Anda di halaman 1dari 11

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam praktiknya


menggambarkan sifat-sifat otonomi daerah. Oleh karenanya, sering pula disebut
sebagai Site-Based Management, yang merujuk pada perlunya memperhatikan
kondisi dan potensi kelembagaan setempat dalam mengelola sekolah. Makna
“berbasis sekolah” dalam konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sama
sekali tidak meninggalkan kebijakan-kebijakan strategis yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat atau daerah otonomi. Misalnya, standar kompetensi siswa,
standar materi pelajaran pokok, standar penguasaan minimum, standar pelayanan
minimum, penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap
tahun, dan lain-lain (lihat Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Pasal 51 Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 2000 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
No. 33 tahun 2004 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan
Provinsi sebagai Daerah Otonom).
Dewasa ini memang telah banyak upaya dalam peningkatan mutu
pendidikan yang terus-menerus dilakukan oleh berbagai pihak. Upaya-upaya
tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa pentingnya peranan pendidikan dalam
pengembangan sumber daya manusia (Human Capital) dan pengembangan watak
bangsa (Nation Character Building) untuk kemajuan masyarakat dan bangsa.
Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya.
Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu pendidikan merupakan
sasaran pembangunan dibidang pendidikan nasional dan merupakan bagian
integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh.1
Seiring dengan era otonomi dengan asas desentralisasi, peningkatan kualitas
pendidikan menuntut partisipasi dan pemberdayaan seluruh komponen pendidikan
dan penerapan konsep pendidikan sebagai suatu sistem. Peningkatan mutu
pendidikan yang sesuai dengan paradigma dan gagasan tersebut adalah konsep
School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini pada hakikatnya adalah
penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan
1.
E. Mulya, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Menyukseskan MBS dan KBK
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 31.
melibatkan semua kelompok kepentingan (Stakeholder) yang terkait dengan
sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi
kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.
Kehadiran konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tersebut dalam
wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak lepas dari konteks gerakan
“restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional, melalui desentralisasi
dan pemberian otonomi yang lebih besar pada satuan pendidikan atau sekolah.
Hal ini diinspirasi oleh beberapa konsep pengelolaan sekolah, seperti self
managings school atau school based management, self governing school, local
management of school, school based badgeting atau guarant maintained schools.
Konsep-konsep tersebut menjelaskan bahwa sekolah ditargetkan untuk melakukan
proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berarah pada
sistem pengelolaan, kepemimpinan, peningkatan mutu (administrating for
excellence), dan effective schools.
Gerakan ini juga dimaksudkan untuk memobilisasi keterlibatan emosional,
tanggung jawab, dan rasa memiliki dari warga sekolah dan masyarakat. Hal
terakhir ini sangat lekat dengan konsep community based education yang
didasarkan pada paradigma bahwa pendidikan seharusnya tidak terlepas dari
realitas dan aspirasi masyarakat tempat satuan pendidikan berada, baik berkaitan
dengan isi dan tujuan pendidikan, pemerolehan sumber daya, pengelolaan,
maupun akuntabilitasnya. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan
strategi untuk mencapai sekolah efektif. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
adalah gagasan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan
diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar. Selain
itu, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dimaksudkan dengan model manajemen
yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan partisipatif secara langsung oleh warga sekolah (guru,
siswa, kepala sekolah, staf administrasi, orangtua siswa, dan masyarakat).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menyediakan layanan pendidikan
yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat sekolah setempat.
Karena siswa biasanya datang dari berbagai latar belakang kesukuan dan tingkat
sosial, salah satu perhatian sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan (peluang
yang sama untuk memperoleh kesempatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan
politik). Di lain pihak, sekolah juga harus meningkatkan efisiensi, partisipasi,
mutu, serta bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah. Ciri-ciri
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bisa diketahui antara lain dari sudut sejauh
mana sekolah dapat mengoptimalkan kemampuan manajemen sekolah, terutama
dalam pemberdayaan sumber daya yang ada menyangkut sumber daya kepala
sekolah dan guru, partisipasi masyarakat, pendapatan daerah, dan orangtua, juga
anggaran sekolah.
Secara konsepsional, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diharapkan
mampu membawa dampak terhadap peningkatan kerja sekolah dalam hal mutu,
efisiensi manajemen keuangan, pemerataan kesempatan, dan pencapaian tujuan
politik (perkembangan iklim demokrasi) suatu bangsa lewat perubahan kebijakan
desentralisasi di berbagai aspek, sperti politik, edukatif, administrasi, manajemen,
dan anggaran pendidikan. Dengan demikian, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
akan memberikan efek pada pola manajerial sekolah untuk mengefektifkan kinerja
sekolah. Sewaktu organisasi pendidikan dalam lingkup sekolah memerlukan lebih
banyak sumber daya material dan Sumber Daya Manusia (SDM), ia dapat
mengalami ekspansi dengan landasan vertikal maupun horizontal dengan landasan
sumber daya sekolah.
Konsekuensi penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menjadi
tanggung jawab dan ditangani oleh seluruh elemen sekolah secara profesional.
Aspek-aspek yang menjadi bidang garapan sekolah meliputi (a) perencanaan dan
evaluasi program sekolah; (b) pengelolaan kurikulum yang bersifat inklusif; (c)
pengelolaan proses belajar mengajar; (d) pengelolaan ketenagaan; (e) pengelolaan
perlengkapan dan peralatan; (f) pengelolaan keuangan; (g) pelayanan siswa; (h)
hubungan sekolah-masyarakat; (i) pengelolaan iklim sekolah.
Peningkatan kualitas Sumber Dara Manusia (SDM) melalui pendidikan
telah banyak dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan
Nasional antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem
evaluasi, perbaikan sarana prasarana, pengembangan dan pengadaan materi ajar,
pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya, serta pembinaan manajemen
sekolah. Akan tetapi, kenyataannya upaya tersebut belum cukup berarti dalam
meningkatkan kualitas pendidikan.
Faktor-faktor penyebab kurangberhasilnya upaya peningkatan kualitas
pendidikan antara lain karena strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih
bersifat input-oriented dan pengelolaan pendidikan yang sentralistik dan macro
oriented, diatur oleh jajaran birokrasi ditingkat pusat. Pola pembangunan
pendidikan demikian kurang efisien dan kurang memberikan peluang kepada
pihak sekolah untuk melakukan pemberdayaan diri kearah kemandirian sekolah.2
Agar sekolah dapat diberdayakan secara optimal, sekolah perlu diberikan
kepercayaan dan wewenang serta kesempatan untuk mengelola sendiri sesuai
dengan kondisi-kondisi objektif di dalamnya dan sejalan dengan kebijakan
pemerintah mengenai pendidikan nasional dan desentralisasi. Untuk memenuhi
kebutuhan ini, pemerintah merasa perlu untuk menerapkan dan mengembangkan
model manajemen yang disebut School Based Management atau Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS).
Pada kerangka ini, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai a self
managing school, yakni suatu sekolah yang telah mengadopsi desentralisasi yang
berarti dan konsisten sehingga sekolah tersebut mempunyai wewenang untuk
mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan alokasi sumber-
sumber yang meliputi pengetahuan, teknologi, wewenang, material, orang, waktu,
dan keuangan. Hal ini berarti bahwa sekolah yang menggunakan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) memperoleh hak otonomi untuk mengelola sumber-
sumber daya pendidikan yang dimilikinya.

A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar
basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran. 3 Berdasarkan
2.
B. Suryosubroso, Manajemen Pendidikan di Sekolah (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004)
hlm. 203-204.
3.
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 2002)
hlm. 708, 111, dan 1013.
makna leksikal tersebut, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan
sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah dalam proses
pengajaran atau pembelajaran.
Eman Suparman, seperti yang dikutip oleh Mulyono, mendefinisikan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan penyerasian sumber daya yang
dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok
kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk
mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidik nasional.4 Sedangkan, Slamet
mengartikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai pengoordinasian dan
penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomotis (mandiri) oleh sekolah
melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam
kerangka kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan (partisipatif).5 Hal ini berarti, sekolah harus bersikap
terbuka dan inklusif terhadap sumber daya yang ada diluar lingkungan sekolah
yang mempunyai kepentingan yang selaras dengan tujuan pendidikan nasional.
Pada tataran ini, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan
sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan
tanggung jawab yang lebih besar pada sekolah), memberikan
fleksibilitas/keluwesan pada sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari
warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua
siswa, tokoh masyarakat, ilmuan, pengusaha), dan meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Artinya, seluruh komponen sekolah bekerja sama dengan
stakeholders sekolah bersama-sama untuk meningkatkan mutu pendidikan
sekolah dengan parameter atau standar dari pemerintah.
Sesuai dengan deskripsi detail tersebut, Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-
kreatif serta mandiri dalam mengembangkan dan melakukan inovasi dalam

4.
Mulyono, Manajemen Administrasi dan Organisasi Pendidikan (Yogyakarta : Ar-Ruzz
Media. 2008), hlm. 239.
5.
Slamet, Manajemen Berbasis Sekolah. (Diambil dari Jurnal Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia [online]), dalam (http//www.manajemen-berbasis-Sekolah.html), diakses
tanggal 27 Oktober 2009.
berbagai program untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuia dengan kebutuhan
sekolah sendiri yang tidak lepas dari kerangka tujuan pendidikan nasional dengan
melibatkan yang berkepentingan (stakeholders) serta sekolah harus pula
mempertanggungjawabkan kepada masyarakat (yang berkepentingan).
Gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) perlu dipahami dengan baik
oleh seluruh pihak yang berkepemtimgam (stakeholders) dalam penyelenggaraan
pendidikan, khususnya sekolah karena implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) tidak sekedar membawa perubahan dalam kewenangan akademik
sekolah dan tatanan pengelolaan sekolah, tetapi membawa perubahan pula dalam
pola kebijakan dan orientasi partisipasi orangtua dan masyarakat dalam
pengelolaan sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memberikan otonomi yang lebih besar
pada sekolah. Sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab yanng lebih
besar dalam mengelola sekolahnya sehingga lebih mandiri. Dengan
kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program
yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi yang
dimiliki. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah
dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal. Dengan
partisipasi/pelibatan warga sekolah dan masyarakat secara aktif dalam
penyelenggaraan sekolah, rasa memiliki terhadap sekolah dapat ditingkatkan.
Dengan demikian, sekolah dalam menjalankan program-program akan mendapat
dukungan langsung dari masyarakat dan juga di sisi lain sokongan pendanaan
akan mudah didapatkan oleh sekolah.
Di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan
Nasional, terminologi yang populer adalah Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) pada intinya adalah otonomi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan. MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah) dengan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) hakikatnya tidak
berbeda. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) terfokus
pada peningkatan mutu, sedangkan MBS pada efektivitasnya pengelolaan sekolah.
Otonomi Pengelolaan Pendidikan

Pendidikan Berbasis Masyarakat


ika MPMBS Berhasil
Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah

Skema 2. Skema Berpikir Kebijakan MBS di Indonesia


Pada skema tersebut, tampak jelas bahwa konsep dasar Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) adalah adanya otonomi dan
pengambilan keputusan partisipatif. Artinya, Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS) memberikan otonomi yang lebih luas kepada
masing-masing sekolah secara individual dalam menjalankan program sekolahnya
dan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi. Selain itu, dalam
menyelesaikan masalah dan dalam pengambilan keputusan harus melibatkan
partisipasi setiap konstituen sekolah seperti siswa, guru, tenaga administrasi,
orangtua, masyarakat lingkungan, dan tokoh masyarakat.6

B. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Menurut Levacic, seperti yang dikutip oleh Ibrahim Bafadhal, menjelaskan
bahwa dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), ada tiga karakteristik yang
menjadi ciri khas dan harus dikedepankan dari yang lain pada manajemen
tersebut, yaitu sebagai berikut.
1. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan yang didesentralisasikan
kepada para stakeholder sekolah.

6.
Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(Direktorat SLTP, 2001), hlm. 9-10.
2. Domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup
keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, mencakup kurikulum,
kepegawaian, keuangan, sarana prasarana, penerimaan, dan siswa baru.
3. Walaupun keseluruhan domain manajemen peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan kepada sekolah-sekolah, diperlukan regulasi yang
mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan
dan tanggung jwab pemerintah.
Adapun Edmon, seperti yang dikutip oleh B. Suryosubroto, mencoba untuk
mengemukakan berbagai indikator yang menunjukkan karakteristik dari konsep
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini, antara lain sebagai berikut.
1. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
2. Sekolah memiliki visi dan target mutu yang ingin dicapai.
3. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat.
4. Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan
staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi.
5. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus-menerus sesuai tuntutan
IPTEK.
6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus-menerus terhadap berbagai aspek
akademik dan administratif, serta pemanfaatan hasilnya untuk
penyempurnaan/perbaikan mutu.
7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orangtua murid dan
masyarakat.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memiliki karakteristik yang harus
dipahami oleh sekolah yang menerapkan. Karakteristik Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) didasarkan atas input, proses, dan output.
1. Output yang Diharapkan
Output pendidikan adalah kinerja (prestasi) sekolah. Kinerja sekolah
dihasilkan dari proses pendidikan. Output pendidikan dinyatakan tinggi jika
prestasi sekolah tinggi dalam hal berikut.
a. Prestasi akademik siswa berupa nilai ulangan umum, nilai UN, Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), lomba bahasa inggris, lomba fisika,
lomba kimia, dan sebagainya.
b. Prestasi nonakademik siswa, seperti imtak, kejujuran, kerja sama, rasa
kasih sayang, keingintahuan, solidaritas, kerajinan, olahraga, ketrampilan,
kesenian, dan ekstrakurikuler lainnya.
c. Prestasi lainnya, seperti kinerja sekolah dan guru meningkat, kepuasan,
kepemimpinan kepala sekolah andal, jumlah peserta didik yang berminat
masuk kesekolah meningkat, jumlah putus sekolah menurun, hubungan
sekolah-masyarakat meningkat, dan kepuasan stakeholder meningkat.
2. Proses Pendidikan
Proses ialah berubahnya sesuatu (input) menjadi sesuatu yang lain (output).
Sekolah yang efektif memiliki : (a) Proses Belajar Mengajar (PBM) yang
efektivitasnya tinggi; (b) kepemimpinan sekolah yang kuat; (c) lingkungan
sekolah yang aman dan tertib; (d) pengelolaan tenaga pendidik dan
kependidikan yang efektif; (e) memiliki budaya mutu; (f) memiliki tim kerja
yang kompak, cerdas dan dinamis; (g) memiliki kewenangan (kemandirian);
(h) partisipasi stakeholder tinggi; (i) memiliki keterbukaan manajemen; (j)
memiliki kemauan dan kemampuan berubah (psikologis dan fisik); (k)
melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan; (l) responsif dan
antisipatif terhadap kebutuhan; (m) komunikasi yang baik; (n) memiliki
akuntibilitas; (o) sekolah memiliki sustainibilitas (kelangsungan hidup).
3. Input Pendidikan
Input adalah sesuatu yang harus tersedia untuk berlangsungnya proses. Input
terbagi empat, yaitu input Sumber Daya Manusia (SDM), input sumber daya,
input manajemen, dan input harapan. Input pendidikan meliputi (a) memiliki
kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas; (b) sumber daya tersedia dan
siap; (c) staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi; (d) memiliki harapan
prestasi yang tinggi; (e) fokus pada pelanggan (khususnya siswa); dan (f)
manajemen.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memiliki delapan karakteristik yang


bertolak belakang dengan karakteristik Manajemen Kontrol Eksternal (MKE),
yyaitu dalam hal misi sekolah, strategi-strategi manajemen, hakikat aktivitas-
aktivitas, penggunaan sumber-sumber daya, peran warga sekolah, hubungan
interpersonal, kualitas pada administrator, dan indikator-indikator efektivitas.
1. Misi Sekolah. Sekolah dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memiliki
cita-cita menjalankan sekolah untuk mewakili sekelompok harapan bersama,
keyakinan, dan nilai-nilai sekolah didalam aktivitas pendidikan dan arahan
kerja.
2. Hakikat aktivitas-aktivitas sekolah berarti sekolah menjalankan aktivitas-
aktivitas pendidikannya berdasarkan karakteristik, kebutuhan, dan situasi
sekolah.
3. Strategi-strategi manajemen. Perubahan arah dari Manajemen Kontrol
Eksternal (MKE) ke Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat direfleksikan
dalam aspek-aspek strategi manajemen berikut ini.
a. Konsep atau asumsi tentang hakikat manusia.
b. Konsep organisasi sekolah
c. Gaya pengambilan keputusan
d. Gaya kepemimpinan
e. Penggunaan kekuasaan
f. Ketrampilan-ketrampilan manajemen
4. Penggunaan sumber-sumber daya. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dalam model school-based budgetting program memberikan keleluasaan
kepada sekolah untuk memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengadakan
dan menggunakan sumber daya.
5. Perbedaan-perbedaan peran. Peran warga sekolah secara langsung atau tidak
langsung ditentukan oleh kebijakan manajemen pemerintah, misi sekolah,
hakikat aktivitas sekolah, strategi-strategi pengelolaan internal sekolah, dan
gaya penggunaan sumber daya. Perubahan ke model MBS menuntut peran
aktif sekolah, guru, administrator, dan orangtua dari semula pasif.
6. Hubungan antar-manusia. Terminologi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
menekankan hubungan antar-manusia yang cenderung terbuka, bekerja sama,
semangat tim, dan komitmen yang saling menguntungkan.
7. Kualitas para administrator. Perlunya memperluas wawasan dan pemikiran
untuk belajar sehingga diharapkan administrator dapat mempromosikan demi
perkembangan jangka panjang sekolahnya.
8. Indikator-indikator efektivitas.

Anda mungkin juga menyukai