Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENGELOLAAN ADMINISTRASI PEMBELAJARAN SEKOLAH MENENGAH

TENTANG

DESENTRALISASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

OLEH :

RIRIN APRIANI

18201147

DOSEN PEMBIMBING :

YUNISMAN, S.Pd, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI

STKIP NASIONAL

PADANG PARIAMAN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan saya petunjuk agar
saya dapat menyelesaikan penyusunan tugas makalah saya ini, walaupun dalam bentuk dan isi
yang sederhana namun, saya sangat berharap makalah ini dapat berguna bagi orang yang
membacannya.

Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk para pembaca.
Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca dan praktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pauh Kambar, 7 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

a. Latar belakang 1
b. Rumusan masalah 2

BAB II PEMBAHASAN 3

a. Pendahuluan 3 

b. Hakikat Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional

c. Ruang lingkup manajemen pendidikan

d. Struktur organisasi pendidikan

BAB III PENUTUP 19

a. Kesimpulan 19
b. Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Desentralisasi di Indonesia merupakan reformasi yang tidak selesai dan hingga kini
pelaksanaan nya belum maksimal atau belum sukses. Hal ini ditunjukkan bahwa
desentralisasi hanya menguntungkan pihak elit. Desentralisasi menurut kitab UU.No.32/2004
bukan lagi hanya suatu konsep tetapi mulai diimplementasikan pada semua tingkatan
manajemen, tidak terkecuali pada tatanan kelembagaan sistem maupun satuan pendidikan,
baik pada jalur pendidikan formal maupun nonformal, di lingkungan persekolahan atau di
luar persekolahan. Implementasi pada tatanan kelembagaan pendidikan sungguh sangat
berarti, karena fungsi dan peranan kelembagaan tersebut sangat stratejik dalam pembangunan
peradaban bangsa. Sejarah mencatat bahwa pada organisasi pendidikanlah kreativitas kultural
kader-kader bangsa di masa depan dapat dikembangkan. Setelah kita menelusuri sejarah
panjang perjalanan penerapan otonomi dan desentralisasi ketatanegaraan, prinsip
penyelenggaraan otonomi, efektivitaspelaksanaan, dan ajaran-ajaran yang dijadikan rujukan.

Secara teoritis struktur organisasi desentralisasi ditunjukkan dengan tingkat


pengambilan keputusan yang terjadi dalam organisasi. Dalam struktur densentralisasi,
sebagian keputusan diambil pada tingkat hirarki organisasi tertinggi, dan apabila sebagian
besar otoritas didelegasikan pada tingkatan yang rendah dalam organisasi, maka organisasi
tersebut tergolong pada organisasi yang terdesentralisasi. Dengan demikian inti dari
desentralisasi adalah adanya pembagian kewenangan oleh tingkat organisasi di atas kepada
organisasi di bawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat
tanggung jawab yang lebih besar kepada pimpinan ditiap level organisasi dalam
melaksanakan tugasnya serta memberikan kebebasan dalam bertindak.

B. Saran

1. Bagaimana hakikat desentralisasi sistem pendidikan nasional?

2. Apa saja ruang lingkup manajemen pendidikan?

3. Bagaimana struktur organisasi pendidikan?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendahuluan

Desentralisasi menurut kitab UU.No.32/2004 bukan lagi hanya suatu konsep tetapi
juga mulai diimplementasikan pada semua tingkatan manajemen, tidak terkecuali pada
tatanan kelembagaan sistem maupun satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan formal
maupun nonformal, di lingkungan persekolahan atau di luar persekolahan. Implementasi
pada tatanan kelembagaan pendidikan sungguh sangat berarti, karena fungsi dan peranan
kelembagaan tersebut sangat stratejik dalam pembangunan peradaban bangsa.

Sejarah mencatat bahwa pada organisasi pendidikanlah kreativitas kultural kader-


kader bangsa di masa depan dapat dikembangkan. Setelah kita menelusuri sejarah panjang
perjalanan penerapan otonomi dan desentralisasi ketatanegaraan, prinsip penyelenggaraan
otonomi, efektivitas pelaksanaan, dan ajaran-ajaran yang dijadikan rujukan.

B. Kajian Teori

1. Hakikat Desentralisasi Manajemen Pendidikan

Mengawali bahasan ini ada tiga persoalan mendasar yang patut diantisipasi dalam
desentralisasi manajemen pendidikan, yaitu: Apakah pemberian otonomi kepada daerah akan
menjamin setiap warga negara memperoleh haknya dalam pendidikan? Dan apakah dengan
pemberian kewenangan menyelenggarakan pendidikan kepada daerah dapat menjamin peran
serta masyarakat akan meningkat? Dan apakah penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan
di daerah dapat mencapai hasil-hasil pendidikan yang bermutu? Untuk menjawab ketiga
pertanyan tersebut, kita akan kembali ke perundang-undangan tentang penyelenggaraan
otonomi pemerintahan daerah. Karakteristik yang melekat pada kitab UU.No.32/2004 telah
membawa implikasi terhadap manajemen pendidikan nasional. Implikasi tersebut
diantaranya bahwa setiap proses manajemen penyelenggaraan pendidikan nasional harus pula
berlandaskan bottom up approach, karena di samping organisasi dan manajemen pendidikan
nasional harus acceptable bagi masyarakatnya, juga harus accountable dalam melayani
publik terhadap kebutuhan pendidikan. Secara teknis operasional, manajemen pendidikan
tingkat atas eksistensinya tergantung rekomendasi kebutuhan pada tingkat bawahnya secara
berjenjang, dalam arti substansi, proses, dan konteks penyelenggaraan pendidikan pada
tingkat kabupaten/kota tidak mutlak sama, baik dengan daerah lainnya yang sederajat
maupun dengan daerah provinsi. Secara teoritis, keragaman itu akan memunculkan
sinergisme yang didukung oleh keunggulan komparatif dan kompetitif masing-masing daerah
dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan.

Dengan demikian, bahwa besar dan luasnya kewenangan dalam manajemen


penyelenggaraan pendidikan akan tergantung kepada sistem politik dalam memberikan
keleluasaan tersebut. Akan tetapi, sekalipun keleluasaan itu diberikan tidak dapat diartikan
sebagai pemberian kebebasan mutlak tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional,
sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara administrator pendidikan pada tingkat
pusat dengan administrator pendidikan di tingkat kelembagaan satuan pendidikan.
Sesungguhnya konflik kepentinga. tersebut tidak perlu terjadi apabila para adminitrator
tersebut memahami hakikat dan urgensi perlunya desentralisasi dalam manajemen, yang
walaupun terjadi tarik menarik kepentingan tersebut harus berdasarkan pada prinsip saling
ketergantungan untuk menghasilkan sinergitas bagi tujuan-tujuan pembangunan pendidikan
yang lebih luas.

Istilah desentralisasi manajemen mengandung makna bahwa proses pendelegasian


atau pelimpahan kekuasaan atau wewenang dalam sistem organisasi diberikan dari pimpinan
atau atasan ke tingkat bawahan. Secara umum tujuan desentralisasi manajemen di dalam
kehidupan berorganisasi adalah untuk meningkatkan efisiensi manajemen dan kepuasan kerja
pegawai melalui pemecahan masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan daerah
lokal. Dengan demikian desentralisasi manajemen pendidikan adalah pelimpahan wewenang
dari pemerintah kepada daerah untuk membuat keputusan manajemen dan menyusun
perencanaan sendiri dalam mengatasi masalah pendidikan, dengan mengacu kepada sitem
pendidikan nasional. Dengan demikian, dalam praktik desentralisasi manajemen pendidikan
dapat diterapkan di dalam beberapa tingkat dan struktur organisasi penyelenggara
pendidikan, mulai dari tingkat nasional sampai tingkat satuan pendidikan. Tujuan
desentralisasi manajemen pendidikan, yang dalam bahasa kekaisaran adalah educational
improvement, administrative efficiency, financial efficiency, political goals, effect on equity.
Namun demikian, dalam praktiknya tidak seluruh kewenangan tersebut dapat
didesentralisasikan.

Kewenangan perumusan atau pembuatan kebijaksanaan nasional mengenai


pendidikan yang meliputi kurikulum, persyaratan-persyaratan pokok tentang jenjang
pendidikan, persyaratan pembukaan program baru, persyaratan tentang guru atau pendidik di
setiap jenjang pendidikan, dan kegiatan-kegiatan strategis lainnya yang dipandang lebih
efektif, efisien, dan tepat jika tidak didesentralisasikan masih dilakukan dan diperlukan
sentralisasi. Sedangkan setiap kewenangan implementasi dan evaluasi kebijakan nasional
dalam hal-hal tertentu, dilakukan oleh pemerintah pusat dan bisa pula diserahkan atau
didesentralisasikan ke unit di bawah, di daerah atau kepada masyarakat. Demikian juga
kewenangan pembuatan kebijakan yang berdimensi daerah tidak dilakukan oleh pemerintah
pusat, melainkan bisa segera didesentralisasikan.

2. Ruang Lingkup Desentralisasi Manajemen Pendidikan

Dalam aspek ini, terdapat tiga model desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) Manajemen
berbasis lokasi (site-based management), (2) Pengurangan administrasi pusat, dan (3) Inovasi
kurikulum Model manajemen berbasis lokasi menurut sang begawan ialah model yang
dilaksanakan dengan meletakan semua urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah.
Model pengurangan administrasi pus merupakan konsekuensi dari model pertama.
Pengurangan administrasi pusat diikuti dengan peningkatan wewenang dan urusan pada
masing-masing sekolah. Model ketiga, inovasi kurikulum menekankan pada inovasi
kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua
peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di sekolah-
sekolah dan tersebar pada daerah yang bervariasi.

Adapun substansi desentralisasi dalam bidang manajemen pendidikan, paling sedikit


berkenaan dengan aspek-aspek: (1) Perundang-undangan pendidikan; (2) Stuktur organisasi
dan kelembagaan pendidikan; (3) Pengembangan kurikulum pendidikan; (4) Profesionalisasi
tenaga kependidikan; (5) Sarana dan prasarana pendidikan; (6) Pembiayaan pendidikan.

a. Desentralisasi Perundang-undangan Pendidikan


Bidang hukum dan perundang-undangan dalam konteks desentralisasi manajemen
pendidikan, dianggap paling krusial karena aspek ini merupakan perangkat kendali
manajemen yang akan menentukan isi dan luas wewenang dan tanggung jawab untuk
melaksanakan setiap bidang tugas yang didesentralisasikan. Artinya, setiap penataan
organisasi dan manajemen sebagai konsekuensi dari wewenang yang diterima, tidak terlepas
dari adanya asas legalite sebagai landa a berpijak dalam membangun perangkat-perangkat
operasional organisasi dan manajemen yang accountable bagi kepentingan masyarakat,
sekaligus untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Dengan demikian, maka salah satu
keberhasilan dalam desentralisasi manajemen pendidikan sangat tergantung pada dukungan
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tersebut terdiri dari dua
sumber: Pertama, komitmen politik yang bersumber dari amanat rakyat. Komitmen ini
mencakup komitmen internal dan eksternal. Komitmen internal berkaitan dengan segala
aktivitas pemenuhan kebutuhan, keinginan dan harapan rakyat untuk kesejahteraan.
Sedangkan komitmen eksternal berkaitan dengan segala aktivitas masyarakat dan bangsa
dalam percaturan global. Kedua, political will (kemauan politik) para pembuat kebijakan
baik pada tatanan manajemen pendidikan di tingkat pusat maupun pada tingkat daerah.
Kemauan politik ini harus konkrit dalam wujud peraturan perundang-undangan dengan
segala akibat hukum yang menyertainya secara konsisten.

Ada tiga komponen utama yang dapat dijadikan rujukan dalam deregulasi perundang-
undangan pendidikan, yaitu: Pertama, struktur produk kebijakan yang menjadi perangkat
kendali sistem penyelnggaraan pembangunan pendidikan. Produk-produk kebijakan ini
berkenaan dengan UU yang mengatur tentang kependudukan, kesehatan, hak azasi manusia
(HAM), pemerintahan daerah, perimbangan keuangan, sistem pendidikan nasional,
peraturan-peraturan daerah, dan beberapa keputusan menteri dan kepala daerah. Kedua,
struktur program pembangunan yang menjadi perangkat operasional bagi pelaksanaan
pembangunan pendidikan di daerah. Perangkat ini berkenaan dengan Garis-garis Besar
Haluan Negara (GBHN), program pembangunan nasional (Propenas) dan rencana strategis
(Renstra), program pembangunan daerah (Propeda) dan rencana strategis daerah (Renstrada).
Ketiga, orientasi dan tantangan-tantangan pembangunan ke depan yang menjadi perangkat
pendukung dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan. Perangkat ini berkenaan dengan
komitmen bangsa dalam peraturan dunia internasional dan tantangan-tantangan
pembangunan yang harus dihadapi di masa depan.

b. Desentralisasi Organisasi Kelembagaan Pendidikan

Pembaharuan struktur kelembagaan pendidikan di daerah perlu memperhatikan tiga


hal pokok, yaitu kewenangan, kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah dengan
berazaskan pada demokratisasi, pemberdayaan dan pelayanan umum di bidang pendidikan.
Kewenangan merupakan rujukan yang dijadikan dasar pijakan dalam menentukan substansi
manajemen pendidikan yang patut dilakukan. Kebutuhan berkaitan dengan permasalahan
yang signifikan di daerah. Dan pada aspek kemampuan berkaitan dengan potensi daerah
terutama dari hasil penggalian sumber daya yang dituangkan dalam PAD.

Di samping itu, pembaharuan kelembagan pendidikan di daerah perlu didasarkan


pada prinsip rasional, efisien, efektif, realistis dan operasional, serta memperhatikan
karakteristik organisasi dan manajemen modern. Dalam istilah yang lebih populer, bahwa
Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) harus "ramping struktur kaya fungsi".
Pertimbangannya ialah: (1) terbuka, (2) fleksibel, (3) ramping, (4) efisien, (5) rasional, (6)
fungsionalisasi, (7) jenjang pengambilan keputusan sangat pendek, (8) desentralisasi dan
delegasi wewenang optimal, (9) peran sentral SDM, (10) kepemimpinan partisipatif, (11)
daya tanggap tinggi atas aspirasi rakyat, (12) antisipatif terhadap masa depan, dan (13)
berorientasi kepada tercapainya tujuan.

Deregulasi struktur organisasi dan manajemen pendidikan diarahkan pada sistem


pembagian kekuasaan dan kewenangan. Organisasi pengelolaan pembangunan pendidikan
berjenjang dari tingkat pusat sampai ke tingkat kelembagaan. Terminologi otonomi
pemerintahan sebagaimana tertuang dalam kitab UU.No.22/1999 yang membagi otonomi ke
dalam tiga bentuk, yaitu 'otonomi terbatas' untuk organisasi tingkat provinsi, 'otonomi luas'
untuk tingkat kabupaten/kota, dan 'otonomi murni' untuk tingkat desa, tidak serta merta
dijawantahkan ke dalam organisasi pengelolaan pendidikan nasional seperti halnya otonomi
pemerintahan.

Pola hubungan manajemen pendidikan nasional, tidak terlepas dari kehendak pasal 2
ayat (7) UU.No.32/2004, bahwa hal-hal yang menyangkut kewewenangan, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan
hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan organisasi. Sebagaimana dalam
penjelasan pasal 2 ayat (7) disebutkan bahwa hubungan administrasi adalah hubungan yang
terjadi sebagai konsekuensi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
merupakan satu kesatuan dalam penyelenggaraan sistem administrasi negara. Kehendak
tersebut diwujudkan dalam hubungan antara pengelola sistem pendidikan secara nasional
dengan organisasi pendidikan tingkat provinsi. Dalam hal ini, Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) sebagai pengelola sistem pendidikan nasional, dalam melakukan
hubungan baik dalam berhubungan dengan organisasi pendidikan tingkat provinsi, yaitu
Dinas Pendidikan Provinsi (sebagai perangkat pemerintah daerah provinsi). maupun dengan
Dinas Pendidikan Kabupaten/kota (sebagai perangkat pemerintah daerah kabupaten/kota),
ataupun dengan organisasi tingkat satuan pendidikan, merupakan hubungan yang bersifat
administrasi.

Sedangkan hubungan kewilayahan adalah hubungan yang terjadi sebagai konsekuensi


dibentuk dan disusunnya daerah otonom yang diselenggarakan di wilayah NKRI, yang
merupakan satu kesatuan wilayah negara yang utuh dan bulat. Hubungan ini diwujudkan oleh
pola hubungan antara Dinas Pendidikan Provinsi dengan Dinas Pendidikan kabupaten/ kota,
atau dengan organisasi pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Khusus dalam hubungan
antara Depdiknas dengan Dinas Pendidikan Provinsi, karena merupakan hubungan
administrasi dalam kerangka pelaksanaan prinsip dekonsentrasi, maka pola hubungan antara
Dinas Pendidikan Provinsi dengan Dinas-Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota merupakan pola
hubungan kewilayahan. Karena posisi Dinas Pendidikan Provinsi pada hakikatnya pengelola
pendidikan tingkat pusat yang ditempatkan di tingkat regional (wilayah), yang mempunyai
tugas mengkoordinasikan tugas-tugas pemerintahan di tingkat wilayah.

1) Organisasi Pendidikan Tingkat Pusat

Hasil kunjungan saya ke Pusat Ketatanegaraan, ternyata organisasi pendidikan


nasional pada tingkat pusat masih dikelola oleh Depdiknas, yang mana di dalamnya
memiliki tugas pokok sesuai dengan apa yang menjadi bidang garapan tugas
pembangunan pendidikan secara nasional. Struktur organisasi pada tingkat nasional ini
harus disesuaikan dengan unit-unit yang bersifat umum maupun khusus yang menjadi
substansi pembangunan pendidikan secara nasional. Unit-unit organisasi umum
berkenaan dengan bidang garapan pokok pendidikan pada setiap jenjang organisasi
pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan unit-unit khusus
berkenaan dengan tugas pendidikan yang secara teknis harus dilaksanakan secara khusus.

Unsur-unsur pokok dalam struktur organisasi pendidikan pada tingkat pemerintah


pusat menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No.9/2005 tentang Keududukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Negara Republik
Indonesia, terdiri dari: (1) unsur pimpinan, (2) unsur pembantu pimpinan, (3) unsur
pelaksana, dan (4) unsur pelaksana teknis.

2) Organisasi Pendidikan Tingkat Provinsi

Secara konseptual, struktur organisasi penyelenggaraan pendidikan di daerah,


berbeda dengan organisasi tingkat nasional, karena sudah menyangkut karakteristik
daerah yang beragam. Disamping itu, daerah sudah memiliki batas kekuasaan,
kewenangan dan tanggungjawab sesuai dengan sifat-sifat otonomi yang diberikan oleh
pemerintah pusat. Implikasi terhadap struktur organisasi pendidikan, tampaknya
diperlukan suatu badan normatif khusus yang bertugas menggali, mengidentifikasi
kebutuhan, keinginan dan harapan masyarakat dalam pendidikan yang dituangkan dalam
bentuk rencana strategi pembangunan pendidikan di daerah. Sekalipun di dacrah sudah
ada DPRD, namun peran DPRD dalam sistem pemerintahan dewasa ini belum dapat
dianggap representatif dari rakyat, karena pada proses rekrutmen anggota-anggotanya
belum didasarkan pada profesionalisme politik yang didukung SDM yang memadai, dan
masih didominasi oleh keputusan-keputusan partai politik. Sehingga anggota-anggota
DPRD lebih cenderung perperan dalam tatanan retriksi politik. Sedangkan badan khusus
yang dimaksud sebagai manifestasi dari retriksi administrasi yang terbentuk dari unsur-
unsur lapisan masyarakat dan pemerintahan, katakanlah semacam Board of Education
(Dewan Pendidikan) mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa,
sampai pada tingkat kelembagaan satuan pendidikan.

Pola hubungan antara Dewan Pendidikan dengan pemerintah maupun dengan


DPRD atau dengan Dewan Pendidikan pada tingkat kelembagaan satuan pendidikan
dapat merujuk pada boundary system kewenangan yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan. Banyak alternatif yang dapat diambil, namun sebaiknya Dewan
Pendidikan harus ditempatkan sebagai koordinat atau setara dengan Dinas Pendidikan
atau Komisi pada DPRD. Sedangkan hubungan dengan Dewan Pendidikan lainnya, harus
dalam satu garis vertikal.

3) Organisasi Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota

Perubahan struktur organisasi pemerintahan pada tingkat kabupaten/kota turut


pula mempangaruhi struktur organisasi pendidikan. Bentuknya sangat bervariasi,
tergantung aspirasi, bidang garapan dan kebutuhan masing-masing daerah kabupaten/kota
yang bersangkutan.

4) Struktur Organisasi Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan

Struktur organisasi pendidikan pada tingkat satuan pendidikan lebih bervariasi


lagi, karena bersar-kecilnya, luas-sempitnya dan banyak-sedikitnya unit-unit
organisasinya ditentukan oleh bidang garapan manajemen dan karakteristik organisasi
satuan pendidikan itu sendiri. Misalnya, organisasi satuan pendidikan umum akan
berbeda dengan satuan pendidikan kejuruan. Sebagai contoh, saya kutif struktur
organisasi satuan pendidikan kejuruan di bawah ini.

Sebagaimana kita ketahui, organisasi pendidikan nasional yang merujuk


UU.No.5/1974 telah membuktikan mandulnya kemandirian struktur organisasi
pendidikan di daerah dalam melaksanakan program-program pendidikan. Dan sekalipun
telah diberlakukan kitab UU.No.32/2004 juga belum menjamin beban-beban pendidikan
sebagaimana yang telah dipaparkan dapat dilalui sehingga dapat membawa bangsa ini
kearah yang dicita-citakan, apabila tidak dilakukan suatu relocation of authority untuk
membangun struktur-struktur yang lebih responsif terhadap pembaharuan-pembaharuan
masa kini dan masa depan. Karena itu, desentralisasi kewenangan berdasarkan kitab
UU.No.32/2004 pada saat ini dianggap pilihan terbaik untuk melaksanakan manajemen
pembangunan secara internal. Ciri organisasi kependidikan yang mencerminkan jiwa
desentralisasi, antara lain:

 Struktur organisasinya lebih gemuk ke bawah, berbentuk pyramid dengan kerucut ke


atas;

 Tidak banyak banyak unit-unit khusus, pokja, tim kerja, staf ahli yang tidak jelas
eselonisasinya;

 Beban tugas organisasi lebih banyak pada unit organisasi tingkatan bawah, tetapi
tidak disertai dengan imbalan yang memadai sesuai dengan beban pekerjaannya;

 Setiap tugas pokok dan fungsi unit-unit organisasi ditata dan diatur secara lengkap
dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tertulis;

 Mekanisme pelaksanaan kerja, tugas, kebijakan, keputusan yang menyangkut


mekanisme sistem pelaksanaan tugas pokok dan fungsi setiap unit kerja, selalu
diagendakan dan dibuat secara tertulis serta disampaikan kepada seluruh anggota
organisasi;

 Mempunyai rencana strategis yang berjenjang dengan target, acuan, alat, mekanisme
pengendalian dan evaluasi serta akuntabilitas yang jelas;

 Ada transparansi dalam setiap pengelolaan sumber sumber pembiayaan organisasi;

 Ada perimbangan penbiayaan dan profit sharing antara unit-unit pusat dengan unit-
unit pelakana pada tingkat bawah;
c. Desentralisasi Manajemen Kurikulum Pendidikan

Desentralisasi manajemen kurikulum berkenaan kemampuan daerah dalam aspek


relevansi. Permasalahan relevansi dengan pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya
kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang setara dengan
kondisi objektif di daerahnya Situasi ini memacu terciptanya penggangguran lulusan akibat
tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah. Karena itu, desentralisasi kurikulum
menjadi alternatif yang harus dilakukan. Pelaksanaan kurikulum muatan lokal yang selama
ini memiliki pertimbangan persentase lebih kecil daripada kurikulum nasional belum cukup
memadai situasi, kondisi dan kebutuhan daerah.

Perubahan yang paling mendasar dalam aspek manajemen kurikulum, bahwa


pendidikan harus mampu mengoptimalkan semua potensi kelembagaan yang ada dalam
masyarakat, baik pada lembaga- lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah, masyarakat
atau swasta. Persyaratan dasar penetapan jenis kurikulum antara lain: (1) Kurikulum
dikembangkan berdasarkan minat dan bakat peserta didik; (2) Kurikulum berkaitan dengan
karakteristik potensi wilayah setempat misalnya sumber daya alam, ekonomi, pariwisata dan
sosial-budaya; (3) Dapat dikembangkan secara nyata sebagai dasar penguatan sektor usaha
pemberdayaan ekonomi masyarakat, (4) Pembelajaran berorientasi pada peningkatan
kompetensi keterampilan untuk belajar dan bekerja, lebih bersifat aplikatif dan operasional,
(5) Jenis keterampilan ditetapkan oleh pengelola program bersama-sama dengan peserta
didik, orang tua, tokoh masyarakat, dan mitra kerja.

Pengembangan kurikulum pendidikan ini harus didasarkan pada perkembangan


kehidupan masyarakat, pengembangan jati diri manusia (insan kamil), yang dibutuhkan dan
mampu hidup dan menghidupi orang lain sesuai dengan fitrahnya sebagai pengelola alam
beserta isinya. Isi dan muatan kurikulum pendidikan harus berorientasi pada dimensi-
dimensi penguasaan bidang keterampilan, keahlian dan kemakhiran berkiprah sebagai
anggota keluarga yang hidup bermasyarakat bangsa dan negara, dan mampu pula berkiprah
dalam persingan global. Misalnya: (a) Kemampuan membaca dan menulis secara fungsional
baik dalam bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing; (b) Kemampuan merumuskan
dan memecahkan masalah yang diproses lewat pembelajaran berpikir ilmiah; penelitian
(explorative), penemuan (discovery) dan penciptaan (inventory); (c) Kemampuan
menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi; (d) Kemampuan memanfaatkan beraneka
ragam teknologi diberbagai lapangan kehidupan (pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan,
kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi-informasi, manufaktur dan industri, perdagangan,
kesenian, pertunjukkan dan olahraga); (e) Kemampuan mengelola sumberdaya alam, sosial,
budaya dan lingkungan; (f) Kemampuan bekerja dalam tim/kelompok baik dalam sektor
informal maupun formal; (g) Kemampuan memahami diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya; (h) Kemampuan untuk terus menerus menjadi manusia belajar; (i)
Kemampuan memadukan pendidikan dan pembelajaran dengan etika sosio-religius bangsa
berlandaskan nilai-nilai luhur kemuliaan sebagai manusia yang berbangsa dan bernegara
beradab.

d. Desentralisasi Manajemen Tenaga Kependidikan

Aspek ketenagaan berkenaan dengan para prajurit SDM yang kurang profesional
menghambat pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Penataan para prajurit SDM yang
tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan
tidak profesional. Banyak tenaga pengelola pendidikan yang latar belakang pendidikannya
tidak relevan dengan dunia kerja yang ditekuninya.

Sebagai suatu konsep, otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah tingkat
kabupaten/kota, dipercaya banyak mengandung makna yang menggambarkan suatu situasi
yang penuh tantangan. Bahkan sering digambarkan sebagai keadaan dalam era reformasi,
dimana segala sesuatu yang berbau 'orde baru' yang penuh intrik kolusi, korupsi dan
nepotisme perlu dimusnahkan dalam manajemen pembangunan bangsa. Dalam wacana
seperti ini, individu maupun organisasi dituntut dapat hidup secara kreatif, responsif, dan
inovatif. Kreatif karena individu dan organisasi harus mencari cara terbaik untuk dapat
'survive' dalam usahanya bersaing dengan individu dan organisasi lainnya. Responsif agar
mendapatkan sumberdaya yang terbaik dan memadai. Dan inovatif agar dapat meningkatkan
efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang diinginkannya.

1. Tugas Manajer Pendidikan

Upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional maupun tujuan kelembagaan


sekolah akan banyak dipengaruhi oleh keterampilan-keterampilan (skills) dan wawasan
(vision) yang dimiliki oleh manajer pendidikan dalam melaksanakan tugas, peranan dan
fungsinya sebagai manajer pendidikan. Apabila para manajer pendidikan memiliki visi,
wawasan, dan kemampuan-kemampuan profesional yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
tugasnya sebagai pimpinan dan penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional,
akan memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan secara efektif. Setiap
peran ataupun tugas yang harus dilaksanakan para manajer pendidikan sebagai pimpinan
sekolah menuntut sejumlah keterampilan (skills) khusus yang memungkinkan dapat
melaksanakan tugas atau peranannya secara efektif.

e. Desentralisasi Manajemen Pembiayaan Pendidikan

Sebelum kita sampai pada bahasan mengenai desentralisasi dalam manajemen


pembiayaan pendidikan, terlebih dahulu saya akan mengajak pembaca untuk sekedar
apresiasi tentang aspek-aspek penting dalam membiayai investasi dalam pembangunan
pendidikan. Karena, salah satu persoalan dalam desentralisasi manajemen pembiayaan
pendidikan apabila diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah ialah adanya pemikiran
untuk menerapkan pendekatan ekonomi dalam pendidikan. Pendekatan ini akan
memunculkan persoalan apakah investasi yang dilakukan dalam bidang tersebut memberikan
keuntungan ekonomi? Dalam menjawab pertanyaan ini telah terjadi silang pendapat yang
dinyatakan dalam beberapa pendekatan perencanaan pendidikan seperti pendekatan investasi
sumber daya manusia, pendekatan social demand dan pendekatan rate of return.

Walaupun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan disamping mempunyai


manfaat ekonomi juga mempunyai manfaat sosial-psikologis yang sulit dianalisis secara
ekonomi. Namun pendekatan ekonomi dalam menganalisis pendidikan memberikan
konstribusi sekurang-kurangnya terhadap dua hal yaitu (1) Analisis efektivitas dalam arti
analisis penggunaan biaya yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan; (2)
Analisis efesiensi penyelenggaraanpendidikan dalam arti perbandingan hasil dengan
sejumlah pengorbanan yang diberikan.

f. Desentralisasi Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

1) Konsep Umum standarisasi mutu Sarana dan Prasarana Pendidikan


Yang dimaksud standar mutu ialah paduan sifat-sifat barang atau jasa yang relatif
mantap dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan dalam arti yang luas (lokal, nasional, dan
internasional). Mutu suatu barang atau jasa dikatakan baik, jika sesuai dengan standar mutu
yang telah ditentukan, yang juga berarti dapat memenuhi kebutuhan pelanggan baik lokal,
nasional ataupun global. dalam manajemen mutu, standar mutu sangat penting.

Dalam konteks penjaminan mutu dan upaya peningkatan mutu pendidikan,


pemerintah telah mengeluarkan PP.No.19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang
menjelaskan dalam pasal 91 bahwa:

 Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan
penjaminan mutu pendidikan.

 Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan.

 Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang
memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.

Adapun yang dimaksud dengan standar pendidikan sebagai kerangka acuan


penyelenggaraan pendidikan dasar, menengan, dan pendidikan tinggi, meliputi: (1) standar
isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga
kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar
pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan.

Badan/lembaga pelaksana yang terlibat dalam kegiatan penjaminan mutu, baik


tingkat, dasar, menengah maupun perguruan tinggi adalah:

 Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan
mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan
mengevaluasi standar nasional pendidikan;

 Departemen adalah departemen yang bertanggung jawab di bidang Pendidikan


 Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit
pelaksana teknis Departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk
membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan
bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan
nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk
mencapai standar nasional pendidikan;

 Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M


adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan
pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu
pada Standar Nasional Pendidikan.

 Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal yang selanjutnya disebut BAN-
PNF adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau
satuan pendidikan jalur pendidikannonformal dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan.

 Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT


adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan.

 Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

2) Konsep Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

Menata lahan, bangunan, perabot dan perlengkapan serta arsip untuk lembaga
pendidikan tidak jauh berbeda dengan penataan yang dilaksanakan dalam 'School Plant
Administration'. Lahan adalah area lokasi atau tanah yang akan digunakan sebagai
tempat/bangunan. Gedung meliputi sarana dan prasarana yang menjadi tempat dalam
melaksanakan berbagai kegiatan. Perabot dan perlengkapan adalah, benda dan alat yang
bergerak maupun tidak bergerak yang dipergunakan untuk menunjang kelancaran
penyelenggaraan kegiatan pendidikan. Arsip merupakan hasil surat menyurat, dan dokumen
kegiatan pekerjaan yang dijalankan. Unsur-unsur tersebut, digunakan di lembaga diklat tidak
seperti yang digunakan di rumah/keluarga, tetapi dibuat dengan berbagai mekanisme yang
berdasarkan pada pertimbangan pertimbangan tertentu sesuai dengan kebutuhan kegiatan
diklat.

3) Inventarisasi Sarana dan Prasarana Pendidikan

Inventarisasi adalah kegiatan untuk mencatat dan menyusun daftar inventaris barang-
barang milik instansi/unit kerja secara teratur secara tertib menurut ketentuan dan tata cara
yang berlaku. Inventarisasi dilakukan dalam upaya menuju penyempurnaan pengurusan,
pengawasan keuangan dan kekayaan lembaga secara efektif serta dalam rangka
meningkatkan efektifitas perencanaan penganggaran, pengadaan, penyimpanan dan
pemeliharaan, penyaluran serta penghapusan perlengkapan.

Tujuan inventarisasi adalah tertib administrasi barang, penghematan keuangan


negara, laporan inventaris barang-barang milik lembaga, bahan untuk perhitungan kekayaan
lembaga, dan mempermudah pengawasan barang-barang. Pelaksanaan inventarisasi
dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut ini. Pertama, pelaksanaan inventarisasi
melalui suatu sistem yang dipergunakan untuk mencatat barang milik lembaga (sebagai
contoh milik negara) yaitu sistem inventarisasi seragam yang meliputi kegiatan- kegiatan
membuat: (1) Buku Inventaris Barang (BIB); (2) Kartu Inventaris Barang (KIB); (3) Daftar
Inventaris Ruangan (DIR); (4) Laporan Mutasi Barang (LMB); (5) Laporan Tahunan (LT);
dan catatan inventaris lainnya.

Kedua, tiap unit kantor/satuan kerja/proyek yang merupakan satu kesatuan


administrasi tersendiri harus menyelenggarakan administrasibarang milik lembaga yang
diurus dan dikuasainya secara terperinci, lengkap dan teratur. Ketiga, klasifikasi ,kodefikasi
dan kode pemilikan barang, yang mencakup: (1) Klasifikasi atau pengelompokan barang
yaitu pengolongan barang inventaris sesuai dengan ketentuan yang berlaku (SK Menkeu
No.Kep. 225/Kep/V/4/1971). Tujuannya adalah untuk memudahkan pencatatan atau
penemuan kembali barang inventaris tersebut baik secara fisik maupun catatan. Barang
inventaris dikelompokan dalam 4 kelompok besar yaitu: (a) barang tidak bergerak, (b) barang
bergerak, (c) hewan, dan (d) barang persediaan; (2) Kodefikasi barang, yaitu pemberian
kode/tanda tertentu pada barang inventaris. Pemberian kode bisa berupa huruf, gambar,
simbol, atau angka (numerik). Tujuan kodefikasi barang ini adalah untuk mengenal jenis
barang tertentu dan menyeragamkan urutan barang pada daftar Laporan Barang Inventaris
(LBI); (3) Kode Pemilikan Barang, yaitu pemberian kode-kode tertentu pada barang
inventaris guna memudahkan mengetahui pemilik dan keberadaan barang inventaris tersebut.

Ada satu kegiatan yang memerlukan kehati-hatian dalam inventarisasi sarana dan
prasarana pendidikan, yaitu kegiatan penghapusan. Kegiatan ini merupakan bagian dari
upaya penataan berbagai unsur dalam sebuah lembaga untuk tujuan menyeimbangkan barang
yang terpakai dan yang tidak terpakai. Dalam pelaksanaannya, penghapusan berkaitan erat
dengan proses inventarisasi mulai dari lahan, gedung, perabot dan perlengkapan juga arsip
kantor. Kegiatan penghapusan pun berkaitan erat dengan pemeliharaan (maintenance) yang
dipandang sebagai suatu kegiatan untuk mempertahankan kondisi barang sehingga tercapai
kesiapan operasional yang maksimal. Artinya barang selalu dipergunakan dengan baik secara
berdaya guna dan berhasil guna. Kegiatan untuk mempertahankan kondisi teknis, dayaguna
dan hasil guna suatu barang atau perlengkapan dilakukan dengan cara memelihara atau
memperbaiki, merehabilitasi dan menyempurnakan dengan memperhatikan usia pemakaian
barang yang bersangkutan.

4) Pengembangan dan Inovasi Sarana dan Prasarana Pendidikan

Inovasi sarana dan prasarana harus mengacu pada mengacu pada tupoksi lembaga dan
peraturan perundangan yang berlaku yaitu UUSPN No 20/2003 dan Standar Nasional
Pendidikan PP. 19/2005 yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar,
tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat
bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran (termasuk diklat) termasuk penggunaan teknologi informasi
dan komunikasi. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai,
serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur
dan berkelanjutan.

a. Restrukturisasi Pembelajaran Berbasis Teknologi


Pemanfaatan teknologi informasi adalah basis dalam pengembangan
pembelajaran, baik di dalam kelas maupun di luar kelas dengan setting alat teknologi,
memungkinkan anak dapat mempelajari apa yang diinginkannya. Dari hasil penelitian
dapat di lihat bahwa teknologi memberikan dan nenuntut: (1) Guru melakukan pekerjaan
dan alat yang lebih rumit; (2) Mengarah kepada peran guru sebagai pelatih dari pada
sebagai penyalur pengetahuan; (3) Menyediakan kesempatan kepada guru untuk
mempelajarai isi pembelajaran kembali dan menggunakan metode yang tepat berdasarkan
kurikulum yang ada, (4) Dapat memberikan dorongan kepada murid untuk bekerja lebih
keras dan lebih berhati-hati dalam belajar' (5) Membangun budaya nilai dan mutu
pekerjaan dalam dilklat secara signifikan.

b. Peran Guru yang Inovator

Guru yang inovatif sangat dibutuhkan dalam memanfaatkan teknologi sebagai alat
bantu dalam pembelajaran yang akan dilakukannya, dimulai dari kegiatan merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran sampai kepada penilaian hasil belajar akan
membutuhkan energi yang tinggi. Oleh karena itu orang kreatif itu akan mudah dalam
menemukan inovasi-inovasi yang memungkinkan kegiatan pembelajarnya lebih cepat,
lebih berhasil dan lebih bermanfaat bagi murid.

Pendekatan dalam manajemen inovasi sarana dan prasarana pendidikan,


hendaknya didasarkan pada:

 Orang dan keterampilan, artinga bahwa inovasi sarana dan prasarana diarahkan
kepada peningkatan kemampuan orang sebagai penyelenggara dan ilmu
pengetahuan serta keterampilan output yang diharapkan;

 Alat dan bahan, artinya bahwa inovasi melekat pada alat dan bahan pendidikan
yang akan dipergunakan untuk melaksanakan program-program pendidikan dan
latihan peserta didik;

 Teknologi manual, artinya bahwa inovasi sarana dan prasarna pendidikan terdiri
atas alat dan bahan yang bersifat manual yang akan dipergunakan oleh pelaksana
dan peserta didik;
 Teknologi Komputerisasi, artinya bahwa teknologi komputerisasi merupakan
bagian dari inovasi pengembangan sarana dan prasarna pendidikan dan
pengajaran;

 Teknologi Informasi, artinya bahwa teknologi informasi merupakan bagian dari


inovasi pengembangan sarana dan prasarna pendidikan dan pengajaran guna
menunjang kelancaran dalam transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan dari
guru kepada peserta didik.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Desentralisasi menurut kitab UU.No.32/2004 bukan lagi hanya suatu konsep tetapi
mulai diimplementasikan pada semua tingkatan manajemen, tidak terkecuali pada tatanan
kelembagaan sistem maupun satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan formal maupun
nonformal, di lingkungan persekolahan atau di luar persekolahan. Implementasi pada tatanan
kelembagaan pendidikan sungguh sangat berarti, karena fungsi dan peranan kelembagaan
tersebut sangat stratejik dalam pembangunan peradaban bangsa. Sejarah mencatat bahwa
pada organisasi pendidikanlah kreativitas kultural kader-kader bangsa di masa depan dapat
dikembangkan. Setelah kita menelusuri sejarah panjang perjalanan penerapan otonomi dan
desentralisasi ketatanegaraan, prinsip penyelenggaraan otonomi, efektivitaspelaksanaan, dan
ajaran-ajaran yang dijadikan rujukan.

Secara teoritis struktur organisasi desentralisasi ditunjukkan dengan tingkat


pengambilan keputusan yang terjadi dalam organisasi. Dalam struktur densentralisasi,
sebagian keputusan diambil pada tingkat hirarki organisasi tertinggi, dan apabila sebagian
besar otoritas didelegasikan pada tingkatan yang rendah dalam organisasi, maka organisasi
tersebut tergolong pada organisasi yang terdesentralisasi. Dengan demikian inti dari
desentralisasi adalah adanya pembagian kewenangan oleh tingkat organisasi di atas kepada
organisasi di bawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat
tanggung jawab yang lebih besar kepada pimpinan ditiap level organisasi dalam
melaksanakan tugasnya serta memberikan kebebasan dalam bertindak.

B. Saran
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solihin, 1990, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmad, Jamaluddin,1990, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah pusat dan daerah di
Indonesia: Studi kasus di Aceh, Jawa timur dan DKI Jakarta. Disertasi, Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar ke Arah Sisitem Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Bandung: Binacipta.
Bhenyamin, Hoessein,1993, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II:
Suatu Sajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu Administrasi Negara. Disertasi,
Jakarta: Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai