Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang
pendidikan di Indonesia, yaitu pertama, mempertahankan hasil-hasil pembangunan
pendidikan yang telah dicapai; kedua, mempersiapkan sumber daya manusia yang
kompeten dan mampu bersaing dalam pasar kerja global; dan ketiga, sejalan dengan
diberlakukannya otonomi daerah sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan
perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih
demokratis, memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah dan
peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan pendidikan mengalami perubahan di
berbagai sisi karena adanya perbaikan dari berbagai hal yang berkaitan dengan
pendidikan, terutama kebijakan strategis seputar pendidikan. Kebijakan sendiri
menunjukan adanya serangkaian alternatif dan dipilih berdasarkan prinsip, landasan,
batasan dan kebutuhan tertentu.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian kebijakan pendidikan?
2. Bagaimana Latar Belakang perlunya kebijakan pendidikan ?
3. Bagaimana proses kebijakan pendidikan?
4. Apa ruang lingkup kebijakan pendidikan ?

C. Tujuan Penulisan
1. Apakah pengertian kebijakan pendidikan?
2. Bagaimana Latar Belakang perlunya kebijakan pendidikan ?
3. Bagaimana proses kebijakan pendidikan?
4. Apa ruang lingkup kebijakan pendidikan ?

BAB II
PEMBAHASAN

1
1. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Konsep kebijakan pendidikan adalah konsep yang sering didengar, dikaji dan
didiskusikan banyak kalangan. Menurut Abd. Halim Soebahar (2013) kebijakan
menunjukan adanya serangkaian alternatif dan dipilih berdasarkan prinsip-prinsip
tertentu, sedangkan kebijaksanaan berkenaan dengan suatu keputusan yang cenderung
memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang, atau sebaliknya, karena alasan-
alasan tertentu seperti pertimbangan kemanusiaan, keadaan darurat, dan sebagainya. 1
Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa kebijakan merupakan suatu hasil
analisis yang mendalam terhadap berbagai alternatif yang bermuara kepada keputusan
tentang alternatif terbaik.
Menurut Munadi (2011) kebijakan pendidikan adalah keputusan yang diambil bersama
antara pemerintah dan aktor di luar pemerintah yang mempertimbangkan faktor-faktor
yang mempengaruhinya untuk dilaksanakan atau tidak dilaksanakan pada pendidikan
yang meliputi anggaran pendidikan, kurikulum, rekrutmen tenaga pendidikan,
pengembangan keprofesionalisan staf, tanah dan bangunan, pengelolaan sumber daya,
dan kebijakan lain yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan
pendidikan.
Kebijakan pendidikan menurut Devine (2007) dalam Munadi (2011: 19)
memiliki empat dimensi pokok: (1) dimensi normatif, teridiri atas nilai, standar, dan
filsafat. Dimensi ini memaksa masyakakat untuk melakukan peningkatan dan perubahan
melalui kebijakan pendidikan yang ada. Dalam pelaksanaannya, dimensi ini
memerlukan dukungan dari dimensi stuktur; (2) dimensi struktural, dimensi ini
berkaitan dengan ukuran pemerintah (desentralisasi, sentralisasi, federal, atau bentuk
lain), dukungan kebijakan bidang pendidikan; (3) dimensi konstituentif, terdiri atas
individu, kelompok kepentingan, dan penerima yang menggunakan kekuatan untuk
memmengaruhi proses pembuatan kebijakan; (4) dimensi teknis, menggabungkan
pengembangan, praktik, implemnetasi dan penilaian dari pembuatan kebijakan
pendidikan.2
Kebijakan pendidikan juga memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan
1
Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru Sampai UU
Sisdiknas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) Hal. 11.
2
Agustinus Hermino, Asesmen Kebutuhan Organisasi Persekolahan, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama), Hal. 137.

2
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia
harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi
pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya
pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui
dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus
memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah
wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut.
Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya
harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah
sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan
keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang
memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada
pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan,
pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan
pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang
sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan,
sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan
pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara
mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya
harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur
olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas

3
yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan
rapuh strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan satu
sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak
tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun
kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik;
kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan
dibawahnya.
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi
organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa
kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa
keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan
biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel
organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan
kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian
dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses
pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan),
proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan
kepada pembuat kebijakan.
Sedangkan Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua,
masyarakat dan pemerintah. Dengan dasar kata – kata bijak itu, maka perbaikan kualitas
pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orang tua, Masyarakat dan pemerintah.
Dalam Undang – undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikam nasional
disrbutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan
dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam
pendidikan atau organisasi atau sekolah dengan masyarakat dan pemerintah untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis
umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan
atau organisasi.

4
2. Latar Belakang Perlunya Kebijakan Pendidikan.
Penyusunan agenda kebijakan pendidikan seyogyanya dilakukan berdasarkan
tingkat urgensi dan esensi kebijakan pendidikan juga keterlibatan berbagai stakeholder.
Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi dan keterlibatan
stakeholder tersebut. Baik dari unsur pemerintah dan tenaga pendidikan, guru dan
orangtua siswa, bahkan para pakar atau ahli dan sebagainya.
Umumnya kebijakan pendidikan muncul karena adanya kebutuhan mendesak
dan strategis yang mesti dijadikan sandaran atau pijakan dalam menjalankan hal tertentu
yang berkaitan dengan pendidikan. Biasanya, masalah yang sudah masuk dalam agenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut
didefinisikan untuk kemudian dicarikan pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan
masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama
halnya dengan perjuangan seuatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan dalam
tahap perumusan kebijakan, masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang sudah daimbil untuk memecahkan masalah.
Diantara latar belakang perlunya kebijakan pendidikan adalah sebagai berikut:
Pertama, perintah Undang-undang Dasar 1945 dan atau Undang-undang.
Misalnya mengenai fungsi dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dalam
pendidikan. Dalam pasal 10 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) dijelaskan pemerintah dan pemerintah daerah berhak
mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pasal 50 pada Undang-undang yang sama dijelaskan: (1) pengelolaan
sistem pendidikan nasional merupakan tanggungjawab menteri. (2) pemerintah
menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional. (3) pemerintah atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. (4) pemerintah
daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan
tenaga pendidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaran pendidikan lintas daerah
kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. (5) pemerintah

5
kabupaten atau kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Kedua, prinsip dan sifat pendidikan yang adil dan merata. Dalam pasal 4 UU
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dijelaskan bahwa
pendidikan diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip tertentu. Seperti (1)
pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
kemajuan bangsa.
Atau seperti yang dijelaskan pada pasal 10 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan pelayanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Ketiga, perubahan politik, ekonomi, peta pendudukan dan pergeseran ideologi.
Kebijakan pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh perubahan politik, ekonomi, peta
pendudukan dan dinamika global.
Sekadar contoh, pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak kita temukan pembahasan secara detail tentang
alokasi dana pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Karena adanya dinamika politik yang memberi efek terhadap pendidikan, maka
terjadilah kebijakan baru dalam pendidikan.
Hal ini bisa dibaca pada Pasal 49 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) poin (1) yang menjelaskan bahwa dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal
20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Termasuk juga soal kewajiban belajar pada batas usia tertentu, di samping
standar tenaga pendidik dalam level pendidikan tertentu. Semua itu muncul karena
adanya kebutuhan yang meniscayakan adanya kebijakan tertentu seperti itu.

3. Proses Kebijakan Pendidikan.


Dalam upaya implementasi dan memaksimalisasi penyelenggaraan otonomi
daerah sistem pendidikan tersebut, sekarang dikembangkanlah konsep Manajemen

6
Berbasis Sekolah (MBS), yang berupaya meningkatkan peran sekolah dan masyarakat
sekitar (stakeholder) dalam pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan
pendidikan menjadi lebih baik dan mutu lulusan semakin bisa ditingkatkan. MBS
memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat
tanggung jawab.3
“Salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan untuk itu setiap warga negara
berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang
dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan
gender”. Pendidikan untuk semua menjamin keberpihakan kepada peserta didik yang
memiliki hambatan fisik ataupun mental, hambatan ekonomi dan sosial ataupun kendala
geografis, dengan menyediakan layanan pendidikan untuk menjangkau mereka yang
tidak terjangkau.4
Pendidikan nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia merupakan
program besar, yang menyajikan tantangan tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk
yang luar biasa dan posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi Indonesia
merupakan masyarakat multi-etnis dan sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi
yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem pendidikan nasional yang kompleks,
sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu
perencanaan pendidikan nasional yang handal. Perencanaan itu juga bukan perencanaan
biasa, tetapi suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi perubahan kebutuhan
dan tuntutan, yang bisa terjadi karena perubahan lingkungan global. Globalisasi yang
menjangkau seluruh bagian bumi membuat Inonesia tidak bisa terisolasi. Perkembangan
teknologi telekomunikasi dan informasi, membuat segala hal yang terjadi di dunia
internasional berpengaruh juga berpengaruh ke Indonesia.
“Dalam mengimplementasikan desentralisasi di bidang pendidikan, sebagai
wujud dari implementasi kebijakan pemerintah maka diterapkanlah Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)”. Dengan MBS, maka sekolah-sekolah yang selama ini
dikontrol ketat oleh pusat menjadi lebih leluasa bergerak, sehingga mutu dapat
ditingkatkan. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar
3
Imron,Ali. 2008. “Kebijakan Pendidikan Di Indonesia”. (Jakarta: Bumi Aksara), Hal 45.
4
Syafaruddin, 2008. “Efektivitas Kebijakan Pendidikan”, (Jakarta: Rineka Cipta), Hal 23.

7
tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus
sebagai sarana peningkatan efisiensi pendidikan. Tanggung jawab pengelolaan
pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh sekolah dan masyarakat dalam
rangka mendekatkan pengambilan keputusan ke tingkat yang paling dekat dengan
peserta didik. MBS ini sekaligus memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui
desentralisasi kewenangan, sumber daya dan dana ke tingkat sekolah sehingga sekolah
dapat menjadi unit utama peningkatan mutu pembelajaran yang mandiri (kebijakan
langsung, anggaran, kurikulum, bahan ajar, dan evaluasi). Program MBS sendiri
merupakan program nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang Undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 51 (1): “Pengelolaan satuan
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis
sekolah/madrasah”
Dalam konteks, MBS memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap, adaptif,
kreatif, dalam mengatasi tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat
yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan internalnya untuk terus
meningkatkan diri.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.
Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada,
partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orangtua, kelenturan pengelolaan
sekolah, peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain yang dapat
menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada
tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders), terutama yang mampu dan peduli
terhadap masalah pendidikan. Implikasinya adalah pemberian kewenangan yang lebih
besar kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah
sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya. Juga, melakukan perubahan
kelembagaan untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam
perencanaan dan pelaksanaan, serta memberdayakan sumber daya manusia, yang
menekankan pada profesionalisme.5

5
Ibid, Hal 56

8
“Pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan, sehingga pelaksanaan
berbagai komponen sekolah tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan tanggung
jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah ditetapkan sebagai konkretisasi visi dan misi
organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan relevan dengan keperluannya”.

4. Ruang lingkup kebijakan pendidikan


Kebijakan pendidikan mengadung 3 (tiga) komponen penting yang saling
berkaitan dalam proses formulasi kebijakan pendidikan yakni Pelaku Kebijakan, Isi
Kebijakan dan Lingkungan Kebijakan.6
1) Pelaku Kebijakan
Orang-orang atau pelaku yang terlibat dalam perumusan kebijakan disebut juga
dengan aktor kebijakan. Menurut James Anderson aktor kebijakan dibagi kedalam dua
peran yakni pelaku resmi dan pelaku tidak resmi.
a) Pelaku resmi, yang termasuk dalam pelaku resmi adalah pemerintah yang terdiri
dari:
  Legislatif
Legislatif adalah lembaga yang bertugas merumuskan dan membentuk kebijakan
berupa undang-undang dan menjadi sebuah kebijakan. Dimana undang-undang tersebut
menjadi payung hukum bagi pembuatan kebijakan publik pada level berikutnya seperti
instruksi presiden, peraturan pemerintah, keputusan-keputusan hingga peraturan daerah
dibawahnya.
  Eksekutif
Setelah kebijakan dibuat oleh lembaga legislatif makan fungsi eksekutif adalah
melaksanakan kebijakan publik tersebut atau kata lain mengimplementasikan kepada
publik apa saja isi dari pada sebuah kebijakan yang telah lahir tersebut.
  Yudikatif
Lembaga pemerintah ini bertugas mengawasi dan memberikan pertimbangan
sanksi apabila kemudian terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam proses implementasi
sebuah kebijakan publik tersebut.
b) Pelaku tidak resmi, biasa berasal dari luar lembaga pemerintah seperti kelompok
kepentingan, partai politik, organisasi massa, warga negara dan individu. Pelaku tidak

6
Said Zainal,Abidin, Kebijakan Publik. 2006. Jakarta: Suara Bebas.Hal 23

9
resmi ini tidak mempunyai peran dalam pengambilan keputusan kebijakan akan tetapi
mereka berperan dalam memberikan saran, usul, masukkan bahkan intervensi kepada
pelaku resmi pembuat kebijakan agar dapat meloloskan atau menggunakan bentuk
kebijakan yang mereka inginkan.
2) Lingkungan Kebijakan
Tuntutan terhadap kebijakan dapat dilahirkan karena pengaruh lingkungan dan
ditransformasikan kedalam suatu sistem politik. Akan tetapi proses perumusan
kebijakan publik yang dihasilkan tentu memperhatikan pula faktor lingkungan antara
lain ; sumber daya alam, iklim, topografi, jumlah penduduk, distribusi penduduk, lokasi
spasial, kebudayaan, struktur sosial, sistem ekonomi dan politik. Dalam kasus kebijakan
tertentu perlu diperhatikan pula lingkungan internasional dan kebijakan internasional
(Anderson,1979). Lingkungan sangat berpengaruh terhadap isi kebijakan, sebab dari
lingkunganlah pelaku kebijakan dapat menyusun sebuah strategi pembuatan suatu isi
kebijakan bagi ruang publik. Kebijakan pendidikan sebagai pengalokasian nilai-nilai
kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat sehingga pelaku
kebijakan dalam membuat kebijakan pendidikan harus benar-benar memperhatikan
lingkungan dimana tuntutan sebuah kebijakan berasal.
3) Isi Kebijakan
Yang dimaksud dengan isi kebijakan adalah hasil akhir dari pada sebuah
formulasi kebijakan yang telah terwujud dalam bentuk undang-undang, peraturan
pemerintah hingga peraturan daerah. Wujud dari pada kebijakan publik tersebut tertuang
dalam isi kebijakan yang memuat pertimbangan, penetapan dan keputusan yang
selanjutnya terdiri atas bab dan pasal hingga aturan-aturan tambahan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

10
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan
kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian
dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses
pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan),
proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan
kepada pembuat kebijakan.
Sedangkan Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua,
masyarakat dan pemerintah. Dengan dasar kata – kata bijak itu, maka perbaikan kualitas
pendidikan di Indonesia menjadi beban bersama orang tua, Masyarakat dan pemerintah.
Dalam Undang – undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikam nasional
disrbutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi
pengambilan keputusan pada semua jenjang pendidikan atau organisasi.
Umumnya kebijakan pendidikan muncul karena adanya kebutuhan mendesak dan
strategis yang mesti dijadikan sandaran atau pijakan dalam menjalankan hal tertentu
yang berkaitan dengan pendidikan.
Biasanya, masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tersebut didefinisikan untuk
kemudian dicarikan pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut
berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan
perjuangan seuatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan dalam tahap
perumusan kebijakan, masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai
kebijakan yang sudah daimbil untuk memecahkan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Syafaruddin, 2008. “Efektivitas Kebijakan Pendidikan”, Jakarta: Rineka Cipta.

11
Imron,Ali. 2008. “Kebijakan Pendidikan Di Indonesia”. Jakarta: Bumi Aksara.

Soebahar, Abd. Halim. Maret 2013. Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonansi Guru
Sampai UU Sisdiknas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Hermino, Agustinus. 2013. Asesmen Kebutuhan Organisasi Persekolahan. Jakarta: PT.

Abidin, Said Zainal. (2006). Kebijakan Publik. Jakarta: Suara Bebas.

12

Anda mungkin juga menyukai