Anda di halaman 1dari 24

-MANAGEMENT BERBASIS SEKOLAH

Tugas terstruktur

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Pengelolaan Pendidikan

Dosen Pembimbing:

Drs. H. Jamaludin, M.Pd.

Disusun Oleh:

Masmui 11420800

Meta Latifah Rhadiatul Jannah 1142080046

Rani Oktaviani 1142080057

Siti Nurrohmah 114

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

VII B

JURUSAN PENDIDIKAN MIPA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah swt. yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat dan salam senantiasa kita panjatkan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang kita harapkan syafaatnya di hari
akhir nanti, amin.

Penyusunan makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah


Pengelolaan Pendidikan . Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, kepada
Bapak Drs. H. Jamaludin, M.Pd yang telah membimbing dan mendukung dalam
penyelesaian materi Management berbasis sekolah.

Penulis menyadari penyusunan makalah belum sempuna. Oleh sebab itu,


penulis memohon kepada pembaca atas kritik dan saran guna melengkapi dan
perbaikan di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
menambah wawasan bagi pembaca pada umumnya dan penulis sendiri secara
khusus.
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis tidak membawa kemajuan
yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Dalam kasus-
kasus tertentu, manajemen sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan
kreativitas pada satuan pendidikan dan berbagai jenis dan jenjang pendidikan.
Untuk mengatasi terjadinya stagnasi dibidang pendidikan ini diperlukan adanya
paradigma baru dibidang pendidikan.
Seiring bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah peluang untuk
melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju kearah desentralisasi
pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah
dikelurkanya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melalui strategi
pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS bukan sekedar
mengubah pendekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis,
tetapi lebih dari itu melalui MBS maka akan muncul kemandirian sekolah.
Lahirnya UU No.22/1999 tentang otonomi daerah berimplikasi kepada
otonomi pendidikan dan otonomi sekolah, maka jadilah Indonesia menganut
konsep manajemen pendidikan berbasis sekolah (school based management) atau
biasa disingkat MBS. Sebelum adanya otonomi daerah ini pengelolaan pendidikan
yang dianut Indonesia sangat bersifat sentralistik, dimana pusat sangat dominan
dalam pengambilan kebijakan dan daerah bersifat pasif; hanya sebagai penerima
dan pelaksana pemerintah pusat.
MBS memberikan keluasan bagi sekolah untuk menentukan arah dan
kebijakan yang relevan dengan situasi dan kondisi lingkungannya. MBS juga
memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Penting bagi guru, calon guru, maupun pemerhati pendidikan untuk benar-
benar memahami konsep MBS ini agar nantinya bisa menjalankan manajeman
pendidikan di sekolah sesuai dengan apa yang tertuang dalam konsep MBS.
Untuk itu dalam makalah ini akan dikupas mengenai pengertian MBS, alasan
mengapa perlu adannya MBS,ciri-ciri MBS, tujuan MBS, manfaat MBS, faktor-
faktor yang perlu diperhatikan dalam MBS, dan model-model MBS.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, dan agar
permasalahan lebih mudah untuk dibahas, maka dalam makalah ini penulis
merumuskan beberapa pokok, seperti:
1. Apa pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
2. Apa latar belakang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
3. Bagaimanakan karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
4. Apa saja tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
5. Apa manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
6. Faktor-faktor apa yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) ?
7. Apa saja contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasar perumusan masalah diatas, pengetahuan tentang Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) penting untuk diketahui bagi pendidikan. Secara umum
tulisan ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2. Mengetahui Latar Belakang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
3. Mengetahui Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
4. Mengetahui tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
5. Mengetahui manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
6. Mengetahui faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS).
7. Mengetahui contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
BAB 2 PEMBAHSAN

A. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata,
yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan
sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasismemiliki kata dasar
basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan
mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna
leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya
yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau
pembelajaran.

Definisi yang mencakup makna yang lebih luas dikemukakan oleh Wohlstetter
dan Mohrman (1996). Secara luas MBS berarti pendekatan politis untuk
mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan
kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan
sekolahnya. Partisipan lokal sekolah tak lain adalah kepala sekolah, guru,
konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat
sekitar, dan siswa.

Secara lebih sempit MBS hanya mengarah pada perubahan tanggung


jawab pada bidang tertentu seperti dikemukakan Kubick (1988). MBS meletakan
tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah kepada
sekolah yang menyangkut bidang anggaran, personel, dan kurikulum. Oleh karena
itu, MBS memberikan hak kontrol proses pendidikan kepada kepala sekolah,
guru, siswa, dan orang tua. 1

Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based


management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika

1
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan Aplikasi (Jakarta: Grasindo, 2006),
hal. 1.
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan
masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan
agar sekolah leluasa mengolah sumber daya dan sumber dana dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap
terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka
lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam
pada itu, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula
dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri
menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan
mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada
masyarakat maupun pemerintah.

MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang


menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan
memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi
bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi
langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman
masyarakat terhadap pendidikan.

Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang
dipandang memiliki tingkat efektifitas tinggi serta memberikan beberapa
keuntungan berikut :

a. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada


peserta didik, orangtua, dan guru;
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal;
c. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil
belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah;
d. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,
manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus
meniru secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia
akan belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara
lain, kemudian memodifikasi, merumuskan dan menyusun model dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur
masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan
pendidikan yang telah dan sedang berlangsung selama ini.2
B. Latar Belakang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pengelolaan pendidikan yang dianut dan dijalankan di Indonesia selama ini
sangat bersifat sentalistik, di mana pusat sangat dominan dalam pengambilan
kebijakan. Sebaliknya, daerah dan sekolah bersifat pasif, hanya sebagai penerima
dan pelaksana perintah pusat. Pola kerja sentralistik tersebut sering
mengakibatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan riil sekolah dengan perintah
atau apa yang digariskan oleh pusat.
F. Korten (1981) menilai, system sentralistik kurang bisa memberikan
pelayanan yang efektif, kelemahan-kelemahan pola sentralistik tersebut selama ini
tidak pernah digubris. Ketika lahir Undang-undang Nomor 22/1999 tentang
Otonomi Daerah yang mengharuskan pelaksanaan desentralisasi pendidikan, mau
tidak mau pola sentralistik harus diubah. Diperlukan formula baru dalam
pengelolaan pendidikan di sekolah sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
berkembangnya peraturan baru. Tujuan utama penerapan MBS adalah untuk
meningkatkan efisiensi pengelolaan serta mutu dan relevansi pendidikan di
sekolah.
MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban pemberian otonomi
daerah di bidang pendidikan, mengingat prinsip dan kecenderungannya yang
mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah pada pihak-pihak yang dianggap
paling mengetahui kebutuhan riel sekolah.
Oleh karena itu, jika kita semua sedang gencar berbicara tentang reformasi
pendidikan, maka dalam konteks MBS, tema sentral yang diangkat adalah isu
desentralisasi. Desentralisasi dalam pengertian sebagai pengalihan tanggung
jawab pemerintahan pusat dalam hal perencanaan, manajemen, penggalian dana,
dan alokasi sumberdaya ke pemerintah daerah.

2
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), hal. 24.
Terkait dengan desentralisasi, MBS dikembangkan untuk membangun sekolah
yang efektif. Hanya saja konsep desentralisasi model MBS mengacu pada sekolah
swa-manajemen (self managing school) bukan pada penyelenggara sekolah
mandiri (self governing school).3
Respon yang muncul atas MBS bermacam-macam. Depdiknas merumuskan
pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih
besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan yang lebih
besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.4 Maksud
yang sama dikemukakan oleh Miarso yang menyatakan bahwa arti pengelolaan
berbasis sekolah ini adalah pelimpahan wewenang pada lapis sekolah untuk
mengambil keputusan mengenai alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber
berdasarkan aturan akuntabilitas yang berkaitan dengan sumber tersebut. 5
Asumsi kebijakan manajemen berbasis sekolah adalah bahwa dengan
pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang meningkat ke sekolah, serta
proporsi dana lebih besar dalam mendukung pencapaian tujuan kebijakan sesuai
dengan serangkaian garis pedoman kebijakan yang lebih eksplisit dan meletakkan
strategi manajemen prestasi yang terartikulasi di atas perencanaan tersebut, maka
hal tersebut akan memudahkan dan mendorong peningkatan efektivitas dan
efisiensi pendidikan publik.6
Hal ini berarti bahwa tugas manajemen sekolah ditentukan sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, anggota
pengelola sekolah (dewan direktur, pengawas, kepala sekolah, guru, orang tua,

3
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed) Reformasi Pendidikan Dalam Otonomi Daerah, (Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2001), h. 122
4
A. Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam Ibtisam Abu Duhou, School-Base Management,
Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvii
5
Yusufhadi Miarso. “Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan dalam
Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”, dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h.
696-697
6
Amiruddin Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Jakarta: Quantum Teaching,
2006), h. 5.
siswa dan seterusnya) memiliki otonomi dan tanggung jawab lebih besar dalam
mengelola kegiatan pendidikan di sekolah.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesiensi, mutu dan pemeratan
pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola
sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan
sekolah, peningkatan propesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai
control, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif.
Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tak lepas dari
kinerja pendididkan di suatu Negara berdasarkan system pendidikan yang ada
sebelumnya. Diantara tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai inovasi dilakukan
melalui pengenalan kurikulum baru dan pendekatan metode pengajaran baru
dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya tidak
memuaskan. Demikian juga di banyak Negara lain seperti Kanada, Amerika,
Australia, Inggris, Perancis, Selandia Baru, dan Indonesia.
Sebelum berbagai inovasi yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti perbaikan kurikulum,
profesionalisme guru, metode pengajaran, dan system evaluasi, dan kesemuanya
itu kurang memberikan hasil yang memuaskan. Bersamaan dengan berbagai
upaya itu, pada tehun 1980-an terjadi perkembangan yang menggembirakan di
bidang manajemen modern, yaitu atas keberhasilan penerapannya di bidang
industry dan organisasi komersial. Keberhasilan aplikasi manajemen modern
itulah yang kemudian diadopsi untuk diterapkan di dunia pendidikan. Sejak saat
itulah masyarakat mulai sadar bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan
perlu melompat atau keluar dari lingkup pengajaran di dalam kelas secara sempit
ke lingkup organisasi sekolah. Oleh karena itu, diperlukan reformasi system
secara structural dan gaya manajemen sekolah.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti
gerakan sekolah efektif yang mencari dan mempromosikan karakteristik sekolah-
sekolah efektif. Ada gerakan sekolah mandiri, yang menekankan otonomi
penggunaan sumber dana sekolah. Ada yang memfokuskan pada desentralisasi
otoritas dari kantor pendidikan pusat kepada aktivitas-aktivitas yang dipusatkan
disekolah seperti pengembangan kurikulum berbasis sekolah, bimbingan siswa
berbasis sekolah, dan sebagainya. Gerakan reformasi yang menggunakan
pendekatan berbeda-beda tersebut kemudian melahirkan model-model MBS.
Di Indonesia, latar belakang munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan
Negara-negara maju yang terlebih dahulu menerapkannya. Perbedaan yang
mencolok ialah lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan pendidikan di
Indonesia. Bayangkan saja di banyak Negara gerakan reformasi pendidikan model
MBS ini sudah terjadi pada tahun 1970-an dan disusul banyak Negara pada tahun
1980-an, namun di Indonesia baru dimulai 30 tahun kemudian. Hal ini tidak
terlepas dari system otoriter selama orde baru. Semua diatur dari pusat, yaitu di
Jakarta baik dalam penentuan kurikulum sekolah, anggaran pendidikan,
pengangkatan guru, metode pembelajaran, buku pelajaran, alat peraga hingga jam
sekolah maupun jenis upacara yang harus dilaksanakan di sekolah.
Selama bertahun-tahun upaya perbaikan pendidikan selalu dilaksanakan
dengan cara tambal sulam, karena belum ada upaya yang maksimal dari birokrat
pendidikan di atas sana. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) muncul karena beberapa alasan. Pertama, terjadinya
ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan yang
mengesampingkan bawahan. Kedua, kinerja pendidikan yang tidak kunjung
membaik bahkan cenderung menurun di banyak Negara. Ketiga, adanya
kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta pendidikan untuk
merestrukturisasi pengelolaan pendidikan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan yang mana selama ini masih dirasa masih kurang, diantaranya
dengan membuat program progaram antara lain “aku anak sekolah” dan dana
bantuan operasional. Program tersebut diharapkan mampu menjunjung kualitas
maupun kuantitas pendidikan di Indonesia, akantetapi karena pengelolaannya
masih terpusat dan kaku, program tersebut tidak dapat memberikan dampak
positif. Dugaannya adalah masalah manajemen yang belum sesuai. Hingga
munculah suatu pemikiran atau gagasan baru dalam pengelolaan pendidikan yang
memberi kebijakan kepada masing masing sekolah untuk mengatur dan
melaksanakan berbagai kebijakan dari pemerintah. Pemikiran inilah yang disebut
dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).
BPPN dan Bank Dunia (1999) dalam Mulyasa, memberi pengertian bahwa
MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang
pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi
masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan nasional. Sedangkan Depdikbud
dalam , mengemukakan MBS adalah suatu penawaran bagi sekolah untuk
menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para peserta
didik. Mulyasa (2002) mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah adalah
pradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah
(pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) adalah kebijakan pemerintah yang diberikan masing-
masing sekolah untuk mengelola dan mengoptimalkan pendidikan di daerahnya
sesuai dengan karakteristik di daerahnya masing-masing dan keikutsertaan
masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan.7
Inovasi yang diharapkan timbul di sekolah serta bertambahnya prestasi
masyarakat untuk mendukung dan mengawasi sekolah, akan memberikan nilai
positif terhadap peningkatan mutu dan relevansi pendidikan (S. Bellen dkk, 2000).
Beberapa kegiatan pada tahap awal yang ditempuh dalam pelaksanaan MBS
antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sekolah,
termasuk pengelolaan sember daya dan penyusunan program untuk mencapai
tujuan sekolah.
b) Memberikan wewenang kepada sekolah untuk mengelola sumber daya dan
mengatur rumah tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas
peraturan.
c) Mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung
pendidikan di sekolah.

7
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/12/latar-belakang-munculnya-mbs/ diakses pada tanggal
16 Oktober 2017
d) Mendorong pemanfaatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan dan kondisi
sekolah dengan memberikan “block grant” yang dimanfaatkan bersama dengan
anggaran dan sumber-sumber lain.
e) Mendorong adanya transparasi dalam pengelolaan sekolah, mulai dari
perencanaan sampai dengan evaluasi. Dalam hal keuangan dengan membuat
RAPBS yang melibatkan kepala sekolah, guru serta pengurus BP3 dan juga tokoh
masyarakat.
f) Mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk
meningkatkan kretifitas dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses
belajar mengajar yang aktif, efektif dan menyenangkan serta terciptanya kondisi
sekolah yang “sayang anak” (child friendly).
g) Bekerjasama dengan pemerntah untuk mendukung upaya pelaksanaan kegiatan
rintisan MBS di sekolah yang ditunjuk (S. Ballen, dkk, 2000).
Peluang keberhasilan dalam menerapkan MBS di sekolah pada saat ini cukup
besar karena adanya factor pendukung berikut:
a) Tuntutan kehidupan demokratisasi yang cukup besar dari masyarakat dalam era
reformasi seperti sekarang ini.
b) Penerapan Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang
menekankan pada otonomi pemerintah pada tingkat Kabupaten/Kota.
c) Adanya komite sekolah yang berfungsi untuk membantu pelaksanaan program
JPS pendidikan di banyak sekolah.
d) Adanya keinginan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
terhadap pendidikan di sekolah dengan meningkatkan tugas, fungsi dan peran
BP3.8

C. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


Dalam MBS peran serta masyarakat sangat penting, tidak seperti masa lalu
yang hanya terbatas memobilisasi sumbangan uang dan sejenisnya. Sekolah
sebagai lembaga pendidikan dalam model MBS memiliki fungsi dan peran yang
sangat besar. Masalah keuangan, kegiatan pembelajaran, sarana prasarana, dan

8
Supriono, Sapari A, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jawa Timur: SIC, 2001), hal. 6.
seluruh komponen penunjang pendidikan di sekolah merupakan tanggung jawab
sekolah yang telah “di-result”oleh masyarakat.
Dalam hal pembelajaran atau proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM),
maka model MBS ini menekankan kepada pembelajaran aktif(active
learning), pembelajaran efektif (efektive learning) dan pembelajaran yang
menyenangkan (joyfull learning). Cara pembelajaran seperti ini memungkinkan
munculnya keberanian pada diri siswa untuk mengemukakan pendapat, bertanta,
mengkritik, dan mengakui kelemahannya apabila memang mereka melakukan
kesalahan.
Dengan semangat belajar yang tinggi, kondisi tempat dan iklim belajar
yang menyenangkan, dukungan dari masyarakat serta orang tua yang cukup. Pada
gilirannya pendekatan ini akan dapat mengurangi bahkan mengikis habis masalah
putus sekolah atau Drop Out (DO). Manajemen sekolah yang menitik beratkan
pada aspek kemandirian sekolah dengan ciri utama pada adanya keterbukaan atau
transparansi pelaksanaannya dimulai dari perencanaan sampai dengan pelaporan
diselenggarakan secara terbuka.
Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri manajemen
berbasis sekolah antara lain:
1. Ada upaya meningkatkan peran serta BP3 dan masyarakat untuk mendukung
kinerja sekolah.
2. Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan
proses belajar mengajar (kurikulum), bahkan kepentingan administratif.
3. Menerapkan prinsip efektifitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya
sekolah (anggaran, personil, dan fasilitas).
4. Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan
kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
5. Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggungjawab kepada masyarakat,
selain kepada pemerintah atau yayasan.
6. Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
7. Meningkatkan kemandirian sekolah di segala bidang.
8. Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah,
pelaksanaan sampai dengan evaluasi (kepala sekolah, guru, BP3, dan tokoh
masyarakat, dan lain-lain)
9. Adanya keterbukaan dalam pengelolaan pendidikan sekolah, baik yang
menyangkut program, anggaran, ketenagaan, prestasi sampai dengan pelaporan.
10. Pertanggungjawaban sekolah dilakukan baik terhadap pemerintah, yayasan,
maupun masyarakat (S. Ballen dkk, 2000) 9
Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat
mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar-mengajar, pengelolaan
sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya dan administrasi. Lebih
lanjut, BPPN dan Bank Dunia (1999), mengutip dariFocus on School: The Future
Organisation of Education Services for Student, Departement of Education,
Australia (1990), mengemukakan ciri-ciri MBS dalam bagan berikut : 10
Organisasi Sekolah Proses Belajar Sumber Daya Sumber Daya
Mengajar Manusia dan
Administrasi
Menyediakan Meningkatkan Memberdayakan Mengidentifikasi
manajemen kualitas belajar staf dan sumber daya
organisasi siswa menempatkan yang diperlukan
kepemimpinan personel yang dan
transformasional dapat melayani mengalokasikan
dalam mencapai keperluan sumber daya
tujuan sekolah semua siswa tersebut sesuai
dengan
kebutuhan
Menyusun rencana Mengembangkan Memilih staf Mengelola dana
sekolah dan kurikulum yang yang memiliki sekolah
merumuskan cocok dan tanggap wawasan
kebijakan untuk terhadap manajemen

9
Supriono, Sapari A, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jawa Timur: SIC, 2001), hal. 7.
10
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), hal. 30.
sekolahnya sendiri kebutuhan siswa berbasis sekolah
dan masyarakat
sekolah
Mengelola kegiatan Menyelenggarakan Menyediakan Menyediakan
operasional sekolah pengajaran yang kegiatan untuk dukungan
efektif pengembangan administratif
profesi pada
semua staf
Menjamin adanya Menyediakan Menjamin Mengelola dan
komunikasi yang program kesejahteraan memelihara
efektif antara sekolah pengembangan staf dan siswa gedung dan
dan masyarakat yang diperlukan sarana lainnya
terkait(school siswa
community)
Menjamin akan Program Kesejahteraan Memelihara
terpeliharanya pengembangan staf dan siswa gedung dan
sekolah yang yang diperlukan sarana lainnya
bertanggungjawab siswa
(akuntabel) kepada
masyarakat dan
pemerintah

D. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


MBS merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan
masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam
GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pemgembangan
pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro,
meso maupun mikro.
MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat
merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat,
bertujuan utuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.
Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola
sumberdaya, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara
peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melelui partisipasi orangtua
terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan
profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif serta
disinsetif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan
partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada
kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat
tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.11

E. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)


MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan
tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai
dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru
sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas. Keleluasaan dalam mengelola
sumber daya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong
profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun
pemimpin sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepada sekolah untuk
menyusun kurikulum, guru didorong untuk berinovasi dengan melakukan
eksperimentasi-eksperimentasi di lingkungan sekolahnya. Dengan demikian, MBS
mendorong profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan di sekolah. Melalui penyusunan kurikulum efektif, rasa tanggap
sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan
pendidikan sesuai dengan tuntutan pesrta didik dan masyarakat sekolah. Prestasi
peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi orangtua,
misalnya orangtua dapat mengawasi langsung proses belajar anaknya.
MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, seperti pada
sekolah-sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staf, orangtua, peserta
didik dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan
tentang pendidikan. Kesempatan berpartisipasi tersebut dapat meningkatkan
komitmen mereka terhadap sekolah. Selanjutnya, aspek-aspek tersebut pada
akhirnya akan mendukung efektivitas dalam pencapaian tujuan sekolah. Adanya
11
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), hal. 25.
kontrol dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah , pengelolaan sekolah
menjadi akuntabel, transparan, egaliter, dan demokratis, serta menghapuskan
monopoli dalam pengelolaan pendidikan. Untuk kepentingan tersebut diperlukan
kesiapan pengelola pada berbagai level untuk melakukan perannya sesuai dengan
kewenangan dan tanggung jawab.12

F. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Manajemen Berbasis


Sekolah (MBS)

BPPN bekerjasama dengan Bank Dunia (1999) telah mengkaji beberapa faktor
yang perlu diperhatikan sehubungan dengan MBS. Fakto-faktor tersebut yaitu :

a. Kewajiban Sekolah
MBS yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang
besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan
profesional. Oleh karena itu, pelaksanaannya perlu disertai seperangkat
kewajiban, monitoring dan tuntutan pertanggungjawaban (akuntabel) yang tinggi.
Dengan demikian, sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan
sumberdaya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli, dan
bertanggungjawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka
meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
b. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan
kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan
dengan program peningkatan melek huruf dan angka(literacy and numeracy),
efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Pemerintah juga perlu merumuskan
seperangkat pedoman umum tentang pelaksanaan MBS untuk menjamin bahwa
hasil pendidikan (student outcomes) terevaluasi dengan baik, kebijakan-kebijakan
pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam kerangka
yang disetujui pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
c. Peranan Orangtua dan Masyarakat

12
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), hal. 25.
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas untuk
membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas
daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang
tumpang tindih yaitu melalui partisispasi masyarakat, orangtua dan dewan
sekolah (school council).
d. Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi harus memiliki pengetahuan yang
dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin
bahwa segala keputusan penting yang dibuat oleh sekolah, didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah perlu mempelajari
kebijakan pemerintahan maupun prioritas sekolah sendiri. Ia harus :
1) Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar
sekolah;

2) Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan
pembelajaran;

3) Memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menganalisis situasi sekarang


berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa
depan berdasarkan situasi sekarang;

4) Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan


kebutuhan yang berkaitan dengan efektifitas pendidikan di sekolah;

5) Mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tentangan sebagai


peluang, serta mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.

e. Pengembangan Profesi
Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan MBS, perlu
dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi sebagai
penyedia jasa pelatiahan bagi tenaga kependidikan untuk MBS.13

G. Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

13
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), hal. 26.
1. Model MBS di Indonesia
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah,
dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di Indonesia model MBS difokuskan pada peningkatan mutu, tetapi tidak
jelas dalam hal mutu apa. Mutu gurukah, mutu kurikulumkah, mutu hasil
pengajarankah, mutu proses belajar-mengajarkah, mutu penilaiankah, atau mutu
manajemennya? Perspektif mutu ini terlalu luas untuk dicakup semua dalam
model MBS di Indonesia. Pantaslah banyak pelaku pendidikan merasa bingung
akan sasaran MBS di Indonesia karena tidak ada fokus garapan. Hal yang paling
mendasar yang tidak diungkap dalam target mutu yang ingin dicapai dalam model
MBS di Indonesia adalah mutu yang seperti apa? Apa kriterianya, bagaimana cara
mencapainya, kapan harus dicapai, dan bagaimana peran sekolah dalam
peningkatan mutu pendidikan ini?
Dengan tidak ada sasaran dalam peningkatan mutu model MBS ini serta
kepongahan para pejabat pendidikan di pusat maupun di daerah maka penerapan
MBS di Indonesia masih menghadapi ganjalan besar. Padahal, salah satu dasar
pokok terlaksananya reformasi adalah adanya perubahan struktural secara
mendasar dan besar-besaran. Bila tidak maka upaya reformasi pendidikan melalui
MBS itu hanya merupakan proyek pemborosan.
Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi
dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada
dalam cengkeraman pemerintah otoriter yang membuat warganya takut untuk
mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang
digunakanpun berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya
sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikelurkannya UU
No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-
2004.14
2. Model MBS di Amerika Serikat
Penerapan MBS secara serius di Amerika Serikat terjadi pada saat adanya
gelombang reformasi pendidikan tahap kedua, yaitu pada tahun 1980-an.
Gelombang kedua ini sebagai kebangkitan kembali akan adanya kesadaram dan
pentingnya pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah. Era itu merup-akan
kelanjutan reformasi yang terjadi pada tahun 1970-an pada saat sekolah-sekolah di
distrik menerapkan Side-Based Management.
Gelombang pertama ditandai dengan adanya sentralisasi fungsi-fungsi
pendidikan pada tingkat pusat, mencakup kurkulum dan ujian nasional.
Gelombang kedua terjadi karena adanya laporan dari The National Commision on
Excellentce in Educatin (1983) yang selanjtnya dilakukan pengurangan
keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah federal.
Sistem pendidikan di Amarika Serikat, mula-mula secara konstitusional
pemerintah pusat (state) bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dan
pemerintahan daerah (distric) hanya sebagai unit pembuatan kebijakan dan
administrasi. Pemerintah federal memiliki peran yang terbatas bahkan semakin
berkurang perannya. Perannya hanya dibatasi terutama pada area khusus, yaitu
dukungan pendapatan.15

14
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan Aplikasi, (Jakarta: Grasindo, 2006),
hal. 109.
15
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan Aplikasi, (Jakarta: Grasindo, 2006),
hal. 91.
BAB 3 SIMPULAN
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school based
management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan
masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga masyarakat, tetapi
dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada
dalam cengkeraman pemerintah otoriter yang membuat warganya takut untuk
mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang
digunakanpun berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya
sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikelurkannya UU
No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-
2004.
Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan
guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu,
harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi
peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional,
jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu,
daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki
peluang yang kecil untuk berhasil.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak harus
meniru secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya Indonesia
akan belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara
lain, kemudian memodifikasi, merumuskan dan menyusun model dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur
masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan
pendidikan yang telah dan sedang berlangsung selama ini
DAFTAR PUSTAKA
Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam dalam Ibtisam Abu Duhou,School-Base
Management, Penerjemah Noryamin Aini, dkk, h. xvii
Amiruddin Siahaan dkk, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, (Jakarta:
Quantum Teaching, 2006), h. 5.
Candoli, Site-Based Management in Education: How to Make It Work in
Your School, (Lancaster: Technomic Publishing Co, 1995), xi
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2002.
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed) Reformasi Pendidikan Dalam Otonomi
Daerah, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h. 122
Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin
Aini, dkk, (Jakarta: Logos, 2002), h.. 16
Ibtisam Abu Duhou, School-Based Management, Penerjemah Noryamin
Aini, dkk, h.. 25
Yusufhadi Miarso. “Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi
Pendidikan dalam Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan”,
dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 696-697
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan AplikasiJakarta:
Grasindo, 2006.
Supriono, Sapari A, Manajemen Berbasis Sekolah, Jawa Timur: SIC, 2001.

Anda mungkin juga menyukai