Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“ISU KONTEMPORER MENGENAI WAJIB BELAJAR”

Disusun untuk Memehuhi Tugas


Mata Kuliah: Perkembangan Dan Isu-Isu Pendidikan Global
Dosen Pengampu: Dr. Ir. Hj. Tri Widayatsih, M.Si

Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Triokoyulisma (NIM 20216013031)
2. Rusmita (NIM 20216013032)
3. Fahrianuddin (NIM 20216013033)
4. Leka Rachmawati (NIM 20216013034)

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2022

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, atas berkah dan hidayahNya, kami dapat menyelesaikan


penyusunan makalah yang berjudul, “Isu Kontemporer Mengenai Wajib Belajar,” dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan dan Isu-Isu Pendidikan. Dengan
selesainya tugas makalah ini, tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Hj.
Tri Widiyatsih, M.Si, selaku dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dan arahan
kepada kami akan perkembangan isu-isu pendidikan yang ada selama ini, sehingga melalui
implementasi wajib belajar di berbagai negara serta hambatan-hambatan yang dialami dapat
dijadikan acuan dan tolok ukur, bagaimana pendidikan yang ada di Indonesia khususnya,
serta hambatan-hambatan yang dialami, dengan harapan dapat dicarikan solusi agar
pendidikan di Indonesia nantinya jauh lebih baik lagi.
Kami yakin dan menyadari bahwa, dalam membuat makalah ini, tentu ada
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya. Untuk itu, diharapkan kiranya kritik
dan saran yang membangun dapat kami jadikan evaluasi dan acuan untuk dapat lebih baik
lagi dalam menyusun makalah.
Semoga, makalah ini dengan segala kekurangan dan kelemahannya dapat dijadikan
acuan dan manfaat bagi kalangan akademisi maupun guru-guru untuk mengimplementasikan
pembelajaran kepada peserta didik lebih profesional lagi.

Palembang, April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................................................. iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1


A. Latar Belakang masalah ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................ 2
D. Manfaat Penulisan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3


A. Pendidikan Elitis dan Pendidikan Populis ....................................................................... 3
B. Wajib Belajar .................................................................................................................... 3
C. Implementasi Wajib Belajar di beberapa Negara ........................................................... 4
D. Hambatan-Hambatan yang Dialami ............................................................................... 8

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 16


A. Simpulan ......................................................................................................................... 16
B. Saran ............................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Wajib belajar menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga
negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pendidikan merupakan hal paling penting dan investasi masa yang akan datang dalam
suatu negara. Pendidikan merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
pembangunan masyarakat Indonesia untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat untuk lebih
baik.
Berdasarkan pengertian belajar di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
proses atau usaha yang dilakukan setiap individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku tertentu baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap dan nilai yang
positif sebagai pengalaman untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah
dipelajari.
Menurut Jalal dan Musthafa di dalam Education Reform in the Context of Regional
Autonomy : The Case of Indonesia terdapat dua konsep beda dan saling berkaitan dalam
desentralisasi pendidikan. Pertama, transfer otoritas kebijakan pendidikan dari pusat ke
daerah.
Dalam konsep ini pemerintah harus mendelegasikan kebijakan-
kebijakan pendidikan kepada pemerintah daerah beserta dana yang dibutuhkan untuk
membiayai tanggung jawab yang dibebankan.
Kedua, pergeseran berbagai keputusan pendidikan dari pemerintah ke masyarakat.
Ide ini berasal karena masyarakat harus lebih tahu dan memutuskan sendiri program
pendidikan yang dikehendaki karena mereka akan memanfaatkan pendidikan.
Lingkungan sangat berpengaruh pada proses belajar sebagai kegiatan utama, bukan
sebagai alternatif peran (tugas) guru dan pengajar profesional. Lingkungan sangat sensitif
terhadap perbedaan individu dan kelompok pada latar belakang individu, pengatahuan
individu, motivasi dan kemampuan indvidu masing-masing.
Oleh karena itu harus, lingkungan belajar harus mendukung berbagai perbedaan yang
dimiliki individu atau kelompok baik latar belakang, pengatahuan, motivasi dan kemampuan
masing-masing individu supaya dapat memberikan rasa aman dan kenyamanan dalam
proses belajar dan dapat tercapainya tujuan belajar.
Dukungan pelaksanaan wajib belajar 12 tahun harus diiringi dengan meningkatkan
kualitas manajemen pelaksana di tingkat sekolah dalam pemanfaatan dana dan sosialisasi

1
terkait program dukungan pemerintahan ke masyarakat, misalnya informasi program mitra
warga, serta peningkatan kualitas mutu pendidikannya, baik dari peserta didik maupun dari
tenaga pendidik.
Pihak Sekolah lebih menjalin komunikasi kepada masyarakat atau walimurid agar
berpartisipasi dalam pelaksanaan dan pengawasan pendidikan. Selain itu juga lebih mandiri
dan tidak terlalu bergantung pada pembiayaan dari pemerintah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pendidikan Elitis dan Pendidikan Populis
2. Apa Pengertian Wajib Belajar
3. Bagaimana Implementasi Wajib Belajar di beberapa Negara
4. Apa Hambatan-Hambatan yang Dialami dalam penerapan Wajib Belajar

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Pendidikan Elitis dan Pendidikan Populis
2. Untuk mengetahui Pengertian Wajib Belajar
3. Untuk mengetahui Implementasi Wajib Belajar di beberapa Negara
4. Untuk mengetahui Hambatan-Hambatan yang Dialami dalam penerapan Wajib
Belajar

D. Manfaat Penulisan
Melalui penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan
pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan
sekarang ini, sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar pendidikan di
masa yang akan dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang diberikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendidikan Elitis dan Pendidikan Populis


1. Pendidikan Elitis
Elitisme adalah sebuah konsep yang berasal dari kata “elite” yang berarti “kelompok kecil
orang-orang yang mempunyai derajat tinggi, orang-orang terhormat; orang-orang terbaik;
sesuatu yang dianggap paling baik atau mewah (tentang sesuatu benda atau barang)”.
Elitisme adalah sebuah paham atau ideologi atau “isme” tentang kalangan elite. Dengan kata
lain, maksud elistisme pendidikan di sini adalah suatu pandangan yang melihat bahwa
pendidikan itu hanyalah hak dan otoritas orang-orang elite saja, bukan orang-orang kecil dan
terpinggirkan. Sementara pendidikan elitis adalah suatu bentuk pendidikan yang hanya
diperuntukkan bagi kalangan terbatas yaitu kalangan “elite” saja.

2. Pendidikan Populis
POPULIS Berasal dari bahasa Romania "Populis" yang artinya adalah Rakyat, serta Bahasa
Latin "Popus" yang sama artinya dengan populis. Populis adalah penganut paham populisme
yang memiliki pengertian sebagai paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan
dan keutamaan rakyat kecil.

Pendidikan populis merupakan pendidikan yang mengedepankan keadilan dan kesetaraan


dalam kehidupan sekolah dan proses pembelajaran, yang dilaksanakan dengan suasana
kepengasuhan.

B. WAJIB BELAJAR
Keseriusan pemerintah untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan. Salah satu contoh untuk hal
tersebut yaitu dengan dikeluarkannya kebijakan program Wajib Belajar. Program Wajib
Belajar 9 Tahun tercantum dalam peraturan pemerintah No.47 tahun 2008 tentang Wajib
Belajar yang merupakan pelaksanaan dari UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) No.20
Tahun 2003.
Kemudian sebagai keberlanjutan dari program Wajib Belajar 9 Tahun, pada tahun
2012 ini Pemerintah Pusat mencanangkan program Wajib Belajar 12 Tahun atau yang lebih
dikenal dengan nama Pendidikan Menengah Universal (PMU). Adapun payung hukum untuk
program PMU ini yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.80 Tahun 2013.
Program ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan keberhasilan pelaksanaan program

3
Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun sekaligus menyiapkan generasi emas Indonesia
2045.

Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.

Wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh


pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara Indonesia.

Wajib belajar bertujuan memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk
dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

C. Implementasi Wajib Belajar di beberapa negara


1. Finlandia
Sistem pendidikan di Finlandia disebut sebagai sistem pendidikan yang terbaik di dunia. Tentu
saja hal ini tidak lepas dari peran besar pemerintahnya dan riset yang dilakukan selama
bertahun-tahun.

Sistem pendidikan Finlandia mewajibkan anak-anak untuk belajar 9 tahun saja. Pendidikan
Dasar di Finlandia merupakan fase wajib belajar sembilan tahun bagi setiap anak berusia 7-
16 tahun. Setiap siswa masuk ke sekolah dekat rumah yang ditunjuk oleh pemerintah
daerahnya, walaupun di beberapa kota besar orang tua dapat memilih sekolah untuk anaknya
dalam batasan tertentu.Tidak ada penggolongan kelas maupun penjurusan selama tahap ini.
Enam tahun pertama setiap guru kelas mengajar hampir semua mata pelajaran. Baru di tiga
tahun terakhir terdapat guru-guru khusus untuk hampir setiap mata pelajaran. Tidak ada Ujian
Nasional untuk tingkat pendidikan dasar. Evaluasi belajar siswa dilakukan secara
berkelanjutan oleh guru terkait, dan laporan hasil belajar diberikan setidaknya sekali dalam
satu tahun akademis. Hasil evaluasi inilah yang digunakan untuk menentukan arah
pembelajaran siswa selanjutnya di tingkat menengah atas. Evaluasi ini juga dimaksudkan
untuk menjadi bahan masing-masing siswa untuk memahami area-area pengembangan
dirinya ke depannya dan menumbuhkan minat pembelajaran mandiri. Setelah menyelesaikan
Pendidikan Dasar 9 tahun, siswa mendapat sertifikat kelulusan. dan dapat melanjutkan ke
Pendidikan Menengah Atas, yang terdiri terdiri dari dua jenis pendidikan, yaitu : Pendidikan
Umum dan Pendidikan Vokasi.

4
2. Jepang
Sistem Pendidikan Jepang terdiri dari enam tahun Pendidikan dasar (Primary Education) dan
enam tahun Pendidikan menengah (secondary Education). Pendidikan menengah di jepang
dibagi menjadi tiga tahun Pendidikan menengah bawah dan tiga tahun Pendidikan bawah.
Karena negara Jepang memiliki program wajib belajar Sembilan tahun, maka Pendidikan
wajib di Jepang adalah enam tahun Pendidikan dasar dan tiga tahun Pendidikan menengah
bawah.

Setelah mengenyam Pendidikan Menengah bawah, siswa di Jepang memiliki pilihan untuk
melanjutkan ke Pendidikan menengah atas (high school) selama tiga tahun atau belajar di
Sekolah tinggi kejuruan atau diploma. Siswa yang lulus high school dapat melanjutkan ke
perguruan tinggi. Untuk siswa yang memiliki kebutuhan khusus, Jepang memiliki special
Needs Education.

Sistem pembelajaran di Jepang pada umumnya berlangsung lima hari dalam satu minggu
yaitu mulai hari Senin hingga hari Jumat. Meskipun demikian ada juga sekolahan di Jepang
yang tetap belajar di hari Sabtu. Setelah selesai sekolah, siswa mendapatkan giliran untuk
membersihkan kelas kemudian mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang disebut Students
Clubs.

3. Amerika Serikat
Tak jauh berbeda dengan di Indonesia, sistem pendidikan dasar atau wajib di Amerika Serikat
adalah 12 tahun atau 12 grade. Sekolah dasar dan menengah adalah wajib bagi seluruh siswa
di Amerika Serikat, akan tetap jenjang usia siswa berbeda-beda di setiap Negara bagian.
Siswa di Amerika Serikat memulai pendidikanya dari jenjang Kindergarten (usia 5 sampai 6
tahun) hingga menyelesaikan pendidikan menegah pada kelas 12 (usia 18 tahun). Terdapat
14.000 sekolah di Amerika Serikat dan setiap tahunya pemerintah Amerika Serikat
mengalokasikan dana pendidikan sebesar $500 triliun untuk digunakan keperluan sekolah
dasar dan menengah.

Pendidikan dasar
Pendidikan dasar di Amerika Serikat berjenjang dari Kindergarten hingga Fithh grade (Kelas
5), tetapi terkadang juga berjenjang hingga Fourth grade (kelas 4), Sixth grade (kelas 6)
atau eighth grade (kelas 8) tergantung sisitem kurikulum pada school district tersebut.
Kurikulum pembelajaran dipilih oleh school district mengacu pada standar pembelajaran di
Negara bagian tersebut. Standar pembelajaran adalah tujuan yang harus dicapai oleh School
district yang harus mengacu pada AYP (Adequate yearly program).

5
Suasana pembelajaran pada sekolah dasar di Amerika Serikat berbeda dengan pembelajaran
pada sekolah di Indonesia. Satu kelas terdiri dari dua puluh higga tiga puluh siswa. Guru
Sekolah dasar di Amerika Serikat dibekali pendidikan lanjutan mengenai
perkembangan congnitive and psychological development. Guru-guru di Amerika Serikat
telah menyelesaikan pendidikan lanjutan Sarjana dan atau Pasca Sarjana (Bachelors and/or
Masters degree) dalam bidang Early Childhood and Elementary Education.

Pendidikan Menengah
Jenjang pendidikan menengah di Amerika Serikat dibagi menjadi dua tahap (middle school/
junior high) mulai pada jenjang sixth, seventh, eighth and ninth grade (kelas 6, 7, 8, 9).
Jenjang pendidikan pada middle school/ junior high (grade/kelas) di tentukan oleh faktor
demografi seperti jumlah usia siswa sekolah menegah. Hal ini bertujuan untuk
mempertahankan populasi siswa sekolah yang stabil. Pada jenjang ini, siswa diberikan
kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang dikehendaki dan menggunakan system kelas
berpindah (moving class).
Senior High(kelas 9,10,11,12) adalah jenjang lanjutan setelah middle school/ junior high,
biasanya Jenjang ini dimulai dari ninth grade (freshman), tenth grade(sophomores), eleventh
grade(Juniors), twelfth grade(seniors). Perlu diketahui bahwa jenjang middle school/Junior
high dan Senior high berbeda-beda di setiap Negara bagian, mengacu pada demografi usia
siswa di Negara bagian tersebut.
Pendidikan menengah memiliki struktur kurikulum yang berbeda dengan di Indonesia. Pada
jenjang ini, siswa diwajibkan mengabil sejumalah mata pelajaran wajib (mandatory subjects)
dan memilihi mata pelajaran pilihan (electives).
Mata pelajaran wajib (mandatory subjects) meiliputi :
• Science (Ilmu pengetahuan alam) meliputi Biologi, Kimia dan Fisika
• Mathematics (Matematika) meliputi aljabar, geometri, pre-calculus dan statistika
• English (pelajaran bahasa inggris) meliputi sastra, humaniora, mengarang dan
verbal(praktek)
• Physical education (Olahraga)
• Mata pelajaran pilihan (electives) meliputi:
• Atletics meliputi cross country, football, basketball, track and field, swimming, tennis,
gymnastics, waterpolo, soccer, softball, wrestling, cheerleading, volleyball, lacrosse, ice
hockey, fieldhockey, crew, boxing, skiing/snowboarding, golf, mountain biking, marching
band
• Career and Technical Education meliputi agriculture/agriscience, Business/Marketing,
Family and Consumer Science, Health occipations

6
• Computer word processing meliputi programing and design
• Foreign langguages meliputi bahasa Spanyol dan Perancis (umum) Bahasa Cina, Latin,
Yunani, Jerman, itali dan Jepang (tidak umum)
• Performing Arts/Visual Arts meliputi, paduan suara, band, orchestra, drama, seni rupa,
fotografi, ceramics dan dance
• Publishing meliputi Journalisme/ Koran siswa, buku tahunan dan majala siswa

4. Inggris
Pemerintah Inggris memberlakukan program wajib belajar nasional. Berdasarkan Undang-
Undang Pendidikan tahun 1996, orangtua atau wali di negara bagian Inggris diwajibkan untuk
memastikan bahwa setiap anak berusia lima hingga enam belas tahun mendapatkan
pendidikan. Orangtua atau wali yang tidak mengikuti peraturan ini akan mendapati sanksi
seperti kurungan penjara tiga bulan dan /atau denda £1000. Usia wajib belajar ini mencakup
jenjang pendidikan dasar (primary school) dan jenjang pendidikan menengah (secondary
school) tingkat awal.

Jenjang Pendidikan Wajib di Inggris


Jenjang pendidikan di Inggris memiliki empat tahapan yaitu pre school (<5 tahun), Primary
School (4-11 tahun), Secondary School (11-16 tahun) dan Higher Education (16 - 18+ tahun).
1. Pendidikan pra-dasar (pre-school)
Pendidikan pra-dasar diikuti oleh peserta didik berusia di bawah 5 tahun. Adapun
pembelajaran dilakukan dengan cara bermain. Area pembelajaran meliputi bahasa dan
komunikasi, perkembangan fisik, perkembangan pribadi, sosial dan emosional, literasi,
matematika, pemahaman tentang dunia, seni dan rupa (Gov.Uk, n.d(a)). Tidak ada ujian
khusus untuk menyelesaikan pendidikan ini. Pemerintah menyediakan pendidikan pra-dasar
tanpa biaya, 15 jam perminggunya untuk anak berusia tiga tahun ke atas selama 38 minggu
(Gov UK, n.d.(b)). Orangtua dapat memberikan tambahan lama waktu sekolah dengan biaya
pribadi. Anak yang kedua orangtuanya memiiki penghasilan di bawah upah minimum
nasional, mendapatkan pendidikan pra-dasar tanpa bayar dari pemerintah selama 30 jam per
minggu (Gov UK, n.d.(b)).
2. Pendidikan dasar (primary school)
Pendidikan dasar diikuti oleh peserta didik berusia 4–11 tahun dan berlangsung selama tujuh
tahun. Ada duaKey Stage di tingkat ini yaitu Key Stage 1 (untuk tahun pertama dan kedua)
serta Key Stage 2 (untuk tahun ketiga hingga kelima). Key Stage adalah pembagian tahapan
pembelajaran sesuai dengan ketrampilan dan pengetahuan yang ingin dicapai pada akhir tiap
tahapan. Pada Key Stage 1 dan 2, peserta didik belajar matematika, bahasa Inggris, sains,

7
desain dan teknologi, sejarah, geografi, keterampilan dan desain, musik, olahraga, dan
komputer. Selain itu, pada key stage 2 peserta didik juga belajar bahasa asing. Sekolah juga
diwajibkan untuk menyediakan mata pelajaran agama dijenjang ini. Pelajaran agama tidak
spesifik pada pendalaman satu agama saja, namun berbagai agama di dunia. Jika
berkeberatan, orangtua dapat meminta peserta didik untuk tidak mengikuti pelajaran ini (Gov
UK, n.d.(c)).
3. Pendidikan menengah (secondary school)
Pendidikan menengah berlangsung selama lima hingga tujuh tahun. Peserta didik pendidikan
menengah tingkat pertama berusia 11–16 tahun. Ada dua Key Stage yaitu Key Stage 3 (untuk
tahun ketujuh hingga kesembilan) dan Key Stage 4 (untuk tahun kesepuluh hingga
kesebelas). Setelah menyelesaikan Key Stage 4 (usia 16 tahun), peserta didik akan
mengambil ujian General Certificate of Secondary Education (GCSE). Setelah menyelesaikan
GCSE, peserta didik dapat memilih untuk melanjutkan ke pendidikan menengah atas (jalur
akademik), pendidikan vokasi (vokasional), program magang (vokasional), pendidikan
berkelanjutan (further education), atau langsung bekerja. Pendidikan berkelanjutan adalah
pem-belajaran pada satu institusi yang mana tingkatan pembelajaran tidak tergolong
tingkatan pendidikan tinggi.
Peserta didik yang memilih untuk melanjutkan ke pendidikan menengah tingkat akhir berusia
16-18 tahun. Pada jalur ini peserta didik memiliki pilihan untuk mengambil berbagai tipe
qualifikasi seperti A-Level, International Baccalaureate, Cambridge preUniversity, atau
Foundation.

D. Hambatan-hambatan yang dialami


1. Masalah Pencapaian Mutu Pendidikan di Sekolah
Mutu pendidikan merupakan salah satu tolok ukur yang menentukan martabat atau
kemajuan suatu bangsa. Dengan mencermati mutu pendidikan suatu bangsa/negara,
seseorang akan dapat memperkirakan peringkat negara tersebut di antara negara-negara
di dunia. Oleh karena itulah, bangsa yang maju akan selalu memberikan perhatian besar
terhadap dunia pendidikannya, dengan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan, seperti meningkatkan anggaran pendidikan, menyelenggarakan
berbagai lomba dalam berbagai aspek pendidikan, atau mengirimkan para tunas bangsa
untuk menimba ilmu di negara lain. Beragam upaya ini dilakukan karena kesadaran akan
pentingnya pendidikan, dan keyakinan bahwa bangsa yang mengabaikan pendidikan
akan menjadi bangsa yang tertinggal, yang akan kalah bersaing dengan bangsa-bangsa
lain (Kurniasih, 2017:14).
Di Indonesia, rendahnya mutu pendidikan merupakan salah satu dari empat
masalah pokok pendidikan yang telah diidentifikasi sejak tahun 60-an. Perhatian terhadap

8
pendidikan memang cukup besar, dengan banyaknya usaha yang dilakukan, sampai kini
masalah mutu pendidikan tampaknya belum dapat diatasi. Keluhan tentang rendahnya
mutu lulusan masih terus bergema. Lulusan SD, SLTP, dan SLTA belum mampu bernalar
dan berpikir kritis, serta masih tergantung kepada guru. Kemampuan siswa untuk mandiri
belum terwujud, sehingga prakarsa siswa untuk memulai sesuatu tidak terlampau sering
ditemukan. Penguasaan siswa lebih terfokus pada pengetahuan faktual karena itulah yang
dituntut dalam ujian akhir. Pangkal penyebab dari semua ini tentu sangat banyak tetapi
tudingan utama banyak ditujukan kepada guru karena gurulah yang merupakan ujung
tombak di lapangan yang bertemu dengan siswa secara terprogram. Oleh karena itu, guru
dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap hasil yang dicapai oleh
siswa. (Depdiknas, 2003:98).
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 20039 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab II Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi secara rinci di
dalam GBHN butir 2a dan b, tentang arah dan tujuan pendidikan bahwa yang dimaksud
dengan manusia utuh itu adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang
memiliki hubungan secara vertical (dengan Tuhan) dan Horizontal (dengan lingkungan
dan masyarakat), dan konsentris (dengan diri sendiri), yang berimbang antara duniawi dan
ukhrawi.
Konsepnya sudah cukup baik. Tetapi di dalam pelaksanaannya pendidikan afektif
belum ditangani semestinya. Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan
pengembangan aspek kognitif. Pendidikan agama dan Pendidikan Moral Pancasila
misalnya yang semestinya mengutamakan penanaman nilai-nilai bergeser kepada
pengetahuan agama dan Pancasila. Keberhasilan pendidikan dinilai dari kemampuan
kognitif atau penguasaan pengetahuan. Pengembangan daya pikir dinomorsatukan,
sedangkan pengembangan perasaan dan pengamalan terabaikan. Padahal untuk
pengembangan perasaan dan hati agar memahami nilai-nilai tidak cukup hanya
berkenalan dengan nilai-nilai melainkan harus mengalaminya. Dengan mengalami
peserta didik dibuka kemungkinannya untuk menghayati hal-hal seperti kepercayaan diri,
kemandirian, keyakinan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghargaan
terhadap waktu dan kerja, kegairahan belajar, kedisiplinan, kesetiakawanan sosial, dan
semangat kebangsaan.

2. Masalah Peranan Guru yang Berhubungan dengan Kinerja

Dahulu pada sekolah sudah dapat beroperasi jika ada murid, guru, dan ruangan
tempat belajar dengan beberapa sarana seperlunya, guru merupakan satu-satunya

9
sumber belajar, ia menjadi pusat tempat bertanya. Tugas guru memberikan ilmu
pengetahuan kepadamurid. Cara demikian dipandang sudah memadai karena ilmu
pengetahuan guru belum berkembang, cakupannya masih terbatas.
Dengan singkat dikatakan tugas guru adalah “membelajarkan pelajar”. Guru
mendudukkan dirinya hanya sebagai bagian dari sumber belajar. Beraneka ragam sumber
belajar yang hanya justru dapat ditemukan di luar diri guru seperti perpustakaan, taman
bacaan, museum, orang-orang pintar, kebun binatang, toko buku dll. Sebagaimana
Comenius pernah mengingatkan bahwa alam ini adalah buku besar yang sangat lengkap
isinya.
Dari sisi kebutuhan murid, guru tidak mungkin seorang diri melayaninya. Untuk
memandu proses pembelajaran murid ia dibantu oleh sejumlah petugas lainnya seperti
konselor (guru BP), pustakawan, laboran, dan teknik sumber belajar. Dengan hadirnya
petugas lain tersebut guru kini memiliki cukup waktu untuk mengajarkan hal-hal yang
semestinya ia lakukan, tetapi selama itu tertelantarkan lantaran ketiadaan waktu karena
terpaksa menanggulangi kegiatan-kegiatan yang semestinya dilakukan oleh tenaga-
tenaga lainnya.
Peran guru dan kepala sekolah dinilai dari kinerja yang menghasilkan outcomes –
produktivitas bagi organisasi dan ganjaran bagi personil dalam bentuk gaji, tunjangan,
jaminan pekerjaan, pengakuan dari teman kerja dan atasan, serta kesempatan-
kesempatan promosi bagi para karyawan individual. Ini sejalan dengan faktor motivator
dan faktor kesehatan. Para karyawan pada umumnya sering mengukur kepuasan
pekerjaan dari sudut ganjaran ini, yang merupakan hal yang paling tangible yang mereka
terima dari pekerjaan. Individu bisa mendapatkan kepuasan pekerjaan dari rasa
pencapaian personal mereka melalui kerja dan juga dari feedback mengenai Kinerja
mereka. (Zahroh, 2015:61).
Penilaian harus menciptakan gambaran yang akurat mengenai peran guru dan
kepala sekolah melalui pekerjaan khas dari individu. Ini berarti deskripsi tugas khususnya
dalam fungsi pengajaran dan standar (kualitatif maupun kuantitatif) pengajaran adalah hal
mutlak. Penilaian tidak dilakukan hanya untuk mengungkapkan dari hasil suatu pekerjaan
guru dan kepala sekolah yang buruk. Hasil-hasil yang bisa diterima dan bagus harus
diidentifikasi sehingga mereka bisa diperkuat. Untuk mencapai tujuan ini, sistem penilaian
harus berkaitan dengan pekerjaan (job-related) dan praktis, mencakup standar-standar,
dan menggunakan ukuran-ukuran yang handal. Terkait dengan pekerjaan (job-related)
berarti bahwa sistem tersebut mengevaluasi perilaku-perilaku penting yang menentukan
keberhasilan pekerjaan (job analysis). Jika evaluasi tidak terkait dengan pekerjaan, ia
tidak valid. Dalam konteks ini penilaian guru dan kepala sekolah dalam melaksanakan
tugas sehari-hari oleh siswa secara teoritis sudah cukup memadai. (Mulyasa, 2017:108).

10
Melakukan kontak dan pendekatan manusiawi yang lebih intensif dengan murid-
muridnya. Pelayanan kelompok dan individual dalam bentuk memperhatikan kebutuhan,
mendorong semangat untuk maju berkreativitas, dan bekerja sama, menumbuhkan rasa
percaya diri, harga diri, dan tanggung jawab, menghargai waktu, dan kedisiplinan,
menghargai orang lain, dan menemukan jati diri. Inilah sisi pendidikan dari tugas seorang
guru yang telah lama terabaikan. Dari sini pembelajaran ia diharapkan mampu mengelola
proses pembelajaran (sebagai manajer), menunjukkan tujuan pembelajaran (director),
mengorganisasikan kegiatan pembelajaran (coordinator), mengkomunikasikan murid
dengan berbagai sumber belajar (komunikator), menyediakan dan memberikan
kemudahan belajar (fasilitator), dan memberikan dorongan belajar (stimulator).
3. Kekerasan di Sekolah
Tindakan kekerasan sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi
dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga maupun sekolah. Dalam menyelesaikan suatu
konflik atau permasalahan selalu disertai dengan tindakan kekerasan. Secara umum,
tindakan kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan orang
lain, baik secara fisik maupun secara psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi
fisik semata, tetapi juga berbentuk eksploitasi psikis. Dan justru kekerasan psikislah yang
perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si
korban.
Dewasa ini, sering terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan yang sudah menjadi
sorotan masyarakat. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal seperti
membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul
siswa telah menjadi fenomena di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah
berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring dengan meningkatknya
agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah. Tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan
sering dikenal dengan istilah Bullying.
Tindakan kekerasan dalam pendidikan ini dapat dilakukan oleh siapa saja,
misalnya teman sekelas, kakak kelas dengan adik kelas, guru dengan muridnya dan
pemimpin sekolah dengan staffnya. Tindakan kekerasan tersebut sama sekali tidak bisa
dibenarkan meskipun terdapat beberapa alasan tertentu yang melatarabelakanginya.
Tindakan kekerasan juga bisa terjadi dalam bentuk aksi demonstrasi mahasiswa, baik
dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk lisan. Misalnya, mencaci maki, berkata kasar
dan kotor, serta tawuran yang terjadi antar mahasiswa.
Kekerasan di dunia pendidikan kembali terjadi. Beberapa kali kasus selalu terjadi,
baik sekolah kota maupun disekolah yang ada di desa. Ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan kekerasan terhadap
anak di lingkungan sekolah kembali terjadi karena belum ada tindakan tegas dari

11
pemerintah terhadap pelaku kekerasan di sekolah. "Guru yang melakukan kekerasan,
setahu saya belum ada yang sampai dipecat karena Menteri menganggap ini hal biasa
untuk mendisiplinkan anak. Padahal itu salah," katanya saat berbincang dengan okezone,
Rabu (28/9/2011). Dampaknya, psikologis anak akan menjadi tertekan. "Itu salah satu
proses radikalisme terjadi. Kalau sekolah sudah mengajarkan kekerasan itu bagian dari
menumbuhkan sikap radikal," ujarnya.
Padahal Undang-Udang perlindungan anak tahun 2002 pasal 59 jelas
menyebutkan sekolah wajib menjadi zona anti kekerasan. Guru yang melakukan
kekerasan terhadap anak tidak memenuhi syarat psikologis untuk menjadi tenaga
pengajar.
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
1) Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
2) Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa (UU
Sisdiknas).
3) Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan,
atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.

12
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual, yaitu:
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).” (UU Perlindungan Anak). Selanjutnya secara khusus, undang-
undang ini bahkan mengamanatkan bahwa siswa wajib dilindungi dari tindak kekerasan
yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.

Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang
bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.” (UU Perlindungan Anak).

4. Dana Pendidikan

Muhammad Nuh sebagai menteri pendidikan nasional mengajukan tambahan


dana untuk anggaran pendidikan sebesar Rp 11,762 triliun dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2011. Rencananya tambahan dana ini diajukan
untuk menambah anggaran beasiswa dan juga pendidikan di daerah timur Indonesia. Di
satu sisi, hal ini patut diapresiasi mengingat dana pendidikan di Indonesia akan ditambah.
Tentu saja, jika penyamapaiannya tepat, dana ini akan sangat membantu mereka yang
tidak memiliki akses terhadap pendidikan. Namun di sisi lain, hal ini akan menimbulkan
pertanyaan lebih jauh: akankah dana pendidikan ini tepat sasaran seperti yang
diharapkan?. Bahwa dengan anggaran pendidikan sekarang yang dipatok sebesar 20%
dari APBN, masih saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Padahal, pemerintah mematok

13
adanya program wajib belajar sembilan tahun. Dan kejadian-kejadian di atas terjadi pada
daerah pendidikan dasar tersebut. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat akan menilai
tambahan dana yang sekalipun akan dikucurkan tersebut tidak akan mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat kecil terkait akses pendidikan. Realitas yang ada sekarang ini
menyatakan hal sebaliknya. Malahan, yang akan timbul adalah ketakutan akan
penyelewengan dana tersebut.
Menambahkan dana pendidikan itu memang perlu namun, untuk apa penambahan
tersebut dilakukan jika harus mengalami kebocoran dimana-mana? Analoginya seperti
menambahkan debit air bersih. Jika debit ditambahkan namun kebocoran pada pipa tetap
terjadi, akhirnya penambahan itu akan sia-sia juga sebab yang membuat debit itu
berkurang sampai di pelanggan bukan hanya masalah besar atau kecilnya debit awal
melainkan kebocorannya. Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan sebelum
penambahan dana adalah dengan menanggulangi kebocoran itu terlebih dahulu. Dana
bantuan operasional sekolah (BOS) yang dialirkan ke daerah-daerah sudah sepatutnya
diawasi pemakaiannya oleh pemerintah daerah. Jangan sampai dana tersebut sampai
pada tangan-tangan yang tidak berhak mendapatkannya. Jika dana BOS ini sudah
terealisasi dengan baik, maka seharusnya masalah uang kursi dan seragam sekolah tidak
lagi harus dipermasalahkan.
Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas
dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (dalam UU RI No.
20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Pasal 49 Ayat 1). Realisasi anggaran pendidikan
sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah,
bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari
APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut
APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang
dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi
kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar
Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan
sebesar Rp 47,9 triliun.
Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama
oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan
bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29
% (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009).
Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada

14
tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006. Untuk tahun 2007 saja alokasi APBN untuk
anggaran sektor pendidikan hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp
90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun (dalam:
http://www.tempointeraktif.com, diakses 7 Oktober 2020). Permasalahan lainnya yang
timbul, bukan karena pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan
sejumlah dana yang telah dianggarkan. Namun, lebih dikarenakan anggaran pendidikan
belum terserap secara keseluruhan. Hal ini disebabkan waktu pemakaian yang terbatas,
dan karena program dinas pendidikan provinsi tidak jelas, serta kurangnya efektivitas
birokrasi pendidikan.
Kompleksitas persoalan pendidikan secara nyata tidaklah selesai dengan
penambahan jumlah anggaran. Faktanya, efektivitas mesin birokrasi bidang pendidikan
juga amat menentukan capaian keberhasilan penyediaan akses pendidikan publik. Di
tengah menganggurnya sejumlah anggaran (yang belum diserap) Kementerian
Pendidikan Nasional, dan mencuatnya fakta keterbatasan infrastruktur pendidikan,
menyebabkan ribuan hinggan jutaan anak didik tak bisa menikmati pendidikan adalah hal
yang patut kita sesali. Semestinya anggaran pendidikan harus bisa digunakan secara
efisien dan efektif.
Penggunaan anggaran disebut efektif jika anggaran yang digunakan sesuai atau
lebih kecil daripada yang telah direncanakan dan menghasilkan layanan serta produksi
pendidikan yang sama atau melebihirencana semula, sedangkan penggunaan anggaran
disebut efektif bila dengan anggaran tersebut tujuan pendidikan yang telah direncanakan
semula bisa dicapai dengan kuantitas dan kualitas yang sama atau melebihi dari yang
direncanakan (dalam Pidarta, 2007:272), Andai 81.1 persen sisa anggaran pendidikan
(dari Rp 55,6 triliun) bisa digunakan secara efektif dan efisien, maka persoalan-persoalan
yang dihadapi masyarakat selama ini bisa diminimalisir, bahkan mungkin tidak akan
terjadi.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Pendidikan Elitis adalah suatu bentuk pendidikan yang hanya diperuntukkan bagi
kalangan terbatas yaitu kalangan “elite” saja.
2. Pendidikan Populis merupakan pendidikan yang mengedepankan keadilan dan
kesetaraan dalam kehidupan sekolah dan proses pembelajaran, yang dilaksanakan
dengan suasana kepengasuhan.
3. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah
4. Hambatan-hambatan yang dialami
• Masalah Pencapaian Mutu Pendidikan di Sekolah
• Masalah Peranan Guru yang Berhubungan dengan Kinerja
• Kekerasan di Sekolah
• Dana Pendidikan

B. Saran
1. Diharapkan makalah ini dapat membantu dalam memberikan informasi dan
memahami tentang materi “Isu Kontemporer Mengenai Wajib Belajar”.
2. Diharapkan melakukan penyempurnaan /updating dalam pembuatan makalah
dengan pembahasan masalah yang sama dikemudian hari

16
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_di_Finlandia
http://education.embassyofindonesia.org/sistem-pendidikan-di-amerika-
serikat/#:~:text=Sekolah%20dasar%20dan%20menengah%20adalah,12%20(usia%2018%2
0tahun).
https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/sistem-pembelajaran-di-
jepang#:~:text=Sistem%20Pendidikan%20Jepang%20terdiri%20dari,dan%20tiga%20tahun
%20Pendidikan%20bawah.
http://eksis.ditpsmk.net/artikel/ikhtisar-sistem-pendidikan-di-inggris
http://graaltaliawo.blogspot.com/2011/07/pendidikan-masih-jadi-barang-mewah.html,

17

Anda mungkin juga menyukai