Disusun oleh:
Tinka Salihah
Yahya Almajid
Muhammad Rayhan Madani
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya
kami bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah ini adalah
“KEBIJAKAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN DALAM MASALAH
MANAJEMEN KURIKULUM, SDM, PEMBIAYAAN, DAN MANAJEMEN
SARANA PRASARANA”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dari mata
kuliah Kebijakan Pendidikan.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah yang bersangkutan yang telah memberi kami tugas. Dan terimakasih kepada tim yang
sudah turut andil dalam pembuatan makalah ini.
Karena keterbatasan waktu dan kemampuan kami, penyusunan makalah ini jauh dari kata
sempurna. Maka, apabila ada kritik dan saran tang membangun senantiasa kami terima. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi kami yang membuat makalah, serta teman-teman kami sekalian.
Pemakalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….I
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………...II
BAB I………………………………………………………………………………………........1
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………....1
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………….1
BAB II…………………………………………………………………………….……...…...…2
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………….…..2
A. Hakikat desentralisasi…………………………………………………………………………......
B. Konsep desentralisasi pendidikan……………………………………………………………….
C. Tujuan desentralisasi pendidikan………………………………………………………………..
D. Syarat keberhasilan desentralisasi pendidikan……………………………………………….
E. Langkah-langkah desentralisasi pendidikan………………………………………………….
PENUTUP…………………………………………………………………………….……………
A. Kesimpulan……………………………………………………………………………………………
B. Saran…………………………………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….......
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
System pendidikan nasaional telah mengalami tiga kali perubahan Dari Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1950, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1989. Selama waktu tersebut telah terjadi perubahan dan perkembangan, baik dari aspek
substansi maupun kekuasaan dan kewenangan penyelenggaranya.
Perubahan dari aspek kekuasaan dan kewenangan penyelenggaraan pendidikan, antara lain
terlihat dari perubahan system pendidikan nasional yang mulanya sentralistik kini menjadi
pendidikan system nasional yang mengalami desentralisasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat desentralisasi?
2. Bagaimana konsep desentralisasi pendidikan?
3. Apa tujuan desentralisasi pendidikan?
4. Apa syarat keberhasilan desentralisasi pendidikan?
5. Langkah-langkah desentralisasi pendidikan?
C. Manfaat
Kehadiran makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pembelajaran landasan
pendidikan khususnya pengetahuan tentang konsep desentralisasi pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Desentralisasi
Secara etimologis, istilah kata desentralisasi dari bahasa latin yaitu de, artinya lepas dan
centreum, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara dalam
Undang-Undang No.32 Tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintah dalam system NKRI.
Pengertian desentralisasi pendidikan menurut (Hurst dalam Nugroho, 2000: 2), “the
decentralization process implies the transfer of certain function from small group of policymakers
to a small group of authorities at the local level” dengan kata lain desentralisasi merupakan proses
penyerahan fungsi-fungsi tertentu dari sekelompok kecil pembuat kebijakan kepada satu kelompok
kecil pemegang kekuasaan pada tataran lokal. Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan
jelas proses penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan yang kemudian diberikan kepada pemerintah
daerah.
Dari beberapa pernyataan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa desentralisasi
pendidikan adalah proses dimana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima
pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas, pelaksanaan pendidikan, termasuk
pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan.
Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”.
Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi
untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian
ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung
pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen
pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi
pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas
tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di
masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik
budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020.
Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor
internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga
dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat harkat dan martabat
masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang
bermutu dan produktif.
Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah
dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah.
Sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian
kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan
kualitas pendidikan. Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi
berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa Negara Amerika
Latin, di Amerika Serikat dan Eropa.
Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih
besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada
pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah.
Implisit ke dalam strategi desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai
efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal yang
pemerintah dan masyarakat).
Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan
kualitas proses belajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi
pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar-mengajar. Partisipasi orang tua dalam
proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor yang paling menentukan.
meningkatkan fleksibilitas melalui penerapan deregulasi merupakan kunci utama untuk memacu
efektivitas desentralisasi pendidikan di daerah dan sekolah. Deregulasi merupakan proses
pemangkasan jalur birokrasi yang terlalu ketat dan panjang.
Deregulasi juga berarti menghilagkan rantai birokrasi yang terlalu banyak. Sebagai system
semetinya bukan untuk mempersulit dan memperlambat proses, tetapi sebaiknya pemperlancar
proses layanan pendidikan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Begitu pula keputusan-keputusan menteri yang tidak sejalan dengan prinsip desentralisasi
dan demokratisasi harus diganti. Dibidang organisasi pendidikan, pemerintah pusat menerapkan
struktur organisasi pendidikan nasional, sementara organisasi pendidikan didaerah diserahkan
kepada daerah masing-masing agar sesuai dengan kebutuhan dan situasai daerah.
Masalah yang dihadapi oleh Negara Indonesia adalah tidak meratanya kemampuan daerah
satu dengan yang lainnya. Di bidang kurikulum, pemerintah pusat menetapkan taksonomi ilmu atau
sejumlah kometensi yang wajib dikembangkan di seluruh jenis dan jenjang pendidikan, dan kalau
toh masih memerlukan “ Core Curriculum” hanya yang bermuatan dengan pembentukan akhlaq dan
nilai-nilai serta wawasan nasional; sementara kurikulum lainnya ditetapkan di daerah, dengan
perbandingan 30% dari pusat dan 70% dari daerah.
Di bidang sumber daya manusia, pada tahap awal desentralisasi tetap dimungkinkan peran
serta pemerintah pusat yang dikurangi secara minimal dalam membantu daerah yang kurang sumber
dayanya. Namun, dalam jangka panjang diharapkan masing-masing daerah otonom dapat
menyediakan sumber daya manusia secara mandiri.
Hal ini bukan berarti orang yang berasal dari daerah itu saja yang boleh bekerja di daerah
itu, tetapi secara demokratis dan alami akan tersaring orang-orang yang berkualitas untuk
menangani manajemen pendidikan. Di bidang sarana dan prasarana pendidikan, hendaknya
pemerintah pusat tidak lagi mendominasi, tetapi manajemen pendidikan ditopang oleh sarana dan
prasarana yang diadakan oleh daerah itu sesuai dengan kemampuannya.
Pemerintah Pusat akan memperoleh masukan dana dari pajak dan perusahaan nasional dan
multi nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat untuk penyelengaraan negara termasuk
subsidi di bidang pendidikan. Di bidang peserta didik, warga masyarakat dapat secara leluasa untuk
menentukan pilihan sekolahnya, misalnya dari daerah otonom satu ke daerah otonom lain sangat
terbuka dimungkinkan.
Di bidang kerjasama dengan berbagai pihak, daerah diberi kesempatan seluasluasnya untuk
melaksanakannya dengan menggali peran serta stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan.
Bahkan, dimungkinkan seluas-luasnya kerjasama daerah dengan luar negeri untuk kepentingan
pendidikan. Peran serta masyarakat industri, perusahaan, instansi pemerintah dan swasta di daerah
dalam memajukan pendidikan sangat urgen dijalin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa desentralisasi pendidikan
pada hakikatnya berkorelasi positif terhadap peningkatan mutu lulusan lembaga pendidikan dan
efesiensi pengelolaan pendidikan. Apabila sekolah dapat dikelola dengan optimal oleh personalia
yang profesional, pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak-pihak yang lebih dekat dan tahu
tentang kebutuhan dan potensi sekolah, maka mutu pendidikan akan lebih maksimal sesuai yang
diharapkan.
B. Saran
Riant Nugroho. 2000. Desentralisasi Tanpa Revolusi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Tim Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.