PENDAHULUAN
Fakta yang ada sekarang ini menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia
masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini
mempunyai dampak yang sangat besar bagi majunya kehidupan masyarakat dalam
segala aspek bidang kehidupan. Sehingga pemerintah berinisiatif untuk mencari
solusi dalam menangani masalah ini. Untuk menciptakan masyarakat yang maju
maka hal perlu diperhatikan terlebih dahulu adalah bagaimana mewujudkan
pendidikan yang bermutu yang pada akhirnya mencapai tujuan pendidikan nasional
yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab
tantangan zaman yang selalu berubah. Hal ini sejalan dengan Visi Pendidikan
Nasional bahwa Depdiknas berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan insan
Indonesia yang cerdas dan kompetitif atau insan paripurna.
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu
menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia
mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat
sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang
dikenal sebagai tujuan instruksional. Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya
1
terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja
sama dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis
sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-
manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau
manajemen yang bermarkas di sekolah.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan
tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu,
maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
2
1.2 Rumusan Masalah :
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru,
siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
5
2.1.2 Sejarah Munculnya Manajemen Berbasis sekolah (MBS)
6
misi, dan tujuan atau sasaran sekolah yang membawa implikasi terhadap
pengembangan kurikulum sekolah dan program-program operatif sekolah
yang lain. MBS di Australia dibangun dengan memperhatikan kebijakan dan
panduan dari pemerintah negara bagian di satu pihak, dan di pihak lain dari
partisipasi masyarakat melalui school council dan parent and community
association. Perpaduan keduanya melahirkan dokumen penting
penyelenggaraan MBS yaitu school policy yang memuat visi, misi, sasaran,
pengembangan kurikulum, dan prioritas program, school planning review
serta school annual planning quality assurance. Akuntabilitas dilakukan
melalui external and internal monitoring.
7
2.2.1 Penerapan MBS
8
yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari
separuhnya.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isu
kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan
keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi
keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu
memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam
penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi
belajar murid.
9
dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen
berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan
dari Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic
Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung
sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam
pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian
khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan
(endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi
pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti
kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya
akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan
tiap-tiap setting.
10
pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu
harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar
penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan
kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam
upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan
sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
11
1. Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka
sekolah akan lebih inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
2. Dengan pemberian fleksibilitas/keluwesan-keluwesan yang lebih besar
kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan
lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan memanfaatkan
sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
3. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman
bagi dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
4. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input
pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses
pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta
didik.
5. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk
memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu
apa yang terbaik bagi sekolahnya.
6. Penggunaan sumberdaya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana
dikontrol oleh masyarakat setempat.
7. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan
keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat.
8. Sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan masing-
masing kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat
pada umumnya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin
untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah
direncanakan.
9. Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-
sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya
inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik, masyarakat, dan
pemerintah daerah setempat.
10. Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan
lingkungan yang berubah dengan cepat.
12
Sedangkan Nukolis memberikan alasan penerapan MBS sebagai
berikut:
13
4. Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif bila
masyarakat setempat juga ikut mengontrol
5. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan
keputusan sekolah, menciptakan transparansi dan demokrasi yang kuat
Sekolah bertanggung jawab tentang mutu pendidikan sekolah masing-
masing kepada pemerintah, orang tua, dan masyarakat
6. Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah lain
untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya inovatif dengan
dukungan orang tua, masyarakat, dan pemerintah
7. Sekolah dapat secara tepat merespon aspirasi masyarakat dan
lingkungan yang berubah dengan cepat.
14
sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan
MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity
building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe
menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis,
transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk
membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model
memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan
oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang
sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet,
leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah
serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil
bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi.
Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu
melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi
pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang
diterima sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya
sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan
pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah
berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil
yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran
MBS.
15
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat
sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka
mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat
kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
16
akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin
menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2. Tidak Efisien
3. Pikiran Kelompok
4. Memerlukan Pelatihan
17
Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan
kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul
tanggung jawab pengambilan keputusan.
6. Kesulitan Koordinasi
18
2. Keleluasaan dalam mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan
masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala
sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
3. Guru didorong untuk berinovasi;
4. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan
menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat
sekolah dan peserta didik.
19
Tujuan penerapan manajemen berbasis sekolah secara umum adalah
untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih
besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong
partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
20
Namun demikian dalam memahami tujuan penerapan MBS diperlukan
wawasan, pengertian tujuan dan target yang hendak dicapai dalam
penerapan MBS. Tanpa memahami tujuan tersebut, maka Penerapan MBS
tidak akan berjalan, MBS bukanlah sekedar pertanggung jawaban sekolah
pada masalah administrative keuangan dan bersifat vertical sesuai jalur
birokrasi, maupun pusat-pusat birokrasi di bawahnya. Lebih lanjut Umaedi
menegaskan, tanpa pertanggung jawaban hasil pelaksanaan program.
21
2.4 Penyusunan Program Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
a. School Review
Apakah yang dicapai sekolah sudah sesuai dengan harapan orang tua siswa
dan siswa sendiri?
Bagaimana prestasi siswa ?
Faktor apakah yang menghambat upaya untuk meningkatkan mutu ?
Apakah faktor-faktor pendukung yang dimiliki sekolah ?
b. Benchmarking
Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan dicapai
dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan untuk
individu, kelompok ataupun lembaga. Tiga pertanyaan mendasar yang akan
dijawab oleh benchmarking adalah:
22
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
Tentukan fokus
Tentukan aspek/variabel atau indikator
Tentukan standar
Tentukan gap (kesenjangan) yang terjadi.
Bandingkan standar dengan kita
Rencanakan target untuk mencapai standar
Rumuskan cara-cara program untuk mencapai target.
c. Quality Assurance
d. Quality Control
23
3. Peningkatan mutu harus didasarkan pada data dan fakta baik bersifat
kualitatif maupun kuantitatif
4. Peningkatan mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur
yang ada di sekolah
5. Peningkatan mutu memiliki tujuan bahwa sekolah dapat memberikan
kepuasan kepada siswa, orang tua dan masyarakat. (Hand out, pelatihan
calon Kepala sekolah: 2000)
24
sekolah yang lebih besar, sekolah akan lebih lincah dan tidak harus
menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan, dan
memberdayakan sumber daya. Dengan prinsip fleksibilitas ini, sekolah
akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala
tantangan yang dihadapi. Seperti pada prinsip otonomi di atas, prinsip
fleksibilitas yang dimaksud tetap mengacu pada kebijakan, peraturan
dan perundangan yang berlaku. Program dan penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) akan berbeda
antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, bahkan ketika alokasi
anggaran yang dimiliki sekolah jumlahnya sama, tetapi penekanan dan
pemilihan prioritas dapat berbeda. Prinsip ini membuka kesempatan
bagi kreativitas sekolah untuk melakukan upaya-upaya inovatif yang
diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan
sekolah, terutama proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan.
3. Prinsip inisiatif yang didasarkan atas konsepsi bahwa manusia bukanlah
sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi
sumberdaya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian
dikembangkan. Dengan demikian, lembaga pendidikan harus
menggunakan pendekatan pengembangan sumber daya manusia (human
resources development) yang memiliki konotasi dinamis dan
menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset
yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.
Prinsip tersebut menunjukkan pentingnya faktor manusia pada
efektivitas orgnanisasi. Perspektif sumber daya manusia menekankan
bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam organisasi sehingga
butir utama manajemen adalah mengembangkan sumber daya manusia
di dalam sekolah untuk berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini, maka
MBS bertujuan membangun lingkungan yang sesuai untuk warga
sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan
potensinya.
25
2.5.2 Karakteristik MBS
26
8. Dalam MBS, efektivitas sekolah dinilai menurut indikator multitingkat
dan multisegi.
Sekolah yang telah menerapkan MBS dapat dilihat dari beberapa ukuran atau
indikator. Indikator-indikator tersebut dapat dilihat dari 3 pilar kebijakan
pendidikan nasional yaitu pemerataan dan peningkatan akses, peningkatan mutu
dan daya saing, serta tata layana pendidikan yang lebih baik. Berdasarkan ketiga
pilar tersebut, indikator-indikator keberhasilan implementasi MBS dapat dilihat
dari semakin meningkat dan membaiknya: (1) jumlah siswa yang mendapat
layanan pendidikan, (2) kualitas layanan pendidikan (seperti pembelajaran), yang
berdampak pada peningkatan prestasi akademik dan non akademik siswa dan
jumlah siswa yang tingkat tinggal kelas menurun, (4) produktivitas sekolah
(efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya), (5) relevansi pendidikan, (6)
keadilan dalam penyelenggaraan pendidikan, (7) partisipasi orang tua dan
masyarakat dalam pengambilan keputusan, (8) iklim dan budaya kerja sekolah, (9)
kesejahteraan guru dan staf sekolah, serta (10) demokratisasi dalam
penyelenggaraan pendidikan.
27
Contoh-contoh indikator keberhasilan implementasi MBS adalah sebagai
berikut: (a). Dilihat dari aspek pemerataan dan peningkatan akses adalah
meningkatnya nilai APK, APM dan AT. (b) dilihat dari aspek mutu adalah
meningkatnya prestasi akademik dan non- akademik siswa, seperti nilai ujian
sekolah, meraih prestasi dalam olimpiade matematika, dan sebagainya. (c) dilihat
dari aspek layanan pendidikan di sekolah adalah berkurangnya jumlah siswa yang
tinggal kelas, drop out, dan sebagainya. Adapun ciri-ciri sekolah yang
melaksanakan MBS dilihat dari berbagai aspek, yaitu (a) aspek organisasi:
sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan dapat menggerakkan
partisipasi masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan. (b). Pembelajaran:
meningkatkan kualitas belajar siswa, menyelenggarakan pembelajaran yang aktif,
kreatif, efektif dan menyenangkan. (c) sumber daya manusia: memberdayakan staf
dan menempatkan personil yang dapat melayani keperluan siswa, menyediakan
kegiatan untuk pengembangan profesi staf.
28
Demikian pula, dukungan masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan
sekolah melibatkan peran serta tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama, dunia
usaha dan dunia industri, serta kelembagaan sosial budaya. Penyertaan mereka
dalam pengelolaan sekolah hendaknya dilakukan secara integral, sinergis, dan
efektif, dengan memperhatikan keterbukaan sekolah untuk menumbuhkan rasa
memiliki dan tanggung jawab masyarakat dalam meningkatkan mutu sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah dapat berjalan dengan baik apabila komite sekolah
diberdayakan secara optimal. Komite sekolah dibentuk sebagai mitra sekolah
dalam mengembangkan diri menuju peningkatan kualitas pendidikan. Dalam
pelaksanaannya komite sekolah bekerja berdasarkan fungsi-fungsi manajemen.
Sebagai mitra sekolah, komite sekolah memiliki peran sebagai (1) advisory
agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan
layanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol kegiatan layanan
pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung tali komunikasi antara masyarakat
dengan pemerintah. Sejalan dengan upaya memberdayakan dan meningkatkan
peran masyarakat, sekolah diharapkan dapat membina jalinan kerjasama dengan
orang tua dan masyarakat. Sebagai bagian dari konsep Manajemen Berbasis
Sekolah, pemberdayaan komite/dewan sekolah ini merupakan wujud manajemen
partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan
dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan.
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
30
DAFTAR PUSTAKA
Nurkolis, 2003. Manajemen Berbasis sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta:
Grasindo.
Nurkolis. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
http//www.pdfsearch.com/MBS
Nanang Fatah, 2003. Konsep Manajemen berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah.
Bandung: Pustaka Bani Quraisy
31