Anda di halaman 1dari 20

UJIAN AKHIR SEMESTER MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

“Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan Berbasis Sekolah”


Dosen Pengampu : Dr. Sri Marmoah, S. Pd., M. Pd.

Disusun Oleh:
Resty Kurnia Dewi
K7119223
6D

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

Manajemen Sekolah (MBS) bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan melalui desentralisasi pendidikan. Implementasi MBS yang diharapkan dapat memperkuat
kehidupan yang demokratis, desentralisasi wewenang, sumber daya, dan dana sekolah. setelah lebih
lebih dari satu dekade sejak manajemen Berbasis Sekolah (MBS) diluncurkan dan lakukan, raih
kesuksesan dalam Sekolahnya sangat beragam. Banyak sekolah yang MBS telah berhasil dilaksanakan
dengan baik, tapi masih banyak sekolah kurang berhasil. Sesuai rencana Kementerian Pendidikan
Strategis dan Tahun Kebudayaan 2010 n.d. 2014, diharapkan pada akhir 2014, 90%. Keberhasilan
dalam penerapan MBS di Sekolah Dasar masih beragam. Berdasarkan penelitian dan observasi tentang
MBS, berbagai keberhasilan ini karena, antara lain, belum adanya komitmen yang kuat dari para
pengambil keputusan politik pendidikan di daerah (baik di tingkat provinsi) serta Kabupaten/Kota),
selain itu kurangnya pengetahuan pihak sekolah tentang pentingnya permintaan manajemen sekolah
yang dapat kualitas sekolah, Implikasi bagi manajemen berbasis sekolah (MBS) tidak dapat bekerja
dengan baik. (Kemendikbud, 201 : 1) Untuk itu, meskipun Manajemen Berbasis Sekolah semenjak dulu
telah disosialisasikan, dirintis dan dilaksanakan, tetapi perlu dilakukan penyegaran dan revitalisasi
dalam pelaksanaannya. Untuk sekolah yang telah melaksanakan dengan baik, perlu adanya peningkatan
dan perawatan secara keberlanjutan. Sedangkan untuk sekolah yang belum melaksanakannya secara
optimal, atau bahkan hanya dengan menerapkan MBS, perlu adanya dorongan dan pemberian wawasan
tentang arti dan pentingnya MBS bagi upaya meningkatkan kualitas pendidikan dalam sekolah, wilayah
dan negara. Keberhasilan dalam penerapan MBS dapat mencakup berbagai bidang manajemen sekolah.
Bidang manajemen Berbasis Siswa (MBS) meliputi: siswa, kurikulum, partisipasi komunitas,
keuangan/sponsor, pendidik dan tenaga kependidikan, fasilitas dan infrastruktur sekolah, sistem
informasi pengelolaan. Pengelolaan pendidik dan staf pendidikan di sekolah dasar negeri dan swasta
masih perlu ditingkatkan. Adanya manajemen PTK yang efektif dan efisien pada sekolah dasar, akan
berdampak pada meningkatnya kinerja PTK yang ada di sekolah.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Manajemen Berbasis Sekolah


a. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
MBS dalam pengertian yang dikemukakan oleh Myers dan Stonehill (1993:34) adalah “strategi
untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas pengambilan keputusan secara signifikan
dari pemerintah pusat dan daerah ke sekolah-sekolah secara individual.” Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Nurkholis (2003:15) dimana:
MBS memberi kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan masyarakat untuk memiliki
kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan dan memberikan mereka tanggung
jawab untuk mengambil keputusan tentang anggaran, personil, dan kurikulum. Dengan
keterlibatan 13 stakeholder lokal dan pengambilan keputusan dalam MBS dapat
meningkatkan lingkungan belajar yang efektif bagi siswa.

Selanjutnya pendapat Oswald bahwa “MBS dapat didefinisikan sebagai desentralisasi


kewenangan pembuatan keputusan ke tingkat sekolah”. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk
reformasi pendidikan yang muncul sejalan dengan spirit desentralisasi.
Selanjutnya menurut Danim (2006:34) menyatakan bahwa: “MBS merupakan salah satu model
manajemen pendidikan yang berbasis pada otonomi atau kemandirian sekolah dan aparat daerah
dalam menentukan arah, kebijakan, serta jalannya pendidikan di daerah masing-masing.”
Oleh karena itu Hasbullah (2010:65-67) mengatakan bahwa:
keberhasilan dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah sangat ditentukan oleh
perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada tingkat kabupaten dan kota. Di
samping itu, MBS juga merupakan model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah
sebagai proses pengambilan keputusan.

Berdasarkan hal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang
berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran.
b. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Seperti yang ditulis oleh Mulyasa (2005:25) manajemen berbasis sekolah merupakan “salah satu
upaya pemerintah untuk mencapai keunggulaan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan
teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN.”
MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan proses pemerintah
terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu,
dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain, diperoleh melalui keleluasaan
mengelola sumberdaya partisipasi masyarakat dan penyerdehanaan birokrasi. Sementara peningkatan
mutu dapat diperoleh antara lain, melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah. Peningkatan
pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan
pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
Dengan demikian tujuan dari manajemen pendidik dan tenaga kependidikan yaitu untuk
membentuk kemandirian yang berujung pada keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam
menyumbangkan aspirasi dalam penentuan kebijakan yang akan diambil oleh lembaga pendidikan
sekolah.
c. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
Manfaat manajemen berbasis sekolah menurut Mulyasa (2005:26) menjelaskan bahwa:
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung
jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan
kondisi setempat, keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam menyertakan
masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam
peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah. Dengan demikian, MBS
mendorong profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di
sekolah. MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, kesempatan
berpartisipasi tersebut dapat meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dalam penerapan MBS di sekolah memberikan banyak
manfaat bagi kelangsungan persekolahan. Yaitu memberikan kesempatan bagi semua komponen
untuk berinovasi dan bereksperimen di lingkungan sekolahnya.
d. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
Karakteristik manajemen berbasis sekolah menurut Rohiat dalam bukunya (2008)
mengungkapkan yaitu:
1) Output yang diharapkan (tujuan yang ingin dicapai)
Sekolah memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan
melalui proses pembelajaran dan manajemen di sekolah.
2) Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakter proses sebagai berikut:
a) Proses belajar mengajar dengan efektivitas yang tinggi.
b) Menekankan pada pemberdayaan peserta didik.
c) Kepemimpinan sekolah yang kuat. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang
dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya
melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap.
d) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib. Sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah
yang aman, nyaman, dan tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim
tersebut.
e) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif. Pada pengembangan tenaga kependidikan, hal
tersebut harus dilakukan secara terus menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang sedemikian pesat.
3) Input (produktivitas)
a) Memiliki kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu yang jelas.
Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu dinyatakan oleh kepala sekolah dan disosialisasikan kepada
semua warga sekolah sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada
kepemilikan karakter mutu oleh warga sekolah.
b) Sumber daya tersedia dan siap.
Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk kelangsungan proses pendidikan di
sekolah.
c) Memiliki harapan prestasi yang tinggi
Mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan
sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu
sekolah secara optimal.
d) Fokus pada pelanggan
Pelanggan, terutama siswa, harus menjadi fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua
input dan proses yang dikerahkan di sekolah tujuan utamanya adalah meningkatkan mutu dan
kepuasan peserta didik.
e) Input manajemen
Sekolah yang memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah.
Berdasarkan uraian karakteristik manajemen berbasis sekolah di atas bisa dikatakan bahwa
karakteristik manajemen berbasis sekolah sangat penting untuk diperhatikan dan dipenuhi dalam
rangka penggunaan Manajemen Berbasis Sekolah tersebut dengan baik dan sukses. Karakteristik
tersebut juga dapat menjadi pegangan dan arahan dalam rangka tercapainya Manajemen Berbasis
Sekolah dengan memusatkan pada perkembangan anak bukan hanya tau, tapi juga paham akan nilai
dan sadar akan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
e. Konsep dasar MBS
Konsep dasar MBS seperti yang dijelaskan oleh Hasbullah (2010:67) adalah:
Mengalihkan pengambilan keputusan dari pusat, kanwil, kandep, dinas ke level sekolah.
MBS mula-mula muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai alternatif untuk
mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah. Reformasi itu diperlukan karena kinerja
sekolah selama puluhan tahun tidak dapat menunjukkan peningkatan yang berarti dalam
memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah. Di antara tuntutan perubahan sekolah
yang dimaksudkan antara lain tuntutan dunia kerja, tuntutan ilmu pengetahuan dan
teknologi, tuntutan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Lulusan sekolah-sekolah pada saat
itu dianggap di bawah standar tuntutan berbagai bidang kebutuhan yang mengakibatkan
kekecewaan banyak kalangan yang berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jelas terlihat bahwa MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah,
disertai seperangkat tanggungjawab. Dengan adanya pengalihan kewenangan pengambilan keputusan
ke level sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah
pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Atau dengan
kata lain, sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat.
Selanjutnya Hasbullah (2010:70) juga menjelaskan bahwa:
MBS berfungsi untuk menjamin bahwa semakin rendahnya kontrol pemerintah
pusat, tetapi semakin meningkatkan otonomi sekolah untuk menentukan sendiri apa
yang perlu diajarkan dan mengelola sumber daya yang ada di sekolah untuk
berinovasi dan berimprovisasi.

Pada umumnya MBS dimaknai sebagai berikut:


1) Sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan, dan penggunaan fasilitas sekolah,
termasuk pengadaan buku dan bahan belajar. Hal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan mutu
kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di kelas.
2) Sekolah membuat perencanaan sendiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk meningkatkan mutu
pendidikan dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam proses tersebut.
3) MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala
sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana
Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara
terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan tersebut akan meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta
dukungan orangtua dan masyarakat terhadap sekolah.
Dengan adanya konsep dasar manajemen berbasis sekolah sebagai sebuah paradigma baru, selain
harus memperhatikan karakteristik dari MBS itu sendiri di sisi lain ada konsep dasar manajemen
berbasis sekolah yang bisa dijadikan sebagai suatu acuan atau pedoman dalam implementasi
manajemen berbasis sekolah.
f. Prinsip MBS
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 48 ayat
1 menyatakan bahwa, “Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi,
transparansi, dan akuntabilitas publik”. Sejalan dengan amanat tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas PP Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan pasal 49 ayat 1 menyatakan bahwa, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan
kemandirian, kemitraan, keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas”. Berdasarkan kedua isi kebijakan
tersebut, prinsip MBS meliputi: (1) Kemandirian, (2) Keadilan, (3) Keterbukaan, (4) Kemitraan, (5)
Partisipatif, (6) Efisiensi, dan (7) akuntabilitas. Ketujuh prinsip tersebut disingkat menjadi K4 PEA.
Menurut Syarifuddin (2008: 2-12), bahwa “Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah menganut
prinsip-prinsip pengelolaan yaitu: (1) otonomi sekolah, (2) fleksibilitas, (3) partisispasi untuk
mencapai sasaran mutu sekolah”. Di sisi lain selanjutnya prinsip-prinsip MBS menurut LP2NKP
(Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Nusantara Konsultan Publik), (2012:14) yaitu: “(1) partisipasi,
(2) transparansi, (3) akuntabilitas”. Bertolak dari esensi MBS dan uraian-uraian tersebut dapat digaris
bawahi bahwa MBS mengedepankan penyelenggaraan pendidikan dengan prinsip-prinsip otonomi
yang berarti kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut
prakarsa sendiri yang aspiratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional
yang berlaku.
LP2NKP (2012) dalam penjelasannya, bahwa: Fleksibilitas diartikan sebagai keluwesan-
keluwesan yang dimiliki oleh skolah untuk mengelolah, memanfaatkan dan memberdayakan sumber
daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Transparansi adalah keterbukaan
dalam program dan keuangan serta proses dan hasil pendidikan yang diwujudkan melalui kemudahan
dan kebebasan publik untuk memperoleh informasi dari sekolah. Akuntabilitas adalah
pertanggungjawaban kepada warga sekolah, masyarakat dan pemerintah terhadap kinerja sekolah.
Sedangkan partisispasi adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demoktratis bagi warga
sekolah dan masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan agar dapat meningkatkan
mutu pendidikan.
Prinsip manajemen berbasis sekolah menganut nilai-nilai operasional yang mengedepankan
kemandirian, akuntabilitas kerja serta berorientasi kerjasama yang solid diantara stakeholder dalam
upaya mencapai tujuan pendidikan nasional. Adanya klasifikasi wewenang dan tanggung jawab yang
konkrit serta keterbukaan dalam proses kerja dan dalam pengelolaan pendidikan, sehingga
keberhasilan seluruh program sekolah yang telah ditetapkan dan dirumuskan disekolah dapat
diwujudkan.
Pada dasarnya prinsip MBS bertujuan untuk meningkatkan keunggulan sekolah melalui pengambilan
keputusan bersama, berdasarkan prinsip tersebut bahwa sekolah harus mengembangkan seluruh
potensi-potensi yang ada dalam menghadapi berbagai macam problematika yang ada pada sekolah
tersebut, dan untuk mencapai keseluruhan proses tersebut harus ada dukungan dari berbagai macam
pihak agar program yang akan dijalankan dapat terealisasikan.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa manajemen berbasis sekolah memiliki tiga prinsip
penting yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain yaitu prinsip kewenangan, partisipasi masyarakat,
serta transparansi ketiga hal inilah yang menjadi pondasi pelaksanaan MBS dan merupakan ciri khas
MBS. Berikut akan diuraikan penjelasan dari ke tiga prinsip MBS.
1) Kemandirian Sekolah/ Kewenangan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008), “mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak
bergantung pada orang lain, sedangkan kemandirian adalah hal atau keadaaan dapat berdiri sendiri
tanpa bergantung pada orang lain”. Pengertian ini menunjukkan bahwa kemandirian terlihat dari
keadaan yang dapat berdiri sendiri atau tidak selalu tergantung kepada pihak lain dalam memutuskan
atau melakukan sesuatu. Senada dengan hal ini, Surya Darma (2010:15) menyampaikan bahwa
“otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus
dirinya sendiri, kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama
kemandirian sekolah.”
Prinsip kemandirian sekolah dalam MBS sejalan dengan teori MBS yang dikemukakaan oleh Cheng,
yaitu prinsip sistem pengelolaan mandiri Nurkolis, (2006:52) menurutnya:
MBS mempersilakan sekolah menjadi sistem pengelolaan secara mandiri di bawah
kebijakannya sendiri. Sekolah memiliki otonomi untuk mengembangkan tujuan
pengajaran, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi
mereka masing-masing.

Otonomi yang berarti mempunyai kewenangan mengatur semua masalah secara mandiri pada sekolah
bukanlah otonomi tanpa batas. Sebagai kewenangan yang diberikan oleh otoritas di atasnya, hal ini
merupakan pelimpahan wewenang yang ada batasnya. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa kemandirian sekolah dapat di lihat dari beberapa hal diantaranya: 1) sekolah memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku, dan 2) sekolah memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan sumber dayanya sendiri.
2) Partisipasi Masyarakat
Echols dan Shadily (2006:419) mengungkapkan bahwa: “Partisipasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu
“participation” yang berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan”. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia (2008) partisipasi adalah turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Berdasarkan definisi ini
maka partisipasi dapat diartikan sebagai peran serta atau dukungan dalam suatu kegaitan.
Depdiknas (2009:43) menyatakan bahwa partisipasi adalah:
proses dimana stakeholders (warga sekolah dan masyarakat) terlibat aktif baik secara
individual maupun koletif, secara langsung maupun tidak langsung, dalam
pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan/pengevaluasian pendidikan disekolah.

Partisipasi yang dimaksud merupakan penciptaan lingkunganyang terbuka dan demorakatik di


sekolah, dimana warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan) dan masyarakat didorong untuk
terlibat dalam memberikan dukungan secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari
pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat
meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang turut serta
(berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka akan memiliki rasa memiliki terhadap
sekolah, sehingga akan bertanggung jawab dan berdedikasi untuk mencapai tujuan sekolah.
Penerapan MBS adalah untuk membuat kebijakan/keputusan sekolah lebih dekat dengan stakeholders
sehingga hasilnya benar-benar mencerminkan aspirasi stakeholders. Untuk itu, MBS mensyaratkan
adanya partisipasi aktif dari semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah
(stakeholders), baik wargasekolah seperti guru, kepala sekolah, siswa, dan tenaga-tenaga
kependidikan lainnya, maupun warga di luar sekolah seperti orang tua siswa, akademisi, tokoh
masyarakat, dan pihak-pihak lain yang mewakili masyarakat yang diwadahi melalui komite sekolah.
Partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah telah diatur dalam suatu kelembagaan yang
disebut dengan Komite Sekolah.
Secara resmi keberadaan Komite Sekolah ditunjukkan melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor
044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Komite Sekolah diharapkan menjadi
mitra sekolah yang dapat mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam
melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di sekolah. Tugas dan fungsi Komite
Sekolah antara lain mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi
dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; dan menggalang
dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Selain
itu, Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah tentang
kebijakan danp rogram pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah.
Bentuk partisipasi dapat berupa apa saja yang relevan dalam pelaksanaan program sekolah, baik
berupa fisik maupun non fisik. Menurut Engkoswara (2010:297), “peningkatan partisipasi masyarakat
dipilah dalam dua kategori, yaitu partisipasi dalam bentuk kontribusi pembiayaan, dan partisipasi
dalam bentuk pemikiran dan tenaga.” Sementara itu, Depdiknas (2009:9) menyatakan “bentuk-bentuk
partisipasi stakeholders di antaranya adalah (a) berupa dukungan dana, (b) berupa dukungan tenaga,
(c) berupa dukungan pemikiran, dan (d) berupa dukungan material/fasilitas.” Pendeknya, Komite
Sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung, pemberi pertimbangan, mediator dan pengontrol
penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
3) Transparansi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008: 22), “transparan adalah tembus pandang; bening;
jernih; jelas; terbuka tidak terbatas pada orang tertentu saja”. Dalam ruang lingkup sekolah, transparansi
berarti “keadaaan dimana setiap orang yang terkait dengan kepentingan pendidikan dapat mengetahui
proses dan hasil kebijakan sekolah.” Dengan kata lain, transparansi sama dengan polos, apa adanya,
tidak bohong, tidak curang, jujur, dan terbuka terhadap publik tentang apa yang dikerjakan oleh
sekolah.
Depdiknas, (2001:16), bahwa “Keterbukaan ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan,
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang dan sebagainya, yang selalu melibatkan
pihak-pihak terkait sebagai alat control”. Mengingat sekolah adalah organisasi pelayanan publik, maka
sekolah harus transparan kepada publik mengenai proses dan hasil pendidikan yang dicapai.
Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam kerangka meningkatkan transparansi sekolah kepada
publik menurut Surya Darma (2010:72) antara lain: “melalui pendayagunaan berbagai jalur komunikasi,
baik secara langsung melalui temu wicara, maupun secara tidak langsung melalui jalur media tertulis
(brosur, leaflet, newsletter, pengumuman melalui surat kabar) maupun media elektronik.” Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa transparansi dicapai melalui kemudahan dan kebebasan publik
untuk memperoleh informasi dari Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan
2. Pengertian Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Manajemen secara etimologis menjelaskan bahwa istilah manajemen berasal dari kata dalam
Bahasa Prancis kuno “menagemen”, yakni “seni melaksanakan dan mengatur”. Oleh krena itu,, Mary
Parker Follet dalam (Suhartono,2011:41), telah mendefinisikan manajemen sebagai “seni
menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain”.
Selanjutnya, hal serupa juga dikemukakan oleh George R. Terry dalam (Manullang,2001:3),
mengatakan bahwa “manajemen adalah pencapaian tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu dengan
mempergunakan kegiatan orang lain”. Demikian pula dengan Hersey dan Blanchard mengemukakan
bahwa “manajemen adalah proses bekerja sama antara individu dan kelompok serta sumber daya
yang lainnya dalam mencapai tujuan organisasi adalah sebagai aktivitas manajemen”.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian manajemen di atas, dengan demikian manajemen
merupakan proses pendayagunaan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien. Sementara dalam
UU RI No.20 Tentang Sisdiknas 2010 pendidik adalah “tenaga kependidikan sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai
dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”. UU RI No.20
Tentang Sisdiknas (2010:3) Menurut UU No. 20 tentang Sisdiknas, bahwa:
tenaga pendidik itu merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Oleh karena itu pendidik dalam hal ini adalah orang yang melakukan pembimbingan, pembelajaran,
penilaian dan pelatihan serta pengabdian dalam hal pemberian pengetahuan, keterampilan, 3atau
pengalaman kepada orang lain. Adapun pengertian tenaga kependidikan menurut UU RI No.20
Tentang Sisdiknas (2010:3) adalah “anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan.” Dimana tugas tenaga kependidikan dalam UU RI No.20
Tentang Sisdiknas (2010:21) yaitu “melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,
pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.”
Karena itulah pendidik dan tenaga kependidikan memiliki peran dan posisi yang sama penting dalam
konteks penyelenggaraan pendidikan (pembelajaran). Karena itu pula, pada dasarnya baik pendidik
maupun tenaga kependidikan memiliki peran dan tugas yang sama yaitu melaksanakan berbagai
aktivitas yang berujung pada terciptanya kemudahan dan keberhasilan siswa dalam belajar.
Setelah dijelaskan pengertian manajemen dan pengertian pendidik dan tenaga kependidikan,
maka selanjutnya definisi tentang manajemen pendidik dan tenaga kependidikan. Dalam delapan
standar nasional pendidikan manajemen pendidik dan tenaga kependidikan di sebut sebagai
manajamen personalia atau kepegawaian. French dalam (Namiyah dan Jauhar,2015:62),
mendefinisikan manajemen personalia sebagai “penarikan seleksi, pengembangan, penggunaan, dan
pemeliharaan sumber daya manusia oleh organisasi.” Sedangkan menurut Hasbullah (2010)
manajemen pendidik dan tenaga kependidikan adalah: Kegiatan yang mencakup penetapan norma,
standar, prosedur, pengangkatan, pembinaan, penatalaksanaan, kesejahteraan dan pemberhentian
tenaga kependidikan sekolah agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam mencapai tujuan
sekolah.
Berdasarkan definisi di atas manajemen pendidik dan tenaga kependidikan di atas memiliki inti
yang sama yaitu, perencanaan, pengorganisasian, pengawasan sumber daya manusia untuk mencapai
tujuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Manajemen pendidik dan tenaga kependidikan adalah
aktivitas yang harus dilakukan mulai dari tenaga pendidik dan kependidikan masuk ke dalam
organisasi pendidikan sampai akhirnya berhenti.
a. Jenis-Jenis Tenaga Kependidikan
Menurut Rangkuti (2011:59) dilihat dari jabatannya, tenaga kependidikan dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu:
1) Tenaga struktural
Merupakan tenaga kependidikan yang menempati jabatan-jabatan eksekutif umum
(pimpinan) yang bertanggung jawab baik langsung maupun tidak langsung atas satuan
pendidikan. Contohnya Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, WAKA Bidang
Kurikulum, WAKA Bidang Kesiswaan, WAKA BIdang Sarana dan Prasarana, WAKA
Bidang Pelayanan Khusus.
2) Tenaga fungsional
Merupakan tenaga kependidikan yang menempati jabatan fungsional yaitu jabatan yang
dalam pelaksanaan pekerjaannya mengandalkan keahlian akademis kependidikan.
Contohnya Guru, Pembimbing/Penyuluh (Guru BP), Pengembangan Kurikulum, dan
Teknologi Kependidikan, Pengembang tes, Pustakawan.
3) Tenaga Teknis
Merupakan tenaga kependidikan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya lebih dituntut
kecakapan teknis operasional atau teknis administratif. Contohnya Laboran Teknisi
Sumber Belajar, Pelatih (Olahraga), Kesenian & Keterampilan, Petugas TU.

Dari ketiga jenis tenaga kependidikan di atas dapat dikatakan bahwa tenaga kependidikan
merupakan seluruh komponen yang terdapat dalam instansi atau lembaga pendidikan yang tidak hanya
mencakup guru saja melainkan keseluruhan yang berpartisipasi dalam pendidikan.
b. Tugas Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Secara khusus tugas dan fungsi tenaga pendidik (guru dan dosen) didasarkan pada Undang-Undang
No 14 Tahun 2007, yaitu sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional,
pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat. Menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan
Penyelenggaraan Pendidikan pasal 171 Pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai
berikut:
1) guru sebagai pendidik profesional mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
2) Dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuwan mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, pada jenjang
pendidikan tinggi
3) konselor sebagai pendidik professional memberikan pelayanan konseling kepada
peserta didik di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
4) pamong belajar sebagai pendidik professional mendidik, membimbing, mengajar,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, dan mengembangkan model
program pembelajaran, alat pembelajaran, dan pengelolaan pembelajaran pada jalur
pendidikan nonformal
5) widyaiswara sebagai pendidik professional mendidik, mengajar, dan melatih peserta
didik pada program pendidikan dan pelatihan prajabatan dan/atau dalam jabatan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
6) tutor sebagai pendidik professional memberikan bantuan belajar kepada peserta
didik dalam proses pembelajaran jarak jauh dan/atau pembelajaran tatap muka pada
satuan pendidikan jalur formal dan nonformal
7) instruktur sebagai pendidik professional memberikan pelatihan teknis kepada
peserta didik pada kursus dan/atau pelatihan
8) fasilitator sebagai pendidik professional melatih dan menilai pada lembaga
pendidikan dan pelatihan
9) pamong pendidikan anak usia dini sebagai pendidik profesional mengasuh,
membimbing, melatih, menilai perkembangan anak usia dini pada kelompok
bermain, penitipan anak dan bentuk lain yang sejenis pada jalur pendidikan
nonformal.
10) guru pembimbing khusus sebagai pendidik profesional membimbing, mengajar,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik berkelainan pada satuan pendidikan umum,
satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan
11) narasumber teknis sebagai pendidik profesional melatih keterampilan tertentu bagi
peserta didik pada pendidikan kesetaraan.

Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat 1 bahwa:
“tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan,
dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.” Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan
Pendidikan pasal 173 Tenaga kependidikan mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
1) pengelola satuan pendidikan mengelola satuan pendidikan pada pendidikan formal
atau nonformal.
2) penilik melakukan pemantauan, penilaian, dan pembinaan pada satuan pendidikan
nonformal.
3) pengawas melakukan pemantauan, penilaian, dan pembinaan pada satuan
pendidikan formal anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
4) peneliti melakukan penelitian di bidang pendidikan pada satuan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikanmenengah, dan pendidikan tinggi, serta
pendidikan nonformal.
5) pengembang atau perekayasa melakukan pengembangan atau perekayasaan di
bidang pendidikan pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, serta pendidikan nonformal.
6) tenaga perpustakaan melaksanakan pengelolaan perpustakaan pada satuan
pendidikan.
7) tenaga laboratorium membantu pendidik mengelola kegiatan praktikum di
laboratorium satuan pendidikan.
8) teknisi sumber belajar mempersiapkan, merawat, memperbaiki sarana dan prasarana
pembelajaran pada satuan pendidikan.
9) tenaga administrasi menyelenggarakan pelayanan administratif pada satuan
pendidikan.
10) psikolog memberikan pelayanan bantuan psikologis-pedagogis kepada peserta didik
dan pendidik pada pendidikan khusus dan pendidikan anak usia dini.
11) pekerja sosial pendidikan memberikan layanan bantuan sosiologis-pedagogis
kepada peserta didik dan pendidik pada pendidikan khusus atau pendidikan layanan
khusus.
12) terapis memberikan pelayanan bantuan fisiologis-kinesiologis kepada peserta didik
pada pendidikan khusus.
13) tenaga kebersihan dan keamanan memberikan pelayanan kebersihan lingkungan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tugas seorang pendidik dan tenaga kependidikan
merupakan ujung tombak keberhasilan suatu sekolah karena dilihat dari tugasnya tenaga pendidik dan
kependidikan sangat besar peranannya dalam pencapaian tujuan suatu lembaga pendidikan.

c. Tujuan Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan


Tujuan manajemen tenaga pendidik dan kependidikan secara menurut (Susiyawati:2013) adalah:
1) Memungkinkan organisasi mendapatkan dan mempertahankan tenaga kerja yang cakap,
dapat dipercaya, dan memiliki motivasi tinggi.
2) Meningkatkan dan memperbaiki kapasitas yang dimiliki oleh karyawan.
3) Mengembangkan sistem kerja dengan kinerja tinggi yang meliputi prosedur perekrutan dan
seleksi yang ketat, sistem kompensasi yang disesuaikan dengan kinerja, pengembangan
manajemen serta aktivitas pelatihan yang terkait dengan kebutuhan organisasi dan individu.
4) Mengembangkan praktik manajemen dengan komitmen tinggi yang menyadari bahwa tenaga
pendidik dan kependidikan merupakan stakeholder internal yang berharga serta membantu
mengembangkan iklim kerjasama dan kepercayaan bersama.
5) Menciptakan iklim kerja yang harmonis.
Berdasarkan penjelasan di atas maka inti dari tujuan manajemen pendidik dan tenaga kependidikan
adalah untuk pembangunan pendidikan yang bermutu, membentuk sumber daya manusia yang
handal, produktif, kreatif, dan berprestasi
d. Aktivitas Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Rangkuti (2011) menjelaskan, bahwa Manajemen tenaga kependidikan (guru dan personalia)
mencakup (1) perencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai, (3) pembinaan dan pengembangan
pegawai, (4) penilaian, (5) promosi dan mutasi, (6) Kompensasi (7) Pemberhentian. Hal-hal tersebut
mutlak dilakukan oleh seorang kepala sekolah secara serius, baik, dan benar agar apa yang
diharapkan dari para tenaga kependidikan dapat terealisasi dengan tepat sesuai dengan kualifikasi dan
kemampuan yang sesuai sehingga dapat menjalani tugas dan pekerjaannya dengan optimal.

1) Perencanaan Pegawai
Hamiyah dan Jauhar (2015) dalam bukunya menjelaskan bahwa Perencanaan tenaga pendidik
dan kependidikan merupakan kegiatan untuk menentukan kebutuhan tenaga pendidik dan
kependidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif untuk sekarang dan masa depan. Penyusunan
rencana tenaga kependidikan yang baik dan tepat memerlukan informasi yang lengkap dan jelas
tentang pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan yang tentunya minimal harus sesuai dengan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Komptensi Guru dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2008
Tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/MA/Madrasah dalam setiap lembaga pendidikan. Oleh
karena itu sebelum menyusun rencana ada dua tahap yang harus dilakukan yaitu:
a) Analisis Pekerjaan
Analisis kerja adalah upaya mengurai pekerjaan sehingga memperoleh keterangan rinci tentang
pekerjaan tersebut, yang kemudian dapat dipakai untuk menentukan kualifikasi personil yang
diperlukan. Analisis kerja akan menghasilkan dua hal yakni deskripsi kerja dan persyaratan kerja.
Supaya deskripsi kerja lengkap dapat diperoleh maka perlu diusahakan untuk memperoleh sebanyak
mungkin informasi penting melalui analisis kerja.
Termasuk dalam deskripsi kerja sebenarnya sangat banyak dan jenisnya berbeda antara setiap
kerja, namun pada umumnya dapat digolongkan dalam empat kategori besar yaitu:
(1) Informasi berkaitan dengan sifat pekerjaan, apakah bersifat fisik ataukah bersifat mental.
(2) Informasi tentang cara melakukan pekerjaan yakni berkenaan dengan metode kerja yang dipakai.
Apakah memerlukan mesin laboratorium ataukah bersifat analisis.
(3) Informasi mengapa pekerjaan itu dilakukan, yakni berkenaan dengan peranan dan fungsi kerja
dikaitkan dengan kehidupan organisasi unit-unit lainnya.
(4) Informasi mengenai persyaratan kualitas personil yang ditetapkan mencakup tingkat kecakapan
dan keterampilan tenaga yang akan melakukan tugas tersebut.
Persyaratan kerja adalah informasi yang memberi keterangan tentang persyaratan minimum yang
perlu dimiliki personil supaya dapat melakukan pekerjaan yang ada sebaik mungkin. Merupakan
informasi yang menentukan standar personil atau tipe-tipe personil yang cocok untuk pekerjaan itu.
Hal-hal yang perlu termuat dalam spefikasi kerja ialah: (1) Jenis kelamin pekerja, (2) Keadaan fisik
pekerja, (3) Stabilitas emosi yang diperlukan, (4) Keadaan mental pekerja, (5) Persyaratan
pendidikan minimal, (6) Persyaratan pengalaman kerja minimal, (7) Minat pekerja, (8) Karakter dan
tempramen pekerja.
b) Analisis jabatan
Analisis jabatan adalah proses, metode, tekhnik untuk mendapatkan data jabatan,
mengolahnya menjadi informasi jabatan, menyajikan untuk program-program kelembagaan,
kepegawaian serta ketatalaksanaan dan memberikan layanan pemanfaatan bagi pihak-pihak yang
menggunakannya. Analisis jabatan ini meliputi tiga kegiatan:
(1) Mengumpulkan data jabatan dan mengolahnya menjadi informasi jabatan.
(2) Menyajikan informasi bagi program-program kelembagaan, ketenagaan dan ketatalaksanaan.
(3) Memberikan layanan pemanfaatan informasi jabatan yang memerlukan.
Dari kegiatan analisis jabatan akan dihasilkan daftar tugas atau jabatan yang seharusnya
dimiliki sekolah, uraian tugas setiap jabatan dan prosedur bagaimana setiap tugas dikerjakan
sebagai contoh melalui analisis jabatan akan diketahui jumlah, jenis dan kualifikasi gur yang
diperlukan sekolah.

2) Pengadaan Pegawai/ Rekrutmen


Dalam rangka memiliki guru yang berkualitas sangat tergantung pada kualitas proses rekrutmennya.
Semakin baik prosesnya, semakin besar pula kemungkinan didapatkannya individu-individu yang
sangat memenuhi kualifikasi sesuai dengan yang diharapkan oleh sekolah. Selanjutnya dalam rangka
memiliki guru yang berkualitas sangat tergantung pada kualitas proses rekrutmennya. Semakin baik
prosesnya, semakin besar pula kemungkinan didapatkannya individu-individu yang sangat memenuhi
kualifikasi sesuai dengan yang diharapkan oleh sekolah. Sementara penjelasan Marihot Tua
(2002:96) mengungkapkan bahwa perekrutan diartikan sebagai proses “penarikan sejumlah calon
yang berpotensi untuk diseleksi menjadi pegawai.”
Rekrutmen adalah salah satu fungsi dari manajemen yang tidak boleh ditinggalkan.Bisa dikatakan
bahwa pengadaan pegawai dalam pendidikan merupakan praktik yang terjadi sepanjang waktu. Hal
ini dimaksudkan untuk menentukan kebutuhan pegawai, baik itu secara kuantitas atau secara kualitas
yang akan ditempatkan pada posisi-posisi yang dibutuhkan sekarang dan masa yang akan datang.
Untuk merencanakan kebutuhan pegawai seorang kepala sekolah harus mengidentifikasi atau
menganalisis terlebih dahulu bentuk pekerjaan, tugas, dan jabatan yang sangat urgent dibutuhkan agar
tidak terjadi kesalahan dalam recruitment dan penempatan posisi.
Menurut Manullang (2009:30) “untuk mendapatkan tenaga kependidikan yang mempunyai
kualifikasi baik maka perlu diadakan seleksi”. Ada beberapa langkah dalam menetapkan suatu proses
seleksi menurut Rangkuti (2011) yakni:
a) Merumuskan dengan teliti peranan-peranan.
Adalah penting untuk memiliki konsep yang jelas tentang penghargaan yang dikaitkan kepada setiap
kedudukan yang lowong, tugas kewajiban bakal pengisi kedudukan.
b) Menetapkan standar seleksi.
Deskripsi pekerjaan secara tertulis itu harus memberi petunjuk kepada standar seleksi yang meliputi
umur, kesehatan fisik, pendidikan, pengalaman kerja, tujuan-tujuan, perangai, pengetahuan umum,
keterampilan komunikasi, motivasi, minat, sikap, kesehatan mental, kepantasan untuk bekerja dengan
siswa, anggota staf sekolah, dan masyarakat dan faktor-faktor lain yang ditetapkan secara khusus oleh
sekolah.
c) Mengumpulkan informasi yang diperlukan.
Setiap pelamar untuk suatu kedudukan harus menyampaikan salinan ijazah, program pendidikan yang
telah ditempuhnya, surat-surat rekomendasi, riwayat hidup dan bukti lain yang diperlukan.
d) Menilai bakal calon.
Hendaknya dibuat persiapan untuk menilai kesanggupan tiap pelamar melalui wawancara pribadi.
Adapun perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah digolongkan ke dalam dua jenis
yaitu:
(1) Perekrutan Pegawai Negeri Sipil
Tenaga kependidikan PNS di sekolah baik untuk sekolah negeri maupun swasta mengikuti tata cara
perekrutan PNS yakni mengikuti prosedur penerimaan pegawai negeri sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 29/1996 pasal 13 yang menyebutkan bahwa rekrutmen tenaga kependidikan
diselenggarakan oleh pemerintah menjadi tanggung jawab Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri
Agama atau Menteri lain yang memiliki sekolah kedinasan.
(2) Perekrutan bukan PNS
Perekrutan tenaga kependidikan di sekolah yang bukan PNS lebih sederhana, simple dan mudah
tergantung pada kebijaksanaan sekolah.
Adapun langkah- Langkah-langkah perekrutan menurut Marihot Tua (2002: 105-107): “(1)
Penentuan jabatan yang kosong, (2) Penentuan persyaratan jabatan, (3) Penentuan sumber dan
metode perekrutan”. Dengan demikian pengadaan guru dan pegawai harus dilakukan kepala sekolah
dengan cermat dan pemillihan yang ketat demi mendapatkan personalia yang tepat dan memenuhi
syarat. Jika hal ini dilakukan sembarangan atau dalam kata lain terkesan sembarangan maka bisa jadi
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya di sekolah tidak akan maksimal, yang pada akhirnya
akan berdampak kepada ketercapaian tujuan sekolah.

3) Pembinaan dan Pengembangan Pegawai


Susiyawati, (2013:23) mengungkapkan bahwa “Pembinaan atau pengembangan pegawai adalah
usaha yang dijalankan untuk memajukan dan meningkatkan mutu tenaga pendidik dan kependidikan”.
Adapun cara-cara pembinaan:
a) Melalui usaha sendiri misalnya dengan belajar melalui buku, majalah atau kursus
b) Melalui kelompok profesi misalnya kelompok bidang studi sejenis seperti ISMAPI dan PGRI.
c) Lokakarya, seminar, rapat kerja dan sebagainya.
Sedangkan Hartati Sukirman, (2000:63), jika “ditinjau dari sudut manajemen secara umum cara
yang lebih populer adalah melalui penataran (inservice training) baik dalam rangka penyegaran maupun
dalam rangka peningkatan kemampuan tenaga kependidikan”. Cara-cara lainnya dapat dilakukan
sendiri-sendiri (self propelling growth) atau bersama-sama (collaborative effort), misalnya mengikuti
kegiatan atau kesempatan; ore-service training, on the job training, seminar, workshop, diskusi panel,
rapat-rapat, simposium, konferensi dan sebagainya. Penilaian
Sikula, (1976) bahwa penilaian ketenagaan ialah usaha-usaha yang dilakukan untuk mengetahui
hal-hal yang menyangkut pribadi, status pekerjaan, prestasi kerja maupun perkembangan pegawai.
Penilaian dilakukan secara sistematis terhadap performa pegawai dan potensi mereka untuk
berkembang.
Dalam rangka usaha untuk lebih menjamin objektivitas dalam pembinaan PNS berdasarkan
sistem karir dan sistem prestasi kerja, maka telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1979
tentang penilaian pekerjaan PNS. Hasil penilaian tersebut dituangkan dalam satu daftar yang disebut
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3).
Beberapa aspek yang dinilai dalam DP3 adalah: kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab,
ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa, dan kepemimpinan. Sedangkan bagi pegawai yang bukan PNS
penilaian dilakukan lebih sederhana yaitu: kedisiplinan, kreativitas, pengabdian, prestasi mengajar di
kelas, dan lain-lain. Kegiatan peningkatan kinerja guru dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan yaitu
kegiatan internal sekolah dan kegiatan eksternal sekolah. Kegiatan internal sekolah mencakup (a)
supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan para pengawas dari kantor Dinas Pendidikan setempat
untuk meningkatkan kualitas guru, (b) program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang
direncanakan dan dilaksanakan secara teratur, terus-menerus dan berkelanjutan, (c) kepala sekolah
melakukan kegiatan pengawasan yang berencana, efektif dan berkesinambungan, (d) kepala sekolah
dapat memotivasi dan memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk mengikuti kegiatan seminar
atau lokakarya dan penataran dalam bidang yang terkait dengan keahlian guru yang bersangkutan
dengan cara mendatangkan para ahli yang relevan.
Sedangkan Sehertian, (2000:214) menjelaskan bahwa “kegiatan eksternal sekolah dapat
dilakukan di luar sekolah dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam
mengajar”. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti kegiatan penataran dan pelatihan yang
direncanakan secara baik, dilaksanakan di tingkat kabupaten atau kota, propinsi dan tingkat nasional
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru.

4) Promosi dan Mutasi


a) Promosi
Promosi berarti kenaikan pangkat atau jabatan, menerima kekuasaan dan tanggung jawab yang
lebih besar dari sebelumnya. Promosi dilakukan apabila ada salah satu dari pegawai yang meninggal
dunia, keluar dari jabatannya, atau tidak dapat memangku jabatannya.
Susiyawati, (2013) menjelaskan bahwa, dalam kepegawaian, promosi diartikan sebagai kenaikan
pangkat yang merupakan salah satu jenis usaha peningkatan dan pembinaan. Dengan tegas dijelaskan
bahwa pembinaan pegawai didasarkan pada dua jenis sistem yaitu sistem karier dan sistem prestasi
kerja.
(1) Sistem Karier
Sistem karier dalah suatu system kepegawaian, di mana untuk pengangkatan pertama didasarkan pada
kecakapan yang bersangkutan. Sedangkan dalam pengembangannya lebih lanjut di dasarkan pada masa
kerja, pengalaman, kesetiaan, pengabdian dan syarat obyektif lain. System karier di bagi menjadi dua
yaitu:
(a) Sistem karir terbuka
Untuk menduduki lowongan jabatan dalam suatu unit organisasi terbuka bagi siapa saja asalkan
mempunyai kecakapan dan pengalaman yang diperlukan untuk jabatan lowongan itu.
(b) Sistem karir tertutup
Untuk menduduki suatu lowongan jabatan hanya dapat di duduki oleh pegawai yang telah ada dalam
organisasi, tidak boleh di duduki oleh orang lain dari luar.
(2) Sistem Prestasi Kerja
Sistem prestasi kerja adalah suatu system kepegawaian di mana untuk pengangkatan seseorang dalam
suatu jabatan di dasarkan pada kecakapan dan prestasi yang di capai oleh orang itu. Dalam
pengangkatan jabatan, kenaikan gaji dan pangkat harus lulus ujian masa kerja kurang di perhatikan
dalam sistem prestasi kerja ini.
b) Mutasi
Mutasi merupakan kegiatan manajemen pendidikan yang berhubungan dengan proses
pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan status ketenagakerjaan dari tenaga kependidikan pada situasi
tertentu.
5) Kompensasi
Kompensasi adalah balas jasa yang diberikan organisasi kepada pegawai, yang dapat dinilai
dengan uang dan mempunyai kecendrungan diberikannya secara tetap. Bentuk kompensasi tersebut
dapat berupa gaji, tunjangan, dan fasilitas hidup. Hal-hal ini penting untuk mendongkrak atau
menigkatkan kinerja dan kualitas kerja para guru dan tenaga kependidikan, karena hal ini bisa saja
menjadi peluang bagi setiap orang yang melihat ini sebagai motivasi dari luar untuk melakukan
pekerjaan dan tugasnya lebih baik lagi hari demi hari. Seorang kepala sekolah harus mampu menentukan
kedua hal tersebut di atas dengan bijak, tentu pemberian kompensasi atau rewards ini harus disesuaikan
dengan hasil dan kualitas yang sudah dicapai oleh setiap guru atau pegawai.
6) Pemberhentian
Pemberhentian adalah fungsi operatif terakhir manajemen SDM. Istilah pemberhentian sinonim
dengan separation, pemisahan atau pemutusan hubungan tenaga kerja karyawan dari suatu organisasi
perusahaan. Pemberhentian tenaga kependidikan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Pendidikan (Rangkuti, 2011):
a) Pemberhentian dengan hormat tenaga kependidikan atas dasar:
b) Permohonan sendiri
c) Meninggal dunia
d) Mencapai batas usia pensiun dilakukan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan
e) Pemberhentian tidak dengan hormat tenaga kependidikan atas dasar:
(1) Hukuman jabatan
(2) Akibat pidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum.
BAB III
KESIMPULAN
Hersey dan Blanchard mengemukakan bahwa “manajemen adalah proses bekerja sama antara
individu dan kelompok serta sumber daya yang lainnya dalam mencapai tujuan organisasi adalah
sebagai aktivitas manajemen”. UU RI No.20 Tentang Sisdiknas (2010:3) Menurut UU No. 20 tentang
Sisdiknas, bahwa: tenaga pendidik itu merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi. Oleh karena itu pendidik dalam hal ini adalah orang yang melakukan pembimbingan,
pembelajaran, penilaian dan pelatihan serta pengabdian dalam hal pemberian pengetahuan,
keterampilan, atau pengalaman kepada orang lain. Adapun pengertian tenaga kependidikan menurut UU
RI No.20 Tentang Sisdiknas (2010:3) adalah “anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat
untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.” Dimana tugas tenaga kependidikan dalam UU RI
No.20 Tentang Sisdiknas (2010:21) yaitu “melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan,
pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.”
Karena itulah pendidik dan tenaga kependidikan memiliki peran dan posisi yang sama penting dalam
konteks penyelenggaraan pendidikan (pembelajaran).
Karena itu pula, pada dasarnya baik pendidik maupun tenaga kependidikan memiliki peran dan
tugas yang sama yaitu melaksanakan berbagai aktivitas yang berujung pada terciptanya kemudahan dan
keberhasilan siswa dalam belajar. French dalam (Namiyah dan Jauhar,2015:62), mendefinisikan
manajemen personalia sebagai “penarikan seleksi, pengembangan, penggunaan, dan pemeliharaan
sumber daya manusia oleh organisasi.” Sedangkan menurut Hasbullah (2010) manajemen pendidik dan
tenaga kependidikan adalah: Kegiatan yang mencakup penetapan norma, standar, prosedur,
pengangkatan, pembinaan, penatalaksanaan, kesejahteraan dan pemberhentian tenaga kependidikan
sekolah agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam mencapai tujuan sekolah. Berdasarkan
definisi di atas manajemen pendidik dan tenaga kependidikan di atas memiliki inti yang sama yaitu,
perencanaan, pengorganisasian, pengawasan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa Manajemen pendidik dan tenaga kependidikan adalah aktivitas yang harus
dilakukan mulai dari tenaga pendidik dan kependidikan masuk ke dalam organisasi pendidikan sampai
akhirnya berhenti.

DAFTAR PUSTAKA

KARNATI, Neti. Implementasi manajemen pendidik dan tenaga kependidikan berbasis sekolah dalam
peningkatan mutu sekolah dasar di kota bekasi. Parameter, 2017, 29.2: 185-191.

SUSANTO, Hendri Murti, et al. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Pendidik dan Tenaga
Kependidikan. Publ. Pendidik. Hum, 2015, 6.3: 93-105.

AMON, Lorensius; PING, Theresia; POERNOMO, Soerjo Adi. Tugas Dan Fungsi Manajemen Pendidik
Dan Tenaga Kependidikan. Gaudium Vestrum: Jurnal Kateketik Pastoral, 2021, 1-12.

TRIWIYANTO, Teguh. Pemetaan mutu manajemen berbasis sekolah melalui audit manajemen
pendidikan. Jurnal Manajemen Pendidikan, 2013, 24.2: 125-135.

SANDI, HERLINA. MANAJEMEN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN BERBASIS


SEKOLAH DI SMP NEGERI 6 LABAKKANG LABSCHOOL UNM KECAMATAN LABAKKANG
KABUPATEN PANGKEP. 2022.

LUBIS, Wildansyah. Manajemen Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan. Jurnal Educandum, 2017, 10.1: 1-12.

NURLINDAH, Nurlindah; MUSTAMI, Muh Khalifah; MUSDALIFAH, Musdalifah. Manajemen


Pendidik dan Tenaga Kependidikan dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Idaarah, 2020, 4.1: 40-51.

Anda mungkin juga menyukai