada
redistribusi kewenangan”. MBS pada hakikatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah
untuk secara aktif serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program
peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
Gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dalam Bahasa Inggris School-Based Management
pada dewasa ini menjadi perhatian para pengelolaan pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/kota, sampai dengan tingkat Sekolah. Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakin
mengemuka setelah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti disyaratkan
oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Produk hukum tersebut mengisyaratkan terjadinya pergeseran
kewenangan dalam pengelolaan pendidikan dan melahirkan wacana akuntabilitas pendidikan. Gagasan
MBS perlu dipahami dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam
penyelenggaraan pendidikan, khususnya Sekolah, karena implementasi MBS tidak sekedar membawa
perubahan dalam kewenangan akademik Sekolah dan tatanan pengelolaan Sekolah, akan tetapi
membawa perubahan pula dalam pola kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat
dalam pengelolaan Sekolah.
MBS merupakan sistem pengelolaan persekolahan yang memberikan kewenangan dan kekuasaan
kepada institusi Sekolah untuk mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan
Sekolah yang bersangkutan. Dalam MBS, Sekolah merupakan institusi yang memiliki full authority
and responsibility untuk secara mandiri menetapkan program-program pendidikan (kurikulum)
dan implikasinya terhadap berbagai kebijakan Sekolah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan
pendidikan yang hendak dicapai Sekolah.
Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari manajemen pendidikan
sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya, manajemen pendidikan
model MBS ini berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah itu sendiri. Dengan demikian,
akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitu yang semula diatur oleh birokrasi
di luar sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi internal sekolah itu sendiri.
Dengan demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang memandang
Sekolah secara individual. Sebagai bentuk alternatif Sekolah dalam program desentralisasi bidang
pendidikan, maka otonomi diberikan agar Sekolah dapat leluasa mengelola sumberdaya dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan di samping agar Sekolah lebih tanggap terhadap
kebutuhan setempat.
Secara umum manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
parsitipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan, orangtua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki
kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan
kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program yang tentu saja, lebih sesuai
dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga, dengan pengambilan keputusan
partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa
memiliki warga sekolah dapat meningkat. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan
peningkatan rasa tanggungjawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah terhadap
sekolahnya. Inilah esensi pengambilan keputusan partisipatif.
Baik peningkatan otonomi sekolah maupun pengambilan keputusan partisipatif tersebut
kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional
yang berlaku.
A. Indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Adapun indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai berikut:
1. Partisipasi masyarakat diwadahi melalui Komite Sekolah.
2. Transfaransi pengelolaan sekolah (program dan anggaran).
3. Program sekolah realistik – need assessment.
4. Pemahaman stakeholder mengenai Visi dan Misi sekolah.
5. Lingkungan fisik sekolah nyaman, terawat
6. Iklim sekolah kondusif.
7. Berorientasi mutu, penciptaan budaya mutu`
8. Meningkatnya kinerja profesional kepala sekolah dan guru
9. Kepemimpinan sekolah berkembang demokratis – policy and decision making, planning and
programming.
10. Upaya memenuhi fasilitas pendukung KBM meningkat.
11. Kesejahteraan guru meningkat`
12. Pelayanan berorientasi pada siswa/murid.
13. Budaya konformitas dalam pengelolaan sekolah berkurang.

B. Alasan dan Tujuan Penerapan MBS


MBS di Indonesia yang menggunakan model Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) muncul karena beberapa alasan sebagaimana diungkapkan oleh Nurkolis antara lain
pertama, sekolah lebih mengetahui kekeuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga
sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat
dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
Menurut bank dunia, terdapat beberapa alasan diterapkannya MBS antara lain alasan ekonomis, politis,
professional, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektifitas sekolah.
Menurut Direktorat Jenderal Pendidikian Dasar dan Menengah (dalam Ibrahim Bafadal, 2009:82)
MBS bertujuan untuk “Memandirikan dan memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang,
keluwesan dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah Jadi tujuan penerapan MBS adalah
untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran,
kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dan
kualitas pelayanan pendidikan secara umum. Bagi sumber daya manusia, peningkatan kualitas bukan
hanya meningkatnya pengetahuan dan ketrampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraanya pula.
Keuntungan-keuntungan penerapan MBS adalah:
a. Secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orang-orang yang bekerja di
sekolah.
b. Meningkatkan moral guru.
c. Keputusan yang diambil sekolah mengalami akuntabilitas.
d. Menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan di sekolah.
e. Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Keputusan yang diambil pada tingkat sekolah
tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpin.
f. Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap komunitas sekolah dalam
rangka mencapai kebutuhan sekolah.

II` Karakteristik MBS


Levacic (dalam Ibrahim Bafadal, 2009:82) mengedepankan tiga karakteritik kunci MBS sebagai
berikut:
1. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para stakholoder sekolah.
2. Domain peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu
pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan
kurikulum.
3. Walaupun seluruh domain manajemen peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke
sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat
terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah.

Pendidikan dirancang dan dikembangkan sebagai suatu sistem. Sebagai sistem pendidikan terdiri
dari sejumlah komponen yang saling tergantung, teroganisasi dan bergerak bersama ke arah tujuan-
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Komponen-komponen tersebut terdiri dari komponen
masukan (input), komponen proses (through-put), dan komponen keluaran (output) (Teguh Winarno,
2004: 4-6)
A. Input
Komponen input terdiri dari tiga jenis, yaitu Raw input (masukan mentah/dasar), instrumental
input (masukan instrumental/alat), dan environmental input (masukan lingkungan). Masukan input bagi
pendidikan adalah siswa-siswa dengan segala karakteristiknya seperti usia, jenis kelamin, kondisi fisik
– biologis, bakat, intelegensi baik pada bidang kognitif (IQ) maupun pada bidang afektif/emosi (EQ)
minat, motivasi, latar belakang sosial ekonomi dan budaya.
Instrumental input meliputi kurikulum, guru, kepala sekolah, pegawai, sarana dan prasarana, strategi
dan metode, dana, waktu belajar, dan organisasi sekolah. Environmental input meliputi partisipasi
orangtua, instansi terkait terutama para stakeholders (Pembina) pendidikan, dan masyarakat.
B. Proses (through – put)
Komponen proses ini tidak lain adalah proses pendidikan. Proses pendidikan ini menyangkut
bagaimana mengelola dan menginteraksikan Raw- input, instrumental input dan Enviromental input
secara efektif dan efisien sehingga output (lulusan) dari suatu lembaga pendidikan memiliki ragam dan
tingkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang sesuai dengan yang telah dirumuskan dalam
tujuan-tujuan pendidikan. Yang dimaksud komponen proses ini adalah pembelajaran.
Pembelajaran mempunyai sejumlah komponen yaitu tujuan pembelajaran, materi pembelajaran,
metode pembelajaran, bahan dan alat pembelajaran dan evaluasi. Pembelajaran ini harus mampu
menghasilkan perubahan-perubahan kualitatif (peningkatan) tingkah laku siswa dari sebelum memasuki
situasi pembelajaran dan kualitas tingkah laku siswa yang lebih baik setelah mereka memasukinya.
Keberhasilan pembelajaran ini banyak ditentukan oleh seberapa jauh efektivitas dan efisiensi
manajemennya.
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai berikut :
a) Proses belajar mengajar yang efektifitasnya tinggi.
b) Kepemimpinan sekolah yang kuat.
c) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
d) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e) Sekolah memiliki budaya mutu.
f) Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis.
g) Sekolah memiliki kewenangan/kemandirian.
h) Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat.
i) Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.
j) Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.
k) Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
l) Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. (Nurkholis, 2003:65)

B. Hasil yang diharapkan (Output)


Hasil yang diharapkan dari suatu system pendidikan adalah dihasilkannya lulusan (output) yang
memiliki ragam dan tingkat pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap (out comes) yang sesuai dengan
tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dan sesuai pula dengan harapan lembaga pendidikan.
Output bisa berupa prestasi akademik seperti, lomba karya ilmiah remaja, lomba bahasa Inggris,
Matematika, cara berpikir kritis, nalar, rasional,induktif, deduktif, dan ilmiah. Juga prestasi non
akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, solidaritas yang tinggi, kedisiplinan,
kesenian, prestasi olahraga, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama dan kepramukaan.
III. Implemetasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
A. Syarat Syarat Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu pembaruan dalam rangka meningkatkan kualitas
dan demokratisasi pendidikan. Sebagai suatu terobosan baru Manajemen Berbasis Sekolah dalam
pelaksanaannya tentu tidaklah mudah, banyak hal yang perlu dipersiapkan. Terkait dengan pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah, ada empat faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Kekuasaan yang dimiliki madrasah/sekolah
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah, kepala sekolah mempunyai kekuasaan yang kebih besar
untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
2. Pengetahuan dan keterampilan
Sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia yang diwujudkan melalui
pelatihan dan semacamnya.

3. Sistem informasi yang jelas


Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah perlu memiliki informasi yang jelas
tentang program pendidikan yang transparan, karena dari informasi tersebut seseorang akan
mengetahui kondisi sekolah.
4 Sistem penghargaan
Sekolah yang melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen Berbasis Sekolah perlu
menyusun sistem penghargaan bagi warga yang berprestasi, ini diharapkan mampu meningkatkan
motivasi dan produktivitas warga sekolah.
Dengan demikian hanya dengan adanya kewenangan dalam pengelolaan sekolah, sistem
pengembangan sumber daya manusia, tranparansi, serta upaya pemberian penghargaan bagi yang
berprestasi, pelaksanaan manjemen berbasis sekolah dapat berjalan efektif dan efisien.
Hamsah B, Uno (2010:90-92) menyebutkasn 7 kewenangan tingkat sekolah dalam pelaksanaan
manjemen berbasis sekolah yaitu:
1. Menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah.
2. Memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang
tersedia, fasilitas, jumlah guru, dan tenaga administratif yang ada.
3. Menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan
oleh sekolah.
4. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, termasuk b uku pelajaran dapat diberikan kepada
sekolah, dengan memperhatikan standard an ketentuan yang ada.
5. Penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti
pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten.
6. Proses pengajaran dan pembelajaran
7. Urusan teknisi edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS)
merupakan urusan sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenangan setiap satuan
pendidikan.
Penerapan MBS dilandasi oleh peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku
di Indonesia, yaitu:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab XIV, Pasal 51, Ayat (1)

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3)

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab VIII, Pasal 49, Ayat (1)

4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah

5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
B. Tahapan-Tahapan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah antara lain:
1) Tahap sosialisasi merupakan tahap penting mengingat luasnya wilayah nusantara terutama
daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media informasi, baik cetak maupun elektronik. Dalam
mengefektifkan pencapaian tujuan perubahan, diperlukan kejelasan tujuan dan cara yang tepat, baik
menyangkut aspek proses maupun pengembangan.

2) Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep manjemen berbasis madrasah
tidak mengandung resiko. Efektifitas model uji coba memerlukan persyaratan dasar, yaitu:
akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas, dan sustainabilitas. Akseptabilitas artinya adanya
penerimaan dari para tenaga kependidikan, akuntabilitas artinya bahwa konsep manajemen berbasis
madrasah dapat dipertanggungjawabkan, reflikabilitas artinya model manajemen berbasis madrasah
yang diujicobakan dapat direflikasi di madrasah lain sehingga perlakuan yang diberikan kepada
madrasah uji coba dapat dilaksanakan di madrasah lain, sementara sustainabilitas artinya program
tersebut dapat dijaga kesinambungannya setelah dilakukan uji coba.

3) Tahap pelaksanaan merupakan tahap untuk melakukan berbagai diskusi, antara kelompok
kerja manajemen berbasis madrasah dengan berbagai unsure terkait (guru, kepala sekolah, pengawas,
tokoh agama, pengusaha, dan para akademisi).

4) Tahap diseminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model manajemen berbasis madrasah


yang telah diujicobakan ke berbagai madrasah, agar dapat mengimplementasikan manajemen berbasis
madrasah secara efektif dan efisien.

C. Strategi Kesuksesan Implementasi MBS


Konsep dasar MBS, menggambarkan bahwa keberhasilan sekolah dalam mengimplementasikan
MBS seharusnya mengacu kepada prinsip dan karateristik MBS. Dalam MBS terdapat empat
kewenangan (otonomi) dan tiga prasyarat yang bersifat organisasional yang seharusnya dimiliki sekolah
dalam mengimplementasi MBS. Pemahaman terhadap prinsip MBS, dan karakteristik MBS akan
membawa sekolah kepada penerapan MBS yang lebih baik. Pada akhirnya mutu pendidikan yang
diharapkan dapat tercapai dan di pertanggungjawabkan, karena pelaksanaannya secara partisipatif,
transparan, dan akuntabel.
Menurut Slamet P.H (dalam Mulyasa, 2007:26) pelaksanaan MBS merupakan proses yang
berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggun jawab dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam
melaksanakan MBS adalah sebagai berikut :
1. Mensosialisasikan konsep MBS
2. Melakukan analisis
3. Merumuskan tujuan situsional
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situsional dan yang
masih perlu diteliti tingkat kesiapannya.
5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT.
6. Memilih langkah-langkah pemecahan masalah atau tantangan.
7. Membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang.
8. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek manajemen
berbasis sekolah.

Nurkholis (2003 : 132). Mengemukakan sembilan strategi keberhasilan implementasi MBS, yaitu:
1. Sekolah harus memiliki otonomi terhadap 4 hal yaitu dimilikinya otonomi di dalam kekuasaan
dan kewenangan, pengembangan, pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses
informasi ke segala bagian, serta pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa
(2005 : 41) menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah kebijakan pengembangan
kurikulum yang mengacuh kepada standar kompetensi, komptensi dasar dan standar isi, serta
pembelajaran beserta sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang disesuaikan
dengan kebutuhan siswa masyarakat yang dilakukan secara fleksibel. Dengan demikian, otonomi
sekolah yang dilakukan secara benar dalam kerangka inplementasi MBS diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
2. Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan proses pengambilan keputusan
terhadap kurikulum dan pembelajaran dan non pembelajaran.
3. Adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan
setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas
pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan
sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu pengangkatan kepala sekolah harus
didasarkan atas jenjang kepangkatan.
Kepala sekoah merupakan “sosok kunci” (the key person) keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan
di sekolah dalam kerangka inplementasi MBS Mulyasa (2002: 98). Oleh karena itu, dalam
implementasi MBS kepala sekolah harus memiliki visi, misi dan wawasan yang luas tentang sekolah
yang efektif serta kemampuan profesional dalam mewujudkan melalui perencanaan kepemimpinan
manajerial, dan supervisi pendidikan. 23
4. Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang
efektif.
5. Semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh.
6. Adanya panduan dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan
di sekolah secara efisien dan efektif.
7. Sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung
jawaban tahunan.
8. Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah khususnya pada peningkatan
prestasi belajar siswa.
9. Implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran masing-masing,
pembangunan kelembagaan.

Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya
manusia yang profesional untuk mengoprasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu
mengkaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses
belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua yang tinggi).
MBS merupakan strategi peningkatan kualitas pendidikan melalui otoritas pengambilan keputusan dari
pemerintah daerah ke sekolah. Dalam hal ini sekolah dipandang sebagai unit dasar pengembangan yang
bergantung pada redistribusi otoritas pengambilan keputusan di dalamnya terkandung desentralisasi
kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat keputusan. Dengan demikian pada
hakekatnya MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang memandang Sekolah secara individual.
Sebagai bentuk alternatif Sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi
diberikan agar Sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan
prioritas kebutuhan disamping agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. 24
Merupakan suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada Sekolah dan
mendorong Sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam memenuhi
kebutuhan mutu Sekolah atau untuk mencapai sasaran mutu Sekolah. Keputusan partisipatif yang
dimaksud adalah cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik, dimana warga Sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat)
didorong untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkonstribusi
terhadap pencapaian tujuan sekolah.
MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat sekolah setempat. Karena siswa biasanya datang dari berbagai latar belakang kesukuan dan
tingkat sosial, salah satu perhatian sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan (peluang yang sama
untuk memperoleh kesempatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik) Di lain pihak, sekolah juga
harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan
pemerintah. Ciri-ciri MBS, bisa diketahui antara lain dari sudut sejauh mana sekolah dapat
mengoptimalkan kemampuan manajemen sekolah, terutama dalam pemberdayaan sumber daya yang
ada menyangkut Sumber Daya Kepala Sekolah dan Guru, partisipasi masyarakat, pendapatan daerah
dan orang tua, juga anggaran sekolah
Konsekuensi penerapan manajemen berbasis Sekolah (MBS) menjadi tanggung jawab dan ditangani
oleh sekolah secara profesional.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan sekolah meliputi:
a. Perencanaan dan evaluasi program sekolah,
25
b. Pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif,

c. Pengelolaan proses belajar mengajar,

d. Pengelolaan ketenagaan

e. Pengelolaan perlengkapan dan peralatan,

f. Pengelolaan keuangan

g. Pelayanan siswa

h. Hubungan Sekolah-masyarakat

i. Pengelolaan iklim Sekolah.

2.3.4 Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi MBS

Menurut Nurkholis (2003: 264) ada enam faktor pendukung keberhasilan implemnetasi MBS,
keenamnya mencakup political will, finansial, sumber daya manusia, budaya sekolah, kepemimpinan,
dan keorganisasian.vKeberhasilan implementasi MBS di Indonesia tidak terlepas dari dasar hukum
implementasi MBS yang tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah. Walaupun boleh dikatakan
penerapan MBS lebih dahulu terjadi dibandingkan dengan dasar hukum pelaksanaannya, namun
dukungan yang nyata dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan menjadi dasar
bagi sekolah untuk lebih leluasa dalam mengembangkan pedidikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku. Salah satu contoh dukungan pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya
panduan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Dalam buku Pedoman Manajemen Berbasis Sekolah dikaitkan bahwa keberhasilan pelaksanaan MBS
sangat dipengaruhi oleh berbagai fakta, baik 26
faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor pendukung tersebut pada garis besarnya mencakup
sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gerakan peningkatan kualitas pendidikan dan gotong
royong kekeluargaan, potensi sumber daya manusia, organisasi formal dan internal, organisasi profesi
serta dukungan dunia usaha dan dunia industri.
a) Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan

Pemerintah dan seluruh stake holder pendidikan perlu terus melakukan sosialisasi peningkatan kualitas
pendidikan di berbagai wilayah kerjanya, baik dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun melalui
orientasi dan workshop.
b) Gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah

Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan, baik secara konvensional maupun
inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan kualitas
pendidikan kepada setiap jenis dan jenjang pendidikan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan
Nasional telah mencanangkan.
c) Gotong Royong Dalam Kekeluargaan

Gotong royong dan kekeluagaan dapat menghasilkan dampak positif (synergistyc effect) dalam
berbagai aktifitas. Gotong royong dan kekeluargaan yang membudaya dalam kehidupan masyarakat
Indonesia masih dapat dikembangkan dalam mewujudkan Kepala Sekolah yang profesional, menuju
terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi nyata di Sekolah. Kondisi ini dapat ditumbuhkembangkan
melalui jalinan kerjasama dan keeratan hubungan 27
dengan msyarakat dan dunia kerja, terutama yang berada di lingkungan Sekolah.
d) Potensi Kepala Sekolah.

Kepala Sekolah memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan secara optimal. Setiap kepala
Sekolah harus memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di
sekolah. Perhatian tersebut harus ditunjukan dalam keamanan dan kemampuan untuk mengembangkan
diri dan Sekolahnya secara optimal.
e) Organisasi Formal dan Optimal

Pada sebagian besar lingkungan pendidikan sekolah di berbagai wilayah Indonesia, dari Sabang sampai
Merauke umumnya telah memiliki organisasi formal terutama yang berhubungan dengan profesi
pendidikan seperti Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (Pokjamas), Kelompok Kerja Sekolah (KKM),
Musyawarah Kepala Sekolah (MKM), Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah. Organisasi-organisasi
tersebut sangat mendukung MBS untuk melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas
pendidikan diwilayah kerjanya.
f) Organisasi Profesi

Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan
kualitas pendidikan seperti Pokjawas, KKM, Kelompok Kerja guru (KKG), Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Peduli Guru (FPG), dan ISPI
(Ikatan 28
Sarjana Pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hampir diseluruh Indonesia, dan telah menyentuh
berbagai kecamatan.
g) Harapan Terhadap Kualitas Pendidikan

MBS sebagai paradigma baru manajemen pendidikan mempunyai harapan yang tinggi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, serta komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatakan mutu
sekolah secara optimal. Tenaga kependidikan memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa
peserta didik dapat mencapai prestasi yang optimal meskipun dengan segala keterbatasan sumber daya
pendidikan yang ada di Sekolah.
h) Input Manajemen

Paradigma baru manajemen pendidikan perlu ditunjang oleh input manajemen yang memadai dalam
menjalankan roda Sekolah dan mengelola Sekolah secara efektif. Input manajemen yang telah dimiliki
seperti tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung implementasi,
ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas dari warga Sekolah dalam bertindak, serta adanya sistem
pengendalian mutu yang handal untuk meyakinkan bahwa tujuan yang telah dirumuskan dapat
diwujudkan di Sekolah.
2.4 Faktor Penghambat Implementasi MBS

Implementasi MBS adalah sebuah keputusan politis yang sangat menjanjikan, namun demikian bukan
berarti dalam pelaksanaannya sama sekali tidak ada kendala, kendala tersebut antara lain: 29
1. Pertama, dalam penerapan MBS, prasyarat awal yang dibutuhkan jelas adalah dukungan mutu guru
dan kesadaran masyarakat yang benar-benar tinggi tentang arti dan fungsi sekolah. Masalahnya, selama
ini harus diakui bahwa dalam dua hal terpenting di atas, kita sesungguhnya masih sangat lemah.

2. Kebiasaan birokrasi pendidikan di masa lalu yang seringkali menikmati berbagai fasilitas atau
kemudahan dari sekolah adalah kendala lain yang hingga kini masih sulit dihilangkan.

3. Sejauh mana masyarakat benar-benar siap untuk duduk sebagai anggota dewan sekolah harus diakui
masih menjadi tanda tanya. Tak sedikit orang tua siswa menganggap sekolah formal sebagai hal yang
tidak penting dan sama sekali tidak signifikan untuk mendukung anak dalam mencari pekerjaan yang
baik.

Oleh karena itu, akan lebih baik jika persiapan yang matang terhadap program MBS pada sekolah-
sekolah yang mengimplementasikannya dilakukan terlebih dahulu sebelum benar-benar
menerapkannya, karena sebaik apapun suatu program, akan kurang nilainya jika tidak di dukung
kualitas sumber daya manusia unggul.
2.5 Ukuran Keberhasilan Implementatasi MBS
Salah satu ukuran penting yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat terhadap peningkatan kualitas
pendidikan di sekolah adalah prestasi belajar siswa. Ukuran keberhasilan implementasi MBS tidak
terlepas dari tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, khususnya pilar kedua dan ketiga, yaitu
pemerataan dan 30
peningkatan akses serta kebersihan MBS dapat dilihat dari kemampuan sekolah dan daerah dalam
menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Dari segi indikator aspek peningkatan mutu, keberhasilan implemnetasi MBS dapat dilihat dari
meningkatnya prestasi akademik maupun non akademik sedangkan indikator tata layanan pendidikan
ditunjukkan oleh sejauh mana peningkata layanan pendidikan di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih
baik kepada siswa melalui pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolah, akan
menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi efektif. Serta siswapun menjadi lebih aktif dan kreatif
karena mereka berada dalam lingkungan belajar yang menyenangkan.
2.6 Komponen-Komponen dalam Implementatasi MBS
Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (2011:191) mengemukakan
komponen-komponen MBS adalah:
2.6.1 Manajemen Kurikulum

Manajemen kurikulum adalah sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif,
komprehensif, sistematik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum.
Dalam pelaksanaannya manajemen kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan konteks MBS dan
KTSP.
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum yang standar yang berlaku secara
nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam
implementasinya, sekolah dapat 31
mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi
kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi
kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Oemar. Hamalik (2008:102) menyebutkan
empat unsur pokok dalam suatu kurikulum yaitu “ Tujuan, isi pelajaran (content atau material) dan
metode, evaluasi (assessment), dan umpan balik”.
Manajemen kurikulum dan program pengajaran meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan yang
berhubungan dengan tugas guru, peserta didik dan seluruh sivitas akademika atau warga sekolah.
Kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru meliputi :
a. Pembagian tugas guru yang dijabarkan dari struktur program pengajaran dan ketentuan tentang beban
mengajar wajib bagi guru.

b. Tugas guru dalam mengikuti jadwal pelajaran, jadwal tugas guru ada tiga, yaitu :
a) Jadwal pelajaran kurikuler dengan memperhatikan ketentuanketentuan akademik seperti : (1)
Keseimbangan berat ringan bobot pelajaran tiap hari (2) Pengaturan mata pelajaran mana yang perlu
didahulukan / ditengah / akhir pelajaran. (3) Mata pelajaran bersifat praktikum / PKL /PPL

b) Jadwal pelajaran non kurikuler, disusun sesuai situasi dan kondisi individual/kelompok peserta didik.

c) Jadwal pelajaran ekstra kurikuler disusun luar jam pelajaran kurikuler dan program kokurikuler,
biasanya bersifat pengembangan ekspresi, hobi, bakat, minat, serta prestasi seperti, seni tari, musik,
pecinta alam, palang
32
merah remaja, dokter kecil, pramuka serta penunjang proses belajar mengajar lainnya.
c. Tugas guru dalam kegiatan proses belajar mengajar meliputi :

a) Membuat persiapan/perencanaan pengajaran


b) Melaksanakan pengajaran
c) Mengevaluasi hasil pengajaran
2.6.2 Manajemen Peserta Didik / Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, pembimbingan,
penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, sehingga sampai pada
pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang
diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya. Manajemen siswa menunjuk pada
kegiatan-kegiatan di luar kelas dan di dalam kelas.
Kegiatan diluar kelas meliputi :
a. Penerimaan siswa baru.
a) Menyusun panitia beserta program kerja

b) Pendaftaran calon siswa (pengumuman, tempat, waktu, syarat dan sebagainya)

c) Seleksi, disesuaikan dengan kebutuhan jumlah tempat duduk yang tersedia di kelas I

d) Pengumuman calon yang diterima (termasuk cadangan jika diperlukan)

e) Registrasi (pencatatan peserta didik baru yang positif masuk)


33
b. Pencatatan peserta didik baru dalam buku induk dan buku klapper.
a) Membuat format buku Klapper dan buku induk

b) Data yang diisikan (identitas, orang tua/wali, alamat, pekerjaan orang tua/wli siswa) Kelengkapan
data : fotokopi surat/akta kelahiran, surat keterangan sehat dan sebagainya.

c) Buku Klapper mengutamakan pengisiannya berdasarkan abjad.


c. Pembagian seragam sekolah dan tata tertib sekolah beserta sangsi terhadap

d. Pembinaan siswa, dan pembinaan kesejahteraan siswa.


a) Kesejahteraan mental (penyediaan tempat sembahyang, BP)

b) Kesejahteraan fisik (UKS, keamanan, kenyamanan dan sebagainya)

c) Kesejahteraan akademik (perpustakaan, lab, tempat belajar yang memadai, bimbingan belajar,
penasehat akademik)

d) Kegiatan ektra kurikuler (pengembangan bakat, minat, prestasi, hobi, seni dan sebagainya)

Kegiatan- kegiatan di dalam kelas meliputi :


a. Pengelolaan kelas
b. Interaksi belajar mengajar yang positif

c. Pemberian pengajaran remidi, bagi yang lambat belajar

d. Presensi secara kontinu

e. Perhatian terhadap pelaksana tata tertib kelas

f. Pelaksanaan jadwal pelajaran secara tertib

g. Pembentukan pengurus kelas

h. Penyediaan media belajar sesuai kebutuhan


34
2.6.3 Manajemen Tenaga Pendidik dan Kependidikan
Ada dua kelompok ketenagaan di sekolah yaitu :
1) Tenaga edukatif atau akademik, yaitu guru. Ada guru tetap, guru tidak tetap dan guru bantu.

2) Tenaga non edukatif atau pegawai tata usaha. Ada pegawai tetap dan pegawai honorer/tidak tetap.

Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus (2009:145) menyatakan manajemen tenaga kependidikan mencakup
“(1) prencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai, (3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4)
promosi dan mutasi, (5) pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai”.
Pengelolaan ketenagaan juga meliputi (1) analisis kebutuhan, (2) perencanaan pegawai, yang
merupakan kegiatan untuk menentukan kebutuhan pegawai baik secara kuantitatif maupun kualitatif
untuk sekarang dan masa depan. (3) rekrutmen pegawai/pengadaan pegawai merupakan kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan pegawai pada suatu lembaga, baik jumlah maupun kualitasnya. (4)
pengembangan, (5) hadiah dan sangsi (reward and punishment), (6) hubungan kerja, (7) evaluasi
kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran.
2.6.4 Manajemen Keuangan

Manajemen anggaran/biaya sekolah/pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan


dan dilaksanakan/diusahakan secara sengaja dan sungguh-sungguh, serta pembinaan secara kontinu
terhadap biaya operasional 35
sekolah/pendidikan sehingga kegiatan operasional pendidikan semakin efektif dan efisien demi
tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh
sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling memahami kebutuhannya,
sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah.
Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan
penghasilan “(income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung
pada pemerintah.
2.6.5 Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

Manajemen sarana dan Prasarana pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan
dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu terhadap
benda-benda pendidikan agar senantiasa siap pakai dalam proses belajar mengajar sehingga proses
belajar mengajar semakin efektif dan efisien guna membantu tercapainya tujuan pendidikan.
Pengelolaan sarana dan prasarana sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan,
pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa
sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun
kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar
mengajar. 36
2.6.6 Manajemen Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat

Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan yang
direncanakan dan diusahakan secara\ sengaja dan sungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu
untuk\ mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya serta dari publik pada khususnya sebagai
kegiatan operasional sekolah agar semakin efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan.
Depdiknas (dalam Mulyasa, 2009: 128-129) mengemukakan indikator hubungan sekolah dan
masyarakat dalam manajemen sekolah antara lain:
1. Sekolah senantiasa menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang tua.
2. Sekolah berusaha melibatkan peran orang tua siswa dalam pelaksanaan program-program sekolah.
3. Prosedur-prosedur untuk melibatkan para orang tua siswa dalam kegiatan-kegiatan sekolah
disampaikan secara jelas dan dilaksanakan secaa konsisten.
4. Orang tua siswa di sekolah memmpunyai kesempatan-kesempatan untuk mengunjungi sekolah guna
mengobservasi program pendidikan .
5. Pada pertemuan antara orang tua sekolah sekolah tingkat kehadiran orang tua sangat tinggi.
6. Ada kerja sama yang baik antara guru dan orang tua siswa, sehubungan dengan pemantauan
pekerjaan rumah (PR).
7. Orang tua dan masyarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan di sekolah.
8. Para guru sering berkomunikasi dengan para orang tua siswa tentang kemajuan siswa.
9. Sebagian besar orang tua siswa memahami dan ikut mempromosikan program pembelajaran di
sekolah.
10. Masyarakat melalalui komite sekolah aktif melaksanakan peran dan fungsi sesuai aturan.

Jadi dengan adanya hubungan sekolah dan masyarakat dapat menambah jalinan yang harmonis
keduanya, juga dapat menjadikan sekolah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan bagi
masyarakat, sedangkan masyarakat dapat sebagai sumber informasi dan inspirasi bagi sekolah serta
sebagai lapangan pengabdian bagi para siswa. 37
2.7 Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebelumnya sudah pernah diteliti
oleh Agfa Sofya Ardjun pada tahun 2006 di SMA Negeri Kabila. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa kepala sekolah sebagai leadership dan manajerial telah mengembangan MBS secara bertahap
dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang dimiliki sekolah. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa dalam rangka implementasi MBS di SMA Negeri Kabila, kepala sekolah telah
melakukan berbagai upaya berupa peningkatan mutu dan profesionalitas para guru dan pada aspek lain
pula dalam rangka meningkatkan kinerja guru kepala sekolah sering memberikan penghargaan kepada
guru dan siswa yang berprestasi baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dengan gaya-
gaya seperti ini akan dapat membangkitkan semangat dan kinerja guru dalam menjalankan fungsi dan
tanggungjawab.
Dalam rangka pengembangan MBS di SMA Negeri Kabila mengeindikasikan ada beberapa peluang
dan tantangan. Peluang yang ada diantaranya adalah banyak guru yang telah mengikuti berbagai
pelatihan dan kursus baik tingkat regional maupun nasional, serta kualifikasi guru rata berpendidikan S-
1. peluang ini tentunya menjadi modal dasar di SMA Negeri Kabila disamping tersedinya sarana dan
prasarana yang representatif. Namun demikian disamping peluang tersebut pula peneliti menemukan
beberapa kendala di lapangan, misalnya adanya beberapa guru yang jarak sekolah dan rumah terhitung
cukup jauh, sehingga hal ini menjadi kendala dalam penerapan tingkat 38
disiplin secara menyeluruh. Masalah lainnya yang menjadi kendala dalam penerapan MBS di SMA
Negeri Kabila adalah belum bersinerginya secara menyeluruh pihak sekolah dan komite dalam
sosialisasi MBS, sehingga kadang antara orang tua dan pihak sekolah terjadi kesimpangsiuran dalam
menerima informasi.

Anda mungkin juga menyukai