Anda di halaman 1dari 14

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di SD N 2 Rawa Laut

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam
manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school
based management) atau disingkat MBS.
Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan para pengelola pendidikan pada
level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat
mengelola sekolah secara mandiri.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan
dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian
sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah
pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah
sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya
secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah
umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal
dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan
di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya
sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya
Dewasa ini banyak upaya peningkatan mutu pendidikan terus dilakukan oleh
berbagai pihak. Upaya-upaya tersebut dilandasi suatu kesadaran betapa
pentingnya peranan pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia dan
pengembangan watak bangsa (Nation Character Building) untuk kemajuan

masyarakat dan bangsa. Harkat dan martabat suatu bangsa sangat ditentukan
oleh kualitas pendidikannya. Dalam konteks bangsa Indonesia, peningkatan mutu
pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan
merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia
secara menyeluruh.
Seiring dengan era otonomi dengan asas desentralisasi, peningkatan kualitas
pendidikan menuntut partisipasi dan pemberdayaan seluruh komponen pendidikan
dan penerapan konsep pendidikan sebagai suatu sistem. Penyerahan otonomi
dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, MBS dinamakan sebagai
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MBS merupakan
inovasi dalam pelibatan masyarakat dan orang tua peserta didik untuk
peningkatan mutu pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di era otonomi daerah
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah,
memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang
tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang
yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga
pembangunan.
Selain itu, kemunculan MBS ini juga didasari oleh turunnya Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan dengan tegas bahwa setiap
warga negara berhak mendapat layanan pendidikan bermutu. Pendidikan yang
bermutu tidak hanya diukur dari produk (output), tetapi terkait dengan input dan
proses penyelenggaraan pendidikan. Upaya peningkatan mutu layanan pendidikan
harus melibatkan stakeholders pendidikan, khususnya masyarakat dan orang tua
peserta didik.
Dalam rangka mengetahui bagaimana implementasi pelaksanaan Manajemen
Berbasis Sekolah pada tingkat satuan pendidikan sekolah dasar, khususnya

sekolah dasar negeri, maka kami melakukan observasi yang berkaitan dengan
pelaksanaan MBS di SD N 2 Rawa Laut.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apakah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) telah diterapkan di SD N 2
Rawalaut?
b) Bagaimana pelaksanaan Manajemen

Berbasis Sekolah (MBS) di SD N 2

Rawalaut?
c) Berapa besar tingkat partisipasi orang tua murid dalam mendukung pelaksanaan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SD N 2 Rawalaut?
1.3 Batasan Masalah
Untuk memfokuskan pembahasan, kami membatasi masalah sebagai berikut:
a) Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SD N 2 Rawalaut, yang
meliputi kemandirian, traansparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat.
b)

Tingkat

parpartisipasi

orang

tua

murid

dalam

mendukung

pelaksanaan

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di SD N 2 Rawalaut

1.4 Tujuan Observasi


Adapun

tujuan

dilakukannya

observasi

mengenai

konsep

manajemen

peningkatan mutu berbasis sekolah, sebagai berikut:


a. Melihat kemandirian SD Negeri 1 Rawa Laut dalam pengorganisasian suatu
program sekolah
b.

Melihat bagaimana SD Negeri 1 Rawa Laut melakukan transparansi dan


akuntabilitas

c. Mengetahui seberapa besar partisipasi masyarakat dan orang tua murid dalam
pelaksanaan program yang ada di SD Negeri 1 Rawa Laut

d. Mempelajari bagaimana usaha sekolah untuk meningkatkan kesejahteraan warga


sekolah SD Negeri 1 Rawa Laut
e. Mengetahui peningkatan kualitas SD Negeri 1 Rawa Laut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagai perwujudan Undang-Undang No
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sebagian besar kewenangan
Pemerintah Pusat dilimpahkan ke Pemerintah Daerah. Dengan otonomi dan
desentralisasi, diharapkan masing-masing daerah termasuk masyarakatnya akan
lebih terpacu untuk mengembangkan daerah masing-masing agar dapat bersaing.
Konsekuensi dari otonomi dan desentralisasi juga terjadi di bidang pendidikan.
Muara tujuan dari otonomi di bidang pendidikan adalah peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia.
MBS memiliki banyak pengertian, bergantung dari sudut pandang orang yang
mengartikannya. Nurkholis (2003:1), misalnya, menjelaskan bahwa Manajemen
Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah.
Pertama, istilah manajemen memiliki banyak arti. Secara umum manajemen dapat
diartikan sebagai proses mengelola sumber daya secara efektif untuk mencapai
tujuan. Ditinjau dari aspek pendidikan, manajemen pendidikan diartikan sebagai
segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah
maupun tujuan jangka panjang. Kedua, kata berbasis mempunyai kata dasar basis
atau dasar. Ketiga, kata sekolah merujuk pada lembaga tempat berlangsungnya
proses belajar mengajar. Bertolak dari arti ketiga istilah itu, maka istilah
Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang
berkenaan dengan pengelolaan sumber daya yang berdasar pada sekolah itu
sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan.
Slamet PH (2001) mendefinisikan MBS dengan bertolak dari kata manajemen,
berbasis, dan sekolah. Menurut Slamet, manajemen berarti koordinasi dan

penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai


tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis artinya berdasarkan
pada atau berfokuskan pada. Sedangkan sekolah merupakan organisasi
terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang
bertugas memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik atas dasar
ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan
profesiona-listik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia).
Atas dasar itu pula, Slamet menyimpulkan bahwa MBS adalah pengkoordinasian
dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh
sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam
kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan (partisipatif). Kelompok kepentingan tersebut meliputi: kepala sekolah
dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa,
tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi
pendidikan.
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penerapan pendekatan dan
pengelolaan sekolah dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal 8
Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan berbagai program rintisan di
berbagai jenjang pendidikan berkenaan dengan model MBS melalui berbagai
kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri dan
meningkatkan partisipasi masyarakat.
Motif diterapkannya MBS tentunya tidak terlepas dari sejarah munculnya MBS
di suatu negara. Menurut Bank Dunia dalam Q/A for the web/knowledge nugget
yang ditulis oleh Edge (2000), terdapat delapan motif diterapkannya MBS yaitu
motif ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi
siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
Tujuan MBS bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan,
relevansi pendidikan baik menyangkut mutu pembelajaran, sumber daya manusia,
kurikulum yang dikembangkan, serta tata pelayanan pendidikan.
Manajemen berbasis sekolah di Indonesia yang menggunakan model MPMBS
(Depdiknas, 2001:5) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah
melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah
untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam kerangka
meningkatkan kualitas pendidikan. Terdapat empat tujuan MBS tersebut, yaitu:
Pertama, meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah
dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Kalau Anda
perhatikan pilar kebijakan pendidikan nasional, makna mutu dikaitkan dengan
relevansi pendidikan. Oleh karena itu, MBS bertujuan mencapai mutu ( quality)
dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolok ukur penilaian

pada hasil (output dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Mutu
dan relevansi ada yang memandangnya sebagai satu kesatuan substansi, artinya
hasil pendidikan yang bermutu sekaligus yang relevan dengan berbagai kebutuhan
dan konteksnya. Akan tetapi, secara terpisah juga dapat dilihat bahwa makna
mutu lebih merujuk pada dicapainya tujuan spesifik oleh siswa (lulusan), seperti
nilai ujian atau prestasi lainnya, sedangkan relevansi lebih merujuk pada manfaat
dari apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan
kehidupan.
Pengelolaan dan pemberdayaaan sumber daya yang tersedia dilakukan secara
efektif dan efisien. Dengan kata lain, MBS juga bertujuan meningkatkan
efektivitas dan efisiensi. Efektif artinya pengelolaan dan penggunaan semua
input dalam bentuk non-uang (jumlah dan jenis buku, peralatan, pengorganisasian
kelas, metodologi, strategi pembelajaran, dan lain-lain) dikaitkan dengan hasil
yang dicapai (output-outcome). Efektivitas berhubungan dengan proses,
prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang dipakai dalam proses pendidikan
di sekolah, sehingga menghasilkan hasil belajar siswa seperti yang diharapkan
(sesuai tujuan). Efektif dan tidaknya suatu sekolah diketahui lebih pasti setelah
ada hasil atau dinilai hasilnya. Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik
diperlukan penerapan indikator atau ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan
MBS, setiap sekolah sesuai dengan kondisinya masing-masing, diharapkan dapat
menerapkan metode yang tepat (yang dikuasai), dan input lain yang tepat pula
(sesuai lingkungan dan konteks sosial budaya), sehingga semua input tepat guna
dan tepat sasaran, atau efektif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sementara
itu, efisiensi berhubungan dengan nilai uang yang dikeluarkan atau harga ( cost)
untuk memenuhi semua input (proses dan semua input yang digunakan dalam
proses) dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya (hasil belajar siswa).
Dengan demikian, MBS diharapkan dapat memenuhi efektivitas dan efisiensi
sekolah, karena perencanaan dibuat sesuai dengan kebutuhan sekolah, sedangkan
pelaksanaannya juga diawasi oleh masyarakat.
Pengelolaan dan pemberdayaaan sumber daya yang dimiliki sekolah dilakukan
dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan kepada siswa. Dengan MBS
setiap anak diharapkan akan memperoleh layanan pendidikan yang bermutu di
sekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa setiap anak berpotensi untuk
belajar, maka MBS memberi keleluasaan kepada setiap sekolah untuk menangani
setiap anak dengan latar belakang sosial ekonomi dan psikologis yang beragam
untuk memperoleh kesempatan dan layanan pendidikan yang memungkinkan semua
anak dan masing-masing anak berkembang secara optimal.
Kedua, partisipatif, yakni meningkatkan kepedulian warga sekolah dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melaui pengambilan keputusan
bersama;

Ketiga, akuntabilitas, yaitu meningkatkan pertanggungjawaban sekolah kepada


orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya. Akuntabilitas
adalah pertanggungjawaban atas semua yang dikerjakan sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawab yang diperolehnya. Selama ini pertanggungjawaban sekolah
lebih pada masalah administratif-keuangan dan bersifat vertikal (ke atas) sesuai
jalur birokrasi. Tanggung jawab atas hasil pendidikan, dengan demikian, ada pada
pundak pengambil kebijakan (pusat kekuasaan), yang akhirnya menjadi sangat
berat. Padahal, kenyataannya pusat otoritas tidak dapat mengendalikan semua
yang terjadi di sekolah yang kondisi dan konteksnya sangat beragam. MBS
dengan desentralisasi kewenangan kepada sekolah bukan hanya memberikan
kewenangan untuk mengambil keputusan yang lebih luas (daripada sebelumnya),
tetapi juga sekaligus membebankan pertanggungjawaban oleh sekolah atas segala
yang dikerjakan dan hasil kerjanya. Akuntabilitas pendidikan dan hasilnya (baik
administratif-finansial maupun tingkat kualitas yang dicapai) diberikan bukan
hanya kepada satu pihak dalam hal ini pusat/birokrasi, tetapi kepada berbagai
pihak yang berkepentingan, termasuk di dalamnya orang tua, komite sekolah
(masyarakat), dan pengguna lulusan, selain kepada guru-guru dan warga sekolah.
Keempat, meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah tentang pendidikan
yang akan dicapai.
Selanjutnya, menurut Nurkholis (2003:25), penerapan MBS mempunyai beberapa
manfaat atau keuntungan.
Pertama, secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orangorang yang bekerja di sekolah. Keahlian dan kemampuan personil sekolah itu
dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan kualitas
pembelajaran. Keahlian dan kemampuan personil sekolah dihargai yang
selanjutnya menimbulkan rasa percaya diri.
Kedua, meningkatkan moral guru. Moral guru meningkat karena adanya komitmen
dan tanggung jawab dalam setiap pengambilan keputusan di sekolah. Keadaan ini
diharapkan dapat mendorong guru untuk mendukung dengan sepenuh tenaga
dalam mencapai tujuan dan tidak berusaha untuk menghalang-halangi pencapaian
tujuan tersebut.
Ketiga, keputusan yang diambil sekolah memiliki akuntabilitas. Hal ini terjadi
karena konstituen sekolah memiliki andil yang cukup dalam setiap pengambilan
keputusan. Akhirnya, mereka dapat menerima konsekuensi atas keputusan yang
diambil dan memiliki komitmen untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama.
Keempat, menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang
dikembangkan di sekolah. Keputusan yang diambil pada tingkat sekolah akan lebih
rasional karena mereka tahu kekuatannya sendiri, terutama kekuatan
keuangannya.
Kelima, mendorong munculnya pemimpin baru di sekolah. Pengambilan keputusan
di sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpin.

Dalam MBS pemimpin akan muncul dengan sendirinya tanpa menunggu penunjukan
dari birokrasi pendidikan.
Keenam, meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksiblitas komunikasi setiap
komunitas sekolah dalam rangka pencapaian kebutuhan sekolah.
Myers dan Stonehill (1993:2) mengemukakan bahwa manfaat MBS adalah sebagai
berikut: (1) memperkenankan orang-orang yang berkompeten di sekolah untuk
mengambil keputusan yang akan dapat meningkatkan pembelajaran; (2)
memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam keterlibatan
mengambil keputusan kunci (prioritas); (3) memfokuskan akuntabilitas pada
keputusan; (4) mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam mendesain
program; (5) mengatur ulang sumber daya untuk mendukung tujuan yang
dikembangkan di sekolah; (6) mengarahkan pada penganggaran yang realistik,
yang mendorong orang tua dan guru semakin menyadari akan status keuangan
sekolah, batasan pembelanjaan, dan biaya dari setiap program; serta (7)
meningkatkan moril para guru dan memelihara kepemimpinan barupada setiap
tingkat. (http://blog.unila.ac.id/sugiyanto)

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Wawancara dilaksanakan pada hari Sealasa, 12 April 2011 di SD N 2
Rawalaut, pukul 10.00 WIB s.d selesai.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah
sebagai
berikut:
a. Interview
Telah dilakukan wawancara dengan wakil kepala sekolah SD N 2 Rawalaut
b. Studi Pustaka
Sumber informasi tentang Manajemen Berbasis Sekolah diperoleh dari
literatur yang mendukung baik dari buku maupun dari internet.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Profil SD Negeri 2 Rawa Laut


Sekolah Dasar Negeri 2 Rawa Laut beralamat di Jalan Cendana No.33 Rawa Laut,
Kecamatan Tanjungkarang Timur, Kota Bandar Lampung, Propinsi Lampung. Dalam
upaya meningkatkan mutu pendidikan, pada tahun 2008 SD N 2 Rawa Laut
diamanahkan oleh Pemerintah Pusat untuk menjadi Rintisan Sekolah Dasar
Bertaraf Internasional (RSDBI). Sekolah ini memiliki Nilai Akreditasi A (94).
Jumlah guru yaitu 107 orang, dengan persentase guru yang S2/S3 0,02 % dari
jumlah guru seluruhnya. Sedangkan jumlah tenaga pendukung yaitu 33 orang.
Jumlah ruangan yang digunakan untuk ruang kelas yaitu 32 ruang, dilengkapi juga
dengan ruangan lain, yaitu perpustakaan, lab. IPA, multimedia, lab. Bahasa, lab.
Komputer, aula, UKS, dan Koperasi.
Memiliki luas tanah yaitu 6.800 m 2 dengan luas tanah terbangun 1489 m 2 dan luas
tanah siap bangun 412 m2. Juga terdapat beberapa lapangan olahraga, yaitu
lapangan basket, limpat jauh, bola volly, dan tenis meja dan lapangan upacara.
Prestasi UAN pada dua tahun terakhir yaitu nilai rata-rata UAN yaitu 8.52 pada
tahun 2008/2009, dan 7.98 pada tahun 2009/2010. Sehingga SD 2 Rawalaut
menempati peringkat 2 untuk tingkat kecamatan, dan peringkat 3 untuk tingkat
kabupaten/kota. Tingkat kelulusan yang dicapai pada dua tahun terakhir yaitu
100 % dari 332 siswa yang mengikuti Ujian Nasional dan semuanya melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Telah banyak prestasi yang diperoleh, baik prestasi di bidang akademik maupun
di bidang non-akademik, seperti juara 2 Olympiade Matematika tingkat propinsi,
dan Juara 1 lomba futsal tingkat propinsi.
4.2 Pelaksanaan MBS di SD N 2 Rawalaut

Manajemen Berbasis Sekolah atau yang lebih kita kenal dengan sebutan

MBS

adalah bentuk penerapan otonomi daerah bidang pendidikan sebagai alternatif


baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian
dan

kreativitas

sekolah

serta

memberikan

otonomi

(kewenangan

dan

tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesankeluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga
sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat.
Pada dasarnya terdapat empat prinsip MBS yaitu otonomi sekolah, fleksibilitas,
dan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Beberapa perihal ataupun bidang yang kami amati mengenai proses berjalannya
Manajemen Berbasis Sekolah(MBS) di SD N 2 Rawalaut ini meliputi sebagai
berikut:
A. Otonomi Sekolah
Dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagai perwujudan Undang-Undang No
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sebagian besar kewenangan
Pemerintah Pusat dilimpahkan ke Pemerintah Daerah. Dengan otonomi dan
desentralisasi, diharapkan masing-masing daerah termasuk masyarakatnya akan
lebih terpacu untuk mengembangkan daerah masing-masing agar dapat bersaing.
Konsekuensi dari otonomi dan desentralisasi juga terjadi di bidang pendidikan.
Muara tujuan dari otonomi di bidang pendidikan adalah peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia.
Otonomi Sekolah yaitu kewenangan/ kemandirian sekolah dalam mengatur dan
mengurus sekolahnya sendiri. Kemandirian sekolah ini juga harus didukung oleh
sejumlah kemampuan, antara lain: kemampuan mengambil keputusan yang terbaik,
kemampuan cara memilih pelaksanaan yang baik, kemampuan memobilitasi sumber

daya,

kemampuan

memecahkan

berkomunikasi

persoalan-persoalan

dengan
sekolah,

cara

yang

serta

efektif,

kemampuan

kemampuan
memenuhi

kebutuhannya sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 12 April 2011, diketahui bahwa SD N
2 Rawa Laut telah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sejak tahun
2004 sampai dengan sekarang.
Dikatakan bahwa pelaksanaan MBS ini cukup baik, tiap-tiap koordinator diberikan
kewenangan untuk melakukan yang terbaik dalam usaha peningkatan mutu
sekolah. Misalnya pemberian wewenang kepada guru untuk menerapkan sistem
dan teknik pembelajaran yang dibutuhkan siswanya, tidak hanya terpaku pada
satu model pembelajaran. Di SD N 2 Rawa Laut ini digunakan model pembelajaran
yang bervariasi, tergantung pada kreativitas guru dan kesadarannya sendiri.
Seperti yang dikatakan oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum, yaitu sejak
tahun 1972 ia telah menerapkan sistem belajar dari siswa, guru memberikan
materi kepada siswa, kemudian siswa dituntut aktif mencari sendiri konsepkonsep yang berhubungan dengan materi tersebut, lalu mengembangkannya, di
sekolah guru akan membahas beberapa konsep yang telah ditemukan oleh siswa
dan membandingkannya, sehingga akhirnya siswa menemukan konsep yang
dianggap paling mudah. Siswa tidak hanya menerima konsep-konsep materi yang
sudah ada, jadi siswa bukan dijadikan sebagai objek, melainkan mitra yang dapat
dieksplor kemampuannya. Siswa juga dapat belajar dengan teman lainnya yang
sudah mengerti lebih dulu, dikenal dengan tutor sebaya.
Selain itu guru diberikan kewenangan untuk memilih sumber bahan pelajaran yang
dibutuhkan, tidak hanya terpaku pada satu sumber saja, misalnya pada satu buku

pelajaran. Guru kelas berwenang memberikan pelayanan individu kepada siswa


yang mengalami kesulitan belajar.
Menurutnya, konsep Manajemen Berbasis Sekolah sebenarnya bagus jika
dilaksanakan sebaik-baiknya, karena manajemen berbasis sekolah juga melatih
kedisiplinan semua warga sekolah.

Pengambilan Keputusan Sekolah

Pengambilan keputusan adalah hal yang penting di dalam struktur organisasi


sekolah, karena hal itu akan menentukan kemana sekolah tersebut akan dibawa
untuk ke depannya. Untuk SD N 2 Rawalaut sendiri pengambilan keputusan itu
dilakukan melalui rapat-rapat, rapat itu dilakukan secara rutin, yaitu 1 bulan
sekali rapat yang dilakukan oleh para dewan guru, membahas mengenai evaluasi
kerja dan informasi. Kemudian 1 tahun sekali setelah ujian semester dilakukan
bersama orang tua siswa, untuk mengevaluasi hasil belajar dan peningkatan
prestasi dan mutu akademik.
Diposkan oleh Cris Ayu Setyaningsih di 03.18
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

Tujuh pilar MBS yaitu kurikulum dan pembelajaran, peserta didik pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, hubungan sekolah dan masyarakat, dan
budaya dan lingkungan sekolah.
Manajemen kurikulum dan pembelajaran berbasis sekolah adalah pengaturan kurikulum dan
pembelajaran yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran di sekolah, dengan berpedoman pada prinsipprinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.
Manajemen peserta didik berbasis sekolah adalah pengaturan peserta didik yang meliputi
kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program

kegiatan peserta didik di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi


manajemen berbasis sekolah.
Manajemen pendidik dan tenaga kependidikan berbasis sekolah adalah pengaturan pendidik
dan tenaga kependidikan yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan,
melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan yang terkait dengan pendidik dan tenaga
kependidikan di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen
berbasis sekolah.
Manajemen sarana dan prasarana berbasis sekolah adalah pengaturan sarana dan prasarana
yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi
program kegiatan sarana dan prasarana di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
implementasi manajemen berbasis sekolah.
Manajemen pembiayaan berbasis sekolah adalah pengaturan pembiayaan yang meliputi
kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi program
kegiatan pembiayaan di sekolah, dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi
manajemen berbasis sekolah.
Manajemen hubungan sekolah dan masyarakat berbasis sekolah adalah pengaturan hubungan
sekolah dan masyarakat yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan,
melaksanakan, dan mengevaluasi program kegiatan hubungan sekolah dan masyarakat,
dengan berpedoman pada prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.
Manajemen budaya dan lingkungan berbasis sekolah adalah pengaturan budaya dan
lingkungan yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan
mengevaluasi program kegiatan budaya dan lingkungan sekolah, dengan berpedoman pada
prinsip-prinsip implementasi manajemen berbasis sekolah.
Lampiran
Panduan MBS 1 Grand Design Pola Pembinaan MBS di SD.pdf [download]

Anda mungkin juga menyukai