Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis tidak membawa kemajuan yang


berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Dalam kasus-kasus
tertentu, manajemen sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreativitas
pada satuan pendidikan dan berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi
terjadinya stagnasi dibidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru dibidang
pendidikan.

Seiring bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan


reorientasi paradigma pendidikan menuju kearah desentralisasi pengelolaan pendidikan.
Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikelurkanya kebijakan mengenai
otonomi pendidikan melalui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS).
MBS bukan sekedar mengubah pendekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke
desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS maka akan muncul kemandirian sekolah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa latar belakang manajemen berbasis sekolah?
2. Bagaimanakah konsep manajemen berbasis sekolah?
3. Bagaimanakah Karakteristik MBS?
4. Apa sajakah urusan-urusan yang menjadi kewenangan tanggung jawab sekolah
BAB II

PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


Dalam era otonomi daerah, pendidikan perlu dikelola dengan memperhatikan
kepentingan sekolah itu sendiri untuk berkembang secara optimal dan mandiri. Oleh
karena itu, MBS merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan oleh pemerintah daerah.

Definisi komprehensif mengenai MBS yang dikemukakan oleh Malen


sebagaimana dikutip Ibtisam Abu Duhou adalah suatu perubahan formal struktur
penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasikan sekolah
itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi
kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dengannya pendidikan
dapat didorong dan ditopang.[1]

Selanjutnya, Candoli mendefinisikan MBS, sebagai suatu cara untuk memaksa


sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apa saja yang terjadi pada anak
menurut jurisdiksinya dan mengikuti sekolahnya. Konsep ini menegaskan bahwa ketika
sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan total program kependidikan yang
bertujuan melayani kebutuhan anak dalam mengikuti sekolah, personil sekolah akan
mengembangkan program yang lebih meyakinkan karena mereka mengetahui
kebutuhan belajar siswa.

Definisi tentang MBS menegaskan bahwa konsep tersebut mengacu pada


manajemen sumber daya di tingkat sekolah dan bukan di suatu sistem atau tingkat yang
sentralistik. Melalui MBS, sekolah diberi pengawasan lebih besar atas arah yang akan
dicapai oleh organisasi sekolah tersebut. Pengawasan atas anggaran dianggap
merupakan inti dari MBS.

Terkait erat dengan kebijaksanaan anggaran adalah pengawasan atas penetapan


peran, penggajian, dan pengembangan staf. Pada ekstrim lainnya, beberapa sekolah
diberi pengawasan atas kurikulum sebagai bagian dari MBS. Di sini suatu kurikulum
berbasis sekolah berarti bahwa masing-masing sekolah memutuskan bahan-bahan ajar
apa akan digunakan, dan juga model pelaksanaan spesifik. Para staf menentukan
beberapa kebutuhan pengembangan profesional mereka sendiri, serta beberapa
struktur di mana proses pendidikan akan dikembangkan.[3]

MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian otonomi


daerah di bidang pendidikan, mengingat prinsip dan kecenderungannya yang
mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah pada pihak-pihak yang dianggap
paling mengetahui kebutuhan riel sekolah.

Oleh karena itu, jika kita semua sedang gencar berbicara tentang reformasi
pendidikan, maka dalam konteks MBS, tema sentral yang diangkat adalah isu
desentralisasi. Desentralisasi dalam pengertian sebagai pengalihan tanggung jawab
pemerintahan pusat dalam hal perencanaan, manajemen, penggalian dana, dan alokasi
sumberdaya ke pemerintah daerah.

Terkait dengan desentralisasi, MBS dikembangkan untuk membangun sekolah


yang efektif. Hanya saja konsep desentralisasi model MBS mengacu pada sekolah swa-
manajemen (self managing school) bukan pada penyelenggara sekolah mandiri (self
governing school).[4]

Respon yang muncul atas MBS bermacam-macam. Depdiknas merumuskan


pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih besar
kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan
secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua, dan
masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional.

Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan yang lebih
besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.[5] Maksud yang
sama dikemukakan oleh Miarso yang menyatakan bahwa arti pengelolaan berbasis
sekolah ini adalah pelimpahan wewenang pada lapis sekolah untuk mengambil
keputusan mengenai alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber berdasarkan aturan
akuntabilitas yang berkaitan dengan sumber tersebut.[6]
Asumsi kebijakan manajemen berbasis sekolah adalah bahwa dengan
pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang meningkat ke sekolah, serta proporsi
dana lebih besar dalam mendukung pencapaian tujuan kebijakan sesuai dengan
serangkaian garis pedoman kebijakan yang lebih eksplisit dan meletakkan strategi
manajemen prestasi yang terartikulasi di atas perencanaan tersebut, maka hal tersebut
akan memudahkan dan mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi pendidikan
publik.[7]

Hal ini berarti bahwa tugas manajemen sekolah ditentukan sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, anggota pengelola
sekolah (dewan direktur, pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua, siswa dan
seterusnya) memiliki otonomi dan tanggung jawab lebih besar dalam mengelola
kegiatan pendidikan di sekolah.

Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesiensi, mutu dan pemeratan


pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber
daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu
diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan
propesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, serta hal lain yang
dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif.

Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tak lepas dari
kinerja pendididkan di suatu Negara berdasarkan system pendidikan yang ada
sebelumnya. Diantara tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai inovasi dilakukan melalui
pengenalan kurikulum baru dan pendekatan metode pengajaran baru dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya tidak memuaskan. Demikian juga di
banyak Negara lain seperti Kanada, Amerika, Australia, Inggris, Perancis, Selandia Baru,
dan Indonesia.

Sebelum berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas


pendidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti perbaikan kurikulum, profesionalisme
guru, metode pengajaran, dan system evaluasi, dan kesemuanya itu kurang memberikan
hasil yang memuaskan. Bersamaan dengan berbagai upaya itu, pada tehun 1980-an
terjadi perkembangan yang menggembirakan di bidang manajemen modern, yaitu atas
keberhasilan penerapannya di bidang industry dan organisasi komersial. Keberhasilan
aplikasi manajemen modern itulah yang kemudian diadopsi untuk diterapkan di dunia
pendidikan. Sejak saat itulah masyarakat mulai sadar bahwa untuk meningkatkan
kualitas pendidikan perlu melompat atau keluar dari lingkup pengajaran di dalam kelas
secara sempit ke lingkup organisasi sekolah. Oleh karena itu, diperlukan reformasi
system secara structural dan gaya manajemen sekolah.

Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti


gerakan sekolah efektif yang mencari dan mempromosikan karakteristik sekolah-sekolah
efektif. Ada gerakan sekolah mandiri, yang menekankan otonomi penggunaan sumber
dana sekolah. Ada yang memfokuskan pada desentralisasi otoritas dari kantor
pendidikan pusat kepada aktivitas-aktivitas yang dipusatkan disekolah seperti
pengembangan kurikulum berbasis sekolah, bimbingan siswa berbasis sekolah, dan
sebagainya. Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda tersebut
kemudian melahirkan model-model MBS.

Di Indonesia, latar belakang munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan Negara-
negara maju yang terlebih dahulu menerapkannya. Perbedaan yang mencolok ialah
lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Bayangkan saja
di banyak Negara gerakan reformasi pendidikan model MBS ini sudah terjadi pada tahun
1970-an dan disusul banyak Negara pada tahun 1980-an, namun di Indonesia baru
dimulai 30 tahun kemudian. Hal ini tidak terlepas dari system otoriter selama orde baru.
Semua diatur dari pusat, yaitu di Jakarta baik dalam penentuan kurikulum sekolah,
anggaran pendidikan, pengangkatan guru, metode pembelajaran, buku pelajaran, alat
peraga hingga jam sekolah maupun jenis upacara yang harus dilaksanakan di sekolah.

Selama bertahun-tahun upaya perbaikan pendidikan selalu dilaksanakan dengan


cara tambal sulam, karena belum ada upaya yang maksimal dari birokrat pendidikan di
atas sana. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) muncul karena beberapa alasan. Pertama, terjadinya ketimpangan kekuasaan dan
kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan yang mengesampingkan bawahan.
Kedua, kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun di
banyak Negara. Ketiga, adanya kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta
pendidikan untuk merestrukturisasi pengelolaan pendidikan.

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan


kualitas pendidikan yang mana selama ini masih dirasa masih kurang, diantaranya
dengan membuat program progaram antara lain “aku anak sekolah” dan dana bantuan
operasional. Program tersebut diharapkan mampu menjunjung kualitas maupun
kuantitas pendidikan di Indonesia, akantetapi karena pengelolaannya masih terpusat
dan kaku, program tersebut tidak dapat memberikan dampak positif. Dugaannya adalah
masalah manajemen yang belum sesuai. Hingga munculah suatu pemikiran atau gagasan
baru dalam pengelolaan pendidikan yang memberi kebijakan kepada masing masing
sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan dari pemerintah.
Pemikiran inilah yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).

BPPN dan Bank Dunia (1999) dalam Mulyasa, memberi pengertian bahwa MBS
merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang
pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat,
dan dalam kerangka kebijakan nasional. Sedangkan Depdikbud dalam , mengemukakan
MBS adalah suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih
baik dan lebih memadai bagi para peserta didik. Mulyasa (2002) mengemukakan
Manajemen Berbasis Sekolah adalah pradigma baru pendidikan, yang memberikan
otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan
pendidikan nasional.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis


Sekolah (MBS) adalah kebijakan pemerintah yang diberikan masing-masing sekolah
untuk mengelola dan mengoptimalkan pendidikan di daerahnya sesuai dengan
karakteristik di daerahnya masing-masing dan keikutsertaan masyarakat dalam
mewujudkan tujuan pendidikan.
B. Menejemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian
sumber daya

C. yang dilakukan secara mendiri oleh sekolah dengan semua pemangku


kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah
atau untuk mencapai tujuan pendidikan.

C. KARAKTERISTIK MBS

Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka
MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap
kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. Ciri-ciri (karakteristik) MBS bisa
dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja
organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya manusia (SDM).

D. URUSAN-URUSAN YANG MENJADI KEWENANGAN TANGGUNG JAWAB SEKOLAH

Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi pendidikan dari manajemen berbasis


pusat menjadi manajemen berbasis sekolah telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih
spesifik, pertanyaannya adalah: “Urusan-urusan apa sajakah yang perlu menjadi
kewenangan dan tanggungjawab sekolah”? Pada dasarnya Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urutan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
kabupaten/Kota harus digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dengan demikian, desentralisasi urusan-urusan pendidikan harus dalam koridor
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu dicatat bahwa desentralisasi bukan
berarti semua urusan di limpahkan ke sekolah. Artinya, tidak semua urusan di
desentralisasikan sepenuhnya ke sekolah, sebagian urusan masih merupakan
kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah
kabupaten/kota, dan sebagian urusan lainnya diserahkan ke sekolah. Berikut adalah
urusan-urusan pendidikan yang sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab
sekolah, yaitu:

1.proses belajar mengajar,

2. perencanaan dan evaluasi program sekolah,

3. pengelolaan kurikulum,

4.pengelolaan ketenagaan,

5. pengelolaan peralatan dan perlengkapan,

6.pengelolaan keuangan,

7. pelayanan siswa,

8.hubungan sekolah-masyarakat, dan

pengelolaan kultur sekolah.

a. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar

Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi


kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran
yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa,
karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara
umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang dipilih harus pro-
perubahan yaitu yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan daya kreasi, inovasi
dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru.
Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, pembelajaran kuantum, pembelajaran
kooperatif, adalah contoh-contoh yang dimaksud dengan pembelajaran yang pro-
perubahan.
b. Perencanaan dan Evaluasi

Sekolah diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah


(RPS) atau school-based plan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud,
misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi
sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan pemerataan,
mutu, relevansi dan efisiensi sekolah. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan tersebut,
kemudian sekolah membuat rencana peningkatan pemerataan, mutu, relevansi dan
efisiensi sekolah.

Untuk itu, sekolah harus melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan
secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses
pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan.
Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan
agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.

c. Pengelolaan Kurikulum

Saat ini telah terjadi desentralisasi sebagian pengelolaan kurikulum dari


pemerintah pusat ke sekolah melalui Permendiknas 22/2006, 23/2006, dan 24/2006.
Pengelolaan kurikulum yang dimaksud dinamakan kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP). Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar dan sekolah diharapkan
mengoperasionalkan standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Padahal kondisi
sekolah pada umumnya sangat beragam. Dalam kondisi seperti ini, sekolah dipersilakan
memilih cara-cara yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing. Sekolah dapat
mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memperkuat, memperluas,
mendiversifikasi) kurikulum, namun tidak boleh mengurangi standar isi yang telah
tertuang dalam Permendiknas 22/2006. Selanjutnya sekolah berhak mengembangkan
KTSP ke dalam silabus, materi pokok pembelajaran, proses pembelajaran, indikator
kunci kinerja, sistem penilaian, dan rencana pelaksanaan pembelajaran.

Sekolah dibolehkan memperkaya mata pelajaran yang diajarkan, artinya, apa


yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang dapat
diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan mendiversifikasi kurikulum, artinya, apa
yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan
karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk
mengembangkan muatan local dan pengembangan diri.

d. Pengelolaan Ketenagaan (Pendidik dan Tenaga Kependidikan)

Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan,


rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan
kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran,
dan sebagainya.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut
pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih
ditangani oleh birokrasi di atasnya.

e. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan Perlengkapan)

Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari


pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga pengembangan. Hal ini didasari oleh
kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik
kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat
kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.

f. Pengeloaan Keuanagan

Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah


sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa
sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi
pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah
juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkan
penghasilan” (income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-
mata tergantung pada pemerintah.
g. Pelayanan Siswa

Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/


pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk
memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu
memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan
intensitas dan ekstensitasnya.

h. Hubungan Sekolah-Masyarakat

Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan,


kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan
finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah
didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan
intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.

i. Pengelolaan Kultur Sekolah

Kultur sekolah (pisik dan nir-pisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat


bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang aktif, kreatif, inovatif, efektif, dan
menyenangkan. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan
harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-
kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh
kultur sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Kultur sekolah sudah
merupakan kewenangan dan tanggungjawab sekolah sehingga yang diperlukan adalah
upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam


beberapa hal sebagai berikut:

1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah


yang otonom dan kepala sekolah yang memiliki otonomi, khususnya
otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena
itu, perlu langkah-langkah yang bersifat implementatif dan aplikatif
untuk merealisir manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga
pendidikan persekolahan.
2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah
sangat ditentukan oleh political will pemerintah dan kepemimpinan
di persekolahan.
3. Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja
kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan
prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS
memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi
murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi
bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan
seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai
mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.
DAFTAR PUSTAKA

http://langitjinggadipelupukmatarumahmakalah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-
manajemen-berbasis-sekolah.html

Anda mungkin juga menyukai