1. NELSON MASY
2. MERI S. PADAMANI
3. MARKUS R.M.FAMAI
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber dayayang berasaskan pada sekolah itu
sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. MBS juga diartikan sebagai suau proses
kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas,
partisipasi, untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaransecara bermutu.!
Ibrahim Banadal, mendefinisikan MBS sebagai &'roses manjemen sekolah yang diarahkan
pada peningkatan mutu pendidikan, secara otonomi direncanakan, diorganisasikan,
dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan semua stakeholder sekolah.Selanjutnya menurut
Malen,dalam Ali Idrus &manejemn berbasis sekolah secara konseptual dapat
digambarkansebagai suatu perubahan Normal struktural penyelenggaraan, sebagai suatu
bentuk desentralisasi yangmengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama
peningkatan serta bertumpu pada redistribusi ketenangan
MBS pada hakikatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolahuntuk secara aktif serta
mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan
sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.
School-Based Management pada de+asa ini menjadi perhatian para pengelolaan pendidikan,
mulai dari tingkat pusat, provinsi,kabupaten1kota, sampai dengan tingkat sekolah.
Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakinmengemuka setelah dikeluarkannya kebijakan
desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti disyaratkanoleh 22 3omor 4! 5ahun !""6. 'roduk
hukum tersebut mengisyaratkan terjadinya pergeseranke+enangan dalam pengelolaan
pendidikan dan melahirkan +acana akuntabilitas pendidikan. 0agasanMBS perlu dipahami
dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder)
Secara umum manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen
yangmemberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusanparsitipati yang melibatkan secara langsung semua #arga sekolah (guru, sis#a,
kepala sekolah,karya#an, orangtua sis#a, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkankebijakan pendidikan nasional.
Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memilikike+enangan yang lebih besar
dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya,
sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program yang tentu saja, lebih sesuai dengan
kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga, dengan pengambilan keputusan
partisipatsi yaitu pelibatan +arga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan,
maka rasamemiliki Warga sekolah dapat meningkat.
Menurut Drektorat jenderal pendidikian Dasar dan Menengah (dalam Ibrahim Bafadal)
MBS bertujuan untuk & Memandirikan dan memberdayakan sekolah melalui pemberian
wewenang,keluwesan dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah jadi tujuan
penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu
menyangkut kualitas pembelajaran,kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik
guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dankualitas pelayanan pendidikan secara umum.
Bagi sumber daya manusia, peningkatan kualitas bukanhanya meningkatnya pengetahuan dan
ketrampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraanya pula.kentungan-keuntungan
penerapan MBS adalah
Secara Forrmal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orangorang yang
bekerja disekola.
.Meningkatkan moral guru
Kputusan yang diambil sekolah mengalami akuntabilitas.
.Menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan
di sekolah.
Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Keputusan yang diambil pada
tingkat sekolahtidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang
pemimpin
.Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap komunitas
sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.
2. Karakteristik MBS
1. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para stakholoder
sekolah
2. Domain peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek
peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepega+aian, sarana dan
prasarana, penerimaan sis+a baru, dankurikulum.
3. Walaupun seluruh domain manajemen peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan kesekolahsekolah, namun diperlukan adanya sejumlah regulasi
yang mengatur ungsi kontrol pusatterhadap keseluruhan pelaksanaan ke+enangan
dan tanggung jawab sekolah.
Pendidikan dirancang dan dikembangkan sebagai suatu sistem. Sebagai sistem pendidikan
terdiridari sejumlah komponen yang saling tergantung, teroganisasi dan bergerak bersama ke
arah tujuantujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kmponen - komponen tersebut terdiri
dari komponenmasukan (input ), komponen proses (through-put ), dan komponen keluaran
(output ),
1. Menyusun kelompok guru sebagai penerima awal atas rencana program pemberdayaan
3. Memilih dan melatih guru dan tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung dalam
implementasi manajemen berbasis sekolah
4. Membentuk dewan sekolah yang terdiri dari unsur sekolah, unsur masyarakat di bawah
pengawasan pemerintah daerah
5. Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan para anggota dewan sekolah
Pendidikan Madrasah
Kata Madrasah berasal dari bahasa Arab dari akar kata “DarasaYadrusu-Darsan-
Madrasatan” yang berarti belajar. Dalam ilmu tata bahasa Arab kata madrasah merupakan
dharaf makan yang berarti keterangan tempat, dalam hal ini madrasah berarti tempat belajar.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata “madrasah” memiliki arti “sekolah”
meskipun pada mulanya kata “sekolah” bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari
bahasa asing yaitu school dan scola. Secara teknis formal dalam proses belajar mengajar
antara madrasah dan sekolah tidak memiliki perbedaan, akan tetapi di Indonesia madrasah
tidak dengan serta merta dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih
spesifik lagi yakni “sekolah agama” tempat dimana anak-anak didik memperoleh
pembelajaran hal ihwal atau seluk beluk agama dan keagamaan Islam (Hidayat dan Machali,
2012: 127).
Madrasah saat ini sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia sebagai lembaga
pendidikan Islam. Munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan di Indonesia
memberikan banyak coretan sejarah mulai dari zaman kolonial belanda hingga saat ini.
Berikut penulis paparkan secara singkat perkembangan sejarah Madrasah di Indoesia.
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi
yang dilakukan masyarakat Muslim. Faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan
madrasah adalah karena adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam
tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Dan adanya
kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Ahmad Zaini Aziz 88 Volume
VIII, No.1, 2015 Jurnal eL-Tarbawi Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di
masyarakat. Untuk mengimbangi perkembangan sekulerisme, para reformis kemudian
memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.
Pada era Orde Lama, pengaturan dua sistem pendidikan ini kemudian diupayakan untuk
dihapus. Paling tidak ada tiga usaha yang dilakukan. Pertama, memasukkan pendidikan Islam
ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah negeri maupun swasta melalui pelajaran
agama. Kedua, memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di
madrasah. Ketiga, mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk memproduksi
guru agama bagi sekolah umum maupun madrasah.
Awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem pendidikan,
yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya produk
dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar politik
utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada perkembangannya, Pemerintah
Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu ideologi Pancasila.
Awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak
memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola Menteri Agama. Tanggapan yang
muncul di kalangan muslim sangat beragam dan cenderung keras. Kebijakan itu dinilai
sebagai usaha sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di Indonesia.
Merespon reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan bersama antara
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Agama (Menag), dan Menteri
Dalam Negeri (Mendagri). Isinya, mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah
Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan
pemerintah.
Pada masa reformasi, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam semakin
diakui oleh pemerintah dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem
Manajemen Berbasis Sekolah 89 Volume VIII, No.1, 2015 Jurnal eL-Tarbawi pendidikan
Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini
memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan
kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional (Wahid, 2008). Saat ini Madrasah
sudah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasioanal di bawah pembinaan
Departemen Agama. Hal ini beriringan dengan disahkannya UndangUndang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 sebagai ganti Undang-Undang Nomor 2 tahun
1989.
Setiap lembaga pendidikan pastinya memiliki sasaran akhir yang diharapkan. Sasasran
akhir tersebut adalah terjadinya peningkatan mutu. Mutu merupakan derajat keunggulan
sebuah produk atau pelayanan. Sebuah produk yang bersaing dengan produk lainnya atau
suatu pelayanan jasa bersaing dengan pelayanan jasa lainnya memiliki tingkat keunggulan
relatif. Produk atau pelayanan jasa yang lebih unggul adalah produk atau pelayanan jasa yang
bermutu. Mutu merupakan kesempatan ajang berkompetisi sangat berharga, karena itu
munculnya kompetitor merupakan sebuah wahana untuk meningkatkan mutu produk layanan
jasa. Dengan demikian, mewujudkan pendidikan dengan mengikuti standar mutu adalah
penting, sebagai bagian dari produk layanan jasa.
Dari penguraian tentang peningkatan kualitas pendidikan di atas kalau dicermati, nampak
jelas pentingnya peranan madrasah sebagai pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan
orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan. Aktifitas dan dinamika
pendidikan termasuk di dalamnya soal kualitas pendidikan bukan pertama-tama ditentukan
oleh pihak dari luar madrasah, melainkan oleh madrasah yang bersangkutan dalam
interkasinya dengan para pelanggan. Madrasah sebagai unit pelaksana pendidikan formal
yang terdepan dengan berbagai keragaman dan kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan
lainnya, maka madrasah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk
mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini akan dapat dilaksanakan jika
madrasah diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan
kondisi lingkungan dan kebutuhan pelanggan (Atmodiwirio, 2000: 5-6).
Menurut Veithzal Rivai, Manajemen Berbasis Sekolah dipandangan sebagai alternatif dari
pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat
dan daerah. Manajemen Berbasis Sekolah adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan
dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan daerah
ke tingkat sekolah. Maka pada dasarnya, sistem MBS merupakan sistem manajemen di mana
sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan
secara mandiri dan MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi sekolah,
guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Manajemen Berbasis Sekolah lahir di Amerika Serikat ketika para guru berjuang untuk
memperbaiki nasibnya dengan dibentuknya Asosiasi Pendidikan Nasional (National
Education Association, NEA) pada tahun 1857 M.
Pada tahun 1887 guru-guru di New York membentuk sebuah asosiasi kepentingan bersama
dan asosiasi yang sama didirikan di Chicago yang dipimpin oleh Margarette Harley.
Tujuannya memberi pilihan bagi guru dalam menentukan kebijakan sekolah (school policy)
untuk memperoleh wakil di pentas pendidikan di New York, membantu masalah-masalah
sekolah, membersihkan politik Amerika Serikat dari keputusan menyimpang, dan
meningkatkan kebebasan diskusi publik dari masalah-masalah pendidikan.
Ada dua hasil kajian penting tentang MBS di Indonesia, pertama adalah School Based
Management (SBM): Indonesia Experiences oleh Prof. Fasli Jalal, Ph.D dari Universitas
Andalas dan hasil penelitian dari Georges Vernez, Rita Karam, Jeffery H. Marshall dari
RAND Education yang disponsori Bank Dunia.
Pertama, Laporan RAND Education tentang Implementasi MBS di Indonesia sudah saya
ringkas dalam bentuk poin-poin di bawah ini.
Studi ini memberikan laporan status kuantitatif dan kualitatif tentang penerapan manajemen
berbasis sekolah (MBS) di Indonesia, mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan
keberhasilan praktik MBS, dan menilai pengaruh MBS terhadap prestasi siswa delapan tahun
setelah dimulainya. Temuan penulis didasarkan pada survei tatap muka kepala sekolah, guru,
anggota komite sekolah, dan orang tua; survei staf distrik; dan studi kasus.
MBS membutuhkan perubahan besar dalam cara berpikir orang tentang sekolah dan
peningkatan yang signifikan dalam kapasitas kepala sekolah, guru, dan masyarakat untuk
memberikan kepemimpinan, mengembangkan alternatif programatik untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan lokal, dan melibatkan orang tua dan masyarakat dalam tata kelola
sekolah. . Implementasi MBS sejauh ini tidak terlalu berhasil.
Meskipun sebagian besar kepala sekolah melaporkan bahwa mereka memiliki otonomi untuk
membuat keputusan sekolah, mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak
memanfaatkannya dengan membuat perubahan program dan pembelajaran yang signifikan.
Kabupaten terus sangat mempengaruhi kebijakan dan praktik sekolah. Keterlibatan komite
sekolah dan orang tua dalam urusan sekolah sangat minim. Keduanya mengungkapkan sikap
tidak mencampuri urusan sekolah dan menghormati staf sekolah. Semua pemangku
kepentingan tingkat sekolah mengatakan bahwa mereka tidak siap untuk memberikan
kepemimpinan yang efektif.
Mempertimbangkan sumber daya yang terbatas dan keefektifan yang tidak pasti,
direkomendasikan kepda pembuat kebijakan melakukan hal-hal berikut:
1. Secara hati-hati menetapkan prioritas rekomendasi mana yang akan diterapkan dan
dalam urutan apa dan
2. Menerapkan langkah-langkah yang dipilih secara eksperimental dan bertahap, yang
melibatkan sejumlah kabupaten dan sekolah di waktu untuk belajar tentang tantangan
implementasi dan masalah yang terlibat dan untuk memastikan efektivitas.