Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KELOMPOK 1

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

NAMA- NAMA KELOMPOK

1. NELSON MASY
2. MERI S. PADAMANI
3. MARKUS R.M.FAMAI
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari School Based


Management,Istilah ini muncul pertama kali di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai
mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat
setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada
pada tingkat sekolah dengan melibatkan masyarakatdalam rangka kebijakan pendidikan
nasional.Secara bahasa, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu
manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya
secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar
atau asas. Sekolah adalahlembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima
dan memberikan pelajaran.Berdasarkan makna leksikal tersebut maka

MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber dayayang berasaskan pada sekolah itu
sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. MBS juga diartikan sebagai suau proses
kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas,
partisipasi, untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaransecara bermutu.!

Ibrahim Banadal, mendefinisikan MBS sebagai &'roses manjemen sekolah yang diarahkan
pada peningkatan mutu pendidikan, secara otonomi direncanakan, diorganisasikan,
dilaksanakan, dan dievaluasi melibatkan semua stakeholder sekolah.Selanjutnya menurut
Malen,dalam Ali Idrus &manejemn berbasis sekolah secara konseptual dapat
digambarkansebagai suatu perubahan Normal struktural penyelenggaraan, sebagai suatu
bentuk desentralisasi yangmengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama
peningkatan serta bertumpu pada redistribusi ketenangan

MBS pada hakikatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolahuntuk secara aktif serta
mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan
sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.

Gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dalam Bahasa Inggris

School-Based Management pada de+asa ini menjadi perhatian para pengelolaan pendidikan,
mulai dari tingkat pusat, provinsi,kabupaten1kota, sampai dengan tingkat sekolah.
Sebagaimana dimaklumi, gagasan ini semakinmengemuka setelah dikeluarkannya kebijakan
desentralisasi pengelolaan pendidikan seperti disyaratkanoleh 22 3omor 4! 5ahun !""6. 'roduk
hukum tersebut mengisyaratkan terjadinya pergeseranke+enangan dalam pengelolaan
pendidikan dan melahirkan +acana akuntabilitas pendidikan. 0agasanMBS perlu dipahami
dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder)

dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya Sekolah, karena implementasi MBS tidak


sekedar membasa perubahan dalam ketenangan akademik Sekolah dan tatanan pengelolaan
Sekolah, akan tetapimemba+a perubahan pula dalam pola kebijakan dan orientasi partisipasi
orang tua dan masyarakatdalam pengelolaan Sekolah.MBS merupakan sistem pengelolaan
persekolahan yang memberikan ke+enangan dan kekuasaankepada institusi Sekolah untuk
mengatur kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan Sekolah yang
bersangkutan dalam MBS, Sekolah merupakan institusi yang memiliki full authority and
responsibility untuk secara mandiri menetapkan program-program pendidikan
(kurikulum)dan implikasinya terhadap berbagai kebijakan Sekolah sesuai dengan "isi, misi,
dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai Sekolah.

Dalam konteks manajemen pendidikan menurut MBS, berbeda dari manajemen


pendidikan sebelumnya yang semua serba diatur dari pemerintah pusat. Sebaliknya,
manajemen pendidikan model MBS ini berpusat pada sumber daya yang ada di sekolah itu
sendiri. Dengan demikian,akan terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah, yaitu yang
semula diatur oleh birokrasidi luar sekolah menuju pengelolaan yang berbasis pada potensi
internal sekolah itu sendiri.Dengan demikian pada hakekatnya MBS merupakan desentralisasi
ke+enangan yang memandangSekolah secara individual. Sebagai bentuk alternati Sekolah
dalam program desentralisasi bidang pendidikan, maka otonomi diberikan agar Sekolah dapat
leluasa mengelola sumberdaya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan
di samping agar Sekolah lebih tanggap terhadapkebutuhan setempat.

Secara umum manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model manajemen
yangmemberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusanparsitipati yang melibatkan secara langsung semua #arga sekolah (guru, sis#a,
kepala sekolah,karya#an, orangtua sis#a, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkankebijakan pendidikan nasional.

Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memilikike+enangan yang lebih besar
dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya,
sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program yang tentu saja, lebih sesuai dengan
kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga, dengan pengambilan keputusan
partisipatsi yaitu pelibatan +arga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan,
maka rasamemiliki Warga sekolah dapat meningkat.

P'eningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkanpeningkatan rasa tanggungja#ab akan


meningkatkan dedikasi #arga sekolah terhadapsekolahnya. Inilah esensi pengambilan
keputusan partisipati Baik peningkatan otonomi sekolah maupun pengambilan keputusan
partisipatiI tersebut kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional yang berlaku.

A. Indikator Manajemen Berbasis erbasis Sekolah (MBS)

Adapun indikator Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah sebagai berikut

1. Partisipasi masyarakat di+adahi melalui komite Sekolah.!.


2. Transfaransi pengelolaan sekolah (program dan anggaran).
3. Program sekolah realistik need assessment.
4. Pemahaman stakeholder mengenai Visi dan Misi sekolah.
5. Lingkungan fisik sekolah nyaman, terawat
6. Iklim sekolah kondusi,Berorientasi mutu, penciptaan budaya mutu
7. Meningkatnya kinerja profesional kepala sekolah dan guru
8. Kepemimpinan sekolah berkembang demokratis policy and decision making,
planning and programming.
9. Upaya memenuhi asilitas pendukung KBM meningkat.
10. Kesejahteraan guru meningkat
11. Pelayanan berorientasi pada siswa/murid.
12. Budaya konformitas dalam pengelolaan sekolah berkurang.

B.Alasan dan tujuan Penerapan MBS

MBS di Indonesia yang menggunakan model Manajemen 'meningkatan Mutu Berbasis


Sekolah(M'MBS) muncul karena beberapa alasan sebagaimana diungkapkan oleh Nurkolis
antara lain pertama, sekolah lebih mengetahui kekeuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
bagi dirinya sehinggasekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia
untuk memajukan sekolahnya.kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga,
keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan
transparansi dan demokrasi yang sehat.Menurut bank dunia, terdapat beberapa alasan
diterapkannya MBS antara lain alasan ekonomis, politis, professional, efisiensi administrasi,
finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektifitas sekolah.

Menurut Drektorat jenderal pendidikian Dasar dan Menengah (dalam Ibrahim Bafadal)
MBS bertujuan untuk & Memandirikan dan memberdayakan sekolah melalui pemberian
wewenang,keluwesan dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah jadi tujuan
penerapan MBS adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu
menyangkut kualitas pembelajaran,kualitas kurikulum, kualitas sumber daya manusia baik
guru maupun tenaga kependidikan lainnya, dankualitas pelayanan pendidikan secara umum.
Bagi sumber daya manusia, peningkatan kualitas bukanhanya meningkatnya pengetahuan dan
ketrampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraanya pula.kentungan-keuntungan
penerapan MBS adalah

 Secara Forrmal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orangorang yang
bekerja disekola.
 .Meningkatkan moral guru
 Kputusan yang diambil sekolah mengalami akuntabilitas.
 .Menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan
di sekolah.
 Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah. Keputusan yang diambil pada
tingkat sekolahtidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang
pemimpin
 .Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap komunitas
sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah.

2. Karakteristik MBS
1. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para stakholoder
sekolah
2. Domain peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek
peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepega+aian, sarana dan
prasarana, penerimaan sis+a baru, dankurikulum.
3. Walaupun seluruh domain manajemen peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan kesekolahsekolah, namun diperlukan adanya sejumlah regulasi
yang mengatur ungsi kontrol pusatterhadap keseluruhan pelaksanaan ke+enangan
dan tanggung jawab sekolah.

Pendidikan dirancang dan dikembangkan sebagai suatu sistem. Sebagai sistem pendidikan
terdiridari sejumlah komponen yang saling tergantung, teroganisasi dan bergerak bersama ke
arah tujuantujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kmponen - komponen tersebut terdiri
dari komponenmasukan (input ), komponen proses (through-put ), dan komponen keluaran
(output ),

MBS SEBAGAI PROSES PEMBERDAYAAN

Manajemen Berbasis Sekolah sebagai Proses Pemberdayaan Dalam dunia pendidikan,


pemberdyaan merupakan cara yang sangat praktis dan produktif untuk mendapatkan hasil
yang terbaik. Proses untuk mendapat yang terbaik dan produktif tersebut adalah dengan
membagi tanggung jawab secara proporsional kepada para guru. Satu prinsip terpenting
dalam pemberdayaan ini adalah melibatkan guru dalam proses pengambilan keputusan dan
tanggung jawab. Dalam MBS sendiri, pemberdayaan dimaksudkan untuk memperbaiki
kinerja sekolah agar dapat mencapai tujuan secara optimal, efektif, dan efesien. Pada sisi lain,
untuk memberdayakan sekolah harus pula ditempuh upaya-upaya memberdayakan peserta
didik dan masyarakat setempat. MBS sebagai proses pemberdayaan merupakan cara untuk
membangkitkan kemauan dan potensi peserta didik agar memiliki kemampuan mengontrol
diri dan lingkungannya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan.
Sedikitnya terdapat delapan langkah pemberdayaaan dalam kaitannya dengan MBS. Delapan
langkah tersebut tergambar dalam flow chart sebagai berikut:

1. Menyusun kelompok guru sebagai penerima awal atas rencana program pemberdayaan

2. Mengidentifikasi dan membangun kelompok peserta didik di sekolah Manajemen Berbasis


Sekolah 87 Volume VIII, No.1, 2015 Jurnal eL-Tarbawi

3. Memilih dan melatih guru dan tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung dalam
implementasi manajemen berbasis sekolah

4. Membentuk dewan sekolah yang terdiri dari unsur sekolah, unsur masyarakat di bawah
pengawasan pemerintah daerah
5. Menyelenggarakan pertemuan-pertemuan para anggota dewan sekolah

6. Mendukung aktivitas kelompok yang tengah berjalan

7. Mengembangkan hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat

8. Menyelenggarakan lokakarya untuk evaluasi

Pendidikan Madrasah

Kata Madrasah berasal dari bahasa Arab dari akar kata “DarasaYadrusu-Darsan-
Madrasatan” yang berarti belajar. Dalam ilmu tata bahasa Arab kata madrasah merupakan
dharaf makan yang berarti keterangan tempat, dalam hal ini madrasah berarti tempat belajar.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata “madrasah” memiliki arti “sekolah”
meskipun pada mulanya kata “sekolah” bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari
bahasa asing yaitu school dan scola. Secara teknis formal dalam proses belajar mengajar
antara madrasah dan sekolah tidak memiliki perbedaan, akan tetapi di Indonesia madrasah
tidak dengan serta merta dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih
spesifik lagi yakni “sekolah agama” tempat dimana anak-anak didik memperoleh
pembelajaran hal ihwal atau seluk beluk agama dan keagamaan Islam (Hidayat dan Machali,
2012: 127).

Madrasah saat ini sudah menjadi bagian dari budaya Indonesia sebagai lembaga
pendidikan Islam. Munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan di Indonesia
memberikan banyak coretan sejarah mulai dari zaman kolonial belanda hingga saat ini.
Berikut penulis paparkan secara singkat perkembangan sejarah Madrasah di Indoesia.

Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi
yang dilakukan masyarakat Muslim. Faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan
madrasah adalah karena adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam
tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Dan adanya
kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Ahmad Zaini Aziz 88 Volume
VIII, No.1, 2015 Jurnal eL-Tarbawi Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di
masyarakat. Untuk mengimbangi perkembangan sekulerisme, para reformis kemudian
memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.

Pada era Orde Lama, pengaturan dua sistem pendidikan ini kemudian diupayakan untuk
dihapus. Paling tidak ada tiga usaha yang dilakukan. Pertama, memasukkan pendidikan Islam
ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah negeri maupun swasta melalui pelajaran
agama. Kedua, memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di
madrasah. Ketiga, mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk memproduksi
guru agama bagi sekolah umum maupun madrasah.

Awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem pendidikan,
yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya produk
dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar politik
utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada perkembangannya, Pemerintah
Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu ideologi Pancasila.

Awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak
memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola Menteri Agama. Tanggapan yang
muncul di kalangan muslim sangat beragam dan cenderung keras. Kebijakan itu dinilai
sebagai usaha sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di Indonesia.
Merespon reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan bersama antara
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Agama (Menag), dan Menteri
Dalam Negeri (Mendagri). Isinya, mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah
Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan
pemerintah.

Pada masa reformasi, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam semakin
diakui oleh pemerintah dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain ditandai dengan pengukuhan sistem
Manajemen Berbasis Sekolah 89 Volume VIII, No.1, 2015 Jurnal eL-Tarbawi pendidikan
Islam sebagai pranata pendidikan nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini
memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan
kontribusinya dalam pembangunan pendidikan nasional (Wahid, 2008). Saat ini Madrasah
sudah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasioanal di bawah pembinaan
Departemen Agama. Hal ini beriringan dengan disahkannya UndangUndang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 sebagai ganti Undang-Undang Nomor 2 tahun
1989.

Keberadaan posisi madrasah di bawah Departemen Agama menjadikan madrasah harus


menjalankan pengelolaan pendidikan dengan sistem sentralisasi. Artinya semua wewenang
terpusat pada pemerintah pusat. Hal ini tentunya terdapat kelemahan dan kelebihan. Namun
jika berangkat dari beberapa permasalahan madrasah sebagaimana dijelaskan di atas maka
sebenarnya madrasah sudah selayaknya membuka pintu untuk menjalankan sistem
desentralisasi pendidikan dengan menerapakan Manajemen Berbasis Sekolah sebagai konsep
untuk pengelolaan pendidikan di madrasah.

Manajemen Berbasis Sekolah sebagai Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah

Setiap lembaga pendidikan pastinya memiliki sasaran akhir yang diharapkan. Sasasran
akhir tersebut adalah terjadinya peningkatan mutu. Mutu merupakan derajat keunggulan
sebuah produk atau pelayanan. Sebuah produk yang bersaing dengan produk lainnya atau
suatu pelayanan jasa bersaing dengan pelayanan jasa lainnya memiliki tingkat keunggulan
relatif. Produk atau pelayanan jasa yang lebih unggul adalah produk atau pelayanan jasa yang
bermutu. Mutu merupakan kesempatan ajang berkompetisi sangat berharga, karena itu
munculnya kompetitor merupakan sebuah wahana untuk meningkatkan mutu produk layanan
jasa. Dengan demikian, mewujudkan pendidikan dengan mengikuti standar mutu adalah
penting, sebagai bagian dari produk layanan jasa.

Standar yang menjadi acuan pendidikan termasuk di dalamnya madrasah, adalah


berdasarkan Peraturan Pemerintah RI nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sebagaimana yang tercantum dalam Bab II tentang lingkup, fungsi dan tujuan. Pada pasal 2
ayat (1) dinyatakan tentang lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik Ahmad Zaini Aziz 90 Volume
VIII, No.1, 2015 Jurnal eL-Tarbawi dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pada pasal 54
ayat (4) dinyatakan bahwa pengelolaan pendidikan pada tingkat dasar dan menengah
dipertanggungjawabkan oleh satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik, dan komite
sekolah/madrasah. Dengan mengacu pada standar ini jelaslah bahwa pengelolaan pendidikan
pada madrasah merupakan bagian dari standar pengelolaan dengan melibatkan komite
madrasah yang terdiri dari unsur stakeholders, orang tua siswa, dan masyarakat (Rahman,
2012: 228).

Dari penguraian tentang peningkatan kualitas pendidikan di atas kalau dicermati, nampak
jelas pentingnya peranan madrasah sebagai pelaku dasar utama yang otonom, dan peranan
orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan. Aktifitas dan dinamika
pendidikan termasuk di dalamnya soal kualitas pendidikan bukan pertama-tama ditentukan
oleh pihak dari luar madrasah, melainkan oleh madrasah yang bersangkutan dalam
interkasinya dengan para pelanggan. Madrasah sebagai unit pelaksana pendidikan formal
yang terdepan dengan berbagai keragaman dan kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan
lainnya, maka madrasah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk
mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. Hal ini akan dapat dilaksanakan jika
madrasah diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan
kondisi lingkungan dan kebutuhan pelanggan (Atmodiwirio, 2000: 5-6).

SEJARAH KELAHIRAN MBS

Menurut Veithzal Rivai, Manajemen Berbasis Sekolah dipandangan sebagai alternatif dari
pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat
dan daerah. Manajemen Berbasis Sekolah adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan
dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan daerah
ke tingkat sekolah. Maka pada dasarnya, sistem MBS merupakan sistem manajemen di mana
sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan
secara mandiri dan MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi sekolah,
guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.

Esensi pendidikan berbasis masyarakat sejalan dengan keputusan politik desentralisasi


pemerintahan. Praksis ini dilegitimasi dalam undang-undang (UU) Nomor 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas yang menyebutkan bahwa

“Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan


agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,
oleh, dan untuk masyarakat”.
Frasa “potensi masyarakat” bermakna kemampuan masyarakat mendanai program-program
pendidikan yang dibangunnya, serta kemampuan orang tua murid menanggung beban
pembiayaan ketika mendaftarkan anaknya ke sekolah-sekolah tertentu.

Pasal 55 UU Sisdiknas mempertegas esensi pendidikan berbasis masyarakat ini.

1. Pertama, masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada


pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial,
dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
2. Kedua, penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan
pendanaannya sesuai dengan SNP.
3. Ketiga, dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Keempat, lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis,
subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dari pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.

Sejarah Lahirnya MBS

Manajemen Berbasis Sekolah lahir di Amerika Serikat ketika para guru berjuang untuk
memperbaiki nasibnya dengan dibentuknya Asosiasi Pendidikan Nasional (National
Education Association, NEA) pada tahun 1857 M.

Pada tahun 1887 guru-guru di New York membentuk sebuah asosiasi kepentingan bersama
dan asosiasi yang sama didirikan di Chicago yang dipimpin oleh Margarette Harley.

Pada tahun 1903 guru-guru Philadelphia membentuk organisasi Asosiasi Guru-Guru


Philadelphia (Philadelphia Teachres Association). Melalui asosiasi ini para guru bangkit
untuk meningkatkan martabat hidupnya dan memperoleh gaji lebih baik.

Di Atlanta, guru-guru membentuk Persatuan Guru-Guru Sekolah Negeri Atlanta untuk


mengadapi tekanan dari Dewan Kota yang akhirnya memberikan dana lebih untuk
pendidikan. Gerakan ini juga dilakukan oleh guru-guru lainnya yang dipelopori tokoh
sosialis, Henry Linville, Jhon Dewey, dan Suffrajist Charlotte Perkins Gilman dan
membentuk sebuah asosiasi yang berbicara lebih dari sekedar masalah-masalah ekonomi.

Tujuannya memberi pilihan bagi guru dalam menentukan kebijakan sekolah (school policy)
untuk memperoleh wakil di pentas pendidikan di New York, membantu masalah-masalah
sekolah, membersihkan politik Amerika Serikat dari keputusan menyimpang, dan
meningkatkan kebebasan diskusi publik dari masalah-masalah pendidikan.

Adapun di Indonesia, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) baru secara sungguh-sungguh


dimulai sejak tahun 1999/2000, yaitu dengan peluncuran dana bantuan yang disebut Bantuan
Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Dana bantuan ini disetor langsung ke rekening
sekolah, tidak melalui alur birokrasi pendidikan di atasnya. Memasuki tahun 2003, dana
BOMM dirubah namanya menjadi Dana Rintisan untuk Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS) dan program ini dinilai sesuai dengan implementasi otonomi
daerah di Indonesia
Manfaat penerapan MBS: (Kathleen, ERIC Diggest)

1. Memungkinkan orang-orang yang berkompeten di sekolah untuk mengambil


keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
2. Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan penting.
3. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
4. Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang
dikembangkan di setiap sekolah.
5. Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin
menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-
program sekolah.
6. Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua
level.

Implementasi MBS di Indonesia

Ada dua hasil kajian penting tentang MBS di Indonesia, pertama adalah School Based
Management (SBM): Indonesia Experiences oleh Prof. Fasli Jalal, Ph.D dari Universitas
Andalas dan hasil penelitian dari Georges Vernez, Rita Karam, Jeffery H. Marshall dari
RAND Education yang disponsori Bank Dunia.

Pertama, Laporan RAND Education tentang Implementasi MBS di Indonesia sudah saya
ringkas dalam bentuk poin-poin di bawah ini.

Studi ini memberikan laporan status kuantitatif dan kualitatif tentang penerapan manajemen
berbasis sekolah (MBS) di Indonesia, mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan
keberhasilan praktik MBS, dan menilai pengaruh MBS terhadap prestasi siswa delapan tahun
setelah dimulainya. Temuan penulis didasarkan pada survei tatap muka kepala sekolah, guru,
anggota komite sekolah, dan orang tua; survei staf distrik; dan studi kasus.

MBS membutuhkan perubahan besar dalam cara berpikir orang tentang sekolah dan
peningkatan yang signifikan dalam kapasitas kepala sekolah, guru, dan masyarakat untuk
memberikan kepemimpinan, mengembangkan alternatif programatik untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan lokal, dan melibatkan orang tua dan masyarakat dalam tata kelola
sekolah. . Implementasi MBS sejauh ini tidak terlalu berhasil.

Meskipun sebagian besar kepala sekolah melaporkan bahwa mereka memiliki otonomi untuk
membuat keputusan sekolah, mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak
memanfaatkannya dengan membuat perubahan program dan pembelajaran yang signifikan.
Kabupaten terus sangat mempengaruhi kebijakan dan praktik sekolah. Keterlibatan komite
sekolah dan orang tua dalam urusan sekolah sangat minim. Keduanya mengungkapkan sikap
tidak mencampuri urusan sekolah dan menghormati staf sekolah. Semua pemangku
kepentingan tingkat sekolah mengatakan bahwa mereka tidak siap untuk memberikan
kepemimpinan yang efektif.

Peningkatan implementasi dan capaian MBS di Indonesia memerlukan peningkatan kapasitas


kepala sekolah, guru, dan komite sekolah untuk melaksanakan MBS; meningkatkan
kemampuan staf sekolah untuk membuat perubahan operasional dan instruksional; dan
mengembangkan kapasitas kabupaten untuk mendukung sekolah dan MBS.
Temuan Kunci

1. Otonomi Sekolah Sangat Penting untuk Keberhasilan Penerapan Manajemen Berbasis


Sekolah
2. Sebagian besar kepala sekolah percaya bahwa mereka memiliki otonomi atas
keputusan operasional, anggaran, program, dan instruksional sekolah mereka.
3. Banyak kepala sekolah tidak memanfaatkan otonomi ini dan secara rutin meminta
persetujuan dari pengawas distrik atau staf distrik lainnya sebelum mengambil
keputusan.
4. Kabupaten terus memberikan pengaruh yang besar terhadap kebijakan dan
operasional tingkat sekolah.
5. Pengaruh pemahaman Kepala Sekolah tentang MBS Sangat Penting.
6. Kepala sekolah, guru, dan komite sekolah kurang memahami manajemen berbasis
sekolah (MBS).
7. Lebih dari separuh kepala sekolah melaporkan bahwa mereka tidak pernah menerima
pelatihan MBS dalam satu tahun terakhir atau merasa tidak cukup dan tidak siap
untuk memimpin.
8. Pengaruh Orang Tua atas Masalah Sekolah Kurang dan Pendanaan Sekolah Tidak
Merata
9. Partisipasi masyarakat dan orang tua dalam urusan sekolah tetap harus diusahakan.
10. Orang tua biasanya tunduk kepada staf sekolah dalam urusan sekolah.
11. Ketersediaan sumber daya diskresioner sangat berbeda antar sekolah, dengan
beberapa sekolah melaporkan menerima lebih sedikit dana per siswa daripada sekolah
lain.
Rekomendasi

1. Meningkatkan kapasitas komite sekolah, kepala sekolah, dan guru untuk


melaksanakan manajemen berbasis sekolah (MBS).
2. Meningkatkan kapasitas komite sekolah, kepala sekolah, dan guru untuk
melaksanakan manajemen berbasis sekolah (MBS).
3. Mempermudah anggota komite sekolah untuk mengikuti MBS.
4. Tingkatkan pengetahuan anggota komite sekolah.
5. Tingkatkan kewenangan anggota komite sekolah.
6. Meningkatkan kapasitas kepala sekolah dan guru untuk melaksanakan MBS.
7. Berikan pelatihan kepemimpinan.
8. Membekali kepala sekolah dan guru dengan pengembangan profesional tentang
praktik MBS yang efektif.
9. Memperluas otonomi sekolah.
Meningkatkan kapasitas komite sekolah, kepala sekolah, dan guru untuk
melaksanakan manajemen berbasis sekolah (MBS).

 Mengkaji kebutuhan dan memberikan pengembangan profesional dan menggunakan


hasilnya untuk menetapkan prioritas pelatihan.
 Perluas akses ke alat peraga.
 Atasi perbedaan sumber daya antar sekolah.
Kembangkan kapasitas kabupaten untuk mendukung MBS.

 Ubah peran distrik menjadi pendukung perubahan.


 Perluas kapasitas kabupaten untuk memberikan bantuan teknis yang berkelanjutan.
 Menyediakan pengembangan staf untuk kepala sekolah, guru, dan anggota komite
sekolah.
Menetapkan Prioritas dan Pelaksanaan Rekomendasi secara bertahap

Mempertimbangkan sumber daya yang terbatas dan keefektifan yang tidak pasti,
direkomendasikan kepda pembuat kebijakan melakukan hal-hal berikut:

1. Secara hati-hati menetapkan prioritas rekomendasi mana yang akan diterapkan dan
dalam urutan apa dan
2. Menerapkan langkah-langkah yang dipilih secara eksperimental dan bertahap, yang
melibatkan sejumlah kabupaten dan sekolah di waktu untuk belajar tentang tantangan
implementasi dan masalah yang terlibat dan untuk memastikan efektivitas.

Anda mungkin juga menyukai