Anda di halaman 1dari 22

33.

AL-HALIM (‫)ا ْل َحلِي ُم‬

Salah satu Al-Asma’ul Husna (nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha

ْ dan berkaitan dengan tauhid asma’ wash-shifat, begitu


Bagus) adalah Al-Halim (‫)ال َحلِي ُم‬

pentingnya permasalahan ini sehingga terlebih dahulu agar dipahami rambu-rambu dalam

memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah.

AL-HALIM DALAM AL-QUR-AN DAN HADITS

Hal itu berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‫ َحلِي ٌم‬ ‫ص َدقَ ٍة يَ ْتبَ ُعهَا أَ ًذى َوهللاُ َغنِ ٌّي‬


َ ‫ُوف َو َم ْغفِ َرةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن‬
ٌ ‫قَوْ ٌل َم ْعر‬

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi

dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha

Penyantun.” (Al-Baqarah: 263)

‫ َغفُورًا‬ ‫ َحلِي ًما‬  َ‫ض أَ ْن تَ ُزواَل َولَئِ ْن زَ الَتَا إِ ْن أَ ْم َس َكهُ َما ِم ْن أَ َح ٍد ِم ْن بَ ْع ِد ِه إِنَّهُ َكان‬
َ ْ‫ت َواأْل َر‬ ُ ‫إِ َّن هللاَ يُ ْم ِس‬
ِ ‫ك ال َّس َم َوا‬

“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika

keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah.

Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 41)

Diriwayatkan dalam hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma :

ِ ‫ الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ َربُّ ال َّس َم َوا‬،‫ش ْال َع ِظ ِيم‬


ُّ‫ت َو َرب‬ ِ ْ‫ُ الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ َربُّ ْال َعر‬،‫ الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ ْال َع ِظي ُم ْال َحلِيم‬:‫ب‬
ِ ْ‫ى هللاِ َكانَ يَقُو ُل ِع ْن َد ْالكَر‬
َّ ِ‫أَ َّن نَب‬

‫ش ْال َك ِر ِيم‬
ِ ْ‫ض َو َربُّ ْال َعر‬
ِ ْ‫اأْل َر‬

Nabiyyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu di saat ada bencana mengucapkan

(yang artinya): “Tiada sesembahan yang benar kecuali Allah yang Maha Agung dan Yang Maha

Penyantun, tiada sesembahan yang benar kecuali Allah Rabb Arsy yang agung,
tiada sesembahan yang benar kecuali Allah Rabb sekalian langit-langit dan Rabb bumi serta

Rabb Arsy yang mulia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim).

MAKNA AL-HALIM

Ibnu Faris rahimahullahu menjelaskan bahwa huruf ha’ (‫)ح‬, lam (‫)ل‬, dan mim (‫ )م‬punya

tiga makna dasar. Yang pertama adalah bermakna tidak terburu-buru. Lawan dari kata thaisy (

ٌ‫ )طَيْش‬yang berarti ringan tangan atau mudah berbuat. (Mu’jam Maqayis Al-Lughah)

Sehingga sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu bahwa nama Al-Halim (

ْ adalah yang memiliki sifat penyantun yang sempurna, yang sifat santun-Nya mencakup
‫)ال َحلِي ُم‬

juga orang-orang kafir dan fasiq serta ahli maksiat. Dia menahan hukuman-Nya untuk segera

ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat zalim, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi

mereka tempo agar mereka bertaubat. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lalai bila mereka

tetap berbuat dosa dan terus-menerus dalam sikap melampaui batas serta tidak kembali.

ْ juga bermakna yang terus memberikan kepada makhluk-Nya nikmat-


Al-Halim (‫)ال َحلِي ُم‬

nikmat lahir maupun batin walaupun mereka berbuat maksiat dan banyak kesalahan. Maka,

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak segera membalas orang-orang yang bermaksiat karena

kemaksiatan mereka, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi mereka waktu agar mereka

bertaubat dan kembali. (Syarh Al-Asma’ul Husna)

ْ adalah yang
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras mengatakan: “Al-Halim ( ‫)ال َحلِي ُم‬

memiliki sifat penyantun yang sempurna, yang mencakup orang kafir, munafik, dan ahli maksiat.

Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi mereka tempo dan tidak segera menghukum

mereka, dengan harapan mereka akan bertaubat.


Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan

segera menghukum mereka dengan sebab dosa-dosa mereka selepas dilakukan oleh mereka.

Karena, dosa-dosa itu mengharuskan adanya akibat berupa hukuman yang segera dan bermacam-

macam. Akan tetapi kesantunan Allah Subhanahu wa Ta’ala itulah yang membuat-Nya

memberikan tangguh kepada mereka. Sebagaimana firman-Nya :

‫اس بِ َما َك َسبُوا َما تَ َركَ َعلَى ظَه ِْرهَا ِم ْن دَابَّ ٍة َولَ ِك ْن يُ َؤ ِّخ ُرهُ ْم إِلَى أَ َج ٍل ُم َس ّمًى فَإ ِ َذا َجا َء أَ َجلُهُ ْم فَإ ِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ِعبَا ِد ِه‬
َ َّ‫َولَوْ يُؤَ ا ِخ ُذ هَّللا ُ الن‬

‫صيرًا‬
ِ َ‫ب‬

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya niscaya Dia tidak akan

meninggalkan di atas permukaan bumi satu mahluk melata pun. Akan tetapi Allah

menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu yang tertentu. Maka apabila datang ajal

mereka, sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)

[Syarh Nuniyyah, 2/87]

BUAH MENGIMANI NAMA AL-HALIM

Di antara buah mengimani nama Allah Al-Halim adalah kita mengetahui betapa besar

kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karunia-Nya terhadap hamba-hamba-Nya. Betapa

besar pula kasih sayang-Nya, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tempo kepada

hamba-hamba-Nya untuk bertaubat. Dalam tempo itu pun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap

berikan karunia-Nya kepada mereka. Tentu hal ini menuntut kita untuk tahu diri dan banyak

mensyukuri nikmat-Nya. Kalaulah bukan karena sifat penyantun-Nya niscaya kita telah binasa

dihukum-Nya. Tidakkah ini disadari oleh kita semua dan semua yang jatuh dalam maksiat atau

kekafiran sehingga segera bertaubat sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala jatuhkan tempo

sehingga hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala timpakan? Kepada-Nyalah kita kembali.


SURAT AL-QURAN YANG TERMAKSUD DALAM AL-HALIM

 1. QS. Al-Baqarah [2] : ayat 255

[2:255] Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi

terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa

yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya?

Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak

mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi

langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi

lagi Maha Besar.

  2. QS. Al-Baqarah [2] : ayat 235

[2:235] Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu

menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu

akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan

mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf.

Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk ber-akad nikah, sebelum habis 'iddahnya.

Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah

kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
  3. QS. Al-Baqarah [2] : ayat 263

[2:263] Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan

sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.

  4. QS. Aali 'Imran (Ali 'Imran) [3] : ayat 155

[3:155] Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan

itu, hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah

mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

  5. QS. An-Nisaa' (An-Nisa') [4] : ayat 12

[4:12] Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika

mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat

seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau

(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan

jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh

seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau

(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan

yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara

laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing

dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari

seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).

(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah

Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

  6. QS. Al-Maaidah (Al-Maidah) [5] : ayat 101

[5:101] Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyaikan (kepada Nabimu) hal-hal

yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyaikan di waktu

Al Qur'an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang

hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

  7. QS. Al-Hajj [22] : ayat 59

[22:59] Sesungguhnya Allah akan memasukkan mereka ke dalam suatu tempat (surga) yang

mereka menyukainya. Dan sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

  8. QS. At-Taghaabun (At-Tagabun) [64] : ayat 17

[64:17] Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat

gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi

Maha Penyantun.
34. Al-Adzim (Maha Agung)

Menjadi orang yang besar, mulia dan luhur adalah cita-cita setiap orang. Akan tetapi

banyak yang salah mengartikan mengenai besar, mulia dan luhur tersebut. Orang yang besar

dalam pikiran kita identik dengan orang yang mempunyai harta kekayaan berlimpah, mempunyai

mobil dan motor mewah, dan dikenal oleh banyak orang. Sehingga kebanyakan manusia

berlomba untuk mendapatkan harta kekayaan dan pujian karena mengira dengan mempunyai

harta kekayaan mereka bisa menjadi orang besar yang dikenal banyak orang, begitu pula dengan

mulia dan luhur akal kita karena sudah terbiasa mengidentikan segala sesuatu dengan materi

sehingga orang yang mulia dan luhur diartikan sebagai orang yang mempunyai pangkat yang

tinggi atau menjadi orang terpandang karena kekayaan yang dimiliki.

Namun pada kenyataannya tidak semua orang yang mendapatkan harta kekayaan

tersebut, dan tidak semua orang mendapatkan pangkat atau jabatan yang tinggi, karena Allaah

memberikan kekayaan, memberikan pangkat dan jabatan tidak untuk semua orang. Bayangkan

saja jika semua orang menjadi kaya, tidak akan ada sebutan si kaya dan si miskin, begitu pula

dengan pangkat, tidak diberikan kepada semua orang karena jika diberikan kepada semua orang

tidak akan ada bedanya antara pejabat dan rakyat, akan tetapi meskipun sudah mengetahui begitu

keadaannya manusia tetap berlomba-lomba untuk menumpuk harta kekayaan karena ingin

menjadi orang yang besar, mulia dan dianggap luhur juga, dan karena sibuk berlomba-lomba

dalam mengumpulkan harta kekayaan akhirnya manusia lupa terhadap kewajiban untuk

mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Rahmaan yang telah menciptakan, memberikan rejeki dan

kehidupan untuk dirinya.


Dalam Al-Qur’an begitu banyak larangan agar kita tidak mencintai dunia apalagi

berlomba-lomba dalam harta kekayaan. Bahkan ada satu surat yang mungkin kita sering baca,

dan dalam surat itu begitu jelas melarang kita untuk bermegah-megahan atau berlomba-lomba

dalam hal harta kekayaan, tidak lain tidak bukan surat itu adalah :

Surat At-Takatsur, Allah berfirman: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu

masuk ke dalam kubur, dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu,

jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat

neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin,

kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-

megahkan di dunia itu)”. (At-Takatsur 1-8)

Surat At-Takatsur ini merupakan surat yang bisa dibilang sering dibaca oleh imam dalam

shalat berjamaah, bahkan anak-anak yang baru duduk di sekolah dasar pun tak sedikit yang hafal

surat yang merupakan juz amma, seharusnya jika sesuatu hal sering dibaca atau sering diulang

sudah tentu akan mudah dihafal seperti jika kita mendengarkan suatu lagu jika kita sering

mendengarnya tentu kita akan menghafal liriknya bagaimana, bahkan bagi para pemusik akan

mengetahui dimana nada-nadanya. Namun lain lagu lain pula Al-Qur’an, begitu sering dibacakan

bukan membuat manusia mendekatkan diri kepada Tuhan dan meninggalkan kesenangan juga

kemewahan tapi malah berbuat sebaliknya, dan penyebab semua itu terjadi tidak lain dan tidak

bukan, manusia pada saat ini telah kehilangan isi hati, dan isi hati tersebut tidak lain dan tidak

bukan adalah keimanan, mungkin diantara kita ada yang merasa tersinggung ataupun tidak

merasa bahwa telah kehilangan isi hati, jika belum merasa bahwa telah kehilangan isi hati.
Coba renungkan dan tanyakan kepada diri kita sendiri, tanyakan kepada hati, apakah kita

telah ridha bahwa Allah menjadi Tuhan kita?, apakah kita telah ridha Islam menjadi agama kita?,

apakah kita telah ridha bahwa Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasalam menjadi Nabi dan Rasul

kita?, apakah kita telah ridha Al-Qur’an sebagai imam kita?

Jika dalam mulut saja mungkin kita bisa mengatakan bahwa kita telah ridha bahkan

kalimat tersebut mungkin sering kita bacakan atau sudah hafal di luar kepala, tapi sayangnya

Allah tidak butuh hafalan dari kita melainkan amalan dari ilmu pengetahuan yang telah kita

hafalkan, karena setiap ilmu yang kita ketahui tapi tidak kita amalkan tidak ada bedanya dengan

yahudi, tapi jika kita melakukan suatu amal perbuatan tapi tidak berdasarkan ilmu sama hal nya

dengan nasrani.

Jika masih belum merasa isi hati kita telah hilang mari kita renungkan baik-baik

mengenai kalimat ridha terhadap Allaah, Islam, Rasul dan Al-Qur’an tadi. Ridha adalah satu kata

yang memiliki banyak arti, diantaranya adalah ikhlas, rela menerima dan bersedia untuk

memenuhi permintaan, baik itu perintah ataupun larangan, dan ridha ini adalah merupakan buah

dari cinta kita kepada sesuatu. Contoh jika kita mencintai pasangan kita baik itu suami ataupun

istri, sudah tentu kita rela melakukan apapun yang diperintahkan oleh pasangan kita, dan kita pun

akan rela menjauhi larangan meski sebenarnya kita menyukai hal yang dilarang oleh pasangan

kita. Sepatutnya dan selayaknya apa yang diperintahkan oleh Allaah lebih kita dahulukan

daripada perintah siapapun, perintah Allah dalam agama Islam yang disampaikan oleh insan

pilihan yang bernama Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasalam pun harus kita amalkan dalam

kehidupan sehari-hari, jangan hanya berada dalam kepala saja tapi tidak sampai ke hati, yang

bisa mengakibatkan pinter keblinger dan akhirnya menjadi lupa diri dan lupa kepada Ilahi,

sekarang coba renungkan pertanyaan pertanyaan tadi, sudahkah kita benar-benar menjalankan
perintah yang telah diperintahkan oleh Allaah yang Maha Gagah?, atau hanya sekedar dalam

ucapan saja untuk membuat bibir kita basah, mengaku-ngaku beriman padahal belum beriman

jika belum mengamalkan ajaran sesuai tuntunan.

Satu contoh kecil dalam hal dunia pendidikan yang lebih menuruti aturan pemerintah dan

sekolah ketimbang aturan Allaah yang penuh berkah dan hikmah kebaikan di dalamnya, seragam

yang dikenakan oleh para siswa dan siswi, jadwal pelajaran agama jauh lebih sedikit daripada

jadwal pelajaran matematika. Padahal kita mengakui semua bahwa dunia ini hanya sementara,

tapi kenapa ilmu dunia yang sementara lebih banyak dipelajari daripada ilmu agama untuk bekal

beribadah kepadaNYA yang akhirnya akan menjadi bekal kita di akhirat sana? Dan hasil

daripada itu kebanyakan manusia lebih banyak hitung menghitung dalam melakukan sesuatu

termasuk amal shalih, padahal jika dihitung karunia Allaah yang diberikan kepada manusia

sungguh ibadah seribu tahun pun tak akan mampu untuk membayar setiap kedipan mata kita. Hal

kecil lain yang kita sering kali sepelekan dalam kehidupan adalah ketika datang panggilan Tuhan

untuk mendirikan jalan kebahagiaan, tak sedikit di antara kita yang masih sibuk dengan

pelajaran-pelajaran keduniaan yang tak akan bermanfaat banyak dibandingkan dengan

memenuhi panggilan Tuhan untuk mendirikan jalan kebahagiaan yang akan menjadi pencegah

perbuatan keji dan munkar bagi para hambaNYA yang berhasil mendirikan shalat dalam

kehidupannya. Alhasil daripada menyepelekan panggilan Tuhan untuk mendirikan shalat, tak

sedikit kasus murid yang berani melawan gurunya bahkan sampai berani menghilangkan nyawa

gurunya, seperti inikah didikan-didikan untuk para generasi muda yang merupakan generasi

penerus disaat yang tua sudah tiada?, jika pendidikan terus menerus seperti ini niscaya manusia-

manusia akan tetap seperti ini keadaannya, banyak manusia yang menjadi intelektual tapi tak

bermoral.
Hal yang lebih memalukan dan memilukan lagi adalah penjualan ayat-ayat Al-Qur’an

dengan harga yang sedikit yang banyak dilakukan orang-orang yang mengaku memiliki

pemahaman terhadap agama Tuhan dan berjalan sesuai tuntunan yang Rasul ajarkan, padahal

Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasalam sama sekali tidak mengambil keuntungan sepeser pun

dari penyampaian ajaran yang beliau lakukan kepada umatnya, justru beliau menghabiskan harta

kekayaannya untuk biaya menyebarkan ajaran agama Islam yang merupakan keselamatan bagi

seluruh alam, bukan seperti keadaan sekarang yang menjadikan ceramah dan majelis ilmu

sebagai perniagaan untuk mencari kehidupan. Dan kemungkinan penyebab besar dari perniagaan

dalam menyampaikan amanat Tuhan adalah pemungutan biaya di setiap lingkungan pendidikan

yang mengajarkan agama, sehingga para generasi muda berpikir karena dia mendapatkan

ilmunya dengan membayar maka dia pun harus mendapatkan uang dari ilmunya yang ia bayar.

Karena keadaan saat ini terus menerus berhubungan dengan materi maka pantas saja akal pikiran

kita berpikir bahwa orang yang besar, orang yang mulia dan luhur adalah orang yang mempunyai

harta kekayaan dan kekuasaan, padahal sudah kita ketahui semua bahwa manusia paling besar,

manusia paling mulia dan luhur budi pekertinya adalah Rasulullaah Muhammad shalallaahu

‘alaihi wasalam, tapi kenapa kita tidak meneladani beliau? padahal kita mengaku umat beliau.

Kenapa kita tidak mengamalkan cara da’wah beliau yang tidak meminta sepeser pun dari apa

yang beliau sampaikan? Kenapa kita tidak bertawadhu dengan apa yang kita miliki dan akan

kembali kepada Ilahi, padahal yang kita banggakan dalam bentuk rumah megah, tak lebih dari

sekedar tumpukan pasir, tanah, dan besi, atau mobil mewah yang hanya sekedar bentukan dari

besi-besi. Sungguh demi Allaah kita telah tertipu dengan kehidupan dunia yang seharusnya kita

tak mencintai dunia karena itu adalah merupakan dosa besar sebagaimana yang diterangkan oleh

si terkutuk musuh manusia iblis dalam dialognya dengan Rasul kita bahwa orang yang mukhlis
adalah orang yang sudah tidak menyukai harta benda dan juga tidak suka untuk dipuji-puji oleh

manusia. Bahwa cinta dunia adalah dosa paling besar, cinta akan kedudukan juga dosa yang

paling besar, maka pantas saja dalam surat At-Takatsur tadi Allah mengingatkan manusia supaya

jangan saling membanggakan diri akan banyaknya harta dan anak-anak karena itu akan

mencelakakan dirinya.

Alasan kenapa kita tidak mampu meneladani beliau karena kita tidak menjaga diri dari

hal-hal yang dilarang oleh Allah. Alasan kita tidak menjaga diri terhadap apa yang dilarang oleh

Allah adalah karena kita tidak takut terhadap Allah. Alasan kita kenapa tidak takut kepada Allah

adalah karena kita tidak mengetahui siapa Allah. Alasan kita kenapa tidak mengetahui siapa

Allah adalah karena kita tidak mempelajari ilmu Tauhid yang merupakan fondasi dalam agama,

dua kalimat syahadat diucapkan tapi tidak diamalkan. Inilah kemungkinan besar yang menjadi

faktor rusaknya keyakinan agama Islam bagi kebanyakan orang. Dimana tiang didirikan sebelum

fondasi benar-benar kuat, yang akibatnya ketika bangunan semakin tinggi berdiri tapi fondasi

tidak kuat, maka sudah bisa diprediksi bangunan tadi akan ambruk kembali dan jika mau

membangun harus mulai dari awal lagi.

Kebesaran, kemuliaan dan keluhuran sebenarnya semua orang sudah mempunyai modal

agar bisa menjadi seorang yang telah dicontohkan Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wasalam, jika

belum menyadari modal-modal apa saja yang diberikan oleh Allah kepada semua manusia, tidak

lain tidak bukan adalah panca indera, akal dan hati yang harus digunakan untuk melawan hawa

nafsu yang selalu memburu dan menyuruh untuk menuruti apa yang disukai oleh hawa nafsu dan

si terkutuk itu.
Peribahasa orangtua zaman dulu mengatakan “jangan melihat apa yang bukan hak nya

untuk dilihat, jangan menyentuh apa yang bukan hak nya untuk disentuh, jangan memakan apa

yang bukan hak nya untuk dimakan”, namun pada kenyatannya karena isi hati telah hilang dalam

manusia, mata yang seharusnya dijaga dari apa yang tidak halal untuk dilihat justru dianggap

sebuah ni’mat padahal dari sanalah jebakan si terla’nat dibuat tangan yang seharusnya dijaga dari

menyentuh hal-hal yang haram, kenyataannya tak sedikit pemuda-pemudi yang mengaku

beragama Islam duduk berduaan, bercengkraman padahal itu diharamkan. Begitu juga perut yang

seharusnya diisi dengan makanan yang dihalalkan justru malah diisi dengan makanan dari hasil

mengurangi timbangan, dari hasil menipu orang, dari hasil riba yang merugikan orang. Jika

keadaan sudah seperti ini maka hati yang harusnya bersih agar bisa menerima Nur Ilahi malah

terkotori karena dosa-dosa tadi, dan karena terus dibiarkan akhirnya si hati menjadi kelam, dan

pada akhirnya hawa nafsu yang dibantu syaithan berkuasa pada tubuh manusia yang sudah gelap

hatinya.

berbeda dengan mata yang hatinya diliputi oleh cahaya dari Yang Maha Kuasa yang senantiasa

mampu melihat suatu hikmah kebaikan meskipun dalam hal-hal yang menyakitkan,

pandangannya akan terasa menyejukkan, tidak ada pandangan untuk saling menghancurkan.

Tangan pun tak akan menyentuh tubuh yang haram karena takut hati menjadi keruh terlebih lagi

jika mengingat hadits dimana beliau shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Seandainya kepala

seseorang ditusuk dengan jarum besi, (itu) masih lebih baik daripada menyentuh wanita yang

tidak halal baginya.” (Riwayat Thabrani dengan sanad hasan).

Harta kekayaan dan kedudukan dapat menjadikan seorang manusia menjadi besar, tapi

hanya sementara, jika sudah habis harta dan sudah berakhir masa jabatannya, orang itu pun akan
kembali tidak dipandang. Berbeda dengan manusia yang besar karena mampu menyalakan Nur

Ilahi dalam hati yang mampu menerangi, panca indera dan akalnya sebagaimana Rasulullaah

shalallaahu ‘alaihi wasalam. Begitu hebatnya ciptaan Allaah dalam kekayaan dan kedudukan

yang membuat seorang manusia diagung-agungkan meski hanya sementara, dan juga manusia

yang diagunkan karena akhlak mulia sebagaimana Rasul kita semua, sehingga pantaslah Allah

memiliki Asmaul Husna Al-‘Azhiim yang artinya Yang Maha Agung, sebagaimana tercantum

dalam ayat Al-Qur’an Kepunyaan-Nya-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan

Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Asy-Syuura ayat 4)

35. AL-GHAFUR (Mohon Ampun)

 1. QS. Al-Baqarah [2] : ayat 173

[2:173] Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan

binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam

keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui

batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.
Makna al-Aghfur  secara bahasa :

Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya

adalah meninggalkan sesuatu.

Ibnul Atsir berkata, “Nama Allah “al-’Afuw” adalah fa’uul dari kata al-’afwu  (memaafkan)

yang berarti memaafkan perbuatan dosa dan tidak menghukumnya, asal maknanya: menghapus

dan menghilangkan.

Al-Fairuz Abadi berkata, “Al-’Afwu adalah pemaafan dan pengampunan Allah Ta’ala atas (dosa-dosa)

makhluk-Nya, serta tidak memberikan siksaan kepada orang yang pantas (mendapatkannya).

Penjabaran makna nama Allah Al-Ghafur

Al-Ghafur  adalah zat yang maha menghapuskan dosa-dosa dan memaafkan perbuatan-

perbuatan maksiat.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

{‫}إنَّ هللاَ لَ َعفُ ٌّو َغفُ ْو ٌر‬

“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS al-Hajj:60).

Beliau berkata, “Artinya: Dia maha memaafkan orang-orang yang berbuat dosa, dengan tidak

menyegerakan siksaan bagi mereka, serta mengampuni dosa-dosa mereka. Maka Allah

menghapuskan dosa dan bekas-bekasnya dari diri mereka. Inilah sifat Allah Ta’ala yang tetap

dan terus ada pada zat-Nya (yang maha mulia), dan inilah perlakuan-Nya kepada hamba-hamba-

Nya di setiap waktu, (yaitu) dengan pemaafan dan pengampunan”.


Makna inilah yang dimaksud dalam doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam untuk dibaca pada malam lailatul qadr:

‫اللهم إنك َعفُ ٌّو تُ ِح ُّب ال َع ْف َو فَاعْفُ َعنِّي‬

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, Engkau suka memaafkan (hamba-Mu), maka

maafkanlah aku”.

Dalam beberapa ayat al-Qur’an Allah menggandengkan nama ini dengan nama-Nya yang lain

yaitu “al-Ghafur” (maha pengampun), seperti dalam ayat di atas, demikian pula dalam surat an-

Nisa’: 43 dan an-Nisa’: 99.

{‫} َو َكانَ هللا ُ َعفُ ّوًا َغفُ ْو ًرا‬

“Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisaa’:99).

Kedua nama Allah yang maha indah ini memang memiliki makna yang hampir sama, meskipun

nama Allah ‘al-Afuw memiliki makna yang lebih mendalam. Karena “pengampunan”

mengisyaratkan arti as-sitru (menutupi), sedangkan “pemaafan” mengisyaratkan arti al-

mahwu (menghapuskan) yang artinya lebih mendalam (dalam penghapusan dosa). Meskipun

demikian, kedua nama Allah ini jika disebutkan sendiri-sendiri maknanya mencakup keseluruhan

arti tersebut.

Sifat “memaafkan” dan “mengampuni” ini adalah termasuk sifat-sifat yang tetap dan terus-

menerus ada pada dzat Allah (yang Maha Mulia). Dan senantiasa pengaruh (baik) sifat-sifat ini

meliputi semua makhluk-Nya di siang dan malam hari. Karena sifat “memaafkan” dan

“mengampuni” (yang dimiliki)-Nya meliputi semua makhluk, dosa dan perbuatan maksiat.
Padahal, mestinya perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia menjadikan mereka

ditimpa berbagai macam siksaan, akan tetapi pemaafan dan pengampunan-Nya menghalangi

turunnya siksaan tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

{‫ فإذا جاء أجلهم فإن هللا كان‬،‫الناس بما كسبوا ما ترك على ظهرها من دابة ولكن يؤخرهم إلى أجل مسمى‬
َ ‫ولو يؤاخذ هللا‬

‫}بعباده بصيرا‬

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan (dosa) mereka, niscaya

Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun, akan

tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila

datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-

Nya” (QS Faathir:45).

Inilah kesempurnaan pemaafan-Nya, yang kalau bukan karena itu niscaya Dia tidak akan

meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun.

Senada dengan ayat di atas, dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda, “Tidak ada satupun yang lebih bersabar menghadapi gangguan (celaan) yang

didengarnya melebihi Allah Ta’ala. Sungguh orang-orang (kafir) telah menyekutukan-Nya dan

mengatakan (bahwa) Dia mempunyai anak, (tapi bersamaan dengan itu) Dia tetap

menangguhkan siksaan dan memberi rezki bagi mereka”.

Pembagian sifat al-’afw (memaafkan) dari Allah Ta’ala

Sifat al-afw (memaafkan) ini ada dua macam:

1. Yang pertama: pemaafan-Nya yang (bersifat) umum bagi semua orang yang berbuat maksiat,

dari kalangan orang-orang kafir maupun yang selain mereka. (Yaitu) dengan tidak menimpakan

siksaan yang telah ada sebab-sebabnya, yang seharusnya menjadikan mereka terhalangi dari
kenikmatan (duniawi yang mereka rasakan), padahal mereka menentang-Nya dengan mencela-Nya

(menisbatkan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya), menyekutukan-Nya dan melakukan berbagai

macam penyimpangan lainnya. (Bersamaan dengan itu) Allah (tetap) memaafkan (menangguhkan

siksaa-Nya), memberi rezki dan menganugerahkan berbagai macam nikmat (duniawi) lahir dan batin

kepada mereka.

2. Yang kedua: Pemaafan dan pengampunan-Nya yang (bersifat) khusus bagi orang-orang yang

bertaubat, yang meminta ampun, yang berdoa dan menghambakan diri (kepada-Nya), demikian

pula bagi orang-orang yang mengharapkan (rahmat-Nya) dengan musibah-musibah yang menimpa

mereka. Maka semua orang yang bertaubat kepada-Nya dengan tobat yang nashul, maka Allah

akan mengampuni dosa apapun yang dilakukannya, (baik itu) kekafiran, kefasikan maupun maksiat

(lainnya). Semua dosa tersebut termasuk dalam (keumuman) firman Allah Ta’ala,

{‫}قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم ال تقنطوا من رحمة هللا إن هللا يغفر الذنوب جمي ًعا إنه هو الغفور الرحيم‬

“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah

kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.

Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (az-Zumar:53).

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL- GHAFUR

Memahami nama Allah yang maha agung ini merupakan pintu utama untuk mencapaI

kedudukan yang tinggi (di sisi-Nya), khususnya jika (setelah memahaminya dengan baik) kita

berusaha untuk merealisasikan kandungan dan konsekwensi yang terkandung dalam nama ini.

Yaitu melakukan istighfar (meminta ampun kepada Allah) secara kontinyu, meminta pemaafan,

selalu bertobat, mengharapkan pengampunan dan tidak berputus asa (dari rahmat-Nya), karena

Allah Ta’ala Maha Pema’af lagi Maha Pengampun, sangat mudah bagi-Nya untuk mengampuni

dosa (hamba-hamba-Nya) bagaimanapun besarnya dosa dan maksiat tersebut. Maka seorang
hamba senantiasa berada dalam kebaikan yang agung selama dia selalu meminta pemaafan dan

mengharapkan pengampunan dari Allah.

Cobalah renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut ini:

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah

Ta’ala berfirman, “Seorang hamba melakukan perbuatan dosa, kemudian dia berdoa: “Ya Allah

ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia

meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan

dosa”. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa,

“Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa,

sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas

perbuatan dosa”. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu

berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah

berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan

membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu (wahai hamba-Ku), maka sungguh Aku telah

mengampunimu”[14]. Yaitu, “Selama kamu terus bertaubat, memohon dan kembali (kepada-

Ku)”.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

{ً‫}إن هللا كان عفواً غفورا‬

“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisaa’:43).

Beliau berkata: “Artinya: Allah memiliki banyak pemaafan dan pengampunan bagi hamba-

hamba-Nya yang beriman, dengan memudahkan dan meringankan syariat-Nya bagi mereka,

sehingga mudah bagi mereka untuk menunaikannya dan tidak menyusahkan.


Termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah Rahmat-Nya bagi umat (Islam) ini

dengan Dia mensyariatkan bersuci dengan tanah (debu) sebagai pengganti air ketika tidak

mampu menggunakan air.

Dan termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah dengan Dia membukakan pintu

taubat dan kembali kepada-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa, bahkan dia menyeru

mereka untuk bertaubat dan menjanjikan pengampunan bagi dosa-dosa mereka.

Juga termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah bahwa seandainya seorang

mukmin datang menghadap-Nya (di akhirat nanti) dengan membawa dosa sepenuh bumi, tapi dia

tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan memberikan pada hamba-Nya itu

pengampunan yang sepenuh bumi (pula).

Termasuk (bentuk) pemaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan shaleh bisa

menghapuskan perbuatan buruk dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,

{‫ت‬ َّ ‫ت يُ ْذ ِهبْنَ ال‬


ِ ‫سيِّئَا‬ ِ ‫سنَا‬
َ ‫الح‬
َ َّ‫}إن‬

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk”

(QS Huud:114).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikutkanlah perbuatan buruk dengan

perbuatan baik, maka niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk

tersebut.

Demikian juga termasuk (bentuk) pemaafan-Nya adalah bahwa semua musibah yang menimpa

seorang hamba pada diri, anak maupun hartanya, (itu semua) akan menghapuskan dosa-dosanya,
khususnya jika hamba itu mengharapkan pahala (dari) musibah tersebut dan menunaikan sikap

bersabar dan ridha (dengan takdir Allah Ta’ala terhadap dirinya).

Dan termasuk (bentuk) pemaafan-Nya yang agung adalah bahwa hamba-Nya selalu menentang

(perintah)-Nya dengan (melakukan) berbagai macam maksiat dan dosa besar, tapi Dia selalu

berlaku lembut dan memberikan maaf-Nya kepadanya, kemudian dia melapangkan dada hamba-

Nya itu untuk bertobat (kepada-Nya), lalu Dia menerima taubatnya. Bahkan Allah Ta’ala

bergembira dengan taubat hamba-Nya padahal Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji, tidak akan

memberi manfaat bagi-Nya ketaatan orang-orang yang taat, sebagaimana tidak akan merugikan-

Nya kemaksiatan orang-orang yang berbuat maksiat.

KESIMPULAN

Sesungguhnya pintu-pintu pemaafan dan pengampunan-Nya senantiasa terbuka (lebar), dan Dia

senantiasa dan selalu bersifat maha pemaaf dan pengampun. Sungguh Dia telah menjanjikan

pengampunan dan pemaafan bagi orang-orang yang mengusahakan sebab-sebabnya,

sebagaimana dalam firman-Nya :

{‫}وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحا ً ثم اهتدى‬

“Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman,

beramal shaleh kemudian tetap di jalan yang benar” (QS Thaaha:82).

Demikianlah, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita pemaafan-Nya dan

memuliakan kita dengan pengampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pema’af lagi Maha

Pengampun.

Anda mungkin juga menyukai