Pendidikan dirancang dan dikembangkan sebagai suatu sistem. Sebagai sistem pendidikan terdiri
dari sejumlah komponen yang saling tergantung, teroganisasi dan bergerak bersama ke arah tujuan-
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Komponen-komponen tersebut terdiri dari komponen
masukan (input), komponen proses (through-put), dan komponen keluaran (output) (Teguh Winarno,
2004: 4-6)
A. Input
Komponen input terdiri dari tiga jenis, yaitu Raw input (masukan mentah/dasar), instrumental
input (masukan instrumental/alat), dan environmental input (masukan lingkungan). Masukan input bagi
pendidikan adalah siswa-siswa dengan segala karakteristiknya seperti usia, jenis kelamin, kondisi fisik
– biologis, bakat, intelegensi baik pada bidang kognitif (IQ) maupun pada bidang afektif/emosi (EQ)
minat, motivasi, latar belakang sosial ekonomi dan budaya.
Instrumental input meliputi kurikulum, guru, kepala sekolah, pegawai, sarana dan prasarana, strategi
dan metode, dana, waktu belajar, dan organisasi sekolah. Environmental input meliputi partisipasi
orangtua, instansi terkait terutama para stakeholders (Pembina) pendidikan, dan masyarakat.
B. Proses (through – put)
Komponen proses ini tidak lain adalah proses pendidikan. Proses pendidikan ini menyangkut
bagaimana mengelola dan menginteraksikan Raw- input, instrumental input dan Enviromental input
secara efektif dan efisien sehingga output (lulusan) dari suatu lembaga pendidikan memiliki ragam dan
tingkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang sesuai dengan yang telah dirumuskan dalam
tujuan-tujuan pendidikan. Yang dimaksud komponen proses ini adalah pembelajaran.
Pembelajaran mempunyai sejumlah komponen yaitu tujuan pembelajaran, materi pembelajaran,
metode pembelajaran, bahan dan alat pembelajaran dan evaluasi. Pembelajaran ini harus mampu
menghasilkan perubahan-perubahan kualitatif (peningkatan) tingkah laku siswa dari sebelum memasuki
situasi pembelajaran dan kualitas tingkah laku siswa yang lebih baik setelah mereka memasukinya.
Keberhasilan pembelajaran ini banyak ditentukan oleh seberapa jauh efektivitas dan efisiensi
manajemennya.
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai berikut :
a) Proses belajar mengajar yang efektifitasnya tinggi.
b) Kepemimpinan sekolah yang kuat.
c) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
d) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
e) Sekolah memiliki budaya mutu.
f) Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis.
g) Sekolah memiliki kewenangan/kemandirian.
h) Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat.
i) Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.
j) Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.
k) Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.
l) Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. (Nurkholis, 2003:65)
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
(khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab II, Pasal 3)
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (khususnya yang terkait dengan MBS adalah Bab VIII, Pasal 49, Ayat (1)
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
B. Tahapan-Tahapan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
Adapun tahapan-tahapan dalam pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah antara lain:
1) Tahap sosialisasi merupakan tahap penting mengingat luasnya wilayah nusantara terutama
daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh media informasi, baik cetak maupun elektronik. Dalam
mengefektifkan pencapaian tujuan perubahan, diperlukan kejelasan tujuan dan cara yang tepat, baik
menyangkut aspek proses maupun pengembangan.
2) Tahap piloting merupakan tahap uji coba agar penerapan konsep manjemen berbasis madrasah
tidak mengandung resiko. Efektifitas model uji coba memerlukan persyaratan dasar, yaitu:
akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas, dan sustainabilitas. Akseptabilitas artinya adanya
penerimaan dari para tenaga kependidikan, akuntabilitas artinya bahwa konsep manajemen berbasis
madrasah dapat dipertanggungjawabkan, reflikabilitas artinya model manajemen berbasis madrasah
yang diujicobakan dapat direflikasi di madrasah lain sehingga perlakuan yang diberikan kepada
madrasah uji coba dapat dilaksanakan di madrasah lain, sementara sustainabilitas artinya program
tersebut dapat dijaga kesinambungannya setelah dilakukan uji coba.
3) Tahap pelaksanaan merupakan tahap untuk melakukan berbagai diskusi, antara kelompok
kerja manajemen berbasis madrasah dengan berbagai unsure terkait (guru, kepala sekolah, pengawas,
tokoh agama, pengusaha, dan para akademisi).
Nurkholis (2003 : 132). Mengemukakan sembilan strategi keberhasilan implementasi MBS, yaitu:
1. Sekolah harus memiliki otonomi terhadap 4 hal yaitu dimilikinya otonomi di dalam kekuasaan
dan kewenangan, pengembangan, pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses
informasi ke segala bagian, serta pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Mulyasa
(2005 : 41) menyatakan bahwa salah satu bentuk otonomi sekolah adalah kebijakan pengembangan
kurikulum yang mengacuh kepada standar kompetensi, komptensi dasar dan standar isi, serta
pembelajaran beserta sistem evaluasinya, sepenuhnya menjadi wewenang sekolah, yang disesuaikan
dengan kebutuhan siswa masyarakat yang dilakukan secara fleksibel. Dengan demikian, otonomi
sekolah yang dilakukan secara benar dalam kerangka inplementasi MBS diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
2. Adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan proses pengambilan keputusan
terhadap kurikulum dan pembelajaran dan non pembelajaran.
3. Adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan
setiap sumber daya sekolah secara efektif. Kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas
pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Dalam MBS kepala sekolah berperan
sebagai designer, motivator, fasilitator, dan liaison. Oleh karena itu pengangkatan kepala sekolah harus
didasarkan atas jenjang kepangkatan.
Kepala sekoah merupakan “sosok kunci” (the key person) keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan
di sekolah dalam kerangka inplementasi MBS Mulyasa (2002: 98). Oleh karena itu, dalam
implementasi MBS kepala sekolah harus memiliki visi, misi dan wawasan yang luas tentang sekolah
yang efektif serta kemampuan profesional dalam mewujudkan melalui perencanaan kepemimpinan
manajerial, dan supervisi pendidikan. 23
4. Adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang
efektif.
5. Semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh.
6. Adanya panduan dari Departemen Pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan
di sekolah secara efisien dan efektif.
7. Sekolah harus transparan dan akuntabel yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung
jawaban tahunan.
8. Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah khususnya pada peningkatan
prestasi belajar siswa.
9. Implementasi diawali dengan sosialisasi konsep MBS, identifikasi peran masing-masing,
pembangunan kelembagaan.
Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya
manusia yang profesional untuk mengoprasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu
mengkaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung proses
belajar mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua yang tinggi).
MBS merupakan strategi peningkatan kualitas pendidikan melalui otoritas pengambilan keputusan dari
pemerintah daerah ke sekolah. Dalam hal ini sekolah dipandang sebagai unit dasar pengembangan yang
bergantung pada redistribusi otoritas pengambilan keputusan di dalamnya terkandung desentralisasi
kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat keputusan. Dengan demikian pada
hakekatnya MBS merupakan desentralisasi kewenangan yang memandang Sekolah secara individual.
Sebagai bentuk alternatif Sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi
diberikan agar Sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan
prioritas kebutuhan disamping agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. 24
Merupakan suatu model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada Sekolah dan
mendorong Sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam memenuhi
kebutuhan mutu Sekolah atau untuk mencapai sasaran mutu Sekolah. Keputusan partisipatif yang
dimaksud adalah cara pengambilan keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan
demokratik, dimana warga Sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat)
didorong untuk terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkonstribusi
terhadap pencapaian tujuan sekolah.
MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat sekolah setempat. Karena siswa biasanya datang dari berbagai latar belakang kesukuan dan
tingkat sosial, salah satu perhatian sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan (peluang yang sama
untuk memperoleh kesempatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik) Di lain pihak, sekolah juga
harus meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan
pemerintah. Ciri-ciri MBS, bisa diketahui antara lain dari sudut sejauh mana sekolah dapat
mengoptimalkan kemampuan manajemen sekolah, terutama dalam pemberdayaan sumber daya yang
ada menyangkut Sumber Daya Kepala Sekolah dan Guru, partisipasi masyarakat, pendapatan daerah
dan orang tua, juga anggaran sekolah
Konsekuensi penerapan manajemen berbasis Sekolah (MBS) menjadi tanggung jawab dan ditangani
oleh sekolah secara profesional.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan sekolah meliputi:
a. Perencanaan dan evaluasi program sekolah,
25
b. Pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif,
d. Pengelolaan ketenagaan
f. Pengelolaan keuangan
g. Pelayanan siswa
h. Hubungan Sekolah-masyarakat
Menurut Nurkholis (2003: 264) ada enam faktor pendukung keberhasilan implemnetasi MBS,
keenamnya mencakup political will, finansial, sumber daya manusia, budaya sekolah, kepemimpinan,
dan keorganisasian.vKeberhasilan implementasi MBS di Indonesia tidak terlepas dari dasar hukum
implementasi MBS yang tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah. Walaupun boleh dikatakan
penerapan MBS lebih dahulu terjadi dibandingkan dengan dasar hukum pelaksanaannya, namun
dukungan yang nyata dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan menjadi dasar
bagi sekolah untuk lebih leluasa dalam mengembangkan pedidikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku. Salah satu contoh dukungan pemerintah dalam pelaksanaan MBS, adalah adanya
panduan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).
Dalam buku Pedoman Manajemen Berbasis Sekolah dikaitkan bahwa keberhasilan pelaksanaan MBS
sangat dipengaruhi oleh berbagai fakta, baik 26
faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor pendukung tersebut pada garis besarnya mencakup
sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, gerakan peningkatan kualitas pendidikan dan gotong
royong kekeluargaan, potensi sumber daya manusia, organisasi formal dan internal, organisasi profesi
serta dukungan dunia usaha dan dunia industri.
a) Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan
Pemerintah dan seluruh stake holder pendidikan perlu terus melakukan sosialisasi peningkatan kualitas
pendidikan di berbagai wilayah kerjanya, baik dalam pertemuan-pertemuan resmi maupun melalui
orientasi dan workshop.
b) Gerakan Peningkatan Kualitas Pendidikan Yang Dicanangkan Pemerintah
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan, baik secara konvensional maupun
inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah diamanatkan dalam Undang-undang Sisdiknas bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan kualitas
pendidikan kepada setiap jenis dan jenjang pendidikan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan
Nasional telah mencanangkan.
c) Gotong Royong Dalam Kekeluargaan
Gotong royong dan kekeluagaan dapat menghasilkan dampak positif (synergistyc effect) dalam
berbagai aktifitas. Gotong royong dan kekeluargaan yang membudaya dalam kehidupan masyarakat
Indonesia masih dapat dikembangkan dalam mewujudkan Kepala Sekolah yang profesional, menuju
terwujudnya visi pendidikan menjadi aksi nyata di Sekolah. Kondisi ini dapat ditumbuhkembangkan
melalui jalinan kerjasama dan keeratan hubungan 27
dengan msyarakat dan dunia kerja, terutama yang berada di lingkungan Sekolah.
d) Potensi Kepala Sekolah.
Kepala Sekolah memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan secara optimal. Setiap kepala
Sekolah harus memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di
sekolah. Perhatian tersebut harus ditunjukan dalam keamanan dan kemampuan untuk mengembangkan
diri dan Sekolahnya secara optimal.
e) Organisasi Formal dan Optimal
Pada sebagian besar lingkungan pendidikan sekolah di berbagai wilayah Indonesia, dari Sabang sampai
Merauke umumnya telah memiliki organisasi formal terutama yang berhubungan dengan profesi
pendidikan seperti Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (Pokjamas), Kelompok Kerja Sekolah (KKM),
Musyawarah Kepala Sekolah (MKM), Dewan Pendidikan, dan Komite Sekolah. Organisasi-organisasi
tersebut sangat mendukung MBS untuk melakukan berbagai terobosan dalam peningkatan kualitas
pendidikan diwilayah kerjanya.
f) Organisasi Profesi
Organisasi profesi pendidikan sebagai wadah untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan
kualitas pendidikan seperti Pokjawas, KKM, Kelompok Kerja guru (KKG), Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Forum Peduli Guru (FPG), dan ISPI
(Ikatan 28
Sarjana Pendidikan Indonesia) sudah terbentuk hampir diseluruh Indonesia, dan telah menyentuh
berbagai kecamatan.
g) Harapan Terhadap Kualitas Pendidikan
MBS sebagai paradigma baru manajemen pendidikan mempunyai harapan yang tinggi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, serta komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatakan mutu
sekolah secara optimal. Tenaga kependidikan memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa
peserta didik dapat mencapai prestasi yang optimal meskipun dengan segala keterbatasan sumber daya
pendidikan yang ada di Sekolah.
h) Input Manajemen
Paradigma baru manajemen pendidikan perlu ditunjang oleh input manajemen yang memadai dalam
menjalankan roda Sekolah dan mengelola Sekolah secara efektif. Input manajemen yang telah dimiliki
seperti tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung implementasi,
ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas dari warga Sekolah dalam bertindak, serta adanya sistem
pengendalian mutu yang handal untuk meyakinkan bahwa tujuan yang telah dirumuskan dapat
diwujudkan di Sekolah.
2.4 Faktor Penghambat Implementasi MBS
Implementasi MBS adalah sebuah keputusan politis yang sangat menjanjikan, namun demikian bukan
berarti dalam pelaksanaannya sama sekali tidak ada kendala, kendala tersebut antara lain: 29
1. Pertama, dalam penerapan MBS, prasyarat awal yang dibutuhkan jelas adalah dukungan mutu guru
dan kesadaran masyarakat yang benar-benar tinggi tentang arti dan fungsi sekolah. Masalahnya, selama
ini harus diakui bahwa dalam dua hal terpenting di atas, kita sesungguhnya masih sangat lemah.
2. Kebiasaan birokrasi pendidikan di masa lalu yang seringkali menikmati berbagai fasilitas atau
kemudahan dari sekolah adalah kendala lain yang hingga kini masih sulit dihilangkan.
3. Sejauh mana masyarakat benar-benar siap untuk duduk sebagai anggota dewan sekolah harus diakui
masih menjadi tanda tanya. Tak sedikit orang tua siswa menganggap sekolah formal sebagai hal yang
tidak penting dan sama sekali tidak signifikan untuk mendukung anak dalam mencari pekerjaan yang
baik.
Oleh karena itu, akan lebih baik jika persiapan yang matang terhadap program MBS pada sekolah-
sekolah yang mengimplementasikannya dilakukan terlebih dahulu sebelum benar-benar
menerapkannya, karena sebaik apapun suatu program, akan kurang nilainya jika tidak di dukung
kualitas sumber daya manusia unggul.
2.5 Ukuran Keberhasilan Implementatasi MBS
Salah satu ukuran penting yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat terhadap peningkatan kualitas
pendidikan di sekolah adalah prestasi belajar siswa. Ukuran keberhasilan implementasi MBS tidak
terlepas dari tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, khususnya pilar kedua dan ketiga, yaitu
pemerataan dan 30
peningkatan akses serta kebersihan MBS dapat dilihat dari kemampuan sekolah dan daerah dalam
menangani masalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Dari segi indikator aspek peningkatan mutu, keberhasilan implemnetasi MBS dapat dilihat dari
meningkatnya prestasi akademik maupun non akademik sedangkan indikator tata layanan pendidikan
ditunjukkan oleh sejauh mana peningkata layanan pendidikan di sekolah itu terjadi. Layanan yang lebih
baik kepada siswa melalui pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan kondisi sekolah, akan
menyebabkan proses pembelajaran akan menjadi efektif. Serta siswapun menjadi lebih aktif dan kreatif
karena mereka berada dalam lingkungan belajar yang menyenangkan.
2.6 Komponen-Komponen dalam Implementatasi MBS
Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (2011:191) mengemukakan
komponen-komponen MBS adalah:
2.6.1 Manajemen Kurikulum
Manajemen kurikulum adalah sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif,
komprehensif, sistematik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum.
Dalam pelaksanaannya manajemen kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan konteks MBS dan
KTSP.
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum yang standar yang berlaku secara
nasional. Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam
implementasinya, sekolah dapat 31
mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi
kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi
kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Oemar. Hamalik (2008:102) menyebutkan
empat unsur pokok dalam suatu kurikulum yaitu “ Tujuan, isi pelajaran (content atau material) dan
metode, evaluasi (assessment), dan umpan balik”.
Manajemen kurikulum dan program pengajaran meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan yang
berhubungan dengan tugas guru, peserta didik dan seluruh sivitas akademika atau warga sekolah.
Kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru meliputi :
a. Pembagian tugas guru yang dijabarkan dari struktur program pengajaran dan ketentuan tentang beban
mengajar wajib bagi guru.
b. Tugas guru dalam mengikuti jadwal pelajaran, jadwal tugas guru ada tiga, yaitu :
a) Jadwal pelajaran kurikuler dengan memperhatikan ketentuanketentuan akademik seperti : (1)
Keseimbangan berat ringan bobot pelajaran tiap hari (2) Pengaturan mata pelajaran mana yang perlu
didahulukan / ditengah / akhir pelajaran. (3) Mata pelajaran bersifat praktikum / PKL /PPL
b) Jadwal pelajaran non kurikuler, disusun sesuai situasi dan kondisi individual/kelompok peserta didik.
c) Jadwal pelajaran ekstra kurikuler disusun luar jam pelajaran kurikuler dan program kokurikuler,
biasanya bersifat pengembangan ekspresi, hobi, bakat, minat, serta prestasi seperti, seni tari, musik,
pecinta alam, palang
32
merah remaja, dokter kecil, pramuka serta penunjang proses belajar mengajar lainnya.
c. Tugas guru dalam kegiatan proses belajar mengajar meliputi :
c) Seleksi, disesuaikan dengan kebutuhan jumlah tempat duduk yang tersedia di kelas I
b) Data yang diisikan (identitas, orang tua/wali, alamat, pekerjaan orang tua/wli siswa) Kelengkapan
data : fotokopi surat/akta kelahiran, surat keterangan sehat dan sebagainya.
c) Kesejahteraan akademik (perpustakaan, lab, tempat belajar yang memadai, bimbingan belajar,
penasehat akademik)
d) Kegiatan ektra kurikuler (pengembangan bakat, minat, prestasi, hobi, seni dan sebagainya)
2) Tenaga non edukatif atau pegawai tata usaha. Ada pegawai tetap dan pegawai honorer/tidak tetap.
Fachruddin Saudagar dan Ali Idrus (2009:145) menyatakan manajemen tenaga kependidikan mencakup
“(1) prencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai, (3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4)
promosi dan mutasi, (5) pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai”.
Pengelolaan ketenagaan juga meliputi (1) analisis kebutuhan, (2) perencanaan pegawai, yang
merupakan kegiatan untuk menentukan kebutuhan pegawai baik secara kuantitatif maupun kualitatif
untuk sekarang dan masa depan. (3) rekrutmen pegawai/pengadaan pegawai merupakan kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan pegawai pada suatu lembaga, baik jumlah maupun kualitasnya. (4)
pengembangan, (5) hadiah dan sangsi (reward and punishment), (6) hubungan kerja, (7) evaluasi
kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran.
2.6.4 Manajemen Keuangan
Manajemen sarana dan Prasarana pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan
dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu terhadap
benda-benda pendidikan agar senantiasa siap pakai dalam proses belajar mengajar sehingga proses
belajar mengajar semakin efektif dan efisien guna membantu tercapainya tujuan pendidikan.
Pengelolaan sarana dan prasarana sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan,
pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa
sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun
kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar
mengajar. 36
2.6.6 Manajemen Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat
Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan yang
direncanakan dan diusahakan secara\ sengaja dan sungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu
untuk\ mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya serta dari publik pada khususnya sebagai
kegiatan operasional sekolah agar semakin efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan.
Depdiknas (dalam Mulyasa, 2009: 128-129) mengemukakan indikator hubungan sekolah dan
masyarakat dalam manajemen sekolah antara lain:
1. Sekolah senantiasa menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang tua.
2. Sekolah berusaha melibatkan peran orang tua siswa dalam pelaksanaan program-program sekolah.
3. Prosedur-prosedur untuk melibatkan para orang tua siswa dalam kegiatan-kegiatan sekolah
disampaikan secara jelas dan dilaksanakan secaa konsisten.
4. Orang tua siswa di sekolah memmpunyai kesempatan-kesempatan untuk mengunjungi sekolah guna
mengobservasi program pendidikan .
5. Pada pertemuan antara orang tua sekolah sekolah tingkat kehadiran orang tua sangat tinggi.
6. Ada kerja sama yang baik antara guru dan orang tua siswa, sehubungan dengan pemantauan
pekerjaan rumah (PR).
7. Orang tua dan masyarakat dilibatkan dalam pembuatan keputusan-keputusan di sekolah.
8. Para guru sering berkomunikasi dengan para orang tua siswa tentang kemajuan siswa.
9. Sebagian besar orang tua siswa memahami dan ikut mempromosikan program pembelajaran di
sekolah.
10. Masyarakat melalalui komite sekolah aktif melaksanakan peran dan fungsi sesuai aturan.
Jadi dengan adanya hubungan sekolah dan masyarakat dapat menambah jalinan yang harmonis
keduanya, juga dapat menjadikan sekolah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan bagi
masyarakat, sedangkan masyarakat dapat sebagai sumber informasi dan inspirasi bagi sekolah serta
sebagai lapangan pengabdian bagi para siswa. 37
2.7 Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebelumnya sudah pernah diteliti
oleh Agfa Sofya Ardjun pada tahun 2006 di SMA Negeri Kabila. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa kepala sekolah sebagai leadership dan manajerial telah mengembangan MBS secara bertahap
dengan memperhatikan peluang dan tantangan yang dimiliki sekolah. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa dalam rangka implementasi MBS di SMA Negeri Kabila, kepala sekolah telah
melakukan berbagai upaya berupa peningkatan mutu dan profesionalitas para guru dan pada aspek lain
pula dalam rangka meningkatkan kinerja guru kepala sekolah sering memberikan penghargaan kepada
guru dan siswa yang berprestasi baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dengan gaya-
gaya seperti ini akan dapat membangkitkan semangat dan kinerja guru dalam menjalankan fungsi dan
tanggungjawab.
Dalam rangka pengembangan MBS di SMA Negeri Kabila mengeindikasikan ada beberapa peluang
dan tantangan. Peluang yang ada diantaranya adalah banyak guru yang telah mengikuti berbagai
pelatihan dan kursus baik tingkat regional maupun nasional, serta kualifikasi guru rata berpendidikan S-
1. peluang ini tentunya menjadi modal dasar di SMA Negeri Kabila disamping tersedinya sarana dan
prasarana yang representatif. Namun demikian disamping peluang tersebut pula peneliti menemukan
beberapa kendala di lapangan, misalnya adanya beberapa guru yang jarak sekolah dan rumah terhitung
cukup jauh, sehingga hal ini menjadi kendala dalam penerapan tingkat 38
disiplin secara menyeluruh. Masalah lainnya yang menjadi kendala dalam penerapan MBS di SMA
Negeri Kabila adalah belum bersinerginya secara menyeluruh pihak sekolah dan komite dalam
sosialisasi MBS, sehingga kadang antara orang tua dan pihak sekolah terjadi kesimpangsiuran dalam
menerima informasi.